SKRIPSI
RESISTANT STARCH TIPE III DAN TIPE IV DARI PATI GARUT
(Maranta arundinacea L), GADUNG (Dioscorea hispida Dennst) DAN
TALAS (Colocasia esculenta (L) Schoot) SEBAGAI PREBIOTIK
Oleh :
MANGINAR MARSAULINA PURBA F 24102025
2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Manginar Marsaulina Purba. F24102025. Resistant Starch Tipe III dan Tipe IV Dari Pati Garut (Maranta arundinacea L), Gadung (Dioscorea hispida Dennst) dan Talas (Colocasia esculenta (L) Schoot) Sebagai Prebiotik.
Dibawah bimbingan: Betty Sri Laksmi Jenie dan Antung Sima, 2007.
ABSTRACT
Prebiotik merupakan komponen pangan yang tidak dapat dicerna oleh pencernaan manusia dan merupakan makanan untuk bakteri menguntungkan yang hidup di usus besar manusia (probiotik). Resistant starch (RS) adalah bagian dari pati yang tidak dapat dicerna di usus halus manusia yang sehat. Berdasarkan keberadaan pati secara alami dan keberadaannya dalam bahan pangan, RS dibagi menjadi 4 tipe. RS tipe I adalah jenis pati yang secara fisik terperangkap di dalam matriks sel, seperti pada polong-polongan. RS tipe II adalah granula pati yang secara alami tahan terhadap enzim pencernaan. RS tipe III adalah pati hasil retrogradasi, terbentuk karena adanya pemanasan pada suhu tinggi yang dilanjutkan dengan pendinginan. RS tipe IV adalah pati yang dimodifikasi secara kimia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari karakteristik RS tipe III dan tipe IV dari pati garut, gadung dan talas serta potensinya sebagai prebiotik.
Jenis umbi yang digunakan dalam penelitian ini ada 3, yaitu garut (Maranta arundinacea L), gadung (Dioscorea hispida Dennst), dan talas (Colocasia esculenta (L) Schoot). Penelitian ini terdiri atas dua tahap. Tahap pertama bertujuan untuk mendapatkan satu jenis umbi terpilih. Seleksi jenis umbi didasarkan pada rendemen pati dan daya cerna RS. Tahap kedua bertujuan untuk mendapatkan satu jenis RS dan BAL. BAL yang digunakan adalah Lactobacillus casei subspesies rhamnosus, Lactobacillus plantarum sa28k, dan Bifidobacterium bifidum. Pemilihan ini didasarkan pada viabilitas BAL yang ditumbuhkan pada dua jenis media, yaitu MRSB tanpa dekstrosa+RS (m-MRSB+RS) dan suspensi RS dalam air (s-RS). Konsentrasi RS yang digunakan adalah 2.5 %. Selain uji viabilitas juga dilakukan uji fisiko kimia, meliputi uji kadar RS, densitas kamba, densitas padat, derajat putih, kelarutan dalam air, a
w, kadar amilosa, uji amilograf, dan uji kadar gula pereduksi serta analisis serat pangan (dietary fiber) dan asam lemak rantai pendek (SCFA) hasil degradasi bakteri.
Dari uji tahap pertama diperoleh data rendemen pati garut, gadung, dan talas berturut-turut sebesar 13.72%, 13.58%, dan 8.97%. Daya cerna pati RS tipe IV pati garut, gadung, dan talas berturut-turut sebesar 19.57 %, 78.66 %, dan 52.25 %. Rendemen pati yang tinggi dan daya cerna pati yang rendah merupakan faktor yang mempengaruhi terpilihnya garut sebagai bahan untuk penelitian tahap selanjutnya.
Uji viabilitas dilakukan untuk mengetahui pengaruh jenis media, jenis RS, dan konsentrasi kultur BAL yang ditambahkan. Berdasarkan analisis statistik rancangan acak lengkap pada taraf nyata α = 0.05 dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan hasil pertumbuhan bakteri yang nyata diantara kedua jenis media yang digunakan. Pertumbuhan BAL pada media m-MRSB+RS lebih tinggi bila dibandingkan pada media s-RS, sedangkan ketiga jenis BAL tidak berbeda nyata.
Berdasarkan uji Duncan pada taraf nyata α = 0.05, diketahui bahwa jenis
RS tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada media yang sama. Akan tetapi,
pada media yang berbeda, RS menunjukkan perbedaan yang nyata. RS tipe III
tidak berbeda nyata dengan RS tipe IV pada media m-MRSB. RS tipe III juga
tidak berbeda nyata dengan RS tipe IV pada media s-RS. Akan tetapi, RS tipe IV pada media m-MRSB berbeda nyata dengan RS tipe III dan RS tipe IV pada media s-RS. Demikian juga RS tipe III pada media m-MRSB berbeda nyata dengan RS tipe III dan RS tipe IV pada media s-RS. Jenis RS yang paling baik untuk pertumbuhan bakteri pada media m-MRSB dan s-RS adalah RS tipe IV.
Perbedaan konsentrasi kultur mempengaruhi viabilitas BAL pada media s-RS3 dan media m-MRSB+RS3. Secara umum, semakin tinggi konsentrasi kultur yang ditambahkan pada media maka viabilitas BAL akan semakin tinggi juga.
Untuk analisis dietary fiber digunakan RS tipe IV garut dan untuk analisis SCFA digunakan hasil degradasi bakteri Lactobacilus plantarum sa28k pada media s-RS4. RS tipe IV garut dapat dikatakan sebagai pangan sumber serat karena memiliki serat pangan yang cukup tinggi, yaitu sebesar 8.11 gram/100gram. SCFA hasil degradasi RS tipe IV oleh Lactobacillus plantarum sa28k adalah asam asetat sebanyak 0.04 % (w/v), sedangkan asam format, propionat dan butirat tidak terdeteksi.
Kadar RS tertinggi terdapat pada RS tipe III garut (6.65%). Nilai densitas kamba RS tipe III (0.605 g/ml) dan RS tipe IV (0.669 g/ml) lebih rendah dari pati garut (0.752 g/ml). Nilai densitas padat RS tipe III (0.732 g/ml) dan RS tipe IV (0.921 g/ml) juga lebih rendah dari pati garut (0.976 g/ml). Pembuatan RS tipe IV dari pati garut tidak berpengaruh terhadap nilai derajat putih. Aktivitas air RS tipe III (0.36) lebih rendah dari RS tipe IV (0.42) dan pati garut (0.41). RS tipe III (12.96 %) mempunyai nilai kelarutan dalam air lebih tinggi dari RS tipe IV (9.98 %) dan pati garut (8.45 %). Kadar amilosa dari RS dan pati garut tidak banyak berbeda yaitu sekitar 26.82-30.32 %. RS tipe III (55.5
0C) mempunyai suhu awal gelatinisasi lebih rendah dari RS tipe IV (73.5
0C) dan pati garut (75
0C).
Namun, suhu puncak gelatinisasi RS tipe III (91.5
0C) lebih tinggi dari RS tipe IV
(84
0C) dan pati garut (81
0C). Viskositas RS tipe IV (2420 BU) lebih tinggi
dibandingkan dengan RS tipe III (700 BU) dan pati garut (1000 BU). Gula
pereduksi dari RS dan pati garut cukup rendah, yaitu sekitar 0.05 -0.27 %.
RESISTANT STARCH TIPE III DAN TIPE IV DARI PATI GARUT
(Maranta arundinacea L), GADUNG (Dioscorea hispida Dennst) DAN
TALAS (Colocasia esculenta (L) Schoot) SEBAGAI PREBIOTIK
Oleh
MANGINAR MARSAULINA PURBA F 24102025
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
RESISTANT STARCH TIPE III DAN TIPE IV DARI PATI GARUT
(Maranta arundinacea L), GADUNG (Dioscorea hispida Dennst) DAN
TALAS (Colocasia esculenta (L) Schoot) SEBAGAI PREBIOTIK
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh:
Manginar Marsaulina Purba F24102025
Dilahirkan pada tanggal 30 Januari 1984 Di Tarutung, Sumatera Utara
Tanggal Lulus: 15 Januari 2007
Menyetujui, Bogor, Januari 2007
Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS Antung Sima, STP Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.
Ketua Departemen ITP
Manginar Marsaulina Purba. F24102025. Resistant Starch Tipe III dan Tipe IV Dari Pati Garut (Maranta arundinacea L), Gadung (Dioscorea hispida Dennst) dan Talas (Colocasia esculenta (L) Schoot) Sebagai Prebiotik.
Dibawah bimbingan: Betty Sri Laksmi Jenie dan Antung Sima, 2007.
RINGKASAN
Prebiotik merupakan komponen pangan yang tidak dapat dicerna oleh pencernaan manusia dan merupakan makanan untuk bakteri menguntungkan yang hidup di usus besar manusia (probiotik). Resistant starch (RS) adalah bagian dari pati yang tidak dapat dicerna di usus halus manusia yang sehat. Berdasarkan keberadaan pati secara alami dan keberadaannya dalam bahan pangan, RS dibagi menjadi 4 tipe. RS tipe I adalah jenis pati yang secara fisik terperangkap di dalam matriks sel, seperti pada polong-polongan. RS tipe II adalah granula pati yang secara alami tahan terhadap enzim pencernaan. RS tipe III adalah pati hasil retrogradasi, terbentuk karena adanya pemanasan pada suhu tinggi yang dilanjutkan dengan pendinginan. RS tipe IV adalah pati yang dimodifikasi secara kimia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari karakteristik RS tipe III dan tipe IV dari pati garut, gadung dan talas serta potensinya sebagai prebiotik.
Jenis umbi yang digunakan dalam penelitian ini ada 3, yaitu garut (Maranta arundinacea L), gadung (Dioscorea hispida Dennst), dan talas (Colocasia esculenta (L) Schoot). Penelitian ini terdiri atas dua tahap. Tahap pertama bertujuan untuk mendapatkan satu jenis umbi terpilih. Seleksi jenis umbi didasarkan pada rendemen pati dan daya cerna RS. Tahap kedua bertujuan untuk mendapatkan satu jenis RS dan BAL. BAL yang digunakan adalah Lactobacillus casei subspesies rhamnosus, Lactobacillus plantarum sa28k, dan Bifidobacterium bifidum. Pemilihan ini didasarkan pada viabilitas BAL yang ditumbuhkan pada dua jenis media, yaitu MRSB tanpa dekstrosa+RS (m-MRSB+RS) dan suspensi RS dalam air (s-RS). Konsentrasi RS yang digunakan adalah 2.5 %. Selain uji viabilitas juga dilakukan uji fisiko kimia, meliputi uji kadar RS, densitas kamba, densitas padat, derajat putih, kelarutan dalam air, a
w, kadar amilosa, uji amilograf, dan uji kadar gula pereduksi serta analisis serat pangan (dietary fiber) dan asam lemak rantai pendek (SCFA) hasil degradasi bakteri.
Dari uji tahap pertama diperoleh data rendemen pati garut, gadung, dan talas berturut-turut sebesar 13.72%, 13.58%, dan 8.97%. Daya cerna pati RS tipe IV pati garut, gadung, dan talas berturut-turut sebesar 19.57 %, 78.66 %, dan 52.25 %. Rendemen pati yang tinggi dan daya cerna pati yang rendah merupakan faktor yang mempengaruhi terpilihnya garut sebagai bahan untuk penelitian tahap selanjutnya.
Uji viabilitas dilakukan untuk mengetahui pengaruh jenis media, jenis RS, dan konsentrasi kultur BAL yang ditambahkan. Berdasarkan analisis statistik rancangan acak lengkap pada taraf nyata α = 0.05 dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan hasil pertumbuhan bakteri yang nyata diantara kedua jenis media yang digunakan. Pertumbuhan BAL pada media m-MRSB+RS lebih tinggi bila dibandingkan pada media s-RS, sedangkan ketiga jenis BAL tidak berbeda nyata.
Berdasarkan uji Duncan pada taraf nyata α = 0.05, diketahui bahwa jenis
RS tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada media yang sama. Akan tetapi,
pada media yang berbeda, RS menunjukkan perbedaan yang nyata. RS tipe III
tidak berbeda nyata dengan RS tipe IV pada media m-MRSB. RS tipe III juga
tidak berbeda nyata dengan RS tipe IV pada media s-RS. Akan tetapi, RS tipe IV pada media m-MRSB berbeda nyata dengan RS tipe III dan RS tipe IV pada media s-RS. Demikian juga RS tipe III pada media m-MRSB berbeda nyata dengan RS tipe III dan RS tipe IV pada media s-RS. Jenis RS yang paling baik untuk pertumbuhan bakteri pada media m-MRSB dan s-RS adalah RS tipe IV.
Perbedaan konsentrasi kultur mempengaruhi viabilitas BAL pada media s-RS3 dan media m-MRSB+RS3. Secara umum, semakin tinggi konsentrasi kultur yang ditambahkan pada media maka viabilitas BAL akan semakin tinggi juga.
Untuk analisis dietary fiber digunakan RS tipe IV garut dan untuk analisis SCFA digunakan hasil degradasi bakteri Lactobacilus plantarum sa28k pada media s-RS4. RS tipe IV garut dapat dikatakan sebagai pangan sumber serat karena memiliki serat pangan yang cukup tinggi, yaitu sebesar 8.11 gram/100gram. SCFA hasil degradasi RS tipe IV oleh Lactobacillus plantarum sa28k adalah asam asetat sebanyak 0.04 % (w/v), sedangkan asam format, propionat dan butirat tidak terdeteksi.
Kadar RS tertinggi terdapat pada RS tipe III garut (6.65%). Nilai densitas kamba RS tipe III (0.605 g/ml) dan RS tipe IV (0.669 g/ml) lebih rendah dari pati garut (0.752 g/ml). Nilai densitas padat RS tipe III (0.732 g/ml) dan RS tipe IV (0.921 g/ml) juga lebih rendah dari pati garut (0.976 g/ml). Pembuatan RS tipe IV dari pati garut tidak berpengaruh terhadap nilai derajat putih. Aktivitas air RS tipe III (0.36) lebih rendah dari RS tipe IV (0.42) dan pati garut (0.41). RS tipe III (12.96 %) mempunyai nilai kelarutan dalam air lebih tinggi dari RS tipe IV (9.98 %) dan pati garut (8.45 %). Kadar amilosa dari RS dan pati garut tidak banyak berbeda yaitu sekitar 26.82-30.32 %. RS tipe III (55.5
0C) mempunyai suhu awal gelatinisasi lebih rendah dari RS tipe IV (73.5
0C) dan pati garut (75
0C).
Namun, suhu puncak gelatinisasi RS tipe III (91.5
0C) lebih tinggi dari RS tipe IV
(84
0C) dan pati garut (81
0C). Viskositas RS tipe IV (2420 BU) lebih tinggi
dibandingkan dengan RS tipe III (700 BU) dan pati garut (1000 BU). Gula
pereduksi dari RS dan pati garut cukup rendah, yaitu sekitar 0.05 -0.27 %.
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Manginar Marsaulina Purba.
Penulis dilahirkan di Tarutung pada tanggal 30 Januari 1984.
Penulis adalah anak dari Bapak Soaloon Purba dan Ibu Rohani. Penulis menempuh pendidikan di SDN 5 Tarutung (1990-1996), SLTPN 2 Tarutung (1996-1999), dan SMUN 1 Tarutung (1999-2002).
Pada tahun 2002, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis diterima pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian,
penulis menyusun skripsi dengan judul “Resistant Starch Tipe III dan Tipe IV
Dari Pati Garut (Maranta arundinacea L), Gadung (Dioscorea hispida Dennst),
dan Talas (Colocasia esculenta (L) Schoot) Sebagai Prebiotik” di bawah
bimbingan Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS dan Antung Sima, STP.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur bagi Tuhan Yesus Kristus yang telah melimpahkan berkat, kasih dan kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana Teknologi Pertanian di Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini dibuat berdasarkan hasil penelitian di laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor pada bulan Juni 2006 - Desember 2006.
Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan baik moril maupun material berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie MS., selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan saran, motivasi, arahan, dukungan, dan bimbingan selama perkuliahan dan penelitian.
2. Ibu Antung Sima, STP, selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan saran, bimbingan dan semangat selama melakukan penelitian dan penyelesaian skripsi.
3. Ibu Ir. C.C. Nurwitri, DAA, atas kesediaannya menjadi dosen penguji serta bimbingan, bantuan dan semangat yang telah diberikan selama penulis melaksanakan penelitian.
4. Ibu Siti Nurjanah, STP, Msi., yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama melakukan penelitian.
5. Program Hibah Kompetisi B Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah mendanai penelitian ini.
6. Keluargaku tercinta, Bapak, Mama, Abang dan Kakak atas doa, cinta, kasih sayang, nasehat, dan motivasi tiada henti.
7. Ribka, Woro, dan Nanda. Terima kasih atas bantuan, semangat dan hari- hari kebersamaan, dan untuk kerjasama kita yang menyenangkan selama penelitian dan penyusunan skripsi.
8. Mbak Ari, Bapak Wahid, Bapak Yahya, Bapak Sobirin, Ibu Rubiyah,
Bapak Koko, Bapak Gatot, Bapak Rojak, Teh Ida, Mas Edi, dan Ibu Sari.
9. Eva, Oga, Inda, Mumus, Ica, Christ, Novi, dan Tina. Terimakasih untuk persahabatan yang kalian suguhkan. Kalian dapat membuat penulis merasa betah di ITP.
10. Sahabatku Riris (terimakasih untuk persahabatan yang tidak pernah berakhir), Irene, Fina, Intan, Ibeth, Krisna, Eri, dan Ruth. Kalian membuat hari-hari penulis menyenangkan.
11. Partaru terutama Ernest dan Mike yang banyak membantu penulis selama penelitian
12. Teman-teman di lab yang telah membantu penelitian : Randy, Ina, Aponk, Tukep, Bobby, Ulik, Izal, Dadik, Kiki, Bona, Risna, Eko, dan Herold.
13. Tintin, Ririn, dan Olga. Terima kasih untuk kerjasama kita selama ini.
14. Teman-teman di LA Priezta. Terimakasih segala bantuan dan hari-hari yang menyenangkan.
15. Teman-teman ITP 39.
16. Junharto yang selalu memberikan dukungan, semangat dan perhatian.
17. Semua pihak yang turut membantu hingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca. Semoga skripsi ini dapat bermanfat bagi seluruh pembaca.
Bogor, Januari 2007
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... .. i
DAFTAR ISI ... ... iii
DAFTAR TABEL ... ... v
DAFTAR GAMBAR ... .. vi
DAFTAR LAMPIRAN ... .. vii
I. PENDAHULUAN...1
A. LATAR BELAKANG... ..1
B. TUJUAN... 2
C. MANFAAT PENELITIAN... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA... .3
A. UMBI...4
1.Garut (Maranta arundinaceae L) ... 4
2. Gadung (Dioscorea hispida Dennst)...5
3. Talas (Colocasia esculenta (L) Schoot)...6
B. PATI...9
C. RESISTANT STARCH (RS)...10
D. PREBIOTIK...11
E. PROBIOTIK...12
1. Bifidobacterium bifidum ...13
2. Lactobacillus casei subspesies rhamnosus...12
3. Lactobacillus plantarum...14
III. BAHAN DAN METODE...15
A. BAHAN DAN ALAT... ...15
B. METODOLOGI PENELITIAN... 15
C. METODE ANALISIS... 19
D. PENGOLAHAN DATA... 26
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 27
A. SELEKSI UMBI...27
B. ANALISIS SIFAT FISIKOKIMIA DAN UJI PREBIOTIK
UMBI TERPILIH...31
1. Analisis Fisikokimia Umbi Terpilih... 31
2. Uji Prebiotik Secara in Vitro...40
C. ANALISIS SERAT PANGAN DAN ASAM LEMAK RANTAI PENDEK...43
1. Serat Pangan...44
2. Asam Lemak Rantai Pendek... 45
IV. KESIMPULAN DAN SARAN...47
A. KESIMPULAN...47
B. SARAN...48
DAFTAR PUSTAKA...49
LAMPIRAN...54
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Komposisi kimia umbi garut.... ………... 4 Tabel 2. Komposisi kimia umbi gadung...6 Tabel 3. Komposisi kimia talas per 100 gram bahan mentah...9 Tabel 4. Hasil analisis sifat fisikokimia pati, RS tipe III dan
RS tipe IV garut... 31
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Umbi Garut (Maranta arundinacea L)... 3
Gambar 2. Tanaman Garut (Maranta arundinacea L)... 3
Gambar 3. Umbi Gadung ((Dioscorea hispida Dennst)... 5
Gambar 4. Daun Gadung ((Dioscorea hispida Dennst)... 5
Gambar 5. Umbi Talas (Colocasia esculenta (L) Schoot)... 7
Gambar 6. Tanaman Talas (Colocasia esculenta (L) Schoot)... 7
Gambar 7. Diagram Alir Penelitian... 17
Gambar 8. Histogram Rendemen Pati Berbagai Jenis Umbi... 27
Gambar 9. Histogram Kadar Air Pati Berbagai Jenis Umbi... 28
Gambar 10. (a) Pati Garut, (b) RS Tipe III Garut dan (c) RS Tipe IV Garut... 28
Gambar 11. Histogram Daya Cerna RS Tipe IV 3 Jenis Umbi... 30
Gambar 12. Histogram Kadar RS Pati, RS Tipe III dan RS Tipe IV Umbi Garut... 32
Gambar 13. Histogram Densitas Kamba dan Densitas Padat Pati, RS Tipe III dan RS Tipe IV Garut. ...33
Gambar 14. Histogram Nilai Kelarutan RS Pati, RS Tipe III dan RS Tipe IV Umbi Garut ... 34
Gambar 15. Histogram Aktivitas Air (a
W) Pati, RS Tipe III dan RS Tipe IV Garut... 35
Gambar 16. Histogram Kadar Amilosa Pati, RS Tipe III dan RS Tipe IV Umbi Garut... 36
Gambar 17. Granula Pati dan RS... 39
Gambar 18. Viabilitas BAL pada berbagai media yang mengandung RS selama inkubasi 24 jam... 41
Gambar 19. Viabilitas BAL dalam media s-RS3 dan m-MRSB
+RS3 dengan konsentrasi kultur 5% dan 1%... 43
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Rekapitulasi Rendemen dan Kadar Air Pati Berbagai Jenis
Umbi- umbian...54
Lampiran 2. Rekapitulasi Hasil Daya cerna RS Tipe III dan RS Tipe IV Tiga Jenis Umbi...55
Lampiran 3. Rekapitulasi Hasil Daya Cerna Pati………...55
Lampiran 4. Rekapitulasi Hasil Analisis Kadar Amilosa...56
Lampiran 5. Rekapitulasi Hasil Analisis Fisik Pati, RS Tipe III dan RS Tipe IV Umbi Garut ...57
Lampiran 6. Hasil Uji Statistik (Menggunakan Program SAS)...58
Lampiran 7. Komposisi media m-MRSB...59
Lampiran 8 . Viabilitas BAL pada media s-RS...59
Lampiran 9. Viabilitas BAL pada media m-MRSB...59
Lampiran 10. Pengaruh Konsentrasi Kultur Terhadap Pertumbuhan BAL...60
Lampiran 11. Hasil Analisis Dietary Fiber RS4 Garut... 60
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Masalah yang timbul sebagai akibat semakin meningkatnya jumlah penduduk adalah bertambahnya kebutuhan akan bahan pangan. Masalah pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang penting di samping papan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Ketergantungan terhadap bahan pangan tertentu misalnya beras dan gandum dapat menyebabkan ketahanan pangan nasional menjadi rapuh. Masih banyak potensi sumber pangan yang belum dimanfaatkan secara optimal. Dengan memanfaatkan potensi sumber bahan pangan lokal seperti umbi-umbian, Indonesia dapat menciptakan ketahanan pangan yang tangguh.
Tanaman umbi-umbian seperti garut, talas dan gadung mempunyai potensi yang cukup baik untuk dikembangkan. Garut dapat dijadikan sebagai bahan pangan alternatif maupun penghasil pati untuk bahan baku industri. Saat ini, pengolahan garut umumnya memanfaatkan tepung yang dijadikan berbagai hasil olahan. Tepung garut dapat digunakan sebagai bahan makanan untuk membuat bubur, puding, biskuit, kue basah, kue kering, dan campuran cake. Selain itu, tepung garut juga digunakan dalam industri bedak dan lem (Anonim, 2006a). Pengolahan talas sebagian besar memanfaatkan umbi segar dengan teknik pengolahan yang masih sederhana, diantaranya diolah menjadi keripik, kolak, produk gorengan dan rebusan. Umbi gadung dimanfaatkan sebagai makanan ringan seperti keripik dan digunakan sebagai obat rematik dan kencing manis (Anonim, 2006b).
Peluang pengembangan garut, talas dan gadung sebagai bahan pangan
cukup besar. Peluangnya sebagai bahan makanan dapat diarahkan untuk
menunjang ketahanan pangan nasional melalui program diversifikasi pangan,
disamping peluangnya sebagai bahan baku industri yang memanfaatkan pati
sebagai bahan dasarnya. Selama ini, garut, gadung dan talas belum
dikembangkan secara optimal karena nilai jualnya yang rendah. Salah satu
upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan nilai tambah garut, talas dan
gadung adalah dengan membuat umbi-umbian tersebut menjadi resistant
starch (RS). Resistant starch (RS) adalah bagian dari pati yang tidak dapat dicerna oleh usus halus manusia yang sehat (Gonzales, et al., 2004). RS akan masuk ke usus besar dan difermentasi oleh mikroflora dalam usus, sehingga dapat menstimulir pertumbuhan bakteri baik, terutama Bifidobacteria dan Lactobacillus yang bermanfaat. Karena sifatnya ini, RS berpotensi sebagai prebiotik.
Sumber prebiotik yang sering digunakan adalah FOS (Fruktooligosakarida), GOS (Galaktooligosakarida) dan inulin. Apabila dikonsumsi terlalu banyak, sumber prebiotik komersial ini dapat menyebabkan konstipasi. Menurut Lehmann (2002), dibandingkan dengan FOS, RS memiliki beberapa keuntungan yaitu memiliki indeks glisemik yang rendah, tidak menyebabkan konstipasi, dan menurunkan kolesterol.
Suatu bahan pangan dengan kadar amilosa yang tinggi dapat dibuat menjadi RS. Garut, gadung dan talas memiliki kadar amilosa yang cukup tinggi sehingga dapat dibuat menjadi RS yang berpotensi sebagai prebiotik.
B. TUJUAN
Penelitian ini bertujuan mempelajari karakteristik RS tipe III dan tipe IV dari pati garut (Maranta arundinacea L), gadung (Dioscorea hispida Dennst) dan talas (Colocasia esculenta (L) Schoot) serta potensinya sebagai prebiotik.
C. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat penelitian ini adalah meningkatkan nilai tambah pati garut
(Maranta arundinacea L), gadung (Dioscorea hispida Dennst), dan talas
(Colocasia esculenta (L) Schoot) dalam bentuk Resistant Starch yang
diharapkan bersifat sebagai prebiotik dan sumber serat makanan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. UMBI
1. Garut (Maranta arundinacea L)
Garut berasal dari Amerika Selatan, khususnya daerah beriklim tropis, kemudian menyebar ke negara-negara tropis lainnya seperti Indonesia, India, Sri Lanka dan Filipina (Anonim, 2004a). Di berbagai daerah di Indonesia, garut dikenal dengan nama sagu banban (Batak), marus (Bali), dan patat sagu (Sunda). Dalam farmakologi Cina, garut dikenal dengan nama Cuk Yu (Anonim, 2003b).
Garut membutuhkan tanah yang gembur, tak mengandung pasir, dan dapat tumbuh subur baik pada ketinggian 500 meter sampai 1.500 meter (Anonim, 2003b). Tanah yang lembab dan tempat-tempat yang terlindung merupakan habitat yang terbaik untuk tanaman garut. Garut merupakan tanaman berumur panjang, usianya mencapai 7 tahun, dan dapat dipanen setiap tahun (Anonim, 2000a).
Gambar 1. Umbi Garut (Maranta arundinacea L)
Gambar 2. Tanaman Garut (Maranta arundinacea L)
Tanaman garut memiliki ketinggian 0,5 meter sampai 1 meter.
Daunnya berwarna hijau, di sisi bawah berambut halus, berbentuk jorong panjang dengan ujung yang meruncing. Bunga garut berbunga majemuk dan berwarna putih (Anonim, 2003b). Tanaman garut berakar serabut.
Rhizomanya mula-mula tampak berupa batang yang merayap, lalu menembus ke dalam tanah, dan membengkak menjadi suatu organ berdaging. Rhizoma garut memiliki sifat yang khas, yaitu melengkung seperti busur panah, berwarna putih, berdaging, dan terbungkus sisik-sisik yang saling menutupi. Panjangnya sekitar 20 - 40 cm dengan diameter 2 - 5 cm (Anonim, 2000).
Berdasarkan karakteristik umbinya, garut dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu garut Banana dan garut Creole. Menurut Villamajor dan Jurkema (1996), Creole mempunyai rimpang yang panjang dan langsing, lebih menyebar dan menembus ke dalam tanah, lebih berserat, tumbuh bergerombol dekat permukaan tanah, lebih mudah dipanen dan diolah untuk diambil patinya. Kultivar Banana mempunyai rimpang yang lebih pendek dan gemuk, tumbuh dengan tandan terbuka pada pemukaan tanah, sehingga lebih mudah dipanen. Umbi garut dibungkus dengan sisik-sisik yang membungkus secara teratur. Sisik-sisik berwarna putih sampai coklat pucat.
Greenwood (1956) menyatakan bahwa kadar amilosa dalam pati garut adalah 20.5%. Komposisi kimia umbi garut kultivar Creole dan Banana dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Kimia Umbi Garut Dalam 100 Gram Bahan*) Komposisi Kultivar
Creole Banana
Air (g) 69.1 72.0
Abu (g) 1.4 1.3
Lemak (g) 0.1 0.1
Serat (g) 1.3 0.6
Protein kasar (g) 1.0 2.2
Pati (g) 21.7 19.4
*)Sumber : Villamajor dan Jurkema (1996)
2. Gadung (Dioscorea hispida Dennst)
Umbi gadung berasal dari India. Gadung adalah sejenis tanaman umbi-umbian liar yang banyak tumbuh di wilayah tropis. Umbi gadung merupakan umbi dari tanaman menjalar yang termasuk dalam famili Dioscoreaceae. Gadung termasuk ke dalam kelas Monocotylodonae ordo Liliflorae (Lingga, 1995).
Gadung biasa tumbuh di hutan, dan semak belukar. Tanaman ini memiliki tinggi 5 - 10 meter. Batangnya kecil dan bulat, ditumbuhi bulu, dan duri yang tajam. Daunnya adalah daun majemuk yang terdiri dari tiga helai daun atau lebih, berbentuk jantung, dan berurat seperti jala. Bunga tumbuhan ini terletak pada ketiak daun, tersusun dalam bulir dan berbulu.
Pada pangkal batang tumbuhan gadung terdapat umbi yang besar dan kaku yang terletak di dalam tanah. Kulit umbi berwarna gading atau coklat muda dan daging umbinya berwarna kuning atau putih gading. (Anonim, 2002).
Tebal kulit gadung antara 0.15 cm sampai 0.3 cm dan diameternya antara 10 cm sampai 15 cm (Lingga, 1995).
Gambar 3. Umbi Gadung (Dioscorea hispida Dennst)
Gambar 4. Daun Gadung (Dioscorea hispida Dennst)
Umbi ini berbentuk bulat panjang dengan sisi yang sejajar atau melebar terhadap puncak, luasnya semakin menyempit di sekeliling alas.
Umbi yang sudah masak berwarna coklat atau kuning kecoklatan, dan berbulu halus .
Menurut Sutikno (1980), kadar amilosa pati gadung adalah sebesar 10.24%. Komposisi kimia umbi gadung dapat dilihat pada Tabel 2 (Wijandi, 1976).
Tabel 2. Komposisi Kimia Umbi Gadung*)
Komponen Persen (%)
Kadar air 78.0
Karbohidrat 18.0 Lemak 0.16 Protein 1.81 Serat kasar 0.93
Kadar abu 0.69
Diosgenin** 0.20-0.70 Dioscorin** 0.04 *) Sumber : Wijandi (1976)
**) Berdasarkan bobot kering
Gadung mengandung senyawa sianida dan alkaloid dioskorin yang bersifat racun yang secara alami terdapat dalam umbi. Gejala-gejala keracunan yang timbul akibat mengkonsumsi gadung malproses antara lain adalah adanya rasa tidak enak di kerongkongan yang kemudian dilanjutkan dengan pening, lemas dan muntah-muntah (Lingga, 1995).
3. Talas (Colocasia esculenta (L) Schoot)
Talas merupakan jenis umbi-umbian yang banyak terdapat di daerah
tropis dan subtropis. Talas berasal dari daerah Asia Tenggara, menyebar ke
Cina pada abad pertama, ke Jepang, ke daerah Asia Tenggara lainnya dan
beberapa pulau di Samudera Pasifik (Anonim, 2005).
Tumbuhan talas berupa herba bergetah dengan ketinggian mencapai 40 cm hingga 1.5 meter. Talas biasa tumbuh liar di pinggiran air sungai, rawa, tanah tandus, atau ditanam. Tumbuhan ini hidup baik di ketinggian 250 sampai 2000 meter di atas permukaan laut. Tumbuhan talas memiliki daun berjumlah 2 sampai 5 helai, bertangkai dan berwarna hijau, bergaris- garis hijau tua atau keungu-unguan. Bagian batang talas di bawah tanah berbentuk umbi. Curah hujan untuk pertumbuhan tanaman talas adalah 175 cm per tahun. Talas juga dapat tumbuh di dataran tinggi, pada tanah tadah hujan dan tumbuh sangat baik pada lahan yang bercurah hujan 2000 mm per tahun atau lebih. Selama pertumbuhan, tanaman talas menyukai tempat terbuka dengan penyinaran penuh serta tanaman ini mudah tumbuh pada lingkungan dengan suhu 25-30ºC dan kelembaban tinggi (Anonim, 2005).
Gambar 5. Umbi Talas (Colocasia esculenta (L) Schoot)
Gambar 6. Tanaman Talas (Colocasia esculenta (L) Schoot)
Umbi talas terletak di bagian bawah pokok batang talas. Umbi ini
dimanfaatkan sebagai bahan makanan. Umbi talas dapat mencapai berat
4 kg atau lebih dengan bentuk silinder atau bulat, berukuran 30x15 cm dan
warna kulit luar umumnya coklat (Anonim, 2004b).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hartati dan Prana (2003), kadar amilosa talas yang diuji pada 20 kultivar talas adalah berkisar antara 10.54 % - 21.44 %. Pada Tabel 3 dapat dilihat komposisi kimia talas per 100 gram bahan mentah.
Tabel 3. Komposisi Kimia Talas Per 100 Gram Bahan Mentah*)
Kandungan gizi Jumlah
Energi Kadar air Protein Lemak Serat
Total karbohidrat Abu
Ca P Fe K Na Karoten Thiamin Riboflavin Niacin
Asam askorbat
393 KJ 75.4%
2.2 g 0.4 g 0.8 g 21.0 g
1.0 g 34 mg 62 mg 1.2 mg 448 mg
10 mg 2.0 mg 0.12 mg 0.04 mg 1.0 mg 8.0 mg *) Sumber : FAO (1990)
Varietas talas yang ada di Bogor menjadi tiga kelompok yaitu : 1. Talas pandan, varietas ini mempunyai ciri berpohon pendek, bertangkai
daun agak keunguan, pangkal batang berwarna merah atau kemerahan dengan umbi lonjong berkulit coklat dan daging berwarna keunguan, seperti direbus berbau pandan.
2. Talas lampung, varietas ini mempunyai ciri daun dan pelepah daun
berwarna kuning keunguan, umbi berwarna kuning dan besar.
3. Talas sutera, varietas ini mempunyai ciri berdaun halus yang berwarna hijau muda, pelepah daun hijau dengan pangkal berwarna putih dan umbi berwarna putih yang rasanya enak (Anonim, 2004b).
B. PATI
Pati adalah salah satu dari jenis polisakarida yang disimpan sebagai cadangan makanan tumbuh-tumbuhan, yang terdapat dalam biji-bijian, batang maupun umbi-umbian. Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α- glikosidik. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas.
Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin.
Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa, sedang amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa sebanyak 4- 5% dari berat total. Pati dalam jaringan tanaman mempunyai bentuk granula (butir) yang berbeda-beda. Dengan mikroskop, jenis pati dapat dibedakan karena mempunyai bentuk, ukuran dan letak hilum yang unik (Winarno, 1997).
Pada daerah dimana rantai-rantai polimer tersusun secara teratur di dalam molekul pati dinyatakan sebagai daerah kristal. Diantara daerah-daerah teratur tersebut terdapat susunan rantai-rantai polimer tidak teratur yang disebut daerah amorf (Winarno,1997). Bentuk granula pati adalah semikristalin yang terdiri dari unit kristal dan unit amorf. Kira-kira 70% dari massa pati tersusun atas daerah amorf dan 30% sebagai daerah kristal. Daerah amorf mengandung sejumlah amilosa sebagai komponen utama, tetapi juga mengandung sejumlah amilopektin. Penyusun utama daerah kristalin adalah amilopektin (Belitz dan Grosch, 1999).
Apabila pati mentah dimasukkan ke dalam air dingin, granula patinya akan menyerap air dan membengkak. Granula pati dapat dibuat membengkak luar biasa, tetapi bersifat tidak dapat kembali lagi pada kondisi semula.
Perubahan tersebut disebut gelatinisasi (Winarno, 1997). Gelatinisasi membuat
molekul pati dapat sepenuhnya dicerna oleh enzim pencernaan. Pada umumnya
gelatinisasi terjadi pada suhu 40-120
0C tergantung dari asal tanaman dan kadar
amilosanya. Pada saat didinginkan, molekul-molekul amilosa berikatan
kembali satu sama lain serta berikatan dengan cabang amilopektin pada pinggir
luar granula. Dengan demikian, mereka menggabungkan butir pati yang membengkak itu menjadi semacam jaring-jaring membentuk mikrokristal dan membengkak. Proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi tersebut disebut retrogadasi (Winarno, 1997).
C. RESISTANT STARCH (RS)
Pati dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis berdasarkan tingkat daya cerna dari pati, yaitu Digestible Starch dan Resistant starch (RS) (Sajilata, 2006). Digestible Starch adalah pati yang dapat dicerna, mencakup Rapidly Digestible Starch (RDS) dan Slowly Digestible Starch (SDS). Rapidly Digestible Starch (RDS) adalah jenis pati yang dapat dihidrolisis secara sempurna oleh enzim amilase. Slowly Digestible Starch (SDS) dihidrolisis secara lambat.
Resistant starch (RS) adalah bagian dari pati yang tidak dapat dicerna di usus halus manusia yang sehat. Berdasarkan keberadaan pati secara alami dan keberadaannya dalam bahan pangan, RS dibagi menjadi 4 tipe. RS tipe I adalah jenis pati yang secara fisik terperangkap di dalam matriks sel, seperti pada polong-polongan. RS tipe II adalah granula pati yang secara alami tahan terhadap enzim pencernaan, contohnya pati pisang mentah dan pati kentang mentah. RS tipe III adalah pati hasil retrogradasi, terbentuk karena adanya pemanasan pada suhu tinggi yang dilanjutkan dengan pendinginan. RS tipe IV adalah pati yang dimodifikasi secara kimia (Gonzales, et al., 2004).
RS tipe III merupakan tipe pati resisten yang paling sering digunakan sebagai bahan baku pangan fungsional yang berbasis resistant starch. Pada pembentukan RS tipe III, granula pati mengalami gelatinisasi. Granula dirusak dengan pemanasan di dalam air berlebih. Amilosa dilepaskan dari granula ke dalam larutan. Gelatinisasi membuat molekul pati dapat sepenuhnya dicerna oleh enzim pencernaan. Saat pendinginan, rantai polimer terpisah sebagai double helix dan distabilkan oleh ikatan hidrogen (Wu dan Sarko, 1978).
Selama proses pendinginan, pati mengalami pembentukan kembali
strukturnya secara perlahan yang disebut dengan retrogradasi (Winarno,
1997). Selama retrogradasi, molekul pati kembali membentuk struktur
kompak yang distabilkan dengan adanya ikatan hidrogen. Struktur ini biasanya sangat stabil. Amilosa pati ini membentuk RS tipe III yang stabil terhadap panas, sangat kompleks, dan tahan enzim amilase.
Kandungan RS tipe III dalam makanan secara alami pada umumnya rendah. Jumlah RS tipe III dapat meningkat saat makanan dipanggang atau pada saat pengolahan makanan dalam produk pasta dan produk sereal. Akan tetapi cara seperti itu hanya meningkatkan kadar RS tipe III sampai maksimal 3%. Oleh karena itu, perlu dilakukan perlakuan khusus untuk meningkatkan kandungan RS tipe III, yaitu dengan cara debranching dan autoclaving.
RS tipe IV diperoleh dengan cara memodifikasi pati dengan ikatan silang, yaitu dengan mereaksikan pati dengan larutan Phosphorus oksiklorida (POCl
3) dalam kondisi basa. Reaksi ini akan membentuk jembatan antara rantai molekul sehingga didapatkan jaringan makromolekul yang baru.
Resistant starch (RS) tidak dapat dicerna di usus halus manusia yang sehat, sehingga RS akan mencapai kolon dan akan difermentasi oleh mikroflora. Setelah mencapai kolon, RS akan difermentasi oleh mikroflora usus dan menghasilkan asam lemak rantai pendek (Short chain fatty acid/SCFA) (Sajilata, 2006). Selama fermentasi, dibentuk SCFA seperti asam asetat, propionat dan butirat.
D. PREBIOTIK
Prebiotik merupakan bahan pangan yang tidak dapat dicerna yang
memberikan efek menguntungkan bagi inangnya dengan cara merangsang
pertumbuhan dan atau aktivitas dari satu atau beberapa bakteri di dalam kolon
sehingga dapat meningkatkan kesehatan inangnya (Fuller, 1997). Suatu bahan
pangan dapat diklasifikasikan sebagai prebiotik apabila memenuhi syarat
berikut : 1) tidak dihidrolisis atau diserap di bagian atas traktus gastrointestinal,
2) dapat menjadi substrat yang selektif untuk satu atau beberapa bakteri
potensial yang menguntungkan pada usus besar, 3) mampu meningkatkan
jumlah dan aktivitas flora yang mendukung kesehatan dan dapat menekan jenis
yang berbahaya dalam usus besar (Fuller, 1997).
Pada umumnya, prebiotik utama adalah oligosakarida, yaitu sejenis gula yang tidak dapat dicerna maupun diserap sampai mencapai usus besar.
Oligosakarida adalah gula yang terdiri dari 2-20 unit sakarida, atau disebut juga polisakarida rantai pendek. Secara alamiah oligosakarida terdapat pada buah dan sayur dan secara komersil dapat dihasilkan melalui proses hidrolisis polisakarida. Keberadaan oligosakarida dalam mikroflora usus berpotensial untuk meningkatkan jumlah Bifidobacteria dalam kolon (Fuller, 1997).
Para peneliti terdahulu menggolongkan oligosakarida sebagai antigizi, karena menimbulkan gas dalam perut atau flatulensi. Seiring dengan majunya perkembangan ilmu kimia dan biokimia pangan, senyawa oligosakarida tidak lagi dianggap sebagai antigizi. Senyawa ini kemudian dianggap berguna bagi tubuh, karena dapat menghambat pertumbuhan bakteri yang merugikan dalam usus. Oligosakarida memiliki sifat fungsional bagi kesehatan karena senyawa ini tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan manusia. Sifatnya menyerupai serat pangan, sehingga tidak dapat diserap dalam usus kecil yang pada gilirannya akan masuk ke usus besar. Selanjutnya senyawa ini akan difermentasi oleh bakteri-bakteri yang terdapat di usus besar dan untungnya bakteri jahat tidak menyukai zat gizi ini. Proses fermentasi akan mengubah komposisi flora usus. Bakteri yang menguntungkan yaitu Bifidobacteria dan Lactobacillus bertambah jumlahnya, sedangkan bakteri yang merugikan seperti Clostridium dan koliform ditekan pertumbuhannya (Sibuea, 2002).
E. PROBIOTIK
Bakteri yang terdapat dalam pencernaan dibagi dalam dua kelompok yaitu bakteri yang menguntungkan dan bakteri yang merugikan karena merusak dan menyebabkan penyakit pada sel-sel usus. Bakteri baik yang menguntungkan dikenal sebagai bakteri probiotik. Bakteri probiotik ini memiliki peran penting dalam menjaga kesehatan tubuh. Flora bakteri usus yang ideal adalah yang didominasi oleh bakteri yang menguntungkan seperti Bifidobacterium dan Lactobacillus.
a. Bifidobacterium bifidum
Bifidobakteria pertama kali ditemukan oleh Tissier tahun 1899 pada feses bayi yang diberi ASI. Telah diketahui pula bahwa bifidobakteria ternyata juga terdapat pada usus orang dewasa sampai orang tua, disamping pada bayi. Bifidobakteria adalah bakteri anaerobik, hidup pada suhu optimum 36ºC-38ºC dan pada pH 6.4-7.0. Bakteri ini memiliki efek bakteriostatik terhadap E.coli dan bakteri Gram negatif (Ballongue, 1993).
Bifidobacterium bifidum merupakan spesies bakteri asam laktat dari genus bifidobakteria. Pada awalnya dikenal dengan nama Bacillus bifidus, kemudian menjadi Lactobacillus bifidus dan akhirnya menjadi Bifidobacterium bifidum. Bakteri ini mampu menekan terjadinya kanker kolon. Bifidobacterium bifidum bersifat paling tahan terhadap cairan pencernaan. Bakteri ini dapat menaklukkan berbagai hambatan fisiologis seperti asam lambung dan cairan empedu sehingga dapat mencapai dan bertahan hidup dalam usus manusia. Di dalam usus, bakteri ini membantu meningkatkan kesehatan dengan cara mengaktifkan sel-sel kekebalan, meningkatkan jumlah bakteri berguna, dan mengurangi jumlah bakteri yang merugikan.
b. Lactobacillus casei subspesies rhamnosus
Lactobacillus casei adalah bakteri Gram positif, bersifat anaerobik fakultatif, non motil, tidak membentuk spora, berbentuk batang dan merupakan anggota bakteri asam laktat yang banyak digunakan dalam industri. Lactobacillus casei subspesies rhamnosus ternyata efektif untuk mengatasi beberapa bentuk diare pada manusia, termasuk diare akut pada anak-anak. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Lactobacillus casei subspesies rhamnosus dapat menurunkan kolonisasi bakteri patogenik.
Selain itu, Lactobacillus casei subspesies rhamnosus juga mampu meningkatkan kemampuan sel darah putih untuk menelan dan membunuh bakteri berbahaya secara lebih efektif (Anonim, 2000b).
c. Lactobacillus plantarum
Lactobacillus plantarum merupakan bakteri asam laktat dari famili Lactobacillaceae. Bakteri ini berbentuk batang dan pada umumnya berukuran tunggal atau membentuk rantai pendek. Lactobacillus plantarum adalah salah satu jenis bakteri asam laktat dan termasuk dalam :
Famili : Lactobacillaceae Genus : Lactobacillus Sub genus : Streptobacterium
Pembentukan asam yang cepat dalam jumlah yang tinggi oleh aktivitas starter Lactobacillus plantarum baik dalam bentuk tunggal maupun campuran dengan bakteri asam laktat lain, telah diketahui dapat menyebabkan bakteri perusak dan bakteri patogen terhambat pertumbuhannya atau bahkan tidak dapat bertahan hidup.
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah garut (Maranta arundinacea L), gadung (Dioscorea hispida Dennst), dan talas (Colocasia esculenta (L) Schoot). Garut yang digunakan diperoleh dari Balai Penelitian Bioteknologi dan Genetika, Cimanggu, Bogor. Sedangkan talas dan gadung diperoleh dari pasar tradisional di daerah Bogor. Bakteri yang digunakan terdiri dari Lactobacillus casei subspesies rhamnosus, Bifidobacterium bifidum dan Lactobacillus plantarum sa28k. Lactobacillus casei subspesies rhamnosus dan Bifidobacterium bifidum yang digunakan diperoleh dari Universitas Gadjah Mada. Sedangkan Lactobacillus plantarum sa28k diperoleh dari Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor.
Bahan-bahan lain yang digunakan adalah akuades, NaOH, POCl
3, HCl, HClO
40.36 M, asam iso butirat, enzim α-amilase (heat stable), enzim pepsin, enzim pankreatin, enzim amyloglucosidase, bufer fosfat, natrium dodesilsulfat, etanol, aseton, buffer Na-Fosfat 0.1M, buffer Na-Fosfat 0.05M, 3,5-dinitrosalisilat, Na-K-tartarat, NaCl, CaCO
3,MRS (de Mann Rogosa Sharpe) Agar dan Broth, proteose pepton, yeast extract, amonium sitrat, natrium asetat, magnesium sulfat, manganase sulfat, dikalium fosfat, tween 80, dan bacto agar.
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah gelas ukur, erlenmeyer, cawan petri, gelas piala, gelas pengaduk, pipet Mohr, mikropipet, tip, sudip, fial magnetic stirer, manik-manik, pisau, slicer, ember, kain saring, talenan, vortex, mortar, blender basah, blender kering, neraca analitik, pH meter, hot plate, water bath, whiteness meter, brabender unit, HPLC, otoklaf, sentrifuse, spektrofotometer, anoxomat, anaerobic jar, inkubator, oven, oven vakum, freezer, freeze dryer, dan lemari pendingin.
B. METODE PENELITIAN
Tahap-tahap penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 7, meliputi: (1) Seleksi umbi, (2) Seleksi RS dan seleksi BAL dan (3) Analisis dietary fiber dan SCFA.
SELEKSI UMBI
Umbi (garut, gadung, talas)
Ekstraksi Pati
Pembuatan RS
RS tipe III dan tipe IV
Uji rendemen dan daya cerna
Jenis umbi terpilih
SELEKSI RS DAN BAL
Lactobacillus casei subspesies rhamnosus, Lactobacillus plantarum sa28k, dan Bifidobacterium bifidum
Inokulasi 1% dan 5%
@
@
m-MRSB + RS s-RS
Inkubasi (24 jam, 37
0C)
Analisis fisikokimia:
• Kadar RS • a
w• Densitas kamba dan densitas padat • Kadar amilosa
• Kelarutan dalam air • Uji amilograf
• Derajat putih • Gula pereduksi
Jenis RS dan BAL terpilih
ANALISIS RS DAN BAL TERPILIH
Analisis Dietar fiber dan SCFA
Gambar 7. Diagram Alir Penelitian
1. Ekstraksi Pati dari Umbi
Umbi garut, gadung dan talas diekstraksi patinya dengan cara : umbi dikupas, dicuci, dipotong kecil, diekstraksi dengan air (umbi : air = 1 : 4), diendapkan, disaring, dikeringkan dengan oven (suhu 40
oC), dan diblender.
2. Pembuatan Resistant Starch Tipe III (Metode Lehmann, 2002)
Pati disuspensikan dalam air (20% w/w), di-autoklaf selama 30 menit pada
suhu 121
oC, dididinginkan dan disimpan pada suhu 4
oC selama 24 jam,
kemudian dikeringkan dengan freeze dryer.
3. Pembuatan Resistant Starch Tipe IV
Sebanyak 100 gram pati dilarutkan dalam 150 ml akuades, diatur pH sampai 10.5 dengan NaOH 5% sambil diaduk dengan kuat. Selanjutnya ditambah dengan POCl
30.2% dari berat tepung, diinkubasi pada environmental orbital shaker (T = 40
oC, kecepatan putaran 200 rpm, selama 2 jam).
Kemudian diatur pH-nya sampai 5.5 menggunakan HCl dan disaring dengan penyaring vakum. Endapan pati yang diperoleh dicuci dengan air 150 ml sebanyak 5 kali. Selanjutnya, pati dikeringkan menggunakan oven vakum (50
oC, 24 jam), digiling dan diayak.
4. Uji Prebiotik secara in vitro
a. Perhitungan jumlah BAL awal (Fardiaz, 1989)
BAL dibuka dari ampul dan disegarkan ke dalam 10 ml MRSB, kemudian dimasukkan ke dalam inkubator 37
0C selama 48 jam. Setelah 48 jam, BAL tersebut kembali disegarkan dengan mengambil 1 ml dari tabung MRSB lama ke tabung berisi MRSB baru. MRSB itu kemudian diinkubasi kembali selama 48 jam pada suhu 37
0C.
Metode ini dilakukan untuk setiap BAL (Lactobacillus casei subsp.
Rhamnosus, Lactobacillus plantarum, dan Bifidobacterium bifidum) yang digunakan. Untuk Bifidobacterium bifidum penanganannya sedikit berbeda karena bakteri ini hidup secara anaerobik. Maka, inkubasi dilakukan menggunakan alat Anoxomat.
b. Uji viabilitas BAL
1. Persiapan uji viabilitas BAL
Sebanyak 1 ml BAL dipindahkan ke dalam MRSB. Kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37
0C. Kemudian 1 ml BAL yang berumur 1 hari tersebut dipipet dan dimasukkan ke dalam larutan pengencer NaCl 0.85% 10 ml. Setelah divorteks, didapatkan pengenceran 10
-1. Selanjutnya dibuat pengenceran sampai 10
-7dengan cara yang sama.
Pemupukan dilakukan pada pengenceran 10
-5-10
-8dengan menggunakan
media MRSA dalam cawan petri. Cawan petri diinkubasi pada suhu 37
0C
dalam posisi terbalik. Pemupukan dilakukan duplo setiap pengenceran.
Perhitungan koloni dilakukan setelah 48 jam berdasarkan metode ISO (Harrigan, 1998) dan dinyatakan dalam CFU/ml.
N = ____∑ c____
(n
1+ 0.1 n
2) x d N : Jumlah mikroba (CFU/ml)
∑c : Jumlah koloni dari semua cawan pada 2 tingkat pengenceran yang terdapat 25-250 koloni
n
1: Jumlah cawan pada pengenceran pertama (25-250 koloni) n
2: Jumlah cawan pada pengenceran kedua (25-250 koloni) d : Pengenceran pertama (25-250 koloni)
2. Viabilitas BAL
Disiapkan RS steril, air steril masing-masing 50 ml/sampel dan MRSB steril tanpa dekstrosa (MRSB racikan) masing-masing 50ml/sampel. Sebanyak 2.5 ml BAL yang berumur 1 hari dipipet dan dimasukkan ke dalam campuran larutan 50 ml MRSB racikan + 2.5% RS dan larutan 50 ml air steril + 2.5% RS. Larutan ini kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37
0C.
Setelah inkubasi 24 jam, 1 ml larutan dipipet dan dimasukkan ke dalam larutan pengencer NaCl 0.85% 10 ml dan divortex untuk memperoleh pengenceran 10
-1. Selanjutnya dibuat pengenceran sampai 10
-7dengan cara yang sama. Pemupukan dilakukan pada pengenceran 10
-5
-10
-8dengan menggunakan media MRSA dalam cawan petri. Cawan petri selanjutnya diinkubasi pada suhu 37
0C dalam posisi terbalik. Pemupukan dilakukan duplo setiap pengenceran. Perhitungan koloni dilakukan setelah 48 jam berdasarkan metode ISO (Harrigan, 1998) dan dinyatakan dalam CFU/ml.
C. METODE ANALISIS
a. Analisis kadar air (AOAC, 1984)
Cawan kosong dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan
dinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Timbang dengan
cepat kurang lebih 5 gram sampel yang sudah dihomogenkan dalam cawan. Tempatkan cawan ke dalam oven selama 6 jam. Untuk
produk yang tidak mengalami dekomposisi dengan pengeringan yang lama, dapat dikeringkan selama 1 malam (16 jam). Pindahkan cawan ke desikator, lalu dinginkan. Setelah dingin timbang kembali.
Keringkan kembali ke dalam oven sampai diperoleh bobot yang tetap.
% Kadar air (dry basis) = W
3x 100 W
2% Kadar air (wet basis) = W
3x 100 W
1Keterangan: W
1: Bobot sampel sebelum dikeringkan (g) W
2: Bobot sampel setelah dikeringkan (g) W
3: W
2-W
1b. Rendemen pati
Pengukuran rendemen pati dihitung berdasarkan perbandingan berat pati yang diperoleh terhadap berat umbi tanpa kulit yang dinyatakan dalam persen (%).
Rendemen (%) = b × 100%
a Keterangan:
a = berat umbi tanpa kulit (g) b = berat pati yang diperoleh (g)
c. Daya cerna pati in vitro (Muchtadi et al.,1992)
Enzim α-amilase dilarutkan di dalam buffer Na-fosfat 0.05 M pH 7.
Pereaksi dinitrosalisilat dibuat dengan melarutkan 1 gram 3,5-dinitrosalisilat,
30 gram Na-K tartarat dan 1,6 gram NaOH dalam 100 ml aquades. Larutan
maltosa standar yang digunakan adalah 0-10 mg masing-masing dalam 10
ml aquades.
Sampel dibuat suspensi dalam aquades (1%), kemudian dipanaskan dalam penangas air selama 30 menit pada suhu 90°C kemudian didinginkan.
Sebanyak 2 ml sampel dalam tabung ditambahkan 3 ml aquades dan 5 ml buffer Na-fosfat 0.1 M, pH 7. Lalu diinkubasikan pada suhu 37°C selama 15 menit. Selanjutnya ditambahkan larutan enzim α-amilase dan diinkubasi lagi pada suhu 37°C selama 30 menit.
Sebanyak 1 ml sampel dipipet ke dalam tabung reaksi lain, ditambah 2 ml pereaksi dinitrosalisilat. Lalu dipanaskan pada suhu 100°C selama 10 menit. Warna merah oranye yang terbentuk diukur absorbansinya pada panjang gelombang 520 nm. Kadar maltosa campuran reaksi dihitung dengan menggunakan kurva standar maltosa murni yang diperoleh dengan mereaksikan larutan maltosa standar dengan pereaksi dinitrosalisilat menggunakan prosedur seperti di atas. Blanko dibuat untuk menghitung kadar maltosa awal (bukan hasil hidrolisis enzim). Prosedur pembuatan blanko sama seperti prosedur untuk sampel hanya saja tanpa sampel dan tidak ditambahkan larutan enzim α-amilase. Sebagai gantinya untuk blanko diganti buffer Na-fosfat 0.1 M pH 7.
%DC pati = (kadar maltosa sampel-kadar maltosa blanko sampel) x100%
(kadar maltosa pati murni-kadar maltosa blanko pati murni)
c. Pengukuran kadar RS (Kim et al., 2003)
Sebanyak 0,5 gram pati didispersikan ke dalam 25 ml bufer fosfat
(0.08M, pH 6), ditambahkan 0.05 ml heat stable alfa-amilase. Gelas piala
ditutup dengan alufo dimasukkan ke dalam penangas air dengan suhu
95°C selama 15 menit, diagitasi setiap 5 menit, lalu didinginkan di suhu
ruang. Kemudian ditambahkan 5 ml NaOH (0.275N) dan 0.05 ml protease
(50 mg/ml larutan protease dalam bufer fosfat). Campuran dimasukkan ke
dalam penangas air ber-shaker dengan suhu 60°C selama 30 menit, lalu
didinginkan di suhu ruang. Kemudian 5 ml HCl (0.325 N) ditambahkan
sehingga pH menjadi 4.3. Selanjutnya 0.06 ml enzim amyloglukosidase
ditambahkan dimasukkan ke penangas air ber-shaker pada suhu 60°C
selama 30 menit. Ethanol 95% ditambahkan dan campuran dibiarkan di
suhu ruang semalaman. Endapan disaring dengan kertas saring. Residu yang larut dicuci dengan 20 ml etanol 78% (3 kali), 10 ml etanol murni (2 kali) dan 10 ml aseton (2 kali). Residu dikeringkan dalam oven pada suhu 40°C.
Resistant starch (%) = berat residu yang tidak larut (g) x 100 Berat sampel (g)
e. Densitas kamba (Khalil, 1999)
Densitas kamba diukur dengan cara memasukkan sampel ke dalam gelas ukur sampai volume tertentu tanpa dipadatkan, kemudian berat ditimbang. Densitas kamba dihitung dengan cara membagi sampel dengan volume ruang yang ditempati. Densitas kamba dinyatakan dalam satuan g/ml.
f. Densitas padat (Khalil, 1999)
Densitas padat diukur dengan cara memasukkan sampel ke dalam gelas ukur dan dipadatkan sampai volumenya konstan, kemudian berat sampel ditimbang. Densitas padat dihitung dengan cara membagi berat sampel dengan volume ruang yang ditempati. Densitas padat dinyatakan dalam satuan g/ml.
g. Kelarutan dalam air (Sathe dan Salunkhe, 1981 dalam Muchtadi dan Sumartha, 1992)
Sejumlah 0.75 gram sampel dilarutkan dalam 150 ml air, kemudian disaring menggunakan corong buchner dan pompa vakum. Sebelumnya kertas saring dikeringkan terlebih dahulu dalam oven 100ºC selama 30 menit dan ditimbang (berat sudah diketahui). Kertas saring dan endapan yang tertinggal pada kertas saring dikeringkan dalam oven 100ºC selama 3 jam (sampai mencapai berat yang konstan), didinginkan dalam desikator, dan ditimbang.
Kelarutan (%) 100 %
a c) - (b -
a ×
= Keterangan:
a = berat kering sampel (gram)
b = berat endapan dan kertas saring (gram)
c = berat kertas saring (gram)
h. Amilograf
Uji amilograf bertujuan untuk mengetahui suhu gelatinisasi RS tipe III dan RS tipe IV. Sebanyak 45 gram sampel (100 mesh) dilarutkan dengan 450 ml air destilata, kemudian dimasukkan ke dalam bowl. Lengan sensor dipasang dan dimasukkan ke dalam bowl dengan cara menurunkan head amilograf. Suhu awal termoregulator diatur pada suhu 20°C atau 25°C. Switch pengatur diletakkan pada posisi bawah sehingga jika mesin dihidupkan suhu akan meningkat 1.5°C setiap menit.
Mesin amilograf dihidupkan. Begitu suspensi mencapai suhu 30°C, pena pencatat diatur pada skala kertas amilogram. Setelah pasta mencapai suhu 95°C, mesin dimatikan. Parameter analisis amilograf terdiri dari:
1. Suhu awal gelatinisasi, yaitu suhu pada saat kurva mulai naik 2. Suhu pada puncak gelatinisasi, yaitu suhu pada saat nilai
maksimum viskositas dapat dicapai
3. Viskositas maksimum pada puncak gelatinisasi dinyatakan dalam Brabender Unit.
i. Derajat putih
Pengukuran untuk warna RS dan pati alami dilakukan dengan menggunakan alat whiteness meter “Kett Electric Laboratory C-100-3”.
Sampel pati dimasukkan ke dalam tempat sampel sehingga lensanya benar-benar tertutup. Kemudian diletakkan pada kotak penganalisa alat.
Selanjutnya dengan cara menekan tombol penunjuk maka persentase derajat keputihan akan terlihat pada jarum penunjuk.
j. Aktivitas air (a
w)
Pengukuran aktivitas air (a
w) dilakukan dengan menggunakan alat
a
wmeter ”Shibaura a
wmeter WA-360”. Alat dikalibrasi dengan NaCl
jenuh yang memiliki nilai a
w0.7547;0.7529 dan 0.7509 yang berturut-turut
pada suhu 20,25 dan 29
0C dengan cara memasukkan NaCl jenuh tersebut dalam wadah a
wmeter. Nilai a
wdapat dibaca setelah ada tulisan
“completed” di layar.Bila a
wyang terbaca tidak tepat 0.750 maka bagian switch diputar sampai mencapai tepat 0.750. Pengukuran a
wsampel dilakukan dengan cara yang sama dengan kalibrasi alat yaitu sampel dimasukkan dalam wadah a
wmeter. Nilai a
wdan suhu pengukuran akan terbaca setelah ada tulisan “completed” di layar.
k. Kadar amilosa (Metode Juliano, 1971 yang dimodifikasi di dalam Nisviaty, 2006)
Pembuatan kurva standar
Amilosa murni ditimbang sebanyak 40 mg kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditambahkan dengan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N lalu didiamkan selama 24 jam dan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades. Selanjutnya larutan tersebut dipipet masing- masing sebanyak 1, 2, 3, 4, dan 5 ml lalu dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Ke dalam masing-masing labu takar tersebut ditambahkan asam asetat 1 N sebanyak masing-masing 0.2; 0.4; 0.6; 0.8 dan 1 ml, lalu ditambahkan larutan iod sebanyak 2 ml. Setelah itu, larutan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades, dikocok, lalu didiamkan selama 20 menit, dan diukur intensitas warna yang terbentuk dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm.
Penetapan sampel
Sebanyak 100 mg sampel (tanpa lemak) dimasukkan ke dalam
labu takar 100 ml, dan ditambahkan dengan 1 ml etanol 95% dan 9 ml
NaOH 1 N lalu didiamkan selama 24 jam dan ditepatkan sampai tanda
tera dengan akuades. Pipet 5 ml larutan tersebut, lalu dimasukkan ke
dalam labu takar 100 ml, dan ditambahkan 1 ml asam asetat 1 N dan 2 ml
larutan iod. Setelah itu, larutan ditepatkan sampai tanda tera dengan
akuades, dikocok, lalu didiamkan selama 20 menit, dan diukur intensitas
warna yang terbentuk dengan spektrofotometer pada panjang gelombang
620 nm. Kadar amilosa dihitung dengan persamaan:
Kadar amilosa (%) 100 % W
FP S
A × ×
=
Keterangan:
A = absorbansi sampel FP = faktor pengenceran, yaitu 20 S = slope atau kemiringan kurva W = berat sampel (gram)
l. Analisis Serat Pangan (Dietary Fiber) (Hellendoorn, et al., 1975)
Sejumlah sampel yang akan dianalisis dihancurkan dengan blender.
Kemudian ditambahkan beberapa tetes isoamil alkohol dan kristal timol.
Suspensi yang diperoleh dijadikan 1 liter. Sebanyak 50 ml dari suspensi tersebut (mengandung tidak lebih dari 1 gram pati) dipipet ke dalam gelas piala 250 ml, lalu tambahkan 50 ml HCl 0.2 N dan 100 mg pepsin. Setelah diaduk dengan rata, campuran tersebut diinkubasikan pada suhu 40°C selama 18 jam. Setelah pencernan pepsin, campuran dinetralkan dengan larutan NaOH 4 N dan 50 ml larutan bufer pH 6.8. Kemudian ditambahkan 100 mg pankreatin dan 300 mg natrium dodesilsulfat. Campuran diinkubasikan pada suhu 40°C selama 1 jam sambil diaduk. Setelah pencernaan, campuran tersebut diasamkan dengan HCl 4 N sampai mencapai pH 4-5. Suspensi kemudian disentrifusi selama 30 menit.
Supernatan disaring dengan filter gelas 1-G-3 yang berisi pasir setebal 15 mm. Endapan dicuci dengan air destilata dan disentrifusi kembali. Cuci residu yang diperoleh dan disaring dengan filter gelas 1-G-3. Bilas tiga kali dengan air dan tiga kali dengan aseton. Filter gelas yang mengandung residu dikeringkan pada suhu 105°C semalam. Berat residu kering menyatakan kandungan serat makanan dari sampel.
m. Analisis Asam Lemak Rantai Pendek (SCFA) (In House Method, 2006) Sampel dalam bentuk cair (hasil degradasi bakteri Lactobacillus plantarum sa28k pada media s-RS4) disaring dengan membran filter.
Kemudian sampel diinjeksikan sebanyak 10 μl ke HPLC dengan kondisi fase
gerak H
2SO
40.01 N, flow 0.5 ml/menit, kolom (organic couloum), suhu
oven 50°C, detector UV 210 nm. Standar yang digunakan adalah asam
format (0.236 %), asam asetat (0.257 %), asam propionat (0.3254 %) dan asam butirat (0.2139 %).
[SCFA] = Area sampel x [Standar]
Area standar
D. PENGOLAHAN DATA
Pengaruh jenis media dan jenis RS terhadap pertumbuhan bakteri
dapat diketahui dengan menggunakan rancangan percobaan acak lengkap
(RAL) faktorial. Program yang digunakan yaitu program SAS (Statistical
Analysis System), metode ANOVA (Analysis of Variance) dan uji lanjut
Duncan pada selang kepercayaan 95 %.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. SELEKSI UMBI
Umbi yang digunakan dalam penelitian ini ada 3 jenis, yaitu garut (Maranta arundinacea L), gadung (Dioscorea hispida Dennst), dan talas Colocasia esculenta (L) Schoot). Tujuan dari seleksi ini adalah untuk memperoleh satu jenis umbi yang berpotensi sebagai prebiotik dengan cara membuat pati umbi tersebut menjadi Resistant Starch (RS). Penyeleksian jenis umbi didasarkan pada rendemen pati dan daya cerna RS. Umbi yang memiliki rendemen pati paling tinggi dan daya cerna RS yang paling rendah dipilih untuk diteliti pada tahap selanjutnya.
1. Rendemen dan Kadar Air Pati
13.72 13.58
8.97
0 2 4 6 8 10 12 14 16
Garut Gadung Talas
Umbi
Rendemen (%)
Gambar 8. Rendemen Pati Tiga Jenis Umbi
Ketiga jenis umbi diekstraksi patinya dengan metode ekstraksi
basah. Rendemen pati hasil ekstraksi ketiga jenis umbi dapat dilihat pada
Gambar 8. Rendemen pati garut, gadung, dan talas berturut-turut sebesar
13.72 %, 13.58 %, dan 8.97 %. Pengukuran rendemen pati dihitung
berdasarkan perbandingan berat pati yang diperoleh terhadap berat umbi tanpa kulit yang dinyatakan dalam persen (%). Rendemen pati yang paling tinggi adalah garut, yaitu sebesar 13.72 %. Rendemen pati yang tinggi memberi keuntungan karena dapat mengurangi biaya untuk pembelian bahan baku, efisiensi waktu pembuatan pati, mengurangi energi, dan mengurangi limbah.
Selain rendemen, dilakukan juga analisa terhadap kadar air pati ketiga jenis umbi. Perbandingan kadar air pati ketiga jenis umbi dapat dilihat pada Gambar 9.
10.47
3.59 6.73
0 2 4 6 8 10 12
Garut Gadung Talas
Jenis Pati
Kadar air (%berat basah)