BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.2 Saran
5.2.3 Bagi Remaja yang Berstatus sebagai Anak Tunggal
Remaja yang berstatus anak tunggal dalam penelitian ini memiliki kemandirian sedang dan tinggi dengan jumlah yang tidak terlalu jauh. Akan lebih baik apabila kemandirian sedang tersebut ditingkatkan lagi. Penulis mengharapkan remaja yang berstatus sebagai anak tunggal lebih percaya diri terhadap kemampuan yang dimilikinya sendiri, mampu membuat keputusan sendiri tanpa pengaruh dari orang lain dan mengurangi ketergantungan yang berlebihan terhadap orangtua.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M dan Asrori, M. (2010). Psikologi remaja perkembangan peserta didik. Jakarta: Bumi Aksara.
Anna, L.K. (2010, 18 Agustus). Anak tunggal sulit bergaul?. Kompas [on-line].
Diakses pada tanggal 4 April 2013 dari
http://health.kompas.com/read/2010/08/18/10245158/Anak.Tunggal.Sulit.B ergaul
Ara, Z. M. (1998). Perbandingan kemandirian antara anak remaja tunggal dengan anak remaja tidak tunggal: Studi siswa SMU yang ibunya bekerja dan tidak bekerja (S2535). Jakarta: Perpustakaan Universitas Indonesia. Azwar, S. (2011). Reliabilitas dan validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Azwar, S. (2011). Dasar-dasar psikometri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Azwar, S. (2011). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Eccles, J.S., Buchanan, C.M., Flanagan, C., Fuligni, A., Midgley, C., & Yee, D.
(1991). Control versus autonomy during early adolescence. Journal of Social Issues, 4, 53-68.
Goodwin, C.J. (2010). Research in psychology methods and design. USA: John Wiley & Sons, Inc.
Graciana, J. (2004). Mengasuh anak tunggal. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.
Gunarsa, S.D. (2003). Psikologi perkembangan anak & remaja. Jakarta: Gunung Mulia.
Hadi, S. (2004). Statistik jilid 2. Yogyakarta: Andi.
Hadibroto, I. (2002). Misteri perilaku anak sulung, tengah, bungsu dan tunggal. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Hartono. (2006). Kepatuhan dan kemandirian santri. Jurnal Studi Islam dan Budaya, 4, 50-66.
Hurlock, E. (1999). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Kerlinger, F.N. (2000). Asas-asas penelitian behavioral. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Kopko, K. (2007). Parenting style and adolescents. United State: Cornell Cooperative Extension.
Kozlowski, J.F. (dalam penerbitan). Adult implications of being an only child. General Psychology.
Landis, P.H. (1997). Essy on moral development: The psychology of moral development. New York: Haper & Row Publisher, inc.
Laybourn, A. (1994). The only child: Myths and reality. H.M. Stationery Office
Monks, F.J., A.M.P., Knoers, dan Haditono, S.R. (2006). Psikologi
Neuman, W.L. (2007). Basic of social research: Qualitative amd quantitative aproaches (2nd ed.). Boston: Allyn and Bacon.
Papalia, D.E. (2008). Human development (10th ed). New York: McGraw-Hill Companies, Inc.
Pollit, D. F., Nuttall, R.L., & Nuttall, E.V. (1980). The only child grows up: A Look at some characteristics of adult only children. Family Relations, 29, 99-106
Rakhmat, J. (2003). Psikologi komunikasi (rev.ed). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Riadi, M. (2012, 21 November). Definisi, fungsi dan bentuk keluarga. KajianPustaka [on-line]. Diakses pada tanggal 4 September 2014 dari
http://www.kajianpustaka.com/2012/11/definisi-fungsi-dan-bentuk-keluarga.html
Rustika, I.M. (2004, 4 Januari). Anak tunggal yang terlalu lekat pada ibunya.
BaliPost [on-line]. Diakses pada tanggal 16 Oktober 2014 dari
http://www.balipost.co.id/Balipostcetak/2004/1/4/c5.html
Santrock, J.W. (2002). Life-Span development: Perkembangan masa hidup. Edisi 5, Jilid I. Jakarta: Erlangga.
Santrock, J.W. (2003). Adolescence: Perkembangan remaja (6th ed). Jakarta: Erlangga.
Sarwono, S.W. (2007). Psikologi remaja (rev.ed). Jakarta: Rajawali.
Silalahi, G. A. (2003). Metodologi penelitian dan studi kasus. Sidoarjo: Citra Media.
Singarimbun, M. & Effendi, S. (1992). Metode penelitian survey (rev.ed). Jakarta: LP3ES.
Soesens, B., Vansteenkiste, M., Lens, W., Luyckx, K., Goossens, L., Beyers, W., & Ryan, R.M. (2007). Conceptualizing parental autonomy support: Adolescent perceptions of promotion of independence versus promotion of volitional functioning. Developmental Psychology, 43 (3), 633–646.
Steinberg, L. (2002). Adolescence. New York: Mc.Graw Hill Companies, Inc. Sugiyono. (2010). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan r & d. Bandung:
Alfabeta.
Tyas, M. P. (2008). Gambaran kemandirian anak tunggal dewasa muda. Jakarta: Perpustakaan Universitas Indonesia.
Uredi, M. E. (2008). The effect of perceived parenting style on sel regulated learning strategies and motivational beliefs. International Journal about Parents in Education, Vol 2, No 1, 25-34.
LAMPIRAN 1 Form Rater untuk Profesional Judgement
FORM RATER
Bapak/Ibu yang saya hormati,
Saya adalah mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Airlangga yang
sedang nenyusun skripsi dengan judul “Kemandirian pada Remaja yang
Berstatus sebagai Anak Tunggal ditinjau dari Pola asuh Orangtua”, memohon kesediaan Bapak/Ibu untuk menjadi professional judgement.
Sehubungan dengan hal ini, saya lampirkan teori mengenai Pola Asuh dan Kemandirian. Saya mengharapkan kesediaan Bapak/Ibu untuk mengkritisi dan memberikan saran pada aitem-aitem yang ada dalam alat ukur yang saya buat.
Atas perhatian dan kerjasama Bapak/Ibu saya ucapkan terima kasih.
Hormat saya,
Kamelia Dewi P. NIM. 111011037
1.1 Pengertian Kemandirian
Kemandirian menurut Steinberg (2002) adalah kemampuan remaja dalam berpikir, merasakan dan membuat keputusan secara pribadi berdasarkan diri sendiri dibandingkan mengikuti apa yang orang lain percayai. Istilah autonomy
dalam kajian mengenai kemandirian seringkali disejajarkan dengan kata
independence meskipun sebenarnya ada perbedaan yang sangat tipis diantara kedua kata tersebut (Steinberg, 2002). Secara umum, independence menunjuk pada kemampuan individu dalam menjalankan sendiri aktivitas hidup yang terlepas dari pengaruh kontrol orang lain (Steinberg, 2002). Individu yang
independence akan mampu menjalankan sendiri aktifitas hidup terlepas dari pengaruh kontrol orang lain terutama orangtua. Sedangkan istilah autonomy
mempunyai komponen emotional dan cognitive yang sama baiknya seperti
komponen behavioral (Steinberg, 2002). Steinberg (2002) menngunakan istilah
autonomy untuk mengkonsepkan kemandirian sebagai self governing person yaitu kemampuan menguasai diri sendiri.
Apabila konsep-konsep di atas dicermati, maka kemandirian adalah adalah kemampuan untuk mengelola diri sendiri, tidak bergantung secara emosional terhadap orang lain terutama pada orangtua, kemampuan mengambil keputusan secara mandiri dan kemampuan menggunakan prinsip-prinsip mengenai benar dan salah serta penting dan tidak penting (Steinberg, 2002). Kemandirian pada remaja dapat dilihat dari aspek-aspek kemandirian secara psikososial yaitu dilihat dari kemandirian emosi, kemandirian perilaku dan kemandirian nilai (Steinberg, 2002).
1.2 Dimensi Kemandirian
Menurut Steinberg (2002), ada tiga macam kemandirian yaitu:
d. Emotional autonomy
Emotional autonomy atau kemandirian emosional adalah dimensi
kemandirian yang berhubungan dengan perubahan keterikatan hubungan emosional remaja dengan orang lain terutama dengan orangtua. Kemandirian emosional didefinisikan sebagai kemampuan remaja untuk tidak bergantung terhadap dukungan emosional dari orangtua. Para remaja mengalami pergeseran dari tergantung padaorangtua untuk mendapatkan dukungan emosional sekarang berubah mendapat dukungan dari orang lain seperti dari teman-temannya. Perkembangan kemandirian emosional dimulai pada awal masa remaja dan ketergantungan emosional remaja terhadap orangtua akan menjadi berkurang pada masa remaja akhir (Steinberg, 2002). Munculnya kemandirian emosional bukan berarti munculnya pemberontakan remaja terhadap orangtua (Collins, 1990; Hill & Holmbeck, 1986; Steinberg, 1990 dalam Steinberg, 2002).
Silverberg & Steinberg (dalam Steinberg, 2002) mengungkapkan bahwa terdapat empat aspek kemandirian emosional yaitu sebagai berikut:
1. De-idealized yaitu sejauh mana remaja mampu untuk tidak memandang orangtua sebagai sosok yang ideal. Perilaku yang dapat dilihat adalah remaja tidak lagi menganggap orangtua sebagai orang yang paling tahu, benar dan berkuasa, sehingga
ketika menentukan sesuatu maka mereka tidak lagi bergantung pada dukungan emosional dari orangtuanya.
2. Parents as people yaitu sejauh mana remaja memandang orangtua
sebagai sebagai orang dewasa pada umunya. Perilaku yang dapat dilihat adalah remaja melihat orangtua sebagai individu selain sebagai orangtuanya dan dapat berinteraksi dengan orangtuanya tidak hanya dalam hubungan orangtua dan anak tetapi juga berinteraksi dalam hubungan antar individu. Contoh perilaku yang dapat dilihat adalah remaja mampu memandang perbedaan sikap orangtuanya terhadap anak dan terhadap teman-temannya.
3. Non dependency yaitu sejauh mana remaja bergantung pada
kemampuannya sendiri tanpa mengharapkan bantuan dari orang lain. Perilaku yang muncul adalah remaja mampu menunda keinginan untuk menunjukkan perasaannya terhadap orangtua sesegera mungkin, mampu menunda keinginan untuk meminta dukungan emosional kepada orangtuanya.
4. Individuated yaitu remaja mampu memiliki derajat individuasi dalam hubungannya dengan orangtua. Individuasi berarti remaja mampu untuk berperilaku yang lebih bertanggung jawab. Perilaku yang dapat dilihat adalah remaja mampu melihat perbedaan antara
pandangan orangtua dengan pandangannya pribadi dan
e. Behavioral autonomy
Kemandirian perilaku (behavioral autonomy) adalah kemampuan dalam
menentukan pilihan dan mengambil keputusan secara mandiri. Kemandirian perilaku mencakup kemampuan untuk meminta pendapat orang lain jika diperlukan sebagai dasar pengembangan alternatif pilihan, menimbang berbagai pilihan yang ada dan pada akhirnya mampu mengambil kesimpulan untuk suatu keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan. Melalui pertimbangan diri sendiri dan pendapat dari orang lain kemudian remaja mengambil keputusan secara mandiri bagaiamana untuk bertindak (Hill & Holmbeck, 1986 dalam Steinberg, 2002).
Terdapat tiga aspek kemandirian perilaku pada remaja yaitu sebagai berikut:
1. Remaja memiliki kemampuan mengambil keputusan yang ditandai
dengan menyadari adanya resiko dari tingkah lakunya, memilih alternatif pemecahan masalah yang didasarkan atas pertimbangan sendiri dan orang lain, bertanggung jawab terhadap konsekuensi dari keputusan yang diambilnya (Steinberg, 2002).
2. Remaja memiliki kekuatan terhadap pengaruh orang lain yang ditandai dengan tidak mudahnya terpengaruh dalam situasi yang menuntut konformitas, tidak mudah terpengaruh tekanan teman sebaya dan orangtua dalam mengambil keputusan, memasuki kelompok sosial tanpa tekanan (Steinberg, 2002).
3. Self reliance yaitu remaja merasa percaya diri yang ditandai dengan merasa mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari di rumah dan di kuliah, merasa mampu memenuhi tanggung jawab di rumah dan di kuliah, merasa mampu mengatasi masalahnya sendiri, berani dalam mengemukakan ide dan gagasan (Steinberg, 2002).
f. Value autonomy
Rest (dalam Steinberg, 2002) mengungkapkan bahwa kemandirian nilai berkembang selama masa remaja akhir. Kemandirian nilai adalah kemampuan memiliki sikap independen dan keyakinan tentang spiritualitas, politik, dan moral. Kemampuan remaja untuk berpikir secara abstrak membantu mereka melihat perbedaan antara situasi umum dan khusus, serta
membuat penilaian menggunakan higher order thinking. Pada value
autonomy ini remaja mengambil waktu untuk mempertimbangkan sistem nilai pribadi mereka. Dengan cara ini, remaja membuat kesimpulan secara mandiri tentang nilai mereka, bukan hanya menerima dan mengikuti nilai-nilai dari orangtua atau figur otoritas. Steinberg (2002) mengungkapkan tiga aspek dalam kemandirian nilai yaitu sebagai berikut:
1. Kemampuan dalam berpikir abstrak dalam memandang suatu masalah (abstract belief). Perilaku yang dapat dilihat adalah remaja mampu menimbang berbagai kemungkinan dalam bidang nilai.
2. Memiliki keyakinan yang berakar pada prinsip-prinsip umum yang memiliki dasar ideologi (principled belief). Perilaku yang dapat dilihat
adalah remaja berpikir dan bertindak sesuai dengan prinsip yang dapat dipertanggungjawabkan dalam bidang nilai.
3. Memiliki keyakinan mengenai nilai-nilainya sendiri, bukan hanya karena sistem nilai yang disampaikan oleh orangtua atau figur otoritas lainnya (independent belief). Perilaku yang dapat dilihat adalah remaja mengevaluasi kembali keyakinan akan nilainya sendiri, berpikir sesuai dengan keyakinan dan nilainya sendiri, dan bertingkah laku sesuai dengan keyakinan dan nilainya sendiri.
Dimensi Indikator F/UF Item Saran Kemandirian Emosional De-idealized (remaja tidak memandang orangtua sebagai sosok yang ideal) F
Orangtua saya terkadang juga melakukan kesalahan Saya merasa orangtua saya tidak selalu benar
Saya memiliki pendapat
saya sendiri, tidak selalu
pendapat orangtua yang
saya lakukan
Orangtua saya bukanlah
sosok yang mengetahui
segala hal
UF
Saya merasa orangtua saya
tidak pernah membuat
kesalahan
Pendapat orangtua akan
selalu saya lakukan
Saya ingin menjadi seperti orangtua saya
Saya merasa orangtua saya tidak selalu benar
Parents as
people (remaja memandang orangtua sebagaimana orang lain pada umumnya)
F
Sikap orangtua kepada saya
berbeda dengan sikap
orangtua terhadap teman-temannya
Saya berinteraksi dengan orangtua tidak hanya dalam
hubungan orangtua-anak
tetapi seperti dengan
Saya memandang orangtua saya sebagaimana orang dewasa pada umunya
UF
Sikap orangtua terhadap saya sama dengan sikap orangtua terhadap teman-temannya
Saya tidak dapat
berinteraksi dengan
orangtua seperti berinteraksi dengan orang dewasa pada umumnya Nondependency (remaja percaya pada kemampuannya sendiri dibandingkan harus meminta bantuan dari orangtua) F
Ketika saya melakukan
kesalahan, saya tidak selalu bergantung pada orangtua
untuk menyelesaikan
masalah saya
Ketika gugup, saya
memiliki cara sendiri untuk mengatasinya
Mudah bagi saya untuk mengatasi ketakutan tanpa bantuan dari orangtua Penting bagi saya untuk tidak menunjukkan perasaan bersedih saya di depan orangtua saya
UF
Saya membutuhkan
dukungan dari orangtua
Saya akan meminta bantuan
orangtua ketika saya
memiliki masalah dengan teman
Saya akan curhat pada orangtua ketika bersedih Orang yang paling saya butuhkan ketika bersedih adalah orangtua Individuated (remaja memiliki derajat individuasi dalam hubungannya dengan orangtua) F
Saya dapat melihat adanya perbedaan pendapat antara saya dan orangtua saya Saya menabung uang jajan saya tanpa sepengetahuan orangtua
Saya akan bertanggung
jawab terhadap setiap
kesalahan yang saya
lakukan
UF
Saya merasa saya dan
orangtua memiliki
pandangan yang sama
dalam beberapa hal
Saya akan meminta uang
pada orangtua ketika
membutuhkan daripada
mengambil tabungan saya Kemandirian Perilaku Remaja memiliki kemampuan F
Saya memilih alternatif
pemecahan masalah
mengambil keputusan sendiri
saya dan orang lain
Saya menyadari setiap
resiko dari perilaku saya
Saya akan bertanggung
jawab terhadap konsekuensi dari keputusan yang saya ambil
UF
Saya mengandalkan
orangtua untuk memutuskan cara pemecahan masalah yang saya hadapi
Terkadang saya tidak
menyadari akan
konsekuensi dari setiap
perilaku saya
Sulit bagi saya untuk
bertanggungjawab sendiri
terhadap konsekuensi dari keputusan yang saya ambil
Memiliki kekuatan terhadap pengaruh orang lain F
Ketika ujian sudah dekat saya akan terus belajar
meskipun orang lain
mengajak saya pergi
Saya memilih universitas
pilihan saya meskipun
orangtua memilih berbeda dengan saya
Penting bagi saya untuk memilih organisasi sesuai
sendiri
UF
Penting bagi saya untuk
mengikuti apa yang
dilakukan teman-teman saya Saya memilih universitas pilihan orangtua saya
Saya akan ikut teman-teman untuk pergi meskipun ujian sudah dekat
Self reliance
(remaja merasa percaya diri)
F
Saya dapat mencari makan sendiri ketika tidak ada makanan di rumah/ di kos Penting bagi saya untuk
menyiapkan perlengkapan
kuliah saya sendiri
Saya dapat mengatasi
masalah saya seorang diri Mudah bagi saya untuk
mengemukakan pendapat
saya kepada orang lain
UF
Saya merasa belum
memenuhi tanggung jawab saya di rumah
Saya merasa malu untuk
mengemukakan pendapat
dalam sebuah diskusi
Saya cenderung diingatkan untuk menata buku ataupun perlengkapan untuk kuliah
Nilai memiliki kemampuan berpikir yang abstrak dalam cara mereka memandang suatu masalah
demonstrasi demi keadilan di masyarakat
Saya memiliki keinginan
untuk menjadi aktivis
pembela HAM
Ketika saya mendengar
gosip, saya akan mencari tahu kebenarannya sebelum mempercayai
Penting bagi saya unuk menyusun rencana terlebih
dahulu sebelum
menyelesaikan masalah
UF
Demonstrasi untuk membela
keadilan adalah sia-sia
menurut saya
Kasus HAM adalah kasus
yang sulit untuk
diperjuangkan
Saya akan percaya terhadap
gosip-gosip yang saya
dengar
Saya tidak pernah
menyusun rencana dalam penyelesaian masalah Keyakinan remaja berakar pada prinsip-prinsip umum yang memiliki F
Saya akan meminta uang kepada orangtua dengan jumlah yang sesuai dengan buku yang akan saya beli, tidak kurang tidak lebih
dasar ideologi Penting bagi saya untuk mengingatkan teman supaya tidak melakukan kecurangan
dalam anggaran dana
kepanitiaan
Penting bagi saya untuk menulis tugas tanpa plagiasi karya oranglain
Saya tidak segan-segan
menegur teman saya yang akan menyontek tugas saya
UF
Saya melakukan kecurangan
dalam anggaran dana
kepanitiaan
Saya akan meminta uang lebih kepada orangtua untuk
pembelian buku dan
kepentingan kuliah
Saya lebih memilih copy-paste tugas kakak kelas atau teman saya yang sudah
mengambil mata kuliah
yang sama
Saya dan teman-teman biasa untuk saling bekerja sama ketika ujian tiba
Remaja memiliki keyakinan mengenai
nilai-F
Saya memiliki keyakinan sendiri terhadap apa yang benar dan salah bukan
nilainya sendiri, bukan hanya karena sistem nilai yang disampaikan oleh orangtua atau figur otoritas lainnya memberitahukan mengenai hal tersebut
Penting bagi saya untuk
tidak terlambat masuk
kuliah meskipun banyak
temn-teman yang masih
sering terlambat
Saya tahu bahwa menyontek adalah hal yang tidak baik bukan karena orangtua yang menasehati
UF
Saya tidak akan menegur
orangtua saya apabila
mereka membuat kesalahan Saya mengetahui hal yang
benar dan salah dari
orangtua saya
Saya sering keluar ketika
jam pelajaran yang
membosankan meskipun
saya tahu hal tersebut tidak patut dilakukan
Penting bagi saya untuk
memendam perbedaan
pendapat saya dengan
1.3 Pengertian Pola Asuh
Baumrind (1991, dalam Uredi, 2008) mengartikan pola asuh sebagai aktivitas kompleks, termasuk banyak perilaku tertentu secara individu maupun bersama yang kemudian mempengaruhi perkembangan anak. Baumrind (1971, 1991, dalam Kopko, 2007) mengidentifikasikan empat bentuk gaya pengasuhan berdasarkan dua aspek perilaku pengasuhan yaitu kontrol dan kehangatan. Kontrol pengasuhan adalah bagaimana orangtua mampu mnegatur perilaku anak, sedangkan kehangatan pengasuhan adalah orangtua mampu menerima dan merespon perilaku anak berlawanan dengan menolak atau tidak responsif terhadap anak. Selanjutnya hanya tiga bentuk gaya pengasuhan yang dijelaskan oleh Baumrind (Agustiani, 2006). Ketiga bentuk tersebut adalah otoriter, permisif, dan otoritatif.
2.3.3. Tipe Pola Asuh
Baumrind (1971, dalam Santrock, 2002) menekankan tiga tipe pola asuh yang dikaitkan dengan aspek-aspek yang berbeda dalam perilaku sosial anak yaitu otoriter, otoritatif, dan permisif. Dalam laporan yang dibuat oleh Baumrind (1966) dalam “Prototypical Descriptions of 3 Prenting Styles”
hanya disebutkan tiga bentuk pengasuhan yaitu sebagai berikut: a.Otoriter
Gaya pengasuhan yang membatasi, menghukum dan menuntut anak untuk mengikuti perintah orangtua, atau cenderung menggunakan disiplin yang keras. Orangtua dengan pengasuhan ini cenderung lebih mengendalikan, membentuk, mengontrol dan mengevaluasi
sikap dan perilaku anak apakah sesuai dengan standart yang diberikan oleh orangtua atau tidak (Baumrind, 1966). Mereka tidak memberikan kesempatan anaknya untuk berdiskusi tentang aturan yang diberikan, melainkan sudah menjadi sebuah standar dan tidak dapatt ditentang. Akibatnya remaja yang terbentuk menjadi memiliki sikap pemberontak, agresif dan bergantung pada orangtuanya (Baumrind, 1971, 1991, dalam Kopko, 2007).
b.Permisif
Gaya pengasuhan yang sering dinamakan serba boleh dimana orangtua jarang memberikan larangan atas keinginan anak dan orangtua memberikan kebebasan kepada anaknya. Mereka memanjakan dan cenderung pasif dalam hal mengasuh anak. Selain itu, orangtua juga jarang menuntut dan menghukum anak, kurang menanamkan sikap disiplin pada anak, terlalu membebaskan anak untuk menentukan keinginan dan keputusan apa yang akan dipilih dan dilakukan sehingga orangtua terlihat tidak aktif dalam membantu pembentukan remajanya. Akibatnya adalah anak hanya mengenal sedikit batasan dan aturan, sulit mengontrol dirinya dan memiliki kecenderungan menjadi egosentris yang mungkin akan mengganggu perkembangannya yang berhubungan dengan teman sebaya (Baumrind, 1971, 1991, dalam Kopko, 2007).
Gaya pengasuhan yang mengarahkan kegiatan anak, mendorong anak agar dapat mandiri namun masih menetapkan batasan dan pengendalian atas tindakan mereka serta mendidik untuk dapat menjadi pendengar dan bersedia mempertimbangkan apa yang dipikirkan remaja, sehingga anak diberikan kesempatan untuk dapat berdiskusi. Akibatnya anak akan cenderung lebih mandiri, bertanggung jawab dan kompeten dalam hal sosial (Baumrind, 1971, 1991, dalam Kopko, 2007).
Tipe Indikator F/UF Item Saran Otoriter Bersikap emosional dan cenderung menggunakan hukuman F
Saya akan dimarahi orangtua bila terlambat pulang
sekolah/kuliah
Saya akan dihukum bila tidak melakukan tugas yang
diberikan orangtua
Saya akan diberi hukuman bila melanggar peraturan yang diterapkan di rumah Saya akan dibentak bila melakukan kesalahan
UF
Orangtua mengingatkan secara baik-baik mengenai tugas yang harus saya laksanakan di rumah Orangtua akan menanyai saya dengan baik-baik alasan saya terlambat pulang
sekolah/kuliah Memiliki kontrol yang tinggi dan bersikap kaku F
Orangtua akan menanyakan mengenai jadwal pulang sekolah/kuliah saya Semua kegiatan saya di sekolah/kampus sudah diatur oleh orangtua
Orangtua akan bertanya mengenai alasan saya pulang lebih awal dari jam
Aturan yang telah dibuat oleh orangtua tidak dapat
diganggu gugat
Orangtua melarang saya untuk beraktivitas di luar sekolah/kampus
Saya dibatasi dalam hal pertemanan oleh orangtua Orangtua yang menentukan di sekolah/universitas mana saya akan didaftarkan
UF
Orangtua enggan turut campur dalam permasalahan yang saya hadapi
Saya bebas berteman dengan siapa saja tanpa harus
meminta ijin terlebih dahulu Saya diberi kesempatan untuk beraktivitas dengan leluasa
Saya dapat mengikuti kegiatan disekolah/kampus sesuai dengan keinginan saya Bersikap mengomando atau memerintah anak F
Apa saja yang diperintahkan oleh orangtua harus saya lakukan
Saya harus mengikuti bimbimngan belajar yang telah ditentukan orangtua Saya diminta untuk menjauhi
teman yang memiliki perilaku buruk
Saya harus melaksanakan setiap keputusan di rumah yang telah ditetapkan oleh orangua
UF
Saya diturut sertakan dalam pengambilan keputusan tentang pembagian tugas di rumah
Saya dapat saja
menghiraukan perintah yang diberikan orangtua tanpa dikenai hukuman Permisif Memiliki kontrol yang rendah terhadap anak F
Saya dibebaskan untuk beraktivitas apa saja di luar rumah
Saya diperbolehkan berteman dengan siapa saja
Saya diberikan kebebasan untuk mengikuti kegiatan di luar sekolah/kampus
Orangtua tidak menentukan dan mengatur kegiatan yang saya jalani
UF
Ada jam malam atau jam pulang yang ditentukan di rumah
Orangtua menyarankan saya untuk tidak mengikuti
banyak kegiatan di sekolah/kampus
Orangtua saya sangat tegas melarang saya berhubungan dengan teman yang
berlawanan jenis/berpacaran Setiap kegiatan yang saya lakukan di luar
sekolah/kampus perlu