PERBEDAAN KEMANDIRIAN PADA REMAJA YANG
BERSTATUS SEBAGAI ANAK TUNGGAL DITINJAU DARI
PERSEPSI POLA ASUH ORANGTUA
SKRIPSI
Disusun oleh:
KAMELIA DEWI PURBASARI
111011037
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
PERBEDAAN KEMANDIRIAN PADA REMAJA YANG
BERSTATUS SEBAGAI ANAK TUNGGAL DITINJAU DARI
PERSEPSI POLA ASUH ORANGTUA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Universitas Airlangga Surabaya
Disusun Oleh :
KAMELIA DEWI PURBASARI 111011037
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa apa yang tertulis dalam skripsi ini adalah benar
adanya dan merupakan hasil karya sendiri. Segala kutipan karya pihak lain telah saya
tulis dengan menyebutkan sumbernya. Apabila dikemudian hari ditemukan adanya
plagiasi, maka saya rela gelar kesarjanaan saya dicabut.
Surabaya, 16 Mei 2016
Penulis
Kamelia Dewi Purbasari NIM. 111011037
Skripsi ini telah disetujui oleh
Dosen Pembimbing Penulisan Skripsi
2016
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan dewan penguji
pada hari Kamis, 26 Mei 2016 dengan susunan Dewan Penguji
Ketua,
Dra. Prihastuti, SU., Psikolog
NIP. 1954061319810320004
Sekretaris, Anggota,
Rudi Cahyono, M.Psi., Psikolog Dr. Nur Ainy Fardana N., M.Si., Psikolog
HALAMAN MOTTO
“Jangan mencari ketakutanmu melainkan carilah harapan
dan mimpimu. Jangan berpikir tentang frustasimu, tetapi
tentang potensi yang belum terpenuhi. Perhatikan dirimu
bukan dengan apa yang telah kamu coba dan gagal, tetapi
dengan apa yang masih mungkin kamu lakukan”
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya ini kupersembahkan untuk kedua orangtua, kakak, adik, dan sahabatyang tak
pernah lelah mendoakan dan menyemangati perjalanan hidupku hingga saat ini.
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan
berkat-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Perbedaan Kemandirian pada Remaja yang Berstatus sebagai Anak Tunggal ditinjau
dari Persepsi terhadap Pola Asuh Orangtua”. Skripsi ini disusun dalam rangka menyelesaikan tugas Program Sarjana (S1) Fakultas Psikologi Universitas Airlangga.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya
bimbingan, dukungan dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Dr. Nurul Hartini, M.Kes., Psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi
UniversitasAirlangga beserta tim Wakil Dekan.
2. Dr. Nur Ainy Fardana N., M.Si., Psikolog, selaku dosen pembimbing skripsi
yang dengan sabar membimbing penulis dan membantu penulis hingga dapat
menyelesaikan skripsi.
3. Prof. Dr. Cholichul Hadi, Psikolog, selaku dosen wali yang telah membimbing
penulis.
4. Dr. Dewi Retno Suminar, M.Si., Psikolog, Dr. Wiwin Hendriani,Primatia Yogi
Wulandari, S.Psi., M.Si., Psikolog dan Prof. Dr. M.A.W. Tairas yang telah
5. Dosen-dosen Fakultas Psikologi atas segala ilmu yang bermanfaat dan
pengalaman berharga yang diberikan selama masa perkuliahan.
6. Seluruh Karyawan Fakultas Psikologi Universitas Aiirlangga atas kesediannya
membantu dalam proses penulisan skirpsi.
7. Dra. Rr. Florentina Sri Suhartini dan Vincensius Suhari, S.sos, selaku kedua
orangtua penulis yang doa, dukungan, dan restunya tidak pernah putus
mengiringi penulis agar selalu berusaha melakukan yang terbaik. Terima kasih
telah menjadi orangtua yang selalu mendukung dan memaafkan.
8. Agato Girindra Wardana., S.S dan Ignatius Tri Putra Karunia selaku kakak dan
adik penulis yang memberikan semangat penulis dalam menyelesaikan skripsi
dengan caranya masing-masing, yang sabar menemani, dan menghibur ketika
penulis lelah. Terima kasih atas pertengkaran dan keceriaan, tangisan dan
senyuman, teriakan dan bisikannya.
9. Para sahabatku dari Fakultas Psikologi Universitas Airlangga angkatan 2010
yaitu Vita, Ayu, Mila dan Hana yang selalu mendukung, memberi motivasi dan
menjadi tempat bertukar pikiran bagi penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi.
Sahabatku Rani yang tidak pernah lupa memotivasi penulis untuk segera
menyelesaikan skripsi. Terima kasih untuk semuanya dan semoga kita semua
tetap menjaga persahabatan ini.
10. Para sahabatku dari SMA Negeri 2 Surabaya lulusan 2010 yaitu Kakak, Nezya,
penulis untuk segera menyelesaikan skripsi. Terima kasih telah menjadi sahabat
setia dari masa SMA hingga sekarang.
11. Teman-teman angkatan 2010 serta seluruh teman-teman Fakultas Psikologi
Universitas Airlangga. Terima kasih atas pengalaman-pengalaman berharga
bersama-sama selama masa studi dan dalam berbagai kesempatan mengikuti
kepanitian.
12. Teman-teman yang telah membantu penulis dalam menemukan anak tunggal
sebagai subjek penelitian.
13. Para partisipan yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang bersedia untuk
menjadi subjek dalam penulisan ini.
14. Romo Sigit dan Romo Rinto yang dengan sabar dan bijaksana telah
mendengarkan keluh kesah penulis sekaligus memberikan kekuatan ketika
sedang dalam masa sulit penyelesaian skripsi.
15. Seluruh pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu. Penulis sangat
berterima kasih atas setiap bantuan meski sekecil apapun.
Surabaya, 26 Mei 2016
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR... xiv
DAFTAR LAMPIRAN... xv
ABSTRAK... xvi
BAB I PENDAHULUAN... 1
1.1Latar Belakang Masalah... 1
1.2Identifikasi Masalah... 7
1.3Batasan Masalah... 9
1.3.1 Kemandirian... 9
1.3.2 Pola Asuh... 9
1.3.3 Anak Tunggal Remaja... 10
1.4Rumusan Masalah... 10
1.5Tujuan penelitian... 10
1.6Manfaat Penelitian... 10
1.6.1 Manfaat Teoritis... 10
1.6.2 Manfaat Praktis... 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 12
2.1 Anak Tunggal Remaja... 12
2.1.1 Pengertian Remaja... 12
2.1.2 Pengertian Anak Tunggal... 13
2.1.3 Latar Belakang Anak Tunggal... 14
2.1.4 Karakteristik Anak Tunggal... 15
2.2 Kemandirian... 17
2.2.1 Pengertian Kemandirian... 17
2.2.2 Dimensi Kemandirian... 18
2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian... 21
2.3 Persepsi Pola Asuh... 23
2.3.2 Pengertian Pola Asuh... 23
2.3.3 Tipe Pola Asuh... 23
2.4 Hubungan Antara Kemandirian Remaja yang Berstatus sebagai Anak Tunggal dengan Persepsi Pola Asuh Orangtua... 25
2.5 Kerangka Konseptual... 28
2.6 Hipotesis... 29
BAB III METODE PENELITIAN... 30
3.1 Tipe Penelitian... 30
3.2 Identifikasi Variabel Penelitian... 31
3.3 Definisi Operasional Variabel... 32
3.3.1 Persepsi Pola Asuh... 32
3.3.2 Kemandirian... 34
3.4 Subjek Penelitian... 36
3.4.1 Populasi... 36
3.4.2 Sampel... 36
3.5 Teknik Pengumpulan Data... 37
3.5.1 Skala Kemandirian... 38
3.5.2 Skala Persepsi Pola Asuh... 41
3.6 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur... 43
3.6.1 Validitas Alat Ukur... 43
3.6.2 Reliabilitas Alat Ukur... 45
3.6.2.1 Reliabilitas Skala Persepsi Pola Asuh... 46
3.6.2.2 Reliabilitas Skala Kemandirian... 48
3.7 Analisis Data... 49
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 51
4.1 Gambaran Subjek Penelitian... 51
4.2 Pelaksanaan Penelitian... 52
4.2.1 Persiapan Penelitian... 52
4.2.2 Persiapan Instrumental... 54
4.2.3 Pengambilan Data... 55
4.2.4 Hambatan dalam Penelitian... 55
4.3 Hasil Penelitian... 56
4.3.1 Analisis Statistik DeskriptifPersepsi Pola Asuh... 56
4.3.2 Analisis Statistik Deskriptif Kemandirian... 59
4.3.3 Kategorisasi Variabel Terikat Berdasarkan Model Distribusi Normal... 62
4.3.3.1 Kategorisasi Kemandirian... 62
4.3.4 Uji Asumsi... 63
4.3.4.1 Uji Normalitas... 63
4.3.5 Hasil Analisis Data... 65
4.4 Pembahasan... 66
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 69
5.1 Kesimpulan... 69
5.2 Saran... 69
5.2.1 Bagi Peneliti Selanjutnya... 69
5.2.2 Bagi Orangtua... 70
5.2.3 Bagi Remaja yang Berstatus sebagai Anak Tunggal... 70
DAFTAR PUSTAKA... 71
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Skoring Skala Favorable Kemandirian... 39
Tabel 3.2. Skoring Skala Unfavorable Kemandirian... 39
Tabel 3.3. Blueprint Skala Kemandirian (Sebelum Uji Coba)... 40
Tabel 3.4. Skoring Skala FavorablePersepsi Pola Asuh... 42
Tabel 3.5. Skoring Skala UnfavorablePersepsi Pola Asuh... 42
Tabel 3.6. Blueprint Skala Persepsi Pola Asuh (Sebelum Uji Coba)... 42
Tabel 3.7. Professional Judgement... 44
Tabel 3.8. Reliabilitas Skala Persepsi Pola Asuh... 47
Tabel 3.9. Blueprint Skala Persepsi Pola Asuh... 47
Tabel 3.10. Reliabilitas Skala Kemandirian... 48
Tabel 3.11. Blueprint Skala Kemandirian... 48
Tabel 4.1. Jumlah Subjek Berdasarkan Usia... 51
Tabel 4.2. Jumlah Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin... 52
Tabel 4.3. Analisis Desktiptif Statistik Persepsi Pola Asuh... 56
Tabel 4.4. Deskripsi Persepsi Pola Asuh Berdasarkan Usia... 57
Tabel 4.5. Deskripsi Persepsi Pola Asuh Berdasarkan Jenis Kelamin... 58
Tabel 4.6. Analisis Desktiptif Statistik Kemandirian... 59
Tabel 4.7. Deskripsi Kemandirian Berdasarkan Usia... 60
Tabel 4.8. Deskripsi Kemandirian Berdasarkan Jenis Kelamin... 61
Tabel 4.9.Deskripsi Kemandirian Berdasarkan Persepsi Pola Asuh... 61
Tabel 4.10. Norma Kategorisasi Kemandirian... 62
Tabel 4.11. Norma Kemandirian... 62
Tabel 4.12. Kategorisasi Kemandirian pada Remaja yang Berstatus sebagai Anak Tunggal... 63
Tabel 4.13. Hasil Uji Normalitas Data... 64
Tabel 4.14. Hasil Uji HomogenitasPersepsi Pola Asuh dan Kemandirian... 64
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.Form Rater untuk Profesional Judgement...... 73
Lampiran 2.Surat Pernyataan Profesional Judgement... 100
Lampiran 3.Format Kuisioner... 105
Lampiran 4.Data Skor Kasar Skala Persepsi Pola Asuh Otoriter dan Permisif... 115
Lampiran 5. Data Skor Kasar Skala Persepsi Pola Asuh Demokratis... 119
Lampiran 6.Data Skor Kasar Skala Kemandirian... 122
Lampiran 7. Hasil Uji Reliabilitas... 128
Lampiran 8. Skor Skala Kemandirian (Setelah Uji Reliabilitas)... 141
Lampiran 9. Skor Skala Persepsi Pola ASuh (Setelah Uji Reliabilitas)...145
Lampiran 10. Data Z-score Persepsi Pola Asuh... 148
Lampiran 11. Statistik Deskriptif... 150
Lampiran 12.Analisis Deskriptif Berdasarkan Usia... 152
Lampiran 13. Analisis Deskriptif Berdasarkan Jenis Kelamin... 155
Lampiran 14. Analisis Deskriptif Kemandirian berdasarkan Persepsi Pola Asuh Orangtua... 157
Lampiran 15. Normalitas... 159
Lampiran 16. Uji Homogenitas...162
Lampiran 17. Uji Beda... 164
ABSTRAK
Kamelia Dewi Purbasari, 111011037,Perbedaan Kemandirian pada Remaja yang Berstatus sebagai Anak Tunggal ditinjau dari Persepsi Pola Asuh Orangtua, Skripsi, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, 2016.
xvii + 72 halaman, 18 lampiran.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan pada kemandirian pada remaja yang berstatus sebagai anak tunggal ditinjau dari pola asuh orangtua. Populasi dalam penelitian ini adalah remaja yang berusia 18-21 tahun dan berstatus sebagai anak tunggal.
Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling dengan jumlah subjek sebanyak 62 orang. Alat ukur yang digunakan berupa kuisioner pola asuh yang terdiri dari 19 aitem valid dengan reliabilitas sebesar 0,918 berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Baumrind (1966) dengan tiga tipe pola asuhyaitu: otoriter, permisif, dan demokratis. Sedangkan alat ukur kemandirian terdiri dari 26 aitem valid dengan reliabilitas sebesar 0,810 berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Steinberg (2002).
Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik uji bedaOne-Way Between Group ANOVA dengan bantuan program SPSS versi 16.00 for Windows.Hasil analisis data menunjukkan nilai F sebesar 1,942 dengan taraf siginifikansi sebesar 0,152 yang artinya tidak ada perbedaankemandirian pada remaja yang berstatus sebagai anak tunggal ditinjau dari persepsi pola asuh orangtua.
Kata kunci: remaja, anak Tunggal, pola asuh, kemandirian
ABSTRACT
Kamelia Dewi Purbasari, 111011037, The Difference of Independence in Adolescents Whose Status as an Only Child in Terms of The Perception of Parents Parenting,
Undergraduate Thesis, Faculty of Psychology in Airlangga University, 2016. xvii + 72 pages, 18 appendixes.
This research aims to determine whether there are differences in adolescent independence status as an only child in terms of parents parenting. The population in this research were adolescents aged of 18 – 21 years old and the status as an only child.
The sampling technique used is purposive sampling with the number of the subjects were 62 people..Measuring instrument used is a questionnaire of parenting there are 19 valid items with reliability of 0.918 for the parenting variable based on the theory put forward by Baumrind (1966) with three types, namely parenting: authoritarian, permissive and democratic. Whilst the independence of the measuring instrument there are 26 valid items with reliability of 0.810 for an independent variable based on the theory advanced by Steinberg (2002).
The data analysis was done by using different test One-Way Between Group ANOVA with assistance of SPSS version 16.00 for Windows. The results of the data analysis showed a significance level of 0.152 at F value of 1.942, which means there is no diffference in independence of the adolescent as the only child in term of the perception of parents parenting.
Keywords: adolescent, only child, parenting, autonomy.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Keluarga merupakan dua atau lebih individu yang hidup bersama dalam satu
rumah dan memilki hubungan darah, perkawinan, atau adopsi. Individu dalam
keluarga saling berinteraksi dan memiliki peran berbeda serta mempertahankan
suatu budaya yang dimilikinya (Bailon & Maglaya, 1978 dalam Riadi, 2012).
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga
dan beberapa orang yang tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam
keadaan saling bergantung satu dengan yang lain (Departemen Kesehatan RI,
1988 dalam Riadi, 2012). Keluarga dikatakan sebagai keluarga yang memiliki
anak tunggal apabila di dalam keluarga tersebut terdiri dari ayah, ibu dan satu
orang anak (Landis, 1997; Gunarsa, 2003).
Anak tunggal adalah anak yang tidak memiliki saudara laki-laki maupun
perempuan, dimana ibu mereka hanya melahirkan satu kali dan merupakan anak
satu-satunya di dalam sebuah keluarga (Laybourn, 1990 dalam Laybourn, 1994).
Oleh karena itu, anak tunggal cenderung memiliki orang tua yang selalu
memberikan kasih sayang dan menjadikannya sebagai pusat perhatian sepanjang
hidupnya (Falbo & Polit dalam Papalia, 2008). Berdasarkan hasil amatan dalam
penuh dan cenderung dimanja oleh kedua orang tuanya karena tidak berbagi kasih
sayang dan perhatian dengan saudara. Mereka tidak memiliki kesulitan dalam
berinteraksi dengan kedua orangtua dan mendapatkan kasih sayang secara intensif
sepanjang hidupnya (Gunarsa, 2003). Kozlowski (dalam penerbitan) dan
Laybourn (1994) juga menyatakan bahwa anak tunggal terbiasa mendapatkan
perhatian dan cinta tak terbagi dari orang tua sepanjang hidupnya. Banyak
anggapan negatif mengenai anak tunggal yang muncul dari masyarakat umum.
Mereka beranggapan bahwa anak tunggal bersifat manja, agresif, bossy dan sulit
menyesuaikan diri (Anna, 2010). Pandangan negatif terhadap anak tunggal
lainnya adalah anak tunggal biasa menuntut dan diberikan orangtua perhatian
yang berlebih sehingga memiliki keterbatasan dalam menghadapi lingkungan
sosial dan menyesuaikan diri (Hall dalam Polit, dkk., 1980:99). Penelitian yang
dilakukan oleh Ara mengenai perbandingan kemandirian remaja anak tunggal
dengan tidak tunggal menunjukkan adanya perbedaan pada kemandirian antara
reaja anak tunggal dengan remaja tidak tunggal (Ara, 1998).
Kasih sayang orangtua pada anak tunggalnya tidak jarang diwujudkan dengan
memberikan bantuan secara total kepada anaknya setiap anak mendapatkan
kesulitan. Hal tersebut dapat berdampak kurang baik bagi pertumbuhan dan
perkembangan anak karena dapat tumbuh menjadi orang yang tidak mandiri dan
kurang bertanggung jawab (Graciana, 2004). Perhatian dan kasih sayang secara
berlebihan dan intensif dari orangtua juga dapat berakibat buruk bagi anak yaitu
menyebabkan anak menjadi egosentris, manja, dan egois serta mengakibatkan
2008). Hal ini juga ditunjukkan oleh penelitian mengenai kemandirian anak
tunggal yang dilakukan oleh Tyas menunjukkan bahwa satu dari tiga partisipan
tidak mencapai kemandirian (Tyas, 2008). Terdapat salah satu contoh kasus dalam
kehidupan sehari-hari mengenai permasalahan kemandirian pada anak tunggal
yaitu seorang anak tunggal berusia 22 tahun yang menurut cerita ibunya ia tidak
mau melanjutkan kuliahnya di luar kota, ibunya mengatakan bahwa anak tersebut
terlalu kekanak-kanakan dan tidak mau kuliah di luar kota karena merasa tidak
tenang berada jauh dari ibunya (Rustika, 2004).
Namun, penelitian yang dilakukan Laybourn berkata lain yaitu bahwa anak
tunggal memiliki tingkat kemandirian yang sama dengan anak yang memiliki
saudara. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bawah anak tunggal tidak
kurang atau lebih baik dibandingkan dengan anak yang memiliki saudara di dalam
tes kepemimpinan, kewarganegaraan, kedewasaan, kooperatif, dogmatisme,
kemandirian, locus of control, kontrol diri, kecemasan, stabilitas emosi, kepuasan
dan partisipasi sosial (Laybourn, 1994). Sebuah penelitian yang dilakukan di
China menyatakan bahwa anak tunggal di China memiliki performa yang lebih
baik dalam prestasi akademik dan perkembangan kognitif (Falbo & Poston, 1993).
Laybourn menemukan bahwa anak tunggal memiliki tingkat kemandirian yang
sama seperti anak lainnya (Laybourn, 1994). Pendapat serupa juga ditunjukkan
oleh Lorna (2002), bahwa ketidakberadaan saudara dalam kehidupan anak tunggal
membuat anak tunggal berelasi dengan orang lain dengan intensitas yang tinggi.
Intensitas tersebut memunculkan keinginan untuk menjadi mandiri dan tidak
Kemandirian menurut Steinberg (2002) adalah kemampuan remaja dalam
berpikir, merasakan dan membuat keputusan secara pribadi berdasarkan diri
sendiri dibandingkan mengikuti apa yang orang lain percayai. Kurangnya
kemandirian pada anak tunggal akan menjadi masalah saat anak tersebut
memasuki masa remaja. Hal ini dikarenakan masa remaja adalah sebagai masa
mencari identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa
dirinya dan apa peranannya dalam masyarakat (Hurlock,1999). Masa remaja
merupakan masa transisi perkembangan antara masa anak-anak dan dewasa yang
ditandai dengan perubahan biologis, kognitif, dan sosial. Batasan usia remaja
yang umum digunakan oleh para ahli adalah antara 12 hingga 21 tahun (Santrock,
2003; Monks, 2006).
Masa remaja merupakan masa peralihan karena remaja belum mencapai
status sebagai orang dewasa namun juga tidak lagi memiliki status sebagai
anak-anak. Masalah-masalah yang dialami remaja adalah masalah terkait perubahan
fisik dan psikis karena usaha dalam menemukan identitas diri. Freud berpendapat
bahwa perubahan fisik pada remaja mengakibatkan munculnya perubahan emosi
remaja tersebut di rumah (Holmbeck, 1996 dalam Steinberg, 2002:289). Salah
satu tugas perkembangan remaja menurut Havighurst yaitu mencari kemandirian
emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya (Hurlock, 1999; Ali, dkk.,
2010). Pada masa remaja inilah dikatakan sebagai periode penting bagi individu
selama proses perkembangan kemandirian (Steinberg, 2002). Remaja diharapkan
dapat membebaskan diri dari sifat kekanak-kanakan yang menggantungkan diri
mengambil keputusan secara mandiri. Selain itu, remaja juga merasa ingin bebas
dan keadaan inilah yang menjadikan remaja sering memberontak pada orangtua
(Ali, dkk., 2010). Remaja merasa ingin mandiri, namun juga membutuhkan rasa
aman dengan bergantung secara emosi kepada orangtua mereka. Remaja ingin
mandiri namun di sisi lain mereka tidak ingin melepaskan diri dari orangtuanya.
Hal serupa juga terjadi dari pihak orangtua, mereka menginginkan anak untuk
menjadi mandiri namun masih membatasi pilihan dan keputusan anaknya
(Hurlock, 1980).
Kemandirian merupakan salah satu proses perkembangan yang penting bagi
remaja (Soesens, dkk, 2007). Seiring dengan berjalannya waktu maka anak
diharapkan akan mampu melepaskan diri dari orangtuanya dan belajar menjadi
mandiri. Seorang anak tunggal memiliki beban yang lebih besar daripada anak
yang memiliki saudara. Harapan orangtua pada anak hanya dibebankan pada anak
mereka satu-satunya sehingga anak diharapkan akan menjadi individu yang
mandiri dan tegas (Soesens, dkk, 2007). Banyak anak tunggal yang mendapatkan
tekanan untuk menjadi sukses di masa depan (Kozwolski, dalam penerbitan).
Dampak negatif apabila remaja tidak mandiri adalah mereka cenderung tidak
mampu menentukan keputusannya karena semua telah ditentukan oleh orangtua
mereka. Hal ini dapat dipahami karena biasanya remaja yang tidak mandiri akan
berkonsultasi terlebih dahulu pada orangtua sebelum mengambil sebuah
keputusan (Hartono, 2006).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian adalah gen yaitu sifat yang
kemandirian akan menurunkan sifat kemandirian pada anak mereka. Namun hal
ini masih dipertanyakan kebenarannya (Ali, dkk., 2010). Selain itu, adapula pola
asuh yaitu cara pengasuhan orangtua terhadap anak yang mempengaruhi
kemandirian anaknya (Ali, dkk., 2010). Pendidikan di sekolah juga menjadi faktor
yang mempengaruhi kemandirian remaja. Proses pendidikan di sekolah yang tidak
mengangkat sistem demokrasi tetapi cenderung mendoktrin siswanya akan
mempengaruhi perkembangan kemandirian remaja (Ali, dkk., 2010). Faktor
lainnya adalah kehidupan masyarakat yang tidak memberikan wadah bagi potensi
remaja dalam kegiatan yang produktif. Hal tersebut dapat menghambat
perkembangan kemandirian remaja (Ali, dkk., 2010). Menurut hasil penelitian
Kartadinata (1988) dalam Ali, dkk. (2002) mengenai hal yang dapat menghambat
kemandirian remaja adalah adanya ketergantungan pada kontrol luar dan bukan
dari dirinya sendiri, sikap remaja yang tidak peduli pada lingkungan dan sikap
remaja yang konformistik.
Faktor yang mempengaruhi kemandirian yang diangkat dalam penelitian ini
adalah pola asuh orangtua. Pola asuh dari orangtua yang memiliki anak tunggal
cenderung mengontrol anak mereka sepanjang hidup mereka (Eccles, dkk., 1991).
Pola asuh tersebut dapat mempengaruhi perkembangan sosial dan intelektual anak
yang pada akhirnya mempengaruhi kemandirian anak mereka apabila anak tidak
mampu melepaskan diri dari kekuatan otoritas (Eccles, dkk., 1991; Hartono,
2006). Ketergantungan disiplin pada kontrol luar dan bukan pada niat sendiri ini
merupakan salah satu gejala negatif yang dapat mempengaruhi kemandirian
Untuk dapat memiliki kemandirian maka seseorang membutuhkan
kesempatan dan dukungan. Di dalam hubungan keluarga, orangtua yang berperan
dalam mengasuh, membimbing dan mengarahkan anak untuk mandiri (Steinberg,
2002). Keluarga merupakan lingkungan pertama yang memberikan kesempatan
remaja untuk mengembangkan kemampuan diri dalam bidang akademik maupun
lainnya. Kepribadian dan perilaku remaja akan terbentuk berdasarkan apa yang
ditanamkan orangtua melalui pola asuh. Oleh karena itu, pola asuh yang diberikan
orangtua menjadi faktor yang penting dalam membentuk kemandirian remaja baik
secara emosional, perilaku maupun nilai (Steinberg, 2002).
Permasalahan yang telah dijelaskan di atas mengenai kemandirian anak
tunggal dan pola asuh orangtua membuat penulis mempertanyakan mengenai
kemandirian anak tunggal yang telah remaja ditinjau dari perspektif mereka
terhadap pola asuh karena remaja merupakan waktu paling kompleks dan
memiliki banyak persoalan dalam rentang kehidupan manusia. Pertanyaan penulis
tersebut kemudian menjadi bahan penelitian mengenai kemandirian pada remaja
yang berstatus sebagai anak tunggal ditinjau dari persepsi terhadap pola asuh
orangtua.
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat diketahui bahwa
kemandirian merupakan salah satu proses yang penting dalam perkembangan bagi
remaja. Salah satu tugas perkembangan remaja yang dikemukakan oleh
yaitu mencari kemandirian emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya
(Hurlock, 1999). Kemandirian adalah membebaskan sifat kekanak-kanakan yang
menggantungkan diri dengan orangtua atau orang dewasa lainnya sehingga remaja
seharusnya mampu melakukan sesuatu dan mengambil keputusan secara mandiri
dan merasa ingin bebas (Hurlock, 1999). Seiring dengan berlalunya waktu maka
anak akan diharapkan memiliki kemampuan untuk melepaskan diri dari orangtua
dan belajar untuk menjadi mandiri (Soesens, dkk., 2007). Remaja yang mandiri
adalah remaja yang berani mengambil keputusan dilandasi oleh rasa tanggung
jawab dan pemahaman akan segala konsekuensi dari tindakannya (Ali, dkk.,
2010).
Pentingnya kemandirian pada remaja yang telah diungkapkan oleh beberapa
tokoh diatas kemudian menjadi pertanyaan bagi penulis mengenai kemandirian
pada remaja yang berstatus anak tunggal. Anak tunggal cenderung mendapatkan
kasih sayang dari orangtua sepanjang hidup mereka karena mereka tidak memiliki
saudara. Mereka cenderung dimanja dan mendapatkan cinta yang tak terbagi dari
orangtuanya (Falbo & Polit dalam Papalia, 2008; Gunarsa, 2003). Kasih sayang
berlebih yang diberikan orangtua pada anak tunggalnya dapat berdampak buruk
bagi pertumbuhan dan perkembangan anak karena dapat menjadi tidak mandiri
dan kurang bertanggung jawab (Graciana, 2004).
Orangtua yang memiliki anak tunggal juga cenderung mengontrol anaknya
sepanjang hidup mereka. Apabila anak kemudian tidak mampu untuk melepaskan
diri dari kontrol orangtua atau pihak otoritas maka anak akan menjadi tidak
berperan dalam mengasuh, membimbing dan mengarahkan anak untuk mandiri
(Steinberg, 2002). Kepribadian dan perilaku remaja akan terbentuk berdasarkan
apa yang ditanamkan orangtua melalui pola asuh. Oleh karena itu, pola asuh yang
diberikan orangtua menjadi faktor yang penting dalam membentuk kemandirian
remaja baik secara emosional, perilaku maupun nilai (Steinberg, 2002). Tipe pola
asuh yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe pola asuh menurut
Baumrind yaitu otoriter, permisif dan demokratis.
1.3. Batasan Masalah
Sesuai dengan identifikasi masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka masalah pada penelitian ini dibatasi hanya pada:
1.3.1. Kemandirian
Pengertian kemandirian yang dimaksud penulis di sini mengacu pada
kemandirian menurut Steinberg yaitu kemampuan remaja dalam berpikir,
merasakan dan membuat keputusan secara pribadi berdasarkan diri sendiri
dibandingkan mengikuti apa yang orang lain percayai.
1.3.2. Persepsi terhadap Pola Asuh
Pengertian pola asuh yang dimaksud oleh penulis di sini adalah bagaimana
remaja menilai pola asuh yang diberikan oleh orangtua mereka. Karena pola asuh
ini yang nantinya mempengaruhi kemandirian remaja. Tipe pola asuh ada tiga
1.3.3. Anak Tunggal Remaja
Remaja yang akan menjadi subjek penelitian ini adalah remaja yang
berstatus sebagai anak tunggal yaitu anak yang tidak memiliki saudara kandung,
kakak atau adik dalam satu keluarga dan berusia 18-21 tahun, perempuan maupun
laki-laki.
1.4. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang telah diuraikan peneliti sebelumnya maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Apakah ada perbedaan
kemandirian pada remaja yang berstatus sebagai anak tunggal ditinjau dari
persepsi terhadap pola asuh orangtua?”
1.5. Tujuan Penelitian
Berdasarkan dari rumusan masalah penelitian yang dituliskan peneliti maka tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui apakah ada perbedaan kemandirian
pada remaja yang berstatus sebagai anak tunggal ditinjau dari persepsi terhadap
pola asuh orangtua.
1.6. Manfaat Penelitian
1.6.1. Manfaat Teoritis
1. Memperkaya pengetahuan mengenai kemandirian dalam bidang ilmu
2. Menambah literatur keilmuan dan referensi mengenai kemandirian pada
remaja yang berstatus anak tunggal ditinjau dari persepsi terhadap pola asuh.
3. Menambah sumber referensi bagi penelitian selanjutnya yang ingin
memperdalam masalah kemandirian pada remaja yang berstatus anak tunggal.
1.6.2. Manfaat Praktis
Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat memiliki manfaat praktis
yaitu sebagai berikut:
1. Bagi remaja yang merupakan anak tunggal. Memberikan informasi mengenai
perbedaan kemandirian ditinjau dari persepsi mereka terhadap pola asuh,
menjadi acuan bagi remaja untuk meningkatkan kemandirian dan
menyesuaikan diri dengan statusnya sebagai anak tunggal.
2. Bagi peneliti selanjutnya. Memberikan referensi pengetahuan mengenai
persepsi terhadap pola asuh pada anak tunggal dan kaitannya dengan
kemandirian, memberikan kontribusi bagi peneliti lain supaya penelitian ini
dapat menjadi pedoman untuk penelitian yang sejenis.
3. Bagi orangtua yang memiliki anak tunggal. Memberikan informasi sebagai
bahan pertimbangan dalam pengasuhan yang tepat supaya anak tunggal dapat
12
BAB II
TINJUAUAN PUSTAKA
2.1. Anak Tunggal Remaja
2.1.1. Pengertian Remaja
Remaja atau yang disebut dengan adolescence berasal dari bahasa latin
adolescere yang memiliki arti tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan.
Masa remaja dianggap sebagai masa transisi yaitu menghubungkan masa
kanak-kanak dan dewasa (Ali, dkk., 2010). Monks, dkk. (2006) juga menyatakan bahwa
masa remaja merupakan masa transisi perkembangan antara masa anak-anak dan
dewasa yang ditandai dengan perubahan biologis, kognitif, dan sosial. Hal serupa
juga diungkapkan oleh Papalia (2008) yaitu masa remaja merupakan transisi
perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang mengandung
perubahan fisik, koginitif dan psikososial. Masa remaja menurut Monks
berlangsung dari usia 12-21 tahun yang dibagi menjadi: masa remaja awal yaitu
usia 12-15 tahun, masa remaja pertengahan yaitu usia 15-18 tahun, dan masa
remaja akhir yaitu usia 18-21 tahun (Monks, 2006).
Selain itu, G. Stanley Hall (1844-1924) dalam Santrock (2003)
menyebutkan bahwa masa remaja merupakan masa badai dan stress (storm and
stress) karena tahap ini ditandai dengan adanya konflik dan perubahan suasana
hati sehingga mereka memiliki keinginan bebas untuk menentukan nasibnya
yang akan mempengaruhi perkembangan individu. Pandangan lain yaitu dari
Piaget (dalam Hurlock, 1999) yang membahas remaja secara psikologis, yaitu
dimana suatu usia individu menjadi terintegrasi ke dalam masyarakat dewasa, dan
dimana individu merasa sama atau sederajat dengan tingkat orang yang lebih tua.
Berdasarkan pengertian mengenai remaja yang dikemukakan beberapa
tokoh di atas maka dapat disimpulkan bahwa masa remaja merupakan masa
transisi dari kanak-kanak menjadi dewasa yang terjadi pada usia 12-21 tahun dan
disertai dengan berbagai perubahan yaitu dalam hal biologis, kognitif dan sosio
emosional.
2.1.2. Pengertian Anak Tunggal
Secara umum, anak tunggal diartikan sebagai anak yang tidak memiliki
saudara kandung, kakak atau adik dalam satu keluarga (Gunarsa, 2003). Hal
serupa juga dipaparkan oleh Hadibroto, dkk (2002) yang menyatakan bahwa anak
tunggal merupakan keturunan satu-satunya yaitu anak tanpa saudara kandung
yang lain seperti kakak atau adik. Anak tunggal menjadi cepat matang
dibandingkan dengan anak-anak sebayanya karena anak tunggal tumbuh menjadi
lebih percaya diri, tegas dan nampak menonjol dikarenakan mendapatkan
perhatian yang penuh dari orangtuanya. Anak tunggal tumbuh menjadi seorang
yang menginginkan segala hal menjadi sempurna.
Adler (1920) dalam Hadibroto (2002) pernah menyatakan mengenai
pengaruh kelahiran pada pembentukan sifat dasar seseorang yang akan
memiliki kesulitan untuk melakukan setiap aktivitas secara bebas yang
berhubungan dengan orang lain.
2.1.3. Latar Belakang Anak Tunggal
Terbentuknya kondisi anak tunggal dapat disebabkan oleh beberapa
kemungkinan. Gunarsa (2003) menyatakan beberapa kemungkinan latar belakang
terjadinya status anak tunggal, yaitu sebagai berikut:
a. Kondisi anak tunggal karena direncanakan
Ditemukan berbagai macam situasi dalam kondisi ini yaitu sebagai berikut:
1. Suami istri yang baru menikah memandang bahwa keluarga yang
harmonis adalah dengan memiliki seorang anak saja.
2. Suami istri yang baru menikah ketika usia lanjut.
3. Suami istri yang baru menikah namun masih mengikuti pendidikan
tertentu dan mengejar karir atau pekerjaan.
Dalam kondisi-kondisi di atas maka dapat diartikan bahwa kehadiran anak
tunggal memiliki derajat yang sama dengan anak-anak lainnya. Orangtua dalam
kondisi ini tidak memiliki pengalaman traumatik mengenai kehadiran anak
karena kehadiran anak tunggal bagi mereka telah direncanakan terlebih dahulu
dan atas keinginan mereka secara pribadi. Sehingga diharapkan orangtua dapat
bertindak secara realistis dan mengendalikan sikap yang tidak tepat bagi
anaknya.
b. Kondisi anak tunggal karena tidak direncanakan
1. Suami istri yang merencanakan memiliki anak lebih dari satu namun
karena kondisi fisik istri lemah sehingga hal tersebut tidak memungkinkan.
2. Terjadi suatu peristiwa traumatik yang dialami yaitu kehilangan nyawa
anaknya sehingga saudaranya terpaksa berstatus menjadi anak tunggal.
Bagi orangtua yang merencanakan memiliki anak lebih dari satu namun tidak
memungkinkan maka dapat membuat orangtua menjadi bertindak kurang
bijaksana. Orangtua lebih memerhatikan kelemahan-kelemahan dibandingkan
kebutuhan-kebutuhan anaknya. Orangtua cenderung memiliki target yang tinggi
terhadap anak mereka dalam mencapai prestasi.
2.1.4. Karakteristik Anak Tunggal
Berikut merupakan ciri-ciri kepribadian anak tunggal menurut Hurlock
(dalam Gunarsa, 2003):
a. Anak tunggal yang manja, egosentris, antisosial dan karena hal tersebut
menjadi tidak popular.
b. Anak tunggal yang menutup diri mereka, peka dan mudah cemas, menarik
diri dari hubungan sosial dan terlau menggantungkan diri pada orangtua
mereka.
Berikut merupakan ciri-ciri anak tunggal menurut Hadibroto, dkk (2002):
a. Sebagai teman: emosional dan perhatian.
b. Sebagai pendengar ketika berkomunikasi: mengartikan perkataan orang lain
dengan menggunakan pemahamannya sendiri.
d. Merinduan kebebasan
e. Memiliki pola pikir yang terorganisir.
f. Memiliki pertimbangan keadilan yang cenderung memperlakukan orang lain
secara sama/adil.
g. Ketika anak-anak memiliki perilaku yang emosional namun penurut.
h. Sumber dan pemicu kemarahannya adalah ketika orang lain ikut campur
dalam kegiatannya.
i. Kontribusi sosial dengan membantu orang lain dalam organisasi sosial.
j. Memiliki spiritualitas sesuai dengan norma yang berlaku.
k. Memiliki kelemahan yaitu mengacu pada pendapat orang lain yang
membicarakan mengenai dirinya.
Gunarsa (2003) mengungkapkan bahwa anak tunggal akan memperlihatkan
beberapa sifat yaitu sebagai berikut:
a. Anak menjadi manja, mungkin juga penurut (tidak ingin mengecewakan
orangtua).
b. Anak menjadi takut, menyendiri, dan kurang mampu berhubungan dengan
teman sebayanya (peer group).
c. Anak mencoba menarik perhatian dengan cara kekanak-kanakan.
d. Anak kurang disenangi teman sebaya karena tidak biasa bergaul dan tidak
tahu bagaimana bertingkah laku.
Berdasarkan karakteristik-karakteristik anak tunggal yang telah
diungkapkan oleh beberapa tokoh di atas maka dapat disimpulkan bahwa anak
bergantung pada orangtua, penurut karena tidak ingin mengecewakan orangtuanya
dan menarik diri dari teman sebaya.
2.2. Kemandirian
2.2.1. Pengertian Kemandirian
Sebelum menjelaskan yang dimaksud dengan kemandirian pada anak
tunggal, maka perlu dijelaskan pengertian dari kemandirian itu sendiri terlebih
dahulu. Kemandirian menurut Steinberg (2002) adalah kemampuan remaja dalam
berpikir, merasakan dan membuat keputusan secara pribadi berdasarkan diri
sendiri dibandingkan mengikuti apa yang orang lain percayai. Istilah autonomy
dalam kajian mengenai kemandirian seringkali disejajarkan dengan kata
independence meskipun sebenarnya ada perbedaan yang sangat tipis diantara
kedua kata tersebut (Steinberg, 2002). Secara umum, independence menunjuk
pada kemampuan individu dalam menjalankan sendiri aktivitas hidup yang
terlepas dari pengaruh kontrol orang lain (Steinberg, 2002). Individu yang
independence akan mampu menjalankan sendiri aktifitas hidup terlepas dari
pengaruh kontrol orang lain terutama orangtua. Sedangkan istilah autonomy
mempunyai komponen emotional dan cognitive yang sama baiknya seperti
komponen behavioral (Steinberg, 2002). Steinberg (2002) menggunakan istilah
autonomy untuk mengonsepkan kemandirian sebagai self governing person yaitu
kemampuan menguasai diri sendiri.
Apabila konsep-konsep di atas dicermati, maka kemandirian adalah
terhadap orang lain terutama pada orangtua, kemampuan mengambil keputusan
secara mandiri dan kemampuan menggunakan prinsip-prinsip mengenai benar dan
salah serta penting dan tidak penting (Steinberg, 2002). Kemandirian pada remaja
dapat dilihat dari aspek-aspek kemandirian secara psikososial yaitu dilihat dari
kemandirian emosi, kemandirian perilaku dan kemandirian nilai (Steinberg,
2002).
2.2.2. Dimensi Kemandirian
Menurut Steinberg(2002), ada tiga macam kemandirian yaitu:
a. Emotional autonomy
Emotional autonomy atau kemandirian emosional adalah dimensi yang
berhubungan dengan perubahan keterikatan hubungan emosional remaja dengan
orang lain. Kemandirian emosional didefinisikan sebagai kemampuan remaja
untuk tidak bergantung terhadap dukungan emosional dari orangtua. Para
remaja mengalami pergeseran dari tergantung pada orangtua untuk mendapatkan
dukungan emosional sekarang berubah mendapat dukungan dari orang lain seperti
dari teman-temannya. Perkembangan kemandirian emosional dimulai pada
awal masa remaja dan ketergantungan emosional remaja terhadap orangtua
akan menjadi berkurang pada masa remaja akhir. Munculnya kemandirian
emosional bukan berarti munculnya pemberontakan remaja terhadap orangtua
(Collins, 1990; Hill & Holmbeck, 1986; Steinberg, 1990 dalam Steinberg,
Silverberg & Steinberg (dalam Steinberg, 2002) mengungkapkan bahwa
terdapat empat aspek kemandirian emosional yaitu sejauh mana remaja
mampu untuk tidak memandang orangtua sebagai sosok yang ideal (
de-idealized), sejauh mana remaja mampu memandang orangtua sebagai orang
dewasa pada umunya (parents as people), sejauh mana remaja bergantung
pada kemampuannya sendiri tanpa mengharapkan bantuan dari orang lain
(non dependency) dan sejauh mana remaja mampu melakukan individuasi
dalam hubungannya dengan orangtua (Silverberg & Steinberg, dalam
Steinberg, 2002).
b. Behavioral autonomy
Kemandirian perilaku (behavioral autonomy) adalah kemampuan dalam
menentukan pilihan dan mengambil keputusan secara mandiri. Kemandirian
perilaku mencakup kemampuan untuk meminta pendapat orang lain jika
diperlukan sebagai dasar pengembangan alternatif pilihan, menimbang
berbagai pilihan yang ada dan pada akhirnya mampu mengambil kesimpulan
untuk suatu keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Melalui
pertimbangan diri sendiri dan pedapat dari orang lain kemudian remaja
mengambil keputusan secara mandiri bagaimana untuk bertindak (Hill &
Holmbeck, 1986 dalam Steinberg, 2002).
Terdapat tiga aspek kemandirian perilaku pada remaja. Pertama,
memiliki kemampuan mengambil keputusan yang ditandai dengan menyadari
adanya resiko dari tingkah lakunya, memilih alternatif pemecahan masalah
terhadap konsekuensi dari keputusan yang diambilnya. Kedua, individu yang
memiliki kemandirian perilaku akan memiliki kekuatan terhadap pengaruh
orang lain yang ditandai dengan tidak mudahnya terpengaruh dalam situasi
yang menuntut konformitas, tidak mudah terpengaruh tekanan teman sebaya
dan orangtua dalam mengambil keputusan, memasuki kelompok sosial tanpa
tekanan. Ketiga, merasa percaya diri (self reliance) yang ditandai dengan
merasa mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari di rumah dan di sekolah,
merasa mampu memenuhi tanggung jawab di rumah dan di sekolah, merasa
mampu mengatasi masalahnya sendiri, berani dalam mengemukakan ide dan
gagasan.
c. Value autonomy
Rest (dalam Steinberg, 2002) mengungkapkan bahwa kemandirian nilai
berkembang selama masa remaja akhir. Kemandirian nilai adalah kemampuan
memiliki sikap independen dan keyakinan tentang spiritualitas, politik, dan
moral. Kemampuan remaja untuk berpikir secara abstrak membantu mereka
melihat perbedaan antara situasi umum dan khusus, serta membuat penilaian
menggunakan higher order thinking. Pada value autonomy ini remaja
mengambil waktu untuk mempertimbangkan sistem nilai pribadi mereka.
Dengan cara ini, remaja membuat kesimpulan secara mandiri tentang nilai
mereka, bukan hanya menerima dan mengikuti nilai-nilai dari orangtua atau
figur otoritas. Steinberg (2002) mengungkapkan tiga aspek dalam
1. Kemampuan dalam berpikir abstrak dalam memandang suatu masalah
(abstract belief). Perilaku yang dapat dilihat adalah remaja mampu
menimbang berbagai kemungkinan dalam bidang nilai.
2. Memiliki keyakinan yang berakar pada prinsip-prinsip umum yang
memiliki dasar ideologi (principled belief). Perilaku yang dapat dilihat
adalah remaja berpikir dan bertindak sesuai dengan prinsip yang dapat
dipertanggungjawabkan dalam bidang nilai.
3. Memiliki keyakinan mengenai nilai-nilainya sendiri, bukan hanya karena
sistem nilai yang disampaikan oleh orangtua atau figur otoritas lainnya
(independent belief). Perilaku yang dapat dilihat adalah remaja
mengevaluasi kembali keyakinan akan nilainya sendiri, berpikir sesuai
dengan keyakinan dan nilainya sendiri, dan bertingkah laku sesuai
dengan keyakinan dan nilainya sendiri.
2.2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian
Kemandirian yang dimiliki oleh seseorang, tidak semata-mata merupakan
bawaan sejak lahir namun merupakan hasil interaksi antara individu dengan
lingkungannya. Berikut adalah beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
perkembangan kemandirian, yaitu sebagai berikut (Steinberg, 2002):
a. Gen
Sifat kemandirian dari orangtua dapat diturunkan pada anak tetapi hal ini
masih menjadi perdebatan karena sebenarnya bukan diuturunkan melainkan
b. Sistem pendidikan di sekolah
Pendidikan yang cenderung mengembangkan demokrasi dan
menekankan penghargaan terhadap potensi anak didik maka akan
menstimulasi perkembangan kemandirian anak. Lain hal dengan pendidikan
yang menekankan pemberian hukuman maka akan menghambat
perkembangan kemandirian anak.
c. Sistem kehidupan di masyarakat
Lingkungan masyarakat yang menghargai potensi dan tidak begitu
menekankan hirarki struktur sosial akan mendorong perkembangan
kemandirian remaja.
d. Pola asuh orangtua
Pilihan cara pengasuhan dari orangtua pada anak mempengaruhi
kemandirian anak. Apabila orangtua memberikan suasana keluarga yang
nyaman dan aman dalam berinteraksi maka perkembangan kemandirian anak
akan lancar. Namun, pola asuh dari orangtua yang memiliki anak tunggal
cenderung mengontrol anak mereka sepanjang hidup mereka (Eccles, dkk.,
1991). Pola asuh tersebut dapat mempengaruhi perkembangan sosial dan
intelektual anak yang pada akhirnya mempengaruhi kemandirian anak mereka
apabila anak tidak mampu melepaskan diri dari kekuatan otoritas (Eccles,
dkk., 1991; Hartono, 2006). Ketidakmampuan anak melepaskan diri dari
kekuatan otoritas atau tunduknya anak pada kekuatan otoritas adalah salah
2.3. Persepsi Pola Asuh
2.3.1. Persepsi
Persepsi adalah interpretasi tentang apa yang diindrakan atau dirasakan.
Kemampuan mengaitkan dan mengintegrasikan informasi atas dua atau lebihh
pengalaman sensoris (Santrock, 2008). Persepsi adalah pengalaman mengenai
objek, peristiwa atau hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi
dan menafsirkan pesan. Persepsi adalah pemberian makna pada stimuli inderawi.
Walaupun begitu, menafsirkan makna informasi inderawi tidak hanya melibatkan
sensasi, tetapi juga atensi, ekspektasi, motivasi, dan memori (Desideranto, 1976
dalam Rakhmat, 2003).
2.3.2. Pengertian Pola Asuh
Baumrind (1991, dalam Uredi, 2008) mengartikan pola asuh sebagai
aktivitas kompleks yang termasuk banyak perilaku tertentu yang secara individu
maupun bersama kemudian mempengaruhi perkembangan anak. Baumrind (1971,
1991, dalam Papalia, 2008; Santrock, 2002) mengidentifikasikan tiga bentuk gaya
pengasuhan yaitu otoriter, permisif, dan demokratis.
2.3.3. Tipe Pola Asuh
Baumrind (1971, dalam Santrock, 2002) menekankan tiga tipe pola asuh
yang dikaitkan dengan aspek-aspek yang berbeda dalam perilaku sosial anak yaitu
otoriter, permisif, dan demokratis. Kemudian para ahli psikologi perkembangan
permissive-indulgent dan permissive-indifferent (Santrock, 2002). Namun dalam
laporan yang dibuat oleh Baumrind hanya disebutkan tiga bentuk pengasuhan
yaitu sebagai berikut (Papalia, 2008):
a. Otoriter
Gaya pengasuhan yang membatasi, menghukum dan menuntut anak
untuk mengikuti perintah orangtua, atau cenderung menggunakan disiplin
yang keras. Orangtua dengan pengasuhan ini cenderung lebih mengendalikan,
membentuk, mengontrol dan mengevaluasi sikap dan perilaku anak apakah
sesuai dengan standar yang diberikan oleh orangtua atau tidak (Baumrind,
1966). Mereka tidak memberikan kesempatan anaknya untuk berdiskusi
tentang aturan yang diberikan, melainkan sudah menjadi sebuah standar dan
tidak dapat ditentang. Akibatnya remaja yang terbentuk menjadi memiliki
sikap pemberontak, agresif dan bergantung pada orangtuanya (Baumrind,
1971, 1991, dalam Kopko, 2007).
b. Permisif
Gaya pengasuhan yang sering dinamakan serba boleh, orangtua jarang
memberikan larangan atas keinginan anak dan orangtua memberikan
kebebasan kepada anaknya. Mereka memanjakan dan cenderung pasif dalam
hal mengasuh anak. Selain itu, orangtua juga jarang menuntut dan
menghukum anak, kurang menanamkan sikap disiplin pada anak, terlalu
membebaskan anak untuk menentukan keinginan dan keputusan apa yang
akan dipilih dan dilakukan sehingga orangtua terlihat tidak aktif dalam
sedikit batasan dan aturan, sulit mengontrol dirinya dan memiliki
kecenderungan menjadi egosentris yang mungkin akan mengganggu
perkembangannya yang berhubungan dengan teman sebaya (Baumrind, 1971,
1991, dalam Kopko, 2007).
c. Demokratis
Gaya pengasuhan yang mengarahkan kegiatan anak, mendorong anak
agar dapat ma ndiri namun masih menetapkan batasan dan pengendalian atas
tindakan mereka serta mendidik untuk dapat menjadi pendengar dan bersedia
mempertimbangkan apa yang dipikirkan remaja, sehingga anak diberikan
kesempatan untuk dapat berdiskusi. Akibatnya anak akan cenderung lebih
mandiri, bertanggung jawab dan kompeten dalam hal sosial (Baumrind, 1971,
1991, dalam Kopko, 2007).
2.4. Hubungan Antara Kemandirian Remaja yang Berstatus sebagai Anak
Tunggal dengan Persepsi Pola Asuh Orangtua
Banyak anggapan negatif mengenai anak tunggal yang muncul dari
masyarakat umum. Mereka beranggapan bahwa anak tunggal bersifat manja,
agresif, bossy dan sulit menyesuaikan diri (Anna, 2010). Selain itu juga ada yang
beranggapan bahwa anak tunggal merupakan anak yang mudah iri, egois,
egosentris, bergantung, agresif, mendominasi, dan argumentatif. Anak tunggal
kurang baik juga dalam bekerja sama, mengembangkan perasaan dan minat sosial,
Contoh kasus dalam kehidupan sehari-hari juga menunjukkan bahwa anak tunggal
kesulitan untuk mampu hidup secara mandiri dan lepas dari orangtua. Seorang ibu
secara pribadi berkonsultasi kepada salah satu psikolog mengenai anak
tunggalnya yang berusia 22 tahun namun memilih untuk berhenti kuliah di luar
kota karena merasa tidak mampu untuk hidup secara terpisah dengan ibunya serta
menurut ibunya, anak tersebut masih kekakanak-kanakan (Rustika, 2004).
Seperti yang diungkapkan Adler (1920) dalam Hadibroto (2002) yaitu bahwa
anak tunggal memiliki kesulitan untuk melakukan setiap aktivitas secara bebas
yang berhubungan dengan orang lain karena memiliki harapan dimanjakan dan
dilindungi oleh orang lain. Anak tunggal cenderung mendapatkan kasih sayang
dan dijadikan pusat perhatian sepanjang hidup mereka oleh orangtua (Falbo &
Polit dalam Papalia, 2008). Perhatian dan kasih sayang yang berlebihan dan
intensif dari orangtua juga dapat berakibat buruk bagi anak yaitu menyebabkan
anak menjadi egosentris, manja, egosi dan tumbuh menjadi individu yang tidak
mandiri (Falbo & Polit dalam Papalia, 2008).
Kurangnya kemandirian pada anak tunggal akan menjadi masalah ketika anak
tersebut memasuki masa remaja. Masa remaja adalah masa mencari identitas diri
(Hurlock, 1999). Salah satu tugas remaja adalah mencari kemandirian enosional
dari orangtua dan orang dewasa lainnya. Remaja kemudian diharapkan dapat
melepaskan diri dari sifat kekanak-kanakannya dan mampu melakukan sesuatu
serta mengambil keputussan sendiri (Havighurst dalam Hurlock, 1999; Ali, dkk.,
2010). Salah satu aspek dari kemandirian adalah kemandirian tingkah laku yaitu
individu memiliki kepatuhan terhadap figur otoritas maka individu tersebut tidak
dapat mengambil keputusannya secara bebas (Hartono, 2006).
Pilihan cara pengasuhan dari orangtua pada anak juga mempengaruhi
kemandirian anak. Apabila orangtua memberikan suasana keluarga yang nyaman
dan aman dalam berinteraksi maka perkembangan kemandirian anak akan lancar
(Steinberg, 2002). Namun apabila orangtua menjadi figur otoritas yang mengatur
setiap perilaku anak mereka maka anak akan berkembang menjadi individu yang
tidak mandiri. Dalam penelitian yang dilakukan oleh seorang psikolog bernama C.
Kagitcibasi (1984) dalam Sarwono (2007) yang meneliti 20.408 orangtua dari
seluruh dunia menunjukkan bawa ibu dari suku Jawa (88%) dan Sunda (81%)
mengharapkan anak mereka untuk menuruti orangtuanya. Ayah dari suku Jawa
(85%) dan Sunda (76%) juga memiliki harapan yang sama pada anak mereka. Hal
ini juga diperkuat oleh pernyataan Eccless, dkk. (1991) yang mengatakan bahwa
pola asuh orangtua yang memiliki anak tunggal cenderung mengontrol dapat
mempengaruhi perkembangan sosial dan intelektual anak yang pada akhirnya
mempengaruhi kemandirian anak apabila anak tidak mampu melepaskan diri dari
orangtua. orangtua yang berperan dalam mengasuh, membimbing dan
mengarahkan anak untuk mandiri (Steinberg, 2002). Kepribadian dan perilaku
remaja akan terbentuk berdasarkan apa yang ditanamkan orangtua melalui pola
asuh. Oleh karena itu, pola asuh yang diberikan orangtua menjadi faktor yang
penting dalam membentuk kemandirian remaja baik secara emosional, perilaku
2.5. Kerangka Konseptual
Keterangan:
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual
Pola Asuh Orangtua Status Remaja sebagai
Anak Tunggal
Otoriter Permisif Otoritatif
Kemandirian Emotional autonomy
(kemandirian emosional
Behavioural autonomy
(kemandirian perilaku)
Value autonomy
(kemandirian nilai)
Hubungan
2.6 Hipotesis
Ada perbedaan kemandirian pada remaja yang berstatus sebagai anak tunggal
30
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian dengan
menggunakan data kuantitatif. Penelitian kuantitatif menekankan analisisnya pada
data yang berupa angka dan diolah dengan menggunakan metode statistika
(Neuman, 2007; Azwar, 2011).Menurut tujuannya, penelitian ini termasuk dalam
jenis penelitian explanatory yaitu penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan
perbedaan pada variabel tergantung yaitu kemandirian remaja yang berstatus
sebagai anak tunggal jiika ditinjau dari persepsinya terhadap pola asuh (Goodwin,
2010).
Teknik pengumpumpulan data pada penelitian kuantitatif terdiri dari
eksperimen, survey dan content analysis (Neuman, 2007). Berdasarkan teknik
pengumpulan data yang digunakan, penelitian ini merupakan penelitian survey
yaitu mengambil sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuisioner sebagai
alat pengumpulan data yang pokok dari responden penelitian mengenai
keyakinan, perilaku, opini dan karakteristik yang dimiliki (Singarimbun &
Effendi, 1992; Neuman, 2007). Berdasarkan tempatnya maka penelitian ini
3.2. Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah suatu sifat yang dapat memiliki macam-macam
nilai, atau seringkali diartikan dengan variabel yang memiliki bilangan atau nilai
(Kerlinger, 2000). Variabel merupakan ide pusat dalam penelitian kuantitatif dan
variabel merupakan variasi dari konsep (Neuman, 2007). Variabel penelitian juga
seringkali dikatakan sebagai faktor-faktor yang berperan dalam peristiwa yang
diteliti. Variabel penelitian ditentukan oleh tujuan penelitian, landasan teori dan
hipotesis. Terdapat dua macam variabel yang diungkapkan oleh Neuman (2007)
yaitu variabel independen (bebas) dan variabel dependen (terikat).
Penelitian ini memiliki variabel bebas dan variabel terikat yang diukur, yaitu
sebagai berikut:
a. Variabel Bebas (X)
Variabel bebas atau independen adalah variabel yang menjadi penyebab
muncul atau berubahnya variabel terikat (Sugiyono, 2010). Variabel bebas
dalam penelitian ini adalah persepsi terhadap pola asuh.
b. Variabel Terikat (Y)
Variabel terikat atau dependen adalah variabel yang dipengaruhi atau menjadi
akibat dari adanya variabel bebas (Sugiyono, 2010). Variabel terikat dalam
penelitian ini adalah kemandirian.
Gambar 3.1. Identifikasi Variabel Penelitian
3.3. Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional secara umum merupakan petunjuk pelaksanaan yaitu
bagaimana cara mengukur suatu variabel (Singarimbun & Effendi, 1992). Definisi
operasional merupakan arti yang melekat pada suatu konstruk atau variabel
dengan cara menetapkan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mengukur
konstruk atau variabel tersebut (Kerlinger, 2000). Fungsi dari definisi operasional
adalah membatasi arti pada suatu variabel dengan menunjukkan cara mengukur
variabel tersebut (Kerlinger, 2000). Defini operasional dari variabel-variabel
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
3.3.1. Persepsi Pola asuh
Pola asuh yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bagaimana remaja
dapat menilai sikap yang diberikan oleh orangtua dalam proses pengasuhan yang
diberikan. Pola asuh yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan klasifikasi
menurut Baumrind (1991) yaitu sebagai berikut:
1. Otoriter
Digunakan untuk mengukur gaya pengasuhan yang cenderung
memerintah, membatasi dan memberikan hukuman apabila anak tidak
mengikuti perintah orangtua, memiliki kontrol yang kuat, sikap yang kaku
antara orangtua dan anak. Indikator dalam dimensi ini yaitu:
a. Bersikap emosional dan cenderung menggunakan hukuman
b. Memiliki kontrol yang tinggi dan bersikap kaku
c. Bersikap mengomando atau memerintah anak
2. Permisif
Digunakan untuk mengukur gaya pengasuhan yang cenderung
melepaskan anak untuk mengambil keputusan ataupun tindakan sendiri, tidak
terlalu banyak larangan dari orangtua, dan jarang memberikan hukuman atau
tuntutan kepada anak. Indikator dalam dimensi ini adalah sebagai berikut:
a. Memiliki kontrol yang rendah terhadap anak
b. Memiliki bimbingan yang rendah terhadap anak
c. Kurang menekankan tanggung jawab kepada anak
3. Demokratis
Digunakan untuk mengukur gaya pengasuhan yang cenderung
mendorong anak untuk lebih mandiri namun bertanggung jawab, ada
kerjasama antara anak dan orangtua, ada rasa saling enerima satu sama lain,
penerapan disiplin, tidak ada tuntutan dari orangtua, dan adanya komunikasi
yang terjalin dengan baik. Indikator dari dimensi ini adalah sebagai berikut:
b. Bersikap responsif terhadap anak
c. Adanya hubungan yang harmonis antara anak dan orangtua
Skor persepsi terhadap pola asuh memiliki rentang jawaban yang berkisar
dari satu hingga lima. Semakin tinggi skor persepsi terhadap pola asuh tertentu
yang diperoleh menunjukkan bahwa individu memiliki persepsi terhadap gaya
pengasuhan tersebut terhadap orangtuanya.
3.3.2. Kemandirian
Definisi kemandirian secara operasional adalah kemampuan individu dalam
berpikir, berperilaku dan menentukan tindakan sesuai dengan kemampuannya
sendiri tanpa mengandalkan orang lain. Kemandirian pada remaja yang berstatus
sebagai anak tunggal akan diungkap dengan menggunakan skala kemandirian
yang disusun berdasarkan aspek-aspek kemandirian yang dikemukakan oleh
Steinberg (2002) yaitu sebagai berikut:
1. Kemandirian emosional digunakan untuk mengukur kemampuan individu
dalam memandang orangtua sebagai orang dewasa pada umunya (parents as
people), tidak memandang orangtua sebagai sosok yang ideal (de-idealized),
bergantung pada kemampuannya sendiri tanpa mengharapkan bantuan dari
orang lain (non dependency) dan melakukan individuasi dalam hubungannya
dengan orangtua. Skor yang tinggi pada aspek ini menunjukkan semakin
tinggi kemampuan individu melakukan de-idealized terhadap orangtua,
kemampuan memandang orangtua sebagai orang dewasa pada umunya
tanpa mengharapkan bantuan dari orang lain (non dependency) dan
kemampuan dalam melakukan individuasi dalam hubungannya dengan
orangtua.
2. Kemandirian Perilaku digunakan untuk mengukur kemampuan individu
dalam mengambil keputusan secara mandiri, memiliki kekuatan terhadap
pengaruh orang lain, merasa percaya diri (self reliance). Skor yang tinggi
pada aspek ini menunjukkan semakin mampu individu dalam mengambil
keputusan secara mandiri, memiliki kekuatan terhadap pengaruh orang lain
dan semakin percaya diri.
3. Kemandirian Nilai digunakan untuk kemampuan remajauntuk berpikir abstrak
dalam memandang suatu masalah (abstract belief), memiliki keyakinan yang
berakar pada prinsip-prinsip umum yang memiliki dasar ideologi (principled
belief), memiliki keyakinan mengenai nilai-nilainya sendiri, bukan hanya
karena sistem nilai yang disampaikan oleh orangtua atau figur otoritas lainnya
(independent belief). Skor yang tinggi dalam aspek ini menunjukkan bahwa
individu dalam berpikir abstrak untuk memandang suatu masalah, semakin
memiliki keyakinan yang berakar pada prinsip umum yang memiliki dasar
ideologi dan semakin tidak terpengaruh mengenai nilai dari figur otoritas
namun memiliki nilainya sendiri.
Skala kemandirian memiliki rentang skor yang berkisar dari satu hingga
lima. Semakin tinggi skor yang diperoleh menunjukkan bahwa individu semakin
rendah skor yang diperoleh menunjukkan bahwa individu semakin tidak mandiri
dan bergantung pada orang lain.
3.4. Subjek Peneltian
3.4.1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan penduduk yang dimaksudkan untuk kemudian
diselidiki (Hadi, 2004). Menurut Sugiyono (2010) populasi adalah wilayah
generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan
karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian
ditarik kesimpulannya.
Terkait dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini maka
peneliti memutuskan beberapa kriteria yang harus dipenuhi untuk menjadi
populasi dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:
1. Remaja yang berusia antara 18-21 tahun
2. Remaja yang berstatus sebagai anak tunggal
3.4.2. Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang merupakan subjek penelitian yang
memiliki ciri-ciri yang sama dengan populasi (Hadi, 2004). Penelitian ini
menggunakan metode pengambilan sampel dengan teknik non-probability
sampling, yaitu teknik yang tidak memberikan peluang atau kesempatan yang
sama besar bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel.
pasti dan penulis tidak memiliki data pasti mengenai ukuran populasi dan
informasi yang lengkap tentang setiap elemen populasi (Neuman, 2007). Dalam
penelitian ini, metode yang pengambilan sampel yang digunakan adalah dengan
menggunakan teknik purposive sampling yaitu teknik penentuan sampel dengan
pertimbangan atau kriteria-kriteria tertentu (Hadi, 2004). Penulis menggunakan
teknik purposive sampling karena subjek yang diteliti merupakan populasi khusus
yaitu remaja akhir yang berstatus sebagai anak tunggal.
Berdasarkan hal di atas maka penulis telah menentukan
karakteristik-karakterisktik sampel yang harus dipenuhi untuk menjadi sampel dalam penelitian
ini.
3.5. Teknik Pengumpulan Data
Setelah menentukan subjek penelitian maka peneliti harus melakukan
pengumpulan data. Teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan dalam
penelitian ini adalah teknik survey dengan menggunakan kuisioner yaitu dengan
memberikan beberapa pertanyaan maupun pernyataan tertulis pada subjek
penelitian (Sugiyono, 2010). Penulis memilih teknik pengumpulan data
menggunakan kuisioner karena teknik ini dinilai tepat digunakan untuk jumlah
subjek penelitian yang besar dan tersebar di wilayah yang cukup luas (Sugiyono,
2010). Kuisioner nantinnya akan diisi oleh subjek penelitian dan setelah
dikembalikan kepada penulis maka akan dilakukan proses selanjutnya yaitu