BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.3 Autis
2.3.1 Pengertian Autis
Pengertian autis telah banyak dikemukakan oleh beberapa ahli. Secara harfiah autis berasal dari kata autos yaitu diri dan isme yang berarti paham/aliran. Autis dari kata auto (sendiri), secara etimologi : anak autis adalah anak yang memiliki gangguaan perkembangan dalam dunianya sendiri.
Mujahidin (2012), menjelaskan autis merupakan gangguan perkembangan yang mempengaruhi proses akuasi keterampilan individu manusia dalam area interaksi sosial, komunikasi dan imajinasi.
Seperti kita ketahui banyak istilah yang muncul mengenai gangguan perkembangan, diantaranya adalah:
1. Autism (autisme) yaitu nama gangguan perkembangan komunikasi, sosial, perilaku pada anak.
2. Autist (autis) yaitu, anak yang mengalami ganguan autisme.
3. Autistic child (anak autistik) merupakan keadaan anak yang mengalami gangguan autis (Kanner & Asperger, 1943).
Pengertian autis dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder R-IV merupakan salah satu dari lima jenis gangguan dibawah payung PDD (Pervasive Development Disorder) di luar ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) dan ADD (Attention Deficit Disorder). Gangguan perkembangan perpasiv (PDD) adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan beberapa kelompok gangguan perkembangan di bawah (umbrella term) PDD, yaitu:
1. Autistic Disorder (Autism) : muncul sebelum usia 3 tahun dan ditunjukkan adanya hambatan dalam interaksi sosial, komunikasi dan kemampuan bermain secara imaginatif serta adanya perilaku stereotipe pada minat dan aktivitas. 2. Asperger’s Syndrome : hambatan perkembangan interaksi sosial dan adanya
minat dan aktivitas yang terbatas, secara umum tidak menunjukkan keterlambatan bahasa dan bicara, serta memiliki tingkat intelegensia rata-rata hingga di atas rata-rata.
3. Pervasive Developmental Disorder – Not Otherwise Specified (PDD-NOS) : merujuk pada istilah atypical autism, diagnosa PDD-NOS berlaku bila seorang anak tidak menunjukkan keseluruhan kriteria pada diagnosa tertentu (Autisme, Asperger atau Rett Syndrome).
4. Rett’s Syndrome : lebih sering terjadi pada anak perempuan dan jarang terjadi pada anak laki-laki. Sempat mengalami perkembangan yang normal kemudian terjadi kemunduran/kehilangan kemampuan yang dimilikinya, kehilangan kemampuan fungsional tangan yang digantikan dengan gerakan-gerakan tangan yang berulang-ulang pada rentang usia 1-4 tahun.
5. Childhood Disintegrative Disorder (CDD) : menunjukkan perkembangan yang normal selama 2 tahun pertama usia perkembangan kemudian tiba-tiba kehilangan kemampuan-kemampuan yang telah dicapai sebelumnya.
Dari uraian yang dipaparkan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa anak autis yaitu anak-anak yang mengalami kesulitan perkembangan otak yang kompleks yang mempengaruhi banyak fungsi-fungsi, seperti persepsi (perceiving), intending,, imajinasi (imagining), dan perasaan (feeling) yang terjadi sebelum usia tiga tahun
dengan dicirikan oleh adanya hambatan kualitatif dalam interaksi sosial komunikasi dan terobsesi pada satu kegiatan atau objek yang mana mereka memerlukan layanan pendidikan khusus untuk mengembangkan potensinya.
Leo Kanner (Handojo, 2003) autis merupakan suatu jenis gangguan perkembangan pada anak, mengalami kesendirian, kecenderungan menyendiri. Chaplin (2000) mengatakan anak autis memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. cara berpikir yang dikendalikan oleh kebutuhan personal atau diri sendiri. 2. menanggapi dunia berdasarkan penglihatan dan harapan sendiri.
3. Keyakinan ekstrim dengan pikiran dan fantasi sendiri. 2.3.2 Gejala Autis
Anak dengan autis dapat tampak normal di tahun pertama maupun tahun kedua dalam kehidupannya. Para orang tua seringkali menyadari adanya keterlambatan kemampuan berbahasa dan cara-cara tertentu yang berbeda ketika bermain serta berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak tersebut mungkin dapat menjadi sangat sensitif atau bahkan tidak responsif terhadap rangsangan-rangasangan dari kelima panca inderanya (pendengaran, sentuhan, penciuman, rasa dan penglihatan). Perilaku-perilaku repetitif (mengepak-kepakan tangan atau jari, menggoyang-goyangkan badan dan mengulang-ulang kata) juga dapat ditemukan. Perilaku dapat menjadi agresif (baik kepada diri sendiri maupun orang lain) atau malah sangat pasif. Besar kemungkinan, perilaku-perilaku terdahulu yang dianggap normal mungkin menjadi gejala-gejala tambahan. Selain bermain yang berulang-ulang, minat yang terbatas dan hambatan bersosialisasi, beberapa hal lain yang juga selalu melekat pada para penyandang autis adalah respon-respon yang tidak wajar terhadap informasi sensoris
yang mereka terima, misalnya suara-suara bising, cahaya, permukaan atau tekstur dari suatu bahan tertentu dan pilihan rasa tertentu pada makanan yang menjadi kesukaan mereka.
1. Gangguan Komunikasi a. Terlambat bicara
b. Meracau, bicara tidak jelas atau tidak dimengerti c. Tidak mengerti maksud pembicaraannya sendiri d. Meniru atau membeo dengan suara monoton e. Berbicara tetapi tidak untuk komunikasi
f. Tidak memahami pembicaraan orang lain dan tidak mampu berkomunikasi 2. Gangguan Interaksi Sosial
a. Tidak ada kontak mata
b. Tidak mempunyai rasa empati c. Tidak tertarik dengan orang lain 3. Gangguan Emosi
a. Anak biasa secara mendadak tertawa/menangis/marah tanpa sebab yang jelas b. Sulit mengendalikan emosi
c. Seringkali ada ketakutan yang tidak wajar 4. Gangguan Perilaku
a. Bersikap tidak acuh, tidak mau diatur dan asyik dengan dunianya sendiri b. Hyperactive sehingga selalu mondar-mandir, berlari-lari, lompat-lompat tak
namun ada juga yang hypoactive sehingga seringkali duduk bengong dan melamun atau terpukau benda tertentu
c. Perilaku yang kaku, berulang, monoton dan merasa terganggu terhadap perubahan
5. Gangguan Persepsi Sensoris
a. Gangguan persepsi taktil sehingga sebagian anak tidak merasakan rasa sakit berlebihan, sebagian merasa terganggu menggunakan pakaian berbahan kasar b. Gangguan persepsi pengecapan
c. Gangguan persepsi auditor 2.3.3 Penyebab Autis
a. Terjadinya kelainan struktur sel otak yang disebabkan virus rubella, toxoplasma, herpes, jamur, pendarahan, keracunan makanan.
b. Faktor genetik (ada gen tertentu yang mengakibatkan kerusakan pada sistem limbic).
c. Faktor sensory interpretation errors.
Sampai sekarang belum terdeteksi faktor yang menjadi penyebab tunggal timbulnya gangguan autis. Namun demikian ada beberapa faktor yang dimungkinkan dapat menjadi penyebab timbulnya autism, sebagai berikut :
1. Menurut Teori Psikososial
Beberapa ahli (Kanner dan Bruno Bettelhem) autis dianggap sebagai akibat hubungan yang dingin, tidak akrab antara orang tua (ibu) dan anak. Demikian juga dikatakan, orang tua/pengasuh yang emosional, kaku, obsesif, tidak hangat bahkan dingin dapat menyebabkan anak asuhnya menjadi autistik.
2. Teori Biologis
a. Faktor genetik, yaitu keluarga yang terdapat anak autistik memiliki resiko lebih tinggi dibanding populasi keluarga normal.
b. Pranatal, natal dan post natal, yaitu pendarahan pada kehamilan awal, obat-obatan, tangis bayi terlambat, gangguan pernapasan, anemia.
c. Neuro anatomi, yaitu gangguan atau disfungsi pada sel-sel otak selama dalam kandungan yang mungkin disebabkan terjadinya gangguan oksigenasi, pendarahan, atau infeksi.
d. Struktur dan biokimiawi, yaitu kelainan pada cerebellum dengan sel-sel purkinje yang jumlahnya terlalu sedikit, padahal sel-sel purkinje mempunyai kandungan serotinin yang tinggi. Demikian juga kemungkinan tingginya kandungan dapomin atau opioid dalam darah.
3. Keracunan logam berat misalnya terjadi pada anak yang tinggal dekat tambang batu bara, dll.
4. Gangguan pencernaan, pendengaran dan penglihatan. Menurut data yang ada 60 % anak autis mempunyai sistem pencernaan kurang sempurna. Dan kemungkinan timbulnya gejala autistik karena adanya gangguan dalam pendengaran dan penglihatan.
2.3.4 Hambatan-hambatan Anak Autis
Ada beberapa permasalahan yang dialami oleh anak autis yaitu : anak autis memiliki hambatan kualitatif dalam interakasi social, artinya bahwa anak auitistik memiliki hambatan dalam kualitas interaksi dengan individu di sekitar
lingkungannya, seperti sering terlihat menarik diri, acuh tak acuh, lebih senang bermain sendiri, menunjukkan perilaku yang tidak hangat, tidak ada kontak mata dengan orang lain, dan bagi mereka yang keterlekatannya dengan orang tua tinggi, anak akan cemas apabila ditinggalkan olh orang tuanya.
Sekitar 50 persen anak autis yang mengalami keterlambatan dalam berbicara dan berbahasa. Mereka mengalami kesulitan dalam memahami pembicaraan orang lain yang dilakukan pada mereka, kesulitan dalam memahami arti kata-kata dan apabila berbicara tidak pada konteks yang tepat. Sering mengulang kata-kata tanpa bermaksud untuk berkomunikasi, dan sering salah dalam menggunakan kata ganti orang, contohnya menggunakan kata saya untuk orang lain dan kata kamu untuk diri sendiri.
Mereka tidak mengkompensasikan ketidakmampuannya dalam berbicara dengan bahasa yang lain, sehingga apabila mereka menginginkan sesuatu tidak meminta dengan bahasa lisan atau menunjuk dengan tubuh, tetapi menarik tangan orang tuanya untuk mengambil objek yang diinginkannya. Mereka juga sukar mengatur volume suaranya, kurang dapat menggunakan bahasa tubuh untuk berkomunikasi seperti : menggeleng, mengangguk, melambaikan tangan, dan lain sebagainya. Anak autis memiliki minat yang terbatas, mereka cenderung menyenangi lingkungan yang rutin dan menolak perubahan lingkungan, minat mereka terbatas artinya apabila mereka menyukai suatu perbuatan maka akan terus – menerus mengulangi perbuatan itu. Anak autis juga menyenangi keteraturan yang berlebihan.
2.3.5 Macam-Macam Terapi Penunjang Bagi Anak Atis
Anak autis dapat dilatih melalui terapi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan anak antara lain:
1. Metode Lovas atau ABA
Metode Lovas atau ABA merupakan bentuk dari applied behaviourial analisys (ABA). Di mana dasar metode ini adalah dengan menggunakan pendekatan perilaku (behavioural) yang pada setiap tahap intervensi dini anak pada autis ditekankan pada kepatuhan, keterampilan dalam meniru dan membangun kontak mata.
2. Metode TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Communication Handicapped Children)
TEACCH dilakukan dan ditujukan untuk anak-anak autis secara terstruktur dan bersifat rutin dalam kehidupan sehari-hari anak. Inti dari program ini adalah agar anak-anak dapat bekerja dengan tujuan yang jelas dalam komunitasnya. Dengan cara membuat lingkungan teratur dan terstruktur, jadwal kerja yang jelas, membuat sistem kerja yang dibantu melalui instruksi-instruksi berbentuk gambar atau simbol.
3. Terapi Okupasi
Terapi okupasi berfokus unuk membentuk kemampuan hidup sehari-hari. Penekanan terapi ini adalah pada sensomotorik dan proses neurologi dengan cara memanipulasi, memfasilitasi lingkungan, sehingga tercapai peningkatan, perbaikan dan pemeliharaan kemampuan anak. Metode pendekatan terapi okupasi ini menggunakan beberapa kerangka acuan yang terstandarisasi oleh WFOT (World Federation of Occupational Therapy), meliputi:
a. Kerangka Acuan Psikososial: 1. Behavior/perilaku
2. Object relation 3. Cognitive behavior
b. Kerangka Acuan Sensorimotorik-Multisensoris: 1. NDT (Neuro Development treatment)
2. Sensori integrasi (Sensory Treatment) 3. Movement therapy
Terapi tersebut sangat dibutuhkan seorang anak autis untuk dapat berinteraksi secara aktif dengan lingkungannya seperti di sekolah, di rumah maupun dengan masyarakat.
5. Terapi PECS (Picture Exchange Communicaton System)
PECS dirancang untuk mengajarkan anak autis dapat mengembalikan fungsi komunikasinya dengan fokus awal pada spontanitas. PECS hanya menggunakan simbol gambar sebagai modalitas.
6. Terapi Wicara
Terapi wicara dapat dilakukan, seperti bertepuk tangan dengan ritme yang berbeda-beda, mengimitasi bunyi vocal, kata dan kalimat, belajar mengenal kata benda dan sifat, merespon bunyi-bunyi dari lingkungan sekitar dan belajar membedakannya, mengembangkan kemampuan organ artikulasi, belajar berbagai ekspresi yang mewakili perasaan (sedih, senang, cemas, sakit, dan marah). Berlatih mengangguk untuk mengatakan “ya”, menggeleng untuk “tidak”, dan lain-lain.
7. Terapi Diet atau Makanan
Melalui makanan, orangtua dapat melakukan terapi bagi anak-anak dengan gejala autis. Makanan yang disajikan tentu terdiri atas bahan-bahan yang bebas dari zat-zat pemicu autisme. Terapi diet dapat dilakukan dengan terapi biomedical yaitu berupa pengaturan makanan karena anak dengan autisme umumnya alergi terhadap makanan. 8. Terapi Medikamentosa
Pemberian obat-obatan atau vitamin sesuai dengan pengawasan dokter yang berwenang.
2.3.6 Penanganan/Penatalaksanaan Terpadu
Pada anak dengan gejala autistik, penanganan harus dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh dan sedini mungkin. Sehingga selain penanganan dari luar seperti terapi perilaku, sensori atau okupasi juga dilakukan penanganan dari dalam dengan pemeriksaan metabolisme yang mungkin menjadi faktor pencetus gejala autistik melalui serangkaian pemeriksaan dan terapi biomedis.