• Tidak ada hasil yang ditemukan

Audiens sebagai Kumpulan Penonton, Pembaca, Pendengar, Pemirsa Tidak bisa dipungkiri, audiens yang dimaksud dalam komunikasi Tidak bisa dipungkiri, audiens yang dimaksud dalam komunikasi

massa ini sangat beragam, dari jutaan penonton televisi, ribuan pembaca buku atau ratusan pembaca jurnal ilmiah. Masing-masing audiens ini berbeda satu sama lain. Mereka berbeda dalam cara berpakaian, berpikir,

19 menanggapi pesan yang diterimanya, pengalaman dan orientasi hidupnya. Tetapi masing-masing individu ini juga bisa saling mereaksi satu sama lain terhadap pesan yang diterimanya (Nurudin, 2007:104-105).

Kumpulan inilah yang disebut sebagai audiens dalam bentuknya yang paling dikenali dan versi yang diterapkan dalam hampir seluruh penelitian media itu sendiri. Fokusnya pada jumlah-jumlah total orang yang dapat dijangkau oleh ’satuan isi’ media tertentu dan jumlah orang dalam karakteristik demografi tertentu yang penting bagi pengirim. Dalam praktik, penerapan konsep tersebut tidaklah sesederhana itu dan akhirnya menimbulkan pertimbangan yang melebihi soal kuantitatif semata.

Clausse (1968) telah menunjukkan beberapa kerumitan untuk membedakan berbagai kadar keikutsertaan dan keterlibatan audiens. Audiens yang pertama dan terbesar adalah populasi yang tersedia untuk menerima ’tawaran’ komunikasi tertentu. Dengan demikian, semua yang memiliki pesawat televisi adalah audiens televisi dalam artian tertentu. Kedua, terdapat audiens yang benar-benar menerima hal-hal yang ditawarkan dengan kadar yang berbeda-beda misalnya pemirsa televisi regular, pembeli surat kabar dan sebagainya. Ketiga, ada bagian audiens sebenarnya yang mencatat penerimaan isi dan akhirnya masih ada bagian lebih kecil yang mengendapkan hal-hal yang ditawarkan dan diterima. (McQuail, 1989:203).

Menurut Hiebert dan kawan-kawan dalam Nurudin (2007:105-106) kharakteristik audiens antara lain :

20 a) Audiens cenderung berisi individu-individu yang condong untuk

berbagi pengalaman dan dipengaruhi oleh hubungan sosial diantara mereka. Individu-individu tersebut memilih produk media yang mereka gunakan berdasarkan seleksi kesadaran.

b) Audiens cenderung besar. Luas disini berarti tersebar keberbagai wilayah jangkauan sasaran komunikasi massa. Meskipun begitu ukuran luas ini sifatnya bisa jadi relatif. Sebab, ada media tertentu yang khalayaknya mencapai ribuan, ada yang mencapai jutaan. Baik ribuan atau jutaan itu tetap bisa disebut audiens meskipun jumlahnya berbeda. Tetapi, perbedaan ini bukan sesuatu yang prinsip. Jadi tak ada ukuran pasti tentang luasnya audiens itu.

c) Audiens cenderung heterogen. Mereka berasal dari berbagai lapisan dan kategori sosial. Beberapa media tertentu punya sasaran, tetapi heterogenitasnya juga tetap ada.

d) Audiens cenderung anonim, yakni tidak mengenal satu sama lain. Bagaimana mungkin audiens bisa mengenal khalayak televisi yang jumlahnya jutaan? Tidak mengenal ini tidak ditekankan satu per satu kasus tetapi meliputi semua audiens.

e) Audiens secara fisik dipisahkan dari komunikator. Anda berada di Yogyakarta yang sedang menikmati acara stasiun televisi yang disiarkan dari Jakarta. Bukankah ia dipisahkan dengan jarak ratusan kilometer? Dapat juga dikatakan audiens dipisahkan oleh ruang dan waktu.

21 4. Kekerasan Dalam Tayangan Televisi

Kata “kekerasan“ sepertinya tidak akan lepas dari kehidupan kita. Mungkin kita tidak pernah mengalaminya sendiri, tetapi peristiwa mengenai kekerasan bisa kita dapatkan dari media massa, baik dalam media cetak maupun elektronik. Kekerasan bisa diterjemahkan dari kata “violence” yang juga dapat berarti sebagai serangan atau invasi ( assault ). Dalam kamus Bahasa Indonesia, karangan Poerwadarminta, kekerasan diartikan sebagai sifat atau hal yang keras, kekuatan. R. Audi (dalam I. Marsana Windhu, 1991 : 63) merumuskan violence sebagai serangan atau penyalahgunaan fisik terhadap seseorang atau binatang atau penghancuran, serangan, keras, kasar, kejam, dan ganas atas milik atau sesuatu yang secara potensial dapat menjadi milik seseorang. Sedangkan salah seorang sosiolog yang juga seorang peneliti masalah konflik dan perdamaian, Johan Galtung (dalam Marsana Windhu, 1991 : 64), mendefinisikan kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada dibawah realisasi potensialnya. Dengan kata lain, bila yang potensialnya lebih tinggi dari yang aktual, maka kekerasan itu ada. Jadi, kekerasan disini didefinisikan sebagai penyebab perbedaan antara yang potensial dan yang aktual. Tingkat realisasi potensial adalah apa yang memang mungkin direalisasikan sesuai dengan tingkat wawasan, sumber daya dan kemajuan yang sudah dicapai pada zamannya. Pemahaman Galtung tentang

22 kekerasan lebih ditentukan pada segi akibat atau pengaruhnya terhadap manusia.

Kekerasan juga banyak dijumpai dalam film dan televisi baik itu dalam film fiksi, sinetron, drama, film kartun, dan sebagainya. Adegan kekerasan juga tampak pada hampir semua berita, khususnya berita kriminal. TV swasta di Indonesia terkadang lebih "kejam" dalam menggambarkan korban kekerasan, misalnya dengan ceceran darah atau meng-close up korban. Dalam film, kekerasan dapat berupa adegan ataupun dialog. Adegan perkelahian, pembunuhan hingga dialog-dialog yang bersifat kasar dan keras merupakan sedikit dari banyaknya tindak kekerasan dalam film. Adanya sebuah komisi penyiaran yang selalu memantau segala jenis film yang beredar di pasaran tidak terlalu berpengaruh terhadap intensitas kemunculan kekerasan dalam film.

a. Dimensi-dimensi Kekerasan

Di atas telah disebutkan bahwa kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya. Ini berarti ada seseorang yang mempengaruhi dan cara mempengaruhi. Jadi, dapat dikatakan ada subjek, objek, tindakan (dengan subjek dan objek adalah manusia). Galtung memahami konsep kekerasan ibarat sebuah ”kue tart” yang ketika diiris-iris kemudian akan menampakkan banyak dimensi. Berikut ini diuraikan enam dimensi penting dari kekerasan. 1. Pembedaan pertama : Kekerasan fisik dan psikologis.

23 Pembedaan ini penting meskipun tampak sederhana, karena ini berkaitan dengan pandangan Galtung yang menolak pengertian sempit tentang kekerasan, yaitu yang hanya terpusat pada kekerasan fisik. Dalam kekerasan fisik, tubuh manusia disakiti secara jasmani bahkan bisa sampai pada pembunuhan. Disini disebutkan oleh Galtung bahwa kemampuan somatis korban berkurang atau hilang sama sekali. Sama halnya dengan kebohongan, ancaman dan tekanan yang dimaksudakan untuk meredusir kemampuan otak atau mental. Galtung menggunakan kata hurt dan hit untuk mengungkapkan maksud ganda baik kekerasan fisik maupun psikologis.

2. Pembedaan kedua : Pengaruh positif dan negatif.

Untuk menerangkan pendekatan ini, Galtung mengacu pada sistem orientasi imbalan. Seseorang dapat dipengaruhi tidak hanya dengan menghukum bila ia bersalah, tetapi juga dengan memberi imbalan. Dalam sistem imbalan sebenarnya terdapat ”pengendalian”, tidak bebas, kurang terbuka, dan cenderung manipulatif, meskipun memberi kenikmatan. Galtung mau menekankan bahwa kesadaran untuk memahami kekerasan yang luas itu penting.

3. Pembedaan ketiga : Ada objek atau tidak.

Menurut Galtung, tindakan melempar batu kemana-mana atau uji coba senjata nuklir meskipun tidak memakan korban tetapi juga membatasi tindakan manusia. Contoh lain yang termasuk kategori kekerasan yang kurang sempurna yaitu menghancurkan benda.

24 Tindakan ini menurut Galtung dianggap sebagai kekerasan psikologis. Apalagi benda tersebut ada yang memiliki. Hubungan pemilikan ini sangat peka, karena merusak, menghancurkan barang berarti menghina sang pemilik dan menceraikan hubungan kepemilikan. Jadi, meskipun tidak ada objek yang langsung dikenai tetap ada ancaman kekerasan baik menyangkut orangnya maupun miliknya.

4. Pembedaan keempat : Ada subjek atau tidak.

Sebuah kekerasan disebut kekerasan langsung atau personal jika ada pelakunya, dan bila tidak ada pelakunya disebut tidak langsung atau struktural. Kekerasan struktural menimbulkan situasi-situasi negatif yaitu ketimpangan-ketimpangan pada sumber daya, pendidikan, pendapatan, kepandaian, keadilan serta wewenang untuk mengambil keputusan. Dampak atau akibat dari kekerasan personal dapat dilacak pelakunya (manusia) sedangkan kekerasan struktural justru sulit untuk menemukan pelakunya secara konkret. Untuk kasus yang terakhir ini berarti kekerasan sudah menjadi bagian dari struktur itu dan menampakkan diri sebagai kekuasaan yang tidak seimbang yang menyebabkan peluang hidup tidak sama.

5. Pembedaan kelima : Disengaja atau tidak.

Pembedaan ini penting ketika orang harus mengambil keputusan mengenai kesalahan. Sering konsep tantang kesalahan dianggap sebagai sesuatu yang disengaja. Galtung menekankan bahwa

25 kesalahan yang walau tidak disengaja tetap merupakan suatu kekerasan, karena dilihat dari sudut korban, kekerasan tetaplah kekerasan.

6. Pembedaan keenam : Yang tampak dan yang tersembunyi.

Kekerasan yang tampak, nyata (manifest) adalah kekerasan yang nyata dirasakan oleh objek, baik secara personal maupun struktural. Sedangkan kekerasan tersembunyi merupakan kekerasan yang tidak terlihat (latent) namun tetap bisa dengan mudah meledak. Kekerasan tersembunyi terjadi jika situasi menjadi begitu tidak stabil sehingga tingkat realisasi aktual manusia dapat menurun dengan begitu mudah.

Dokumen terkait