• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBEDAAN KEMANDIRIAN PADA REMAJA YANG BERSTATUS SEBAGAI ANAK TUNGGAL DITINJAU DARI PERSEPSI POLA ASUH ORANGTUA SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERBEDAAN KEMANDIRIAN PADA REMAJA YANG BERSTATUS SEBAGAI ANAK TUNGGAL DITINJAU DARI PERSEPSI POLA ASUH ORANGTUA SKRIPSI"

Copied!
186
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN KEMANDIRIAN PADA REMAJA YANG

BERSTATUS SEBAGAI ANAK TUNGGAL DITINJAU DARI

PERSEPSI POLA ASUH ORANGTUA

SKRIPSI

Disusun oleh:

KAMELIA DEWI PURBASARI

111011037

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS AIRLANGGA

(2)

PERBEDAAN KEMANDIRIAN PADA REMAJA YANG

BERSTATUS SEBAGAI ANAK TUNGGAL DITINJAU DARI

PERSEPSI POLA ASUH ORANGTUA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Universitas Airlangga Surabaya

Disusun Oleh :

KAMELIA DEWI PURBASARI 111011037

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS AIRLANGGA

(3)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa apa yang tertulis dalam skripsi ini adalah benar

adanya dan merupakan hasil karya sendiri. Segala kutipan karya pihak lain telah saya

tulis dengan menyebutkan sumbernya. Apabila dikemudian hari ditemukan adanya

plagiasi, maka saya rela gelar kesarjanaan saya dicabut.

Surabaya, 16 Mei 2016

Penulis

Kamelia Dewi Purbasari NIM. 111011037

(4)

Skripsi ini telah disetujui oleh

Dosen Pembimbing Penulisan Skripsi

2016

(5)

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan dewan penguji

pada hari Kamis, 26 Mei 2016 dengan susunan Dewan Penguji

Ketua,

Dra. Prihastuti, SU., Psikolog

NIP. 1954061319810320004

Sekretaris, Anggota,

Rudi Cahyono, M.Psi., Psikolog Dr. Nur Ainy Fardana N., M.Si., Psikolog

(6)

HALAMAN MOTTO

“Jangan mencari ketakutanmu melainkan carilah harapan

dan mimpimu. Jangan berpikir tentang frustasimu, tetapi

tentang potensi yang belum terpenuhi. Perhatikan dirimu

bukan dengan apa yang telah kamu coba dan gagal, tetapi

dengan apa yang masih mungkin kamu lakukan”

(7)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini kupersembahkan untuk kedua orangtua, kakak, adik, dan sahabatyang tak

pernah lelah mendoakan dan menyemangati perjalanan hidupku hingga saat ini.

(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan

berkat-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Perbedaan Kemandirian pada Remaja yang Berstatus sebagai Anak Tunggal ditinjau

dari Persepsi terhadap Pola Asuh Orangtua”. Skripsi ini disusun dalam rangka menyelesaikan tugas Program Sarjana (S1) Fakultas Psikologi Universitas Airlangga.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya

bimbingan, dukungan dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis

menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Dr. Nurul Hartini, M.Kes., Psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi

UniversitasAirlangga beserta tim Wakil Dekan.

2. Dr. Nur Ainy Fardana N., M.Si., Psikolog, selaku dosen pembimbing skripsi

yang dengan sabar membimbing penulis dan membantu penulis hingga dapat

menyelesaikan skripsi.

3. Prof. Dr. Cholichul Hadi, Psikolog, selaku dosen wali yang telah membimbing

penulis.

4. Dr. Dewi Retno Suminar, M.Si., Psikolog, Dr. Wiwin Hendriani,Primatia Yogi

Wulandari, S.Psi., M.Si., Psikolog dan Prof. Dr. M.A.W. Tairas yang telah

(9)

5. Dosen-dosen Fakultas Psikologi atas segala ilmu yang bermanfaat dan

pengalaman berharga yang diberikan selama masa perkuliahan.

6. Seluruh Karyawan Fakultas Psikologi Universitas Aiirlangga atas kesediannya

membantu dalam proses penulisan skirpsi.

7. Dra. Rr. Florentina Sri Suhartini dan Vincensius Suhari, S.sos, selaku kedua

orangtua penulis yang doa, dukungan, dan restunya tidak pernah putus

mengiringi penulis agar selalu berusaha melakukan yang terbaik. Terima kasih

telah menjadi orangtua yang selalu mendukung dan memaafkan.

8. Agato Girindra Wardana., S.S dan Ignatius Tri Putra Karunia selaku kakak dan

adik penulis yang memberikan semangat penulis dalam menyelesaikan skripsi

dengan caranya masing-masing, yang sabar menemani, dan menghibur ketika

penulis lelah. Terima kasih atas pertengkaran dan keceriaan, tangisan dan

senyuman, teriakan dan bisikannya.

9. Para sahabatku dari Fakultas Psikologi Universitas Airlangga angkatan 2010

yaitu Vita, Ayu, Mila dan Hana yang selalu mendukung, memberi motivasi dan

menjadi tempat bertukar pikiran bagi penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi.

Sahabatku Rani yang tidak pernah lupa memotivasi penulis untuk segera

menyelesaikan skripsi. Terima kasih untuk semuanya dan semoga kita semua

tetap menjaga persahabatan ini.

10. Para sahabatku dari SMA Negeri 2 Surabaya lulusan 2010 yaitu Kakak, Nezya,

(10)

penulis untuk segera menyelesaikan skripsi. Terima kasih telah menjadi sahabat

setia dari masa SMA hingga sekarang.

11. Teman-teman angkatan 2010 serta seluruh teman-teman Fakultas Psikologi

Universitas Airlangga. Terima kasih atas pengalaman-pengalaman berharga

bersama-sama selama masa studi dan dalam berbagai kesempatan mengikuti

kepanitian.

12. Teman-teman yang telah membantu penulis dalam menemukan anak tunggal

sebagai subjek penelitian.

13. Para partisipan yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang bersedia untuk

menjadi subjek dalam penulisan ini.

14. Romo Sigit dan Romo Rinto yang dengan sabar dan bijaksana telah

mendengarkan keluh kesah penulis sekaligus memberikan kekuatan ketika

sedang dalam masa sulit penyelesaian skripsi.

15. Seluruh pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu. Penulis sangat

berterima kasih atas setiap bantuan meski sekecil apapun.

Surabaya, 26 Mei 2016

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR... xiv

DAFTAR LAMPIRAN... xv

ABSTRAK... xvi

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1Latar Belakang Masalah... 1

1.2Identifikasi Masalah... 7

1.3Batasan Masalah... 9

1.3.1 Kemandirian... 9

1.3.2 Pola Asuh... 9

1.3.3 Anak Tunggal Remaja... 10

1.4Rumusan Masalah... 10

1.5Tujuan penelitian... 10

1.6Manfaat Penelitian... 10

1.6.1 Manfaat Teoritis... 10

1.6.2 Manfaat Praktis... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 12

2.1 Anak Tunggal Remaja... 12

2.1.1 Pengertian Remaja... 12

2.1.2 Pengertian Anak Tunggal... 13

2.1.3 Latar Belakang Anak Tunggal... 14

2.1.4 Karakteristik Anak Tunggal... 15

2.2 Kemandirian... 17

2.2.1 Pengertian Kemandirian... 17

2.2.2 Dimensi Kemandirian... 18

2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian... 21

2.3 Persepsi Pola Asuh... 23

(12)

2.3.2 Pengertian Pola Asuh... 23

2.3.3 Tipe Pola Asuh... 23

2.4 Hubungan Antara Kemandirian Remaja yang Berstatus sebagai Anak Tunggal dengan Persepsi Pola Asuh Orangtua... 25

2.5 Kerangka Konseptual... 28

2.6 Hipotesis... 29

BAB III METODE PENELITIAN... 30

3.1 Tipe Penelitian... 30

3.2 Identifikasi Variabel Penelitian... 31

3.3 Definisi Operasional Variabel... 32

3.3.1 Persepsi Pola Asuh... 32

3.3.2 Kemandirian... 34

3.4 Subjek Penelitian... 36

3.4.1 Populasi... 36

3.4.2 Sampel... 36

3.5 Teknik Pengumpulan Data... 37

3.5.1 Skala Kemandirian... 38

3.5.2 Skala Persepsi Pola Asuh... 41

3.6 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur... 43

3.6.1 Validitas Alat Ukur... 43

3.6.2 Reliabilitas Alat Ukur... 45

3.6.2.1 Reliabilitas Skala Persepsi Pola Asuh... 46

3.6.2.2 Reliabilitas Skala Kemandirian... 48

3.7 Analisis Data... 49

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 51

4.1 Gambaran Subjek Penelitian... 51

4.2 Pelaksanaan Penelitian... 52

4.2.1 Persiapan Penelitian... 52

4.2.2 Persiapan Instrumental... 54

4.2.3 Pengambilan Data... 55

4.2.4 Hambatan dalam Penelitian... 55

4.3 Hasil Penelitian... 56

4.3.1 Analisis Statistik DeskriptifPersepsi Pola Asuh... 56

4.3.2 Analisis Statistik Deskriptif Kemandirian... 59

4.3.3 Kategorisasi Variabel Terikat Berdasarkan Model Distribusi Normal... 62

4.3.3.1 Kategorisasi Kemandirian... 62

4.3.4 Uji Asumsi... 63

4.3.4.1 Uji Normalitas... 63

(13)

4.3.5 Hasil Analisis Data... 65

4.4 Pembahasan... 66

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 69

5.1 Kesimpulan... 69

5.2 Saran... 69

5.2.1 Bagi Peneliti Selanjutnya... 69

5.2.2 Bagi Orangtua... 70

5.2.3 Bagi Remaja yang Berstatus sebagai Anak Tunggal... 70

DAFTAR PUSTAKA... 71

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Skoring Skala Favorable Kemandirian... 39

Tabel 3.2. Skoring Skala Unfavorable Kemandirian... 39

Tabel 3.3. Blueprint Skala Kemandirian (Sebelum Uji Coba)... 40

Tabel 3.4. Skoring Skala FavorablePersepsi Pola Asuh... 42

Tabel 3.5. Skoring Skala UnfavorablePersepsi Pola Asuh... 42

Tabel 3.6. Blueprint Skala Persepsi Pola Asuh (Sebelum Uji Coba)... 42

Tabel 3.7. Professional Judgement... 44

Tabel 3.8. Reliabilitas Skala Persepsi Pola Asuh... 47

Tabel 3.9. Blueprint Skala Persepsi Pola Asuh... 47

Tabel 3.10. Reliabilitas Skala Kemandirian... 48

Tabel 3.11. Blueprint Skala Kemandirian... 48

Tabel 4.1. Jumlah Subjek Berdasarkan Usia... 51

Tabel 4.2. Jumlah Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin... 52

Tabel 4.3. Analisis Desktiptif Statistik Persepsi Pola Asuh... 56

Tabel 4.4. Deskripsi Persepsi Pola Asuh Berdasarkan Usia... 57

Tabel 4.5. Deskripsi Persepsi Pola Asuh Berdasarkan Jenis Kelamin... 58

Tabel 4.6. Analisis Desktiptif Statistik Kemandirian... 59

Tabel 4.7. Deskripsi Kemandirian Berdasarkan Usia... 60

Tabel 4.8. Deskripsi Kemandirian Berdasarkan Jenis Kelamin... 61

Tabel 4.9.Deskripsi Kemandirian Berdasarkan Persepsi Pola Asuh... 61

Tabel 4.10. Norma Kategorisasi Kemandirian... 62

Tabel 4.11. Norma Kemandirian... 62

Tabel 4.12. Kategorisasi Kemandirian pada Remaja yang Berstatus sebagai Anak Tunggal... 63

Tabel 4.13. Hasil Uji Normalitas Data... 64

Tabel 4.14. Hasil Uji HomogenitasPersepsi Pola Asuh dan Kemandirian... 64

(15)

DAFTAR GAMBAR

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1.Form Rater untuk Profesional Judgement...... 73

Lampiran 2.Surat Pernyataan Profesional Judgement... 100

Lampiran 3.Format Kuisioner... 105

Lampiran 4.Data Skor Kasar Skala Persepsi Pola Asuh Otoriter dan Permisif... 115

Lampiran 5. Data Skor Kasar Skala Persepsi Pola Asuh Demokratis... 119

Lampiran 6.Data Skor Kasar Skala Kemandirian... 122

Lampiran 7. Hasil Uji Reliabilitas... 128

Lampiran 8. Skor Skala Kemandirian (Setelah Uji Reliabilitas)... 141

Lampiran 9. Skor Skala Persepsi Pola ASuh (Setelah Uji Reliabilitas)...145

Lampiran 10. Data Z-score Persepsi Pola Asuh... 148

Lampiran 11. Statistik Deskriptif... 150

Lampiran 12.Analisis Deskriptif Berdasarkan Usia... 152

Lampiran 13. Analisis Deskriptif Berdasarkan Jenis Kelamin... 155

Lampiran 14. Analisis Deskriptif Kemandirian berdasarkan Persepsi Pola Asuh Orangtua... 157

Lampiran 15. Normalitas... 159

Lampiran 16. Uji Homogenitas...162

Lampiran 17. Uji Beda... 164

(17)

ABSTRAK

Kamelia Dewi Purbasari, 111011037,Perbedaan Kemandirian pada Remaja yang Berstatus sebagai Anak Tunggal ditinjau dari Persepsi Pola Asuh Orangtua, Skripsi, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, 2016.

xvii + 72 halaman, 18 lampiran.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan pada kemandirian pada remaja yang berstatus sebagai anak tunggal ditinjau dari pola asuh orangtua. Populasi dalam penelitian ini adalah remaja yang berusia 18-21 tahun dan berstatus sebagai anak tunggal.

Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling dengan jumlah subjek sebanyak 62 orang. Alat ukur yang digunakan berupa kuisioner pola asuh yang terdiri dari 19 aitem valid dengan reliabilitas sebesar 0,918 berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Baumrind (1966) dengan tiga tipe pola asuhyaitu: otoriter, permisif, dan demokratis. Sedangkan alat ukur kemandirian terdiri dari 26 aitem valid dengan reliabilitas sebesar 0,810 berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Steinberg (2002).

Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik uji bedaOne-Way Between Group ANOVA dengan bantuan program SPSS versi 16.00 for Windows.Hasil analisis data menunjukkan nilai F sebesar 1,942 dengan taraf siginifikansi sebesar 0,152 yang artinya tidak ada perbedaankemandirian pada remaja yang berstatus sebagai anak tunggal ditinjau dari persepsi pola asuh orangtua.

Kata kunci: remaja, anak Tunggal, pola asuh, kemandirian

(18)

ABSTRACT

Kamelia Dewi Purbasari, 111011037, The Difference of Independence in Adolescents Whose Status as an Only Child in Terms of The Perception of Parents Parenting,

Undergraduate Thesis, Faculty of Psychology in Airlangga University, 2016. xvii + 72 pages, 18 appendixes.

This research aims to determine whether there are differences in adolescent independence status as an only child in terms of parents parenting. The population in this research were adolescents aged of 18 – 21 years old and the status as an only child.

The sampling technique used is purposive sampling with the number of the subjects were 62 people..Measuring instrument used is a questionnaire of parenting there are 19 valid items with reliability of 0.918 for the parenting variable based on the theory put forward by Baumrind (1966) with three types, namely parenting: authoritarian, permissive and democratic. Whilst the independence of the measuring instrument there are 26 valid items with reliability of 0.810 for an independent variable based on the theory advanced by Steinberg (2002).

The data analysis was done by using different test One-Way Between Group ANOVA with assistance of SPSS version 16.00 for Windows. The results of the data analysis showed a significance level of 0.152 at F value of 1.942, which means there is no diffference in independence of the adolescent as the only child in term of the perception of parents parenting.

Keywords: adolescent, only child, parenting, autonomy.

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Keluarga merupakan dua atau lebih individu yang hidup bersama dalam satu

rumah dan memilki hubungan darah, perkawinan, atau adopsi. Individu dalam

keluarga saling berinteraksi dan memiliki peran berbeda serta mempertahankan

suatu budaya yang dimilikinya (Bailon & Maglaya, 1978 dalam Riadi, 2012).

Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga

dan beberapa orang yang tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam

keadaan saling bergantung satu dengan yang lain (Departemen Kesehatan RI,

1988 dalam Riadi, 2012). Keluarga dikatakan sebagai keluarga yang memiliki

anak tunggal apabila di dalam keluarga tersebut terdiri dari ayah, ibu dan satu

orang anak (Landis, 1997; Gunarsa, 2003).

Anak tunggal adalah anak yang tidak memiliki saudara laki-laki maupun

perempuan, dimana ibu mereka hanya melahirkan satu kali dan merupakan anak

satu-satunya di dalam sebuah keluarga (Laybourn, 1990 dalam Laybourn, 1994).

Oleh karena itu, anak tunggal cenderung memiliki orang tua yang selalu

memberikan kasih sayang dan menjadikannya sebagai pusat perhatian sepanjang

hidupnya (Falbo & Polit dalam Papalia, 2008). Berdasarkan hasil amatan dalam

(20)

penuh dan cenderung dimanja oleh kedua orang tuanya karena tidak berbagi kasih

sayang dan perhatian dengan saudara. Mereka tidak memiliki kesulitan dalam

berinteraksi dengan kedua orangtua dan mendapatkan kasih sayang secara intensif

sepanjang hidupnya (Gunarsa, 2003). Kozlowski (dalam penerbitan) dan

Laybourn (1994) juga menyatakan bahwa anak tunggal terbiasa mendapatkan

perhatian dan cinta tak terbagi dari orang tua sepanjang hidupnya. Banyak

anggapan negatif mengenai anak tunggal yang muncul dari masyarakat umum.

Mereka beranggapan bahwa anak tunggal bersifat manja, agresif, bossy dan sulit

menyesuaikan diri (Anna, 2010). Pandangan negatif terhadap anak tunggal

lainnya adalah anak tunggal biasa menuntut dan diberikan orangtua perhatian

yang berlebih sehingga memiliki keterbatasan dalam menghadapi lingkungan

sosial dan menyesuaikan diri (Hall dalam Polit, dkk., 1980:99). Penelitian yang

dilakukan oleh Ara mengenai perbandingan kemandirian remaja anak tunggal

dengan tidak tunggal menunjukkan adanya perbedaan pada kemandirian antara

reaja anak tunggal dengan remaja tidak tunggal (Ara, 1998).

Kasih sayang orangtua pada anak tunggalnya tidak jarang diwujudkan dengan

memberikan bantuan secara total kepada anaknya setiap anak mendapatkan

kesulitan. Hal tersebut dapat berdampak kurang baik bagi pertumbuhan dan

perkembangan anak karena dapat tumbuh menjadi orang yang tidak mandiri dan

kurang bertanggung jawab (Graciana, 2004). Perhatian dan kasih sayang secara

berlebihan dan intensif dari orangtua juga dapat berakibat buruk bagi anak yaitu

menyebabkan anak menjadi egosentris, manja, dan egois serta mengakibatkan

(21)

2008). Hal ini juga ditunjukkan oleh penelitian mengenai kemandirian anak

tunggal yang dilakukan oleh Tyas menunjukkan bahwa satu dari tiga partisipan

tidak mencapai kemandirian (Tyas, 2008). Terdapat salah satu contoh kasus dalam

kehidupan sehari-hari mengenai permasalahan kemandirian pada anak tunggal

yaitu seorang anak tunggal berusia 22 tahun yang menurut cerita ibunya ia tidak

mau melanjutkan kuliahnya di luar kota, ibunya mengatakan bahwa anak tersebut

terlalu kekanak-kanakan dan tidak mau kuliah di luar kota karena merasa tidak

tenang berada jauh dari ibunya (Rustika, 2004).

Namun, penelitian yang dilakukan Laybourn berkata lain yaitu bahwa anak

tunggal memiliki tingkat kemandirian yang sama dengan anak yang memiliki

saudara. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bawah anak tunggal tidak

kurang atau lebih baik dibandingkan dengan anak yang memiliki saudara di dalam

tes kepemimpinan, kewarganegaraan, kedewasaan, kooperatif, dogmatisme,

kemandirian, locus of control, kontrol diri, kecemasan, stabilitas emosi, kepuasan

dan partisipasi sosial (Laybourn, 1994). Sebuah penelitian yang dilakukan di

China menyatakan bahwa anak tunggal di China memiliki performa yang lebih

baik dalam prestasi akademik dan perkembangan kognitif (Falbo & Poston, 1993).

Laybourn menemukan bahwa anak tunggal memiliki tingkat kemandirian yang

sama seperti anak lainnya (Laybourn, 1994). Pendapat serupa juga ditunjukkan

oleh Lorna (2002), bahwa ketidakberadaan saudara dalam kehidupan anak tunggal

membuat anak tunggal berelasi dengan orang lain dengan intensitas yang tinggi.

Intensitas tersebut memunculkan keinginan untuk menjadi mandiri dan tidak

(22)

Kemandirian menurut Steinberg (2002) adalah kemampuan remaja dalam

berpikir, merasakan dan membuat keputusan secara pribadi berdasarkan diri

sendiri dibandingkan mengikuti apa yang orang lain percayai. Kurangnya

kemandirian pada anak tunggal akan menjadi masalah saat anak tersebut

memasuki masa remaja. Hal ini dikarenakan masa remaja adalah sebagai masa

mencari identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa

dirinya dan apa peranannya dalam masyarakat (Hurlock,1999). Masa remaja

merupakan masa transisi perkembangan antara masa anak-anak dan dewasa yang

ditandai dengan perubahan biologis, kognitif, dan sosial. Batasan usia remaja

yang umum digunakan oleh para ahli adalah antara 12 hingga 21 tahun (Santrock,

2003; Monks, 2006).

Masa remaja merupakan masa peralihan karena remaja belum mencapai

status sebagai orang dewasa namun juga tidak lagi memiliki status sebagai

anak-anak. Masalah-masalah yang dialami remaja adalah masalah terkait perubahan

fisik dan psikis karena usaha dalam menemukan identitas diri. Freud berpendapat

bahwa perubahan fisik pada remaja mengakibatkan munculnya perubahan emosi

remaja tersebut di rumah (Holmbeck, 1996 dalam Steinberg, 2002:289). Salah

satu tugas perkembangan remaja menurut Havighurst yaitu mencari kemandirian

emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya (Hurlock, 1999; Ali, dkk.,

2010). Pada masa remaja inilah dikatakan sebagai periode penting bagi individu

selama proses perkembangan kemandirian (Steinberg, 2002). Remaja diharapkan

dapat membebaskan diri dari sifat kekanak-kanakan yang menggantungkan diri

(23)

mengambil keputusan secara mandiri. Selain itu, remaja juga merasa ingin bebas

dan keadaan inilah yang menjadikan remaja sering memberontak pada orangtua

(Ali, dkk., 2010). Remaja merasa ingin mandiri, namun juga membutuhkan rasa

aman dengan bergantung secara emosi kepada orangtua mereka. Remaja ingin

mandiri namun di sisi lain mereka tidak ingin melepaskan diri dari orangtuanya.

Hal serupa juga terjadi dari pihak orangtua, mereka menginginkan anak untuk

menjadi mandiri namun masih membatasi pilihan dan keputusan anaknya

(Hurlock, 1980).

Kemandirian merupakan salah satu proses perkembangan yang penting bagi

remaja (Soesens, dkk, 2007). Seiring dengan berjalannya waktu maka anak

diharapkan akan mampu melepaskan diri dari orangtuanya dan belajar menjadi

mandiri. Seorang anak tunggal memiliki beban yang lebih besar daripada anak

yang memiliki saudara. Harapan orangtua pada anak hanya dibebankan pada anak

mereka satu-satunya sehingga anak diharapkan akan menjadi individu yang

mandiri dan tegas (Soesens, dkk, 2007). Banyak anak tunggal yang mendapatkan

tekanan untuk menjadi sukses di masa depan (Kozwolski, dalam penerbitan).

Dampak negatif apabila remaja tidak mandiri adalah mereka cenderung tidak

mampu menentukan keputusannya karena semua telah ditentukan oleh orangtua

mereka. Hal ini dapat dipahami karena biasanya remaja yang tidak mandiri akan

berkonsultasi terlebih dahulu pada orangtua sebelum mengambil sebuah

keputusan (Hartono, 2006).

Faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian adalah gen yaitu sifat yang

(24)

kemandirian akan menurunkan sifat kemandirian pada anak mereka. Namun hal

ini masih dipertanyakan kebenarannya (Ali, dkk., 2010). Selain itu, adapula pola

asuh yaitu cara pengasuhan orangtua terhadap anak yang mempengaruhi

kemandirian anaknya (Ali, dkk., 2010). Pendidikan di sekolah juga menjadi faktor

yang mempengaruhi kemandirian remaja. Proses pendidikan di sekolah yang tidak

mengangkat sistem demokrasi tetapi cenderung mendoktrin siswanya akan

mempengaruhi perkembangan kemandirian remaja (Ali, dkk., 2010). Faktor

lainnya adalah kehidupan masyarakat yang tidak memberikan wadah bagi potensi

remaja dalam kegiatan yang produktif. Hal tersebut dapat menghambat

perkembangan kemandirian remaja (Ali, dkk., 2010). Menurut hasil penelitian

Kartadinata (1988) dalam Ali, dkk. (2002) mengenai hal yang dapat menghambat

kemandirian remaja adalah adanya ketergantungan pada kontrol luar dan bukan

dari dirinya sendiri, sikap remaja yang tidak peduli pada lingkungan dan sikap

remaja yang konformistik.

Faktor yang mempengaruhi kemandirian yang diangkat dalam penelitian ini

adalah pola asuh orangtua. Pola asuh dari orangtua yang memiliki anak tunggal

cenderung mengontrol anak mereka sepanjang hidup mereka (Eccles, dkk., 1991).

Pola asuh tersebut dapat mempengaruhi perkembangan sosial dan intelektual anak

yang pada akhirnya mempengaruhi kemandirian anak mereka apabila anak tidak

mampu melepaskan diri dari kekuatan otoritas (Eccles, dkk., 1991; Hartono,

2006). Ketergantungan disiplin pada kontrol luar dan bukan pada niat sendiri ini

merupakan salah satu gejala negatif yang dapat mempengaruhi kemandirian

(25)

Untuk dapat memiliki kemandirian maka seseorang membutuhkan

kesempatan dan dukungan. Di dalam hubungan keluarga, orangtua yang berperan

dalam mengasuh, membimbing dan mengarahkan anak untuk mandiri (Steinberg,

2002). Keluarga merupakan lingkungan pertama yang memberikan kesempatan

remaja untuk mengembangkan kemampuan diri dalam bidang akademik maupun

lainnya. Kepribadian dan perilaku remaja akan terbentuk berdasarkan apa yang

ditanamkan orangtua melalui pola asuh. Oleh karena itu, pola asuh yang diberikan

orangtua menjadi faktor yang penting dalam membentuk kemandirian remaja baik

secara emosional, perilaku maupun nilai (Steinberg, 2002).

Permasalahan yang telah dijelaskan di atas mengenai kemandirian anak

tunggal dan pola asuh orangtua membuat penulis mempertanyakan mengenai

kemandirian anak tunggal yang telah remaja ditinjau dari perspektif mereka

terhadap pola asuh karena remaja merupakan waktu paling kompleks dan

memiliki banyak persoalan dalam rentang kehidupan manusia. Pertanyaan penulis

tersebut kemudian menjadi bahan penelitian mengenai kemandirian pada remaja

yang berstatus sebagai anak tunggal ditinjau dari persepsi terhadap pola asuh

orangtua.

1.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat diketahui bahwa

kemandirian merupakan salah satu proses yang penting dalam perkembangan bagi

remaja. Salah satu tugas perkembangan remaja yang dikemukakan oleh

(26)

yaitu mencari kemandirian emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya

(Hurlock, 1999). Kemandirian adalah membebaskan sifat kekanak-kanakan yang

menggantungkan diri dengan orangtua atau orang dewasa lainnya sehingga remaja

seharusnya mampu melakukan sesuatu dan mengambil keputusan secara mandiri

dan merasa ingin bebas (Hurlock, 1999). Seiring dengan berlalunya waktu maka

anak akan diharapkan memiliki kemampuan untuk melepaskan diri dari orangtua

dan belajar untuk menjadi mandiri (Soesens, dkk., 2007). Remaja yang mandiri

adalah remaja yang berani mengambil keputusan dilandasi oleh rasa tanggung

jawab dan pemahaman akan segala konsekuensi dari tindakannya (Ali, dkk.,

2010).

Pentingnya kemandirian pada remaja yang telah diungkapkan oleh beberapa

tokoh diatas kemudian menjadi pertanyaan bagi penulis mengenai kemandirian

pada remaja yang berstatus anak tunggal. Anak tunggal cenderung mendapatkan

kasih sayang dari orangtua sepanjang hidup mereka karena mereka tidak memiliki

saudara. Mereka cenderung dimanja dan mendapatkan cinta yang tak terbagi dari

orangtuanya (Falbo & Polit dalam Papalia, 2008; Gunarsa, 2003). Kasih sayang

berlebih yang diberikan orangtua pada anak tunggalnya dapat berdampak buruk

bagi pertumbuhan dan perkembangan anak karena dapat menjadi tidak mandiri

dan kurang bertanggung jawab (Graciana, 2004).

Orangtua yang memiliki anak tunggal juga cenderung mengontrol anaknya

sepanjang hidup mereka. Apabila anak kemudian tidak mampu untuk melepaskan

diri dari kontrol orangtua atau pihak otoritas maka anak akan menjadi tidak

(27)

berperan dalam mengasuh, membimbing dan mengarahkan anak untuk mandiri

(Steinberg, 2002). Kepribadian dan perilaku remaja akan terbentuk berdasarkan

apa yang ditanamkan orangtua melalui pola asuh. Oleh karena itu, pola asuh yang

diberikan orangtua menjadi faktor yang penting dalam membentuk kemandirian

remaja baik secara emosional, perilaku maupun nilai (Steinberg, 2002). Tipe pola

asuh yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe pola asuh menurut

Baumrind yaitu otoriter, permisif dan demokratis.

1.3. Batasan Masalah

Sesuai dengan identifikasi masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka masalah pada penelitian ini dibatasi hanya pada:

1.3.1. Kemandirian

Pengertian kemandirian yang dimaksud penulis di sini mengacu pada

kemandirian menurut Steinberg yaitu kemampuan remaja dalam berpikir,

merasakan dan membuat keputusan secara pribadi berdasarkan diri sendiri

dibandingkan mengikuti apa yang orang lain percayai.

1.3.2. Persepsi terhadap Pola Asuh

Pengertian pola asuh yang dimaksud oleh penulis di sini adalah bagaimana

remaja menilai pola asuh yang diberikan oleh orangtua mereka. Karena pola asuh

ini yang nantinya mempengaruhi kemandirian remaja. Tipe pola asuh ada tiga

(28)

1.3.3. Anak Tunggal Remaja

Remaja yang akan menjadi subjek penelitian ini adalah remaja yang

berstatus sebagai anak tunggal yaitu anak yang tidak memiliki saudara kandung,

kakak atau adik dalam satu keluarga dan berusia 18-21 tahun, perempuan maupun

laki-laki.

1.4. Rumusan Masalah

Sesuai dengan latar belakang yang telah diuraikan peneliti sebelumnya maka

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Apakah ada perbedaan

kemandirian pada remaja yang berstatus sebagai anak tunggal ditinjau dari

persepsi terhadap pola asuh orangtua?”

1.5. Tujuan Penelitian

Berdasarkan dari rumusan masalah penelitian yang dituliskan peneliti maka tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui apakah ada perbedaan kemandirian

pada remaja yang berstatus sebagai anak tunggal ditinjau dari persepsi terhadap

pola asuh orangtua.

1.6. Manfaat Penelitian

1.6.1. Manfaat Teoritis

1. Memperkaya pengetahuan mengenai kemandirian dalam bidang ilmu

(29)

2. Menambah literatur keilmuan dan referensi mengenai kemandirian pada

remaja yang berstatus anak tunggal ditinjau dari persepsi terhadap pola asuh.

3. Menambah sumber referensi bagi penelitian selanjutnya yang ingin

memperdalam masalah kemandirian pada remaja yang berstatus anak tunggal.

1.6.2. Manfaat Praktis

Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat memiliki manfaat praktis

yaitu sebagai berikut:

1. Bagi remaja yang merupakan anak tunggal. Memberikan informasi mengenai

perbedaan kemandirian ditinjau dari persepsi mereka terhadap pola asuh,

menjadi acuan bagi remaja untuk meningkatkan kemandirian dan

menyesuaikan diri dengan statusnya sebagai anak tunggal.

2. Bagi peneliti selanjutnya. Memberikan referensi pengetahuan mengenai

persepsi terhadap pola asuh pada anak tunggal dan kaitannya dengan

kemandirian, memberikan kontribusi bagi peneliti lain supaya penelitian ini

dapat menjadi pedoman untuk penelitian yang sejenis.

3. Bagi orangtua yang memiliki anak tunggal. Memberikan informasi sebagai

bahan pertimbangan dalam pengasuhan yang tepat supaya anak tunggal dapat

(30)

12

BAB II

TINJUAUAN PUSTAKA

2.1. Anak Tunggal Remaja

2.1.1. Pengertian Remaja

Remaja atau yang disebut dengan adolescence berasal dari bahasa latin

adolescere yang memiliki arti tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan.

Masa remaja dianggap sebagai masa transisi yaitu menghubungkan masa

kanak-kanak dan dewasa (Ali, dkk., 2010). Monks, dkk. (2006) juga menyatakan bahwa

masa remaja merupakan masa transisi perkembangan antara masa anak-anak dan

dewasa yang ditandai dengan perubahan biologis, kognitif, dan sosial. Hal serupa

juga diungkapkan oleh Papalia (2008) yaitu masa remaja merupakan transisi

perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang mengandung

perubahan fisik, koginitif dan psikososial. Masa remaja menurut Monks

berlangsung dari usia 12-21 tahun yang dibagi menjadi: masa remaja awal yaitu

usia 12-15 tahun, masa remaja pertengahan yaitu usia 15-18 tahun, dan masa

remaja akhir yaitu usia 18-21 tahun (Monks, 2006).

Selain itu, G. Stanley Hall (1844-1924) dalam Santrock (2003)

menyebutkan bahwa masa remaja merupakan masa badai dan stress (storm and

stress) karena tahap ini ditandai dengan adanya konflik dan perubahan suasana

hati sehingga mereka memiliki keinginan bebas untuk menentukan nasibnya

(31)

yang akan mempengaruhi perkembangan individu. Pandangan lain yaitu dari

Piaget (dalam Hurlock, 1999) yang membahas remaja secara psikologis, yaitu

dimana suatu usia individu menjadi terintegrasi ke dalam masyarakat dewasa, dan

dimana individu merasa sama atau sederajat dengan tingkat orang yang lebih tua.

Berdasarkan pengertian mengenai remaja yang dikemukakan beberapa

tokoh di atas maka dapat disimpulkan bahwa masa remaja merupakan masa

transisi dari kanak-kanak menjadi dewasa yang terjadi pada usia 12-21 tahun dan

disertai dengan berbagai perubahan yaitu dalam hal biologis, kognitif dan sosio

emosional.

2.1.2. Pengertian Anak Tunggal

Secara umum, anak tunggal diartikan sebagai anak yang tidak memiliki

saudara kandung, kakak atau adik dalam satu keluarga (Gunarsa, 2003). Hal

serupa juga dipaparkan oleh Hadibroto, dkk (2002) yang menyatakan bahwa anak

tunggal merupakan keturunan satu-satunya yaitu anak tanpa saudara kandung

yang lain seperti kakak atau adik. Anak tunggal menjadi cepat matang

dibandingkan dengan anak-anak sebayanya karena anak tunggal tumbuh menjadi

lebih percaya diri, tegas dan nampak menonjol dikarenakan mendapatkan

perhatian yang penuh dari orangtuanya. Anak tunggal tumbuh menjadi seorang

yang menginginkan segala hal menjadi sempurna.

Adler (1920) dalam Hadibroto (2002) pernah menyatakan mengenai

pengaruh kelahiran pada pembentukan sifat dasar seseorang yang akan

(32)

memiliki kesulitan untuk melakukan setiap aktivitas secara bebas yang

berhubungan dengan orang lain.

2.1.3. Latar Belakang Anak Tunggal

Terbentuknya kondisi anak tunggal dapat disebabkan oleh beberapa

kemungkinan. Gunarsa (2003) menyatakan beberapa kemungkinan latar belakang

terjadinya status anak tunggal, yaitu sebagai berikut:

a. Kondisi anak tunggal karena direncanakan

Ditemukan berbagai macam situasi dalam kondisi ini yaitu sebagai berikut:

1. Suami istri yang baru menikah memandang bahwa keluarga yang

harmonis adalah dengan memiliki seorang anak saja.

2. Suami istri yang baru menikah ketika usia lanjut.

3. Suami istri yang baru menikah namun masih mengikuti pendidikan

tertentu dan mengejar karir atau pekerjaan.

Dalam kondisi-kondisi di atas maka dapat diartikan bahwa kehadiran anak

tunggal memiliki derajat yang sama dengan anak-anak lainnya. Orangtua dalam

kondisi ini tidak memiliki pengalaman traumatik mengenai kehadiran anak

karena kehadiran anak tunggal bagi mereka telah direncanakan terlebih dahulu

dan atas keinginan mereka secara pribadi. Sehingga diharapkan orangtua dapat

bertindak secara realistis dan mengendalikan sikap yang tidak tepat bagi

anaknya.

b. Kondisi anak tunggal karena tidak direncanakan

(33)

1. Suami istri yang merencanakan memiliki anak lebih dari satu namun

karena kondisi fisik istri lemah sehingga hal tersebut tidak memungkinkan.

2. Terjadi suatu peristiwa traumatik yang dialami yaitu kehilangan nyawa

anaknya sehingga saudaranya terpaksa berstatus menjadi anak tunggal.

Bagi orangtua yang merencanakan memiliki anak lebih dari satu namun tidak

memungkinkan maka dapat membuat orangtua menjadi bertindak kurang

bijaksana. Orangtua lebih memerhatikan kelemahan-kelemahan dibandingkan

kebutuhan-kebutuhan anaknya. Orangtua cenderung memiliki target yang tinggi

terhadap anak mereka dalam mencapai prestasi.

2.1.4. Karakteristik Anak Tunggal

Berikut merupakan ciri-ciri kepribadian anak tunggal menurut Hurlock

(dalam Gunarsa, 2003):

a. Anak tunggal yang manja, egosentris, antisosial dan karena hal tersebut

menjadi tidak popular.

b. Anak tunggal yang menutup diri mereka, peka dan mudah cemas, menarik

diri dari hubungan sosial dan terlau menggantungkan diri pada orangtua

mereka.

Berikut merupakan ciri-ciri anak tunggal menurut Hadibroto, dkk (2002):

a. Sebagai teman: emosional dan perhatian.

b. Sebagai pendengar ketika berkomunikasi: mengartikan perkataan orang lain

dengan menggunakan pemahamannya sendiri.

(34)

d. Merinduan kebebasan

e. Memiliki pola pikir yang terorganisir.

f. Memiliki pertimbangan keadilan yang cenderung memperlakukan orang lain

secara sama/adil.

g. Ketika anak-anak memiliki perilaku yang emosional namun penurut.

h. Sumber dan pemicu kemarahannya adalah ketika orang lain ikut campur

dalam kegiatannya.

i. Kontribusi sosial dengan membantu orang lain dalam organisasi sosial.

j. Memiliki spiritualitas sesuai dengan norma yang berlaku.

k. Memiliki kelemahan yaitu mengacu pada pendapat orang lain yang

membicarakan mengenai dirinya.

Gunarsa (2003) mengungkapkan bahwa anak tunggal akan memperlihatkan

beberapa sifat yaitu sebagai berikut:

a. Anak menjadi manja, mungkin juga penurut (tidak ingin mengecewakan

orangtua).

b. Anak menjadi takut, menyendiri, dan kurang mampu berhubungan dengan

teman sebayanya (peer group).

c. Anak mencoba menarik perhatian dengan cara kekanak-kanakan.

d. Anak kurang disenangi teman sebaya karena tidak biasa bergaul dan tidak

tahu bagaimana bertingkah laku.

Berdasarkan karakteristik-karakteristik anak tunggal yang telah

diungkapkan oleh beberapa tokoh di atas maka dapat disimpulkan bahwa anak

(35)

bergantung pada orangtua, penurut karena tidak ingin mengecewakan orangtuanya

dan menarik diri dari teman sebaya.

2.2. Kemandirian

2.2.1. Pengertian Kemandirian

Sebelum menjelaskan yang dimaksud dengan kemandirian pada anak

tunggal, maka perlu dijelaskan pengertian dari kemandirian itu sendiri terlebih

dahulu. Kemandirian menurut Steinberg (2002) adalah kemampuan remaja dalam

berpikir, merasakan dan membuat keputusan secara pribadi berdasarkan diri

sendiri dibandingkan mengikuti apa yang orang lain percayai. Istilah autonomy

dalam kajian mengenai kemandirian seringkali disejajarkan dengan kata

independence meskipun sebenarnya ada perbedaan yang sangat tipis diantara

kedua kata tersebut (Steinberg, 2002). Secara umum, independence menunjuk

pada kemampuan individu dalam menjalankan sendiri aktivitas hidup yang

terlepas dari pengaruh kontrol orang lain (Steinberg, 2002). Individu yang

independence akan mampu menjalankan sendiri aktifitas hidup terlepas dari

pengaruh kontrol orang lain terutama orangtua. Sedangkan istilah autonomy

mempunyai komponen emotional dan cognitive yang sama baiknya seperti

komponen behavioral (Steinberg, 2002). Steinberg (2002) menggunakan istilah

autonomy untuk mengonsepkan kemandirian sebagai self governing person yaitu

kemampuan menguasai diri sendiri.

Apabila konsep-konsep di atas dicermati, maka kemandirian adalah

(36)

terhadap orang lain terutama pada orangtua, kemampuan mengambil keputusan

secara mandiri dan kemampuan menggunakan prinsip-prinsip mengenai benar dan

salah serta penting dan tidak penting (Steinberg, 2002). Kemandirian pada remaja

dapat dilihat dari aspek-aspek kemandirian secara psikososial yaitu dilihat dari

kemandirian emosi, kemandirian perilaku dan kemandirian nilai (Steinberg,

2002).

2.2.2. Dimensi Kemandirian

Menurut Steinberg(2002), ada tiga macam kemandirian yaitu:

a. Emotional autonomy

Emotional autonomy atau kemandirian emosional adalah dimensi yang

berhubungan dengan perubahan keterikatan hubungan emosional remaja dengan

orang lain. Kemandirian emosional didefinisikan sebagai kemampuan remaja

untuk tidak bergantung terhadap dukungan emosional dari orangtua. Para

remaja mengalami pergeseran dari tergantung pada orangtua untuk mendapatkan

dukungan emosional sekarang berubah mendapat dukungan dari orang lain seperti

dari teman-temannya. Perkembangan kemandirian emosional dimulai pada

awal masa remaja dan ketergantungan emosional remaja terhadap orangtua

akan menjadi berkurang pada masa remaja akhir. Munculnya kemandirian

emosional bukan berarti munculnya pemberontakan remaja terhadap orangtua

(Collins, 1990; Hill & Holmbeck, 1986; Steinberg, 1990 dalam Steinberg,

(37)

Silverberg & Steinberg (dalam Steinberg, 2002) mengungkapkan bahwa

terdapat empat aspek kemandirian emosional yaitu sejauh mana remaja

mampu untuk tidak memandang orangtua sebagai sosok yang ideal (

de-idealized), sejauh mana remaja mampu memandang orangtua sebagai orang

dewasa pada umunya (parents as people), sejauh mana remaja bergantung

pada kemampuannya sendiri tanpa mengharapkan bantuan dari orang lain

(non dependency) dan sejauh mana remaja mampu melakukan individuasi

dalam hubungannya dengan orangtua (Silverberg & Steinberg, dalam

Steinberg, 2002).

b. Behavioral autonomy

Kemandirian perilaku (behavioral autonomy) adalah kemampuan dalam

menentukan pilihan dan mengambil keputusan secara mandiri. Kemandirian

perilaku mencakup kemampuan untuk meminta pendapat orang lain jika

diperlukan sebagai dasar pengembangan alternatif pilihan, menimbang

berbagai pilihan yang ada dan pada akhirnya mampu mengambil kesimpulan

untuk suatu keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Melalui

pertimbangan diri sendiri dan pedapat dari orang lain kemudian remaja

mengambil keputusan secara mandiri bagaimana untuk bertindak (Hill &

Holmbeck, 1986 dalam Steinberg, 2002).

Terdapat tiga aspek kemandirian perilaku pada remaja. Pertama,

memiliki kemampuan mengambil keputusan yang ditandai dengan menyadari

adanya resiko dari tingkah lakunya, memilih alternatif pemecahan masalah

(38)

terhadap konsekuensi dari keputusan yang diambilnya. Kedua, individu yang

memiliki kemandirian perilaku akan memiliki kekuatan terhadap pengaruh

orang lain yang ditandai dengan tidak mudahnya terpengaruh dalam situasi

yang menuntut konformitas, tidak mudah terpengaruh tekanan teman sebaya

dan orangtua dalam mengambil keputusan, memasuki kelompok sosial tanpa

tekanan. Ketiga, merasa percaya diri (self reliance) yang ditandai dengan

merasa mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari di rumah dan di sekolah,

merasa mampu memenuhi tanggung jawab di rumah dan di sekolah, merasa

mampu mengatasi masalahnya sendiri, berani dalam mengemukakan ide dan

gagasan.

c. Value autonomy

Rest (dalam Steinberg, 2002) mengungkapkan bahwa kemandirian nilai

berkembang selama masa remaja akhir. Kemandirian nilai adalah kemampuan

memiliki sikap independen dan keyakinan tentang spiritualitas, politik, dan

moral. Kemampuan remaja untuk berpikir secara abstrak membantu mereka

melihat perbedaan antara situasi umum dan khusus, serta membuat penilaian

menggunakan higher order thinking. Pada value autonomy ini remaja

mengambil waktu untuk mempertimbangkan sistem nilai pribadi mereka.

Dengan cara ini, remaja membuat kesimpulan secara mandiri tentang nilai

mereka, bukan hanya menerima dan mengikuti nilai-nilai dari orangtua atau

figur otoritas. Steinberg (2002) mengungkapkan tiga aspek dalam

(39)

1. Kemampuan dalam berpikir abstrak dalam memandang suatu masalah

(abstract belief). Perilaku yang dapat dilihat adalah remaja mampu

menimbang berbagai kemungkinan dalam bidang nilai.

2. Memiliki keyakinan yang berakar pada prinsip-prinsip umum yang

memiliki dasar ideologi (principled belief). Perilaku yang dapat dilihat

adalah remaja berpikir dan bertindak sesuai dengan prinsip yang dapat

dipertanggungjawabkan dalam bidang nilai.

3. Memiliki keyakinan mengenai nilai-nilainya sendiri, bukan hanya karena

sistem nilai yang disampaikan oleh orangtua atau figur otoritas lainnya

(independent belief). Perilaku yang dapat dilihat adalah remaja

mengevaluasi kembali keyakinan akan nilainya sendiri, berpikir sesuai

dengan keyakinan dan nilainya sendiri, dan bertingkah laku sesuai

dengan keyakinan dan nilainya sendiri.

2.2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian

Kemandirian yang dimiliki oleh seseorang, tidak semata-mata merupakan

bawaan sejak lahir namun merupakan hasil interaksi antara individu dengan

lingkungannya. Berikut adalah beberapa faktor yang dapat mempengaruhi

perkembangan kemandirian, yaitu sebagai berikut (Steinberg, 2002):

a. Gen

Sifat kemandirian dari orangtua dapat diturunkan pada anak tetapi hal ini

masih menjadi perdebatan karena sebenarnya bukan diuturunkan melainkan

(40)

b. Sistem pendidikan di sekolah

Pendidikan yang cenderung mengembangkan demokrasi dan

menekankan penghargaan terhadap potensi anak didik maka akan

menstimulasi perkembangan kemandirian anak. Lain hal dengan pendidikan

yang menekankan pemberian hukuman maka akan menghambat

perkembangan kemandirian anak.

c. Sistem kehidupan di masyarakat

Lingkungan masyarakat yang menghargai potensi dan tidak begitu

menekankan hirarki struktur sosial akan mendorong perkembangan

kemandirian remaja.

d. Pola asuh orangtua

Pilihan cara pengasuhan dari orangtua pada anak mempengaruhi

kemandirian anak. Apabila orangtua memberikan suasana keluarga yang

nyaman dan aman dalam berinteraksi maka perkembangan kemandirian anak

akan lancar. Namun, pola asuh dari orangtua yang memiliki anak tunggal

cenderung mengontrol anak mereka sepanjang hidup mereka (Eccles, dkk.,

1991). Pola asuh tersebut dapat mempengaruhi perkembangan sosial dan

intelektual anak yang pada akhirnya mempengaruhi kemandirian anak mereka

apabila anak tidak mampu melepaskan diri dari kekuatan otoritas (Eccles,

dkk., 1991; Hartono, 2006). Ketidakmampuan anak melepaskan diri dari

kekuatan otoritas atau tunduknya anak pada kekuatan otoritas adalah salah

(41)

2.3. Persepsi Pola Asuh

2.3.1. Persepsi

Persepsi adalah interpretasi tentang apa yang diindrakan atau dirasakan.

Kemampuan mengaitkan dan mengintegrasikan informasi atas dua atau lebihh

pengalaman sensoris (Santrock, 2008). Persepsi adalah pengalaman mengenai

objek, peristiwa atau hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi

dan menafsirkan pesan. Persepsi adalah pemberian makna pada stimuli inderawi.

Walaupun begitu, menafsirkan makna informasi inderawi tidak hanya melibatkan

sensasi, tetapi juga atensi, ekspektasi, motivasi, dan memori (Desideranto, 1976

dalam Rakhmat, 2003).

2.3.2. Pengertian Pola Asuh

Baumrind (1991, dalam Uredi, 2008) mengartikan pola asuh sebagai

aktivitas kompleks yang termasuk banyak perilaku tertentu yang secara individu

maupun bersama kemudian mempengaruhi perkembangan anak. Baumrind (1971,

1991, dalam Papalia, 2008; Santrock, 2002) mengidentifikasikan tiga bentuk gaya

pengasuhan yaitu otoriter, permisif, dan demokratis.

2.3.3. Tipe Pola Asuh

Baumrind (1971, dalam Santrock, 2002) menekankan tiga tipe pola asuh

yang dikaitkan dengan aspek-aspek yang berbeda dalam perilaku sosial anak yaitu

otoriter, permisif, dan demokratis. Kemudian para ahli psikologi perkembangan

(42)

permissive-indulgent dan permissive-indifferent (Santrock, 2002). Namun dalam

laporan yang dibuat oleh Baumrind hanya disebutkan tiga bentuk pengasuhan

yaitu sebagai berikut (Papalia, 2008):

a. Otoriter

Gaya pengasuhan yang membatasi, menghukum dan menuntut anak

untuk mengikuti perintah orangtua, atau cenderung menggunakan disiplin

yang keras. Orangtua dengan pengasuhan ini cenderung lebih mengendalikan,

membentuk, mengontrol dan mengevaluasi sikap dan perilaku anak apakah

sesuai dengan standar yang diberikan oleh orangtua atau tidak (Baumrind,

1966). Mereka tidak memberikan kesempatan anaknya untuk berdiskusi

tentang aturan yang diberikan, melainkan sudah menjadi sebuah standar dan

tidak dapat ditentang. Akibatnya remaja yang terbentuk menjadi memiliki

sikap pemberontak, agresif dan bergantung pada orangtuanya (Baumrind,

1971, 1991, dalam Kopko, 2007).

b. Permisif

Gaya pengasuhan yang sering dinamakan serba boleh, orangtua jarang

memberikan larangan atas keinginan anak dan orangtua memberikan

kebebasan kepada anaknya. Mereka memanjakan dan cenderung pasif dalam

hal mengasuh anak. Selain itu, orangtua juga jarang menuntut dan

menghukum anak, kurang menanamkan sikap disiplin pada anak, terlalu

membebaskan anak untuk menentukan keinginan dan keputusan apa yang

akan dipilih dan dilakukan sehingga orangtua terlihat tidak aktif dalam

(43)

sedikit batasan dan aturan, sulit mengontrol dirinya dan memiliki

kecenderungan menjadi egosentris yang mungkin akan mengganggu

perkembangannya yang berhubungan dengan teman sebaya (Baumrind, 1971,

1991, dalam Kopko, 2007).

c. Demokratis

Gaya pengasuhan yang mengarahkan kegiatan anak, mendorong anak

agar dapat ma ndiri namun masih menetapkan batasan dan pengendalian atas

tindakan mereka serta mendidik untuk dapat menjadi pendengar dan bersedia

mempertimbangkan apa yang dipikirkan remaja, sehingga anak diberikan

kesempatan untuk dapat berdiskusi. Akibatnya anak akan cenderung lebih

mandiri, bertanggung jawab dan kompeten dalam hal sosial (Baumrind, 1971,

1991, dalam Kopko, 2007).

2.4. Hubungan Antara Kemandirian Remaja yang Berstatus sebagai Anak

Tunggal dengan Persepsi Pola Asuh Orangtua

Banyak anggapan negatif mengenai anak tunggal yang muncul dari

masyarakat umum. Mereka beranggapan bahwa anak tunggal bersifat manja,

agresif, bossy dan sulit menyesuaikan diri (Anna, 2010). Selain itu juga ada yang

beranggapan bahwa anak tunggal merupakan anak yang mudah iri, egois,

egosentris, bergantung, agresif, mendominasi, dan argumentatif. Anak tunggal

kurang baik juga dalam bekerja sama, mengembangkan perasaan dan minat sosial,

(44)

Contoh kasus dalam kehidupan sehari-hari juga menunjukkan bahwa anak tunggal

kesulitan untuk mampu hidup secara mandiri dan lepas dari orangtua. Seorang ibu

secara pribadi berkonsultasi kepada salah satu psikolog mengenai anak

tunggalnya yang berusia 22 tahun namun memilih untuk berhenti kuliah di luar

kota karena merasa tidak mampu untuk hidup secara terpisah dengan ibunya serta

menurut ibunya, anak tersebut masih kekakanak-kanakan (Rustika, 2004).

Seperti yang diungkapkan Adler (1920) dalam Hadibroto (2002) yaitu bahwa

anak tunggal memiliki kesulitan untuk melakukan setiap aktivitas secara bebas

yang berhubungan dengan orang lain karena memiliki harapan dimanjakan dan

dilindungi oleh orang lain. Anak tunggal cenderung mendapatkan kasih sayang

dan dijadikan pusat perhatian sepanjang hidup mereka oleh orangtua (Falbo &

Polit dalam Papalia, 2008). Perhatian dan kasih sayang yang berlebihan dan

intensif dari orangtua juga dapat berakibat buruk bagi anak yaitu menyebabkan

anak menjadi egosentris, manja, egosi dan tumbuh menjadi individu yang tidak

mandiri (Falbo & Polit dalam Papalia, 2008).

Kurangnya kemandirian pada anak tunggal akan menjadi masalah ketika anak

tersebut memasuki masa remaja. Masa remaja adalah masa mencari identitas diri

(Hurlock, 1999). Salah satu tugas remaja adalah mencari kemandirian enosional

dari orangtua dan orang dewasa lainnya. Remaja kemudian diharapkan dapat

melepaskan diri dari sifat kekanak-kanakannya dan mampu melakukan sesuatu

serta mengambil keputussan sendiri (Havighurst dalam Hurlock, 1999; Ali, dkk.,

2010). Salah satu aspek dari kemandirian adalah kemandirian tingkah laku yaitu

(45)

individu memiliki kepatuhan terhadap figur otoritas maka individu tersebut tidak

dapat mengambil keputusannya secara bebas (Hartono, 2006).

Pilihan cara pengasuhan dari orangtua pada anak juga mempengaruhi

kemandirian anak. Apabila orangtua memberikan suasana keluarga yang nyaman

dan aman dalam berinteraksi maka perkembangan kemandirian anak akan lancar

(Steinberg, 2002). Namun apabila orangtua menjadi figur otoritas yang mengatur

setiap perilaku anak mereka maka anak akan berkembang menjadi individu yang

tidak mandiri. Dalam penelitian yang dilakukan oleh seorang psikolog bernama C.

Kagitcibasi (1984) dalam Sarwono (2007) yang meneliti 20.408 orangtua dari

seluruh dunia menunjukkan bawa ibu dari suku Jawa (88%) dan Sunda (81%)

mengharapkan anak mereka untuk menuruti orangtuanya. Ayah dari suku Jawa

(85%) dan Sunda (76%) juga memiliki harapan yang sama pada anak mereka. Hal

ini juga diperkuat oleh pernyataan Eccless, dkk. (1991) yang mengatakan bahwa

pola asuh orangtua yang memiliki anak tunggal cenderung mengontrol dapat

mempengaruhi perkembangan sosial dan intelektual anak yang pada akhirnya

mempengaruhi kemandirian anak apabila anak tidak mampu melepaskan diri dari

orangtua. orangtua yang berperan dalam mengasuh, membimbing dan

mengarahkan anak untuk mandiri (Steinberg, 2002). Kepribadian dan perilaku

remaja akan terbentuk berdasarkan apa yang ditanamkan orangtua melalui pola

asuh. Oleh karena itu, pola asuh yang diberikan orangtua menjadi faktor yang

penting dalam membentuk kemandirian remaja baik secara emosional, perilaku

(46)

2.5. Kerangka Konseptual

Keterangan:

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

Pola Asuh Orangtua Status Remaja sebagai

Anak Tunggal

Otoriter Permisif Otoritatif

Kemandirian Emotional autonomy

(kemandirian emosional

Behavioural autonomy

(kemandirian perilaku)

Value autonomy

(kemandirian nilai)

Hubungan

(47)

2.6 Hipotesis

Ada perbedaan kemandirian pada remaja yang berstatus sebagai anak tunggal

(48)

30

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian dengan

menggunakan data kuantitatif. Penelitian kuantitatif menekankan analisisnya pada

data yang berupa angka dan diolah dengan menggunakan metode statistika

(Neuman, 2007; Azwar, 2011).Menurut tujuannya, penelitian ini termasuk dalam

jenis penelitian explanatory yaitu penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan

perbedaan pada variabel tergantung yaitu kemandirian remaja yang berstatus

sebagai anak tunggal jiika ditinjau dari persepsinya terhadap pola asuh (Goodwin,

2010).

Teknik pengumpumpulan data pada penelitian kuantitatif terdiri dari

eksperimen, survey dan content analysis (Neuman, 2007). Berdasarkan teknik

pengumpulan data yang digunakan, penelitian ini merupakan penelitian survey

yaitu mengambil sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuisioner sebagai

alat pengumpulan data yang pokok dari responden penelitian mengenai

keyakinan, perilaku, opini dan karakteristik yang dimiliki (Singarimbun &

Effendi, 1992; Neuman, 2007). Berdasarkan tempatnya maka penelitian ini

(49)

3.2. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah suatu sifat yang dapat memiliki macam-macam

nilai, atau seringkali diartikan dengan variabel yang memiliki bilangan atau nilai

(Kerlinger, 2000). Variabel merupakan ide pusat dalam penelitian kuantitatif dan

variabel merupakan variasi dari konsep (Neuman, 2007). Variabel penelitian juga

seringkali dikatakan sebagai faktor-faktor yang berperan dalam peristiwa yang

diteliti. Variabel penelitian ditentukan oleh tujuan penelitian, landasan teori dan

hipotesis. Terdapat dua macam variabel yang diungkapkan oleh Neuman (2007)

yaitu variabel independen (bebas) dan variabel dependen (terikat).

Penelitian ini memiliki variabel bebas dan variabel terikat yang diukur, yaitu

sebagai berikut:

a. Variabel Bebas (X)

Variabel bebas atau independen adalah variabel yang menjadi penyebab

muncul atau berubahnya variabel terikat (Sugiyono, 2010). Variabel bebas

dalam penelitian ini adalah persepsi terhadap pola asuh.

b. Variabel Terikat (Y)

Variabel terikat atau dependen adalah variabel yang dipengaruhi atau menjadi

akibat dari adanya variabel bebas (Sugiyono, 2010). Variabel terikat dalam

penelitian ini adalah kemandirian.

(50)

Gambar 3.1. Identifikasi Variabel Penelitian

3.3. Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional secara umum merupakan petunjuk pelaksanaan yaitu

bagaimana cara mengukur suatu variabel (Singarimbun & Effendi, 1992). Definisi

operasional merupakan arti yang melekat pada suatu konstruk atau variabel

dengan cara menetapkan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mengukur

konstruk atau variabel tersebut (Kerlinger, 2000). Fungsi dari definisi operasional

adalah membatasi arti pada suatu variabel dengan menunjukkan cara mengukur

variabel tersebut (Kerlinger, 2000). Defini operasional dari variabel-variabel

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

3.3.1. Persepsi Pola asuh

Pola asuh yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bagaimana remaja

dapat menilai sikap yang diberikan oleh orangtua dalam proses pengasuhan yang

diberikan. Pola asuh yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan klasifikasi

menurut Baumrind (1991) yaitu sebagai berikut:

(51)

1. Otoriter

Digunakan untuk mengukur gaya pengasuhan yang cenderung

memerintah, membatasi dan memberikan hukuman apabila anak tidak

mengikuti perintah orangtua, memiliki kontrol yang kuat, sikap yang kaku

antara orangtua dan anak. Indikator dalam dimensi ini yaitu:

a. Bersikap emosional dan cenderung menggunakan hukuman

b. Memiliki kontrol yang tinggi dan bersikap kaku

c. Bersikap mengomando atau memerintah anak

2. Permisif

Digunakan untuk mengukur gaya pengasuhan yang cenderung

melepaskan anak untuk mengambil keputusan ataupun tindakan sendiri, tidak

terlalu banyak larangan dari orangtua, dan jarang memberikan hukuman atau

tuntutan kepada anak. Indikator dalam dimensi ini adalah sebagai berikut:

a. Memiliki kontrol yang rendah terhadap anak

b. Memiliki bimbingan yang rendah terhadap anak

c. Kurang menekankan tanggung jawab kepada anak

3. Demokratis

Digunakan untuk mengukur gaya pengasuhan yang cenderung

mendorong anak untuk lebih mandiri namun bertanggung jawab, ada

kerjasama antara anak dan orangtua, ada rasa saling enerima satu sama lain,

penerapan disiplin, tidak ada tuntutan dari orangtua, dan adanya komunikasi

yang terjalin dengan baik. Indikator dari dimensi ini adalah sebagai berikut:

(52)

b. Bersikap responsif terhadap anak

c. Adanya hubungan yang harmonis antara anak dan orangtua

Skor persepsi terhadap pola asuh memiliki rentang jawaban yang berkisar

dari satu hingga lima. Semakin tinggi skor persepsi terhadap pola asuh tertentu

yang diperoleh menunjukkan bahwa individu memiliki persepsi terhadap gaya

pengasuhan tersebut terhadap orangtuanya.

3.3.2. Kemandirian

Definisi kemandirian secara operasional adalah kemampuan individu dalam

berpikir, berperilaku dan menentukan tindakan sesuai dengan kemampuannya

sendiri tanpa mengandalkan orang lain. Kemandirian pada remaja yang berstatus

sebagai anak tunggal akan diungkap dengan menggunakan skala kemandirian

yang disusun berdasarkan aspek-aspek kemandirian yang dikemukakan oleh

Steinberg (2002) yaitu sebagai berikut:

1. Kemandirian emosional digunakan untuk mengukur kemampuan individu

dalam memandang orangtua sebagai orang dewasa pada umunya (parents as

people), tidak memandang orangtua sebagai sosok yang ideal (de-idealized),

bergantung pada kemampuannya sendiri tanpa mengharapkan bantuan dari

orang lain (non dependency) dan melakukan individuasi dalam hubungannya

dengan orangtua. Skor yang tinggi pada aspek ini menunjukkan semakin

tinggi kemampuan individu melakukan de-idealized terhadap orangtua,

kemampuan memandang orangtua sebagai orang dewasa pada umunya

(53)

tanpa mengharapkan bantuan dari orang lain (non dependency) dan

kemampuan dalam melakukan individuasi dalam hubungannya dengan

orangtua.

2. Kemandirian Perilaku digunakan untuk mengukur kemampuan individu

dalam mengambil keputusan secara mandiri, memiliki kekuatan terhadap

pengaruh orang lain, merasa percaya diri (self reliance). Skor yang tinggi

pada aspek ini menunjukkan semakin mampu individu dalam mengambil

keputusan secara mandiri, memiliki kekuatan terhadap pengaruh orang lain

dan semakin percaya diri.

3. Kemandirian Nilai digunakan untuk kemampuan remajauntuk berpikir abstrak

dalam memandang suatu masalah (abstract belief), memiliki keyakinan yang

berakar pada prinsip-prinsip umum yang memiliki dasar ideologi (principled

belief), memiliki keyakinan mengenai nilai-nilainya sendiri, bukan hanya

karena sistem nilai yang disampaikan oleh orangtua atau figur otoritas lainnya

(independent belief). Skor yang tinggi dalam aspek ini menunjukkan bahwa

individu dalam berpikir abstrak untuk memandang suatu masalah, semakin

memiliki keyakinan yang berakar pada prinsip umum yang memiliki dasar

ideologi dan semakin tidak terpengaruh mengenai nilai dari figur otoritas

namun memiliki nilainya sendiri.

Skala kemandirian memiliki rentang skor yang berkisar dari satu hingga

lima. Semakin tinggi skor yang diperoleh menunjukkan bahwa individu semakin

(54)

rendah skor yang diperoleh menunjukkan bahwa individu semakin tidak mandiri

dan bergantung pada orang lain.

3.4. Subjek Peneltian

3.4.1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan penduduk yang dimaksudkan untuk kemudian

diselidiki (Hadi, 2004). Menurut Sugiyono (2010) populasi adalah wilayah

generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan

karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian

ditarik kesimpulannya.

Terkait dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini maka

peneliti memutuskan beberapa kriteria yang harus dipenuhi untuk menjadi

populasi dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:

1. Remaja yang berusia antara 18-21 tahun

2. Remaja yang berstatus sebagai anak tunggal

3.4.2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang merupakan subjek penelitian yang

memiliki ciri-ciri yang sama dengan populasi (Hadi, 2004). Penelitian ini

menggunakan metode pengambilan sampel dengan teknik non-probability

sampling, yaitu teknik yang tidak memberikan peluang atau kesempatan yang

sama besar bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel.

(55)

pasti dan penulis tidak memiliki data pasti mengenai ukuran populasi dan

informasi yang lengkap tentang setiap elemen populasi (Neuman, 2007). Dalam

penelitian ini, metode yang pengambilan sampel yang digunakan adalah dengan

menggunakan teknik purposive sampling yaitu teknik penentuan sampel dengan

pertimbangan atau kriteria-kriteria tertentu (Hadi, 2004). Penulis menggunakan

teknik purposive sampling karena subjek yang diteliti merupakan populasi khusus

yaitu remaja akhir yang berstatus sebagai anak tunggal.

Berdasarkan hal di atas maka penulis telah menentukan

karakteristik-karakterisktik sampel yang harus dipenuhi untuk menjadi sampel dalam penelitian

ini.

3.5. Teknik Pengumpulan Data

Setelah menentukan subjek penelitian maka peneliti harus melakukan

pengumpulan data. Teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan dalam

penelitian ini adalah teknik survey dengan menggunakan kuisioner yaitu dengan

memberikan beberapa pertanyaan maupun pernyataan tertulis pada subjek

penelitian (Sugiyono, 2010). Penulis memilih teknik pengumpulan data

menggunakan kuisioner karena teknik ini dinilai tepat digunakan untuk jumlah

subjek penelitian yang besar dan tersebar di wilayah yang cukup luas (Sugiyono,

2010). Kuisioner nantinnya akan diisi oleh subjek penelitian dan setelah

dikembalikan kepada penulis maka akan dilakukan proses selanjutnya yaitu

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual
Gambar 3.1. Identifikasi Variabel Penelitian
orangtua atau figur otoritas (independent
Tabel 3.6. Blueprint Skala Persepsi Pola Asuh (Sebelum Uji Coba)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Evaluasi dalam tingkat aplikasi untuk jaringan terowong 6to4 menunjukkan bahwa dalam hal aplikasi HTTP dan komunikasi suara, mekanisme ini memiliki kinerja

Sukun juga toleran terhadap curah hujan yang sedikit maupun curah hujan yang tinggi dengan kelembaban 60-80%, namun lebih sesuai pada daerah-daerah yang cukup banyak

Dari hasil impulse response function (IRF) dijelaskan dalam jalur suku bunga dan jalur nilai tukar di Malaysia membutuhkan time lag respon variabel terjadi ketika shock

Berdasarkan hasil penelitian diatas antara gaya kepemimpinan terhadap kinerja karyawan pada Badan Kependudukan Dan Keluarga Berencana Nasional Provinsi Sumatera Utara

Para remaja putri menyatakan bahwa merokok memberikan citra yang buruk terhadap pribadi mereka tetapi hal tersebut tidak menghentikan mereka untuk mengambil keputusan

10 Oleh karena itu, kepatuhan pengobatan masal lebih banyak ditemukan pada responden yang memiliki pengetahuan tentang filariasis dan POMP filariasis yang

Hasil analisis ragam terhadap bobot segar 100 biji (Lampiran 14) menunjukan bahawa antar perlakuan pupuk kandang ayam dan sapi menunjukan tidak beda nyata pada

Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan sebelumnya, Keterampilan menjahit peserta didik di Lembaga Pelatihan dan Kursus Menjahit Yani 1 dinilai masih rendah yang