• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB SEPULUH: “Properti”

Dalam dokumen Budaya Bebas ( 5,6MB) (Halaman 155-200)

Jack Valenti telah menjadi pimpinan Motion Picture Association of America (Asosiasi Gambar Gerak Amerika) sejak tahun 1966. Dia pertama kali tiba di Washington, D.C. bersama dengan pemerintahan Lyndon Johnson” dalam artian harfiah. Dalam foto terkenal yang menggambarkan Johnson ketika mengambil sumpah jabatan di atas pesawat Air Force One setelah penembakan Presiden Kennedy. Valenti berdiri di belakangnya. Selama hampir 40 tahun ia mengelola MPAA, Valenti mungkin telah menempatkan dirinya sebagai pelobi yang paling terkemuka dan berpengaruh di Washington.

MPAA ini adalah cabang Asosiasi Gambar Gerak Internasional di Amerika. MPAA didirikan pada tahun 1922 sebagai asosiasi dagang yang bertujuan melindungi perfilman Amerika dari meningkatnya kritik domestik. Organisasi tersebut sekarang tidak hanya mewakili pembuat film tetapi juga para produser dan distributor hiburan pertelevisian, video, dan kabel. Dewan penasihatnya terdiri dari para ketua dan presiden dari tujuh produsen dan distributor film dan program televisi di Amerika Serikat, yaitu: Walt Disney, Sony Pictures Entertainment, MGM, Paramount Pictures, Twentieth Century Fox, Universal Studios, dan Warner Brothers.

Valenti adalah presiden ketiga di MPAA. Tidak ada pemimpin sebelum dia yang mempunyai pengaruh sebesar dia dalam organisasi

itu sendiri maupun di Washington. Sebagai orang asli Texas, Valenti menguasai satu kemampuan politik yang paling penting dari orang Selatan–kemampuan untuk terlihat sederhana dan tenang meskipun menyembunyikan kecerdasan yang secepat kilat. Sampai hari ini, Valenti tampil sederhana, sebagai pria yang rendah hati. Meskipun begitu, lulusan MBA Harvard dan penulis empat buku yang menyelesaikan sekolah menengahnya ketika berusia lima belas tahun dan dikirim ke lebih dari lima puluh misi pertempuran pada Perang Dunia II, bukanlah sekedar orang biasa. Ketika Valenti pergi ke Washington, dia menguasai kota tersebut dengan gaya yang sangat khas orang Washington.

MPAA telah mengerjakan tugasnya untuk mempertahankan kebebasan artistik dan kemerdekaan berekspresi yang menjadi modal utama budaya kita dengan baik. Dalam menyusun sistem penilaian yang mereka buat, MPAA mungkin berhasil menghindari beragam resiko terhadap pembatasan berekspresi. Namun demikian ada satu aspek yang paling radika dan paling penting yang terkandung dalam misi organisasi tersebut. Yaitu, upaya organisasi ini, -dan ini dicerminkan dalam setiap tindakan yang ditempuh Valenti, untuk mendefinisikan ulang makna “properti kreatif ”.

Pada tahun 1982, melalui kesaksiannya kepada Kongres, Valenti dengan sempurna menuturkan strategi yang ditempuhnya:

Seberapapun panjang argumen yang diajukan, apapun tuduhan dan sanggahannya, bagaimanapun kacau dan penuh dengan teriakan, perempuan dan laki-laki yang rasional akan tetap kembali pada isu mendasar, tema utama yang menggerakkan seluruh perdebatan ini:

Pemilik properti kreatif harus mendapatkan hak dan perlindungan yang sama dengan hak dan perlindungan yang didapatkan oleh pemilik properti lainnya di negara ini. Itulah isunya. Itulah persoalannya. Itulah yang sesungguhnya menjadi koridor tempat kita melakukan pemeriksaan dan perdebatan ke depan ini.1

Strategi dalam retorika ini, seperti juga kebanyakan strategi retorika khas Valenti, adalah cemerlang dan sederhana, dan menjadi cemerlang justru karena sederhana. “Tema utama” yang akan selalu terangkat kembali oleh “perempuan dan laki-laki yang rasional” adalah: “Pemilik properti kreatif harus mendapatkan hak dan perlindungan yang sama dengan hak dan perlindungan yang didapatkan semua pemilik properti lain di negara ini.” Mungkin Valenti juga akan menambahkan bahwa warga negara kelas kedua itu tidak ada. Maka seharusnya tidak ada pula pemilik properti kelas kedua.

Klaim ini mempunyai tarikan intuitif yang tegas dan kuat. Ia dinyatakan dengan kejelasan yang tidak kalah tegas dengan gagasan bahwa presiden harus dipilih melalui pemilihan umum. Namun pada kenyataannya, tidak pernah ada klaim yang seekstrem ini yang pernah dinyatakan siapapun yang juga menyikapi perdebatan ini dengan serius, kecuali klaim yang diajukan Valenti. Bagaimanapun tampak manis dan cermerlangnya seorang Jack Valenti, mungkin ia adalah ekstremis paling terkemuka di negeri ini, kalau sudah menyangkut sifat dan cakupan “properti kreatif ”. Pandangannya tidak mempunyai kaitan rasional dengan tradisi hukum yang sedang berlaku, bahkan jika tarikan halus karisma gaya Texas-nya perlahan mengubah tradisi tersebut, setidaknya di Washington.

Meskipun “properti kreatif ” sudah pasti merupakan “properti” sebagaimana pengertian yang teoritis dan cermat yang selalu diajarkan kepada para pengacara yang dilatih untuk memahaminya,2 tidak pernah terjadi, dan tidak seharusnya terjadi, bahwa “pemilik properti kreatif ” dapat “menerima hak dan perlindungan yang sama dengan pemilik properti lainnya.” Pada kenyataannya, jika pemilik properti kreatif diberi hak yang sama dengan semua pemilik properti lainnya, dampak yang terjadi adalah pada perubahan tradisi yang sangat radikal; suatu dampak yang secara radikal pula tidak dikehendaki.

Valenti sebenarnya memahami hal ini. Tetapi dia mewakili sebuah industri yang sama sekali tidak peduli dengan tradisi kita dan nilai-nilai yang direpresentasikannya. Ia mewakili industri yang berjuang untuk mengembalikan tradisi yang sudah dilucuti Inggris pada tahun

1710. Dunia yang diciptakan oleh perubahan Valenti adalah dunia di mana hanya segelintir pihak saja yang dengan berkuasa mengontrol perkembangan budaya kreatif.

Ada dua tujuan yang hendak saya sampaikan dalam bab ini. Yang pertama adalah untuk meyakinkan anda, bahwa secara historis klaim yang diajukan Valenti itu salah mutlak. Yang kedua adalah untuk meyakinkan pada anda bahwa menolak sejarah kita sendiri adalah suatu kesalahan yang mengerikan. Sejak dulu, kita memang selalu membedakan cara perlakuan terhadap hak milik kreatif dan hak-hak yang didapatkan oleh para pemilik properti lainnya. Mereka tidak pernah sama. Dan hak-hak tersebut memang tidak seharusnya menjadi sama, karena, bagaimanapun ini terdengar berlawanan dengan intuisi kita sendiri, untuk membuatnya menjadi sama justru akan sangat melemahkan kesempatan bagi pencipta baru untuk berkreasi. Kreativitas bergantung pada bagaimana si pencipta tidak berada di bawah kontrol yang sepenuhnya.

Organisasi-organisasi seperti MPAA, yang dewan pengurusnya terdiri dari orang-orang paling berkuasa di generasi lama, tidak begitu peduli kalau yang baru dapat menggantikan mereka, ini di luar retorika yang selama ini mereka bangun. Tidak satupun organisasi yang menggantikan mereka, meskipun kepandaian mereka tidak diperta-nyakan lagi dalam meyakinkan bahwa yang baru dapat menggantikan mereka. Tidak pula individu (Tanyakan pada saya persoalan masa jabatan, misalnya). Tetapi apa yang baik buat MPAA belum tentu baik buat Amerika. Masyarakat yang mempertahankan gagasan ideal tentang budaya bebas harus benar-benar melestarikan kesempatan bagi kreativitas baru untuk menggantikan generasi sebelumnya.

Untuk mendapatkan petunjuk tentang betapa salahnya pendapat Valenti, kita tidak perlu mencarinya jauh-jauh, yaitu cukup dengan merujuk ke Konstitusi Amerika Serikat itu sendiri.

Para penyusun Konstitusi AS mencintai “properti”. Demikian kuat rasa cinta mereka terhadap properti sehingga mereka

mencantumkan-nya ke dalam Konstitusi sebagai satu syarat penting. Jika pemerintah mengambil propertimu—jika ia menggusur rumahmu, atau mengam-bil sebidang tanah dari ladangmu— maka Amandemen Kelima tentang “Klausul Pengambilan” mewajibkan, pembayaran “kompensasi yang sesuai” atas pengambilan tersebut. Dengan begitu pemerintah menjamin bahwa properti, dalam pengertian tertentu, adalah sakral. Ia tidak akan pernah diambil dari pemilik properti kecuali pemerintah membayar untuk mendapatkan keistimewaan tersebut.

Akan tetapi, Konstitusi yang sama dengan sangat berbeda memberi penjelasan tentang apa disebut Valenti sebagai “properti kreatif.” Dalam klausul yang memberikan kuasa untuk menciptakan “properti kreatif ” pada Kongres, Konstitusi mewajibkan bahwa setelah “batas waktu” tertentu, Kongres harus mengambil kembali hak yang telah dikabulkannya dan membebaskan “properti kreatif ” tersebut untuk digunakan di ranah publik. Namun, ketika Kongres melakukan hal tersebut, ketika masa berakhirnya hak cipta “mengambil” hak ciptamu dan menyerahkannya ke ranah publik, Kongres tidak punya kewajiban apapun untuk membayar “kompensasi yang sesuai” untuk “pengambilan” tersebut. Alih-alih, Konstitusi yang sama yang mewajibkan pemberian kompensasi untuk tanah anda justru mewajibkan anda untuk kehilangan hak “milik kreatif ” tanpa sedikit pun kompensasi.

Jadi Konstitusi dengan jelas menyatakan bahwa kedua bentuk pro-perti ini tidak dikenakan hak yang sama. Dengan sederhana, keduanya memang diperlakukan secara beda. Oleh karena itu, Valenti tidak hanya menuntut perubahan dalam tradisi kita, ketika ia mengajukan argumen bahwa pemilik properti kreatif harus mendapatkan hak yang sama dengan setiap pemilik properti lainnya. Sesungguhnya ia sedang menuntut perubahan nyata dalam Konstitusi itu sendiri.

Memang tuntutan untuk mengubah Konstitusi bukan sesuatu yang salah. Ada banyak hal yang jelas salah dalam Konstitusi Amerika yang asli. Konstitusi tahun 1789 berpihak pada perbudakan; ia mengatur bahwa jabatan senator adalah berdasarkan penunjukkan dan bukannya pemilihan; ia memungkinkan electoral college (kelompok yang dipilih

untuk menentukan jabatan kepresidenan AS. penj) untuk menghasilkan suara berimbang antara presiden dan wakil presidennya (seperti yang terjadi pada tahun 1800). Tidak diragukan lagi para penyusun Konstitusi adalah pribadi-pribadi luar biasa, tetapi sayalah orang pertama yang akan mengakui bahwa mereka melakukan kesalahan-kesalahan besar. Sudah sejak lama kita menolak beberapa kesalahan-kesalahan tersebut; dan tidak diragukan lagi akan ada kesalahan-kesalahan berikutnya yang akan kita tolak. Jadi argumen yang mau saya katakan di sini adalah, bukan hanya karena Jefferson pernah melakukannya, maka kita juga harus melakukannya.

Alih-alih, argumen saya adalah justru karena Jefferson pernah

melakukannya, setidaknya kita harus mencoba memahami mengapa.

Mengapa penyusun Undang-undang, tipe yang fanatik dengan properti, menolak klaim bahwa properti kreatif diberikan hak yang sama dengan semua properti lain? Mengapa mereka mewajibkan properti kreatif suatu saat harus masuk ke ranah publik?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu memahami sejarah hak “milik kreatif ” tersebut, dan kontrol yang dimungkinkan dengan adanya konsep ini. Setelah kita melihat dengan jelas bagaimana hak-hak tersebut didefinisikan secara berbeda, kita akan berada dalam posisi yang lebih baik untuk mengajukan pertanyaan yang seharusnya menjadi inti dari peperangan ini: Bukan pertanyaan apakah

properti kreatif harus dilindungi, tetapi bagaimana. Bukan apakah kita akan menegakkan hak-hak yang diberikan hukum kepada pemilik properti kreatif, melainkan kombinasi hak-hak khusus seperti apa yang seharusnya ada. Bukan persoalan apakah artis harus dibayar, tetapi persoalan apakah lembaga-lembaga yang dirancang untuk memastikan para seniman mendapatkan bayaran juga perlu ikut-ikutan mengontrol bagaimana budaya dikembangkan.

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita perlu cara yang lebih umum untuk membahas bagaimana properti dilindungi. Tegasnya, kita perlu cara yang lebih umum ketimbang menggunakan

bahasa yang dibatasi khusus dalam ranah hukum. Dalam Code and

untuk menjelaskan sudut pandang yang lebih umum ini. Untuk hak atau peraturan tertentu, model ini mempersoalkan bagaimana 4 modalitas pengaturan yang berbeda saling berinteraksi satu sama lain, baik dalam rangka mendukung atau melemahkan hak atau peraturan. Saya menggambarkannya lewat bagan di bawah ini:

Di tengah gambar, ada satu titik yang diatur: individu atau kelompok yang menjadi sasaran peraturan, atau pemegang hak. (Di setiap kasus di sepanjang penjelasan ini, kita dapat menyebutnya baik sebagai peraturan ataupun hak). Demi kemudahan, saya hanya akan menyebutnya sebagai peraturan). Bentuk oval menunjukkan empat cara di mana individu atau kelompok diatur—baik itu dibatasi, atau sebagai gantinya, diperbolehkan. Hukum adalah bentuk pembatasan yang paling nyata (setidaknya, untuk para pengacara). Hukum membatasi dengan ancaman pemberian hukuman berdasarkan fakta yang ada, jika aturan yang telah ditetapkan dilanggar. Jadi jika, misalnya, anda dengan sengaja melanggar hak cipta Madonna dengan mengopi sebuah lagu dari CD terbarunya dan mengunggahnya di Internet, anda akan terkena hukuman denda sebesar 150.000 dolar. Denda itu adalah sebuah hukuman yang diberikan setelahnya (ex post) atas pelanggaran aturan yang sudah ditetapkan sebelumnya (ex ante rule). Peraturan ini diberlakukan oleh negara.

Norma merupakan jenis pembatasan yang berbeda. Ia juga dapat menghukum individu yang melanggar suatu aturan. Tetapi hukuman dari pelanggaran norma diberlakukan oleh komunitas, bukan (hanya) oleh negara. Mungkin memang tidak ada hukum yang melarang untuk meludah sembarangan, tetapi bukan berarti anda tidak akan dihukum jika anda meludah ke tanah ketika sedang antri di bioskop. Hukumannya mungkin tidak keras, meski tergantung pada komunitas yang bersangkutan, tetapi ia bisa juga lebih keras dari hukuman-hukuman yang dikenakan oleh negara. Ciri yang membedakan hukum dan norma bukan pada ketegasan aturannya, tetapi pada sumber yang menjadi penegaknya.

Pasar adalah jenis pembatasan yang ketiga. Pembatasan ini bekerja melalui pengondisian: Anda bisa melakukan X jika anda membayar sebanyak Y; anda akan dibayar sebanyak M jika anda melakukan N. Jelas bahwa pembatasan ini tidak terlepas dari hukum maupun norma—hukum properti lah yang mengatur apa yang yang harus dibeli jika hendak diambil secara legal; norma lah yang menentukan apa yang pantas untuk dijual. Tetapi dilengkapi dengan seperangkat norma, dan dilatarbelakangi oleh hukum kepemilikan dan perjanjian, pasar secara serentak juga memberlakukan batasan atas perilaku individu atau kelompok.

Pembatasan yang terakhir, dan untuk saat ini mungkin adalah kerangka yang paling misterius, adalah “arsitektur”–yaitu dunia fisik tempat kita beraktivitas— yang membatasi perilaku. Jembatan yang runtuh mungkin dapat menghambat anda ketika menyeberangi sungai. Jalur rel kereta api mungkin membatasi kemampuan komunitas untuk mengintegrasikan kehidupan sosialnya. Sama dengan pasar, arsitektur membatasi dalam bentuk hukuman setelahnya. Malahan, sama juga dengan pasar, arsitektur melakukan pembatasan melalui kondisi yang serentak. Kondisi-kondisi ini bukan ditentukan oleh pengadilan yang menegakkan isi kontrak, atau oleh polisi yang menghukum pencuri, tetapi oleh alam, oleh “arsitektur.” Jika batu seberat 250 kilogram menghalangi jalan anda, hukum gravitasi lah yang memberi batasan. Jika anda terancam tidak jadi berangkat ke New York karena harga

tiket pesawat yang mau anda tumpangi adalah 500 dolar, maka pasar lah yang membuat pembatasan ini.

Jadi poin pertama yang mengemuka dari empat modalitas peraturan itu cukup jelas: mereka berinteraksi. Larangan yang telah diberlakukan oleh yang satu bisa juga ditegakkan oleh yang lain. Atau larangan yang ditentukan oleh satu modalitas dapat dilemahkan oleh modalitas yang lain.

Hubungan ini segera berdampak pada poin kedua: Jika kita ingin memahami seberapa besar kebebasan yang dimiliki orang dalam waktu tertentu untuk melakukan sesuatu, kita harus mempertimbangkan bagaimana keempat modalitas itu berinteraksi. Apakah batasan lain ada atau tidak (mungkin ada; yang saya jelaskan di sini bukan tentang sesuatu yang sifatnya menyeluruh), modalitas-modalitas ini merupakan empat hal yang saya anggap paling signifikan, dan peraturan apapun (baik itu membatasi atau membebaskan) harus mempertimbangkan bagaimana keempat hal ini khususnya, saling berinteraksi

Jadi, misalkan, mari kita mempertimbangkan tentang “kebebasan” untuk mengendarai mobil dalam kecepatan tinggi. Kebebasan tersebut sebagian dilarang oleh hukum: melalui rambu batas kecepatan yang menyatakan seberapa cepat anda boleh berkendara di tempat tertentu pada waktu tertentu. Sebagian lagi dibatasi oleh arsitektur: polisi tidur, contohnya. Benda ini memperlamban kebanyakan pengendara yang rasional. Contoh lainnya, pengaturan untuk bis, membatasi kecepatan maksimum yang dapat ditempuh si supir. Kebebasan itu juga sebagian dihambat oleh pasar: Efisiensi bahan bakar menurun seturut peningkatan kecepatan, sehingga harga bensin secara tidak langsung membatasi kecepatan. Dan terakhir, norma komunitas mungkin membatasi atau tidak membatasi kebebasan untuk ngebut. Mengemudilah dengan kecepatan 80 kilometer per jam di sekolah yang ada di kawasan tempat anda tinggal dan besar kemungkinan anda akan mendapat hukuman dari tetangga anda. Norma yang sama mungkin tidak akan berlaku dengan sedemikian efektif di kota atau tempat lain, atau di waktu malam.

Poin terakhir dari model sederhana juga seharusnya sudah cukup jelas: Sementara secara analitis, keempat modalitas ini berdiri sendiri-sendiri, tetapi hukum mempunyai peranan khusus dalam memengaruhi ketiganya.3 Dengan kata lain, terkadang hukum bekerja dengan menambah atau mengurangi pembatasan dari satu modalitas tertentu. Sehingga, hukum dapat digunakan untuk meningkatkan pajak bahan bakar, dan dengan demikian berdampak pada berkurangnya kebut-kebutan di jalan. Hukum dapat digunakan untuk memberi mandat bagi penambahan polisi tidur, dan dengan demikian mempersulit orang untuk mengemudi dalam kecepatan tinggi. Hukum dapat digunakan untuk mendanai kampanye untuk memberi stigma pada pengemudi yang ugal-ugalan. Atau hukum juga dapat digunakan untuk mendorong agar penegakkan hukum-hukum lain untuk lebih tegas—peraturan federal yang meminta negara-negara bagian untuk menurunkan batas kecepatan, misalnya—demi mengurangi keinginan untuk ngebut di jalan raya.

Dengan begitu, batasan-batasan ini dapat berubah, dan mereka dapat diubah. Untuk memahami perlindungan kebebasan yang efektif atau perlindungan properti di kurun waktu tertentu, kita harus menelusuri perubahan-perubahan ini dari masa ke masa. Sebuah larangan yang diberlakukan oleh salah satu modalitas dapat dihilangkan oleh modalitas yang lain. Kebebasan yang diberikan oleh satu modalitas dapat disingkirkan pula oleh modalitas lainnya. 4

Alasan Mengapa Hollywood Benar

Hal paling jelas yang dinyatakan oleh model ini adalah bagaimana, atau alasan mengapa Hollywood benar. Para pejuang hak cipta mendatangi rapat-rapat Kongres dan pengadilan untuk mempertahankan hak cipta. Model ini membantu kita memahami mengapa upaya-upaya tersebut menjadi masuk akal.

Anggap saja ini adalah gambar peraturan hak cipta sebelum adanya Internet:

Terdapat keseimbangan antara hukum, norma, pasar, dan arsitektur. Hukum membatasi aktivitas untuk mengopi dan berbagi konten, dengan mengenakan hukuman pada barang siapa yang mengopi dan membagikan konten. Hukuman tersebut diperkuat lagi dengan teknologi yang menyulitkan aktivitas mengopi dan berbagi konten (arsitektur) dan mahalnya aktivitas mengopi dan berbagi konten (pasar). Sedangkan hukuman ini diperlunak dengan adanya norma-norma yang sudah kita kenal—anak-anak misalnya, merekam dari kaset teman-temannya. Penggunaan materi hak cipta seperti ini mungkin dapat dianggap pelanggaran, tetapi norma dalam masyarakat kita (setidaknya sebelum adanya Internet) tidak mempersoalkan bentuk pelanggaran yang demikian.

Masuklah Internet, atau lebih tepatnya, teknologi seperti MP3 dan sistem berbagi p2p. Sekarang batasan arsitektur berubah dengan drastis, demikian juga batasan pasar. Dan baik pasar maupun arsi-tektur melonggarkan peraturan hak cipta, sementara norma semakin melonggarkannya pula. Keseimbangan yang menggembirakan (seti-daknya untuk para pejuang hak cipta) dalam hidup sebelum Internet berubah menjadi keadaan yang anarkis setelah datangnya Internet.

Inilah dasar pemahaman dan pembenaran atas respon dari para pejuang hak cipta. Teknologi telah berubah, kata mereka, dan dampak dari perubahan ini, ketika dikembangkan melalui pasar dan norma-norma, akan menghilangkan keseimbangan perlindungan bagi pemilik. Inilah Irak setelah jatuhnya Saddam, tetapi kali ini tidak ada satu pun pemerintah yang mau melakukan pembenaran atas hasil rampasannya.

Baik analisis ini maupun kesimpulan yang dicapai dari sini bukan-lah sesuatu yang baru bagi para pejuang hak cipta. Bahkan, dalam sebuah “Laporan Resmi” (White Paper) yang dibuat oleh Departemen Perdagangan (kertas kerja kebijakan yang sangat dipengaruhi oleh pejuang hak cipta) di tahun 1995, kombinasi dari modalitas yang mengatur ini telah berhasil diidentifikasi dan strategi menanggapinya juga telah dipetakan. Dalam menanggapi dampak perubahan Internet, Laporan Resmi ini menyatakan bahwa (1) Kongres harus menguatkan hukum kepemilikan intelektual, (2) kalangan bisnis harus

mengadopsi teknik pemasaran yang inovatif, (3) para ahli teknologi harus mendorong pengembangan kode untuk melindungi karya yang berhak cipta, dan (4) para pendidik harus mendidik anak-anak untuk meningkatkan perlindungan hak cipta.

Justru kombinasi strategi inilah yang dibutuhkan oleh hak cipta— jika memang tujuannya adalah untuk mempertahankan keseimbangan tertentu yang sudah ada sebelum dampak perubahan yang dibawa Internet. Dan inilah upaya yang kita harapkan dari industri konten. Ini sama Amerikanya dengan pai apel, untuk mengira bahwa kehidupan menyenangkan yang anda alami adalah suatu hak, dan meminta perlindungan pada hukum dari apapun yang muncul untuk mengubah kehidupan yang menyenangkan ini. Pemilik rumah yang hidup di daerah rawan banjir tidak ragu-ragu meminta pemerintah untuk membangun dan membangun kembali ketika banjir (arsitektur) menyapu habis properti mereka (hukum). Petani tidak ragu-ragu meminta pemerintah memberikan ganti rugi saat virus (arsitektur) menghancurkan hasil panen mereka. Serikat kerja tidak ragu-ragu memohon ganti rugi kepada pemerintah saat impor (pasar) merusak industri baja AS.

Jadi, tidak ada yang salah atau mengagetkan dengan kampanye industri konten untuk melindungi dirinya dari dampak merugikan inovasi teknologi. Dan saya akan jadi orang terakhir yang menyatakan bahwa perubahan teknologi Internet tidak mempunyai dampak mendalam pada cara industri konten melakukan bisnisnya, atau seperti

Dalam dokumen Budaya Bebas ( 5,6MB) (Halaman 155-200)

Dokumen terkait