• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) mulai Oktober 2010 sampai Agustus 2011.

Bahan Tumbuhan Sumber Ekstrak

Bahan tumbuhan yang digunakan sebagai sumber ekstrak adalah daun

Tephrosia vogelii berbunga ungu yang berasal dari Kawasan Agropolitan, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat dan buah Piper aduncum yang diperoleh dari lingkungan sekitar kampus IPB Darmaga, Bogor. Daun T. vogelii

langsung dipotong kecil-kecil lalu dikeringudarakan selama 1 minggu, sedangkan buah P. aduncum dikeringudarakan dalam keadaan utuh juga selama 1 minggu.

Penyiapan Tanaman Pakan

Daun brokoli (Brassica oleracea L. var. italica Plenck) digunakan sebagai pakan serangga uji dan sebagai media perlakuan pada uji hayati di laboratorium. Benih brokoli cv. Green Magic disemai dalam nampan semai yang diisi media semai campuran tanah, kompos Super Metan dan diberi pupuk majemuk (NPK 18-9-10+TE) empat butir per lubang tanam. Bibit berumur 4 minggu atau memiliki empat helai daun dipindahkan ke polybag kapasitas 5 L yang diisi campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 3:1 (v/v). Pada setiap

polybag ditanam satu bibit tanaman. Setelah berumur 4 minggu tanaman dipupuk NPK dengan dosis ± 1 g per polybag. Pupuk ditabur melingkar mengelilingi tanaman lalu ditutup tanah dan disiram. Pemeliharaan tanaman brokoli yang dilakukan meliputi penyiraman, penyulaman, penyiangan gulma, dan pengendalian hama secara mekanis. Daun tanaman brokoli yang telah berumur sekurang-kurangnya 2 bulan digunakan sebagai pakan larva C. pavonana.

100%

Pemeliharaan Serangga Uji

Serangga C. pavonana yang digunakan dalam penelitian ini merupakan koloni yang diperbanyak di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, IPB. Pembiakan serangga dilakukan mengikuti prosedur yang digunakan oleh Prijono dan Hassan (1992). Imago C. pavonana

dipelihara dalam kurungan plastik kasa berbingkai kayu (50 cm x 50 cm x 50 cm) dan diberi pakan larutan madu 10% yang diserapkan pada segumpal kapas yang digantungkan di dalam kurungan. Daun brokoli yang tangkainya dicelupkan dalam tabung film berisi air diletakkan di dalam kurungan sebagai tempat peletakan telur. Kelompok telur pada daun brokoli dikumpulkan setiap hari. Setelah telur menetas, larva dipindahkan ke dalam wadah plastik (35 cm x 26 cm x 6 cm) berjendela kasa yang dialasi kertas stensil, dan diletakkan daun brokoli bebas pestisida sebagai pakannya. Larva instar II digunakan untuk pengujian. Bila tidak digunakan untuk pengujian, sebagian larva dipelihara lebih lanjut dalam wadah plastik berisi daun brokoli. Menjelang berpupa, larva dipindahkan ke dalam wadah plastik lain yang berisi serbuk gergaji steril sebagai medium untuk berpupa. Pupa beserta kokonnya dipindahkan ke dalam kurungan plastik-kasa seperti di atas sampai muncul imago untuk pemeliharaan selanjutnya.

Penentuan Kadar Air Tumbuhan Sumber Ekstrak

Botol timbang dikeringkan pada suhu 105 oC dalam oven selama 30 menit, kemudian didinginkan dan ditimbang. Sebanyak 2 g sampel (serbuk daun T. vogelii dan buah P. aduncum) dimasukkan ke dalam botol timbang dan dipanaskan dalam oven pada suhu 105 oC selama 2 jam, kemudian cawan diangkat dan didinginkan. Botol timbang dengan sampel ditimbang hingga diperoleh bobot konstan (AOAC 2006). Persentase kadar air dihitung dengan persamaan:

Kadar air (%) = Bobot awal – bobot akhir Bobot awal

Ekstraksi T. vogelii dan P. aduncum

Potongan daun T. vogelii bunga ungu dan buah P. aduncum kering udara digiling menggunakan blender hingga menjadi serbuk, kemudian diayak menggunakan pengayak kawat kasa berjalinan 0.5 mm. Serbuk daun T. vogelii

dan serbuk buah P. aduncum masing-masing 25 g direndam dalam 200 ml etil asetat. Perendaman dibedakan menjadi lima macam perlakuan berdasarkan jumlah perendaman yaitu 2x, 3x, 4x, 5x, dan 6x perendaman. Setiap perlakuan perendaman diulang tiga kali. Untuk setiap perendaman, bahan tumbuhan direndam selama 3 jam, masing-masing dikocok setiap 30 menit. Cairan hasil rendaman disaring menggunakan corong kaca yang dialasi kertas saring Whatman No. 41 diameter 185 mm. Hasil saringan diuapkan dengan menggunakan rotary evaporator pada suhu 50 ºC dan tekanan 240 mbar sehingga diperoleh ekstrak kasar. Ekstrak daun T. vogelii yang diperoleh berbentuk bahan pekat berwarna hijau gelap dan ekstrak buah P. aduncum berupa bahan semipadat berwarna cokelat. Setiap ekstrak yang diperoleh disimpan dalam lemari es (± 4 ºC) hingga saat digunakan. Data persentase hasil ekstrak ditransformasi ke arcsin√ kemudian diolah dengan sidik ragam berdasarkan rancangan acak lengkap yang dilanjutkan dengan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%. Analisis statistika dilakukan dengan menggunakan program Statistical Analysis System

(SAS) versi9.1 (SAS Institute 2002-2003).

Uji Toksisitas Ekstrak Tunggal

Pengujian dilakukan melalui dua tahap, yaitu uji pendahuluan dan uji lanjutan. Pada uji pendahuluan, kelima ekstrak daun T. vogelii berbunga ungu diuji pada konsentrasi 0,14% (w/v) dan kelima ekstrak buah P. aduncum diuji pada konsentrasi 0,1% (w/v). Setiap perlakuan terdiri atas enam ulangan. Semua pengujian dilakukan dengan menggunakan metode celup daun. Ekstrak daun T. vogelii dan ekstrak buah P. aduncum masing-masing dicampur dengan pelarut metanol dan Solvesso R-100 serta pengemulsi Tween 80 (9:1:5) (konsentrasi akhir 0,96% v/v) kemudian diencerkan dengan akuades sampai volume yang sesuai. Akuades yang hanya mengandung pelarut metanol dan Solvesso R-100 serta pengemulsi Tween 80 digunakan sebagai larutan kontrol. Semua suspensi

ekstrak dikocok dengan menggunakan pengocok ultrasonik agar ekstrak dapat tersuspensikan secara merata di dalam air.

Potongan daun brokoli segar dan bebas pestisida (4 cm x 4 cm) dicelup satu per satu dalam suspensi ekstrak dengan konsentrasi tertentu sampai basah merata lalu dikeringudarakan. Daun kontrol dicelup dalam larutan kontrol yang sesuai. Setiap potong daun perlakuan dan daun kontrol diletakkan secara terpisah di dalam cawan petri (diameter 9 cm) yang dialasi tisu yang ukurannya melebihi diameter cawan. Cawan petri diletakkan pada posisi terbalik. Alas tisu diletakkan pada bagian tutup cawan, sedangkan bagian dasar cawan ditutupkan di atas tisu. Dengan demikian, bagian tutup dan dasar cawan tersekat tisu sehingga larva uji tidak dapat keluar dari dalam cawan. Sebanyak 15 ekor larva instar II C. pavonana yang baru ganti kulit dimasukkan ke dalam cawan petri, kemudian diberikan daun kontrol atau daun perlakuan yang sesuai. Larva tersebut dibiarkan makan selama 24 jam. Setelah 24 jam ditambahkan daun perlakuan atau daun kontrol secukupnya. Dua puluh empat jam berikutnya, daun perlakuan diganti dengan daun tanpa perlakuan. Jumlah larva yang mati diamati dan dicatat setiap hari sampai hari ke-4 (96 jam sejak perlakuan [JSP]).

Data mortalitas larva C. pavonana akibat perlakuan dengan ekstrak T. vogelii 0,14% dan P. aduncum 0,10% pada 48, 72, dan 96 JSP ditransformasi ke arcsin√ kemudian diolah dengan sidik ragam berdasarkan rancangan acak lengkap yang dilanjutkan dengan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%. Analisis statistika dilakukan dengan menggunakan program SAS versi 9.1(SAS Institute 2002-2003).

Ekstrak yang berasal dari perlakuan perendaman yang memberikan hasil ekstraksi dan aktivitas insektisida terbaik digunakan dalam uji lanjutan. Ekstrak

T. vogelii dan P. aduncum masing-masing diuji pada enam taraf konsentrasi yang diharapkan dapat mengakibatkan kematian serangga uji antara 15% dan 95%. Taraf konsentrasi uji ekstrak T. vogelii ialah 0,025%, 0,06%, 0,095%, 0,13%, 0,165%, dan 0,2% (w/v), dan ekstrak P. aduncum 0,075%, 0,11%, 0,145%, 0,18%, 0,215%, dan 0,25% (w/v). Cara perlakuan dan pengamatan pada uji lanjutan sama seperti pada uji pendahuluan. Data mortalitas kumulatif pada 48,

72, dan 96 JSP diolah dengan analisis probit menggunakan program POLO-PC (LeOra Software 1987).

Uji Toksisitas Ekstrak Campuran

Ekstrak T. vogelii dan P. aduncum diuji dalam bentuk campuran pada enam taraf konsentrasi yang diharapkan dapat mengakibatkan kematian serangga uji antara 15% dan 95%. Ekstrak campuran diuji pada tiga macam perbandingan konsentrasi, yaitu 1:1, 5:1, dan 1:5 (w/w). Konsentrasi uji ekstrak T. vogelii dan

P. aduncum dalam campuran 1:1 masing-masing 0,00625%, 0,0125%, 0,025%, 0,0375%, 0,05%, dan 0,0625%. Untuk campuran 5:1 konsentrasi ekstrak T. vogelii berturut-turut 0,02%, 0,045%, 0,07%, 0,095%, 0,12%, dan 0,145% dan konsentrasi ekstrak P. aduncum berturut-turut 0,004%, 0,009%, 0,014%, 0,019%, 0,024%, dan 0,029%. Untuk campuran 1:5 konsentrasi ekstrak T. vogelii berturut- turut 0,003%, 0,009%, 0,015%, 0,021%, 0,027%, dan 0,033% dan konsentrasi ekstrak P. aduncum berturut-turut 0,015%, 0,045%, 0,075%, 0,105%, 0,135%, dan 0,165%. Cara perlakuan dan pengamatan pada uji ekstrak campuran sama seperti pada uji ekstrak tunggal. Data mortalitas kumulatif pada 48, 72, dan 96 JSP diolah dengan analisis probit seperti pada uji ekstrak tunggal.

Sifat aktivitas campuran ekstrak daun T. vogelii dan buah P. aduncum

dianalisis berdasarkan model kerja bersama berbeda dengan menghitung indeks kombinasi pada taraf LC50 dan LC95. Indeks kombinasi (IK) pada taraf LCx

tersebut dihitung dengan rumus berikut (Chou & Talalay 1984):

LCx1 dan LCx2 masing-masing merupakan LCx ekstrak daun T. vogelii dan ekstrak

buah P. aduncum pada pengujian terpisah; LCx1(cm) dan LCx2(cm) masing-masing

LCx ekstrak T. vogelii dan P. aduncum dalam campuran yang mengakibatkan

mortalitas x (misal 50% dan 95%). Nilai LCx tersebut diperoleh dengan cara

mengalikan LCx campuran dengan proporsi konsentrasi ekstrak T. vogelii dan P.

aduncum dalam campuran. LCx1 (cm) LCx1 LCx2 (cm) LCx2 LCx1 (cm) LCx1 LCx2 (cm) LCx2 IK = + + x

Kategori sifat interaksi campuran adalah sebagai berikut (diadaptasi dari Gisi 1996; Kosman & Cohen 1996):

(1) bila IK < 0.5, komponen campuran bersifat sinergistik kuat;

(2) bila 0.5 ≤ IK ≤ 0.77, komponen campuran bersifat sinergistik lemah; (3) bila 0.77 < IK ≤ 1.43, komponen campuran bersifat aditif;

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Ekstraksi dan Uji Pendahuluan

Secara umum, hasil ekstrak daun Tephrosia vogelii dan buah Piper aduncum lebih besar dengan makin banyaknya jumlah perendaman bahan tumbuhan dalam pelarut etil asetat. Hasil ekstrak T. vogelii pada perendaman 6x nyata lebih tinggi daripada perendaman 2x dan 3x, sementara hasil ekstrak pada perendaman 4x nyata lebih tinggi daripada perendaman 2x tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan perendaman lain termasuk perendaman 6x (Tabel 1). Peningkatan hasil ekstrak T. vogelii yang lebih kecil pada perendaman 5x dan 6x dibandingkan dengan pada perendaman 3x dan 4x sesuai dengan pola hubungan antara jumlah perendaman dan hasil ekstrak yang mengikuti persamaan regresi kuadratik, dengan koefisien determinasi (R2) yang tinggi, yaitu > 0,99 (Gambar 1). Hubungan antara jumlah perendaman dan hasil ekstrak P. aduncum juga mengikuti persamaan regresi kuadratik tetapi dengan R2 (0,9) yang lebih rendah

Tabel 1 Hasil ekstrak daun Tephrosia vogelii dan buah Piper aduncum pada jumlah perendaman yang berbeda dan mortalitas larva Crocidolomia pavonana akibat perlakuan dengan ekstrak T. vogelii 0,14% dan P. aduncum 0,10%

Jumlah perendaman a

Rerata hasil ekstrak (%) b,d Rerata mortalitas larva (%) pada perlakuan ekstrak c,d

T. vogelii P. aduncum T. vogelii P. aduncum

2x 4,796a 9,262a 45,2a 33,7a

3x 5,652ab 10,711a 53,0a 38,5a

4x 6,151bc 10,888a 53,0a 23,3a

5x 6,392bc 11,028a 38,1a 24,1a

6x 6,618c 11,636a 45,2a 17,8a

a

Tiap kali perendaman 25 g serbuk tumbuhan direndam dalam 200 ml etil asetat selama 3 jam dan rendaman dikocok setiap 30 menit.

b

Berdasarkan bobot kering udara serbuk tumbuhan. Kadar air sampel serbuk daun T. vogelii dan

buah P. aduncum masing-masing 7,37% ± 2,04% dan 6,89% ± 1,42% (n = 3).

c

Mortalitas kumulatif pada 96 jam setelah perlakuan.

d

Rerata pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%. Data ditransformasi ke arcsin √ sebelum dilakukan sidik ragam.

Gambar 3 Hubungan antara jumlah perendaman dan hasil ekstraksi daun

T.vogelii dan buah P. aduncum. Keterangan perendaman sama seperti

pada catatan kaki “a” pada Tabel 1.

daripada ekstrak T. vogelii, dan hasil ekstrak P. aduncum tidak berbeda nyata antarperlakuan perendaman (Tabel 1).

Hasil ekstrak P. aduncum berkisar dari 9,262% (2x perendaman) sampai 11,636% (6x perendaman). Hasil tersebut sekitar 1,7–1,9 kali lebih tinggi daripada hasil ekstrak T. vogelii yang berkisar dari 4,796% (2x perendaman) sampai 11,636% (6x perendaman) (Tabel 1 dan Gambar 1). Perbedaan hasil ekstrak tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan sifat genetika dan bagian tumbuhan yang diekstraksi. Daun T. vogelii relatif tipis dan tidak banyak mengandung minyak sedangkan buah P. aduncum banyak mengandung minyak (Hasyim 2011).

Hasil ekstrak daun T. vogelii dalam penelitian ini berada di antara hasil ekstrak dengan pelarut n-heksana (4,72%) dan metanol (22,77%) yang dilaporkan oleh Wulan (2008). Etil asetat bersifat lebih polar daripada n-heksana sehingga

y = -0,108 x2 + 1,305 x + 2,650 R² = 0,994 y = -0,122 x2 + 1,488 x + 6,96 R² = 0,899 0 2 4 6 8 10 12 0 1 2 3 4 5 6 Ha sil e kstra k (% ) Jumlah perendaman P. aduncum T. vogelii

dapat mengekstrak senyawa-senyawa nonpolar dan yang lebih polar sedangkan n- heksana hanya mengekstrak senyawa-senyawa nonpolar (Houghton & Raman 1998). Karena itu, hasil ekstrak T. vogelii dengan pelarut etil asetat lebih tinggi daripada hasil ekstrak dengan pelarut n-heksana. Sementara itu, metanol dapat mengekstrak berbagai senyawa polar yang tampaknya banyak terkandung di dalam daun T. vogelii sehingga penggunaan pelarut metanol memberikan hasil ekstrak sebanyak 4,82 dan 3,44 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pelarut n- heksana dan etil asetat.

Hasil ekstraksi buah P. aduncum dengan pelarut etil asetat dalam penelitian ini lebih tinggi daripada hasil ekstraksi dengan pelarut n-heksana yang dilaporkan oleh Hasyim (2011), yaitu 6,93%. Ekstraksi yang dilakukan Hasyim (2011) dilakukan sampai cairan rendaman mendekati tidak berwarna sedangkan dalam penelitian ini perendaman dibatasi sampai paling banyak enam kali meskipun cairan rendaman belum mendekati tidak berwarna. Namun demikian, hasil ekstrak P. aduncum dalam penelitian ini masih lebih tinggi daripada hasil ekstrak yang dilaporkan oleh Hasyim (2011). Hal ini disebabkan oleh etil asetat yang bersifat lebih polar daripada n-heksana sehingga etil asetat dapat mengekstrak lebih banyak senyawa daripada n-heksana seperti yang telah dijelaskan di atas. Selain itu, perbedaan sifat bahan tumbuhan yang digunakan dapat menyebabkan perbedaan hasil ekstrak yang diperoleh. Perbedaan sifat bahan tumbuhan tersebut dapat disebabkan oleh keragaman sifat genetika dan umur tumbuhan, kondisi tanah dan vegetasi di sekitar lokasi tumbuhan sumber, serta kondisi musim saat pengambilan bahan tumbuhan (Kaufman et al. 2006).

Berbeda dengan hasil ekstrak T. vogelii dan P. aduncum yang makin meningkat dengan makin banyaknya jumlah perendaman bahan tumbuhan, mortalitas larva Crocidolomia pavonana antarperlakuan tidak berbeda nyata (Tabel 1). Secara numerik, mortalitas serangga uji hanya meningkat pada perlakuan dengan kedua ekstrak tersebut yang berasal dari perendaman 3x. Mortalitas serangga uji pada perlakuan dengan ekstrak T. vogelii dari perendaman 4x sudah tidak meningkat lagi dan menurun pada perendaman 5x dan 6x. Sementara itu, mortalitas serangga uji pada perlakuan dengan ekstrak P. aduncum

peningkatan hasil ekstrak T. vogelii dan buah P. aduncum seperti yang telah dijelaskan di atas dan pola perbedaan mortalitas larva C. pavonana pada perlakuan perendaman yang berbeda kemungkinan karena sebagian besar bahan aktif sudah terekstrak pada perlakuan perendaman 3x. Untuk T. vogelii, kandungan bahan aktif yang terekstrak pada perendaman 4x tampaknya tidak berbeda dengan perendaman 3x sementara pada perendaman 5x dan 6x tambahan hasil ekstrak yang diperoleh tampaknya lebih banyak mengandung bahan yang tidak aktif sehingga kandungan bahan aktif dalam ekstrak lebih rendah dan akibatnya mortalitas serangga uji juga lebih rendah dibandingkan dengan perendaman 3x dan 4x. Penjelasan serupa juga berlaku untuk P. aduncum, yaitu pada perendaman 4x, 5x, dan 6x kandungan bahan aktif dalam ekstrak yang diperoleh tampaknya lebih rendah sehingga mortalitas serangga uji juga lebih rendah dibandingkan dengan perendaman 3x. Berdasarkan data hasil ekstraksi dan mortalitas larva C. pavonana yang dijelaskan di atas, ekstrak T. vogelii dan P. aduncum yang digunakan dalam uji lanjutan adalah ekstrak yang masing-masing berasal dari perendaman 4x dan 3x.

Toksisitas Ekstrak T. vogelii dan P. aduncum terhadap Larva C. pavonana

Ekstrak Tunggal

Hasil uji lanjutan menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat daun T. vogelii

bekerja relatif lambat. Pada 24 jam sejak perlakuan (JSP), perlakuan dengan ekstrak T. vogelii pada konsentrasi tertinggi (0,2%) mengakibatkan kematian larva

C. pavonana hanya sekitar 1% sedangkan pada konsentrasi 0,025%–0,165% belum ada kematian serangga uji. Tingkat mortalitas serangga uji meningkat tajam antara 24 dan 48 JSP; pada konsentrasi ekstrak T. vogelii 0,2%, mortalitas serangga uji pada 48 JSP telah melebihi 70%, sedangkan pada konsentrasi 0,025%–0,165%, mortalitas serangga uji berkisar dari sekitar 1% sampai 33%. Antara 48 dan 72 JSP masih terjadi peningkatan mortalitas serangga uji yang cukup besar, dan setelah 72 JSP peningkatan mortalitas serangga uji sangat kecil (Gambar 4A). Pada pengamatan 48, 72, dan 96 JSP, mortalitas serangga uji makin meningkat dengan makin besarnya konsentrasi ekstrak T. vogelii. Pada akhir pengamatan (96 JSP), mortalitas larva C. pavonana akibat perlakuan dengan

ekstrak T. vogelii 0,025%–0,2% berkisar dari sekitar 2% sampai 100% (Gambar 4A). Pola perkembangan mortalitas larva C. pavonana pada perlakuan dengan ekstrak T. vogelii tersebut serupa dengan yang dilaporkan oleh Abizar dan Prijono (2010).

Ekstrak etil asetat buah P. aduncum juga bekerja relatif lambat. Pada 24 jam sejak perlakuan (JSP), perlakuan dengan ekstrak P. aduncum pada konsentrasi tertinggi (0,25%) mengakibatkan kematian larva C. pavonana kurang dari 40% sedangkan pada konsentrasi 0,075%–0,215% kematian serangga uji berkisar dari sekitar 2% sampai 15%. Seperti pada perlakuan dengan ekstrak T. vogelii, tingkat mortalitas serangga uji akibat perlakuan dengan ekstrak P. aduncum juga meningkat tajam antara 24 dan 48 JSP; pada konsentrasi ekstrak P. aduncum 0,25%, mortalitas serangga uji pada 48 JSP telah mencapai 100%, sedangkan pada konsentrasi 0,075%–0,215%, mortalitas serangga uji berkisar dari sekitar 9% sampai lebih dari 70%. Namun, berbeda dengan ekstrak T. vogelii

yang masih mengakibatkan peningkatan mortalitas serangga uji yang cukup besar antara 48 dan 72 JSP (Gambar 4A), pada perlakuan dengan ekstrak P. aduncum, peningkatan mortalitas serangga uji sangat kecil antara 48 dan 72 JSP dan tidak terjadi lagi peningkatan mortalitas setelah 72 JSP (Gambar 4B). Seperti pada perlakuan dengan ekstrak T. vogelii, pada pengamatan 48, 72, dan 96 JSP, mortalitas serangga uji juga makin meningkat dengan makin besarnya konsentrasi ekstrak P. aduncum. Pada akhir pengamatan (96 JSP), mortalitas larva C. pavonana akibat perlakuan dengan ekstrak P. aduncum 0,075%–0,25% berkisar dari sekitar 13% sampai 100% (Gambar 4B).

Mortalitas larva C. pavonana akibatperlakuan dengan ekstrak T. vogelii dan

P. aduncum pada konsentrasi tertinggi telah melebihi 50% mulai 48 JSP, karena itu analisis probit dilakukan terhadap data mortalitas pada 48, 72, dan 96 JSP. LC50 dan LC95 ekstrak T. vogelii pada 72 JSP menurun tajam bila dibandingkan

dengan LC50 dan LC95 pada 48 JSP, sedangkan pada 96 JSP hanya terjadi

penurunan nilai LC50 dan LC95 yang sangat kecil dibandingkan dengan LC50 dan

LC95 pada 72 JSAP (Tabel 2). Sementara itu, mortalitas larva C. pavonana pada

perlakuan dengan ekstrak P. aduncum sudah mendekati maksimum pada 48 JSP (Gambar 4B) sehingga LC50 ekstrak tersebutpada 72 JSP sedikit menurun bila

Gambar 4 Perkembangan tingkat mortalitas larva C. pavonana pada perlakuan ekstrak daun T. vogelii (A) dan ekstrak buah P.aduncum (B). Pada semua perlakuan, tidak ada kematian larva kontrol hingga 96 JSP.

dibandingkan dengan LC50 pada 48 JSP, dan pada 96 JSP sudah tidak terjadi

perubahan nilai LC50. Nilsi LC95 ekstrak P. aduncum pada 72 JSP sedikit lebih

besar daripada LC95 pada 48 JSP, dan pada 96 JSP sudah tidak terjadi perubahan

nilai LC50 (Tabel 2). Pola perubahan nilai LC50 dan LC95 ekstrak T. vogelii dan P.

aduncum dari 48 JSP ke 96 JSP secara umum sesuai dengan pola perkembangan mortalitas serangga uji seperti yang telah dijelaskan sebelumnya (Gambar 4).

Baik ekstrak daun T. vogelii maupun ekstrak buah P. aduncum memiliki LC95 terhadap larva C. pavonana sekitar 0,3% (Tabel 2) sehingga kedua ekstrak

tersebut dapat dikatakan memiliki aktivitas insektisida yang kuat karena LC95-nya

0 20 40 60 80 100 Morta li tas ( % ) 0,200% 0,165% 0,130% 0,095% 0,060% 0,025%

A

0 20 40 60 80 100 0 24 48 72 96 Morta li tas ( % ) 0,250% 0,215% 0,180% 0,145% 0,110% 0,075% Waktu pengamatan (JSP)

B

Tabel 2 Penduga parameter hubungan konsentrasi-mortalitas ekstrak daun T. vogelii dan ekstrak buah P.aduncum terhadap larva instar II

C. pavonana

Jenis ekstrak Waktu pengamatan

(JSP) a a ± GB b b ± GB b LC50 (SK 95%) (%) b LC95 (SK 95%) (%) b T. vogelii 48 3,180 ± 0,396 4,262 ± 0,457 0,179 (-) 0,436 (-) 72 3,769 ± 0,317 3,949 ± 0,330 0,111 (0,072–0,163) 0,290 (0,186–2,014) 96 3,742 ± 0,312 3,876 ± 0,323 0,108 (0,071–0,155) 0,288 (0,186–1,715) P. aduncum 48 4,195 ± 0,334 5,079 ± 0,405 0,149 (0,118–0,184) 0,315 (0,236–0,731) 72 3,982 ± 0,322 4,684 ± 0,384 0,141 (0,110–0,173) 0,317 (0,235–0,742) 96 3,982 ± 0,322 4,684 ± 0,384 0,141 (0,110–0,173) 0,317 (0,235–0,742) a

JSP = jam sejak perlakuan. b

tidak melebihi 0,5% (Dadang & Prijono 2008). Toksisitas ekstrak etil asetat T. vogelii dalam penelitian ini (LC50 dan LC95 pada 72 JSP masing-masing 0,111%.

dan 0,290%, Tabel 2) sedikit lebih lemah daripada ekstrak etil asetat T. vogelii

bunga ungu yang dilaporkan oleh Abizar dan Prijono (2010) (LC50 dan LC95 pada

72 JSP masing-masing 0,091% dan 0,273%), tetapi lebih kuat daripada ekstrak n- heksana dan ekstrak metanol T. vogelii bunga ungu yang dilaporkan oleh Wulan (2008) (LC50 dan LC95 pada 72 JSP masing-masing 0,14% dan 0,34% untuk

ekstrak n-heksana serta 0,30% dan 1,30% untuk ekstrak metanol). Lebih lanjut, pada taraf LC50, toksisitas ekstrak T. vogelii dalam penelitian ini lebih kuat sekitar

1,3 kali dibandingkan dengan ekstrak aseton T. vogelii bunga ungu yang dilaporkan oleh Prijono et al. (2010) tetapi toksisitasnya setara pada taraf LC95

(LC50 dan LC95 pada 72 JSP masing-masing 0,145% dan 0,290%).

Dalam penelitian ini dan penelitian oleh Prijono et al. (2010) digunakan daun dari tanaman T. vogelii berbunga ungu yang berasal sekitar kebun sayuran di Kawasan Agropolitan di Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur (1283 m dpl,

6°43’23” LS dan 107°0’26” BT), sedangkan sampel daun yang digunakan oleh

Wulan (2008) berasal dari lahan petani di Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor

(914,4 m dpl, 6°41'17,51” LS dan 106°56'55,42” BT), dan yang digunakan oleh

Abizar dan Prijono (2010) berasal dari kebun sayuran organik Bina Sarana Bakti

di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor (914,4 m dpl, 6°41'17,51” LS dan

106°56'55,42” BT). Perbedaan keadaan lingkungan tempat asal bahan tumbuhan, sifat genetika dan umur tanaman, dan musim saat pengambilan bahan tumbuhan dapat mengakibatkan perbedaan kandungan bahan aktif yang selanjutnya dapat memperngaruhi aktivitas ekstrak yang diperoleh (Kaufman et al. 2006). Perbedaan jenis pelarut juga dapat mempengaruhi banyaknya bahan aktif yang terekstrak (Houghton & Raman 1998) dan hal ini juga dapat mempengaruhi aktivitas ekstrak yang diperoleh seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya.

Pada taraf LC50, toksisitas ekstrak etil asetat buah P. aduncum dalam

penelitian ini sebanding dengan toksisitas ekstrak n-heksana buah P. aduncum

yang dilaporkan oleh Hasyim (2011), sedangkan pada taraf LC95 sekitar 1,2 kali

sedangkan pelarut etil asetat selain dapat melarutkan senyawa nonpolar juga dapat melarutkan senyawa yang bersifat lebih polar (Houghton & Raman 1998). Tampaknya senyawa aktif P. aduncum bersifat relatif nonpolar yang dapat diekstrak dengan baik menggunakan pelarut n-heksana sementara penggunaan etil asetat selain dapat mengekstrak senyawa aktif tersebut juga mengekstrak senyawa lebih polar yang kurang aktif. Akibatnya, meskipun hasil ekstrak P. aduncum

dengan pelarut etil asetat (Tabel 1) lebih tinggi daripada hasil ekstrak dengan pelarut n-heksana yang dilaporkan Hasyim (2011), kandungan senyawa aktif dalam ekstrak P. aduncum dengan pelarut etil asetat lebih rendah daripada ekstrak dengan pelarut n-heksana, sehingga toksisitas ekstrak P. aduncum dengan pelarut etil asetat lebih rendah daripada toksisitas ekstrak dengan pelarut n-heksana. Selain itu, perbedaan aktivitas ekstrak P. aduncum yang diperoleh juga dapat disebabkan oleh perbedaan sifat genetika dan umur tanaman (Kaufman et al.

2006).

Berdasarkan perbandingan LC50 dan LC95 pada 72 JSP (Tabel 2), ekstrak T.

vogelii masing-masing sekitar 1,27 dan 1,09 kali lebih beracun terhadap larva C.

Dokumen terkait