• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PEMBAHASAN

4.1.6 Kondisi Kepariwisataan Desa Belandingan

4.1.6.1 Atraksi

Desa Belandingan memiliki alam yang indah dan masih terjaga dengan baik. Budaya dan adat-istiadat masyarakatnyapun masih dilestarikan dengan baik. Potensi wisata yang dimiliki Desa Belandingan tersebut nantinya dapat dikembangkan sebagai atraksi

62 wisata di Desa Wisata Belandingan. Potensi wisata yang dimiliki Desa Belandingan yaitu :

a. Potensi Wisata Alam 1. Bubung Temu

Bubung Temu merupakan nama sebuah bukit yang terletak di bagian utara Desa Belandingan. Menurut salah satu anggota LWG Desa Belandingan, Bubung Temu berasal dari kata Bubung yang berarti bukit dan Temu yang berarti Bertemu. Masyarakat percaya bahwa Bubung Temu merupakan pertemuan antara dua buah bukit yang membentang di bagian utara desa tersebut.

Bubung Temu dapat dijadikan sebagai salah satu atraksi trekking di Desa Belandingan. Untuk dapat mencapainya, pengunjung harus melawati rumah penduduk hingga ujung Utara Desa Belandingan. Di ujung Utara desa, terdapat sebuah jalan setapak kecil yang menanjak. Jalan setapak ini juga dapat dilewati oleh sepeda motor. Untuk mencapai puncak bukit, pengunjung harus berjalan melewati hutan pinus.

Daya Tarik Utama Bubung Temu, berada di puncaknya. Dari puncak bukit tersebut, pengunjung dapat menikmati keindahan Danau Batur dan Gunung Batur serta Laut Bali di bagian Utara. Salah satu pemandangan dari Bukit Bubung Temu yaitu pemandangan Laut Bali dapat dilihat pada gambar 4.1 berikut:

63 Gambar 4.1: Pemandangan dari Bubung Temu

Sumber: Hasil Penelitian, 2015 2. Cycling / Trekking

Aktivitas wisata minat khusus seperti cycling dan trekking memang sudah sering dilakukan wisatawan di Desa Belandingan bahkan sebelum adanya pengembangan Desa Wisata. Wisatawan yang datang untuk melakukan aktivitas tersebut biasanya sudah memesan paket tour dari travel agent dan membawa pemandu sendiri, sehingga Desa Belandingan hingga saat penelitian ini dilakukan belum mendapatkan manfaat apapun dari aktivitas tersebut.

Aktivitas wisata berupa cycling biasanya tidak hanya dilakukan di Desa Belandingan, melainkan meliputi beberapa desa dengan nenyisiri Danau Batur hingga akhirnya mencapai Desa Belandingan. Pada kegiatan wisata ini wiatawan dapat menikmati keindahan panorama alam Desa Belandingan seperti perkebuanan penduduk, rumah tradisional yang unik hingga keindahan panorama alam di puncak bukit.

64 3. Agrowisata

Desa Belandingan memiliki potensi untuk dikembangan sebagai agrowisata. Wilayahnya yang barada di dataran tinggi membuatnya memiliki udara yang sejuk, sehingga berbagai tanaman pangan dapat tumbuh dengan subur di desa tersebut. Mata pencaharian masyarakat yang sebagian besar adalah petani juga menunjang untuk pengengambangan agrowisata di Desa Belandingan.

Dengan pengembangan agrowisata, nantinya wisatawan dapat menikmati aktivitas pertanian tradisional masyarakat Desa Belandingan dan bahkan dapat merasakan menjadi petani dengan aktivitas yang langsung dilakukan di lahan pertanian penduduk. Jenis tanaman pangan yang ditanam di lahan mereka berupa bawang, tomat dan cabai. Bila Agrowisata tersebut dikembangkan, pengunjung dapat merasakan aktivitas pertanian seperti menanam bawang, memetik komoditas yang panen baik tomat, cabai ataupun bawang itu sendiri. Dengan demikian aktivitas wisata yang dilakukan di Desa Belandingan tidak akan merusak alam dan justru dapat memberi edukasi bagi wisatawan yang berkunjung. Gambaran lahan pertanian masyarakat yang dapat dikembangkan sebagai agrowisata dapat dilihat pada gambar 4.2 berikut:

65 Gambar 4.2: Lahan Pertanian Masyarakat Belandingan Sumber: Hasil Penelitian, 2015

b. Potensi Wisata Budaya

1. Rumah Tradisional Saka Roras

Tidak seperti perubahan yang terjadi pada kehidupan sehari-hari masyarakat desa di Bali pada umumnya, keseharian masyarakat di Desa Belandingan memang masih belum mengalami banyak perubahan. Suasana pedesaan masih terasa sangat kental di desa tersebut. Masyarakat Desa Beladingan memiliki sifat yang ramah dan terbuka pada setiap orang yang datang mengujungi desa mereka.

Sebagian besar masyarakat Desa Belandingan juga masih tetap mempertahankan arsitektur asli rumah adat mereka yang dikenal dengan nama Rumah Saka Roras. Seperti namanya rumah ini memang disangga oleh 12 tiang atau saka. Menurut salah satu LWG Desa Belandingan, Rumah Saka Roras merupakan miniatur dari konsep Tri Hita Karana yang digunakan dalam kehidupan

66 masyarakat Hindu. Setidaknya, terdapat 5 (lima) ruangan di dalam Rumah Saka Roras. Ruangan-ruangan tersebut anatara lain : 1 (satu) ruangan yang difungsikan sebagai tempat suci, 1 (satu) ruangan untuk memasak (dapur), 1 (satu) ruangan untuk penyimpanan hasil panen yang disebut Tukub (lumbung), serta 2 (dua) ruangan yang berfungsi sebagai tempat tidur. Salah satu dari 2 ruangan tempat tidur tersebut juga berfungsi sebagai tempat menyemayamkan mayat jika ada anggota keluarga yang meninggal. Gambar 4.3 menunjukkan salah satu rumah Saka Roras yang terdapat di Desa Belandingan.

Gambar 4.3: Rumah Saka Roras Sumber: Hasil Penelitian, 2015

Walaupun Rumah Saka Roras memiliki nilai budaya yang tinggi dan juga menjadi salah satu identitas warga Desa Belandingan, namun bila dilihat dari sisi kesehatan, ternyata Rumah Saka Roras tersebut dapat dikatakan kurang sehat. Berdasarkan hasil wawancara dengan perbekel Desa Belandingan dan salah satu staffnya, hal ini dikarenakan pencahayaan pada

67 Rumah Saka Roras sangat kurang. Rumah Saka Roras juga tidak memiliki cukup ventilasi untuk sirkulasi udara. Rumah ini memang hanya memiliki satu buah pintu dan tidak ada jendela. Selain itu, satu Rumah Saka Roras juga digunakan untuk berbagai aktivitas yang salah satunya adalah memasak, yang menjadikan sanitasi di dalam rumah ini sangat kurang.

2. Pura Luhur Manik Muncar

Pura memang menjadi salah satu daya tarik utama bagi wisatawan yang berkunjung ke Bali. Hal ini juga menjadi perhatian masyarakat Desa Belandingan dengan keinginannya untuk mengembangkan wisata spiritual di desa tersebut. Salah satu pura yang ingin mereka kembangkan adalah Pura Manik Muncar.

Seperti yang telah dipaparkan pada sejarah Desa Belandingan, Pura Manik Muncar merupakan salah satu situs vital dalam sejarah perkembangan desa tersebut. Pura Manik Muncar merupakan sebuah pura yang diperuntukkan kepada masyarakat umum. Masyarakat mempercayai bahwa di pura ini berstana Hyang Dewi Danu dan Sang Hyang Rambut Sedana. Menurut warga Desa Belandingan, Pura Manik Muncar merupakan salah satu pura yang memiliki status sebagai Pura Dang Kahyangan, sehingga cocok dikembnagkan sebagai salah satu tujuan wisata spiritual. Terlebih lagi cerita sejarah desa yang berlokasi di pura

68 ini dapat menjadi nilai tersendiri bagi wisatawan yang datang berkunjung. Kondisi Pura Luhur Manik Muncar serta rencana pengembangannya dapat dilihat pada gambar 4.4 dan 4.5 berikut:

Gambar 4.4: Pura Luhur Manik Muncar Sumber: Hasil Penelitian, 2015

Gambar 4.5: Rencana Pengembangan Pura Manik Muncar Sumber: Arsip Desa Belandingan, 2015

Selain Pura Manik Muncar, masih terdapat beberapa pura lain yang menjadi Sungsungan desa. Pura yang terdapat di Desa Belandingan dapat dilihat pada Tabel 4.2 berikut:

69 Tabel 4.2

Pura Sungsungan Desa di Desa Belandingan

No Nama Pura Keterangan

1 Pura Manik Muncar Renovasi

2 Pura Batu Gede 3 Pura Desa 4 Pura Meneng 5 Pura Dalem 6 Pura Pemagpagan 7 Pura Penegtegan

8 Pura Sang Hyang Song Renovasi

9 Pura Dukuh

Sumber: Hasil Penelitian, 2015

Selain 9 pura yang menjadi sungusngan desa tersebut, masih terdapat beberapa pura lain yang menjadi pura sungsungan keluarga atau (dadia). Pura – pura tersebut dikelola oleh penduduk desa dari masing-masing dadia itu sendiri.

3. Adat Istiadat

Masyarakat Desa Belandingan hingga saat ini masih mentaati dan melestarikan adat – istiadat yang mereka warisi secara turun-temurun. Terdapat beberapa tradisi masyarakat di Desa Belandingan yang membedakan mereka dengan masyarakat desa lainnya di Bali. Tradisi atau adat-istiadat tersebut antara lain: a) Ngaben (Upacara Pemakaman Mayat)

Ngaben memang sudah menjadi tradisi masyarakat Hindu Bali untuk melakukan penghormatan terakhir pada anggota keluarga yang meninggal. Namun ada beberapa hal

70 yang membedakan ngaben pada umumnya di Bali dan Ngaben yang dilakukan oleh masyarakat Desa Belandingan.

Ngaben yang dilakukan oleh masyarakat Desa Belandingan adalah Ngaben Ngerit (massal). Hingga saat ini sangat jarang masyarakat Desa Belandingan yang melaksanakan upacara ngaben secara individu. Selain itu, pada umumnya masyarakat Hindu Bali melaksakan pembakaran mayat pada saat Ngaben. Namun, ngaben yang dilakukan di Desa Belandingan justru sebaliknya. Mayat atau perwujudannya dalam Ngaben massal tetap dikubur, namun prosesi dilakukan sebagaimana Ngaben pada umumnya.

Pada upacara pemakaman biasa (bukan Ngaben), masyarakat Desa Belandingan juga memiliki cara tersendiri untuk menggotong mayat ke kuburan. Masyarakat Desa Belandingan tidak menggunakan peti untuk tempat meletakkan mayat, melainkan hanya dibungkus kain dan tikar

(tikeh) seperti umumnya pembungkus mayat yang digunakan

masyarakat Bali. Pada saat mayat dibawa ke kuburan, mayat tersebut hanya digantungkan pada sebatang bambu yang kemudian dipikul oleh beberapa orang warga. Namun di bagian bawah mayat juga ditambahkan bedeg (anyaman bambu) yang juga digotong oleh beberapa orang warga. Bedeg

71 tersebut berfungsi untuk menjaga mayat agar tidak sampai jatuh pada saat perjalanan menuju Kuburan.

Seperti umumnya pemakaman masyarakat Hindu Bali, setelah dikuburkan, kuburan tersebut kemudian dilindungi dengan Ancak Saji (rangkaian bambu). Perbedaannya dengan tradisi masyarakat Desa Belandingan adalah, kuburan yang boleh menggunakan Ancak Saji hanyalah kuburan masyarakat yang disucikan oleh warga Desa Belandingan. Selain itu, penentuan hari baik untuk masyarakat Belandingan juga memiliki perbedaan dengan masyarakat Bali pada umumnya. Upacara pemakaman mayat di desa ini dapat dilakukan paling cepat 5 hari setelah orang tersebut meninggal dunia. Bila belum ada hari baik dalam waktu tersebut, warga harus menunggu lebih lama, yaitu hingga 25 hari atau bahkan 1 bulan. Masyarakat Desa Belandingan juga mengenal tradisi

Sebelan Desa (Cuntaka Desa). Pada masa Sebelan Desa

tersebut, seluruh masyarakat Desa Belandingan dilarang untuk memasuki tempat suci atau melaksanakan upacara suci karena masih dianggap kotor. Sebelan Desa tersebut berlaku sejak ada warga yang meninggal hingga 3 hari setelah hari pemakamannya. Apabila ada penduduk desa yang meninggal pada saat sedang ada upacara di pura, maka yang dikenakan

72

Sebelan (Cuntaka) hanya keluarga atau dadia yang

bersangkutan.

b) Tradisi Bakti Pekomel (Mekandal)

Secara umum, tradisi pernikahan masyarakat Desa Belandingan memiliki rangakaian kegiatan yang hampir sama dengan pernikahan adat Bali pada umumnya. Hal yang membedakan pernikahan yang diselenggarakan masyarakat Belandingan adalah sebuah upacara yang bernama Bakti

Pekomel atau Mekandal. Prosesi ini dilakukan setelah seluruh

rangkaian upacara pernikahan selesai dilakukan.

Berdasarkan tradisi yang sudah dilakukan turun temurun di Desa Belandingan, orang yang menikah ke Desa Belandingan dan menjadi warga desa tersebut tidak diperbolehkan memasuki Pura Desa sebelum dilakukan upacara Bakti Pekomel atau Mekandal tersebut. Upacara ini bisa dilaksakan pada saat hari pernikahan atau setelahnya, tergantung keinginan dari keluarga mempelai. Pada saat melaksanakan upcara ini, harus ada kesaksian dari prajuru adat maupun dinas Desa Belandingan.

c) Sistem Ulu Apad

Pemerintahan Desa di Bali dibagi menjadi dua jenis yaitu pemerintahan kedinasan dan pemerintahan desa adat. Pemerintahan adat biasanya dipimpin oleh seorang Jero

73 Bendesa Adat. Hal ini berlaku di sebagian besar desa adat di Bali. Namun, desa – desa yang merupakan desa Bali Mula atau Bali Aga, masih memiliki sistem adat tersendiri yang dikenal dengan sistem Ulu Apad. Sistem Ulu Apad tersebut menggunakan konsep Rwabhineda yaitu Ulu (Hulu) dan

Tebenan (Hilir). Pandangan idiologis dari konsep Rwabhineda

itu sendiri adalah harmonisasi dari dua hal yang bertentangan (Noviantara, 2014).

Walaupun memiliki sistem Ulu Apad, pemerintahan adat di Desa Belandingan masih dipimpin oleh seorang Jero Bendesa Adat. Namun, jika ada upcara di pura, maka yang berlaku adalah sistem Ulu Apad. Berdasarkan sistem tersebut, upacara adat di Desa Belandingan dipimpin oleh seorang Jero Mangku Gede. Tidak sembarang orang di Desa Belandingan dapat diangkat sebagai Jero Mangku Gede. Hal ini dikarenakan seorang Jero Mangku Gede dipilih melalui sebuah ritual yang disebut Nyanjan, yaitu ritual untuk meminta petunjuk dari Ida Bhatara Sesuunan di Desa Belandingan untuk memilih seseorang yang akan diangkat sebagai Jero Mangku Gede.

Jero Mangku Gede akan dibantu oleh beberapa orang. Di bawah posisi Jero Mangku Gede terdapat dua Jero Kubayan yaitu Jero Kubayan Kiwa dan Jero Kubayan Tengen.

74 Di bawah posisi masing-masing Jero Kubayan terdapat Jero Guru dan di bawah posisi masing-masing Jero Guru terdapat

Saya atau Sinoman. Struktur pemerintahan Ulu Apad di Desa

Belandingan dapat dilihat pada gambar 4.6 berikut:

Gambar 4.6: Struktur Pemerintahan Ulu Apad di Desa Belandingan Sumber: Hasil Penelitian, 2015

Dokumen terkait