• Tidak ada hasil yang ditemukan

ayat (1) huruf b Perki No 1 Tahun 2010 tentang SLIP

(1) Setiap Badan Publik wajib menyediakan Informasi Publik setiap saat yang sekurang- kurangnya terdiri atas:

b. informasi tentang peraturan, keputusan dan/atau atau kebijakan Badan Publik yang sekurang-kurangnya terdiri atas:

1. dokumen pendukung seperti naskah akademis, kajian atau pertimbangan yang mendasari terbitnya peraturan, keputusan atau kebijakan tersebut.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka data Hasil Identifikasi dan Penelitian Tanah Terlantar sebagaimana dimohonkan oleh Pemohon kepada Termohon sudah seharusnya, sebagaimana diamamanatkan UU KIP dan Perki tentang SLIP, menjadi informasi yang dapat diakses setiap saat oleh masyarakat.

Data hasil Identifikasi dan Penelitian Tanah Terlantar, tidak lain merupakan dokumen yang menjadi dasar diterbitkannya Keputusan Kepala BPN tentang Penetapan Tanah Terlantar, sehingga dokumen tersebut harus dapat diakses oleh masyarakat, agar masyarakat dapat mengetahui, bahkan tidak menutup kemungkinan untuk berpartisipasi melakukan kontrol terhadap kegiatan penertiban tanah terlantar yang dilakukan BPN, in cassu Kanwil Provinsi Jawa Barat dan Kantor Pertanahan Kab. Ciamis. Hal tersebut merupakan tujuan daripada dibuatnya UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik sebagaimana termaktub dalam Pasal 3 UU a quo khususnya huruf a sampai dengan huruf d.

Pasal 3 UU KIP

“Undang-Undang ini bertujuan untuk:

a. Menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik;

b. Mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik;

c. Meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan Badan Publik yang baik;

d. Mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan.”

Sehubungan dengan penolakan permohonan informasi berupa Data Hasil Identifikasi dan Penilitian Tanah Terlantar oleh Termohon dengan alasan-alasan sebagaimana telah diuraikan pada paragraf [6.3], saya memiliki pertimbangan dan pendapat tersendiri terhadap dalil-dalil penolakan tersebut.

Alasan atau dalil Termohon menolak permohonan informasi Pemohon dan menyatakannya sebagai informasi yang dikecualikan berdasarkan Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 1997

(Pasal 192) dan Peraturan Kepala BPN No. 5 Tahun 2011 (Pasal 12), menurut saya tidak dapat diterima begitu saja sebagai hukum dalam perkara a quo. Sebab sekalipun peraturan- peraturan tersebut memuat larangan bagi BPN untuk mengeluarkan atau menerbitkan informasi a quo, tetapi perlu juga dipertimbangkan ketentuan UU KIP dan Perki No. 1 Tahun 2010 tentang SLIP sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Justru menurut penilaian saya informasi a quo harus tersedia setiap saat, yang berarti dapat diakses setiap saat oleh publik. Dengan memperhatikan uraian tersebut maka terdapat pertentangan antara peraturan yang didalilkan Termohon untuk mengecualikan informasi yang dimohonkan Pemohon dengan peraturan yang seharusnya menjadi dasar bagi informasi a quo untuk dapat diakses.

Sebagaimana diketahui bahwa di dalam hukum terdapat asas peraturan perundang-undangan yang berfungsi mengatasi atau memberi jalan keluar manakala teijadi pertentangan antara dua atau lebih peraturan. Asas-asas (hukum) peraturan perundang-undangan tersebut ialah:

a. Lex superior derogat legi inferior, artinya hukum atau peraturan yang lebih tinggi hierarkinya mengalahkan hukum atau peraturan yang lebih rendah. Asas ini diterapkan manakala terjadi pertentangan antara dua norma hukum yang berbeda herarkinya (tingkatannya).

b. Lex specialist derogat legi generali: artinya hukum atau peraturan yang lebih khusus mengesampingkan hukum atau peraturan yang lebih umum. Asas ini diterapkan dalam hal teijadi pertentangan antara dua norma hukum yang sama hierarkinya.

c. Lex posteriori derogat legi a priori: artinya hukum atau peraturan yang terbaru mengesampingkan hukum atau peraturan yang lama. Asas ini diterapkan dalam hal teijadi pertentangan antara dua norma hukum yang sama hierarkinya dan sama pula persoalan yang diaturnya (materi muatannya).

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapatlah asas hukum tersebut digunakan/diterapkan dalam perkara a quo untuk menentukan peraturan yang seharusnya diterapkan (toepassing) terhadap informasi a quo. Sehubungan dengan hal tersebut, maka asas lex superior derogat legi

inferior berlaku untuk mengatasi pertentangan antara dapat dibuka atau tidaknya informasi a quo berdasarkan Perka BPN No. 3 Tahun 1997 (Pasal 192) dan Perka BPN No. 5 tahun 2011

(Pasal 12) yang menegaskan bahwa informasi a quo tidak dapat dibuka (dikecualikan), dengan UU No. 14 Tahun 2008 (Pasal 11 ayat (1) huruf (b), yang kemudian dijabarkan lebih rinci dalam Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2010 tentang SLIP (Pasal 13 ayat (1)

huruf b) yang mengklasifikasikan informasi a quo ke dalam kategori/kelompok informasi tersedia setiap saat yang berarti dapat dibuka dan tidak dikecualikan.

Merujuk pada uraian-uraian tersebut, maka berdasarkan asas lex superior derogat legi

inferior, hukum yang lebih tinggi khierarkinya haruslah mengalahkan hukum yang lebih

rendah. Dalam konteks perkara a quo, larangan dibukanya informasi sebagaimana yang didalilkan Termohon didasarkan pada Peraturan Kepala BPN, sebaliknya, keharusan untuk menyediakan informasi a quo setiap saat, didasarkan pada UU Nomor 14 Tahun 2008. Maka peraturan yang manakah yang lebih tinggi hierarkinya?

UU Nomor 14 Tahun 2008 atau Peraturan Kepala BPN ?

Merujuk Pasal 7 dan Pasal 8 (terkait jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan), maka berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan, jelaslah bahwa kedudukan undang-undang, in casu UU No. 14 Tahun 2008 lebih tinggi daripada Peraturan Kepala BPN, in casu Perka BPN No. 3 Tahun 1997 dan Perka BPN No. 5 Tahun 2011.

Kedudukan undang-undang menurut Pasal 7 ayat (1) berada dibawah Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 dan Ketetapan MPR. Sedangkan Peraturan Kepala BPN, merupakan peraturan dari suatu lembaga pemerintah non kementerian (LPNK) yang berkedudukan dan berada dibawah tanggung jawab Presiden.

Secara normatif menurut Pasal 8 UU Nomor 12 Tahun 2011, Perka BPN hanya diakui keberadaannya sebagai peraturan yang mempunyai kekuatan mengikat tanpa ditentukan kedudukannya (hierarki) dalam jenjang hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1). Namun demikian secara teoritis dan praktis, oleh karena kedudukan BPN berada dibawah Presiden dan peraturan terendah yang dibuat oleh Presiden adalah Peraturan Presiden, maka kedudukan Perka BPN dalam hierarki peraturan perundang- undangan berada dibawah Peraturan Presiden.

Berdasarkan uraian pertimbangan yang diuraikan diatas, maka saya berpendapat bahwa alasan pengecualian yang didalilkan Termohon dengan didasarkan pada Perka BPN No. 3 Tahun 1997 (Pasal 192) dan Perka BPN No. 5 Tahun 2011 tidak dapat diterima dan tidak relevan, karena menurut ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf b UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang dijabarkan lebih rinci dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b Perki Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik, informasi a

quo yaitu Data Hasil Identifikasi dan Penelitian Tanah Terlantar, seharusnya merupakan

informasi yang tersedia setiap saat dan oleh karenanya dapat diakses oleh Pemohon.

[6.7] Menimbang bahwa alasan pengecualian informasi a quo, selain berdasarkan Perka BPN No. 3 Tahun 1997 dan Perka BPN No. 5 Tahun 2011, didasarkan juga pada Pasal 6 ayat (3) huruf c UU No. 14 Tahun 2008, yakni mengenai pengecualian terhadap informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi.

[6.8] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pada paragraf [6.6] diatas maka saya mempunyai pertimbangan sebagai berikut:

Bahwa dalil yang digunakan Termohon untuk mengecualikan informasi yang dimohonkan Pemohon adalah juga berdasarkan Pasal 6 ayat (3) huruf c UU No. 14 Tahun 2008 (yang dijabarkan lebih rinci pada Pasal 17 huruf g dan huruf h UU a quo).

Dalil tersebut menurut pertimbangan saya, tidaklah relevan dan tidak tepat untuk mendasarkan alasan dalam mengecualikan informasi a quo berdasarkan Pasal 6 ayat (3) huruf c UU No. 14 Tahun 2008, karena terhadap informasi a quo, tidak terdapat kaitan langsung antara data yang terurai di dalamnya, dengan hak-hak privat (privasi) seseorang sebagaimana dimaksud Pasal 17 huruf g dan huruf h.

Demikian juga di dalam rangkaian persidangan Termohon tidak menunjukan dan tidak mempergunakan hak serta kesempatannya untuk membuktikan dalilnya tersebut, yaitu membuktikan adanya relasi antara hak-hak pribadi di dalam data Hasil Identifikasi dan Penelitian Tanah Terlantar sebagaimana diminta Pemohon.

Sebagaimana asas yang lazim digunakan dalam beracara di persidangan bahwa “Affirmcmti

incumbit probato ” artinya, barangsiapa mendalilkan sesuatu maka haruslah membuktikannya. Dalam perkara a quo, Termohon tidak menyampaikan dan tidak dapat membuktikan dalilnya, sehingga tidak dapat meyakinkan Majelis atas dalil yang dipergunakan tersebut.

Oleh sebab itu, saya berpendapat bahwa dalil Termohon untuk mengecualikan informasi a

quo yang didasarkan pada Pasal 6 ayat (3) huruf c UU No. 14 Tahun 2008 tidak relevan dan

[6.9] Menimbang bahwa sesuai fakta persidangan sebagaimana dimaksud paragraf [3.43] dan paragraf [3.44], diketahui bahwa informasi yang dimohon dan menjadi inti permohonan Pemohon adalah Data Nominatif Penggarap Lahan eks HGU dan berdasarkan hasil Pemeriksaan Setempat yang dilakukan oleh Majelis di Kantor Termohon (Kantor Pertanahan Kab. Ciamis), pada tanggal 2 Oktober 2013, diperoleh fakta hukum bahwa Dokumen Hasil Identifikasi dan Penelitian Tanah Terlantar yang telah dibuat oleh Termohon berisi/terlampir juga data nominatif penggarap lahan eks HGU sebagaimana dimohonkan oleh Pemohon. Dengan demikian data yang dimohonkan tersebut benar-benar ada, atau dengan kata lain diproduksi, dihasilkan, dikelola dan telah dikirimkan oleh Termohon sebagai badan publik berkaitan dengan kegiatan penyelenggara dan penyelenggaraan negara;

[6.10] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pada paragraf [6.9], maka saya mempunyai pertimbangan sebagai berikut:

bahwa ketentuan peraturan perundan g- undangan yang mengatur mengenai tanah terlantar, memang tidak mengatur dan memerintahkan Termohon untuk menyusun data nominatif penggarap lahan eks HGU pada saat dilakukannya penertiban tanah terlantar, dalam hal ini identifikasi dan penelitian tanah terlantar. Namun demikian, berdasarkan Pendapat Ahli, sebagaimana dikemukakan pada persidangan tertanggal 14 April 2014: “...tidak terdapat aturan yang melarang BPN untuk menginventarisir dan menyusun data nominatif yang berisi nama-nama penggarap lahan eks HGU tersebut”

berdasarkan pendapat Ahli tersebut, maka saya menyimpulkan bahwa:

kegiatan penyusunan data nominatif penggarap lahan eks HGU yang dilakukan oleh Termohon boleh dilakukan, dan pada kenyataannya Termohon telah menyusun data nominatif tersebut serta mengakui, bahwa data tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan (lampiran) dari Dokumen Hasil Identifikasi dan Penelitian Tanah Terlantar. Termohon juga mengungkapkan bahwa dalam proses penyusunan data nominatif tersebut, data yang tertuang pada dokumen tersebut, dikeluarkan atau bersumber pada data yang disampaikan oleh aparatur desa terkait, yang kemungkinan sama dengan data yang dimiliki Pemohon, sebagaimana keterangan pemohon bahwa juga memiliki daftar nama-nama penggarap itu dari data lapangan dan aparatur desa.

Dengan demikian secara faktual data nominatif, pada dasarnya itu telah ada. Dan sebagaimana yang dimohonkan pemohon, singkatnya bahwa terhadap lahan eks HGU tersebut, kemungkinan terdapat data yang sama atau sebaliknya terdapat dua data berbeda,

yang dimiliki masing-masing pihak (Pemohon dan Termohon), sehingga dikhawatirkan sebagaimana “diduga” Pemohon, data yang dimiliki Termohon tersebut berbeda dengan data yang dimiliki Pemohon.

Atas dasar itulah kemudian Pemohon mengajukan permohonan informasi a qou yang salah satu tujuannya untuk mengetahui secara pasti apakah data penggarap yang disusun Termohon dalam bentuk Data Nominatif Penggarap Lahan eks HGU itu sama atau berbeda dengan data penggarap yang dimiliki oleh Pemohon, yang berisi data faktual, dalam arti berisi nama-nama penggarap yang secara faktual menggarap lahan eks HGU. Permohonan tersebut penting untuk menghindari terjadinya tumpang tindih data nominatif penggarapan tanah yang disebabkan perbedaan data nama-nama penggarap sebagaimana yang disusun Termohon dengan data nama-nama penggarap yang benar-benar menggarap lahan eks HGU sebagaimana yang dimiliki oleh Pemohon.

Berdasarkan pertimbangan bahwa secara faktual, Data Nominatif Penggarap Lahan eks HGU tersebut memang sudah diproduksi, dihasilkan dari Pengkajian yang telah dilaksanakan oleh Termohon, maka saya berpendapat, data tersebut sudah seharusnya dapat dibuka atau diakses oleh Pemohon, untuk memberikan kepastian hukum bagi seluruh pihak, baik Termohon maupun Pemohon yang merepresentasikan penggarap lahan yang selama ini telah menggarap lahan tersebut. Kemungkinan terjadinya Perbedaan Data Nominatif Penggarap Lahan eks HGU justru akan semakin berpeluang terjadi apabila data tersebut tidak dapat diakses Pemohon, sehingga Pemohon dan para penggarap yang menggarap lahan tersebut tidak pernah tahu siapa yang sebenarnya tercantum sebagai penggarap dalam data nominatif yang dimiliki Termohon. Pendapat tersebut tentunya sesuai dan berkaitan dengan pendapat terdahulu yang menyatakan Data Hasil Identifikasi dan Penelitian Tanah terlantar sebagai informasi terbuka dan dapat diakses oleh publik.

Dengan demikian, karena Data Nominatif Penggarap Lahan eks HGU sebagaimana dimohonkan Pemohon secara faktual memang sudah teridentifikasi, dihasilkan, tersedia dan tersusun menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Data Hasil Identifikasi dan Penelitian Tanah Terlantar, maka saya berpendapat bahwa keseluruhan informasi a quo yaitu Hasil Identifikasi dan Penelitian Tanah Terlantar, termasuk data nominatif penggarap lahan Eks HGU adalah informasi yang terbuka dan dapat diakses oleh Pemohon.

[6.11] Menimbang bahwa berdasarkan argumentasi hukum sebagaimana terurai pada paragraf

[6.1] sampai dengan paragraf [6.10], maka saya berpendapat bahwa sudah sepatutnya

Untuk Salinan Putusan ini sah dan sesuai dengan aslinya diumumkan kepada masyarakat berdasarkan Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Pasal 59 ayat (4) dan ayat (5) Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2013 tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi Publik.

Dokumen terkait