• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI PENGELOLAAN MODAL INTELEKTUAL (INTELLECTUAL CAPITAL) UNTUK MENCIPTAKAN DAYA SAING UMKM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IMPLEMENTASI PENGELOLAAN MODAL INTELEKTUAL (INTELLECTUAL CAPITAL) UNTUK MENCIPTAKAN DAYA SAING UMKM"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

Abstrak

Era globalisasi ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat. Kemampuan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi salah satu faktor daya saing yang sangat penting dewasa ini. Menyadari akan persaingan global yang semakin ketat dan berat, maka perlu perubahan paradigma dari semula mengandalkan pada resources-based competitiveness menjadi knowledge-based competitiveness yang dapat berwujud berupa teknik, metode, cara produksi, serta peralatan atau mesin yang dipergunakan dalam suatu proses produksi. Modal Intelektual kini disadari merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kemajuan sebuah organisasi. Model yang dikembangkan Stewart (1997) membagi dan mengklasifikasikan Modal Intelektual menjadi tiga bentuk dasar yaitu pertama adalah modal manusia, kedua; modal struktural dan ketiga; modal pelanggan. Keterampilan dan pengalaman UMKM sangat penting dalam pengelolaan / penciptaan pengetahuan, dimana pengetahuan merupakan sebagai unsur intellectual capital.

Abstract

The globalization era is characterized by the development of science and technology rapidly. The ability of Micro, Small and Medium Enterprises (SMEs) in the field of science and technology to be one of the factors of competitiveness are very important nowadays. Recognizing the increasingly fierce global competition and heavy , it is necessary to change the paradigm of relying on previously - based resources into a knowledge-based competitiveness competitiveness which can be either in the form of techniques, methods, means of production, as well as equipment or machinery used in the production process. Intellectual capital is now recognized factors that affect the progress of an organization . The model developed by Stewart (1997 ) Intellectual Capital divides and classifies into three basic forms: first human capital, second; structural capital and third; customer capital. Skills and experience are very important to management of SMEs / creation of knowledge, where knowledge is as an element of intellectual capital. Kata kunci: Modal Intelektual, Modal Manusia, Modal Struktural, Modal Pelanggan dan UMKM Keywords: Intellectual Capital, Human Capital, Structural Capital, Customer Capital and SMEs

UMKM

Zuliyati

Fakultas Ekonomi, Universitas Muria Kudus Email: [email protected]

(2)

Pendahuluan

Modal intelektual kini banyak dibicarakan dan dianggap penting oleh banyak praktisi. Modal Intelektual atau

intellectual capital kini disadari merupakan

faktor yang berpengaruh terhadap kemajuan sebuah organisasi. Demikian pula pada perusahaan Mikro, Kecil dan Menengah modal intelektual dianggap sangat penting bagi pengembangan usaha dan pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan. Menurut Nonaka dan Takeuchi (1995), alasan fundamental mengapa perusahaan di Jepang menjadi sukses karena keterampilan dan pengalaman mereka terdapat pengelolaan/ penciptaan pengetahuan pada organisasi dimana pengetahuan merupakan modal intelektual yang dipunyai oleh manusia sebagai unsur human capital.

Era globalisasi juga ditandai dengan perkembangan iptek yang sangat pesat. Kemampuan suatu negara di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi salah satu faktor daya saing yang sangat penting dewasa ini. Menyadari akan persaingan global yang semakin ketat dan berat, maka perlu perubahan paradigma dari semula mengandalkan pada resources-based competitiveness menjadi knowledge-based competitiveness dapat berwujud berupa

teknik, metode, cara produksi, serta peralatan atau mesin yang dipergunakan dalam suatu proses produksi.

Dalam UMKM pada umumnya keterampilan yang dimiliki pengusaha dan karyawannya terutama dalam membuat berbagai macam produk yang dapat dikatakan baik. Namun bicara soal produk keterampilan yang dimiliki secara

tradisional (pendidikan informal) belum cukup, maka diperlukan keahlian khusus, yang memenuhi standar, termasuk pendidikan yang dilandasi oleh pendidikan formal.

Sektor industri di Kabupaten Kudus berkontribusi terhadap PDRB sangat dominan dibandingkan dengan sektor ekonomi lainnya. Berdasarkan data BPS pada tahun 2007 jumlah industri sebanyak 10.448 unit usaha, jumlah nilai investasi sebesar ± Rp. 6, 657 trilyun, mampu menyerap tenaga kerja sekitar 213.411 orang, persebaran merata hampir di setiap kecamatan. Kelompok industri besar dan menengah sebanyak 88 unit usaha dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 142.569 orang, sedangkan jumlah industri kecil sebanyak 10.360 unit usaha mampu menyerap tenaga kerja tidak kurang dari 70.842 orang. Pada tahun 2008 telah memberikan warna yang sangat dominan bagi pertumbuhan dan perkembangan perekonomian di Kabupaten Kudus secara umum, indikasi mengenai hal tersebut ditunjukkan oleh besarnya kontribusi sub sektor industri terhadap PDRB Kabupaten Kudus tahun 2008 mencapai 63%. Sampai akhir tahun 2008 perusahaan Industri Kabupaten Kudus berdasarkan hasil pendataan sebanyak 10.542 unit usaha dengan jumlah nilai investasi Rp 4.055.700.000.000,- dengan menyerap tenaga kerja 213.850 orang,dari jumlah tersebut kontribusi yang dominan adalah sektor industri. Oleh karena itu pemberdayaan industri diarahkan pada industri kecil agar produk yang dihasilkan UMKM mempunyai daya saing baik antar sesama UMKM maupun dengan produk

(3)

dari luar negeri sehubungan dengan diberlakukannya AFTA ( ASEAN Free

Trade Area) dan ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) yang

diberlakukan pada 2015, begitu pula akan semakin meningkatkan persaingan diantara para pengusaha maupun tenaga kerja.

Modal Intelektual UMKM dapat dibentuk dengan cepat karena salah satu penyebabnya adalah faktor pengetahuan. Pengetahuan organisasi yang baik dapat mendorong terwujudnya percepatan pencapaian kinerja yang diharapkan. Salah satu penyebab kinerja UMKM di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan kinerja UMKM di Negara maju, adalah masih rendahnya pengembangan atau penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan modal intelektual yang dimiliki oleh UMKM di Indonesia. Padahal, di era perdagangan bebas dan globalisasi perekonomian dunia, ilmu pengetahuan dan teknologi bersama dengan SDM merupakan dua faktor dominan dalam menentukan tingkat daya saing dari suatu produk atau perusahaan. UMKM yang bisa bertahan baik di pasar domestik dan global adalah UMKM yang efisien dan menghasilkan produk-produk berkualitas tinggi. SDM dan Iptek merupakan dua komponen yang tidak bisa dipisahkan, dimana SDM sangat dibutuhkan untuk pengembangan pengetahuan atau penyerapan teknologi artinya agar UMKM bisa mengembangkan teknologi sendiri dalam hal harus ada keterampilan dan kemampuan tenaga kerja dan pengusaha UKM untuk menyerap pengetahuan dan teknologi.

Permasalahan dalam penerapan/

pengembangan iptek di UMKM di Kabupaten Kudus pada Kelompok Pengrajin Pigura dari hasil survey di lapangan adalah sebagai berikut :

1. Kesadaran dan kemauan pengusaha untuk menerapkan iptek tepat guna di perusahaan masih sangat terbatas. Ketidakberanian Kelompok Pengrajin Pigura untuk mencoba inovasi yang berkaitan dengan teknologi menjadikan lemahnya kualitas sumber daya manusia. Sebagian besar usaha kecil tumbuh secara konvensional dan merupakan usaha keluarga yang turun temurun. Keterbatasan kualitas SDM pada UMKM baik dari segi pendidikan formal maupun pengetahuan dan keterampilannya sangat berpengaruh terhadap manajemen pengelolaan usahanya, sehingga usaha tersebut sulit untuk berkembang dengan optimal. UMKM juga relatif sulit untuk mengadopsi perkembangan teknologi baru untuk meningkatkan daya saing dari produk yang dihasilkannya.

2. Keterbatasan modal untuk melakukan perbaikan atau peningkatan teknologi, pembiayaan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk pembelian mesin-mesin baru untuk UMKM masih terbatas, misalnya sistem leasing dan sewa beli mesin/peralatan di satu pihak masih terbatas. Kurangnya informasi yang berhubungan dengan kemajuan iptek, mengakibatkan sarana dan prasarana yang mereka miliki terbatas dan juga masih secara

(4)

manual/konvensional. Dengan adanya keterbatasan sarana dan prasarana menyebabkan produksi

kurang maksimal karena

membutuhkan banyak waktu dan tenaga yang berakibat kurang mendukung kemajuan usahanya. 3. Kurangnya pembimbingan dan

pengelolaan dari instansi yang terkait seperti dari dinas perindustrian dan UMKM sehingga pembimbingan kepada UMKM kurang optimal, meskipun sebenarnya produk UMKM khususnya pengrajin pigura berupa berbagai macam jenis pigura kaligrafi dan lukisan sudah sampai ke luar pulau Jawa seperti Aceh, Riau, Makasar dan bahkan sampai ke Malaysia, tentunya mempunyai banyak peluang untuk menyerap tenaga kerja akan membentuk jaringan dengan UMKM yang lain seperti pengrajin lukisan, kaligrafi, pengrajin cinderamata dan lainnya.

Pembahasan

Intellectual Capital

Banyak penelitian mencoba untuk menjelaskan atau mengklasifikasikan apa yang dimaksud dengan konsep Modal Intelektual. Model yang pertama dikembangkan oleh Petrash (1996) dalam Bambang Setiarso di sebut Value

Platform. Model yang dikembangkan

tersebut biasa disebut dengan model klasifikasi. Petrash mencoba menjelaskan bahwa modal intelektual adalah modal manusia, modal organisasional dan modal pelanggan. Model yang dikembangkan oleh Lowendahl (1997) dalam Hong (2007)

mengembangkan model yang sebelumnya dengan beberapa modifikasi dan membagi kategori kompetensi dan hubungan menjadi dua sub kelompok yaitu individual dan kolektif. Model yang dikembangkan Stewart (1997) membagi dan

mengelompokkan modal

intelektual menjadi tiga bentuk dasar yaitu, pertama; adalah modal manusia, kedua; modal struktural dan ketiga; modal pelanggan. Hong (2007) mengungkapkan

The Danish Confederation of Trade Unions

(1999) yang melakukan pengelompokkan Modal Intelektual menjadi Sumber daya Orang, Sistem dan Pasar.

Modal Intelektual secara ringkas digambarkan berikut ini:

a. Human Capital

Roos dkk (1997) berpendapat bahwa karyawan/anggota menghasilkan

Intellectual Capital melalui kompetensi

mereka, sikap mereka di perusahaan dan kelincahan dan kreatifitas intelektual mereka. Kompetensi meliputi kemampuan keterampilan dan tingkat pendidikan, sementara sikap meliputi komponen perilaku keseharian dan kerja karyawan. Kelincahan intelektual membuatan seseorang untuk mengubah praktik dan memikirkan solusi inovatif untuk masalah. Model Skandia juga memberikan penekanan kepada pentingnya “human

capital” dalam konteks organisasi atau

komunitas, istilah ini bisa dipakai dalam pengertiannya sebagai “intellectual

capital‖yang mengacu pada pengetahuan

dan kemampuan mengetahui (knowing

capability) dari sebuah kolektifitas sosial. Intellectual capital ini paralel dengan

(5)

pengetahuan, keterampilan dan kapabilitas yang memungkinkan seseorang bertindak dengan cara baru. Dengan demikian,

Intellectual capital merupakan sebuah

sumber daya penting dan sebuah kapabilitas untuk bertindak berdasarkan pengetahuan. Abdolmohammadi (2005) menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara pengungkapan modal intelektual dengan market capitalization pada 53 perusahaan Fortune

500. Penelitian tersebut memberikan pemahaman kepada kita bahwa modal intelektual merupakan faktor penting bagi perkembangan organisasi maupun perkembangan usaha.

Drucker (1993) menyatakan bahwa sumber daya organisasi samping faktor-faktor tradisional produksi - tenaga kerja, modal, dan tanah. Namun sekarang sumber daya modal intelektual juga merupakan sumberdaya yang penting, bahkan tanpa modal intelektual, sumberdaya yang ada akan lebih bermakna. Perubahan ekonomi yang berkarakteristik ekonomi berbasis ilmu pengetahuan dengan penerapan manajemen pengetahuan (knowledge management) mendorong meningkatnya Modal Intelektual dan akan mendorong sebuah organisasi mengubah strateginya dari bisnis yang berdasar pada tenaga kerja (laborbased business)

beralih menuju knowledge based business (bisnis berdasarkan pengetahuan), sehingga karakteristik utama perusahaannya menjadi perusahaan berbasis ilmu pengetahuan.

Dalam konteks tulisan ini kemampuan Pengrajin Pigura dalam penguasaan Ilmu Pengetahuan dan teknologi merupakan Human Capital yang

dimiliki sebagai untuk modal intelektual. Kemampuan, ketrampilan dan kapabilitas yang dimiliki oleh UMKM menjadikan UMKM melakukan kegiatan produksi dengan melakukan inovasi baik dalam proses produksi maupun hasil produksi sehingga efektif dan efisien.

b. Struktural Modal

Modal struktural mencakup semua non-manusia gudang pengetahuan dalam organisasi yang meliputi database, bagan organisasi, proses manual, strategi, rutinitas dan segala hal yang nilainya bagi perusahaan lebih besar dari nilai materialnya. Menurut Bontis (1998), apabila suatu organisasi memiliki sistem miskin dan prosedur dimana untuk melacak tindakannya, modal intelektual secara keseluruhan tidak akan mencapai potensi sepenuhnya. Organisasi dengan modal struktural yang kuat akan memiliki budaya yang mendukung yang memungkinkan individu untuk mencoba hal baru, belajar, dan gagal. Modal struktural adalah link penting yang memungkinkan modal intelektual untuk diukur pada tingkat analisis organisasi

Structural capital didefinisikan sebagai pengetahuan yang akan tetap berada dalam perusahaan (Starovic dan Marr, 2004 dalam Astuti, 2005). Beberapa diantara structural capital dilindungi hukum dan menjadi intellectual property

right, yang secara legal dimiliki oleh

perusahaan (Starovic dan Marr, 2004 dalam Astuti, 2005).

Berkaitan dengan hal tersebut,

structural capital memiliki dua tujuan yang

harus dicapai. Pertama, mengkodifikasi pengetahuan yang dapat ditransfer. Hal ini

(6)

di lakukan agar sistemnya tidak hilang. Kedua, menghubungkan para karyawan dengan data, ahli dan keahlian (Sugeng, 2000). Termasuk structural capital adalah membangun sistem seperti database yang memungkinkan orang-orang dapat saling berhubungan dan belajar satu sama lain, sehingga menumbuhkan sinergi karena adanya kemudahan berbagi pengetahuan dan bekerja sama antar individu dalam organisasi dan semua hal selain manusia yang berasal dari pengetahuan yang berada di dalam suatu organisasi termasuk struktur organisasi, petunjuk proses, strategi, rutinitas, software, hardware dan semua hal yang nilainya terhadap perusahaan lebih tinggi dari pada nilai materinya.

c. Modal Pelanggan

Tema utama dari modal pelanggan adalah pengetahuan tertanam dalam saluran pemasaran dan hubungan pelanggan bahwa organisasi berkembang melalui perjalanan melakukan bisnis. Hubert Saint Onge-mendefinisikan yang lebih baru telah memperluas kategori untuk mencakup modal relasional yang berlaku meliputi pengetahuan tertanam dalam semua hubungan organisasi berkembang baik itu dari pelanggan, kompetitor, pemasok, asosiasi perdagangan atau dari pemerintah (Bontis, 1998). Salah satu manifestasi dari modal relasional yang dapat dimanfaatkan dari pelanggan sering disebut “orientasi pasar”.

Dalam konteks ini pengelolaan modal pelanggan pada UMKM pengrajin pigura adalah terciptanya mata rantai yang kuat antara UMKM pengrajin pigura dengan agen yang ada di luar pulau Jawa yang nantinya akan mendistribusikan

produk pigura ke pelanggan baik melalui sistem grosir/partai maupun sistem eceran.

Implementasi Pengelolaan Intellectual Capital dalam UMKM

UMKM perlu menggunakan strategi pengelolaan pengetahuan untuk meningkatkan daya saing dengan Implementasi pengelolaan Intellectual Capital yang dilakukan dengan beberapa

metode sebagai berikut:

a. Meningkatkan Sumber Daya Manusia UMKM tentang pentingnya Ilmu pengetahuan dan teknologi.

Untuk meningkatkan pengetahuan dapat dilakukan dengan cara pelatihan serta Bintek (Bimbingan Teknologi ) melalui pelatihan yang berkaitan dengan pengenalan teknologi tepat guna dan berhasil guna. Meningkatkan kinerja perusahaan perlu dibentuk dan dibuat system berbasis pengetahuan (knowledge based systems), kinerja

intangible assets terus ditingkatkan

dan disosialisasikan secara periodik, dan adanya audit system knowledge –

performance.

b. Meningkatkan kualitas dan standar produk

Peranan dukungan teknologi untuk peningkatan kualitas dan produktivitas serta introduksi desain sangatlah penting. Guna dapat memanfaatkan peluang dan potensi pasar baik lokal, nasional dan pasar global, maka produk yang dihasilkan UMKM haruslah memenuhi kualitas dan standar yang sesuai dengan kesepakatan negara tujuan. Dalam

(7)

kerangka itu, maka UMKM harus mulai difasilitasi dengan kebutuhan kualitas dan standar produk yang dipersyaratkan.

c. Meningkatkan akses finansial

Permasalahan finansial dalam pengembangan bisnis UMKM sangatlah klasik. Selama ini, belum

banyak UMKM yang bisa

memanfaatkan skema pembiayaan yang diberikan oleh perbankan. Hasil survey Regional Development Institute (REDI, 2002) menyebutkan

bahwa ada 3 gap yang dihadapi berkaitan dengan akses finansial bagi UMKM, (1) aspek formalitas, karena banyak UMKM yang tidak memiliki legal status; (2) aspek skala usaha, dimana sering sekali skema kredit yang disiapkan perbankan tidak sejalan dengan skala usaha UKM; dan (3) aspek informasi, dimana perbankan tidak mengetahui UKM mana yang harus dibiayai, sementara itu UKM juga tidak tahu skema pembiayaan apa yang tersedia di perbankan. Oleh sebab itu, maka ketiga gap ini harus diatasi, diantaranya dengan peningkatan kemampuan bagi SDM yang dimiliki UKM, perbankan, serta pendamping UKM. Pada sisi lain, juga harus diberikan informasi yang luas tentang skema-skema pembiayaan yang dimiliki perbankan.

c. Meningkatkan peranan pemerintah terutama untuk mengantarkan mereka agar mampu bersaing dengan pelaku usaha lainnya. Beberapa upaya yang perlu dilakukan pemerintah untuk

memperkuat daya saing UMKM menghadapi pasar global adalah: (1) Memperkuat dan meningkatkan akses dan transfer teknologi bagi UMKM untuk pengembangan UMKM inovatif; Akses dan transfer teknologi untuk UMKM masih merupakan tantangan yang dihadapi di Indonesia. Peran inkubator, lembaga riset, dan kerjasama antara lembaga riset dan perguruan tinggi serta dunia usaha untuk alih teknologi perlu digalakkan. Kerjasama atau kemitraan antara perusahaan besar, baik dari dalam dan luar negeri dengan UMKM harus didorong untuk alih teknologi dari perusahaan besar kepada UKM. Praktek seperti ini telah banyak berjalan di beberapa Negara maju, seperti USA, Jerman, Inggris, Korea, Jepang dan Taiwan. Model-model pengembangan klaster juga harus dikembangkan, dikarenakan melalui model tersebut akan terjadi alih teknologi kepada dan antar UKM. (2) Memfasilitasi UKM berkaitan akses informasi dan promosi di luar negeri; Bagian terpenting dari proses produksi adalah masalah pasar. Sebaik apapun kualitas produk yang dihasilkan, jika masyarakat atau pasar tidak mengetahuinya, maka produk tersebut akan sulit dipasarkan. Oleh sebab itu, maka pemberian informasi dan promosi produk-produk UMKM, khususnya untuk memperkenalkan di pasar ASEAN harus ditingkatkan. Promosi produk, bisa dilakukan melalui dunia maya/ internet atau mengikuti kegiatan-kegiatan pameran

(8)

di luar negeri.

Kesimpulan

UMKM dalam menghadapi era globalisasi yang ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat perlu dipersiapkan agar tidak kalah bersaing, baik dengan sesama UMKM tingkat regional, nasional maupun internasional. Kemampuan UMKM di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi salah satu faktor daya saing yang sangat penting dewasa ini. Menyadari akan persaingan global yang semakin ketat dan berat, maka perlu perubahan paradigma dari awalnya mengandalkan pada resources-based competitiveness menjadi knowledge-based competitiveness dapat berwujud berupa

teknik, metode, cara produksi, serta peralatan atau mesin yang dipergunakan dalam suatu proses produksi.

Pada umumnya keterampilan yang dimiliki pengusaha dan karyawan UMKM terutama dalam membuat berbagai macam produk yang dapat dikatakan baik. Tetapi bicara soal produk keterampilan yang dimiliki secara tradisional (pendidikan informal) tidak cukup, maka diperlukan keahlian khusus, memenuhi standar internasional, termasuk dilandasi oleh pendidikan formal. UMKM harus mempunyai daya saing karena mereka memahami bahwa Intellectual Capital merupakan knowledge yang merupakan sumber inovasi yang mendukung daya saing, dimana knowledge ini harus dikelola (managed), karena harus direncanakan dan dimplementasikan.

Saran

1. UMKM harus mampu meningkatkan kualitas SDM yang dimiliki agar bisa menginterpretasikan informasi tentang lingkungan untuk mendapatkan arti tentang apa yang terjadi dan apa yang dikerjakan perusahaan tersebut, sehingga

UMKM mampu menciptakan

knowledge baru dengan

mengkonversikan dan

mengkombinasikan kepakaran dan pengetahuan (know-how) dari anggotanya agar dapat belajar dan berinovasi baik melalui pendidikan non formal maupun formal.

2. Pengelolaan Modal intelektual ditingkatkan agar UMKM mampu memproses dan menganalisis informasi untuk memilih dan commit melakukan kegiatan yang sesuai dengan tindakannya. Model yang diharapkan akan terbentuk adalah integrasi dari sense making, knowledge creating dan decision making yang membentuk knowing organization. Knowing organization

ini sangat efektif karena secara terus menerus mengikuti perubahan lingkungan, dan menyegarkan aset dan kegiatan pemrosesan informasi untuk pengambilan keputusan, agar UMKM mempunyai kemampuan untuk berdaya saing baik dari sisi produk yang dihasilkan maupun sistem kerja yang dipergunakan.

(9)

Daftar Pustaka

Astuti, P.D. dan A. Sabeni, 2005,

Hubungan Intellectual Capital dan Business Performance, Proceeding

SNA VII, Solo, pp. 694-707.

Abdolmohammadi, M.J., 2005, “Intellectual capital disclosure and

market capitalization”, Journal of Intellectual Capital, Vol. 6 No. 3. pp.

397-416.

Bontis, N. 1998. “Intellectual capital: an

exploratory study that develops measures and models”. Management Decision, Vol. 36 No. 2, p. 63.

Hong, Pew Tan, David Plowman dan Phil Hancock. 2007. “Intellectual Capital

and Financial Returns of

Companies.” Journal of Intellectual Capital. Vol 8, No. 1, 76-95.

Lowendahl,B..1997, Strategic Managemement of Professional Service Firms, Handelshojskolens

Forlag, Copenhagen.

Nonaka, Ikujiro & Takeuchi, Hirotaka, 1995, The Knowledge-Creating Company : How Japanese Companies Create the Dynamics of Innovation. Oxford University Press,

Oxford.

Rooagonetts,J.,G.Roos,N.C.Dragonetti,and L.Edvinson.1007. Intellectual Capital: Navigating in The New Business Landscape. Macmillan Business, Houndsmills.

Setiarso, Bambang, Jusni Djatin dan Nazir Harjanto, 2004, Strategi Peningkatan

Daya Saing Infrastruktur Iptek Rekayasa dan Produksi menghadapi persaingan Global: Knowledge Management pada Industri Makanan,

Riset Kompetitif Pengembangan Iptek, Sub Program “Otonomi Daerah, Konflik dan Daya Saing”, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 60 hal, Jakarta.

Setiarso, Bambang, 2005, Knowledge

Sharing in Indonesia Research Centre: models and mechanism.

Proceedings on the 9Th World Multi Conference on Systemics, Cybernetics and Informatics, USA: Orlando, Florida, July 10-13: pp.14. dapat dilihat di: http://www.iiisci.org/ sci2005

_______________., 2006, “Pengelolaan

Pengetahuan (Knowledge

Management) dan Modal Intelektual

(Intellectual Capital) Untuk Pemberdayaan UKM”, available online at: www.ilmukomputer.com diakses pada April 2007

Stewart, T.A. 1997. Intellectual Capital:

The Wealth of New Organisations,

Nicholas Brealey Publishing, London.

Sugeng, Imam. 2000. “Mengukur dan Mengelola Intellectual Capital.”

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia. Vol 15, No.2, 247-256.

Ulum, Ihyaul, 2009, Intellectual Capital:

Konsep dan Kajian Empiris, Graha

Ilmu, Yogyakarta.

Zuliyati, Lie Liana, 2012, Desain produk

Pigura Suara bagi Kelompok Pengrajin Pigura, Proceeding Kewirausahaan dan Industri Kreatif, ISBN : 978-979-3986-296.

(10)

Zuliyati, Ngurah Arya, 2011 “Intellectual

Capital dan Kinerja Keuangan”,

Di-namika Keuangan dan Perbankan,

ISSN 1979-4878,Vol 3 no 2 Hal 102-197.

(11)

Kata Kunci : Intensi Kewirausahaan, Demografi, Pengalaman Kerja Keyword : Entrepreneur Intention, demografy, work experience Abstrak

Dunia pendidikan telah dipertimbangkan sebagai salah satu faktor penting untuk menumbuhkembangkan hasrat, jiwa dan perilaku berwirausaha di kalangan generasi muda. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan intensi kewirausahaan mahasiswa berdasarkan gender, latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 64 orang mahasiswa pada PTS ―X‘ di Semarang. Pengambilan sampel didasarkan pada judgement atau purposive sampling, sampel dipilih dengan adanya kriteria tertentu yang digunakan oleh peneliti yaitu pernah mengikuti mata kuliah pengantar bisnis. Instrumen survey Entrepreneurial Attitudes Orientation (EAO) model yang dikembangkan oleh Robinson at al digunakan untuk mengukur sikap kewirausahaan. Model EAO menggunakan empat subskala sikap, dimana terdiri dari empat konstrak, yaitu: Prestasi bisnis, Inovasi bisnis, Penerimaan kontrol individu terhadap hasil bisnis, dan Penerimaan Penghargaan diri dalam bisnis. Hasil uji independen sampel t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan intensi kewirausahaan antara mahasiswa laki-laki dengan mahasiswa perempuan, terdapat perbedaan intensi kewirausahaan antara mahasiswa berlatarbelakang pendidikan SMU dengan mahasiswa berlatarbelakang pendidikan SMK, dan terdapat perbedaan intensi kewirausahaan antara mahasiswa yang punya pengalaman kerja dengan mahasiswa yang belum punya pengalaman kerja.

Abstract

The education has been considered as one of the important factors to grow and develop the passion, spirit and entrepreneurial behavior among the younger generation. This study aims to determine the differences in entrepreneurial intentions of students by gender, educational background and work experience. The sample in this research were 64 students on the PTS 'X' in Semarang. Sampling was based on a judgment or purposive sampling, the samples selected with the specific criteria used by researchers that had attended an introductory course of business. Entrepreneurial Attitudes Orientation (EAO) survey instrument model developed by Robinson at al used to measure entrepreneurial attitudes. EAO models using four subscales of attitude, which consists of four construct, they are : Business achievement, business innovation, perceived personal control of business outcome, and Perceived self esteem in business. The results of the independent test sample t-test showed that there were differences in entrepreneurial intentions among male students to female students, there were differences in entrepreneurial intentions among high school students with the educational background and students with vocational educational background, and there were differences in entrepreneurial intentions among students who never work experience with students who have experience work.

Widaryanti

STIE Pelita Nusantara Email : [email protected]

(12)

Pendahuluan

Pendidikan kewirausahaan selama ini telah dipertimbangkan sebagai salah satu faktor penting untuk menumbuhkan dan mengembangkan hasrat, jiwa dan perilaku berwirausaha di kalangan generasi muda (Kourilsky dan Walstad, 1998). Terkait

dengan pengaruh pendidikan

kewirausahaan tersebut, diperlukan adanya pemahaman tentang bagaimana mengembangkan dan mendorong lahirnya wirausaha-wirausaha muda yang potensial sementara mereka berada di bangku sekolah atau kuliah. Beberapa penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa keinginan berwirausaha para mahasiswa merupakan sumber bagi lahirnya wirausaha-wirausaha muda masa depan (Gorman et al., 1997; Kourilsky dan Walstad, 1998). Sikap, perilaku dan pengetahuan mahasiswa tentang kewirausahaan akan membentuk kecenderungan mereka untuk membuka usaha-usaha baru di masa mendatang.

Penelitian tentang intensi kewirausahaan berfokus pada karakteristik pribadi (McClelland, 1961; Wortman, 1987). Penelitian lain tentang proses kewirausahaan termasuk didalamnya penelitian peran perilaku, faktor-faktor situasional (Gartner, 1985) dan variabel demografik (Davidson, 1995) terhadap intensi kewirausahaan. Secara garis besar penelitian tentang intensi kewirausahaan dilakukan dengan melihat tiga hal yaitu: karakteristik kepribadian, karakteristik demografis dan karakteristik lingkungan. Beberapa peneliti terdahulu membuktikan bahwa faktor kepribadian seperti kebutuhan akan prestasi (McClelland, 1961; Sengupta dan Debnath,1994) dan efikasi diri (Gilles

dan Rea, 1999; Indarti, 2004) merupakan prediktor signifikan intensi kewirausahaan. Faktor demografi responden seperti umur, jenis kelamin, latarbelakang pendidikan dan pengalaman bekerja seseorang diperhitungkan sebagai penentu bagi intensi kewirausahaan. Sinha (1996) menemukan bahwa latar belakang pendidikan seseorang menentukan tingkat intensi kewirausahaan seseorang dan kesuksesan suatu bisnis yang dijalankan. Kristiansen (2001;2002a) menyebut bahwa faktor lingkungan seperti hubungan sosial, infrastruktur fisik dan institusional serta faktor budaya dapat mempengaruhi intensi kewirausahaan.Variabel demografik meningkatkan kemampuan prediksi intensi kewirausahaan mendatang (Gasse, 1985; Hatten dan Ruhland, 1995).

Penelitian Robinson (1991) menemukan bahwa sikap dan keahlian kewirausahaan dapat dikembangkan dan ditemukan kembali melalui program pendidikan kewirausahaan. Pendidikan dan keahlian yang berbeda dari setiap orang dapat mempengaruhi aktivitas kewirausahaan seseorang lebih sukses daripada orang lain (Farmer, 1997; Gatewood et al., 2002; Carter et al., 2003). Mahasiswa bisnis sekarang merupakan pemimpin bisnis di masa depan, sehingga penting adanya pendidikan berkelanjutan untuk menemukan profil kewirausahaan mereka (Hatten dan Ruhland, 1995; Hisrich, 2000; Steyaert, 2004). Penelitian ini bertujuan untuk melihat sikap kewirausahaan dari mahasiswa ekonomi di PT “X” di Semarang, dan melihat dampak variabel demografik dan pengalaman bisnis terakhir mahasiswa terhadap sikap

(13)

kewirausahaan.

Penelitian ini menggunakan instrumen yang dikembangkan oleh Robinson et al (1991) yaitu model Entrepreneurial Attitudes Orientation (EAO) untuk memprediksi intensi kewirausahaan. Pengukuran sikap individu model EAO mempunyai empat konstrak, yaitu :

1. Prestasi bisnis (Achievement in

business)

2. Inovasi bisnis (Innovation in business)

3. Penerimaan control individu terhadap hasil bisnis (Perceived

personal control of business outcome)

4. Penerimaan Penghargaan diri dalam bisnis (Perceived self esteem in

business)

Kajian Pustaka dan Pengembangan Hipotesis

Teori Atribusi dan Konsistensi Sikap

(Attitude Consistency and Attribution

Theory)

Sikap pertama kali atau attitude pertama kali digunakan oleh Herbert Spenser di tahun 1962 yang berarti status mental seseorang (Azwar, 2005). Attitude is

a learned predisposition to be have an a consistency favorable or unfavorable way with respect to to a given object

(Schiffman, 2000). Severin dan Tankard (2001) berpendapat bahwa sikap pada dasarnya adalah tendensi manusia terhadap sesuatu.

Sikap (attitude) adalah keyakinan yang menempati posisi periferal/tepi atau paling rendah sentralitasnya dalam BST.

Sikap merupakan suatu organisasi dari keyakinan-keyakinan sehari-hari tentang obyek atau situasi. Jumlah sikap yang dimiliki individu dapat berhubungan dengan banyak obyek atau situasi yang berbeda-beda. Karenanya seseorang dapat memiliki sikap yang ribuan jumlahnya. Mengingat sikap adalah keyakinan yang periferal, maka perubahan sikap hanya memiliki pengaruh yang terbatas pada tingkah laku.

Fritz Heider (1946, 1958), seorang psikolog bangsa Jerman mengatakan bahwa kita cenderung mengorganisasikan sikap kita, sehingga tidak menimbulkan konflik. Contohnya, jika kita setuju pada hak seseorang untuk melakukan aborsi, seperti juga orang-orang lain, maka sikap kita tersebut konsisten atau seimbang (balance). Namun jika kita setuju aborsi tetapi ternyata teman-teman dekat kita dan juga orang-orang di sekeliling kita tidak setuju pada aborsi maka kita dalam kondisi tidak seimbang (imbalance). Akibatnya kita merasa tertekan (stress), kurang nyaman, dan kemudian kita akan mencoba mengubah sikap kita, menyesuaikan dengan orang-orang di sekitar kita, misalnya dengan bersikap bahwa kita sekarang tidak sepenuhnya setuju pada aborsi. Melalui pengubahan sikap tersebut, kita menjadi lebih nyaman. Intinya sikap kita senantiasa kita sesuaikan dengan sikap orang lain agar terjadi keseimbangan karena dalam situasi itu, kita menjadi lebih nyaman.

Heider juga menyatakan bahwa kita mengorganisir pikiran-pikiran kita dalam kerangka "sebab dan akibat". Agar supaya bisa meneruskan kegiatan kita dan

(14)

mencocokannya dengan orang-orang di sekitar kita, kita mentafsirkan informasi untuk memutuskan penyebab perilaku kita dan orang lain. Heider memperkenalkan konsep "causal attribution" - proses penjelasan tentang penyebab suatu perilaku. Mengapa Tono pindah ke kota lain ?, Mengapa Ari keluar dari sekolah ?. Kita bisa menjelaskan perilaku sosial dari Tono dan Ari jika kita mengetahui penyebabnya. Dalam kehidupan sehari-hari, kita bedakan dua jenis penyebab, yaitu internal dan eksternal. Penyebab internal (internal causality) merupakan atribut yang melekat pada sifat dan kualitas pribadi atau personal, dan penyebab external (external

causality) terdapat dalam lingkungan atau

situasi.

Entrepreneurial Attitudes Orientation

(EAO) Model

Untuk mengetahui sikap

kewirausahaan digunakan instrumen survey EAO model yang dikembangkan oleh Robinson at al (1991). Model EAO menggunakan empat subskala sikap, dimana terdiri dari empat konstrak, yaitu :

1. Prestasi bisnis (Achievement in

business)

2. Inovasi bisnis (Innovation in business)

3. Penerimaan control individu terhadap hasil bisnis (Perceived

personal control of business outcome)

4. Penerimaan Penghargaan diri dalam bisnis (Perceived self esteem in

business)

Model EAO menggunakan sepuluh point skala likert, dimana 1 menunjukkan

sangat tidak setuju dan 10 menunjukkan sangat setuju. Robinson et al (1991) menemukan bahwa empat subskala dapat secara akurat memprediksi klasifikasi kewirausahaan sebesar 77 persen.

Faktor Demografis: Gender, Pendidikan dan Pengalaman Kerja

Penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan bahwa faktor-faktor demografis seperti jender, umur, pendidikan dan pengalaman bekerja seseorang berpengaruh terhadap keinginannya untuk menjadi seorang wirausaha (Mazzarol et al., 1999; Tkachev dan Kolvereid, 1999).

Gender

Pengaruh gender atau jenis kelamin terhadap intensi seseorang menjadi wirausaha telah banyak diteliti (Mazzarol et

al., 1999; Kolvereid, 1996; Matthews dan

Moser, 1996; Schiller dan Crewson, 1997). Seperti yang sudah diduga, bahwa mahasiswa laki-laki memiliki intensi yang lebih kuat dibandingkan mahasiswa perempuan. Secara umum, sektor wiraswasta adalah sektor yang didominasi oleh kaum laki-laki. Mazzarol et al., (1999) membuktikan bahwa perempuan cenderung kurang menyukai untuk membuka usaha baru dibandingkan kaum laki-laki. Temuan serupa juga disampaikan oleh Kolvereid (1996), laki-laki terbukti mempunyai intensi kewirausahaan yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Penelitian yang dilakukan oleh Matthews dan Moser (1996) pada lulusan master di Amerika dengan menggunakan studi longitudinal menemukan bahwa minat laki-laki untuk

(15)

berwirausaha konsisten dibandingkan minat perempuan yang berubah menurut waktu. Schiller dan Crawson (1997) menemukan adanya perbedaan yang signifikan dalam hal kesuksesan usaha dan kesuksesan dalam berwirausaha antara perempuan dan laki-laki.

Berdasarkan uraian tersebut, hipotesis yang akan dijawab dalam penelitian ini dirumuskan:

Hipotesis 1 :Mahasiswa bisnis laki-laki

mempunyai sikap

kewirausahaan lebih tinggi dibandingkan mahasiswa bisnis perempuan

Latar Belakang Pendidikan

Latar belakang pendidikan seseorang terutama yang terkait dengan bidang usaha, seperti bisnis dan manajemen atau ekonomi dipercaya akan mempengaruhi keinginan dan minatnya untuk memulai usaha baru di masa mendatang. Sebuah studi dari India membuktikan bahwa latar belakang pendidikan menjadi salah satu penentu penting intensi kewirausahaan dan kesuksesan usaha yang dijalankan (Sinha, 1996). Penelitian lain, Lee (1997) yang mengkaji perempuan wirausaha

menemukan bahwa perempuan

berpendidikan universitas mempunyai kebutuhan akan prestasi yang tinggi untuk menjadi wirausaha.

Hipotesis 2: Mahasiswa yang berlatar belakang pendidikan ekonomi dan bisnis memiliki sikap kewirausahaan yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang berlatar belakang pendidikan non-ekonomi dan

bisnis.

Pengalaman Kerja

Kolvereid (1996) menemukan bahwa seseorang yang memiliki pengalaman bekerja mempunyai intensi kewirausahaan yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak pernah bekerja sebelumnya. Sebaliknya, secara lebih spesifik, penelitian yang dilakukan oleh Mazzarol et al., (1999) membuktikan bahwa seseorang yang pernah bekerja di sektor pemerintahan cenderung kurang sukses untuk memulai usaha. Namun, Mazzarol et al., (1999) tidak menganalisis hubungan antara pengalaman kerja di sektor swasta terhadap intensi kewirausahaan. Scott dan Twomey (1988) meneliti beberapa faktor seperti pengaruh orang tua dan pengalaman kerja yang akan mempengaruhi persepsi seseorang terhadap suatu usaha dan sikap orang tersebut terhadap keinginannya untuk menjadi karyawan atau wirausaha. Lebih lanjut, mereka menyebutkan bahwa jika kondisi lingkungan sosial seseorang pada saat dia berusia muda kondusif untuk kewirausahaan dan seseorang tersebut memiliki pengalaman yang positif terhadap sebuah usaha, maka dapat dipastikan orang tersebut mempunyai gambaran yang baik tentang kewirausahaan.

Dengan demikian, maka dapat dikemukakan hipotesis sebagai berikut:

Hipotesis 3 : Mahasiswa yang memiliki pengalaman kerja memiliki sikap kewirausahaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang belum pernah bekerja sebelumnya.

(16)

Metode Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa ekonomi PTS “X‟ Semarang. Pengambilan sampel didasarkan pada

judgement atau purposive sampling, sampel

dipilih dengan adanya beberapa kriteria tertentu yang digunakan oleh peneliti (Remenyi, 2000). Kriteria yang ditetapkan adalah sampel pernah mengikuti mata kuliah pengantar bisnis. Kuesioner penelitian didistribusikan secara langsung dengan tujuan untuk mendapatkan tingkat pengembalian yang tinggi. Pengumpulan data dilakukan di sekitar kampus, terutama di area publik seperti kantin, perpustakaan, dan ruang tunggu mahasiswa. Teknik ini digunakan agar peneliti dapat memperoleh responden dari latar belakang demografi yang berbeda-beda. Pengumpulan data dilakukan pada tahun 2013.

Penelitian ini menggunakan instrumen survey EAO model yang dikembangkan oleh Robinson at al (1991) untuk mengukur sikap kewirausahaan. Model EAO menggunakan empat subskala sikap, dimana terdiri dari empat konstrak, yaitu :

1. Prestasi bisnis (Achievement in

business)

2. Inovasi bisnis (Innovation in business)

3. Penerimaan control individu terhadap hasil bisnis (Perceived

personal control of business outcome)

4. Penerimaan Penghargaan diri dalam bisnis (Perceived self esteem in

business)

Model EAO menggunakan sepuluh point skala likert, dimana 1 menunjukkan sangat

tidak setuju dan 10 menunjukkan sangat setuju. Robinson et al (1991) menemukan bahwa empat subskala dapat secara akurat memprediksi klasifikasi kewirausahaan sebesar 77 persen. Untuk melengkapi model EAO, responden disediakan pertanyaan mengenai variabel demografik termasuk didalamnya latar belakang pendidikan (lulusan SMEA, STM atau SMA), gender, dan umur.

Untuk mengukur pengalaman bisnis, terdapat tiga pertanyaan yang harus dijawab :

1. Apakah anda pernah bekerja pada sebuah usaha kecil ?

2. Apakah keluarga anda pernah memiliki sebuah usaha kecil ?

3. Apakah anda pernah memiliki usaha kecil sendiri ?

Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik statistik yang berupa uji beda dua rata-rata (independent sample t-test). Tujuan dari uji hipotesis yang berupa uji beda dua rata-rata pada penelitian ini adalah untuk menentukan, menerima atau menolak hipotesis yang telah dibuat.

Hasil dan Pembahasan

Profil Responden

Responden dalam penelitian ini adalah mahasiswa yang telah mengikuti mata kuliah pengantar bisnis di PTS “X” Semarang. Jumlah kuesioner yang disebar sebanyak 75 buah, namun yang kembali sebesar 64 responden. Berikut statistik deskriptif dari 64 responden tersebut :

(17)

Tabel 1 Profil Responden

Sumber : Data primer yang diolah

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa responden yang berjenis kelamin wanita dan berpendidikan SMK sebanyak 32 orang, namun yang berpendidikan SMU sebanyak 14 orang. Responden yang berjenis kelamin laki-laki dan berpendidikan SMK sebanyak 8 orang, namun yang berpendidikan SMU sebanyak 10 orang.

Tabel 2 Profil Responden

Sumber: Data primer yang diolah

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa responden yang berjenis kelamin wanita dan pernah berpengalaman sebanyak 18 orang, namun yang tidak pernah berpengalaman sebanyak 28 orang. Responden yang berjenis kelamin laki-laki dan pernah berpengalaman sebanyak 6 orang, namun yang tidak pernah berpengalaman sebanyak 12 orang.

PENDIDIKAN SMK SMU Total Wanita 32 14 46 Laki-laki 8 10 18 Total 40 24 64 PENGALAMAN Pernah Tidak pernah Total Wanita 18 28 46 Laki-laki 6 12 18 Total 24 40 64 Tabel 3 Profil Responden

Sumber: Data primer yang diolah

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa responden yang berpendidikan SMK dan pernah berpengalaman sebanyak 16 orang, namun yang tidak pernah berpengalaman sebanyak 24 orang. Responden yang berpendidikan SMU dan pernah berpengalaman sebanyak 8 orang, namun yang tidak pernah berpengalaman sebanyak 16 orang.

Hasil Uji Reliabilitas

Suatu kuesioner dikatakan reliabel atau handal jika jawaban seseorang terhadap pertanyaan adalah konsisten atau stabil dari waktu ke waktu.

Tabel 5 Hasil uji Reliabilitas

konstrak

Sumber : Data primer yang diolah

Dari data diatas, hasil Cronbach

Alpha sebesar 0,634 diatas 0,60. Jadi dapat

disimpulkan bahwa reliabilitas dari konstrak atau variabel tinggi.

Hasil Uji Validitas

Uji validitas digunakan untuk mengukur sah atau valid tidaknya suatu

PENGALAMAN Pernah Tidak pernah Total SMK 16 24 40 SMU 8 16 24 Total 24 40 64 Reliability Statistics

Cronbach's Alpha N of Items

(18)

Tabel 6

Hasil uji Validitas konstrak

Sumber : Data primer yang diolah

Butir Rtabel Rhitung Ket Butir Rtabel Rhitung Ket Butir Rtabel Rhitung Ket

1 0,208 .287Valid 26 0,208 .234Valid 51 0,208 .547Valid

2 0,208 .249Valid 27 0,208 .364Valid 52 0,208 .255Valid

3 0,208 .296Valid 28 0,208 .253Valid 53 0,208 .259Valid

4 0,208 .278Valid 29 0,208 .272Valid 54 0,208 .296Valid

5 0,208 .224Valid 30 0,208 .221Valid 55 0,208 .229Valid

6 0,208 .355Valid 31 0,208 .423Valid 56 0,208 .434Valid

7 0,208 .272Valid 32 0,208 .254Valid 57 0,208 .352Valid

8 0,208 .282Valid 33 0,208 .244Valid 58 0,208 .502Valid

9 0,208 .424Valid 34 0,208 .224Valid 59 0,208 .379Valid

10 0,208 .275Valid 35 0,208 .244Valid 60 0,208 .595Valid

11 0,208 .231Valid 36 0,208 .275Valid 61 0,208 .330Valid

12 0,208 .355Valid 37 0,208 .441Valid 62 0,208 .397Valid

13 0,208 .234Valid 38 0,208 .320Valid 63 0,208 .365Valid

14 0,208 .301Valid 39 0,208 .346Valid 64 0,208 .386Valid

15 0,208 .253Valid 40 0,208 .216Valid 65 0,208 .469Valid

16 0,208 .400Valid 41 0,208 .326Valid 66 0,208 .297Valid

17 0,208 .459Valid 42 0,208 .222Valid 67 0,208 .406Valid

18 0,208 .459Valid 43 0,208 .500Valid 68 0,208 .258Valid

19 0,208 .273Valid 44 0,208 .370Valid 69 0,208 .424Valid

20 0,208 .323Valid 45 0,208 .217Valid 70 0,208 .416Valid

21 0,208 .274Valid 46 0,208 .464Valid 71 0,208 .379Valid

22 0,208

.381Valid 47 0,208 .304Valid 72 0,208 .366Valid

23 0,208 .338Valid 48 0,208 .205Valid 73 0,208 .263Valid

24 0,208 .227Valid 49 0,208 .428Valid 74 0,208 .243Valid

25 0,208 .366Valid 50 0,208 .228Valid 75 0,208 Valid

2. Penentuan nilai kritis.

Dalam penentuan ini, tingkat signifikasi () yang digunakan adalah 5 persen dengan nilai kritis diperoleh r tabel (64 ; 0,05) = 0,208.

3. Mencari r hitung.

Untuk r hitung masing-masing item dapat

dilihat pada kolom corrected item-total

correlation dari hasil perhitungan SPSS 16.0 for windows.

4. Kriteria pengujian.

Menerima H0 jika r hitung< r tabel.

Menolak H0 dan menerima H1 jika r hitung> r tabel.

Hasil pengujian validitas konstrak kuesioner yang valid dapat dilihat pada tabel 6 di bawah ini:

kuesioner. Suatu kuesioner dikatakan valid jika pertanyaan pada kuesioner mampu untuk mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh kuesioner tersebut. Jadi validitas ingin mengukur apakah pertanyaan dalam kuesioner yang sudah kita buat betul-betul dapat mengukur apa yang hendak kita ukur.

Uji validitas kuesioner dapat dilakukan dengan langkah-langkah pengujian sebagai berikut:

1. Perumusan hipotesis.

H0 = Skor butir berkorelasi positif

dengan skor faktor.

H1 = Skor butir tidak berkorelasi positif

(19)

Hasil Uji Beda

Tabel 7

Hasil Uji Independen Sample t-test Intensi Kewirausahaan berdasarkan Gender

Sumber : Data primer yang diolah

Output SPSS memberikan nilai t hitung sebesar 2,849 dengan probabilitas signifikansi 0,000. Jadi dapat disimpulkan bahwa rata-rata intense kewirausahaan berbeda secara signifikan antara mahasiswa yang berjenis kelamin wanita dan laki-laki. Berdasarkan nilai mean intense kewirausahaan wanita lebih tinggi dari laki-laki. Temuan ini memperkuat hasil penelitian Brush and Chaganti (1999) yang menunjukkan bahwa mahasiswa wanita memiliki sikap kewirausahaan yang lebih tinggi dari laki-laki, namun tidak mendukung penelitian Harris (2008) yang menyatakan bahwa mahasiswa laki-laki memiliki sikap kewirausahaan yang lebih tinggi dari wanita. Hal ini dikarenakan mahasiswa wanita lebih memiliki kemampuan inovasi dan mau mencoba hal baru terutama untuk bisnis retail dan sektor jasa (Bosma dan Harding, 2006).

Tabel 8

Hasil Uji Independen Sample t-test Intensi Kewirausahaan berdasarkan Pendidikan

Sumber : Data primer diolah

Output SPSS memberikan nilai t hitung sebesar 2,696 dengan probabilitas signifikansi 0,010. Jadi dapat disimpulkan bahwa rata-rata intense kewirausahaan berbeda secara signifikan antara mahasiswa yang berpendidikan SMK dan SMU. Berdasarkan nilai mean intense kewirausahaan mahasiswa yang berpendidikan SMK lebih tinggi dari mahasiswa yang berpendidikan SMU. Temuan ini memperkuat hasil penelitian Harris (2008) yang menunjukkan bahwa intensi kewirausahaan mahasiswa yang berlatar belakang bisnis lebih tinggi dari mahasiswa yang berlatar belakang non bisnis, namun temuan ini tidak mendukung penelitian Hatten and Ruhland (1995). Hal ini karena mahasiswa dari SMK dalam kurikulumnya terdapat mata pelajaran magang.

mean T df Sig. Gender ,2 849 26 0,000 Wanita 86,075 Laki-laki 73,525 Mean T df Sig. Pendidi kan 2,696 63 0,010 SMK 610,83 SMU 582,19

Pengalaman magang ini tidak hanya mengenalkan mahasiswa pada dunia kerja, namun juga melengkapi mahasiswa dengan pengalaman pengembangan suatu bisnis.

Tabel 9

Hasil Uji Independen Sample t-test Intensi Kewirausahaan berdasarkan

Pengalaman Sumber : Data primer yang diolah

Output SPSS memberikan nilai t hitung sebesar 2,373 dengan probabilitas signifikansi 0,000. Jadi dapat disimpulkan bahwa rata-rata intense kewirausahaan berbeda secara signifikan antara mahasiswa yang pernah punya pengalaman dan yang tidak pernah punya pengalaman. Berdasarkan nilai mean intense kewirausahaan mahasiswa yang pernah punya pengalaman lebih tinggi dari yang tidak pernah punya pengalaman. Temuan ini memperkuat hasil penelitian Harris (2008) yang menunjukkan bahwa mahasiswa yang pernah punya pengalaman ikut bisnis berbeda intensi kewirausahaannya dengan mahasiswa yang tidak pernah punya pengalaman. Hal ini memperlihatkan bahwa mahasiswa yang pernah ikut suatu usaha, lebih tertarik sisi lain dari bisnis yaitu kepuasan memiliki bisnis sendiri karena dapat mempunyai kompensasi keuangan yang besar dan jadwal kerja yang bisa diatur sendiri.

Daftar Pustaka

Aldrich, H., dan C. Zimmer, 1986. „Entrepreneurship Through Social Network‟, in D. L. Sexton and R. W. Smilor (eds.) The Art and Science of Entrepreneurship, Cambridge: Ballinger Publishing.

Bandura, A., 1977. Social Learning Theory, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall.

Bandura, A., 1986. The Social Foundation of Tought and Action, Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.

Choo, S., dan M. Wong, 2006. “Entrepreneurial Intention: Triggers and Barriers to New Venture Creations in Singapore”. Singapore Management Review Vol. 28 No. 2, 47-64.

Cromie, S., 2000. “Assessing Entrepreneurial

Mean T df Sig. PENGA LAMAN 2,373 63 0 Pernah 617,78 Tidak pernah 572,75

(20)

No. 3, 283-304

Kristiansen, S, 2002b. “Competition and Knowledge in Javanese Rural Business‟. Singapore Journal of Tropical Geography Vol. 23 No. 1, 52-70.

Kristiansen, S., B. Furuholt, dan F. Wahid, 2003. “Internet Cafe Entrepreneurs: Pioneers in Information Dissemination in Indonesia”. The International Journal of Entrepreneurship and Innovation Vol. 4 No. 4, 251-263.

Krueger, N. F. dan A. L. Carsrud, 1993. “Entrepreneurial Intentions: Applying The Theory of Planned Behavior”. Entrepreneurship & Regional Development Vol. 5 No. 4, 315-330.

Lee, J., 1997. “The Motivation of Women Entrepreneurs in Singapore”. International Journal of Entrepreneurial Behaviour and Research Vol. 3 No. 2, 93-110.

Marsden, K., 1992. “African Entrepreneurs – Pioneer of Development”. Small Enterprise Development Vol. 3 No. 2, 15-25.

Mazzarol, T., T. Volery, N. Doss, dan V. Thein, 1999. “Factors Influencing Small Business Start-Ups”. International Journal of Entrepreneurial Behaviour and Research Vol. 5 No. 2, 48-63.

McClelland, D., 1961. The Achieving Society, Princeton, New Jersey: Nostrand.

McClelland, D., 1971. The Achievement Motive in Economic Growth, in: P. Kilby (ed.) Entrepreneurship and Economic Development, New York The Free Press Mathews, C. H. dan S. B. Moser, 1996. “A

longitudinal Investigation of The Impact of Family Background and Gender on Interest in Small Firm Ownership”. Journal of Small Business Management Vol, 34 No. 2, 29-43.

Mead, D. C. dan C. Liedholm, 1998. “The Dynamics of Micro and Small Enterprise in Developing Countries”. World Development Vol. 26 No. 1, 61-74.

Meier, R. dan M. Pilgrim, 1994. “Policy-Induced Constraints on Small Enterprise Development in Asian Developing Countries”. Small Enterprise Development Vol. 5 No. 2, 66-78.

Nunally, J. C., 1978. Psychometric Theory. New York: McGraw-Hill.

Remenyi, D., B. Williams, A. Money, dan E. Swartz, 2000. Doing Research in Business and Management: An Introduction to Process and Method. London: Sage Publications.

Reynolds, P. D., M. Hay, W. D. Bygrave, S. M. Camp, dan E. Aution, 2000. “Global Entrepreneurship Monitor: Executive Inclinations: Some Approaches and

Empirical Evidence”. European Journal of Work and Organizational Psychology Vol. 9 No1, 7-30.

Dalton, dan Holloway, 1989. “Preliminary Findings: Entrepreneur Study”. Working Paper, Brigham Young University.

Duh, M., 2003. “Family Enterprises as an Important Factor of The Economic Development: The Case of Slovenia”. Journal of Enterprising Culture Vol. 11 No 2, 111-130.

Global Entrepreneurship Monitor (GEM) Report, 2006. London Business School.

Giles, M., dan A. Rea, 1970. “Career Self-Efficacy: An Application of The Theory of Planned Behavior”. Journal of Occupational & Organizational Psychology Vol. 73 No. 3, 393-399.

Gorman, G., D. Hanlon, dan W. King, 1997. “Entrepreneurship Education: The Australian Perspective for The Nineties”. Journal of Small Business Education Vol. No. 9, 1-14.

Gujarati, D., 1995. Basic Econometrics, New York: McGraw-Hill.

Hacket, G. dan N. E. Betz, 1986. “Application of Self-Efficacy Theory to Understanding Career Choice Behavior”. Journal of Social Clinical and Phsycology Vol. 4 No 3, 279-289.

Helms, Marilyn M., 2003. “Japanese Managers: Their Candid Views on Entrepreneurship”. CR Vol. 13 No.1, 24-34.

Indarti, N., 2004. “Factors Affecting Entrepreneurial Intentions among Indonesian Students”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Vol. 19 No. 1, 57-70.

Katz, J., dan W. Gartner, 1988. “Properties of Emerging Organizations”. Academy of Management Review Vol. 13 No. 3, 429-441.

Kolvereid, L., 1996. “Prediction of Employment Status Choice Intentions”. Entrepreneurship Theory and Practice Vol. 21 No. 1, 47-57.

Kourilsky, M. L. dan W. B. Walstad, 1998. “Entrepreneurship and Female Youth: Knowledge, Attitude, Gender Differences, and Educational Practices”. Journal of Business Venturing Vol. 13 No. 1, 77-88. Kristiansen, S., 2001. “Promoting African Pioneers

in Business: What Makes a Context Conducive to Small-Scale Entrepreneurship?”. Journal of Entrepreneurship Vol. 10 No. 1, 43-69. Kristiansen, S, 2002a. “Individual Perception of

Business Contexts: The Case of Small-Scale Entrepreneurs in Tanzania”. Journal of Developmental Entrepreneurship Vol. 7

(21)

Report”. A Research Report from Babson College, Kauffman Center for Entrepreneurial Leadership, and London Business School.

Sabbarwal, 1994. “Determinants of Entrepreneurial Start-Ups: A Study of Industrial Units in India”. Journal of Entrepreneurship Vol. 3 No. 1, 69-80.

Scapinello, K. F., 1989. “Enhancing Differences in The Achievement Attributions of High and Low Motivation Groups”. Journal of Social Psychology Vol. 129 No. 3, 357-363.

Schiller, B.R., dan P. E. Crewson, 1997. “Entrepreneurial Origins: A Longitudinal Inquiry”. Economic Inquiry Vol. 35 No. 3, 523–531.

Scott, M. dan D. Twomey, 1988. “The Long-Term Supply of Entrepreneurs: Students` Career Aspirations in Relation to Entrepreneurship”. Journal of Small Business Management Vol. 26 No 4, 5-13. Sengupta, S. K. dan S. K. Debnath, 1994. “Need for

Achievement and Entrepreneurial Success: A Study of Entrepreneurs in Two Rural Industries in West Bengal”. The Journal of Entrepreneurship Vol. 3 No 2, 191-204. Sinha, T. N., 1996. “Human Factors in

Entrepreneurship Effectiveness”. Journal of Entrepreneurship Vol. 5 No. 1, 23-29. Singh, K.A., dan K. V. S. M. Krishna, 1994.

“Agricultural Entrepreneurship: The Concept and Evidence”. Journal of Entrepreneurship Vol. 3 No. 1, 97-111. Steel, D., 1994. “Changing The Institutional and

Policy Environment for Small Enterprise Development in Africa”. Small Enterprise Development Vol. 5 No. 2, 4-9.

Swierczek, F. W., dan T. T. Ha, 2003. “Entrepreneurial Orientation, Uncertainty Avoidance and Firm Performance: An Analysis of Thai and Vietnamese SMEs”.International Journal of Entrepreneurship and Innovation Vol. 4 No. 1, 46-58.

Tkachev, A., dan L. Kolvereid, 1999. “Self-Employment Intentions among Russian Students”. Entrepreneurship & Regional Development Vol. 11, No. 3, 269-280.

(22)

Kata Kunci: Faktor internal, faktor eksternal, penghentian premature prosedur audit Keywords: Internal factors, eksternal factors, premature sign-off audit procedures. Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh faktor internal dan eksternal auditor terhadap penghentian prematur atas prosedur audit. Faktor internal auditor yang diuji dalam penelitian ini adalah lokus kendali, self esteem, equity sensitivity, keahlian dan pengalaman auditor. Sedangkan faktor eksternal auditor yang diuji dalam penelitian ini adalah tekanan waktu, tekanan ketaatan, risiko deteksi, materialitas, serta prosedur review dan kontrol kualitas. Responden dalam penelitian ini adalah auditor yang bekerja pada Kantor Akuntan Publik (KAP) di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Data primer yang digunakan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner yang disampaikan langsung kepada responden. Penentuan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling, dimana dari 100 kuesioner yang disebarkan, hanya 85 kuesioner yang dapat dianalisis. Pengujian hipotesis dilakukan dengan Perfect Statistics Proffesionally Presented (PSPP). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perilaku penghentian prematur atas prosedur audit dipengaruhi oleh lokus kendali, keahlian auditor, pengalaman auditor, tekanan waktu, tekanan ketaatan, risiko deteksi, materialitas, serta prosedur review dan kontrol kualitas. Sedangkan self esteem dan equity sensitivity tidak berpengaruh terhadap penghentian prematur atas prosedur audit.

Abstract

The purpose of this study is to examine the influence of internal factors and external auditors to premature sign-off audit procedures. Auditor internal factors tested in this study is the locus of control, self esteem, equity sensitivity, audit skill, and audit experience. While external factors tested in this study were time pressure, obedience pressure, detection risk, materiality, and review procedures and quality control. Respondents in this research are the auditor who works at public accounting firm in Central Java and Yogyakarta. The primary data used in this study were collected through a questionnaire submitted directly to the respondents. Determination of the samples were done by purposive sampling method, where the 100 questionnaires distributed, only 85 questionnaires could be used for analysis. Hypothesis testing was performed using Perfect Statistics Professionally Presented (PSPP). The results of this study indicate that the behavior of premature sign-off audit procedures is affected by the locus of control, audit skill, audit experience, time pressure, obedience pressure, detection risk, materiality, and review procedures and quality control. Variables of self esteem and equity sensitivity did not have any significant impact to the behavior of premature sign-off audit procedures.

(STUDI EMPIRIS PADA KANTOR AKUNTAN PUBLIK DI JAWA

TENGAH DAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA)

Nita Andriyani Budiman

Universitas Muria Kudus Email : [email protected]

(23)

Pendahuluan

Bankir, analis laporan keuangan dan pemegang saham akan membuat keputusan mengenai suatu pinjaman dan investasi yang akan dilakukannya berdasarkan laporan keuangan. Oleh karena itu, laporan keuangan harus menyediakan informasi yang obyektif tentang kondisi keuangan sebuah perusahaan. Agar laporan keuangan teruji secara independen dan dapat diandalkan oleh para pengambil keputusan, laporan keuangan harus diaudit oleh akuntan publik.

Audit atas laporan keuangan merupakan bagian dari jasa penjaminan yang diberikan Kantor Akuntan Publik (KAP) kepada sebuah perusahaan. Jasa penjaminan ini memiliki nilai karena pemberi jaminan bersifat independen dan tidak bias dengan informasi yang diperiksanya. Perusahaan diwajibkan untuk meminta pendapat audit dari auditor terhadap laporan keuangan yang akan dipublikasikan kepada masyarakat luas. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk penjaminan atas kepercayaan publik kepada perusahaan. Dengan adanya pelaksanaan jasa penjaminan diharapkan auditor dapat meningkatkan kualitas informasi melalui peningkatan kepercayaan dalam hal keandalan dan relevansi informasi yang digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan.

Pelaksanaan audit yang baik harus berdasarkan pada prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum. Agar laporan audit yang dihasilkan dapat berkualitas dalam pengambilan keputusan, auditor harus benar-benar melaksanakan prosedur audit sesuai dengan ketentuan yang telah

ditetapkan dalam Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP). Akan tetapi, fenomena perilaku yang dapat mengurangi kualitas audit yang dilakukan oleh auditor pada saat melakukan audit semakin banyak terjadi (Alderman dan Deitrick, 1982; Margheim dan Pany, 1986; Raghunathan, 1991; Malone dan Roberts, 1996; Reckers

et al., 1997; Coram et al., 2000;

Heriningsih, 2001; Donnelly et al., 2003; Radtke dan Tervo, 2004; Soobaroyen dan Chengabroyan, 2006; Weningtyas dkk, 2006).

Pengurangan kualitas dalam audit diartikan oleh Coram et al. (2004) sebagai pengurangan mutu yang dilakukan dengan sengaja oleh auditor dalam suatu proses audit. Pengurangan mutu tersebut dapat dilakukan auditor melalui tindakan seperti auditor yang mengurangi jumlah sampel audit, melakukan review yang kurang mendalam terhadap dokumen klien, tidak memperluas pemeriksaan ketika terdapat

item yang kurang jelas, atau auditor

memberikan pendapat audit saat semua prosedur audit yang disyaratkan belum dilakukan secara lengkap.

Penelitian yang dilakukan oleh Malone dan Roberts (1996) dan Coram et

al. (2004) mengemukakan bahwa salah satu

bentuk perilaku auditor yang dapat mengurangi kualitas audit adalah penghentian prematur atas prosedur audit (premature sign-off audit procedures). Praktik penghentian prematur atas prosedur audit ini terjadi ketika auditor mendokumentasikan prosedur audit secara lengkap tanpa benar-benar melakukannya atau mengabaikan atau bahkan tidak melakukan beberapa prosedur audit yang

Gambar

Gambar 3  Pergerakan Kurs IDR/USD
Tabel 1 Definisi Operasional
Gambar 1  Model jalur

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini berarti bahwa 63,5% variabel yang berpengaruh terhadap penghentian prematur atas prosedur audit dapat dijelaskan oleh variabel tekanan waktu, tindakan supervisi,

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel tekanan waktu, risiko audit dan komitmen profesional berpengaruh signifikan terhadap penghentian prematur atas

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tekanan waktu berpengaruh terhadap penghentian prematur atas prosedur audit dan arahnya positif, locus of control eksternal

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel tekanan waktu, risiko audit dan komitmen profesional berpengaruh terhadap penghentian prematur atas prosedur audit,

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa tekanan waktu berpengaruh terhadap penghentian prematur prosedur audit, locus of control tidak berpengaruh terhadap

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tekanan waktu berpengaruh terhadap penghentian prematur atas prosedur audit dan arahnya positif, locus of control eksternal

Temuan penelitian ini menunjukan bahwa auditor yang menilai risiko deteksi audit tinggi maka probabilitas auditor untuk melakukan penghentian prematur prosedur audit rendah, selain

Secara rinci hasil penelitian mereka menunjukkan 31 persen dari auditor yang berpartisipasi meyakini bahwa penghentian prematur prosedur audit terjadi dalam praktik, dan