• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAHAN DAN ALAT

Dalam dokumen TIPE III DAN TIPE IV DARI PATI GARUT (Halaman 30-76)

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah garut (Maranta arundinacea L), gadung (Dioscorea hispida Dennst), dan talas (Colocasia esculenta (L) Schoot). Garut yang digunakan diperoleh dari Balai Penelitian Bioteknologi dan Genetika, Cimanggu, Bogor. Sedangkan talas dan gadung diperoleh dari pasar tradisional di daerah Bogor. Bakteri yang digunakan terdiri dari Lactobacillus casei subspesies rhamnosus, Bifidobacterium bifidum dan Lactobacillus plantarum sa28k. Lactobacillus casei subspesies rhamnosus dan Bifidobacterium bifidum yang digunakan diperoleh dari Universitas Gadjah Mada. Sedangkan Lactobacillus plantarum sa28k diperoleh dari Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan-bahan lain yang digunakan adalah akuades, NaOH, POCl3, HCl, HClO4 0.36 M, asam iso butirat, enzim α-amilase (heat stable), enzim pepsin, enzim pankreatin, enzim amyloglucosidase, bufer fosfat, natrium dodesilsulfat, etanol, aseton, buffer Na-Fosfat 0.1M, buffer Na-Fosfat 0.05M, 3,5-dinitrosalisilat, Na-K-tartarat, NaCl, CaCO3, MRS (de Mann Rogosa Sharpe) Agar dan Broth, proteose pepton, yeast extract, amonium sitrat, natrium asetat, magnesium sulfat, manganase sulfat, dikalium fosfat, tween 80, dan bacto agar.

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah gelas ukur, erlenmeyer, cawan petri, gelas piala, gelas pengaduk, pipet Mohr, mikropipet, tip, sudip, fial magnetic stirer, manik-manik, pisau, slicer, ember, kain saring, talenan, vortex, mortar, blender basah, blender kering, neraca analitik, pH meter, hot plate, water bath, whiteness meter, brabender unit, HPLC, otoklaf, sentrifuse, spektrofotometer, anoxomat, anaerobic jar, inkubator, oven, oven vakum, freezer, freeze dryer, dan lemari pendingin.

B. METODE PENELITIAN

Tahap-tahap penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 7, meliputi: (1) Seleksi umbi, (2) Seleksi RS dan seleksi BAL dan (3) Analisis dietary fiber dan SCFA.

SELEKSI UMBI

Umbi (garut, gadung, talas)

Ekstraksi Pati

Pembuatan RS

RS tipe III dan tipe IV

Uji rendemen dan daya cerna

Jenis umbi terpilih

SELEKSI RS DAN BAL

Lactobacillus casei subspesies rhamnosus, Lactobacillus plantarum sa28k, dan Bifidobacterium bifidum

Inokulasi 1% dan 5%

@

@

m-MRSB + RS s-RS

Inkubasi (24 jam, 370C)

Analisis fisikokimia:

• Kadar RS • aw

• Densitas kamba dan densitas padat • Kadar amilosa

• Kelarutan dalam air • Uji amilograf

• Derajat putih • Gula pereduksi

Jenis RS dan BAL terpilih

ANALISIS RS DAN BAL TERPILIH

Analisis Dietar fiber dan SCFA

Gambar 7. Diagram Alir Penelitian

1. Ekstraksi Pati dari Umbi

Umbi garut, gadung dan talas diekstraksi patinya dengan cara : umbi dikupas, dicuci, dipotong kecil, diekstraksi dengan air (umbi : air = 1 : 4), diendapkan, disaring, dikeringkan dengan oven (suhu 40oC), dan diblender.

2. Pembuatan Resistant Starch Tipe III (Metode Lehmann, 2002)

Pati disuspensikan dalam air (20% w/w), di-autoklaf selama 30 menit pada suhu 121oC, dididinginkan dan disimpan pada suhu 4oC selama 24 jam, kemudian dikeringkan dengan freeze dryer.

3. Pembuatan Resistant Starch Tipe IV

Sebanyak 100 gram pati dilarutkan dalam 150 ml akuades, diatur pH sampai 10.5 dengan NaOH 5% sambil diaduk dengan kuat. Selanjutnya ditambah dengan POCl3 0.2% dari berat tepung, diinkubasi pada environmental orbital shaker (T = 40oC, kecepatan putaran 200 rpm, selama 2 jam).

Kemudian diatur pH-nya sampai 5.5 menggunakan HCl dan disaring dengan penyaring vakum. Endapan pati yang diperoleh dicuci dengan air 150 ml sebanyak 5 kali. Selanjutnya, pati dikeringkan menggunakan oven vakum (50oC, 24 jam), digiling dan diayak.

4. Uji Prebiotik secara in vitro

a. Perhitungan jumlah BAL awal (Fardiaz, 1989)

BAL dibuka dari ampul dan disegarkan ke dalam 10 ml MRSB, kemudian dimasukkan ke dalam inkubator 370C selama 48 jam. Setelah 48 jam, BAL tersebut kembali disegarkan dengan mengambil 1 ml dari tabung MRSB lama ke tabung berisi MRSB baru. MRSB itu kemudian diinkubasi kembali selama 48 jam pada suhu 370C.

Metode ini dilakukan untuk setiap BAL (Lactobacillus casei subsp.

Rhamnosus, Lactobacillus plantarum, dan Bifidobacterium bifidum) yang digunakan. Untuk Bifidobacterium bifidum penanganannya sedikit berbeda karena bakteri ini hidup secara anaerobik. Maka, inkubasi dilakukan menggunakan alat Anoxomat.

b. Uji viabilitas BAL

1. Persiapan uji viabilitas BAL

Sebanyak 1 ml BAL dipindahkan ke dalam MRSB. Kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 370C. Kemudian 1 ml BAL yang berumur 1 hari tersebut dipipet dan dimasukkan ke dalam larutan pengencer NaCl 0.85% 10 ml. Setelah divorteks, didapatkan pengenceran 10-1. Selanjutnya dibuat pengenceran sampai 10-7 dengan cara yang sama.

Pemupukan dilakukan pada pengenceran 10-5-10-8 dengan menggunakan media MRSA dalam cawan petri. Cawan petri diinkubasi pada suhu 370C dalam posisi terbalik. Pemupukan dilakukan duplo setiap pengenceran.

Perhitungan koloni dilakukan setelah 48 jam berdasarkan metode ISO (Harrigan, 1998) dan dinyatakan dalam CFU/ml.

N = ____∑ c____

(n1 + 0.1 n2) x d N : Jumlah mikroba (CFU/ml)

∑c : Jumlah koloni dari semua cawan pada 2 tingkat pengenceran yang terdapat 25-250 koloni

n1 : Jumlah cawan pada pengenceran pertama (25-250 koloni) n2 : Jumlah cawan pada pengenceran kedua (25-250 koloni) d : Pengenceran pertama (25-250 koloni)

2. Viabilitas BAL

Disiapkan RS steril, air steril masing-masing 50 ml/sampel dan MRSB steril tanpa dekstrosa (MRSB racikan) masing-masing 50ml/sampel. Sebanyak 2.5 ml BAL yang berumur 1 hari dipipet dan dimasukkan ke dalam campuran larutan 50 ml MRSB racikan + 2.5% RS dan larutan 50 ml air steril + 2.5% RS. Larutan ini kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 370C.

Setelah inkubasi 24 jam, 1 ml larutan dipipet dan dimasukkan ke dalam larutan pengencer NaCl 0.85% 10 ml dan divortex untuk memperoleh pengenceran 10-1. Selanjutnya dibuat pengenceran sampai 10-7 dengan cara yang sama. Pemupukan dilakukan pada pengenceran 10

-5-10-8 dengan menggunakan media MRSA dalam cawan petri. Cawan petri selanjutnya diinkubasi pada suhu 370C dalam posisi terbalik. Pemupukan dilakukan duplo setiap pengenceran. Perhitungan koloni dilakukan setelah 48 jam berdasarkan metode ISO (Harrigan, 1998) dan dinyatakan dalam CFU/ml.

C. METODE ANALISIS

a. Analisis kadar air (AOAC, 1984)

Cawan kosong dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan dinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Timbang dengan

cepat kurang lebih 5 gram sampel yang sudah dihomogenkan dalam cawan. Tempatkan cawan ke dalam oven selama 6 jam. Untuk

produk yang tidak mengalami dekomposisi dengan pengeringan yang lama, dapat dikeringkan selama 1 malam (16 jam). Pindahkan cawan ke desikator, lalu dinginkan. Setelah dingin timbang kembali.

Keringkan kembali ke dalam oven sampai diperoleh bobot yang tetap.

% Kadar air (dry basis) = W3 x 100 W2

% Kadar air (wet basis) = W3 x 100 W1

Keterangan: W1: Bobot sampel sebelum dikeringkan (g) W2: Bobot sampel setelah dikeringkan (g) W3: W2-W1

b. Rendemen pati

Pengukuran rendemen pati dihitung berdasarkan perbandingan berat pati yang diperoleh terhadap berat umbi tanpa kulit yang dinyatakan dalam persen (%).

Rendemen (%) = b × 100%

a Keterangan:

a = berat umbi tanpa kulit (g) b = berat pati yang diperoleh (g)

c. Daya cerna pati in vitro (Muchtadi et al.,1992)

Enzim α-amilase dilarutkan di dalam buffer Na-fosfat 0.05 M pH 7.

Pereaksi dinitrosalisilat dibuat dengan melarutkan 1 gram 3,5-dinitrosalisilat, 30 gram Na-K tartarat dan 1,6 gram NaOH dalam 100 ml aquades. Larutan maltosa standar yang digunakan adalah 0-10 mg masing-masing dalam 10 ml aquades.

Sampel dibuat suspensi dalam aquades (1%), kemudian dipanaskan dalam penangas air selama 30 menit pada suhu 90°C kemudian didinginkan.

Sebanyak 2 ml sampel dalam tabung ditambahkan 3 ml aquades dan 5 ml buffer Na-fosfat 0.1 M, pH 7. Lalu diinkubasikan pada suhu 37°C selama 15 menit. Selanjutnya ditambahkan larutan enzim α-amilase dan diinkubasi lagi pada suhu 37°C selama 30 menit.

Sebanyak 1 ml sampel dipipet ke dalam tabung reaksi lain, ditambah 2 ml pereaksi dinitrosalisilat. Lalu dipanaskan pada suhu 100°C selama 10 menit. Warna merah oranye yang terbentuk diukur absorbansinya pada panjang gelombang 520 nm. Kadar maltosa campuran reaksi dihitung dengan menggunakan kurva standar maltosa murni yang diperoleh dengan mereaksikan larutan maltosa standar dengan pereaksi dinitrosalisilat menggunakan prosedur seperti di atas. Blanko dibuat untuk menghitung kadar maltosa awal (bukan hasil hidrolisis enzim). Prosedur pembuatan blanko sama seperti prosedur untuk sampel hanya saja tanpa sampel dan tidak ditambahkan larutan enzim α-amilase. Sebagai gantinya untuk blanko diganti buffer Na-fosfat 0.1 M pH 7.

%DC pati = (kadar maltosa sampel-kadar maltosa blanko sampel) x100%

(kadar maltosa pati murni-kadar maltosa blanko pati murni)

c. Pengukuran kadar RS (Kim et al., 2003)

Sebanyak 0,5 gram pati didispersikan ke dalam 25 ml bufer fosfat (0.08M, pH 6), ditambahkan 0.05 ml heat stable alfa-amilase. Gelas piala ditutup dengan alufo dimasukkan ke dalam penangas air dengan suhu 95°C selama 15 menit, diagitasi setiap 5 menit, lalu didinginkan di suhu ruang. Kemudian ditambahkan 5 ml NaOH (0.275N) dan 0.05 ml protease (50 mg/ml larutan protease dalam bufer fosfat). Campuran dimasukkan ke dalam penangas air ber-shaker dengan suhu 60°C selama 30 menit, lalu didinginkan di suhu ruang. Kemudian 5 ml HCl (0.325 N) ditambahkan sehingga pH menjadi 4.3. Selanjutnya 0.06 ml enzim amyloglukosidase ditambahkan dimasukkan ke penangas air ber-shaker pada suhu 60°C selama 30 menit. Ethanol 95% ditambahkan dan campuran dibiarkan di

suhu ruang semalaman. Endapan disaring dengan kertas saring. Residu yang larut dicuci dengan 20 ml etanol 78% (3 kali), 10 ml etanol murni (2 kali) dan 10 ml aseton (2 kali). Residu dikeringkan dalam oven pada suhu 40°C.

Resistant starch (%) = berat residu yang tidak larut (g) x 100 Berat sampel (g)

e. Densitas kamba (Khalil, 1999)

Densitas kamba diukur dengan cara memasukkan sampel ke dalam gelas ukur sampai volume tertentu tanpa dipadatkan, kemudian berat ditimbang. Densitas kamba dihitung dengan cara membagi sampel dengan volume ruang yang ditempati. Densitas kamba dinyatakan dalam satuan g/ml.

f. Densitas padat (Khalil, 1999)

Densitas padat diukur dengan cara memasukkan sampel ke dalam gelas ukur dan dipadatkan sampai volumenya konstan, kemudian berat sampel ditimbang. Densitas padat dihitung dengan cara membagi berat sampel dengan volume ruang yang ditempati. Densitas padat dinyatakan dalam satuan g/ml.

g. Kelarutan dalam air (Sathe dan Salunkhe, 1981 dalam Muchtadi dan Sumartha, 1992)

Sejumlah 0.75 gram sampel dilarutkan dalam 150 ml air, kemudian disaring menggunakan corong buchner dan pompa vakum. Sebelumnya kertas saring dikeringkan terlebih dahulu dalam oven 100ºC selama 30 menit dan ditimbang (berat sudah diketahui). Kertas saring dan endapan yang tertinggal pada kertas saring dikeringkan dalam oven 100ºC selama 3 jam (sampai mencapai berat yang konstan), didinginkan dalam desikator, dan ditimbang.

a = berat kering sampel (gram)

b = berat endapan dan kertas saring (gram)

c = berat kertas saring (gram)

h. Amilograf

Uji amilograf bertujuan untuk mengetahui suhu gelatinisasi RS tipe III dan RS tipe IV. Sebanyak 45 gram sampel (100 mesh) dilarutkan dengan 450 ml air destilata, kemudian dimasukkan ke dalam bowl. Lengan sensor dipasang dan dimasukkan ke dalam bowl dengan cara menurunkan head amilograf. Suhu awal termoregulator diatur pada suhu 20°C atau 25°C. Switch pengatur diletakkan pada posisi bawah sehingga jika mesin dihidupkan suhu akan meningkat 1.5°C setiap menit.

Mesin amilograf dihidupkan. Begitu suspensi mencapai suhu 30°C, pena pencatat diatur pada skala kertas amilogram. Setelah pasta mencapai suhu 95°C, mesin dimatikan. Parameter analisis amilograf terdiri dari:

1. Suhu awal gelatinisasi, yaitu suhu pada saat kurva mulai naik 2. Suhu pada puncak gelatinisasi, yaitu suhu pada saat nilai

maksimum viskositas dapat dicapai

3. Viskositas maksimum pada puncak gelatinisasi dinyatakan dalam Brabender Unit.

i. Derajat putih

Pengukuran untuk warna RS dan pati alami dilakukan dengan menggunakan alat whiteness meter “Kett Electric Laboratory C-100-3”.

Sampel pati dimasukkan ke dalam tempat sampel sehingga lensanya benar-benar tertutup. Kemudian diletakkan pada kotak penganalisa alat.

Selanjutnya dengan cara menekan tombol penunjuk maka persentase derajat keputihan akan terlihat pada jarum penunjuk.

j. Aktivitas air (aw )

Pengukuran aktivitas air (aw) dilakukan dengan menggunakan alat aw meter ”Shibaura aw meter WA-360”. Alat dikalibrasi dengan NaCl jenuh yang memiliki nilai aw 0.7547;0.7529 dan 0.7509 yang berturut-turut

pada suhu 20,25 dan 290C dengan cara memasukkan NaCl jenuh tersebut dalam wadah aw meter. Nilai aw dapat dibaca setelah ada tulisan

“completed” di layar.Bila aw yang terbaca tidak tepat 0.750 maka bagian switch diputar sampai mencapai tepat 0.750. Pengukuran aw sampel dilakukan dengan cara yang sama dengan kalibrasi alat yaitu sampel dimasukkan dalam wadah aw meter. Nilai aw dan suhu pengukuran akan terbaca setelah ada tulisan “completed” di layar.

k. Kadar amilosa (Metode Juliano, 1971 yang dimodifikasi di dalam Nisviaty, 2006)

Pembuatan kurva standar

Amilosa murni ditimbang sebanyak 40 mg kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditambahkan dengan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N lalu didiamkan selama 24 jam dan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades. Selanjutnya larutan tersebut dipipet masing-masing sebanyak 1, 2, 3, 4, dan 5 ml lalu dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Ke dalam masing-masing labu takar tersebut ditambahkan asam asetat 1 N sebanyak masing-masing 0.2; 0.4; 0.6; 0.8 dan 1 ml, lalu ditambahkan larutan iod sebanyak 2 ml. Setelah itu, larutan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades, dikocok, lalu didiamkan selama 20 menit, dan diukur intensitas warna yang terbentuk dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm.

Penetapan sampel

Sebanyak 100 mg sampel (tanpa lemak) dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml, dan ditambahkan dengan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N lalu didiamkan selama 24 jam dan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades. Pipet 5 ml larutan tersebut, lalu dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml, dan ditambahkan 1 ml asam asetat 1 N dan 2 ml larutan iod. Setelah itu, larutan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades, dikocok, lalu didiamkan selama 20 menit, dan diukur intensitas warna yang terbentuk dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm. Kadar amilosa dihitung dengan persamaan:

Kadar amilosa (%) 100%

l. Analisis Serat Pangan (Dietary Fiber) (Hellendoorn, et al., 1975)

Sejumlah sampel yang akan dianalisis dihancurkan dengan blender.

Kemudian ditambahkan beberapa tetes isoamil alkohol dan kristal timol.

Suspensi yang diperoleh dijadikan 1 liter. Sebanyak 50 ml dari suspensi tersebut (mengandung tidak lebih dari 1 gram pati) dipipet ke dalam gelas piala 250 ml, lalu tambahkan 50 ml HCl 0.2 N dan 100 mg pepsin. Setelah diaduk dengan rata, campuran tersebut diinkubasikan pada suhu 40°C selama 18 jam. Setelah pencernan pepsin, campuran dinetralkan dengan larutan NaOH 4 N dan 50 ml larutan bufer pH 6.8. Kemudian ditambahkan 100 mg pankreatin dan 300 mg natrium dodesilsulfat. Campuran diinkubasikan pada suhu 40°C selama 1 jam sambil diaduk. Setelah pencernaan, campuran tersebut diasamkan dengan HCl 4 N sampai mencapai pH 4-5. Suspensi kemudian disentrifusi selama 30 menit.

Supernatan disaring dengan filter gelas 1-G-3 yang berisi pasir setebal 15 mm. Endapan dicuci dengan air destilata dan disentrifusi kembali. Cuci residu yang diperoleh dan disaring dengan filter gelas 1-G-3. Bilas tiga kali dengan air dan tiga kali dengan aseton. Filter gelas yang mengandung residu dikeringkan pada suhu 105°C semalam. Berat residu kering menyatakan kandungan serat makanan dari sampel.

m. Analisis Asam Lemak Rantai Pendek (SCFA) (In House Method, 2006) Sampel dalam bentuk cair (hasil degradasi bakteri Lactobacillus plantarum sa28k pada media s-RS4) disaring dengan membran filter.

Kemudian sampel diinjeksikan sebanyak 10 μl ke HPLC dengan kondisi fase gerak H2SO4 0.01 N, flow 0.5 ml/menit, kolom (organic couloum), suhu oven 50°C, detector UV 210 nm. Standar yang digunakan adalah asam

format (0.236 %), asam asetat (0.257 %), asam propionat (0.3254 %) dan asam butirat (0.2139 %).

[SCFA] = Area sampel x [Standar]

Area standar

D. PENGOLAHAN DATA

Pengaruh jenis media dan jenis RS terhadap pertumbuhan bakteri dapat diketahui dengan menggunakan rancangan percobaan acak lengkap (RAL) faktorial. Program yang digunakan yaitu program SAS (Statistical Analysis System), metode ANOVA (Analysis of Variance) dan uji lanjut Duncan pada selang kepercayaan 95 %.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. SELEKSI UMBI

Umbi yang digunakan dalam penelitian ini ada 3 jenis, yaitu garut (Maranta arundinacea L), gadung (Dioscorea hispida Dennst), dan talas Colocasia esculenta (L) Schoot). Tujuan dari seleksi ini adalah untuk memperoleh satu jenis umbi yang berpotensi sebagai prebiotik dengan cara membuat pati umbi tersebut menjadi Resistant Starch (RS). Penyeleksian jenis umbi didasarkan pada rendemen pati dan daya cerna RS. Umbi yang memiliki rendemen pati paling tinggi dan daya cerna RS yang paling rendah dipilih untuk diteliti pada tahap selanjutnya.

1. Rendemen dan Kadar Air Pati

13.72 13.58

8.97

0 2 4 6 8 10 12 14 16

Garut Gadung Talas

Umbi

Rendemen (%)

Gambar 8. Rendemen Pati Tiga Jenis Umbi

Ketiga jenis umbi diekstraksi patinya dengan metode ekstraksi basah. Rendemen pati hasil ekstraksi ketiga jenis umbi dapat dilihat pada Gambar 8. Rendemen pati garut, gadung, dan talas berturut-turut sebesar 13.72 %, 13.58 %, dan 8.97 %. Pengukuran rendemen pati dihitung

berdasarkan perbandingan berat pati yang diperoleh terhadap berat umbi tanpa kulit yang dinyatakan dalam persen (%). Rendemen pati yang paling tinggi adalah garut, yaitu sebesar 13.72 %. Rendemen pati yang tinggi memberi keuntungan karena dapat mengurangi biaya untuk pembelian bahan baku, efisiensi waktu pembuatan pati, mengurangi energi, dan mengurangi limbah.

Selain rendemen, dilakukan juga analisa terhadap kadar air pati ketiga jenis umbi. Perbandingan kadar air pati ketiga jenis umbi dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Kadar Air Pati Tiga Jenis Umbi-umbian

Kadar air pati garut, gadung, dan talas berturut-turut sebesar 6.73 %, 10.47 %, dan 3.59 %. Analisa kadar air pati dilakukan untuk mengetahui bobot pati kering ketika dilakukan perhitungan daya cerna pati yang dihitung dalam bobot kering. Dari hasil pengukuran kadar air diperoleh bahwa kadar air pati yang paling tinggi berturut-turut ke yang paling rendah adalah pati gadung, pati garut dan pati talas.

2. Hasil Pembuatan RS Tipe III dan RS Tipe IV

Pati dari umbi garut, gadung, dan talas dibuat menjadi RS tipe III. RS tipe III terbentuk melalui proses retrogradasi pati. Pati disuspensikan di dalam air (20% w/v) dan diotoklaf pada suhu 1210C selama 30 menit. Pada tahap ini pati akan tergelatinisasi karena granula rusak akibat pemanasan di dalam air berlebih dan amilosa dilepaskan dari granula ke dalam larutan.

Selanjutnya, pati yang telah tergelatinisasi didinginkan sehingga terjadi

retrogradasi. Selama retrogradasi, molekul pati kembali membentuk struktur kompak yang distabilkan dengan adanya ikatan hidrogen. Struktur ini sangat stabil. Proses ini menghasilkan RS tipe III yang tahan terhadap enzim amilase. RS tipe ini mempunyai penampakan yang agak berbeda dengan pati asalnya. Warna RS tipe ini lebih gelap dibanding pati aslinya dan agak sulit untuk disuspensikan dalam air.

Gambar 10. Pati Garut, RS Tipe III Garut dan RS Tipe IV Garut

Pati dari umbi garut, gadung, dan talas dibuat menjadi RS tipe IV. RS tipe IV diperoleh dengan cara memodifikasi pati dengan ikatan silang, yaitu dengan mereaksikan pati dengan larutan Phosphorus oksiklorida (POCl3) dalam kondisi basa. Reaksi ini akan membentuk jembatan antara rantai molekul sehingga didapatkan jaringan makromolekul yang baru. Fosfat yang ada dalam POCl3 akan membentuk jembatan fosfat yang resisten terhadap enzim amilolitik. RS tipe IV yang dihasilkan memiliki penampakan yang mirip dengan pati. RS tipe IV berwarna putih dan dapat disuspensikan dalam air dengan mudah. Pati dan RS yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 10.

3. Uji Daya Cerna Pati

RS tipe IV yang telah dibuat dari pati garut, gadung, dan talas diukur daya cernanya dengan menggunakan enzim α-amilase. Daya cerna pati adalah kemampuan enzim pemecah pati dalam menghidrolisis pati menjadi unit-unit yang lebih kecil (gula sederhana). Dalam penelitian ini digunakan

metode pengukuran daya cerna pati secara in vitro. Dalam metode ini pati dihidrolisis oleh enzim α-amilase menjadi gula-gula sederhana (glukosa, maltosa) dan alfa limit dekstrin. Jumlah glukosa dan maltosa diukur secara spektrofotometri setelah direaksikan dengan asam dinitrosalisilat (DNS).

Daya cerna pati sampel dihitung sebagai persentase terhadap pati murni.

Gambar 11. Daya Cerna RS Tipe IV dari Tiga Jenis Umbi

Daya cerna RS tipe IV dari garut, gadung dan talas dapat dilihat pada Gambar 11, berturut-turut adalah sebesar 19.57 %, 78.66 % dan 52.25 %.

Semakin rendah daya cerna suatu pati berarti semakin sedikit pati yang dapat dihidrolisis dalam waktu tertentu yang ditunjukkan oleh semakin rendahnya glukosa dan maltosa yang dihasilkan. Daya cerna RS tipe IV garut paling rendah bila dibandingkan dengan RS tipe IV dari talas dan gadung. Pati dengan daya cerna yang rendah berpotensi sebagai prebiotik.

Hal ini menunjukkan bahwa RS tipe IV dari garut berpeluang tinggi menjadi prebiotik bila dibandingkan dengan RS tipe IV dari gadung dan talas. Nilai daya cerna RS tipe IV garut ini lebih kecil dari daya cerna patinya (27.44 %) yang dapat dilihat pada Lampiran 3.

Menurut Tharanthan dan Mahadevamma (2003), proses pencernaan pati dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik.

Faktor intrinsik yang menyebabkan pati dicerna lambat pada usus halus yaitu jika bentuk fisik makanan mengganggu pengeluaran amilase pankreatik, khususnya jika granula pati terhalang oleh material lain. Faktor

ekstrinsik yang mempengaruhi pencernaan pati adalah transit time, bentuk makanan, konsentrasi amilase pada usus, jumlah pati dan keberadaan komponen pangan lainnya.

Umbi garut memiliki rendemen pati yang paling tinggi dan daya cerna RS tipe IV yang paling rendah dari umbi gadung dan talas. Oleh karena itu, umbi garut terpilih untuk diteliti lebih lanjut.

B. SELEKSI RS DAN JENIS BAL

Penelitian tahap kedua meliputi seleksi jenis RS dan BAL pati garut berdasarkan sifat fisiko kimia dan kemampuannya untuk menumbuhkan BAL.

Pengujian dilakukan secara in vitro dengan menumbuhkan BAL pada RS yang disuspensikan dalam air (media s-RS) dan media MRSB tanpa dekstrosa (m-MRSB+RS).

1. Analisis Fisikokimia Pati, RS Tipe III dan RS Tipe IV Garut

Analisis sifat fisikokimia yang dilakukan pada pati alami, RS tipe III dan RS tipe IV dari garut meliputi analisis kadar RS, densitas kamba, densitas padat, uji kelarutan dalam air, derajat putih, aw, kadar amilosa, uji amilograf dan gula pereduksi. Pada Tabel 4 tercantum data hasil analisis fisikokimia.

Tabel 4. Hasil Analisis Fisikokimia Pati, RS Tipe III dan RS Tipe IV Garut No Parameter Pati RS tipe III RS tipe IV

a Kadar RS (%) 1.85 6.65 4.42

b Densitas kamba (g/ml) 0.752 0.605 0.669 Densitas padat (g/ml) 0.976 0.732 0.921 c Kelarutan dalam air (%) 8.45 12.96 9.98

d Derajat putih 100.95 - 103.60

e aw 0.41 0.36 0.42

f Kadar amilosa (%) 30.27 30.32 26.82

g Suhu awal gelatinisasi (oC) 75.25 55.75 73.25

Suhu puncak gelatinisasi (oC)

81.3 91.75 83.75

Viskositas (BU) 1010 690 2410

h Gula pereduksi (%) 0.05 0.27 0.15

a. Kadar Resistant Starch (RS)

Pati RS tipeIII RS tipe IV

Kadar RS (%)

Gambar 12. Histogram Kadar RS Pati, RS Tipe III dan RS Tipe IV Umbi Garut

Kadar RS pati, RS tipe III dan RS tipe IV dari pati garut berturut-turut sebesar 1.85%, 6.65%, dan 4.42%. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa pati alami dari garut memiliki kandungan RS,

Kadar RS pati, RS tipe III dan RS tipe IV dari pati garut berturut-turut sebesar 1.85%, 6.65%, dan 4.42%. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa pati alami dari garut memiliki kandungan RS,

Dalam dokumen TIPE III DAN TIPE IV DARI PATI GARUT (Halaman 30-76)

Dokumen terkait