• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAHAN DAN METODA

3.1. Deskripsi Setiap Stasiun Pengamatan a. Stasiun I

Lokasi ini berada pada daerah yang alamiah dimana kegiatan manusia pada daerah ini tidak ada, tidak terdapat pemukiman dan dikelilingi oleh perbukitan yang ditumbuhi oleh pepohonan. Stasiun ini secara geografis terletak pada titik 03041’49,8” LU dan 98004’06,5” BT. Pada lokasi daerah ini merupakan lokasi kontrol. Denah lokasi penelitian dapat dilihat pada lampiran B.

b. Stasiun II

Stasiun ini secara geografis terletak pada titik 03041’43,3” LU dan 98004’11,7” BT. Pada lokasi ini merupakan lokasi pemandian gajah dan camping ground. Denah lokasi penelitian dapat dilihat pada lampiran B.

c. Stasiun III

Stasiun ini secara geografis terletak pada titik 03041’08,0” LU dan 98004’31,0” BT. Pada lokasi ini berdekatan dengan pemukiman penduduk dengan daerah permandian untuk wisata. Denah lokasi penelitian dapat dilihat pada lampiran B.

d. Stasiun IV

Stasiun ini secara geografis terletak pada titik 03040’53.3” LU dan 98004’56,5” BT. Pada lokasi ini merupakan lokasi aktifitas masyarakat setempat

antara lain mandi, cuci dan kakus (MCK). Denah lokasi penelitian dapat dilihat pada lampiran B.

3.2. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2010 sampai Mei 2010 di empat stasiun pengamatan yang berbeda di Sungai Batang Serangan Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

3.3. Metoda Penelitian

Berdasarkan rona lingkungan yang ada ditetapkan 4 stasiun pengamatan yang berbeda. Perairan ini banyak digunakan untuk berbagai aktivitas masyarakat antara lain : Pemandian Gajah, pariwisata, mandi dan cuci masyarakat setempat. Penentuan Lokasi penelitian dilakukan dengan menggunakan metode “Purpossive Random Sampling” Yaitu dengan menentukan 4 stasiun pengamatan. Pada setiap stasiun dilakukan 5 kali ulangan.

3.4. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam Penelitian ini antara lain adalah mikroskop, haemocytometer, pH meter, thermometer, keping sechii, jaring plankton no 25, pipet tetes, erlenmeyer 125 ml, ember 5 liter, botol film, aluminium foil, termos es, tali plastik, plastik 5 kg, lakban, kertas label, pensil, spidol, botol alkohol dan GPS.

Sedangkan bahan yang digunakan adalah MnSO4, KOH-KI, H2SO4, Na2S2O3, alkohol, amilum dan lugol.

3.5. Pengambilan Sampel Plankton

Pengambilan sampel plankton dilakukan dengan menggunakan plankton net. Pada pengambilan sampel air diupayakan di ambil dari air yang tidak berarus deras. Sampel air diambil pada masing-masing stasiun dengan menggunakan ember sebanyak 25 L, masing- masing stasiun dengan 5 kali ulangan dan sampel plankton yang diambil pada interval waktu pukul 06.00 WIB, 09.00 WIB, 12.00 WIB, 15.00 WIB, 18.00 WIB. Sampel air yang diperoleh disaring dengan plankton net yang dilengkapi dengan botol penampung (bucket). Sampel air yang tersisa didalam bucket dipindahkan dalam botol Film yang ditetesi dengan larutan lugol 10% sebanyak 3 tetes sebagai pengawet. Selanjutnya sampel air kemudian dibawa ke Laboratorium Ekologi Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan alam untuk diidentifikasi jenisnya dan dihitung indeks keanekaragaman dan indeks keseragamannya.

3.6. Pengukuran Parameter Fisik Kimia Perairan. a. Temperatur Air

Temperatur air (0C) diukur dengan termometer merkuri, yakni dengan cara mencelupkan termometer ke dalam sampel air ±10 menit lalu dibaca skala suhunya dan dicatat.

b. Penetrasi Cahaya

Untuk pengukuran penetrasi cahaya menggunakan keping sechii. Keping sechii dimasukkan kedalam sungai sampai pada batas keping sechii tersebut tidak kelihatan, kemudian diukur panjang talinya

c. pH Air

Untuk pengukuran pH air dilakukan dengan menggunakan pH meter. Diambil satu ember dari sampel air kemudian dimasukkan pH meter kedalamnya. Lalu dibaca nilainya dan dicatat.

d. Intensitas Cahaya

Intensitas cahaya matahari diukur dengan menggunakan Lux meter. Menurut Nybakken (1988) fotosintesis hanya dapat berlangsung bila intensitas cahaya yang sampai ke suatu sel alga lebih besar daripada suatu intensitas tertentu. Cahaya matahari dibutuhkan oleh tumbuhan air (fitoplankton) untuk proses assimilasi. Besar nilai penetrasi cahaya ini dapat diidentikkan dengan kedalaman air yang memungkinkan masih berlangsungnya proses fotosintesis. Nilai penetrasi cahaya sangat dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, kekeruhan air serta kepadatan plankton suatu perairan.

e. BOD5

Untuk pengukuran BOD5 dilakukan dengan menggunakan reagen-reagen kimia yaitu MnSO4, KOHKI, H2SO4, Na2S2O3, dan amilum. Sampel yang diambil dari setiap kedalaman dimasukkan kedalam botol alkohol kemudian dibawa kelaboratorium. Diinkubasi pada suhu 20 oC selama 5 hari. Setelah itu dilakukan pengukuran oksigen terlarut. Alur kerja BOD5 dapat dilihat pada lampiran E

f. COD (Chemical Oxygen Demand)

COD (Chemical Oxygen Demand) merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan dalam proses oksidasi kimia yang dinyatakan dalam O2 / l. Dengan mengukur nilai COD maka akan diperoleh nilai yang menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk proses oksidasi terhadap total senyawa organik baik yang mudah diuraikan secara biologis maupun terhadap yang sukar atau tidak bisa diuraikan secara biologis (Barus, 2004),( Lampiran H).

g. DO (Oksigen terlarut)

Untuk pengukuran DO dilakukan dengan metode winkler dengan menggunakan reagen-reagen kimia yaitu MnSO4, KOHKI, H2SO4, Na2S2O3, dan amilum. Alur kerja DO dapat dilihat pada lampiran D.

i. Kandungan Nitrat

Keberadaan senyawa nitrogen dalam perairan dengan kadar yang berlebihan dapat menimbulkan permasalahan pencemaran. Kandungan nitrogen yang tinggi di suatu perairan dapat disebabkan oleh limbah yang berasal dari limbah domestik, pertanian, peternakan dan industri. Hal ini berpengaruh terhadap kelimpahan fitoplankton. Alur kerja terlampir (Lampiran F)

j. Fosfat

Di perairan, fosfor tidak ditemukan dalam keadaan bebas melainkan dalam bentuk senyawa anorganik yang terlarut (ortofosfat dan polifosfat) dan senyawa organik berupa partikulat. Fosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan dan merupakan unsur yang esensial bagi tumbuhan, sehingga menjadi faktor pembatas yang mempengaruhi produktivitas perairan. Fosfat yang terdapat di perairan bersumber dari air buangan penduduk (limbah rumah tangga) berupa deterjen, residu hasil pertanian (pupuk), limbah industri, hancuran bahan organik dan mineral fosfat. Umumnya kandungan fosfat dalam perairan alami sangat kecil dan tidak pernah melampaui 0,1 mg/l, kecuali bila ada penambahan dari luar oleh faktor antropogenik seperti dari sisa pakan ikan dan limbah pertanian . Alur kerja terlampir (Lampiran G).

Secara keseluruhan pengukuran faktor fisik kimia berserta satuan dan alat yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Alat dan Satuan yang dipergunakan dalam Pengukuran Faktor Fisik - Kimia Air

3.7 Pengamatan di Laboratorium

Sampel yang diperoleh dari lapangan dibawa ke Laboratorium Ekologi FMIPA dan Laboratorium PUSLIT USU untuk pengamatan plankton di bawah mikroskop serta menganalisis sampel. Plankton diidentifikasi dengan menggunakan buku acuan Bold dan Wynne (1985), Edmonson (1963), Hutabarat dan Evans (1986), Pennak (1989) dan Prescott (1973).

3.8 Penentuan Status Mutu Air dengan Metode Storet

Metode Storet merupakan salah satu metode untuk menentukan status mutu air yang umum digunakan. Dengan metode Storet ini dapat diketahui parameter- parameter yang telah memenuhi atau melampaui baku mutu air. Secara prinsip metode Storet adalah membandingkan antara data kualitas air dengan baku mutu air

No

Parameter Fisik – Kimia- Biologi

Satuan Alat Tempat Pengukuran

1 Temperatur Air °C Termometer Air

Raksa In - situ

2 Intensitas cahaya Candella Lux meter In - situ

3 Kec. Arus m/s Meteran dan

stopwatch In - situ

4 DO mg/l Metoda Winkler Lab.Kimia PuslitUSU

5 BOD5 mg/l

Metoda Winkler

dan inkubasi Lab.Kimia Puslit USU

6 COD mg/l Metoda Winkler Lab.Kimia Puslit USU

7 pH Air - pH meter In – situ

8 Nitrat mg/l Spektrofotometri Lab.Uji Mutu-LP USU

yang disesuaikan dengan peruntukkannya guna menentukan status mutu air. Cara menentukan status mutu air adalah dengan menggunakan sisitem nilai dari US-EPA (United States- Environtmental Protection Agency) dengan mengklasifikasikan mutu air dalam 4 kelas yaitu:

(1). Kelas A: Baik sekali, skor = 0 memenuhi baku mutu (2). Kelas B: Baik, skor = -1 s/d -10 tercemar ringan (3). Kelas C: Sedang, skor = -11 s/d -30 tercemar sedang (4). Kelas D: Buruk, skor ≥ -31 tercemar berat

Prosedur peggunaan:

1. Pengumpulan data kualitas air dan debit air sehingga membentuk data.

2. Pembandingan data hasil pengukuran dari masing- masing parameter air dengan nilai baku mutu yang sesuai dengan kelas air.

3. Jika hasil pengukuran memenuhi nilai baku mutu air (hasil pengukuran ≤ baku mutu) maka diberi skor 0.

4. Jika hasil pengukuran tidak memenuhi nilai baku mutu air (hasil pengukuran > baku mutu) maka diberi skor seperti pada tabel 3.2 berikut ini.

Tabel 3.2. Penentuan sistem nilai untuk menentukan status mutu air Parameter Jumlah

parameter

Nilai

Fisika Kimia Biologi

< 10 Maksimum Minimum Rata- rata -1 -1 -3 -2 -2 -6 -3 -3 -9 ≥ 10 Maksimum Minimum Rata- rata -2 -2 -6 -4 -4 -12 -6 -6 -18

Jumlah negatif dari seluruh parameter dihitung dan ditentukan status mutunya dari jumlah skor yang didapat dengan menggunakan sistem ini.

3.9 Analisa Data

Data yang diperoleh diolah dengan menghitung Kelimpahan populasi, Kelimpahan relatif (KR), Frekuensi Kehadiran (FK), Indeks Diversitas Shannon- Wiener (H’), Indeks Equitabilitas/Indeks Keseragaman, Analisa varians dan analisa korelasi.

a. Kelimpahan Plankton

Jumlah plankton yang ditemukan dihitung jumlah individu per liter dengan menggunakan alat haemocytometer dan menggunakan rumus modifikasi menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1995), yaitu:

Dimana:

N = jumlah plankton per liter (l)

T = luas penampang permukaan haemocytometer (mm2) L = luas satu lapang pandang (mm2)

P = jumlah plankton yang dicacah P = jumlah lapang yang diamati

V = volume konsentrasi plankton pada bucket (ml) V = volume konsenterat di bawah gelas penutup (ml)

W = volume air media yang disaring dengan plankton net (l)

Karena sebagian besar dari unsur-unsur rumus ini telah diketahui pada Haemocytometer, yaitu T = 196 mm2 dan v = 0,0196 ml (19,6 mm3) dan luas penampang pada Haemocytometer sama dengan hasil kali antara luas satu lapang pandang (l) dengan jumlah lapang yang diamati. Sehingga rumusnya menjadi:

K = W PV 0196 , 0 ind./l b. Kelimpahan Relatif (KR) Digunakan rumus

:

(Brower at al., 1990) c. Frekwensi Relatif (FR) Digunakan rumus: FK = x100% sampiling plot total Jumlah spesies suatu ditempati yang plot Jumlah

Dimana nilai FR: 0 - 25% = sangat jarang 25 – 50% = jarang 50 – 75% = sering > 75% = sangat sering

(Michael, 1984)

d. Indeks Diversitas Shannon-Wiener (H’) Digunakan rumus

: H’= −∑pi ln pi

Dimana: H’ = Indeks diversitas Shanon- Wiener Pi = proporsi genus ke- i

Ln = logaritma nature

Pi =

ni / N (perhitungan jumlah suatu individu suatu genus dengan keseluruhan genus)

(Krebs, 1985)

e. Indeks Equitabilitas/Indeks Keseragaman (E)

Digunakan rumus: E =

max '

H H

Dimana: E = indeks Equitabilitas H’ = indeks diversitas

H max = keanekaragaman species maximum = ln S (Dimana S banyaknya genus)

dengan nilai E berkisar antara 0 – 1.

Dengan kriteria: 0 < E < 0,4 Keseragaman rendah 0,4 < E < 0,6 keseragaman sedang E > 0,6 keseragaman tinggi

f. Analisis varian atau uji F

Analisis varian digunakan untuk mengetahui adanya perbedaaan yang signifikan dari keanekaragaman dan kelimpahan plankton antar stasiun dan antar periode, dengan melihat pengaruh sifat fisika-kimia perairan terhadap keanekaragaman dan kelimpahan plankton.

g. Analisa Korelasi Pearson

Analisa Korelasi Pearson dilakukan dengan menggunakan analisis korelasi pearson SPSS Ver. 16.00. Uji ini merupakan uji statistik untuk mengetahui korelasi antara faktor fisik kimia perairan dengan kelimpahan fitoplankton. Menurut Sugiono (2005), menyatakan nilai indeks korelasi sebagai berikut :

Tabel 3.3. Interval Korelasi Dan Tingkat Hubungan Antar Faktor Interval Koefisien Tingkat Hubungan

0,00 - 0,199 Sangat Rendah 0,20 - 0,399 Rendah

0,40 - 5,99 Sedang O,60 - 0,799 Kuat

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Faktor Fisik Kimia Perairan/Abiotik

Faktor abiotik merupakan faktor yang penting untuk diketahui nilainya karena sangat mempengaruhi faktor biotik lainnya di suatu perairan. Faktor abiotik yang diukur meliputi faktor fisika-kimia lingkungan. Adapun hasil pengukuran faktor fisika-kimia lingkungan yang diperoleh pada setiap stasiun penelitian, seperti pada Tabel 4.1 a dan 4.1 b.

a. Suhu

Dari hasil pengukuran suhu pada masing-masing stasiun penelitian dan jam yang berbeda diperoleh suhu berkisar antara 23,7-24,40C, rata-rata suhu tertinggi terdapat pada stasiun 4 dengan nilai 24,40C. Tingginya suhu pada stasiun 4 disebabkan oleh tingginya intensitas cahaya dan adanya pencampuran air, serta factor aktifitas yang ada pada stasiun ini dapat mempengaruhi suhu. Suhu yang terendah terdapat pada stasiun 1 dengan nilai 23,70C, pada stasiun terdapat banyak kanopi, sehingga menghambat sinar matahari yang masuk ke badan air. Dengan kisaran suhu seperti ini dapat dikategorikan bahwa perairan Tangkahan masih layak untuk diminum sesuai dengan baku mutu air PP No.82 tahun 2001.

Tabel 4.1b. Nilai Faktor Fisik Kimia Perairan pada Masing-Masing Stasiun dan Periode Stasiun 1 Stasiun 2 No Parameter Satuan 06.00 09.00 12.00 15.00 18.00 Rata- rata 06.00 09.00 12.00 15.00 18.00 Rata- rata 1 Suhu Air °C 23.5 23 24 24 24 23.7 23 24 24 24.5 24 23.9

3 Intensitas Cahaya Candela 75 370 431 325 299 300 75 230 450 300 289 268.8 4 Kec.Arus 1.490 1.126 0.853 0.819 1.238 1.1052 1.628 1.822 2.210 1.697 1.834 1.8382 6 pH Air - 7.9 7.2 7.3 7.3 7.9 7.52 7.8 7.4 7.4 7.4 7.2 7.44 7 DO mg/l 7.9 7.9 7.5 7.5 7.7 7.7 7.4 7.7 7.4 7 7 7.3 8 BOD5 mg/l 0.2 0.42 9 COD mg/l 0,8 1,68 10 Nitrat mg/l 0.0685 0.0740 11 Fosfat mg/l 0.0346 0.0344 Stasiun 3 Stasiun 4 No Parameter Satuan 06.00 09.00 12.00 15.00 18.00 Rata- rata 06.00 09.00 12.00 15.00 18.00 Rata- rata 1 Suhu Air °C 23.5 23.5 24 24.5 24.5 24 23 25 25 25 24 24.4

3 Intensitas Cahaya Candela 50 192 321 312 565 288 150 379 492 514 550 417 4 Kec.Arus 1.012 0.855 0.981 0.8 0.95 0.9196 1.25 1.11 1 1.11 1.11 1.116 6 pH Air - 7.2 7.2 7.2 7.2 7.3 7.24 7 6.4 7.5 8 8.1 7.4 7 DO mg/l 7.2 7.2 7 7 7 7.08 7 6.6 6.6 6.8 6.8 6.76 8 BOD5 mg/l 0.58 0.96 9 COD mg/l 2,32 3,84 10 Nitrat mg/l 0.0650 0.0815 11 Fosfat mg/l 0.0546 0.0683

Menurut Barus (2004), pola temperatur ekosistem air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya, ketinggian geografis dan juga oleh faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh di tepi. Disamping itu pola temperatur perairan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor anthropogen (faktor yang diakibatkan oleh manusia) seperti limbah panas yang berasal dari air pendingin pabrik, penggundulan Daerah Aliran Sungai yang menyebabkan hilangnya perlindungan sehingga badan air terkena cahaya matahari secara langsung.

b. Intensitas Cahaya

Intensitas cahaya yang diperoleh dari hasil penelitian berkisar antara 268- 417 Candela. Intensitas cahaya yang tertinggi terdapat di stasiun 4 yaitu 417 Candela. Hal ini disebabkan karena sedikitnya vegetasi disekitar daerah ini dan pengukuran dilakukan pada siang hari yang sangat cerah atau dapat dikatakan bahwa intensitas cahaya yang diukur juga dipengaruhi oleh awan. Terendah di stasiun 2 yaitu 268 Candela. Rendahnya intensitas cahaya ini karena adanya vegetasi di sekitar daerah tersebut.

Antara penetrasi cahaya dan intensitas cahaya saling mempengaruhi. Semakin maksimal intensitas cahaya, maka semakin tinggi penetrasi cahaya. Jumlah radiasi yang mencapai permukaan perairan sangat dipengaruhi oleh awan, ketinggian dari permukaan air laut, letak geografis dan musiman (Tarumingkeng, 2001).

c. Kecepatan Arus

Kecepatan arus air pada setiap stasiun penelitian memiliki nilai rata-rata 0,919–1,8382 m/s, dengan kecepatan arus tertinggi terdapat pada stasiun 2 yaitu dengan kecepatan 1,8382 m/s dan terendah pada stasiun 3 dengan kecepatan 0,9196 m/s. Tingginya arus pada stasiun 2 disebabkan oleh aliran sungai yang relatif lurus dan substrat yang halus pada stasiun ini. Rendahnya arus pada stasiun 3 diakibatkan oleh air sungai yang tidak lurus dan terjadi percampuran antara anak sungai. Jenis substrat akan mempengaruhi kecepatan arus, namun kecepatan arus dalam suatu ekosistem tidak dapat ditentukan dengan pasti karena arus pada suatu perairan sangat mudah berubah.

Menurut Barus (2004), sangat sulit untuk membuat suatu batasan mengenai kecepatan arus karena di suatu ekosistem air sangat berfluktuasi dari periode ke periode tergantung dari fluktuasi debit dan aliran air serta kondisi substrat yang ada. Pada musim penghujan misalnya akan meningkatkan debit air dan sekaligus mempengaruhi kecepatan arus. Adanya berbagai substrat pada dasar perairan akan menyebabkan kecepatan arus bervariasi. Pada alur sungai yang lurus arus tercepat berada pada bagian tengah sungai. Hal ini sesuai dengan hukum fisika mengenai gesekan (friction) yang menyatakan bahwa daerah yang terbebas dari gesekan akan mempunyai arus yang lebih cepat. Pada alur sungai yang membelok (meander) kecepatan arus paling tinggi pada bagian pinggir sungai, sesuai dengan hukum fisika tentang putaran massa sentrifugal. Pada daerah aliran tertentu akan terdapat suatu kondisi dengan gerakan air yang sangat lambat, umumnya terdapat di belakang batu-batuan di dasar perairan.

d. pH Air

Berdasarkan hasil pengukuran terhadap nilai pH pada masing-masing stasiun penelitian, pH berkisar antara 7,24-7,52. Nilai rata-rata pH tertinggi terdapat pada stasiun 3 yakni 7,52. Rata-rata nilai pH terendah terdapat pada stasiun 3 yakni 7,24. Menurut Barus (2004), organisme air dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah sampai basah lemah. Dengan kisaran pH seperti ini dapat dikategorikan bahwa perairan Tangkahan masih layak untuk diminum sesuai dengan baku mutu air PP No.82 tahun 2001.

Menurut Kristanto (2002), nilai pH air yang normal adalah sekitar netral yaitu 6-8, sedangkan pH air yang tercemar misalnya air limbah (buangan), berbeda-beda tergantung pada jenis limbahnya. Air yang masih segar dari pegunungan biasanya mempunyai pH yang lebih tinggi. Semakin lama pH air akan menurun menuju kondisi asam. Hal ini disebabkan oleh bertambahnya bahan-bahan organik yang membebaskan CO2 jika mengalami proses penguraian.

e. Oksigen Terlarut (DO = Dissolved Oxygen)

Berdasarkan hasil pengukuran terhadap nilai oksigen terlarut pada masing- masing stasiun penelitian diperoleh rata-rata nilai oksigen terlarut berkisar antara 6,76-7,7 mg/l. Tertinggi terdapat pada stasiun 1 yakni 7,7 mg/l, penyebaran nilai oksigen terlarut mulai dari jam 06.00-18.00 merata. Stasiun 1 merupakan stasiun yang tidak terdapat aktfitas. Rata-rata nilai oksigen terlarut terendah terdapat pada stasiun 4 yakni 6,76 mg/l. Stasiun 4 merupakan stasiun yang terdapat aktifitas

masyarakat sehingga dapat mempengaruhi keberadaan nilai oksigen terlarut. Dengan rata-rata konsentrasi oksigen terlarut tertinggi sebesar 7,7 mg/l, sesuai dengan standart baku mutu air untuk air minum yang disyaratkan > 6 mg/l baku mutu air PP No.82 tahun 2001, artinya air Tangkahan termasuk kriteria kelas I yaitu layak untuk diminum.

Menurut Effendi (2003), kadar oksigen terlarut dalam perairan alami bervariasi, tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian dan musiman bergantung pada pencampuran, dan pergerakan massa air, aktifitas fotosintesis, respirasi dan limbah. Menurut Barus (2004), sumber oksigen terlarut dalam air adalah penyerapan oksigen dari udara, melalui kontak antara permukaan dengan udara, dan dari proses fotosintesis. Organisme air akan hidup dengan baik jika nilai oksigen terlarut lebih besar dari 5,0 mg/l air. Menurut Nybakken (1992), masuknya air tawar dan air laut secara teratur ke dalam estuari, bersama-sama dengan kedangkalannya, pengadukannya, dan pencampuran oleh angin, biasanya berarti cukupnya persediaan oksigen didalam air. Karena kelarutan oksigen dalam air berkurang dengan naiknya suhu dan salinitas, jumlah oksigen dalam air akan bervariasi sesuai dengan variasi parameter tersebut.

f. BOD5(Biologycal Oxygen demand)

Berdasarkan hasil pengukuran terhadap nilai BOD5 pada masing-masing stasiun penelitian diperoleh rata-rata nilai BOD5 berkisar antara 0,2-0,96 mg/l, tertinggi terdapat pada stasiun 4 yakni 0,96 mg/l, hal ini dapat dilihat dari nilai

oksigen terlarut pada stasiun ini sangat rendah, sehingga terjadi defisit oksigen. Rata-rata nilai BOD5 terendah terdapat pada stasiun 1 yakni 0,2 mg/l. Dengan rata-rata BOD5 tertinggi sebesar 0,96 mg/l, sesuai dengan standart baku mutu air untuk air minum yang disyaratkan < 2 mg/l baku mutu air PP No.82 tahun 2001, artinya air Tangkahan termasuk kriteria kelas I yaitu layak untuk diminum.

Menurut Effendi (2003), BOD5 merupakan gambaran kadar bahan organik, yaitu jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba aerob untuk mengoksidasi bahan organik menjadi karbondioksida dan air. BOD5 hanya menggambarkan bahan organik yang dapat diuraikan secara biologis. Bahan organik ini dapat berupa lemak, protein, glukosa dan sebagainya. Bahan organik dapat berasal dari pembusukan tumbuhan dan hewan yang mati atau hasil buangan limbah domestik dan industri.

g. Chemical Oxygen Demand (COD)

Dari hasil pengukuran yang dilakukan diperoleh nilai rata-rata COD berkisar antara 0,8-3,84 mg/l, tertinggi pada stasiun 4. Stasiun 4 menunjukkan bahwa limbah yang berasal dari aktifitas masyarakat mengandung banyak senyawa organik dan anorganik yang harus diuraikan secara kimia karena tidak dapat diuraikan hanya secara biologis saja. Nilai terendah terdapat pada stasiun 1 dimana daerah ini merupakan daerah tanpa aktivitas (kontrol).

Menurut Kristanto (2002), untuk mengetahui jumlah bahan organik di dalam air dapat dilakukan suatu uji berdasarkan reaksi kimia dari suatu bahan oksidan, misalnya Kalium Dikromat, untuk mengoksidasi bahan-bahan organik

yang terdapat dalam air. Banyaknya bahan organik yang tidak mengalami penguraian biologis secara cepat berdasarkan pengujian BOD5, tetapi senyawa organik tersebut juga menurunkan kualitas air. Bahan-bahan yang stabil terhadap reaksi biologi dan mikroorganisme dapat ikut teroksidasi dalam uji COD.

h. Nitrat

Berdasarkan hasil pengukuran terhadap nilai nitrat pada masing-masing stasiun penelitian maka diperoleh rata-rata nilai nitrat berkisar antara 0,0650- 0,0815 mg/l, tertinggi terdapat pada stasiun 4 yakni 0,0815 mg/l. Rata-rata nilai nitrat terendah terdapat pada stasiun 3 yakni 0,6506 mg/l. Dengan rata-rata nitrat tertinggi sebesar 0,0815 mg/l, sesuai dengan standart baku mutu air untuk air minum yang disyaratkan 10 mg/l baku mutu air PP No.82 tahun 2001, artinya air Tangkahan termasuk kriteria kelas I yaitu layak untuk diminum.

Menurut Barus (2004), nitrat merupakan produk akhir dari proses penguraian protein dan nitrit. Nitrat merupakan zat nutrisi yang dibutuhkan oleh tumbuhan termasuk algae dan fitoplankton untuk dapat tumbuh dan berkembang, sementara nitrit merupakan senyawa toksik yang dapat mematikan organisme air.

i. Fosfat

Berdasarkan hasil pengukuran terhadap nilai fosfat pada masing-masing stasiun penelitian maka diperoleh rata-rata nilai fosfat berkisar antara 0,0344- 0,0683 mg/l, tertinggi terdapat pada stasiun 4 yakni 0,0683 mg/l. Rata-rata nilai nitrat terendah terdapat pada stasiun 2 yakni 0,0344 mg/l. Dengan rata-rata fosfat

tertinggi sebesar 0,0683 mg/l, sesuai dengan standart baku mutu air untuk air minum yang disyaratkan 0,2 mg/l baku mutu air PP No.82 tahun 2001, artinya air Tangkahan termasuk kriteria kelas I yaitu layak untuk diminum.

Jollenweider (1968) dalam Wetzel (1975) menyatakan bahwa kandungan orthofosfat dalam air merupakan karakteristik kesuburan perairan tersebut. Perairan yang mengandung orthofosfat antara 0,003 - 0,010 mg/L merupakan perairan yang oligotrofik, 0,01-0,03 adalah mesotrofik dan 0,03 - 0,1 mg/L adalah eutrofik. Sedangkan perairan yang mengandung nitrat dengan kisaran 0 - 1 mg/l termasuk perairan oligotropik, 1-5 mg/L adalah mesotrofik dan 5-50 mg/l adalah

Dokumen terkait