• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemanfaatan digital elevation model (DEM) dan citra ALOS AVNIR-2 untuk pemodelan longsor: studi kasus DAS Ciliwung hulu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemanfaatan digital elevation model (DEM) dan citra ALOS AVNIR-2 untuk pemodelan longsor: studi kasus DAS Ciliwung hulu"

Copied!
128
0
0

Teks penuh

(1)

PEMANFAATAN

DIGITAL ELEVATION MODEL

(DEM) DAN

CITRA ALOS AVNIR-2 UNTUK PEMODELAN LONGSOR

(Studi Kasus DAS Ciliwung Hulu)

Oleh :

ANISSA REZAINY

A14061785

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

(2)

ANISSA REZAINY. Pemanfaatan Digital Elevation Model (DEM) dan Citra ALOS AVNIR-2 untuk Pemodelan Longsor (Studi Kasus DAS Ciliwung Hulu). Di bawah bimbingan BOEDI TJAHJONO dan BAMBANG H. TRISASONGKO.

Sejalan dengan perkembangan masyarakat di DAS Ciliwung Hulu perubahan penggunaan lahan pun berjalan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, seperti permukiman, lahan pertanian dan yang lainnya. Perubahan penggunaan lahan yang banyak terjadi adalah dari lahan pertanian ke non-pertanian. Salah satu dampak dari perubahan penggunaan lahan tersebut adalah terjadinya tanah longsor yang dapat menjadi suatu bencana. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bahaya longsor melalui pembangunan DEM dan membuat model longsor berbasis pada DEM yang dihasilkan. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan beberapa data utama yaitu data penginderaan jauh non-optik (SRTM) maupun optik (ALOS AVNIR-2), peta topografi, data meteorologi, dan data tanah. Penggunaan semua data tersebut adalah untuk memperoleh parameter-parameter yang diperlukan, yaitu kemiringan lereng, aspek lereng, elevasi, indeks vegetasi, curah hujan, jenis tanah, relief, dan bahan induk. Tiga parameter pertama diperoleh dari DEM, sedangkan indeks vegetasi diperoleh dari hasil analisis data ALOS AVNIR-2. Adapun tiga parameter terakhir diperoleh dari peta tanah skala 1:50.000 (Puslitanak,. 1992). Observasi lapang dilakukan untuk mengidentifikasi titik-titik longsor dan menentukan lokasinya dengan GPS, sedangkan metode tumpang-tindih (overlay) dari GIS digunakan untuk melakukan analisis keterkaitan antara titik longsor tersebut dengan parameter-parameter yang dinilai. Selanjutnya dilakukan analisis statistik (LDA) dengan perangkat lunak Tanagra 1.4 untuk mengetahui pengaruh parameter-parameter di atas terhadap peluang terjadinya longsor (bahaya) dengan selang kepercayaan 5%. Dari analisis tersebut didapatkan bahwa parameter curah hujan, dan elevasi mempunyai pengaruh yang nyata terhadap bahaya longsor, sedangkan kemiringan lereng, aspek lereng, dan indeks vegetasi tidak berpengaruh nyata. Hal ini mungkin disebabkan oleh kurangnya tingkat ketelitian (akurasi) dari DEM yang dibangun (dengan interval kontur 12,5 meter) padahal untuk daerah penelitian semestinya diperlukan interval kontur yang lebih kecil mengingat panjang lereng pada titik-titik longsor yang ditemui dilapangan menujukkan kurang dari 12,5 meter.

(3)
(4)

PEMANFAATAN

DIGITAL ELEVATION MODEL

(DEM) DAN

CITRA ALOS AVNIR-2 UNTUK PEMODELAN LONGSOR

(Studi Kasus : DAS Ciliwung Hulu)

Oleh :

ANISSA REZAINY

A14061785

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Pertanian

pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul Skripsi : Pemanfaatan DEM (Digital Elevation Model) dan ALOS AVNIR-2 untuk Pemodelan Longsor (Studi Kasus DAS Ciliwung Hulu)

Nama Mahasiswa : Anissa Rezainy Nomor Pokok : A14061785

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Boedi Tjahjono, DEA Ir.Bambang H. Trisangsoko, M.Sc NIP.196001031989031002 NIP.197009032008121001

Mengetahui, Ketua Departemen

Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc. NIP.196211131987031003

(6)

RIWAYAT HIDUP

Anissa, dilahirkan di Jakarta, tanggal 16 Maret 1989 merupakan anak dari pasangan Zainal Senen dan Endah Setyawati R. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dengan dua adik perempuan bernama Adinda dan Aisya.

Penulis mengawali pendidikan formal pada tahun 1993 di tingkat TK, pada tahun 1994 melanjutkan pendidikan di SD Islamic Village, Tangerang. Kemudian pada tahun 2000 melanjutkan ke tingkat SLTP di Islamic Village Kelas Khusus, Tangerang dan pada tahun 2003 melanjutkan pendidikan pada SMU Negri 26 Jakarta. Pada tahun 2006 penulis diterima menjadi Mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui Seleksi Penerimaan mahasiswa baru (SPMB) di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Selama menempuh studi di IPB, penulis dipercaya menjadi asisten dosen pada mata kuliah Geomorfologi dan Analisis Landskap pada tahun 2010. Penulis juga mengikuti karya ilmiah sekaligus pembicara dalam kongres Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN) V pada tahun 2010 dengan judul

„Perbandingan produk DEM SRTM dan Interpolasi Peta RBI pada berbagai jenis penggunaan lahan (Studi Kasus DAS Ciliwung Hulu)‟, dan ditujuk sebagai

pembicara pada Seminar Nasional Mahasiswa Ilmu Tanah (HMIT) IPB pada

tahun 2010 dengan judul „Pemanfaatan DEM SRTM dan Peta Topografi untuk

Pemodelan Dearah Longsor dan Penggunaan Lahan (Studi Kasus DAS Ciliwung

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang telah memberikan rahmat-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pemanfaatan DEM (Digital Elevation Model) dan Citra ALOS AVNIR-2 untuk Pemodelan Longsor (Studi kasus DAS

Ciliwung Hulu)”, sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada

Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan.

Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada Dr. Boedi Tjahjono DEA selaku pembimbing I dan Ir. Bambang H. Trisasongko, M.Sc selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan arahan, motivasi, waktu, masukan dan bimbingan selama kegiatan penelitian dan skripsi. Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono selaku dosen penguji atas saran dan

3. Seluruh Dosen dan mahasiswa di Bagian Penginderaan Jauh & Informasi Spasial (Luluk, Poppy, Atha, Miranty, dan Ivong) yang telah memberikan masukan dan saran.

4. Angga Adi Prakasa atas motivasi yang selalu diberikan kepada penulis. 5. Teman – temanku Ratih, Yola, Arum, Debo, Vitta, Lebe, Syifa, Sindy,

Putri, Dita, Rara, Nesya, Yuly dan Ica, atas kebersamaan yang indah selama ini.

6. Teman- teman seperjuangan Manajamen Sumberdaya Lahan angkatan 43. 7. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah

membantu terselesaikannya penulisan skripsi ini.

Bogor, Maret 2011

(8)

DAFTAR ISI

2.3. SRTM (Shuttle Radar Topography Mission)………. 5

2.4. ALOS (Advanced Land Observing Satelite)……….. 6

2.5. NDVI dan EVI………... 8

2.6. Linear discriminant analysis………. 10

III. BAHAN DAN METODE………. 12

3.1. Waktu dan tempat penelitian………. 12

3.2. Bahan dan alat penelitian………... 12

3.2.1. Bahan……….. 12

3.2.2. Alat………. 12

3.3. Metode penelitian……….. 13

3.3.1. Persiapan dan pengumpulan data……… 13

3.3.2. Pengolahan data……….. 13

3.3.3. Analisis data……… 14

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN………... 17

4.1. Kondisi geografis……….. 17

4.1.1. Iklim dan tanah……… 17

4.1.2. Geologi dan Geomorfologi………. 19

4.1.3. Penggunaan lahan……… 19

V. HASIL DAN PEMBAHASAN……… 21

(9)

5.2. Aplikasi DEM untuk pemodelan longsor pada DAS

Ciliwung Hulu……… 22

5.2.1. Kemiringan lereng………... 25

5.2.2. Aspek lereng……… 26

5.2.3. Elevasi………. 27

5.2.4. Curah hujan………. 28

5.2.5. Indeks vegetasi (NDVI dan EVI)……… 33

5.2.6. Jenis tanah, bahan induk, dan relief……… 38

5.3. Analisis LDA (Linear Discriminant Analysis)………….. 42

VI. KESIMPULAN DAN SARAN……… 45

6.1 Kesimpulan………. 45

6.2 Saran………... 45

DAFTAR PUSTAKA……….. 46

(10)

DAFTAR TABEL

No. Teks Halaman

1. Karakteristik ALOS……… 6

2. Karakteristik AVNIR-2……….. 8

3. Luas penggunaan lahan di DAS Ciliwung Hulu……… 19

4. Kemiringan lereng di DAS Ciliwung Hulu……… 25

5. Aspek lereng di DAS Ciliwung Hulu………. 26

6. Elevasi di DAS Ciliwung Hulu……….. 27

(11)

DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman

1. Satelit ALOS………. 7

2. Prinsip geometri AVNIR-2………. 8

3. Diagram alir faktor – faktor yang berpengaruh terhadap nilai NDVI……… 10

4. Diagram Alir Penelitian……… 16

5. Peta lokasi penelitian (DAS Ciliwung Hulu)………. 18

6. Peta jenis penggunaan lahan……….. 20

7. Hasil penggabungan DEM ……… 22

8. Lokasi titik-titik longsor dan tidak longsor………... 23

9. Contoh titik-titik longsor di daerah penelitian………... 24

10. Peta kemiringan lereng daerah penelitian………. 29

11. Peta aspek lereng daerah penelitian……….. 30

12. Peta ketinggian tempat (elevasi) daerah penelitian……….. 31

13. Grafik curah hujan bulan terbasah tahun 2004 –2008…………. 32

14. Peta interpolasi curah hujan bulan januari (tahun 2004 – 2008)………. 35

15. a.Hasil analisis EVI dari citra ALOS AVNIR-2……….. b.Hasil analisis NDVI dari citra ALOS AVNIR-2………. 36 37 16. Peta jenis tanah daerah penelitian………. 39

17. Peta jenis bahan induk daerah penelitian……….. 40

18. Peta relief daerah penelitian……….. 41

Lampiran 1. Langkah-langkah pengolahan data statistik dengan tanagra 1.4………. 51

2. Langkah-langkah pengolahan interpolasi data curah hujan dengan perangkat lunak ArcGIS……… 53

(12)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sejalan dengan perkembangan masyarakat di DAS Ciliwung Hulu, perubahan penggunaan lahan pun terjadi seiring dengan waktu. Hal ini terjadi sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, seperti permukiman, lahan pertanian dan yang lainnya. Perubahan penggunaan lahan yang banyak terjadi di daerah hulu adalah perubahan dari lahan pertanian menjadi non-pertanian.

Keinginan untuk memanfaatkan sumberdaya alam semaksimal mungkin seringkali kurang memperhatikan dampak ekologi yang akan muncul di kemudian hari. Salah satu dampak dari perubahan penggunaan lahan tersebut adalah lahirnya bencana alam, seperti banjir, tanah longsor, dan sebagainya. Adanya aktivitas masyarakat dalam penggunaan lahan seperti pengolahan tanah untuk pertanian dan pemotongan lereng untuk permukiman, menyebabkan tanah tidak mampu lagi menahan beban di atasnya ketika musim penghujan datang. Bencana longsor dapat terjadi dan mengakibatkan adanya korban jiwa, kerugian harta benda, dan kerugian ekonomi.

Mempelajari bencana longsor dapat dilakukan dengan berbagai upaya, salah satunya adalah menggunakan teknologi penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG). Menurut Lee dan Min (2001) SIG merupakan alat pemetaan data spasial, manajemen data, dan manipulasi data spasial sarana yang efektif untuk menganalisis proses longsor. Penggunaan SIG digunakan untuk menganalisis bahaya longsor dengan cara mengumupulkan data dan menganalisa data longsoran (Zhou et al. 2002). Hasil analisis SIG diantaranya dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk pecegahan bencana alam, perencanaan tata guna lahan, dan yang lainnya.

(13)

Pemanfaatan DEM untuk memprediksi longsor adalah dengan memasukan beberapa parameter seperti kemiringan lereng, ketinggian tempat (elevasi), indeks vegetasi, curah hujan, dan data yang diperoleh di lapangan. Hasil pemodelan longsor yang dibangun seperti ini dapat mengetahui area-area yang potensial longsor dan area-area yang aman bahaya longsor serta menilai pengaruh dari parameter longsor terhadap kejadian longsor.

1.2. Perumusan Masalah

DAS Ciliwung Hulu dan kawasan Puncak menurut Barus (1999) selama 10 tahun terakhir telah mengalami perubahan penggunaan lahan yang sangat cepat, sehingga mengakibatkan terjadinya peningkatan suhu udara di kawasan Bogor dan flukuasi arus sungai Ciliwung yang semakin tinggi dan keruhnya air di muara sungai. Salah satu akibat dari perubahan penggunaan lahan ini adalah terjadinya gerakan massa tanah khususnya longsoran dangkal (Shallow Landslide).

Longsoran di daerah puncak dan sekitarnya umumnya bersifat dangkal (2-5 meter) bertipe debris avalanche atau rational slump (Barus, 1999). Tipe debris umumnya ditemukan pada daerah berlereng curam, sedangkan tipe slump ditemukan di daerah landai dan lebih dipengaruhi oleh perkembangan sifat tanah dan pola penggunaan lahan di atasnya.

(14)

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Membangun dan membandingkan DEM (Digital Elevation Model) dari Peta Topografi dan data SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) pada daerah DAS Ciliwung Hulu.

2. Membangun pemodelan longsor berbasis DEM

1.4. Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi kepada pemerintah daerah, masyarakat, dan para pihak yang tertarik tentang bencana alam tentang persebaran daerah bahaya longsor di DAS Ciliwung Hulu.

(15)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEM (Digital Elevation Model)

Digital Elevation Model (DEM) merupakan bentuk 3 dimensi dari permukaan bumi yang memberikan data berbagai morfologi permukaan bumi, seperti kemiringan lereng, aspek lereng, ketinggian tempat, dan area DAS (Zhou dan Liu 2003). Pembuatan DEM pada dasarnya merupakan proses matematis terhadap data ketinggian yang diperoleh dari peta kontur. Hasil DEM yang biasa dibuat berbentuk data vektor (TIN) dan data raster (grid). Jenis TIN merupakan representasi dari permukaan bumi, digambarkan dengan 3 dimensi berkoordinat (x, y, dan z). Jenis TIN (Triangulated Irregular Network) memiliki kelemahan, yaitu kurang teliti untuk menganalisis permukaan bumi secara mendetail, sedangkan jenis raster dibentuk dari kumpulan-kumpulan piksel yang memiliki nilai yang sama, sehingga baik untuk digunakan menganalisis permukaan bumi dengan lebih detail. Contoh pembuatan DEM dari jenis raster untuk analisis topografi telah dilakukan oleh Zhou et al. (2002) yang membandingkan hubungan antara longsor dengan faktor penyebab longsor pada Pulau Lantau di Hongkong.

2.2. Longsor

Longsor adalah proses bergeraknya massa batuan dan tanah menuruni lereng dibawah pengaruh gravitasi bumi. Menurut Sivrikaya et al. (2007) longsor merupakan proses alam yang banyak terjadi di hampir seluruh belahan bumi dan bencana yang ditimbulkannya dapat disebabkan oleh dinamika kehidupan manusia seperti pembangunan yang berlebihan sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan atau kerugian besar pada harta benda. Penyebab terjadinya longsor banyak macamnya, salah satu penyebab paling utama adalah akibat curah hujan yang tinggi yang banyak terjadi pada daerah tropis, seperti di Indonesia (Sivrikaya et al. 2007).

(16)

Dengan demikian perangkat SIG dapat digunakan untuk melakukan analisis dan pembuatan model data geografis dari proses fisik seperti ketidakstabilan lereng yang dapat menyebabkan longsor. Menurut Guzzetti et al. (1999), kerentanan longsor secara matematika memaparkan suatu peluang kejadian longsor pada wilayah yang mempunyai kemiringan lereng yang erat kaitannya dengan kondisi geoenvironmental.

Terdapat banyak faktor-faktor penyebab terjadinya longsor, yang pertama adalah adanya curah hujan yang tinggi. Hujan yang turun terus menerus dengan intensitas yang besar pada suatu daerah menyebabkan terjadinya longsor, karena semakin lama infiltrasi akan menyebabkan tanah menurun (Zhou et al. 2002). Faktor longsor kedua adalah jenis tutupan lahan (vegetasi), vegetasi berfungsi untuk menjaga kestabilan lereng dari bahaya longsor. Menurut Zhou et al. (2002) jenis vegetasi dapat membantu meningkatkan kestabilan lereng terhadap longsor, vegetasi yang memiliki akar kuat dan besar seperti kayu dapat meningkatkan infiltrasi tanah. Daerah dengan banyak vegetasi seperti semak belukar dan tegalan apabila dibandingkan dengan vegetasi berkayu cenderung mempunyai potensi longsor yang lebih besar (Zhou et al. 2002). Menurut Vohora dan Donoghue (2009) faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya longsor adalah lereng yang curam, bebatuan yang mudah melapuk, dan iklim tropis yang lembab. Berdasarkan uaraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor longsor antara lain adalah curah hujan, jenis tutupan lahan, kemiringan lereng, jenis bebatuan, dan iklim.

2.3. SRTM (Shuttle Radar Topography Mission)

(17)

Pembuatan DEM dari data SRTM untuk daerah pegunungan masih sering ditemukan adanya kesalahan atau RMSE (Root Mean Square Error). Menurut Kaab (2005) galat biasa terjadi pada ketinggian 12-36 meter, sedangkan galat maksimum sering terjadi pada ketinggian lebih dari 100 meter.

2.4. Satelit ALOS

Satelit ALOS (Advanced Observing Satellite) merupakan satelit milik Jepang yang merupakan generasi lanjutan dari JERS-1 dan ADEOS. ALOS adalah satelit terbesar yang dikembangkan dan diluncurkan oleh JAXA di Tanegashima Space Center, Jepang, pada tanggal 24 Januari 2006 dengan menggunakan roket H-HA. Karakteristik umum dari satelit ini disajikan pada Tabel 1 berikut ini :

Tabel 1. Karakteristik ALOS

sumber : JAXA EORC, 2010

Karakter ALOS menurut fungsinya, adalah salah satu satelit yang digunakan untuk mengamati permukaan bumi yang dikembangkan dengan tujuan (JAXA EORC, 2010) :

1. Menyediakan peta untuk Jepang dan negara-negara lain yang tercakup dalam wilayah Asia-Pasifik (Cartography)

2. Melakukan pengamatan daerah untuk pembangunan berkelanjutan, serta harmonisasi antara lingkungan bumi dengan pembangunan (Regional Observation).

3. Melakukan pemantauan bencana di seluruh dunia (Disaster Monitoring). 4. Survey sumberdaya alam (Resources Surveying)

5. Mengembangkan tekhnologi yang diperlukan untuk satelit pengamatan bumi masa depan (Technology Development).

No Tipe Spesifikasi

1 Tanggal Peluncuran 24 Januari 2006

2 Wahana Peluncuran H-HA

3 Tempat Peluncuran Tanegashima Space Center

4 Massa Kendaraan Angkasa Sekitar. 4 Ton

5 Power Sekitar. 7 kW (pada akhir operasional)

6 Waktu Operasional 3-5 tahun

7 Orbit Siklus kunjungan ulang : 46 hari

(18)

Satelit ini dilengkapi dengan teknologi yang lebih maju yang dapat memberikan kontribusi bagi dunia penginderaan jauh, terutama di bidang pemetaan, dan pengamatan tutupan lahan secara lebih persis dan akurat. Untuk keperluan tersebut pada satelit ini dipasang dual frequency GPS receiver dan star tracker dengan presisi tinggi.

Satelit ALOS (Gambar 1) memiliki tiga sensor, yaitu : (a) Panchromatic Remote Sensing Instrument for Stereo Mapping (PRISM) yang mempunyai resolusi spasial 2,5 meter, (b) Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2 (AVNIR-2) yang mempunyai resolusi spasial 10 meter, dan (c) Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) yang mempunyai dua resolusi, yaitu resolusi spasial 10 meter dan 100 meter.

Gambar 1. Satelit ALOS (JAXA EORC,2010)

AVNIR-2 merupakan pengganti ADEOS (Advanced Earth Observing Satellite) yang diluncurkan pada tahun 2006. Resolusi spasial yang disajikan oleh AVNIR-2 sebesar 10 meter dengan lebar liputan per lembar citra (scene) sebesar 70 km, sedangkan untuk wilayah multispektral memiliki resolusi spasial sebesar 16 meter. AVNIR -2 sering dimanfaatkan untuk mengetahui indeks vegetasi dengan menggunakan band cahaya tampak (visible) dan inframerah dekat (near infrared).

(19)

Tabel 2. Karakteristik AVNIR-2

No Tipe Spesifikasi

1 Jumlah Band 4

2 Panjang Gelombang Band 1 : 0,42-0,50 mikrometer

Band 2 : 0,52-0,60 mikrometer Band 3 : 0,61-0,69 mikrometer Band 4 : 0,76-0,89 mikrometer

3 Resolusi Spasial 10 m (at nadir)

4 Lebar petak (Swath Width) 70 km (at Nadir)

5 Jumlah Detektor 7000/Band

6 Pointing angle -44 + 44

7 Bit Length 8 bit

Sumber : JAXA EORC, 2010

Gambar 2. Prinsip geometri AVNIR-2 (JAXA EORC, 2010)

2.5. NDVI dan EVI

(20)

Berikut adalah rumus NDVI :

NDVI = Keterangan :

NIR = Nilai reflektan kanal spectral infra merah dekat

RED = Nilai reflektan kanal spectral merah

Nilai NDVI diperoleh dari proses hirarki kompleks yang berefek kepada fraksi fotosintesis yang diserap oleh kanopi tumbuhan (Gambar 3). Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi nilai NDVI, yaitu faktor gangguan (perubahan iklim, kebakaran), faktor sosial seperti perubahan penggunaan lahan, dan faktor lokasi (tanah, landform, hidrologi, iklim mikro). Ketiga faktor tersebut mempengaruhi kondisi kesehatan tanaman, ukuran tumbuhan, dan jenis tanaman, sehingga mempengaruhi nilai NDVI yang akan dievaluasi.

EVI merupakan indeks vegetasi yang dikembangkan dari NDVI. Menurut Huete et al. (1997), EVI lebih sensitif terhadap perubahan biomassa selama fase vegetatif yang lama. EVI sangat sensitif pada daerah yang bervegetasi tinggi karena dalam proses monitoringnya dipengaruhi oleh kanopi penutupan lahan dan awan/atmosfer. Nilai EVI diperoleh dari nilai reflektansi kanal spektral merah (red), kanal infra merah dekat (NIR) dan kanal biru (blue). Kanal spektral biru sangat sensitif terhadap kondisi atmosfer dan digunakan untuk koreksi atmosferik (Xiao et al. 2006). Persamaan EVI adalah :

EVI = G

Keterangan :

G = gain faktor (2.5)

C = koefisien koreksi atmosphere aerosol scattering pada kanal spectral merah

berdasarkan kanal spektral biru ( C1 = 6, C2 = 7.5)

L = soil effect adjustment factor (1)

NIR = nilai reflektan kanal spektral infra merah dekat

RED = nilai reflektan kanal spektral merah

(21)
(22)

2.6. Linear Discriminant Analiysis (LDA)

(23)

III. BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Waktu penelitian dilakukan pada bulan Mei hingga September 2010 dan mengambil lokasi di wilayah DAS Ciliwung Hulu, Bogor.

Pengolahan data dan analisis citra dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

3.2. Bahan dan Alat Penelitian

3.2.1. Bahan

Data primer yang digunakan pada penelitian ini adalah :

1. Data SRTM DEM versi 4 yang diperoleh dari situs web Consultative Group for International Agriculture Research Consortium for Spatial Information (CGIAR-CSI).

2. Peta Topografi digital (Peta Rupa Bumi Indonesia) skala 1:25.000, lembar Cisarua, tahun 1990 BAKOSURTANAL.

3. Citra ALOS AVNIR-2 akuisisi tanggal 17 Juli 2009.

4. Data kejadian longsor yang diambil di lokasi penelitian (titik-titik longsor) dan wawancara dengan penduduk setempat.

Data sekunder yang digunakan adalah :

1. Data curah hujan wilayah Kabupaten Bogor, diambil dari data BMKG antara tahun 2004 hingga 2008.

2. Peta Tanah DAS Ciliwung Hulu, skala 1:50.000, tahun 1992, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslitanak) Bogor.

3. Peta Administrasi DAS Ciliwung Hulu, 2009 (BAKOSURTANAL)

3.2.2. Alat

(24)

digunakan ArcView. Untuk melakukan analisis statistik digunakan perangkat lunak Tanagra 1.4, yaitu menggunakan metode analisis diskriminan untuk mengetahui peubah yang berpengaruh nyata terhadap pemodelan DEM.

3.3. Metode Penelitian

Penelitian ini terdiri dari 3 tahap, yaitu (1) persiapan dan pengumpulan data, (2) pengolahan data, (3) analisis data

3.3.1. Persiapan dan Pengumpulan Data

Pada tahap ini dilakukan studi pustaka dari berbagai sumber yang dapat diperoleh dari buku teks, jurnal ilmiah, dan prosiding seminar yang berkaitan dengan tujuan penelitian, dan lokasi penelitian.

Pengumpulan data lapangan (primer) dilakukan dengan mencari titik-titik longsor yang diperoleh dari informasi sekunder, seperti koran, internet, dan jurnal. Pada titik longsor dilakukan wawancara dengan penduduk setempat untuk mengetahui tentang kejadian - kejadian longsor pada wilayah penelitian. Menurut data Kantor Desa setempat, kejadian longsor banyak terjadi pada tahun 2005 – 2008. Titik-titik longsor yang berhasil ditemui dan diidentifikasi di lapangan selanjutnya ditentukan koordinatnya dengan GPS. Informasi lain yang diperlukan adalah penggunaan lahan setempat beserta perubahannya pada lokasi – lokasi kejadian longsor dan juga pada lokasi – lokasi yang tidak terjadi longsor (daerah contoh) di dalam DAS Ciliwung Hulu. Survey lapang tersebut dilakukan antara bulan Juli dan bulan September 2010.

3.3.2. Pengolahan Data

Pengolahan data diawali dengan pembacaan citra (layer stack) ALOS AVNIR-2 dengan perangkat lunak ENVI. Data SRTM yang telah diunduh kemudian dipotong (cropping) pada daerah penelitian dan kemudian diubah tipe filenya ke dalam bentuk tiff, dan selanjutnya dibentuk DEM.

(25)

(Inverse Distance Weighting) untuk menduga ketinggian wilayah penelitian dengan metode 12 tetangga terdekat. Persamaan IDW adalah sebagai berikut :

X =

/

Keterangan :

X = Jarak yang diinterpolasi Zi = Nilai data (ada sebanyak n)

Di = Jarak antara x dengan posisi setiap titik (sebanyak n)

Resolusi spasial untuk interpolasi peta RBI disamakan dengan resolusi SRTM yaitu 90 meter dan menggunakan interval kontur 10 meter. Data DEM yang telah dibangun dari peta RBI dan SRTM selanjutnya dibandingkan untuk mengetahui hasil yang terbaik untuk pemodelan longsor berbasis DEM.

Pengolahan citra ALOS AVNIR-2 adalah untuk mengetahui indeks vegetasi pada daerah penelitian sedangkan untuk pengidentifikasi jenis tanah, bahan induk, dan relief pada lokasi penelitian, diambil dari Peta Tanah Semi Detail Daerah Ciliwung Hulu skala 1:50.000 (Puslitanak, 1992). Peta tanah ini diregistrasi terlebih dahulu sebelum digunakan. Pengolahan data curah hujan digunakan untuk mengetahui nilai rataan bulan terbasah di daerah penelitian dengan membuat interpolasi nilai curah hujan dengan metode rataan bulan terbasah (interpolasi ini dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ArcGis).

3.3.3. Analisis Data

(26)

A = 270˚ + arctan ( ) - 90˚ keterangan :

A = aspek lereng (fungsi dari gradient pada sumbu X dan Y terhadap arah W-E dan N-S

fx = gradient arah W-E fy = gradient arah N-S

( Zhou and Liu, 2004)

Peubah curah hujan dipilih dari jumlah rataan bulan terbasah pada setiap tahun, sehingga dapat diketahui bulan terbasah pada setiap tahunnya. Nilai rataan bulan terbasah kemudian diinterpolasi ke dalam bentuk IDW, sehingga didapatkan peubah untuk pemodelan longsor. Peubah jenis tanah, bahan induk, dan relief diperoleh dari hasil digitasi dari Peta Tanah Semi Detail DAS Ciliwung Hulu yang telah diregistrasi.

Peubah Indeks vegetasi (NDVI dan EVI) diperoleh dari radiance citra ALOS AVNIR-2 yang dilakukan melalui fasilitas band math dengan memasukkan persamaan NDVI dan EVI sebagai berikut :

NDVI =

(27)

kualitatif yaitu data longsor dan tidak longsor, b) peubah bebas (penjelas), berupa data kuantitatif, yaitu: data aspek lereng, kemiringan lereng, ketinggian tempat (elevasi), curah hujan, dan indeks vegetasi (NDVI dan EVI). Dalam hal ini parameter tanah, bahan induk, dan relief tidak digunakan karena merupakan data kualitatif.Seluruh rangkaian metode penelitian ini secara diagramatis disajikan dalam bentuk diagram alir seperti pada gambar 4.

(28)

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1. Kondisi Geografis

Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Hulu sebagai daerah penelitian merupakan bagian dari sub-DAS Ciliwung yang secara adminstratif masuk ke dalam wilayah Kabupaten Bogor (Kecamatan : Megamendung, Cisarua, Cibinong, Tugu Utara, Cibereum, Cianjur dan Ciawi). Secara Geografis daerah penelitian terletak pada 6°37‟48”- 6°46‟12”LS dan 106° 49‟ 48” - 107°00‟00”BT dan memiliki luas ± 12.800 hektar, serta mempunyai ketinggian antara 197 hingga 3.002 meter dari permukaan air laut (Gambar 5). Berdasarkan topografinya, wilayah DAS mempunyai lereng yang bervariasi dari landai, agak curam, curam sampai sangat curam.

4.1.1. Iklim dan Tanah

(29)
(30)

Berdasarkan Peta Tanah semi detil skala 1:50.000 (Puslitanak, 1992) jenis tanah yang terdapat di Sub DAS Ciliwung Hulu adalah Andisol, Ultisol, Inseptisol, dan Entisol.

Andisol terbentuk dari pelapukan bahan induk vulkan yang menghasilkan bahan amorf. Tanah ini berwarna hitam, dan memiliki bahan organik yang tinggi. Ultisol merupakan tanah yang memiliki horizon argilik, terbentuk di daerah dengan bahan induk yang berumur lebih tua. Entisol merupakan tanah-tanah yang tingkat perkembangannya relatif baru. Inseptisol berasal dari pelapukan batuan vulkan yang mengalami latosolisasi. (Janudianto, 2004)

4.1.2. Geologi dan Geomorfologi

Geologi yang menyusun daerah penelitian ini umumnya merupakan hasil produk gunungapi muda kuarter dari Gunung Salak (2.211 m) dan Gunung Gede-Pangrango (3.019 m) yang terdiri dari breksi, lahar, lava, dan tufa.

Ditinjau dari kondisi geomorfologinya, sub DAS Ciliwung Hulu didominasi oleh morfologi bentuk lahan vulkanik tua dengan bentuk berbukit dan bergunung, dan sebagian kecil merupakan dataran alluvial. Geomorfologi daerah penelitian juga dibentuk oleh kerucut gunungapi tua seperti Gunung Malang (1.262 m), Gunung Limo, Gunung Kencana, dan Gunung Gedoan. (Janudianto, 2004)

4.1.3. Penggunaan Lahan

Jenis penggunaan lahan yang ada di daerah penelitian terdiri dari sawah, hutan, permukiman, dan kebun campuran. Penggunaan lahan paling dominan di daerah penelitian adalah hutan, seluas 5.313 hektar atau 41% dari luas total daerah penelitian. Sebaliknya permukiman merupakan jenis penggunaan lahan yang paling kecil luasnya, yaitu sebesar 1.545 hektar atau 12% dari total luas daerah penelitian (Tabel 3 dan Gambar 6).

Tabel 3. Tabel luas penggunaan lahan di daerah penelitian

(31)

Total 12.800 100 Sumber : Interpretasi citra ALOS AVNIR-2

(32)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Analisis DEM

Pembuatan DEM (Digital Elevation Model) dilakukan dari dua data yang berbeda yaitu dari Peta Rupa Bumi (topografi) dan data SRTM. Hal ini perlu dilakukan karena terdapat dua metode yang berbeda untuk menghasilkan informasi ketinggian atau garis kontur. Peta topografi dihasilkan dari proses fotogrametri sedangkan data SRTM melalui proses interferometri, sehingga merupakan dua data yang menarik untuk diperbandingkan.

Proses pembuatan DEM dari peta topografi, dimulai dengan proses interpolasi ketinggian dengan metode IDW (Inverse Distance Weighting). Berdasarkan hasil interpolasi tersebut dan dibandingkan diperoleh adanya suatu perbedaan elevasi permukaan bumi antara DEM dari data topografi dan SRTM. Gambar 7a dan 7b memperlihatkan perbedaan tersebut antara DEM IDW dan DEM SRTM. Gambar 7c menunjukkan beberapa perbedaan nilai elevasi. Warna merah menujukkan nilai elevasi SRTM lebih besar daripada nilai elevasi peta topografi, sedangkan warna hijau menujukkan nilai elevasi dari peta topografi lebih besar daripada nilai elevasi dari SRTM. Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa persebaran perbedaan elevasi tersebut banyak terdapat pada wilayah-wilayah yang memiliki relief atau terrain berbukit sampai bergunung, namun sebaliknya tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada wilayah-wilayah yang memiliki relief relatif datar (warna abu-abu)

(33)

Dalam penelitian ini DEM dari topografi dianggap paling baik karena tidak terdapat proses-proses foreshortening dan layover dan dipilih untuk pemodelan longsor.

(a) (b) (c)

Gambar 7. Hasil penggabungan DEM (a) DEM IDW (b) DEM SRTM (c) gabungan kedua DEM warna merah nilai SRTM > IDW, warna hijau nilai IDW > SRTM

5.2. Aplikasi DEM untuk Pemodelan Longsor pada DAS Ciliwung Hulu

(34)
(35)

a. Desa Kampung Baru b. Kecamatan Cisarua

c. Kecamatan Tugu Utara d. Desa Citeko

e. Desa Kampung Baru f. Desa Naringgul

Gambar 9. Contoh titik-titik longsor di daerah penelitian

(36)

dan indeks vegetasi. Tabel Lampiran 4 memaparkan nilai dari 8 parameter pada 30 titik-titik wilayah longsor dan tidak longsor di DAS Ciliwung Hulu.

5.2.1. Kemiringan Lereng

Kemiringan lereng yang dibuat dari hasil analisis DEM pada daerah penelitian ditunjukkan dengan 5 warna berbeda yang menunjukkan perbedaan kelas lereng. Klasifikasi kemiringan lereng dalam penelitian ini merujuk pada data kemiringan lereng penyebab longsor dari Savitri (2007). Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa daerah penelitian didominasi oleh kemiringan 0% - 8% (warna pink), dan 8% - 15% (warna orange), sedangkan kemiringan yang lain relatif kecil (Tabel 4).

Tabel 4. Kemiringan lereng di DAS Ciliwung Hulu.

Daerah penelitian kemiringan lereng tertinggi (> 45% atau warna hijau) berada di kawasan puncak Gunung Gede – Pangrango, sedangkan wilayah yang mempunyai kemiringan terendah (0% - 8 % atau warna pink) tersebar di Kecamatan Megamendung dan Kecamatan Sukaraja. Secara teoritis wilayah-wilayah yang memiliki kemiringan lereng yang tinggi umumnya merupakan wilayah-wilayah yang rentan longsor. Apabila kemiringan lereng semakin tinggi maka peluang pergeseran tanah dan material yang ada di dalamnya juga meningkat (Lee dan Talib, 2005). Berdasarkan hasil observasi lapangan didapatkan bahwa daerah-daerah yang mengalami longsoran berada pada wilayah yang memiliki kemiringan lereng yang besar 8% – 15 % (landai), 15% - 30% (agak curam) dan sebagian kecil pada kemiringan 30% - 45% (curam). Titik-titik longsor tersebut berada pada daerah permukiman di dekat jalan raya. Sebaliknya wilayah yang tidak pernah mengalami kejadian longsor mempunyai kemiringan

Nilai Kemiringan

Lereng

Kelas kemiringan Warna Luas

(37)

lereng yang lebih rendah sebesar 0% - 8% (landai) dan berada jauh dari permukiman dan jalan raya (Gambar 10).

5.2.2. Aspek Lereng

Aspek lereng merupakan faktor yang secara tidak langsung mempengaruhi pergerakan tanah, karena arah menghadapnya lereng berkaitan dengan proses pelapukan melalui sinar matahari. Berdasarkan hasil analisis DEM diperoleh 7 jenis aspek lereng, yaitu: N, NE, E, S, SW, W, dan NW (Gambar 11). Pada gambar tersebut tampak bahwa aspek lereng di daerah penelitian meliputi arah barat (W) (biru tua), barat laut (NW) (pink), utara (N) (orange), selatan (S) (ungu muda), barat daya (SW) (biru muda), timur laut (NE) (orange muda), dan timur (E) (kuning). Dengan demikian aspek lereng yang dominan di daerah penelitian adalah N, NW, dan W (Tabel 5).

Tabel 5. Aspek Lereng di DAS Ciliwung Hulu

Arah lereng banyak berkaitan dengan faktor iklim, antara lain sinar matahari, kelembapan, dan curah hujan. Menurut Fernandez et al. (2008) potensi longsor berhubungan langsung dengan variabel kelembapan tanah dan cuacanya. Aspek lereng juga mempengaruhi jenis vegetasi, iklim mikro pada permukaan lereng, dan pelapukan batuan (Kumar et al, 2010). Sinar matahari yang menyinari permukaan bumi memiliki penyinaran paling lama dan panas pada siang sampai sore hari, yaitu ketika matahari banyak menyinari sisi bagian barat dan timur bumi, sehingga daerah tersebut secara tidak langsung memiliki proses pelapukan batuan yang lebih cepat dibandingkan dengan sisi-sisi yang lain.

Berdasarkan hasil pengamatan lapangan (Gambar 11), daerah-daerah penelitian yang banyak mengalami kejadian longsor terletak pada lereng-lereng yang menghadap ke arah timur laut (NE) atau orange muda, utara (N) atau orange,

(38)

dan barat laut (NW) atau pink. Daerah-daerah yang tidak mengalami longsor berada pada lereng-lereng yang mengarah ke arah barat (W) atau biru tua, dan barat daya (SW) atau biru muda (Gambar 11).

5.2.3. Elevasi

Elevasi atau ketinggian tempat pada umumnya dianggap sebagai faktor penentu longsor yang tidak langsung (Fernandez et al. 2008) karena elevasi berkaitan dengan curah hujan, temperatur, dan jenis vegetasi. Pada Gambar 12 berikut dipaparkan 5 kelas ketinggian dengan interval sebesar 300 meter di wilayah penelitian. Perubahan penggunaan lahan, kemampuan tanah sebagai daerah tangkapan air, dan kenaikan intensitas curah hujan semakin beragam setiap perubahan ketinggian sebesar 300 meter dari permukaan laut (mdpl) (Indra et al. 2006). Berdasarkan Gambar 12 terlihat bahwa elevasi yang dominant daerah penelitian adalah pada ketinggian 200 - 500 (seluas 4.299 ha), 500 - 800 meter (seluas 4.306 ha), dan 800 - 1.100 meter (seluas 3.403 ha) sedangkan elevasi yang lebih tinggi semakin kecil (Tabel 6).

Tabel 6. Kelas elevasi di DAS Ciliwung Hulu

Ketinggian (meter) LUAS

(39)

Berdasarkan hasil pengamatan ini, dapat disimpulkan bahwa kejadian longsor di daerah penelitian umumnya banyak terjadi pada wilayah-wilayah yang memiliki nilai ketinggian > 500 mdpl.

5.2.4. Curah Hujan

Data curah hujan diambil dari koleksi data antara tahun 2004- 2008 dari 5 stasiun hujan yang berbeda, yaitu stasiun meteorologi Citeko, Ciawi, Gunung Mas, Dramaga, Megamendung, dan Empang. Kelima stasiun hujan tersebut diambil rataan dari bulan terbasah untuk mengetahui perkiraan nilai curah hujan puncak di daerah penelitian, karena peristiwa longsor sering terjadi pada musim hujan dengan curah hujan yang tinggi. Pengukuran curah hujan, dilakukan dengan metode bulan terbasah yaitu mengambil rata-rata curah hujan bulan terbasah dari tahun 2004 hingga 2008.

(40)
(41)
(42)
(43)
(44)

Gambar 13. Grafik curah hujan bulan terbasah tahun (a) 2004, (b) 2005, (c)2006 (d) 2007, (e) 2008

Berdasarkan gambar di atas dapat diketahui ada empat bulan terbasah yang dominan (ungu), yaitu bulan-bulan Desember, Januari, November, dan Februari. Berdasarkan bulan-bulan tersebut dipilih bulan Januari sebagai parameter bulan terbasah untuk pemodelan longsor karena mempunyai nilai curah hujan yang lebih besar dibandingkan dengan yang lain (sebagai puncak musim hujan). Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa daerah penelitian mempunyai nilai curah hujan yang bervariasi, dari 613,88 hingga 779,99 mm/tahun. Wilayah yang mengalami kejadian longsor memiliki nilai curah hujan sebesar 746,77 hingga 779,99 mm/tahun, sedangkan wilayah yang tidak mengalami kejadian longsor memiliki nilai curah hujan sebesar 713,54 hingga 746,77 mm/tahun (Tabel 7). Hasil interpolasi curah hujan pada bulan Januari disajikan pada Gambar 14.

Tabel 7. Nilai curah hujan puncak di DAS Ciliwung Hulu

Nilai Curah Hujan

5.2.5. Indeks Vegetasi (NDVI dan EVI)

Menurut Rau et al. (2006) Normal Difference Vegetation Index (NDVI), Enhanced Vegetation Index (EVI), dan Leaft Area Index (LAI) merupakan indeks yang biasa digunakan untuk menganalisis vegetasi penutup dan bisa juga digunakan sebagai parameter untuk memprediksi longsor. Menurut Vohora dan Donoghue (2004), Nilai NDVI dapat diperoleh dengan menggunakan model transformasi matematika yang didesain untuk mengakses kontribusi tumbuhan hijau pada kanal multispektral data penginderaan jauh.

(45)

Tanah mempunyai nilai mendekati nol dan tubuh air mempunyai nilai kurang dari nol. Menurut Rau et al. (2006) indeks yang tinggi menunjukkan lebih banyak vegetasi hijau jika dibandingkan dengan indeks yang rendah. Adapun EVI digunakan untuk mengkoreksi nilai NDVI melalui pengurangan efek dari faktor-faktor lingkungan seperti atmosfer, tanah, dan efek topografi yang dapat menyebabkan perubahan variasi cahaya terhadap citra yang akan dikoreksi. Walaupun EVI memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan NDVI, tetapi EVI sangat peka terhadap kondisi lingkungan yang mudah berubah dibandingkan dengan NDVI (Matsushita et al. 2007).

(46)
(47)

(48)
(49)

5.2.6. Jenis Tanah, Relief dan Bahan Induk

Data tanah, relief, dan bahan induk yang digunakan berasal dari Peta Tanah Semi Detail DAS Ciliwung Hulu skala 1:50.000 (Puslitanak, 1992). Persebaran jenis tanah di daerah penelitian disajikan pada Gambar 16, meliputi jenis tanah andisol, entisol, inseptisol dan ultisol. Wilayah yang banyak mengalami longsor di daerah penelitian didominasi oleh jenis tanah inseptisol dan entisol yang tergolong subur, sedangkan untuk wilayah tidak longsor banyak didominasi oleh jenis tanah inseptisol dan ultisol.

Entisol merupakan tanah yang belum berkembang memiliki solum yang tipis sekitar 18 cm, pada umumya terbentuk akibat adanya pengendapan secara terus menerus (Harjowigeno, 1985). Adanya pengendapan dan pencucian yang intensif mengakibatkan tanah menjadi jenuh sehingga menyebabkan terjadinya aliran permukaan (run off), dan memungkinkan terjadinya longsor. Pada wilayah penelitian, entisol terletak pada lahan-lahan dengan kemiringan yang cukup besar yaitu antara 30 % – 45%, dengan relief bergunung sehingga sangat wajar jika tanah-tanah ini menjadi rentan longsor.

Inseptisol memiliki sifat yang menyerupai seperti bahan induknya dan mengalami penimbunan liat, pengendapan Fe dan Al, pada umumnya memiliki solum yang dalam anatara 125 cm hingga lebih dari 200 cm (Hardjowigeno, 1985). Inseptisol pada daerah penelitian berada pada kemiringan 0 % – 30 % dengan intensitas curah hujan tinggi (713 – 779 mm/thn). Persebaran inseptisol pada umumnya berada pada relief yang berombak sampai bergelombang (Gambar 18). Di daerah penelitian, inseptisol banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai wilayah permukiman dan lahan pertanian karena mempunyai kemampuan produktifitas yang tinggi (Hardjowigeno, 1985). Besarnya aktivitas manusia di atas tanah ini (terutama pemotongan lereng) memungkinkan tanah ini menjadi rentan longsor. Berdasarkan hasil observasi lapangan pada jenis tanah inseptisol terdapat titik-titik yang mengalami longsor maupun yang tidak mengalami longsor.

(50)

dominan berupa permukiman, sedangkan daerah yang tidak mengalami longsor berada pada kemiringan lebih rendah (0% - 8%), curah hujan 713 – 746 mm/tahun, relief bergelombang, dan penggunaan lahan dominan berupa sawah. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kejadian longsor pada jenis tanah yang sama ternyata lebih banyak dipengaruhi oleh kemiringan, relief, dan penggunaan lahan di atasnya.

.

(51)
(52)
(53)

5.3. Analisis Diskriminan Linier (LDA)

Berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran parameter-parameter yang digunakan pada titik-titik longsor seperti telah diuraikan di atas, selanjutnya ditentukan uji statistik diskriminan linear untuk mengetahui pengaruh berbagai peubah terhadap proses longsor. Uji statistik ini dilakukan dengan menggunakan program Tanagra 1.4. Uji ini, dipilih 2 peubah, yaitu peubah tujuan (respon) dan peubah bebas (penjelas). Peubah tujuan (respon) terdiri dari atribut longsor dan tidak longsor (Tabel 8). Peubah bebasnya (penjelas) merupakan parameter yang memiliki nilai nominal agar diketahui nilai yang berpengaruh pada setiap parameter. Peubah bebas terdiri dari aspek lereng, kemiringan lereng, ketinggian tempat, curah hujan, dan indeks vegetasi (NDVI dan EVI) (Tabel 8).

Tabel 8 berikut memperlihatkan setiap peubah penjelas yang dimasukan ke dalam diskriminan linier dan menghasilkan peubah penjelas yang berpengaruh dan peubah penjelas yang tidak berpengaruh terhadap respon. Peubah-peubah yang berpengaruh atau tidak terhadap longsor dapat dilihat dari nilai P-value yang dihasilkan, apabila nilai P-value kurang dari 5% maka menujukkan adanya pengaruh nyata terhadap respon, sebaliknya jika P-value lebih dari 5% maka tidak berpengaruh nyata terhadap respon.

(54)

Tabel 8. Hasil pengolahan parameter longsor dengan tanagra 1.4

Curah hujan mempunyai nilai P-value sebesar 0,000001 (Tabel 9), artinya curah hujan memberikan pengaruh yang nyata terhadap pemodelan DEM untuk memprediksi bahaya longsor pada selang kepercayaan 5%. Curah hujan yang tinggi dan berlangsung lama/terus menerus akan dapat menyebabkan tanah menjadi jenuh sehingga menimbulkan aliran permukaan bahkan dapat memicu terjadinya longsor apabila berada pada lereng yang curam (> 45%).

Ketinggian tempat (elevasi) mempunyai nilai P-value sebesar 0,000305, artinya memberikan pengaruh nyata terhadap proses longsor pada selang kepercayaan 5%. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan lapangan, bahwa wilayah-wilayah yang mengalami kejadian longsor memiliki ketinggian tempat yang besar, yaitu antara 500 hingga 800 meter sedangkan untuk wilayah tidak mengalami longsor mempunyai elevasi antara 200 hingga 500 meter. Hal ini cukup wajar disebabkan semakin tinggi suatu permukaan bumi maka akan berpotensi untuk mempunyai lereng-lereng yang curam dan curah hujan yang tinggi. Daerah-daerah yang memiliki ketinggian yang besar adalah daerah yang bergunung dan biasanya mempunyai curah hujan yang tinggi berkat terjadinya hujan orografis.

(55)

kemiringan lereng yang besar menyebabkan kemiringan lereng merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kejadian longsor, namun demikian dalam penelitian ini hasil analisis LDA menujukkan sebaliknya bahwa nilai P-value dari kemiringan lereng memperlihatkan sifat yang tidak berpengaruh nyata. Kontradiksi ini mungkin dapat disebabkan oleh rendahnya tingkat akurasi kelas lereng yang direpresentasikan pada peta. Akurasi ini berkaitan dengan interval ketinggian yang ditentukan dalam penelitian ini yang masih cukup besar (12,5 meter) sesuai dengan skala peta topografi yang digunakan (Skala 1:25.000). Titik-titik longsor yang ada di lapangan (Gambar 9) kebanyakan mempunyai beda tinggi lereng (antara titik tertinggi dengan terendah) kurang dari 12,5 meter.

Aspek lereng memiliki P-value sebesar 0,820516 artinya, tidak memberikan pengaruh nyata terhadap pemodelan bahaya longsor, pada selang kepercayaan 5% sehingga secara langsung aspek lereng merupakan faktor yang tidak mempengaruhi pergerakan tanah. Menurut Peralvarez et al. (2008) aspek lereng sebenarnya secara tidak langsung berpengaruh terhadap proses longsor karena arah lereng lebih banyak membantu dalam hal pelapukan batuan akibat adanya sinar matahari. Kontradiksi yang dihasilkan dalam penelitian ini agak sulit diterangkan, namun mungkin dapat berkaitan dengan akurasi kemiringan lereng. Chang dan Tsai (1991) juga menjelaskan bahwa aspek error parameter ini lebih besar pada topografi yang curam.

(56)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. DEM cukup baik dalam merepresentasikan permukaan bumi karena kemiringan lereng, elevasi, dan aspek lereng dapat diketahui nilainya secara cepat dan mudah, namun demikian perlu dilakukan pengukuran di lapangan untuk mengetahui tingkat ketelitian dari DEM yang dibentuk, karena tingkat ketelitian ini harus sesuai dengan tujuan penelitian.

2. Daerah longsor pada DAS Ciliwung Hulu banyak terjadi pada daerah tegalan yang dekat permukiman, mempunyai kemiringan lereng curam, dan data curah hujan yang tinggi, namun dari hasil analisis LDA (dengan selang kepercayaan 5%) parameter-parameter kemiringan lereng, aspek lereng, dan juga indeks vegetasi tidak memberikan pengaruh yang nyata. Kondisi ini terkait erat dengan tingkat ketelitian DEM yang kurang memadai untuk tujuan penelitian (pemodelan longsor), disamping juga adanya proses antropogenik berupa pemotongan lereng oleh manusia pada tingkat relief mikro.

6.2. Saran

1. Perlu dilakukan perbandingan pembangunan DEM dengan data penginderaan jauh lainnya, seperti ASTER, sehingga nilai parameter longsor yang diperoleh lebih beragam.

2. Perlu dicoba melakukan pengolahan data statistik lain untuk menilai pengaruh longsor selain dengan perangkat lunak Tanagra, agar dapat diketahui metode statistik apa yang lebih baik untuk studi longsor.

(57)

DAFTAR PUSTAKA

Barus, B. 1999. Pemetaan bahaya longsoran berdasarkan klasifikasi statistik peubah tunggal menggunkan SIG : Studi kasus daerah Ciawi-Puncak-Pacet, Jawa Barat. Jurnal Ilmu Tanah Dan Lingkungan 2(1):7-16

Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian[BALITBANG]. 2009. http://baliklimat.litbang.deptan.go.id (Diakses 20 Oktober 2010) Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum-Ciliwung[BPDAS]. 2007. Sub

DAS Ciliwung Hulu. http://bpdas-ctw.sim-rlps.dephut.go.id (diakses 20 Oktober 2010)

Chang, K. and B. Tsai. 1991. The effect of DEM resolution on slope and aspect mapping. Cartography and Geographic Information System. 18(1):67-77 Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral[ESDM]. 2009. Integrated

Microhydro Development and Application Program (IMIDAP). http://imidap.mikrohydro.net (Diakses 6 Maret 2011)

Savitri, E., 2007. Analisis pemnfaatan Ruang dalam Kaitan dengan Resiko Tanah Longsor di Kabupaten Tanah Datar. (Tesis) Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Fernandez, T., C. Irigaray, R.E. Hamdouni, and J. Chacon.2008. Correlation between natural slope angle and rock mass strength rating in the Betic Cordillera, Granada, Spain. Bulletin of Engineeering Geology and Environment. 67(2):153-164

Gorokhovich, Y. and A. Voustianiouk. 2006. Accuracy assessment of the processed SRTM-based elevation data by CGIAR using field data from USA and Thailand and its relation to the terrain characteristics. Remote Sensing of Environment. 104(4):409-415

Guzzeti, F., A. Carrara, M. Cardinali, and P. Reichenbach. 1999. Landslide hazard evaluation: a review of current techniques and their application in a multi-scale study, Central Italy. Geomorphology. 31(1-4):181-216

Hardjowigeno, S. 1985. Genesis dan Klasifikasi Tanah. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor

Huete, A.R., H.Q. Liu, K. Batchily, W. and Van Leewen. 1997. A comparison of vegetation indicies global set of TM images for EOS Modis. Remote Sensing of Environment 59(3):440-451

(58)

study on lahars from Popocatepetl Volcano, Mexico. Journal of Volcanology and Gheothermal Research 170(1-2): 99-110.

Indra, S., L.B. Prasetyo, dan R. Soekmadi. 2006. Penyusunan zonasi taman nasional Manupeu Tanadaru, Sumba berdasarkan kerentanan kawasan dan aktivitas masyarakat. Media Konservasi XI(1):1-16

Janudianto. 2004. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Debit-Maksimum – Minimum di Sub DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat. (Skripsi) Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Japan Aerospace Exploration Agency [JAXA], Earth Observation Centre [EORC]. 2010. Advanced Land Observing Satellite “DAICHI” ALOS. http://www.jaxa.jp.html (diakses 20 Oktober 2010)

Japan Aerospace Exploration Agency [JAXA], Earth Observation Centre [EORC]. 2010. About ALOS. http://www.eorc,jaxa.jp.html (Diakses 20 Oktober 2010)

Jayaseelan, S. and S. Sanjeevi. 2002. Visible and NIR reflactance spectra of the components of a landslide zone in the Nigiris, South India. Asian Assosiation on Remote Sensing 13(3): 3

Kaab, A., 2005. Combination of SRTM3 and repeat ASTER data for deriving alpine glacier flow velocities in the Bhutan Himalaya. Remote Sensing of Environment. 94(4):463-474

Kumar, K.., S. Kimothi, P.S. Prasad, K. Singh, and S. Mathur. 2010. Landslide hazard potential analysis of Patalgangga valley, Garhwal, Western Himalaya religion of India. Scientific Research. 45(4):346-366

Lee, S., and J.S. Talib. 2005. Probabilistic landslide susceptibility and factor effect analysis. Environmental Geology 47(7): 992-990.

Lee, S. and K. Min. 2001. Statistical of analysis of landslide susceptibility at Yongin, Korea. Environmental Geology 40(9): 1095-1113.

Matsushita, B., W. Yang, J. Chen, Y. Onda, and G. Qiu. 2007. Sensitivity of the Enhanced Vegetation Index (EVI) and Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) to topographic effect : a case study in high-density cypress forest. Sensors. 7(1): 2636-2651

(59)

Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat [PUSLITANAK]. 1992. Peta Tanah Semi Detail Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian RI.Bogor.

Rau, J.Y., Y.C. Shao, and L.C. Chen. 2006. Landslide detection using aerial ortho-images and LiDAR data. Asian Assosiation on Remote Sensing (AARS) 15(3):53

Sivrikaya, O., A.M. Kilic, M.G. Yalcin, A.S. Aykamis, and M. Sonmez. 2007. The 2001 Adana landslide and its destructive effect, Turkey. Environmen Geology 54(7): 1489-1500.

Suryani, L. 2000. Analisis Usaha Padi (oryza sativa) dengan Empat Pola Tanam yang Berbeda di Tiga Lokasi Usahatani (Studi Kasus Kabupaten Majalengka, Klaten dan Kediri). (Skripsi) Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian. Insitut Pertanian Bogor.

Tucker, S.J. 1977. Asymptotic nature of grass canopy spectral reflectance. Applied Optics 16(5):1151 – 1156

Van Zyl. J.J. 2001. The Shuttle Radar Topography Mission (SRTM): a breakthrough in remote sensing of topography. Acta Astronautica. 48(5-12):559-565

Vohora, V.K. and S.L. Donoghue. 2004. Application of remote sensing data to landslide mapping in Hongkong. International Society for Photogrammetry And Remote Sensing (ISPRS) XXXV(3): 489

Walker, D.A., M.O. Leibman, and H.E. Epstein. 2009. Spatial and temporal patterns of greennes on the Yamal Peninsula, Rusia : interaction of ecological and social factor affecting the artic Normalized Difference Vegetation Index. Environmental Research Letter 4(4):16

Whimbrel. 2010. This script converts coordinates from WGS 84/Decial Degress to UTM and vice-versa.

Xiao, X., S. Boles, J. Liu, D. Zhuang, S. Frolking, C. Li, W. Salas, and B. Moore. 2006. Mapping paddy rice agriculture in southern China using multi-temporal MODIS images. Remote Sensing and Environment. 95(5):480-492

(60)

Zhou, C.H., C.F. Lee, J. Li, and Z.W. Xu. 2002. On the spatial relationship between landslide and causative factor on Lantau Island, Hongkong. Geomorphology 43(3-4): 197-207.

Zhou, Q. and X. Liu. 2004. Error analysis on grid-based slope and aspect

(61)
(62)

Gambar Lampiran 1. Langkah-langkah pengolahan data statistik dengan tanagra 1.4

Data parameter longsor di excel buka di tanagra

Pilih define status peubah respon Masukkan dan peubah

LDA Diketahui hasil yang

(63)
(64)

Gambar Lampiran 2. Langkah-langkah pengolahan interpolasi data curah hujan dengan ArcGis

Data bulan terbasah dari tahun 2004 – 2008 (data titik berbentuk point)

Buka ArcGis, lalu interpolate to raster pada menu

spasial analyst

Interpolasi dengan metode

IDW Diketahui nilai bulan

(65)
(66)

Gambar Lampiran 3. Langkah-langkah pengolahan indeks vegetasi dengan ENVI

Citra ALOS AVNIR-2 yang telah di radiance di

perangkat lunak ENVI di load band

Basic tools, pilih band math

Masukkan rumus NDVI dan EVI pada band math

Simpan, dan masukkan variabel band 1,2, dan

3 pada citra ALOS yang telah diradiance Diketahui nilai NDVI

(67)

Tabel Lampiran 4. Tabel nilai-nilai parameter longsor, pada titik-titik contoh longsor dan tidak longsor

X Y Ketinggian Kemiringan Aspek Curah Hujan NDVI EVI Jenis Tanah Bhn Induk

713855 9259530 929.755371 13.570771 34.338383 733.066528 0.256554 -0.048366 Inseptisol Tuff andesit

719520 9258950 1278.799805 16.961052 275.666901 757.193054 0.588998 -1.204076 Andisol Tuff andesit

718007 9259164 1073.880493 11.637945 257.248688 772.213440 0.533679 -0.748664 Andisol Tuff andesit

718154 9259134 1050.346924 6.199462 313.534393 773.845642 0.589093 -1.215842 Andisol Tuff andesit

718133 9259490 1087.628296 14.597802 253.131577 769.823547 0.627303 -0.678147 Andisol Tuff andesit

716738 9255914 1752.697632 58.343803 72.945419 754.142578 0.570757 -0.880360 Andisol Tuff andesit

717119 9261126 978.798523 29.568344 184.105881 748.563721 0.585985 -0.464556 Inseptisol Tuff andesit

717542 9260784 1022.611816 19.466858 270.868439 755.050903 0.526726 -0.610000 Inseptisol Tuff andesit

714687 9261764 1088.480957 21.520634 234.611237 753.956238 0.442497 -0.302062 Inseptisol Tuff andesit

714441 9260698 887.500000 7.949230 341.069702 735.497925 0.348935 -0.385537 inseptisol Tuff andesit

714251 9260426 876.507813 8.415006 7.422217 732.711975 0.31986 -0.303118 inseptisol Tuff andesit

714529 9259992 891.172424 6.038420 349.080231 732.845459 0.176454 -0.426477 Inseptisol Tuff andesit

715123 9258420 918.318909 6.535062 268.145538 741.188171 0.427757 -1.066956 Inseptisol Tuff andesit

(68)

Tabel Lampiran 4 lanjutan

714891 9258341 1013.890198 10.011072 315.255524 759.696777 0.488603 -0.360419 Inseptisol Tuff andesit

708983 9264058 600.000000 3.622125 243.217331 756.927673 0.500068 -0.682854 Insiptisol Tuff andesit

709216 9264292 595.682922 6.153883 4.134116 630.625244 0.226777 -0.514165 Inseptisol Tuff andesit

712549 9264292 809.217224 10.148620 40.166920 649.777161 0.084461 -0.057620 Inseptisol Tuff andesit

721710 9261534 1338.456909 14.897101 10.170354 695.861755 0.476098 -0.953103 Andisol Abu volkan

721795 9254504 1398.523682 13.569037 28.698843 612.468445 0.321858 -0.643630 Andisol Abu volkan

709755 9254234 708.836121 2.248261 324.445496 602.493469 0.294636 -0.424796 Inseptisol Tuff andesit

707958 9251943 616.933396 7.262715 231.407089 646.261292 0.271092 -0.100479 Inseptisol Tuff andesit

709841 9261087 687.004578 12.255168 214.887512 656.858582 0.572030 -1.112426 Inseptisol Tuff andesit

707016 9262371 481.124634 13.537290 329.230194 638.548717 0.452798 -0.555448 Inseptisol Tuff andesit

706931 9264254 539.166016 16.959974 333.196198 642.970886 0.137082 -0.218508 Ultisol Tuff andesit

705176 9266094 246.389923 7.876969 89.644455 650.747803 0.382797 -0.342626 Ultisol Tuff andesit

704021 9269304 300.321106 6.817345 228.540497 649.801636 0.463503 -0.913395 Inseptisol Tuff andesit

704320 9267806 437.500000 4.503636 313.822937 634.895020 0.425176 -0.102515 Inseptisol Tuff andesit

708172 9264382 627.179016 8.680780 215.284424 634.895020 0.183037 -0.320599 Ultisol Tuff andesit

(69)

PEMANFAATAN

DIGITAL ELEVATION MODEL

(DEM) DAN

CITRA ALOS AVNIR-2 UNTUK PEMODELAN LONGSOR

(Studi Kasus DAS Ciliwung Hulu)

Oleh :

ANISSA REZAINY

A14061785

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

(70)

ANISSA REZAINY. Pemanfaatan Digital Elevation Model (DEM) dan Citra ALOS AVNIR-2 untuk Pemodelan Longsor (Studi Kasus DAS Ciliwung Hulu). Di bawah bimbingan BOEDI TJAHJONO dan BAMBANG H. TRISASONGKO.

Sejalan dengan perkembangan masyarakat di DAS Ciliwung Hulu perubahan penggunaan lahan pun berjalan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, seperti permukiman, lahan pertanian dan yang lainnya. Perubahan penggunaan lahan yang banyak terjadi adalah dari lahan pertanian ke non-pertanian. Salah satu dampak dari perubahan penggunaan lahan tersebut adalah terjadinya tanah longsor yang dapat menjadi suatu bencana. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bahaya longsor melalui pembangunan DEM dan membuat model longsor berbasis pada DEM yang dihasilkan. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan beberapa data utama yaitu data penginderaan jauh non-optik (SRTM) maupun optik (ALOS AVNIR-2), peta topografi, data meteorologi, dan data tanah. Penggunaan semua data tersebut adalah untuk memperoleh parameter-parameter yang diperlukan, yaitu kemiringan lereng, aspek lereng, elevasi, indeks vegetasi, curah hujan, jenis tanah, relief, dan bahan induk. Tiga parameter pertama diperoleh dari DEM, sedangkan indeks vegetasi diperoleh dari hasil analisis data ALOS AVNIR-2. Adapun tiga parameter terakhir diperoleh dari peta tanah skala 1:50.000 (Puslitanak,. 1992). Observasi lapang dilakukan untuk mengidentifikasi titik-titik longsor dan menentukan lokasinya dengan GPS, sedangkan metode tumpang-tindih (overlay) dari GIS digunakan untuk melakukan analisis keterkaitan antara titik longsor tersebut dengan parameter-parameter yang dinilai. Selanjutnya dilakukan analisis statistik (LDA) dengan perangkat lunak Tanagra 1.4 untuk mengetahui pengaruh parameter-parameter di atas terhadap peluang terjadinya longsor (bahaya) dengan selang kepercayaan 5%. Dari analisis tersebut didapatkan bahwa parameter curah hujan, dan elevasi mempunyai pengaruh yang nyata terhadap bahaya longsor, sedangkan kemiringan lereng, aspek lereng, dan indeks vegetasi tidak berpengaruh nyata. Hal ini mungkin disebabkan oleh kurangnya tingkat ketelitian (akurasi) dari DEM yang dibangun (dengan interval kontur 12,5 meter) padahal untuk daerah penelitian semestinya diperlukan interval kontur yang lebih kecil mengingat panjang lereng pada titik-titik longsor yang ditemui dilapangan menujukkan kurang dari 12,5 meter.

(71)
(72)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sejalan dengan perkembangan masyarakat di DAS Ciliwung Hulu, perubahan penggunaan lahan pun terjadi seiring dengan waktu. Hal ini terjadi sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, seperti permukiman, lahan pertanian dan yang lainnya. Perubahan penggunaan lahan yang banyak terjadi di daerah hulu adalah perubahan dari lahan pertanian menjadi non-pertanian.

Keinginan untuk memanfaatkan sumberdaya alam semaksimal mungkin seringkali kurang memperhatikan dampak ekologi yang akan muncul di kemudian hari. Salah satu dampak dari perubahan penggunaan lahan tersebut adalah lahirnya bencana alam, seperti banjir, tanah longsor, dan sebagainya. Adanya aktivitas masyarakat dalam penggunaan lahan seperti pengolahan tanah untuk pertanian dan pemotongan lereng untuk permukiman, menyebabkan tanah tidak mampu lagi menahan beban di atasnya ketika musim penghujan datang. Bencana longsor dapat terjadi dan mengakibatkan adanya korban jiwa, kerugian harta benda, dan kerugian ekonomi.

Mempelajari bencana longsor dapat dilakukan dengan berbagai upaya, salah satunya adalah menggunakan teknologi penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG). Menurut Lee dan Min (2001) SIG merupakan alat pemetaan data spasial, manajemen data, dan manipulasi data spasial sarana yang efektif untuk menganalisis proses longsor. Penggunaan SIG digunakan untuk menganalisis bahaya longsor dengan cara mengumupulkan data dan menganalisa data longsoran (Zhou et al. 2002). Hasil analisis SIG diantaranya dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk pecegahan bencana alam, perencanaan tata guna lahan, dan yang lainnya.

(73)

Pemanfaatan DEM untuk memprediksi longsor adalah dengan memasukan beberapa parameter seperti kemiringan lereng, ketinggian tempat (elevasi), indeks vegetasi, curah hujan, dan data yang diperoleh di lapangan. Hasil pemodelan longsor yang dibangun seperti ini dapat mengetahui area-area yang potensial longsor dan area-area yang aman bahaya longsor serta menilai pengaruh dari parameter longsor terhadap kejadian longsor.

1.2. Perumusan Masalah

DAS Ciliwung Hulu dan kawasan Puncak menurut Barus (1999) selama 10 tahun terakhir telah mengalami perubahan penggunaan lahan yang sangat cepat, sehingga mengakibatkan terjadinya peningkatan suhu udara di kawasan Bogor dan flukuasi arus sungai Ciliwung yang semakin tinggi dan keruhnya air di muara sungai. Salah satu akibat dari perubahan penggunaan lahan ini adalah terjadinya gerakan massa tanah khususnya longsoran dangkal (Shallow Landslide).

Longsoran di daerah puncak dan sekitarnya umumnya bersifat dangkal (2-5 meter) bertipe debris avalanche atau rational slump (Barus, 1999). Tipe debris umumnya ditemukan pada daerah berlereng curam, sedangkan tipe slump ditemukan di daerah landai dan lebih dipengaruhi oleh perkembangan sifat tanah dan pola penggunaan lahan di atasnya.

Gambar

Gambar 6. Peta jenis penggunaan lahan di daerah penelitian
Gambar 8. Lokasi titik-titik longsor dan tidak longsor
Gambar 9. Contoh titik-titik longsor di daerah penelitian
Gambar 10. Peta kemiringan lereng daerah penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait