Ika Indriasari
STIE Cendekia Karya Utama Semarang Email: [email protected]
Pendahuluan
Aktivitas yang terkait dengan manajemen pengetahuan dipandang lebih penting bagi perusahaan, seiring dengan meningkatnya persepsi hubungan antara keuntungan kompetitif dengan pengetahuan (Andreu dkk, 2008). Kinerja dan kemampuan untuk terus bertahan suatu organisasi juga dipengaruhi oleh kemampuan dan kecepatan organisasi dalam mengembangkan kompetensi berbasis pengetahuan. Kantor Akuntan Publik (KAP) sebagai salah satu perusahaan yang berbasis sumber daya manusia, sangat bergantung pada kemampuan dan pengetahuan para auditornya dalam pelaksanaan pekerjaannya. Manajemen pengetahuan yang efektif menjadi salah satu tantangan paling penting yang dihadapi Kantor Akuntan Publik saat ini, agar pengetahuan yang dimiliki auditor-auditornya terus meningkat. Peningkatan pengetahuan auditor ini sangat penting, agar auditor dapat terus menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi seiring dengan kemajuan teknologi dan terus munculnya pesaing-pesaing baik lokal maupun auditor asing.
Hambatan dan tantangan yang dihadapi auditor terkait dengan tuntutan kapabilitasnya diharapkan dapat diperkecil, salah satunya dengan menggiatkan sharing pengetahuan. Menurut Setiarso (2006), berbagi pengetahuan merupakan salah satu metode dalam knowledge management yang digunakan untuk memberikan kesempatan kepada anggota suatu organisasi, instansi atau perusahaan untuk berbagi ilmu pengetahuan, teknik,
pengalaman dan ide yang mereka miliki kepada anggota lainnya. Berbagi pengetahuan hanya dapat dilakukan apabila setiap anggota memiliki kesempatan yang luas dalam menyampaikan pendapat, ide, kritikan, dan komentarnya kepada anggota lainnya. Selanjutnya, Setiarso (2006) menyatakan pula bahwa peran sharing pengetahuan dikalangan karyawan menjadi amat penting untuk meningkatkan kemampuan karyawan agar mampu berpikir secara logika yang diharapkan akan menghasilkan suatu bentuk inovasi.
Praktik sharing pengetahuan ini memberikan manfaat yang sangat besar bagi upaya peningkatan produktivitas organisasi (Setiarso, 2006). Pengetahuan yang terdistribusi dengan baik dalam suatu organisasi dapat mempengaruhi setiap tahapan dari proses pembuatan keputusan (Lessard dan Zaheer, 1996), meskipun demikian pada umumnya sharing
pengetahuan ini tidak dapat dipaksakan, hanya dapat didorong dan difasilitasi (Gibbert dan Krause, 2002 dalam Bock, 2005). Mempertimbangkan manfaat yang besar tersebut, maka perlu diteliti faktor-faktor yang dapat mendorong praktik
sharing pengetahuan, khususnya pada
auditor Indonesia yang menghadapi perubahan dan tantangan sebagai konsekuensi era globalisasi.
Nilai pengetahuan organisasional individu meningkat ketika pengetahuan yang dimilikinya dibagikan (Styhre, 2002). Beerli (2002) dalam Norris dkk (2003) menyatakan bahwa pengetahuan dapat dianggap sebagai sumber daya unik yang akan tumbuh ketika dibagikan, ditransfer dan dikelola dengan terampil. Kurangnya
sharing pengetahuan dalam suatu kelompok akan berakibat pada ketidakefektifan, bahkan dapat berakibat pada gagalnya suatu kelompok kerja (Yu dan Khalifa, 2007), oleh karena itu penentuan faktor-faktor yang dapat meningkatkan proses sharing pengetahuan dalam suatu kelompok atau organisasi menjadi hal penting yang mendasari penelitian ini. Berbagai faktor telah diidentifikasi sebagai hal yang mempengaruhi aktivitas sharing
pengetahuan, seperti: komitmen, keterlibatan kerja, persepsi saling ketergantungan tugas, struktur organisasi, kondisi sosial dan lain sebagainya (Zheng dan Bao, 2006 dalam Andreu dkk 2008).
Hlupic dkk (2002) menyatakan bahwa faktor pendorong sharing
pengetahuan terbagi menjadi hard issue yang berupa teknologi dan peralatan dan
soft issue seperti komitmen, motivasi, iklim
perusahaan dan budaya. Saat ini, isu yang lebih banyak dibahas telah bergeser dari
hard issue menuju pada soft issue.
Komitmen sebagai salah satu soft issue telah banyak diteliti sebagai variabel yang berpengaruh pada pekerjaan auditor. Ketchand dan Strawser, (2001); Smith, Hall, dan Langfield-Smith, (2005); Smith dan Hall, (2008) dan beberapa peneliti lainnya telah meneliti komitmen akuntan publik pada dasar profesi dan organisasi. Zheng dan Bao (2006) menambahkan komitmen akuntan publik terhadap tim kerja, mengingat bahwa pekerjaan audit biasa dilakukan dalam suatu tim. Komitmen terhadap profesi menunjukkan keterikatan individu terhadap profesi yang dijalaninya. Komitmen terhadap organisasi
menunjukkan kekuatan identifikasi individu terhadap organisasi tempat bekerjanya, sedangkan komitmen terhadap tim menunjukkan adanya keterikatan individu dengan tim kerjanya.
Peneliti-peneliti tersebut di atas membahas mengenai komitmen profesi, komitmen organisasi dan komitmen tim auditor menjadi tiga dimensi komitmen seperti yang dikemukakan oleh Meyer dan Allen (1991), yaitu komitmen afektif, komitmen continuance dan komitmen normatif. Dimensi-dimensi tersebut merefleksikan suatu keterkaitan antara pekerja dengan organisasi, namun sifat dari masing-masing keterkaitannya memiliki perbedaan (Meyer, Allen dan Gellatly, 1990). Ulasan yang dilakukan oleh Meyer dan Allen (1991) mengenai literatur komitmen organisasional menyebutkan bahwa pekerja dengan komitmen afektif yang kuat akan tetap bertahan pada organisasinya karena mereka memang menginginkannya (want to), sedangkan mereka yang memiliki komitmen
continuance yang kuat, bertahan dalam
organisasinya karena adanya suatu kebutuhan (need to) dan yang memiliki komitmen normatif yang kuat, bertahan karena merasa bahwa sudah semestinya mereka melakukan hal itu (ought to). Baik anteseden maupun konsekuensi dari masing -masing komitmen tersebut juga berbeda (Meyer dkk. 1990).
Terkait dengan sifat sharing
pengetahuan yang tidak dapat dipaksakan (Gibbert dan Krause, 2002 dalam Bock, 2005), dan untuk melakukannya diperlukan adanya kepercayaan dan pengalaman (Davenport and Prusak, 1998), maka
dimensi komitmen yang diduga paling memberikan dorongan dan memiliki hubungan yang paling kuat dengan sharing pengetahuan adalah komitmen afektif. Hal ini diketahui dari penelitian sebelumnya bahwa sifat dan pola perilaku individu dipengaruhi oleh kekuatan hubungan antar individu seperti halnya komitmen pekerja kepada organisasinya di tempatnya bekerja (O’Reilly dan Chatman, 1986).
Persepsi saling ketergantungan tugas merupakan salah satu anteseden bagi komitmen organisasi dalam suatu hubungan kelompok (Ketchand dan Strawser, 2001). Tingkat saling ketergantungan tugas dalam pekerjaan audit ditentukan oleh cara para auditor bekerja sama, dalam hal ini ditentukan sebagian oleh teknologi dan sebagian oleh bagaimana cara pekerjaan dikelola (Van Vijfeijken dkk, 2002). Pada saat tugas yang dilaksanakan sangat berhubungan satu sama lain, atau paling tidak saat auditor memiliki persepsi bahwa tugas-tugas mereka saling berhubungan, beberapa persepsi menciptakan ketergantungan yang bersifat timbal balik. Tingginya persepsi saling ketergantungan tugas akan menyebabkan auditor dalam satu kelompok menjadi lebih peduli akan pentingnya kontribusi mereka terhadap profesinya sebagaimana juga terhadap organisasi dan tim kerjanya. Kepedulian yang meningkat ini semestinya meningkatkan pula ego auditor untuk terlibat dalam hal-hal yang terkait dengan pekerjaannya dan kemudian meningkatkan komitmennya terhadap perusahaan, profesi dan tim kerjanya.
Monge dkk (1998) menyatakan bahwa keuntungan timbal balik dari
berkomunikasi dan sharing dengan pihak lain akan meningkat ketika pekerjaan perorangan auditor tergantung pada usaha auditor lain dari dalam ataupun dari luar departemen mereka. Tingkat saling ketergantungan tugas ditentukan oleh cara individu dalam suatu kelompok (profesi,organisasi atau tim kerja) bekerja sama dan bagaimana cara suatu pekerjaan dikelola (Van Vijveiken dkk, 2002). Monge dkk (1998) menemukan bahwa ketergantungan tugas/ kerja berpengaruh positif pada keyakinan pekerja untuk melakukan sharing pengetahuan internal.
Seseorang bisa terlibat dalam pekerjaannya sebagai respon terhadap atribut tertentu dari situasi pekerjaannya (Mudrack, 2004). Jika seorang auditor memiliki perasaan positif terhadap pekerjaannya, mereka akan selalu memandang tujuan dan persyaratan yang ditetapkan oleh organisasi secara lebih positif. Beberapa teori telah menyatakan bahwa pekerja dengan keterlibatan kerja yang tinggi akan mengusahakan upaya yang lebih baik dalam pencapaian tujuan organisasi, dan kemungkinan tidak akan meninggalkan tempatnya bekerja ( Zheng dan Bao, 2006; Kanungo, 1979; Lawler, 1986). Adanya rasa puas pada auditor tersebut diharapkan berhubungan positif dengan komitmen terhadap perusahaan. Komitmen yang tinggi, kepercayaan dan motivasi karyawan ini selanjutnya menjadi isu kunci yang akan mendorong sharing pengetahuan karyawan (Storey dan Quintas, 2001).
Zheng dan Bao (2006) telah melakukan studi empiris mengenai hubungan antara komitmen afektif
organisasi, komitmen afektif tim dan komitmen afektif profesional, keterlibatan kerja, persepsi saling ketergantungan tugas dan sharing pengetahuan auditor. Penelitian Zheng dan Bao (2006) yang dilakukan pada akuntan publik di Cina tersebut telah menemukan bukti empiris adanya hubungan positif komitmen afektif organisasi dan komitmen afektif tim dengan sharing pengetahuan, namun tidak berhasil membuktikan bahwa komitmen afektif profesional memiliki hubungan yang signifikan dengan sharing
pengetahuan auditor. Menurut Zheng dan Bao (2006), hasil penelitian di atas masih memerlukan konfirmasi empiris lebih lanjut, meskipun secara rasional telah dapat mencerminkan kondisi profesi akuntan publik di Cina.
Indonesia merupakan negara yang memiliki beberapa persamaan kultur dengan Cina, khususnya dalam hal kolektivisme, jarak kekuasaan dan orientasi kinerja (Javidan dan House, 2001 dalam Robbins, 2006). Kultur tersebut dapat berpengaruh terhadap tingkat komitmen, keterlibatan kerja dan persepsi saling ketergantungan tugas. Replikasi penelitian Zheng dan Bao (2006) dilakukan pada penelitian ini memiliki beberapa alasan, yang pertama adalah sebagai konfirmasi atas bukti empiris yang telah ditemukan di Cina. Kedua, pembahasan mengenai hubungan komitmen, keterlibatan kerja dan persepsi saling ketergantungan tugas dengan aktivitas sharing pengetahuan di Indonesia ini juga dirasa penting mengingat akan dilaksanakannya perubahan dalam bidang akuntansi di Indonesia, yaitu
konvergesi standar akuntansi Indonesia ke standar internasional. Indonesia sebagai satu-satunya anggota negara G-20 dari Asia Tenggara, harus berkomitmen untuk melaksanakan kesepakatan mengenai perlu adanya satu standar tunggal akuntansi global yang berkualitas tinggi (Auditor internal, 2010).
Standar acuan akuntansi yang pada saat ini diakui secara global adalah
International Financial Reporting Standards (IFRS) yang dikeluarkan oleh International Accounting Standard Board
(IASB). Konvergensi IFRS sebagai standar akuntansi di Indonesia yang ditargetkan berlaku secara keseluruhan mulai tanggal 1 Januari 2012 yang akan datang, tentu membawa dampak yang cukup besar (IAI, 2008). Implementasi perubahan ini menuntut kesiapan praktisi akuntan manajemen, akuntan publik, akademisi, regulator serta profesi pendukung lainnya seperti aktuaris dan penilai. Akuntan publik diharapkan dapat segera melakukan
up-date pengetahuannya sehubungan dengan
perubahan Standar Akuntansi Keuangan (SAK), membuat revisi Standar Profesi Akuntan Publik (SPAP) dan menyesuaikan pendekatan audit yang berbasis IFRS (Auditor internal, 2010).
Permasalahan yang akan dianalisis pada penelitian ini adalah :1) Apakah komitmen afektif memiliki pengaruh positif terhadap sharing pengetahuan. 2) Apakah keterlibatan kerja memilki pengaruh positif terhadap komitmen afektif auditor dan
sharing pengetahuan, dan 3) Apakah
persepsi saling ketergantungan tugas berpengaruh positif terhadap komitmen
afektif auditor dan sharing pengetahuan.
Telaah Pustaka dan Pengembangan Hipotesis
Teori Integrasi Manajemen Pengetahuan sebagai model pencipta pengetahuan dikemukakan oleh Toumi (1999). Gagasan diciptakannya teori ini berdasarkan pada karya Nonaka (1995) yang memperkenalkan konsep “perusahaan pencipta pengetahuan”
(knowledge-creating-company) (Djajadiningrat, 2005).
Toumi dan Nonaka dalam Djajadiningrat (2005), menyatakan bahwa pengetahuan yang selalu diciptakan oleh individu-individu dapat dimunculkan dan diperluas oleh organisasi melalui interaksi sosial, yang pada saat interaksi tersebut pengetahuan yang tersirat (tacit knowledge) diubah menjadi pengetahuan yang tersurat (explicit knowledge).
Sharing Pengetahuan
Sharing pengetahuan adalah perilaku
penyebaran dan penerimaan pengetahuan yang dimiliki seseorang dengan anggota lain dalam suatu organisasi. Aktivitas ini merupakan proses orang-per-orang. Aktivitas ini juga merupakan tindakan sosial yang melibatkan perilaku kolektif pada suatu kelompok (Yu dan Khalifa, 2007) yang tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya, hanya dapat didorong atau difasilitasi (Gibbert dan Krause, 2002 dalam Bock, 2005). Sharing pengetahuan, mengacu pada penelitian van den Hoof dan van Weenen (2004) terbagi menjadi dua
bentuk, yaitu donating
(mengkomunikasikan modal intelektual yang dimiliki kepada rekannya) dan
collecting knowledge (berkonsultasi kepada
rekan/ kolega supaya mereka bersedia membagikan kekayaan intelektualnya).
Sharing pengetahuan dianggap sebagai
suatu dimensi dan fokus pada hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi
sharing pengetahuan tersebut.
Sharing pengetahuan sendiri adalah
suatu proses yang tidak hanya mengacu pada informasi, namun juga kepercayaan, pengalaman, dan praktik kontekstual yang terkadang sulit untuk disampaikan (Davenport and Prusak, 1998). Hal inilah yang seringkali tidak diperhatikan oleh sebagian besar proses sharing pengetahuan dalam suatu organisasi dan menganggap bahwa sharing lebih sebagai suatu proses transfer pengetahuan, ketika satu unit (misalnya individu, kelompok, departemen, divisi) terpengaruh oleh pengalaman unit lainnya (Argote dkk, 2000).
Komitmen Afektif
Komitmen afektif berhubungan positif dengan kemauan individu untuk melakukan upaya yang lebih baik bagi pekerjaannya, sehingga komitmen tersebut mendorong individu untuk mau memberikan atau menerima pengetahuan kepada/ dari pihak lain. Kemauan untuk menyebarkan atau membagikan modal intelektual yang dimiliki oleh seseorang juga berhubungan dengan adanya kepercayaan antara pemberi dan penerima
pengetahuan, pengalaman, dan praktik kontekstual yang sulit untuk disampaikan (Davenport dan Prusak, 1998). Kepercayaan dan kemauan berbagi tersebut dimungkinkan jika seseorang memiliki hubungan emosi dengan obyek tertentu, diantaranya adalah dengan organisasi tempat bekerjanya, profesinya dan tim kerjanya. Hasil penelitian Jarvenpaa dan Staples (2001) menyatakan, bahwa meskipun pengetahuan adalah hasil kerja keras seorang pekerja, ketika pekerja tersebut bersedia untuk membagikan pengetahuannya, maka hal itu dilakukan bukan untuk kepentingan mereka sendiri, melainkan untuk kemanfaatan yang lebih besar bagi organisasi. Komitmen afektif pada auditor menunjukkan adanya ikatan emosional individu terhadap organisasinya karena auditor tersebut memiliki identifikasi terhadap tujuan organisasi dan memiliki keinginan untuk membantu pencapaian tujuan tersebut (Ketchand dan Strawser, 2001).
Terkait dengan sifat sharing
pengetahuan yang tidak dapat dipaksakan (Gibbert dan Krause, 2002 dalam Bock dkk 2005), maka uraian tersebut di atas menjelaskan mengapa komitmen afektif yang berhubungan dengan adanya keterikatan emosi, adalah dimensi komitmen yang paling sesuai untuk menjelaskan hubungan antara komitmen individu dengan kemauan untuk melakukan
sharing pengetahuan. Keterlibatan Kerja
Keterlibatan kerja (job involvement)
didefinisikan sebagai tingkat identifikasi psikologis individual terhadap tugas dan pentingnya pekerjaannya dalam gambaran dirinya secara total (Lodhal and Kejner, 1965). Keterlibatan kerja juga dianggap sebagai komponen penting dari lingkungan kerja dan terkait dengan tingkat penyerapan harian dari pengalaman individu dalam aktivitas kerjanya (Lawler & Hall, 1970). Robbins (2006) menyatakan bahwa keterlibatan kerja merupakan proses partisipatif yang menggunakan seluruh kapasitas karyawan, dan dirancang untuk mendorong peningkatan komitmen bagi suksesnya suatu organisasi. Logika yang mendasari adalah: dengan melibatkan para karyawan dalam keputusan-keputusan yang menyangkut kepentingan mereka dan dengan meningkatkan otonomi serta kendali mengenai kehidupan kerja mereka, karyawan dapat menjadi lebih produktif dan lebih puas dengan pekerjaannya.
Persepsi Saling Ketergantungan Tugas
Saling ketergantungan tugas adalah komponen yang sangat proksimal bagi lingkungan kerja dan dialami oleh pekerja secara langsung serta dilaksanakan dengan cara yang penuh arti (Bishop dan Scott, 2000). Saling ketergantungan tugas juga dapat diartikan sebagai suatu fitur struktural dari suatu hubungan antar anggota kelompok yang berasal dari tugas-tugas dalam kelompok. Saling ketergantungan tugas ini menjadi lebih nampak ketika anggota kelompok harus berbagi material, informasi dan saran dalam rangka mencapai hasil atau kinerja
(van der Vegt dkk,1999 dalam Taggar dan Haines, 2006).
Tingkat saling ketergantungan tugas ditentukan oleh bagaimana cara orang-orang bekerja sama, dan mungkin juga ditentukan sebagian oleh teknologi dan sebagian oleh bagaimana cara pekerjaan dikelola (van Vijfeijken dkk, 2002). Saling ketergantungan tugas ini merupakan karakteristik yang penting bagi banyak pekerjaan, termasuk didalamnya tim kerja audit dan tim kerja lainnya yang diarahakan sendiri (Bishop dan Scott, 2000). Meskipun saling ketergantungan tugas ini merupakan karakteristik yang penting bagi banyak pekerjaan, namun beda individu bisa jadi memiliki persepsi yang berbeda mengenai tingkatan ketergantungan tugas. Dalam pelaksanaan tugas pemeriksaan, auditor selalu melakukannya dalam tim kerja. Pada lingkungan kerja profesi yang hampir sama, tingginya persepsi saling ketergantungan tugas akan menyebabkan rekan satu kelompok lebih peduli akan pentingnya kontribusi mereka terhadap profesinya sebagaimana terhadap organisasi dan kelompok. Kepedulian yang meningkat ini semestinya meningkatkan pula ego pekerja untuk terlibat dan kemudian meningkatkan pengaruh positifnya terhadap perusahaan dan tim kerjanya.
Penelitian Terdahulu
Naquin dan Holton (2002) meneliti tingkatan dimensi dari lima faktor model personalitas, afektivitas dan komitmen kerja (termasuk di dalamnya etika kerja,
keterlibatan kerja, komitmen afektif dan komitmen continuance) yang diduga mempengaruhi motivasi untuk meningkatkan hasil kerja melalui proses belajar. Penelitian Naquin dan Holton (2002) tersebut menemukan bahwa pengaruh disposisional merupakan anteseden yang signifikan dari motivasi untuk meningkatkan kinerja melalui proses belajar.
Penelitian yang menghubungkan antara lingkungan kerja dan komitmen telah dilakukan oleh Leong dkk (2003). Penelitian tersebut bertujuan untuk menginvestigasi hubungan antara komitmen organisasi dan komitmen profesi auditor eksternal di Kantor Akuntan Publik. Penelitian tersebut juga bertujuan untuk menguji hubungan antara keterlibatan kerja dan komitmen profesi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komitmen profesi pada auditor di Kantor Akuntan Publik dipengaruhi oleh komitmen organisasi dan keterlibatan kerja.
Cabrera dan Cabrera (2005) menyatakan dalam penelitiannya bahwa untuk membantu terjadinya penyebaran pengetahuan dengan baik dalam suatu organisasi diperlukan beberapa hal, diantaranya adalah adanya tingkat interaksi yang lebih tinggi, yang berarti memerlukan adanya ketergantungan antara anggota suatu kelompok, partisipasi anggota, budaya perusahaan yang mendukung, komunikasi yang baik, egaliterisme dan keadilan dalam perusahaan, serta yang terakhir adalah adanya persepsi dukungan dari organisasi tempat bekerja. Karyawan
yang bekerja pada organisasi yang memiliki tipe lingkungan tersebut diatas dan mengakui serta menilai kontribusi pekerjanya, semestinya memiliki kemauan secara alami untuk berbagi pengetahuan dan bekerja sama (Cabrera dan Cabrera, 2005).
Penelitian yang menghubungkan antara komitmen, keterlibatan kerja dan persepsi saling ketergantungan tugas terhadap sharing pengetahuan telah dilakukan oleh Zheng dan Bao (2006). Penelitian tersebut memberikan bukti empiris adanya hubungan positif yang signifikan antara lingkungan kerja (dalam penelitian ini keterlibatan kerja dan persepsi saling ketergantungan tugas), komitmen afektif profesi, komitmen afektif kelompok dan sharing pengetahuan dalam Kantor Akuntan Publik di Cina. Hasil lainnya, hubungan antara persepsi saling ketergantungan tugas dan komitmen afektif profesi, komitmen afektif profesi dan
sharing pengetahuan ditemukan tidak
signifikan. Keterlibatan kerja yang diduga memiliki hubungan positif, ditemukan memiliki hubungan negatif dengan sharing pengetahuan. Hal ini bertolak belakang dengan prediksi peneliti sebelumnya, bahwa komitmen dan lingkungan kerja secara keseluruhan memiliki hubungan yang positif dan signifikan terhadap proses
sharing pengetahuan.
Hislop (2003) dalam Zheng dan Bao (2006) menunjukkan bahwa ada hubungan yang menarik antara tingkat komitmen yang dirasakan karyawan terhadap organisasinya dengan sikap serta tingkah
laku karyawan dalam berinisiatif untuk melakukan sharing pengetahuan, sehingga tingkat komitmen karyawan bertentangan dengan keseganan karyawan untuk melakukan sharing pengetahuan. Komitmen karyawan yang diharapkan dapat mendukung sharing pengetahuan ini tidak dapat muncul begitu saja. Sebelum muncul komitmen yang kuat, ditemukan ada beberapa hal yang mempengaruhi munculnya komitmen tersebut, misalnya pengalaman kerja, keterlibatan kerja, saling ketergantungan dalam pelaksanaan tugas, masa kerja dan sebagainya (Allen dan Meyer,1990; Naquin dan Holton, 2002; Leong dkk, 2003; Clayton dkk, 2007).
Faktor lainnya yang memiliki hubungan dengan komitmen yaitu tingkat saling ketergantungan tugas, yang menunjukkan bagaimana cara orang-orang bekerja sama, yang mungkin juga ditentukan sebagian oleh teknologi dan sebagian oleh bagaimana cara pekerjaan dikelola (van Vijfeijken dkk, 2002).
Diantara berbagai faktor yang diduga memiliki hubungan positif dengan komitmen tersebut, hanya keterlibatan kerja dan persepsi saling ketergantungan tugas yang akan diteliti lebih lanjut dan diduga memiliki hubungan positif secara langsung dengan sharing pengetahuan. Berdasarkan uraian di atas, maka hubungan antar variabel yang akan dianalisis pada penelitian ini digambarkan dalam kerangka berikut ini:
Dari uraian diatas maka dibentuk hipotesis-hipotesis berikut:
H1a : terdapat hubungan positif antara komitmen afektif organisasi auditor terhadap peningkatan perilaku
sharing pengetahuan
H1b : terdapat hubungan positif antara komitmen afektif tim kerja auditor terhadap peningkatan perilaku
sharing pengetahuan
H1c : terdapat hubungan positif antara komitmen afektif pada profesi akuntan publik auditor terhadap peningkatan perilaku sharing
pengetahuan
H2a : terdapat hubungan positif antara keterlibatan kerja dengan komitmen afektif organisasi auditor
H2c : terdapat hubungan positif antara keterlibatan kerja dengan komitmen afektif profesi auditor
H2b : terdapat hubungan positif antara keterlibatan kerja dengan komitmen afektif tim auditor
H2d : terdapat hubungan positif antara tingkat keterlibatan kerja auditor dan peningkatan sharing pengetahuan H3a : Terdapat hubungan positif
antara persepsi saling ketergantungan tugas dengan komitmen afektif organisasional.
H3b : Terdapat hubungan positif antara persepsi saling ketergantungan tugas dengan komitmen afektif tim kerja. H3c : Terdapat hubungan positif
antara persepsi saling ketergantungan
Gambar 1
Kerangka Pemikiran Teoritis
Sumber: Data diolah 2010
H2d H1a H2b H2c H3a H1b H3b H1c H3c H3d H2a keterlibatan kerja persepsi saling ketergantungan tugas Sharing Pengetahuan Komitmen Afektif Professional Komitmen Afektif Kelompok Komitmen afektif organisasi
tugas dengan komitmen afektif profesi.
H3d : terdapat hubungan positif antara tingkat persepsi saling ketergantungan tugas auditor dan peningkatan perilaku sharing
pengetahuan
Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang diduga mempengaruhi komitmen afektif dan pengaruh komitmen afektif terhadap aktivitas sharing pengetahuan auditor pada Kantor Akuntan Publik di Indonesia. Penelitian dilakukan secara cross-sectional. Pada bagian pembahasan, diuji
hipotesis yang telah ditetapkan untuk membuktikan hubungan-hubungan yang ada antar variabel.
Penentuan Sampel Penelitian
Populasi penelitian ini adalah akuntan profesional yang bekerja sebagai auditor eksternal di Kantor Akuntan Publik di Indonesia. Unit analisis dalam penelitian ini meliputi auditor yang bekerja pada KAP di Indonesia dengan masa kerja di atas satu tahun. Pengambilan sampel dilakukan secara random sampling pada KAP-KAP yang ada di Indonesia. Metode penentuan sampel ini digunakan untuk memenuhi