Lalu Retchung bertanya, "O Guru, kabarnya engkau mengalami banyak kemalangan setelah ayahmu wafat. Bagaimana kejahatan seperti itu bisa menimpamu?"
Dan Sang Guru meneniskan:
Ketika saya berusia kira-kira tujuh tahun, ayahku, Mila Panji Kebijaksanaan merana karena penyakit yang mengerikan. Tabib-tabib dan tukang sihir meramalkan bahwa dia tak akan pernah sembuh dan mereka meninggal kannya.
Kerabat-kerabat dan teman-temannya juga tahu bahwa dia tak akan hidup. Dia sendiri yakin akan kematiannya. Pamanku (Panji Kemenangan Abadi) dan bibiku (Pendebat dari Khyung yang Berjaya), dan semua kerabat, teman dekat dan jauh, tetangga-tetangga yang dekat, semuanya berkumpul bersama.
Ayahku setuju untuk menaruh keluarga dan urusannya di bawah perlindungan wali pengawas. Ia lalu membuat wasiat secara rinci untuk memastikan bahwa puteranya nanti akan menguasai warisannya. Lain dia membacakan wasiat itu dengan keras agar didengar setiap orang.
"Untuk meringkaskan dengan jelas, karena saya tak akan sembuh dari penyakitku ini dan karena puteraku masih kecil, ini adalah rencana di mana saya mempercayakan ia kepada semua kerabat dan teman-temannya, khususnya pada paman dan bibinya.
Di gunung-gunung ternakku yak, kuda, dan domba; di lembah, pertama-tama ladang, Segi Tiga Subur, dan beberapa persil tanah lainnya yang didambakan oleh orang miskin; di bawah rumah: sapi, kambing, dan keledai; di loteng: peihiasan, emas, perak, tembaga dan besi, pirus, kain tenun, sutera, dan lumbung. Semua inilah hartaku. Singkatnya, saya kaya
hingga tidak perlu iri kepada siapa pun. Ambillah sebagian dari kekayaan ini untuk biaya penguburanku. Mengenai sisanya, saya mempercayakan segalanya pada kalian yang berkumpul di sini hingga puteralai cukup dewasa untuk menjaga miliknya. Saya mempercayakan sepenuhnya pada penjagaan paman dan bibinya.
Bila anak ini sudah mencapai usia yang bisa menerima tanggung jawabkeluarga, nikahkanlah dia dengan Zessay, yang telah ditunangkan dengannya sejak kecil. Lalu biarlah mereka mengambil hartaku tanpa kecuali, dan biarkan puteraku mengambil warisannya.
Selama itu, sudilah paman, bibi, dan kerabat-kerabat dekat imtuk memahami kebahagiaan dan kesedihan kedua anakku dan ibunya. Jangan bawa kesengsaraan pada mereka. Setelah kematianku, aku akan mengawasi kalian dari alam kematian."
Setelah berbicara demikian, dia wafat.
Lalu upacara pemakaman dilaksanakan. Semua kerabat men¬capai kesepakatan soal sisa harta yang ditinggalkan, dan semuanya, terutama kerabat-kerabat yang beritikad baik, mengatakan, "Permata Putih, ambillah sendiri harta itu. Lakukan apa yang baik menurutmu."
Namun, paman dan bibi berkata, "Semua yang di sini adalah teman-temanmu, tapi kami adalah kerabatmu yang paling dekat dan lebih baik daripada teman. Kami tidak akan menyakiti ibu dan anak. Sesuai dengan wasiat tersebut, kami akan mengambil alih harta itu."
Tanpa mendengar pendapat dari saudara ibuku ataupun dari keluarga Zessay, pamanku mengambil semua barang untuk pria dan bibiku barang untuk wanita. Sisanya dibagi dua. Lalu paman dan bibi berkata, "Kalian, ibu dan anak, akan bergiliran melayani kami."
bekerja di ladang, kami menjadi pelayan dari paman. Di musim dingin, selagi mengerjakan wol, kami menjadi pelayan bagi bibi. Makanan kami adalah makanan untuk anjing, pekerjaan kami pantas untuk keledai. Untuk pakaian, beberapa potong kain buruk dikenakan ke bahu karr.i dan disatukan dengan tal i dari rumput. Karena bekerja tanpa istirahat, tangan dan kaki kami menjadi kasar dan luka. Karena makanan yang buruk dan pakaian yang sangat tidak memadai, kami menjadi pucat dan kurus. Rambut kami, yang dulunya tergerai dalam ikal biru kehijauan dan keemasan, menjadi tipis dan kelabu, penuh dengan kutu.
Orang yang memiiiki perasaan, yang melihat atau mendengar kejadian ini, akan menitikkan air mata. Mereka berbicara terus-terang di belakang paman dan bibiku. Karena kami tertekan dengan kesengsaraan, ibuku berkata pada bibiku, "Engkau bukanlah Pendebat dari Khyung Yang Jaya, melainkan Dumo Takdren, siluman yang setara dengan harimau."
Nama ini, Siluman Yang Setara Dengan Harimau menjadi sebutan untuk bibiku.
Pada masa itu ada satu peribahasa terkenal: "Bila tuan rumah yang palsu menjadi tuan rumah, maka tuan rumah yang sebenamya diusir dari rumah seperti seekor anjing."
Peribahasa ini secara tepat melukiskan keadaan kami, ibu dan anak.
Pada masa ketika ayah kami, Mila Panji Kebijaksanaan, masih hidup, tiap orang, kuat ataupun lemah, ada di sana untuk memperhatikan apakah wajah kami tersenyum atau sedih. Belakangan, ketika paman dan bibi sekaya raja-raja, wajah merekalah, yang tersenyum atau sedih, yang diperhatikan oleh orang. Orang-orang mengatakan tentang ibuku, "Benar sekali peribahasa itu:
"Bagi seorang suami yang kaya, terdapatlah seorang isteri yang pantas: dari wol yang lembut, pakaian yang baik.' Sekarang si suami tidak ada lagi, maka terjadilah apa yang dikatakan peribahasa itu. Di masa lalu, ketika
suaminya menjadi tuan rumah dan menegakkan kepala, Permata Putih bersemangat dan bijaksana, juga merupakan seorang koki yang baik. Sekarang dia lemah dan takut."
Bahkan orang-orang yang dulu melayani kami, mengejek kami. Mereka bersikap sesuai dengan peribahasa, "Kesengsaraan satu orang adalah kesenangan orang yang lain."
Orang tua Zessay memberiku sepatu bot dan pakaian bam, serta berkata, "Janganpikirkan engkau miskin saat kekayaan berlalu, karena kekayaan berlangsung sebentar saja seperti embun padang rumput. Di masa lalu nenek moyangmu tidaklah kaya hingga belakangan ini. Bagimu juga, masa kelimpahan akan da tang lagi."
Dengan mengucapkan kata-kata seperti itu, mereka menghibur kami.
Akhirnya saya berusia lima belas tahun. Pada saat ini ada sebuah ladang yang diberikan orang tua ibuku sebagai mas kawin untuknya, yang disebut dengan nama yang tidak begitu indah: Trede Tenchung (Karpet Bulu Kecil), namun menghasilkan panen yang baik sekali.
Saudara ibuku mengolahnya sendiri dan melakukan segalanya sebisa-bisanya untuk menyimpan panen ini.
Jadi, beliau dengan diam-diam mengurupulkan kelehihan panen yang kemudian dijualnya untuk membeli banyak daging. Dengan gandum putih, dibuatlah tepung. Dengan gandum hitam dibuatlah bir untuk pesta, yang katanya untuk memperoleh kembali warisan Pennata Putih dan anak-anaknya. Lalu ibuku meminjam karpet-karpet dan menanihnya di nimahku yang disebut Empat Ruang dan Delapan Tiang.
Pertama-tama dia mengundang paman dan bibiku, lalu kerabat dekat, teman-teman akrab dan tetangga-tetangga, terakhir orang-orang yang mengetahui wasiat yang ditulis oleh ayahku, Mila Panji Kebijaksanaan.
Bagi paman dan bibiku ia memberikan seekor ternak penuh, bagi yang lainnya, sesuai dengan tingkatannya, seperempat ekor binatang, atau sepertiga dari seperempat, dan memberi mereka bir di dalam cangkir porselen.
Lalu ibuku berdiri di tengah-tengah orang yang berkumpul itu dan mulai berbieara, "Ketika seorang anak lahir, ia diberi nama. Ketika seseorang diundang ke pesta bir, ini berarti saatnya untuk berbieara. Ada yang ingin saya katakan pada kalian semua yang berkumpul di sini, baik paman dan bibi, maupun orang-orang yang lebih tua yang ingat kata-kata terakhir dari Mila Panji Kebijaksanaan pada saat kematiannya."
Demikianlah katanya. Dan adik ibuku membacakan wasiat itu. Lalu ibuku melanjutkan, "Saya tidak perlu menerangkan pada orang- orang yang lebih tua yang ada di sini, maksud wasiat ini. Sampai sekarang, paman dan bibi telah melakukan kesulitan yang ditujukan pada kami, ibu dan anak, dalam segala hal. Sekarang puteraku dan Zessay sudah cukup dewasa untuk memiliki rumah sendiri. Itulah sebabnya saya minta padamu, kembalikanlah barang-barang yang dipercayakan padamu, biarlah anakku menikahi Zessay dan mengambil warisannya sesuai dengan wasiat."
Demikianlah katanya. Paman dan bibi, yang hampir tidak pernah setuju, menjadi satu dalam ketamakan. Di pihak kami, sayalah satu- satunya anaklaki-laki. Di pihak mereka, mereka memiliki banyak anak.
Jadi paman dan bibiku menjawab dengan serempak, "Engkau punya harta? Di mana? Dahulu, saat Mila Panji Kebijaksanaan masih sehat, kami meminjaminya rumah, ladang, emas, pints, dzo1 kuda, yak, dan domba. Pada saat kematiannya, ia mengembalikan harta ini kepada pemiliknya. Apakah engkau memil iki sepotong emas? Satu ons mentega? Sepotong pakaian? Sepotong sutera? Kami tidak melihat sekuku binatang pun ---siapa yang menulis wasiat ini? Kami telah berbaik hati memeliharamu ketika engkau yatim dan miskin, agar engkau tidak mati kelaparan. Ungkapan, \segera setelah mereka mempunyai kekuatan, orang-orang tamak bahkan akan mengukur air' adalah benar sekali."
Setelah mengatakan ini, paman mendengus, membuang ingusnya, bangun dengan cepat, menjentikkan jarinya, menggoyangkan kancing roknya, menghentakkan kakinya dan berkata, "Terlebih-lebih lagi, rumah ini pun milikku. Jadi, yatim piatu, keluarlah."
Sambil mengatakan ini, dia menampar ibuku dan memukul saya dan adikku dengan lengan baju chubanya2.
Lalu ibuku berteriak, "Ayah Mila Panji Kebijaksanaan, lihatlah nasib keluargamu. Katamu engkau akan mengawasi kami dari alam kematian. Lihatlah kami sekarang."
Begitulah katanya dan sambil menangis, ia jatuh dan berguling di lantai. Kami anak-anak tidak bisa melakukan apa-apa untuknya selain menangis. Adik ibuku, yang takut terhadap putera-putera pamanku yang banyak, tidak bisa membalas. Penduduk-penduduk desa yang mencintai kami, mengatakan mereka sangat kasihan pada kami dan tak seorang pun dari mereka yang tidak menangis. Yang lainnya menarik nafas dalam-dalam.
Paman dan bibi berkata kepadaku, "Kalian menuntut harta, tapi kalian sudah memiliki banyak harta. Kalian mengadakan pesta untuk tetangga-tetangga danpenduduk desa tanpa memikirkan bir dan daging yang kalian hambur-hamburkan. Kami tidak mempunyai kemewahan seperti itu. Kalaupun ada, kami tak akan memberikannya padamu, yatim piatu miskin. Jadi kalau kalian banyak, perangilah kami. Kalau kalian sedikit, tebarkan mantra."
Dengan kata-kata ini, mereka pergi. Setelah itu, teman-teman mereka juga pergi.
Ibuku menangis tak henti-hentinya, sedangkan adiknya, orang tua Zessay dan teman-teman kami, tinggal untuk menghiburnya dan berkata," Jangan menangis, air mata tak ada gunanya. Mintalah sesuatu pada masing-masing orang yang datang ke pesta. Tiap orang di sini akan memberimu apa yang engkau perlukan, bahkan paman dan bibi mungkin akan
memberimu sesuatu yang baik."
Adik ibuku lalu berkata, "Lakukanlah apa yang mereka katakan dan kirimlah.puteramu mencari ilmu. Lalu kalian, ibu dan anak perempuan, bisa tinggal bersamaku dan bekerja di ladangku. Adalah baik untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat. Bagaimanapun kalian harus berbuat sesuatu agar tidak lemah di hadapan paman dan bibimu."
Ibuku menjawab, "Setelah barang-barangku diambil semuanya, aku tidak pernah mengemis apa pun untuk membesarkan anak-anakku. Saya tidak akan menerima secuil pun hartaku sendiri dari paman dan bibi. Oleh siksaan paman dan bibi, kami akan berlari mengikuti suara gendang, dan berlari ketika asap muncul3. Kami akan mempermalukan mereka. Setelah itu, saya sendiri akan mengeijakan ladangku."
Di daerah Tsa, di desa Mithogekha, ada seorang guru ilmu sihir dari Orde Nyingmapa, yang sangat dibutuhkan di desa itu, yang tahu Cara Memuja Delapan Naga4. Ibuku mengirimku padanya untuk belajar membaca. Pada saat yang sama, kerabat kami yang menawarkan harta mereka sendiri, memberikan pada kami masing-masing beberapa barang. Orang tua Zessay memberiku persediaan minyak dan kayu bakar, dan untuk menghiburku, mereka bahkan mengirim Zessay ke tempat saya belajar membaca.
Paman dari pihak ibuku memberi makan pada ibu dan adikku sehingga mereka tidak harus mengemis atau bekeija di tempat lain.
Karena adiknya tidak membiarkannya merana, ibuku bekeija di rumah, sehari memintal, hari lainnya menenun. Dengan cara ini ia mendapat sedikit uang yang dibutuhkan untuk kami anak-anaknya. Adikku bekerja pada orang lain sebisa-bisanya untuk mendapatkan makanan dan pakaian. Ia lari mengikuti suara gendang dan lari saat asap muncul.'
Kelaparan, pakaian compang-camping, dan semangat rendah, membuat kami tidak bahagia.
Begitulah cerita Guru. Selagi ia bercerita, semua yang mendengarkan merasa sangat terharu dan dengan kesedihan di dalam hati, mereka terdiam untuk sesaat, menitikkan air mata. Inilah bab kedua, yang membentangkan dengan apa adanya realita kesedihan pada tingkat terpahit.