• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMANFAATAN DIGITAL ELEVATION MODEL (DEM) DAN CITRA ALOS AVNIR-2 UNTUK PEMODELAN LONGSOR

FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

II. TINJAUAN PUSTAKA

3.2. Bahan dan Alat Penelitian 1. Bahan

Data primer yang digunakan pada penelitian ini adalah :

1. Data SRTM DEM versi 4 yang diperoleh dari situs web Consultative Group for International Agriculture Research Consortium for Spatial Information (CGIAR-CSI).

2. Peta Topografi digital (Peta Rupa Bumi Indonesia) skala 1:25.000, lembar Cisarua, tahun 1990 BAKOSURTANAL.

3. Citra ALOS AVNIR-2 akuisisi tanggal 17 Juli 2009.

4. Data kejadian longsor yang diambil di lokasi penelitian (titik-titik longsor) dan wawancara dengan penduduk setempat.

Data sekunder yang digunakan adalah :

1. Data curah hujan wilayah Kabupaten Bogor, diambil dari data BMKG antara tahun 2004 hingga 2008.

2. Peta Tanah DAS Ciliwung Hulu, skala 1:50.000, tahun 1992, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslitanak) Bogor.

3. Peta Administrasi DAS Ciliwung Hulu, 2009 (BAKOSURTANAL)

3.2.2. Alat

Adapun peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : GPS, kamera digital, komputer yang dilengkapi program ArcView versi 3.3, ArcGis 9.3, ENVI 4.5 dan Tanagra 1.4. Untuk memperoleh layer stack ALOS dan indeks vegetasi digunakan perangkat lunak ENVI, pendigitasian dan interpolasi digunakan perangkat lunak ArcGis, sedangkan untuk layout dan registrasi

digunakan ArcView. Untuk melakukan analisis statistik digunakan perangkat lunak Tanagra 1.4, yaitu menggunakan metode analisis diskriminan untuk mengetahui peubah yang berpengaruh nyata terhadap pemodelan DEM.

3.3. Metode Penelitian

Penelitian ini terdiri dari 3 tahap, yaitu (1) persiapan dan pengumpulan data, (2) pengolahan data, (3) analisis data

3.3.1. Persiapan dan Pengumpulan Data

Pada tahap ini dilakukan studi pustaka dari berbagai sumber yang dapat diperoleh dari buku teks, jurnal ilmiah, dan prosiding seminar yang berkaitan dengan tujuan penelitian, dan lokasi penelitian.

Pengumpulan data lapangan (primer) dilakukan dengan mencari titik-titik longsor yang diperoleh dari informasi sekunder, seperti koran, internet, dan jurnal. Pada titik longsor dilakukan wawancara dengan penduduk setempat untuk mengetahui tentang kejadian - kejadian longsor pada wilayah penelitian. Menurut data Kantor Desa setempat, kejadian longsor banyak terjadi pada tahun 2005 –

2008. Titik-titik longsor yang berhasil ditemui dan diidentifikasi di lapangan selanjutnya ditentukan koordinatnya dengan GPS. Informasi lain yang diperlukan adalah penggunaan lahan setempat beserta perubahannya pada lokasi – lokasi kejadian longsor dan juga pada lokasi – lokasi yang tidak terjadi longsor (daerah contoh) di dalam DAS Ciliwung Hulu. Survey lapang tersebut dilakukan antara bulan Juli dan bulan September 2010.

3.3.2. Pengolahan Data

Pengolahan data diawali dengan pembacaan citra (layer stack) ALOS AVNIR-2 dengan perangkat lunak ENVI. Data SRTM yang telah diunduh kemudian dipotong (cropping) pada daerah penelitian dan kemudian diubah tipe filenya ke dalam bentuk tiff, dan selanjutnya dibentuk DEM.

Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) yang digunakan terlebih dahulu dilakukan pengubahan datum menjadi WGS 84 sesuai dengan datum SRTM. Peta RBI yang masih berbentuk polyline selanjutnya diubah ke dalam bentuk point untuk selanjutnya diinterpolasi. Interpolasi dilakukan dengan metode IDW

(Inverse Distance Weighting) untuk menduga ketinggian wilayah penelitian dengan metode 12 tetangga terdekat. Persamaan IDW adalah sebagai berikut :

X =

/

Keterangan :

X = Jarak yang diinterpolasi Zi = Nilai data (ada sebanyak n)

Di = Jarak antara x dengan posisi setiap titik (sebanyak n)

Resolusi spasial untuk interpolasi peta RBI disamakan dengan resolusi SRTM yaitu 90 meter dan menggunakan interval kontur 10 meter. Data DEM yang telah dibangun dari peta RBI dan SRTM selanjutnya dibandingkan untuk mengetahui hasil yang terbaik untuk pemodelan longsor berbasis DEM.

Pengolahan citra ALOS AVNIR-2 adalah untuk mengetahui indeks vegetasi pada daerah penelitian sedangkan untuk pengidentifikasi jenis tanah, bahan induk, dan relief pada lokasi penelitian, diambil dari Peta Tanah Semi Detail Daerah Ciliwung Hulu skala 1:50.000 (Puslitanak, 1992). Peta tanah ini diregistrasi terlebih dahulu sebelum digunakan. Pengolahan data curah hujan digunakan untuk mengetahui nilai rataan bulan terbasah di daerah penelitian dengan membuat interpolasi nilai curah hujan dengan metode rataan bulan terbasah (interpolasi ini dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ArcGis).

3.3.3. Analisis Data

Pemodelan DEM longsor dibuat dengan memasukkan beberapa peubah dan parameter longsor. Peubah longsor yang diperoleh dari DEM adalah kemiringan lereng, aspek lereng, ketinggian tempat (elevasi), sedangkan peubah yang dipakai di luar DEM adalah indeks vegetasi, curah hujan, jenis tanah, bahan induk, dan relief. Pengukuran aspek lereng pada penelitian ini menggunakan perangkat lunak ArcGis dengan tools „spatial analiyst‟. Dengan cara ini maka aspek lereng langsung diketahui. Adapun rumus untuk aspek lereng adalah sebagai berikut :

A = 270˚ + arctan ( ) - 90˚

keterangan :

A = aspek lereng (fungsi dari gradient pada sumbu X dan Y terhadap arah W-E dan N-S fx = gradient arah W-E

fy = gradient arah N-S ( Zhou and Liu, 2004)

Peubah curah hujan dipilih dari jumlah rataan bulan terbasah pada setiap tahun, sehingga dapat diketahui bulan terbasah pada setiap tahunnya. Nilai rataan bulan terbasah kemudian diinterpolasi ke dalam bentuk IDW, sehingga didapatkan peubah untuk pemodelan longsor. Peubah jenis tanah, bahan induk, dan relief diperoleh dari hasil digitasi dari Peta Tanah Semi Detail DAS Ciliwung Hulu yang telah diregistrasi.

Peubah Indeks vegetasi (NDVI dan EVI) diperoleh dari radiance citra ALOS AVNIR-2 yang dilakukan melalui fasilitas band math dengan memasukkan persamaan NDVI dan EVI sebagai berikut :

NDVI =

EVI = G Keterangan :

NIR = nilai band 4 RED = nilai band 3 BLUE = nilai band 1 C1 = 6

C2 = 7.5 L = 1 G = 2.5

Berdasarkan hasil perhitungan terhadap peubah-peubah yang diduga berperan terhadap kejadian longsor, kemudian dianalisis dengan metode analisis diskriminan (dengan perangkat lunak Tanagra 1.4) untuk mendapatkan hasil akhir berupa pengaruh nyata/tidak terhadap pemodelan longsor. Peubah yang digunakan pada pengolahan data statistik adalah : a) peubah tujuan (respon), berupa data

kualitatif yaitu data longsor dan tidak longsor, b) peubah bebas (penjelas), berupa data kuantitatif, yaitu: data aspek lereng, kemiringan lereng, ketinggian tempat (elevasi), curah hujan, dan indeks vegetasi (NDVI dan EVI). Dalam hal ini parameter tanah, bahan induk, dan relief tidak digunakan karena merupakan data kualitatif.Seluruh rangkaian metode penelitian ini secara diagramatis disajikan dalam bentuk diagram alir seperti pada gambar 4.

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1. Kondisi Geografis

Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Hulu sebagai daerah penelitian merupakan bagian dari sub-DAS Ciliwung yang secara adminstratif masuk ke dalam wilayah Kabupaten Bogor (Kecamatan : Megamendung, Cisarua, Cibinong, Tugu Utara, Cibereum, Cianjur dan Ciawi). Secara Geografis daerah penelitian terletak pada 6°37‟48”- 6°46‟12”LS dan 106° 49‟ 48” - 107°00‟00”BT dan memiliki luas ± 12.800 hektar, serta mempunyai ketinggian antara 197 hingga 3.002 meter dari permukaan air laut (Gambar 5). Berdasarkan topografinya, wilayah DAS mempunyai lereng yang bervariasi dari landai, agak curam, curam sampai sangat curam.

4.1.1. Iklim dan Tanah

Curah hujan rata-rata di DAS Ciliwung Hulu adalah sebesar 2.929-4.956 mm/tahun dengan perbedaan bulan basah dan kering yang sangat besar yaitu 10,9 bulan basah dan 0,9 bulan kering. Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson yang didasarkan pada besarnya curah hujan, (yaitu Bulan Basah (>200 mm) dan Bulan Kering (<100 mm)), wilayah ini termasuk ke dalam tipe iklim A. Berdasarkan data BPDAS Citarum –Ciliwung (2008) debit sungai maksimum (Qmax) tercatat pada stasiun Katulampa tahun 2008 menunjukkan angka sebesar 91,87 m3/detik dan debit sungai minimum (Qmin) sebesar 3,28 m3/detik. Kondisi temperatur daerah penelitian berkisar antara 21,8-24 C°, dengan kelembapan udara antara 73% – 98%. Besarnya evaporasi bulanan (yang tercatat di daerah longsoran Puncak) sebesar 79-140 mm (BPDAS Citarum- Ciliwung Hulu, 2007).

Berdasarkan Peta Tanah semi detil skala 1:50.000 (Puslitanak, 1992) jenis tanah yang terdapat di Sub DAS Ciliwung Hulu adalah Andisol, Ultisol, Inseptisol, dan Entisol.

Andisol terbentuk dari pelapukan bahan induk vulkan yang menghasilkan bahan amorf. Tanah ini berwarna hitam, dan memiliki bahan organik yang tinggi. Ultisol merupakan tanah yang memiliki horizon argilik, terbentuk di daerah dengan bahan induk yang berumur lebih tua. Entisol merupakan tanah-tanah yang tingkat perkembangannya relatif baru. Inseptisol berasal dari pelapukan batuan vulkan yang mengalami latosolisasi. (Janudianto, 2004)

4.1.2. Geologi dan Geomorfologi

Geologi yang menyusun daerah penelitian ini umumnya merupakan hasil produk gunungapi muda kuarter dari Gunung Salak (2.211 m) dan Gunung Gede-Pangrango (3.019 m) yang terdiri dari breksi, lahar, lava, dan tufa.

Ditinjau dari kondisi geomorfologinya, sub DAS Ciliwung Hulu didominasi oleh morfologi bentuk lahan vulkanik tua dengan bentuk berbukit dan bergunung, dan sebagian kecil merupakan dataran alluvial. Geomorfologi daerah penelitian juga dibentuk oleh kerucut gunungapi tua seperti Gunung Malang (1.262 m), Gunung Limo, Gunung Kencana, dan Gunung Gedoan. (Janudianto, 2004)

4.1.3. Penggunaan Lahan

Jenis penggunaan lahan yang ada di daerah penelitian terdiri dari sawah, hutan, permukiman, dan kebun campuran. Penggunaan lahan paling dominan di daerah penelitian adalah hutan, seluas 5.313 hektar atau 41% dari luas total daerah penelitian. Sebaliknya permukiman merupakan jenis penggunaan lahan yang paling kecil luasnya, yaitu sebesar 1.545 hektar atau 12% dari total luas daerah penelitian (Tabel 3 dan Gambar 6).

Tabel 3. Tabel luas penggunaan lahan di daerah penelitian

Penggunaan Lahan LUAS

Ha Persentase (%)

Permukiman 1.545 12

Hutan 5.313 41

Kebun Campuran 2.854 23

Total 12.800 100 Sumber : Interpretasi citra ALOS AVNIR-2

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Analisis DEM

Pembuatan DEM (Digital Elevation Model) dilakukan dari dua data yang berbeda yaitu dari Peta Rupa Bumi (topografi) dan data SRTM. Hal ini perlu dilakukan karena terdapat dua metode yang berbeda untuk menghasilkan informasi ketinggian atau garis kontur. Peta topografi dihasilkan dari proses fotogrametri sedangkan data SRTM melalui proses interferometri, sehingga merupakan dua data yang menarik untuk diperbandingkan.

Proses pembuatan DEM dari peta topografi, dimulai dengan proses interpolasi ketinggian dengan metode IDW (Inverse Distance Weighting). Berdasarkan hasil interpolasi tersebut dan dibandingkan diperoleh adanya suatu perbedaan elevasi permukaan bumi antara DEM dari data topografi dan SRTM. Gambar 7a dan 7b memperlihatkan perbedaan tersebut antara DEM IDW dan DEM SRTM. Gambar 7c menunjukkan beberapa perbedaan nilai elevasi. Warna merah menujukkan nilai elevasi SRTM lebih besar daripada nilai elevasi peta topografi, sedangkan warna hijau menujukkan nilai elevasi dari peta topografi lebih besar daripada nilai elevasi dari SRTM. Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa persebaran perbedaan elevasi tersebut banyak terdapat pada wilayah-wilayah yang memiliki relief atau terrain berbukit sampai bergunung, namun sebaliknya tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada wilayah-wilayah yang memiliki relief relatif datar (warna abu-abu)

Menurut Gorokhovickh dan Voustonik (2006), ketelitian mutlak vertikal data SRTM berhubungan langsung dengan karakteristik terrain, dimana nilai galat vertikal yang lebih besar sering muncul pada wilayah-wilayah yang mempunyai kemiringan lereng yang curam dibandingkan dengan wilayah yang mempunyai kemiringan lereng yang lebih kecil atau landai. Hal ini erat kaitannya dengan terjadinya proses pemendekan permukaan (foreshortening) atau perebahan (layover) lereng-lereng curam pada permukaan bumi di citra SRTM, namun hal ini tidak terjadi pada lereng-lereng yang landai. Sifat-sifat data SRTM seperti ini perlu diperhatikan oleh pengguna, terutama untuk membuat pemodelan longsor.

Dalam penelitian ini DEM dari topografi dianggap paling baik karena tidak terdapat proses-proses foreshortening dan layover dan dipilih untuk pemodelan longsor.

(a) (b) (c)

Gambar 7. Hasil penggabungan DEM (a) DEM IDW (b) DEM SRTM (c) gabungan kedua DEM warna merah nilai SRTM > IDW, warna hijau nilai IDW > SRTM

5.2. Aplikasi DEM untuk Pemodelan Longsor pada DAS Ciliwung Hulu

Berdasarkan hasil pencarian informasi dan observasi lapangan ditemukan setidaknya 15 titik longsor di daerah penelitian yang berada di sekitar pemukiman dan jalan raya (Gambar 8). Sebagian besar daerah yang mengalami longsor terletak di Desa-desa Citeko, Pensiunan, Hegarsari, Kampung Baru, dan Naringgul yang berlokasi di wilayah Kecamatan Tugu Utara, Kecamatan Cisarua. Pada penelitian ini dilakukan juga penentuan lokasi-lokasi yang tidak mengalami longsor secara acak yang digunakan sebagai pembanding terhadap daerah-daerah yang mengalami longsor. Jumlah titik yang diperlukan 15 titik berlokasi di beberapa kecamatan, yaitu Kecamatan – kecamatan Sukaraja, Megamendung, Ciawi dan Cianjur. Lokasi-lokasi tidak longsor tersebut (Gambar 9) selanjutnya dianalisis dalam DEM untuk diperbandingkan nilai-nilai parameternya dengan yang berada pada titik-titik terjadinya longsor.

a. Desa Kampung Baru b. Kecamatan Cisarua

c. Kecamatan Tugu Utara d. Desa Citeko

e. Desa Kampung Baru f. Desa Naringgul

Gambar 9. Contoh titik-titik longsor di daerah penelitian

Berdasarkan keperluan analisis, selanjutnya diambil beberapa parameter morfometri untuk longsor dari DEM, meliputi aspek lereng, kemiringan lereng, serta ketinggian tempat (elevasi), sedangkan untuk parameter-parameter lain diambilkan dari data sekunder, yaitu curah hujan, jenis tanah, bahan induk, relief,

dan indeks vegetasi. Tabel Lampiran 4 memaparkan nilai dari 8 parameter pada 30 titik-titik wilayah longsor dan tidak longsor di DAS Ciliwung Hulu.

5.2.1. Kemiringan Lereng

Kemiringan lereng yang dibuat dari hasil analisis DEM pada daerah penelitian ditunjukkan dengan 5 warna berbeda yang menunjukkan perbedaan kelas lereng. Klasifikasi kemiringan lereng dalam penelitian ini merujuk pada data kemiringan lereng penyebab longsor dari Savitri (2007). Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa daerah penelitian didominasi oleh kemiringan 0% - 8% (warna pink), dan 8% - 15% (warna orange), sedangkan kemiringan yang lain relatif kecil (Tabel 4).

Tabel 4. Kemiringan lereng di DAS Ciliwung Hulu.

Daerah penelitian kemiringan lereng tertinggi (> 45% atau warna hijau) berada di kawasan puncak Gunung Gede – Pangrango, sedangkan wilayah yang mempunyai kemiringan terendah (0% - 8 % atau warna pink) tersebar di Kecamatan Megamendung dan Kecamatan Sukaraja. Secara teoritis wilayah-wilayah yang memiliki kemiringan lereng yang tinggi umumnya merupakan wilayah-wilayah yang rentan longsor. Apabila kemiringan lereng semakin tinggi maka peluang pergeseran tanah dan material yang ada di dalamnya juga meningkat (Lee dan Talib, 2005). Berdasarkan hasil observasi lapangan didapatkan bahwa daerah-daerah yang mengalami longsoran berada pada wilayah yang memiliki kemiringan lereng yang besar 8% – 15 % (landai), 15% - 30% (agak curam) dan sebagian kecil pada kemiringan 30% - 45% (curam). Titik-titik longsor tersebut berada pada daerah permukiman di dekat jalan raya. Sebaliknya wilayah yang tidak pernah mengalami kejadian longsor mempunyai kemiringan

Nilai Kemiringan

Lereng

Kelas kemiringan Warna Luas

Ha %

0 – 8 % Datar Pink 4.602 37

8 – 15 % Landai Orange 4.507 35

15 – 30 % Agak curam Kuning 1.495 12

30 – 45 % Curam Biru 1.502 11

> 45 % Terjal Hijau 693 5

lereng yang lebih rendah sebesar 0% - 8% (landai) dan berada jauh dari permukiman dan jalan raya (Gambar 10).

5.2.2. Aspek Lereng

Aspek lereng merupakan faktor yang secara tidak langsung mempengaruhi pergerakan tanah, karena arah menghadapnya lereng berkaitan dengan proses pelapukan melalui sinar matahari. Berdasarkan hasil analisis DEM diperoleh 7 jenis aspek lereng, yaitu: N, NE, E, S, SW, W, dan NW (Gambar 11). Pada gambar tersebut tampak bahwa aspek lereng di daerah penelitian meliputi arah barat (W) (biru tua), barat laut (NW) (pink), utara (N) (orange), selatan (S) (ungu muda), barat daya (SW) (biru muda), timur laut (NE) (orange muda), dan timur (E) (kuning). Dengan demikian aspek lereng yang dominan di daerah penelitian adalah N, NW, dan W (Tabel 5).

Tabel 5. Aspek Lereng di DAS Ciliwung Hulu

Arah lereng banyak berkaitan dengan faktor iklim, antara lain sinar matahari, kelembapan, dan curah hujan. Menurut Fernandez et al. (2008) potensi longsor berhubungan langsung dengan variabel kelembapan tanah dan cuacanya. Aspek lereng juga mempengaruhi jenis vegetasi, iklim mikro pada permukaan lereng, dan pelapukan batuan (Kumar et al, 2010). Sinar matahari yang menyinari permukaan bumi memiliki penyinaran paling lama dan panas pada siang sampai sore hari, yaitu ketika matahari banyak menyinari sisi bagian barat dan timur bumi, sehingga daerah tersebut secara tidak langsung memiliki proses pelapukan batuan yang lebih cepat dibandingkan dengan sisi-sisi yang lain.

Berdasarkan hasil pengamatan lapangan (Gambar 11), daerah-daerah penelitian yang banyak mengalami kejadian longsor terletak pada lereng-lereng yang menghadap ke arah timur laut (NE) atau orange muda, utara (N) atau orange,

Aspek Lereng Keterangan

warna

LUAS

Ha %

Utara Orange 2.663 21

Timur laut Orange muda 907 8

Barat laut Pink 2.816 22

Selatan ungu 1.073 8

Tenggara Biru muda 973 7

Timur Kuning 869 7

Barat Biru tua 3.518 27

dan barat laut (NW) atau pink. Daerah-daerah yang tidak mengalami longsor berada pada lereng-lereng yang mengarah ke arah barat (W) atau biru tua, dan barat daya (SW) atau biru muda (Gambar 11).

5.2.3. Elevasi

Elevasi atau ketinggian tempat pada umumnya dianggap sebagai faktor penentu longsor yang tidak langsung (Fernandez et al. 2008) karena elevasi berkaitan dengan curah hujan, temperatur, dan jenis vegetasi. Pada Gambar 12 berikut dipaparkan 5 kelas ketinggian dengan interval sebesar 300 meter di wilayah penelitian. Perubahan penggunaan lahan, kemampuan tanah sebagai daerah tangkapan air, dan kenaikan intensitas curah hujan semakin beragam setiap perubahan ketinggian sebesar 300 meter dari permukaan laut (mdpl) (Indra et al. 2006). Berdasarkan Gambar 12 terlihat bahwa elevasi yang dominant daerah penelitian adalah pada ketinggian 200 - 500 (seluas 4.299 ha), 500 - 800 meter (seluas 4.306 ha), dan 800 - 1.100 meter (seluas 3.403 ha) sedangkan elevasi yang lebih tinggi semakin kecil (Tabel 6).

Tabel 6. Kelas elevasi di DAS Ciliwung Hulu

Ketinggian (meter) LUAS

Ha % 200 - 500 4.299 33,5 500 - 800 4.306 33,6 800 - 1.100 3.403 26,5 1.100 - 1.400 661 5,1 1.400 - 1.700 131 1,0 Total 12.800

Menurut Peralvarez et al. (2008) pada ketinggian 300 hingga 1.800 meter umumnya terjadi perubahan yang signifikan pada faktor iklim, terutama curah hujan dan temperatur udara. Hal tersebut menginikasikan bahwa daerah yang memiliki ketinggian > 300 mdpl seharusnya mempunyai pelapukan batuan yang lebih besar daripada daerah bawahnya karena memiliki curah hujan lebih besar. Berdasarkan hasil pengamatan lapangan didapatkan bahwa wilayah penelitian yang mengalami kejadian longsor memiliki kisaran ketinggian antara 500 hingga 800 mdpl, sedangkan wilayah yang tidak mengalami longsor, pada umumnya memiliki ketinggian yang lebih rendah yaitu antara 200 hingga 500 mdpl.

Berdasarkan hasil pengamatan ini, dapat disimpulkan bahwa kejadian longsor di daerah penelitian umumnya banyak terjadi pada wilayah-wilayah yang memiliki nilai ketinggian > 500 mdpl.

5.2.4. Curah Hujan

Data curah hujan diambil dari koleksi data antara tahun 2004- 2008 dari 5 stasiun hujan yang berbeda, yaitu stasiun meteorologi Citeko, Ciawi, Gunung Mas, Dramaga, Megamendung, dan Empang. Kelima stasiun hujan tersebut diambil rataan dari bulan terbasah untuk mengetahui perkiraan nilai curah hujan puncak di daerah penelitian, karena peristiwa longsor sering terjadi pada musim hujan dengan curah hujan yang tinggi. Pengukuran curah hujan, dilakukan dengan metode bulan terbasah yaitu mengambil rata-rata curah hujan bulan terbasah dari tahun 2004 hingga 2008.

Sebenarnya ada beberapa metode lain untuk menggambarkan persebaran curah hujan di suatu wilayah, seperti isohiet atau poligon thiessen. Menurut ESDM (2009) isohiet merupakan hasil pemrosesan variabilitas nilai curah hujan secara rataan (generalisasi), sehingga isohiet sangat baik digunakan untuk wilayah-wilayah yang mempunyai topografi datar. Adapun poligon thiessen tidak berasumsi titik yang berdekatan lebih mirip nilainya dari titik yang berjauhan (ESDM, 2009). Uraian diatas terlihat bahwa metode tersebut kurang sesuai untuk tujuan penelitian ini, karena kondisi topografi daerah penelitian sangat variatif, dari datar hingga pegunungan dan stasiun hujan tersebar tidak merata dan berjauhan. Berdasarkan hal tersebut dalam penelitian ini digunakan metode nilai curah hujan puncak pada bulan terbasah. Gambar 13 berikut merepresentasikan data bulan terbasah setiap tahun, yang kemudian didapatkan parameter bulan terbasah untuk diinterpolasi.

a. b. c. d. e. curah hujan 2007 0 200 400 600 800 1000

februari desember januari

bulan terbasah cura h hu ja n

februari desember januari curah hujan 2008 550 560 570 580 590 600 610 620 630 640

maret februari november

bulan terbasah c ura h hu ja n maret november curah hujan 2006 0 100 200 300 400 500 600 700 800 desember januari bulan terbasah c u ra h h u ja n desember januari curah hujan 2005 0 100 200 300 400 500 600 700 800

maret januari februari desember

bulan terbasah cura h hu ja n

maret januari februari desember

curah hujan 2004 500 520 540 560 580 600 620 640

januari april februari juli

bulan terbasah cura h hu ja n

Gambar 13. Grafik curah hujan bulan terbasah tahun (a) 2004, (b) 2005, (c)2006 (d) 2007, (e) 2008

Berdasarkan gambar di atas dapat diketahui ada empat bulan terbasah yang dominan (ungu), yaitu bulan-bulan Desember, Januari, November, dan Februari. Berdasarkan bulan-bulan tersebut dipilih bulan Januari sebagai parameter bulan terbasah untuk pemodelan longsor karena mempunyai nilai curah hujan yang lebih besar dibandingkan dengan yang lain (sebagai puncak musim hujan). Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa daerah penelitian mempunyai nilai curah hujan yang bervariasi, dari 613,88 hingga 779,99 mm/tahun. Wilayah yang mengalami kejadian longsor memiliki nilai curah hujan sebesar 746,77 hingga 779,99 mm/tahun, sedangkan wilayah yang tidak mengalami kejadian longsor memiliki nilai curah hujan sebesar 713,54 hingga 746,77 mm/tahun (Tabel 7). Hasil interpolasi curah hujan pada bulan Januari disajikan pada Gambar 14.

Tabel 7. Nilai curah hujan puncak di DAS Ciliwung Hulu

Nilai Curah Hujan mm/tahun Keterangan warna Luas Ha % 613 - 647 Kuning 211 2 647 - 680 Hijau 393 3 680 - 713 Pink 1.750 14 713 - 746 Biru 4.876 37 746 - 779 Abu-abu 5.570 44 Total 12.800 100

5.2.5. Indeks Vegetasi (NDVI dan EVI)

Menurut Rau et al. (2006) Normal Difference Vegetation Index (NDVI), Enhanced Vegetation Index (EVI), dan Leaft Area Index (LAI) merupakan indeks yang biasa digunakan untuk menganalisis vegetasi penutup dan bisa juga digunakan sebagai parameter untuk memprediksi longsor. Menurut Vohora dan Donoghue (2004), Nilai NDVI dapat diperoleh dengan menggunakan model transformasi matematika yang didesain untuk mengakses kontribusi tumbuhan hijau pada kanal multispektral data penginderaan jauh.

Nilai NDVI berkisar antara -1 dan 1, dimana nilai > 0 menerangkan banyaknya vegetasi dan ditunjukkan oleh rona yang lebih terang, sebaliknya untuk wilayah yang kurang vegetasi mempunyai warna cenderung gelap dan hitam.

Tanah mempunyai nilai mendekati nol dan tubuh air mempunyai nilai kurang dari nol. Menurut Rau et al. (2006) indeks yang tinggi menunjukkan lebih banyak vegetasi hijau jika dibandingkan dengan indeks yang rendah. Adapun EVI digunakan untuk mengkoreksi nilai NDVI melalui pengurangan efek dari faktor-faktor lingkungan seperti atmosfer, tanah, dan efek topografi yang dapat menyebabkan perubahan variasi cahaya terhadap citra yang akan dikoreksi. Walaupun EVI memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan NDVI, tetapi EVI sangat peka terhadap kondisi lingkungan yang mudah berubah dibandingkan dengan NDVI (Matsushita et al. 2007).

Berikut ini disajikan hasil indeks vegetasi dari citra ALOS AVNIR-2 (Gambar 15a dan b) yang memperlihatkan bahwa wilayah yang mengalami kejadian longsor mempunyai penutupan vegetasi yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari keterangan rona yang lebih terang (dari putih hingga abu-abu) dengan kisaran indeks vegetasi sebesar 0,25 hingga 0,67. Wilayah bervegetasi tinggi tersebut berupa hutan dan kebun campuran meliputi Kecamatan Tugu Utara, Kecamatan

Dokumen terkait