• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kandang Unggas, Laboratorium Imunologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Waktu Penelitian berlangsung 14 bulan dari bulan Mei 2006 sampai dengan bulan Juli 2007.

Rancangan Penelitian

Sepuluh hari sebelum imunisasi aktif masing-masing ayam dipastikan bebas dari infeksi cacing melalui pemeriksaan telur tiap gram tinja. Ayam dipelihara secara individual dalam kandang baterei yang diberi pakan komersial dan air minum secara ad libitum. Dua belas ekor ayam HySex Brown berumur 24 minggu digunakan sebagai ayam percobaan yang dibagi menjadi empat kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari tiga ekor ayam. Kelompok A adalah sebagai kelompok kontrol, ayam tidak diimunisasi dan tidak diinfeksi. Kelompok B adalah ayam yang diimunisasi aktif. Kelompok C adalah ayam yang diinfeksi dengan dosis 1000 L2 A. galli. Kelompok D adalah ayam yang diimunisasi aktif, dan diinfeksi (ditantang) dengan dosis 1000 L2 A. galli. Serum kelompok A, B, C, dan D dipanen dan diuji dengan ELISA setiap minggu yang

49 dimulai sesaat prainfeksi dosis 1000 L2 A. galli sampai minggu ke-10 pascainfeksi.

Teknik Imunisasi dan Teknik Infeksi pada Ayam Percobaan

Imunisasi dilakukan empat kali dalam interval waktu satu minggu setiap kali imunisasi. Teknik yang digunakan adalah suntikan pertama 80 μg dengan emulsi antigen plus freund’s complete adjuvant (FCA) yang diikuti dengan tiga kali suntikan booster (60 μg/imunisasi) dengan emulsi antigen plus incomplete freund’s adjuvant (IFA) (Camenisch et al. 1999 dan Carlender 2002). Infeksi dengan dosis 1000 L2 A. galli dilakukan langsung ke dalam oesofagus pada minggu pertama pascaimunisasi terakhir.

Uji Spesifisitas IgY Secara Kuantitatif: Enzyme-Linked Immunosorbent Assay

Uji ELISA dilakukan terhadap serum dari semua kelompok ayam percobaan (A, B, C, dan D) yang dipanen setiap minggu yang dimulai sesaat prainfeksi dosis 1000 L2 sampai minggu ke-10 pascainfeksi. Sumur pada plat ELISA dilapisi dengan 100 μl antigen. Konsentrasi larutan yang digunakan adalah 2 – 10 μl/ml dalam 0,1 M NaHCO3, pH 9,5. Plat diinkubasikan selama 24 jam pada suhu 40C. Plat dicuci sebanyak 3 kali dengan 0,15 M NaCl, 0,02 M NaHPO4, 0,01% Tween 20, pH 7,2 (PBS-T) yang khusus digunakan sebagai larutan pencuci dalam ELISA. Sebanyak 100 μl sampel antibodi yang diencerkan 200 kali yang telah dilarutkan dalam PBS-T ditambahkan ke setiap lubang dari plat yang dibuat duplo. Plat diinkubasikan selama satu sampai dua jam pada suhu ruangan di atas

shaker. Plat dicuci kembali sebanyak tiga kali dengan PBS-T. Sebanyak 100 μl antibodi yang telah dilabel (IgY conjugate HRP, rabbit anti-chicken) dimasukkan ke dalam lubang plat dan diinkubasikan selama satu jam pada suhu ruangan di atas shaker dan ditambahkan substrat peroksidase, ABTS, dan sitrat buffer. Plat dibaca dengan ELISA Reader panjang gelombang 415 nm (Yadav et al. 2005). Analisis Data

Data diuji dengan analisis sidik ragam. Apabila terdapat perbedaan, dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan (Stell dan Torrie 1999).

HASIL PENELITIAN

Uji Spesifisitas IgY Secara Kuantitatif: Enzyme-Linked Immunosorbent Assay

Hasil titrasi menunjukkan bahwa konsentrasi antigen adalah pada pengenceran 1 : 400, konsentrasi antiserum adalah pada pengenceran 1 : 200, dan konsentrasi konjugat adalah pada konsentrasi 1 : 1000. Pada uji ELISA diketahui bahwa konsentrasi optimum cairan ekskretori/sekretori stadium L3A. galli 30.000 MWCO yang dibutuhkan adalah 0,15 µg dalam setiap sumur ELISA.

Gambar 11 menunjukkan titer antibodi di dalam serum ayam percobaan. Titer antibodi semua kelompok ayam percobaan berbeda tidak signifikan (P > 0,05) pada sesaat prainfeksi (minggu kenol, Gambar 11). Selain pada kelompok ayam kontrol, peningkatan titer antibodi terjadi pada semua kelompok ayam percobaan mulai minggu pertama sampai minggu ke-10 pascainfeksi. Titer antibodi semua kelompok ayam percobaan meningkat signifikan (P < 0,05) hanya terhadap kelompok kontrol pada minggu pertama, kedua, kelima, dan ke-10 pascainfeksi. 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Minggu ke- (pascainfeksi)

T it er a n ti b o d i s eru m ( O D )

Kontrol Imunisasi Infeksi Imunisasi dan Infeksi

Gambar 11. Titer antibodi di dalam serum ayam pada tiap-tiap kelompok ayam percobaan

Titer antibodi kelompok ayam imunisasi yang ditantang dengan dosis 1000 L2 meningkat signifikan (P < 0,05) terhadap titer antibodi kelompok ayam kontrol dan kelompok ayam imunisasi pada minggu ketiga, keempat, keenam,

51 ketujuh, kedelapan, dan kesembilan pascainfeksi. Titer antibodi kelompok ayam infeksi dengan dosis 1000 L2 berbeda tidak signifikan (P > 0,05) dibandingkan dengan kelompok ayam imunisasi, dan kelompok ayam imunisasi yang ditantang dengan dosis 1000 L2 pada minggu ketiga, keempat, keenam, ketujuh, kedelapan, dan kesembilan pascainfeksi.

PEMBAHASAN

Titer antibodi pada kelompok ayam yang diimunisasi, dan kelompok ayam yang diimunisasi dan ditantang dengan dosis 1000 L2A. galli selalu menunjukkan nilai OD yang lebih tinggi dibandingkan titer antibodi kelompok ayam yang tidak diimunisasi dan tidak diinfeksi, demikian juga dengan titer antibodi ayam yang hanya diinfeksi (Gambar 11). Hal ini berarti bahwa antigen ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli bersifat imunogenik dan prosedur imunisasi untuk memicu pembentukan antibodi pada ayam yang direkomendasikan oleh Camenisch et al. (1999) dapat digunakan pada penelitian ini.

Camenisch et al. (1999) menyatakan bahwa pembentukan antibodi dapat dipicu melalui teknik imunisasi dengan cara menginjeksikan antigen dan adjuvant

secara subkutan, intramuskular, atau secara oral dalam interval waktu tertentu. Teknik imunisasi pada ayam untuk memicu terbentuknya IgY anti human hypoxia-inducible factor 1 (anti-HIF-1α) dalam serum dan kuning telur ayam dilakukan dengan injeksi 80 μg antigen fusi protein plasmid bakteri yang mengekspresikan HIF-1α dengan glutathione S-tranferase yang diresuspensi dengan 500 μl PBS dan dicampur dengan 500 μl CFA pada otot dada. Booster

dilakukan dua kali dengan cara menyuntikkan 60 μg antigen yang dicampur dengan IFA pada minggu ke-2 dan 4.

Sifat imunogenik antigen ekskretori/sekretori cacing telah dibuktikan oleh peneliti terdahulu. Aktivitas antigenik ekskretori/sekretori F. hepatica dan F. gigantica dibuktikan pula oleh dan Paz-Silva et al. 2004 dan Zhang et al. (2005) dapat menimbulkan efek imunomodulator dan memicu proliferasi limfosit domba, tikus, dan kerbau. Cathepsin-L (28-kDa) dari ekskretori/sekretori F. gigantica

selama 4 minggu pasca infeksi pada kerbau dan domba (Paz-Silva et al. 2003 dan Yadav et al. 2005). Nilai telur tiap gram tinja (TTGT) menurun signifikan dijumpai pada Lama pacos yang memiliki titer antibodi yang tinggi (Green et al. 1996). Demikian juga pada anak domba yang memiliki titer IgG yang meningkat signifikan berimplikasi kepada penurunan nilai TTGT (Vervelde et al. 2003).

Pada minggu kedua pascainfeksi terjadi penurunan titer antibodi pada kelompok ayam yang diimunisasi dan ditantang dengan dosis 1000 L2 A. galli. Hal ini dapat dijelaskan bahwa antibodi yang telah terbentuk di dalam serum ayam petelur oleh rangsangan antigen melalui imunisasi mungkin telah tertarik ke bagian usus halus yang merupakan tropisma A. galli. Tizard (1996) menyatakan bahwa antibodi yang telah terbentuk akan melekat pada permukaan cacing, sel eosinofil kemudian melekat melalui reseptor Fc antibodi, sehingga sel eosinofil teraktivasi dan melepaskan sekresi protein dari granula yang dapat merusak parasit bersangkutan.

Klei (1997) menyatakan bahwa tanggap kebal dipicu melalui mekanisme sitotoksisitas seluler tergantung antibodi (antibody dependent cell cytotoxicity = ADCC) yang khas. Tanggap ini menurut Roitt dan Delves (2001) dapat terjadi karena ekskretori/sekretori dapat merangsang sel Th2 untuk memproduksi interleukin (IL), yaitu IL-4 dan IL-5. IL-4 merangsang produksi antibodi, sedangkan IL-5 merangsang pembentukan dan perkembangan sel eosinofil. Penelitian terdahulu merefleksikan bahwa ekskretori/sekretori asal cacing A. galli

dewasa dapat memicu pertahanan selaput lendir mukosa usus halus yang ditandai dengan eosinofilia dan hiperplasia dan proliferasi sel mast mukosa (Darmawi 2003) serta sel goblet (Balqis 2004). Sel eosinofil, sel mast mukosa, dan sel goblet berperan dalam pengeluaran A. galli dari saluran cerna ayam (Tiuria et al. 2000).

Fenomena fluktuasi titer antibodi merupakan manifestasi infeksi cacing. Menurut Nambi et al. (2005) bahwa respons humoral dan seluler kerbau (Bubalus bubalis) meningkat signifikan dua minggu setelah diimunisasi dengan 400 μg ekskretori/sekretori F. gigantica. Pada penelitian ini, peningkatan titer antibodi kembali terjadi pada minggu ketiga pascainfeksi, dan titer antibodi yang tinggi tetap dipertahankan sampai minggu ke-10 pascainfeksi pada kelompok ayam yang diimunisasi dan ditantang dengan dosis 1000 L2A. galli.

53 KESIMPULAN

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:

1. Antigen ekskretori/sekretori stadium L3A. galli dapat menggertak respons humoral yang ditandai dengan meningkatnya titer antibodi serum ayam petelur yang diimunisasi.

2. Titer antibodi serum semakin meningkat pada ayam yang sudah diimunisasi dengan antigen ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli dan diikuti dengan infeksi dosis 1000 L2.

SARAN

Dari hasil penelitian ini dapat disarankan bahwa untuk mengetahui keberadaan antigen A. galli dapat dilakukan penelitian lebih lanjut melalui uji imunohistokimia.

DETEKSI KEBERADAAN ANTIGEN Ascaridia galli DENGAN IMUNOGLOBULIN YOLK MELALUI METODE IMUNOHISTOKIMIA

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keberadaan antigen ekskretori/sekretori Ascaridia galli dengan metode imunohistokimia. Cacing A. galli dewasa dipotong secara melintang dan memanjang pada bagian kepala dan ekor. Jaringan tubuh A. galli yang dipotong diblok di dalam parafin dan preparat histologi dibuat melalui proses tahapan dehidrasi, clearing, infiltrasi dan

embeding dengan parafin, pemotongan dan pewarnaan. Keberadaan antigen pada jaringan cacing A. galli dideteksi dengan uji imunohistokimia. Slide dihangatkan di dalam buffer sitrat pada temperatur 90-95oC. Aktivitas endogen dihambat dengan H2O2 3% dan skim milk 0,1%. Slide diinkubasikan dengan antibodi primer imunoglobulin yolk (IgY) selama satu malam pada temperatur 4oC, dan antibodi sekunder anti-chicken IgY HRP-conjugat selama satu jam pada temperatur ruangan. Slide diwarnai dengan kromogen AEC, conterstain dengan Lillie Mayer Haematoxylin, dan ditutup di dalam genangan gliserin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa antigen dapat dideteksi keberadaannya pada bagian kutikula dan saluran cerna A. galli. Hasil tersebut merefleksikan bahwa IgY yang terbentuk oleh rangsangan produk ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli dapat mengenal antigen A. galli sehingga IgY tersebut dapat digunakan

alam imunodiagnostik. d

Kata kunci: Ascaridia galli, antigen ekskretori/sekretori, imunohistokimia

ABSTRACT

The purpose of the present study was to determine the presence of antigen in the Ascaridia galli. A. galli adult worms were cut in transversal and longitudinal by mean of cranial and caudal. The tissue of A. galli were blocked in paraffin and the histologic preparates were done by means of dehydration, clearing, infiltration and embedding in paraffin, section and staining. The antigen were detected with immunohistochemistry. Slides were warmed in citrate buffer at 90-95oC. Endogenous activities were blocked with 3% H2O2 and 0.1% skim milk. Slides were incubated with both primary antibody yolk immunoglobulin (IgY) for overnight at 4oC and secondary antibody rabbit anti-chicken IgY HRP-conjugate for one hour at room temperature. Slides were stained with AEC chromogen, counterstained with Lillie Mayer Haematoxylin, and mounted in glyserin aqueous mount. The result showed that antigen were able detected in cuticle and intestines of A. galli. This research concluded that IgY stimulated by the excretory/ secretory antigen of L3 stage was able to recognized A. galli antigen so the IgY could be applied for immunodiagnostic.

55 PENDAHULUAN

Metode deteksi antigen-antibodi telah banyak dikembangkan seiring dengan penemuan teknologi mutakhir dalam bidang biologi molekuler bersamaan dengan penemuan terbaru metode produksi antibodi spesifik terhadap antigen di dalam serum dan kuning telur (yolk). Kemajuan tersebut memberi kesempatan untuk membuat cara imunodiagnostik yang aman dan akurat (Motoi et al. 2005).

Lehr et al. (1999) menyatakan bahwa kombinasi dari konsep-konsep imunologis dan histologis merupakan suatu jalan yang terbukti sangat berguna dalam biologi molekuler dan biomedis, terutama dalam analisis imunoserologis pada organ-organ dalam keadaan normal maupun patologik. Untuk tujuan tersebut telah digambarkan pendekatan kuantitatif sejak abad terakhir ini, misalnya oleh Ehrlich dan Landsteiner sebagai pelopor-pelopor dalam pengembangan teknik ini.

Prinsip dari teknik imunohistokimia adalah adanya ikatan antigen-antibodi yang digunakan untuk mendeteksi suatu molekul dalam jaringan. Pada penelitian ini, metode imunohistokimia ditujukan untuk mendeteksi antigen cacing A. galli

dengan menggunakan IgY yang dipicu oleh antigen ekskretori/sekretori stadium L3A. galli sebagai antibodi primer sehingga terbentuk kompleks antigen-antibodi. Motoi et al. (2005) membuktikan bahwa IgY yang dipicu oleh antigen virus rabies dapat digunakan pada uji imunohistokimia yang sangat rektif mengenal antigen rabies pada sitoplasma sel-sel neuron (sel syaraf) dari ganglion trigeminal jaringan otak tikus.

Imunohistokimia diartikan sebagai suatu metode untuk mendeteksi suatu molekul yang ada di jaringan dengan menggunakan antibodi poliklonal atau monoklonal terhadap molekul yang akan dideteksi (merupakan reaksi antigen-antibodi) dan dapat memberikan gambaran kualitatif dari intensitas warna yang terbentuk maupun gambaran kuantitatif. Teknik imunohistokimia dapat digunakan untuk mempelajari distribusi enzim yang spesifik pada struktur sel intak (normal/lengkap), mendeteksikan komponen sel, biomakromolekul seperti protein, karbohidrat (Lehr et al. 1999; Ding dan Candido 2000; Nagano et al. 2004; Yarim et al. 2004; Rostaing et al. 2004; dan Motoi et al. 2005).

Kemajuan teknologi yang telah dicapai untuk produksi imunoglobulin yolk

(IgY) yang mudah dan efisien membuka peluang pemanfaatan IgY dalam berbagai uji imunodiagnostik dan pencegahan penyakit infeksi. IgY telah dimanfaatkan untuk mencegah diare dan karies pada gigi (Soejoedono et al. 2005), dan untuk mencegah rabies (Motoi et al. 2006; dan Paryati 2006). IgY dapat dimanfaatkan untuk imunodiagnostik melalui uji imunohistokimia (Motoi et al. 2005) dan uji ELISA (Paryati 2006). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keberadaan antigen A. galli dengan menggunakan IgY terhadap ekskretori/sekretori A. galli melalui uji imunohistokimia.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Patologi, Departemen Klinik, Patologi dan Reproduksi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Waktu Penelitian berlangsung 2 bulan dari bulan Juni sampai dengan Juli 2007. Rancangan Penelitian

Cacing A. galli dewasa dipotong secara transfersal dan longitudinal setebal 3 – 5 μm. Preparat objek ditetesi antibodi primer terhadap ekskretori/sekretori A. galli, antibodi sekunder (IgY conjugate HRP, rabbit anti-chicken). Preparat objek ditetesi dengan peroksidase, dan kromogen AEC (3-amino-9-ethyl-carbazole).

Counterstain dilakukan dengan meneteskan Lillie Mayer Hematoksilin secara merata dan dicuci dengan dionized water. Preparat objek ditutup dengan cover glass yang digenangi dengan gliserin. Visualisasi endapan berwarna (kromogranin) yang terbentuk diamati di bawah mikroskop yang menunjukkan adanya kompleks antigen-antibodi (Lehr et al. 1999).

Uji Imunohistokimia

Preparat histologi jaringan tubuh cacing A. galli dibuat melalui proses tahapan dehidrasi, clearing, infiltrasi dan embeding dengan parafin, pemotongan dan pewarnaan. Jaringan diblok di dalam parafin dan disimpan di dalam lemari es

57 agar parafin menjadi lebih keras sehingga memudahkan pemotongan. Cacing A. galli dipotong secara transfersal dan longitudinal setebal 3 – 5 μm dengan mikrotom. Sayatan jaringan diapungkan diatas air hangat pada temperatur 60oC dan dilekatkan pada gelas objek. Parafin dihilangkan dengan xylol (III, II, dan I) masing-masing selama 3 menit. Rehidrasi dilakukan dengan cara merendam preparat objek secara bergantian dalam alkohol konsentrasi 95%, 90%, 80%, dan 70% masing-masing selama 3 menit. Preparat objek dicuci (clearing) dengan

diionized water selama 15 menit. Peroksidase endogen dihilangkan dengan H2O2 3% selama 20 menit dan skim milk 0,1% selama 30 menit, dibilas dengan

diionized water dan PBS masing-masing 3 kali 5 menit (Yarim et al. 2004).

Slide (preparat objek) ditetesi antibodi primer IgY terhadap ekskretori/sekretori A. galli secara merata. Antibodi primer yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari hasil purifikasi IgY dengan metode fast performans liquid chromatografi (FPLC) di dalam kuning telur (yolk) dari ayam yang diimunisasi dengan antigen ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli. Preparat objek dimasukkan ke dalam kotak preparat (humidity chamber) diberi kertas tissue yang ditetesi dengan PBS untuk menjaga kelembaban, dimasukkan ke dalam lemari es pada temperatur 4oC selama satu malam, dan dicuci 3 kali 5 menit dengan PBS. Preparat objek ditetesi antibodi sekunder (IgY conjugate HRPrabbit anti-chicken, Promega), diinkubasi pada temperatur ruangan selama satu jam, dan dicuci 3 kali 5 menit dengan PBS. Preparat objek ditetesi dengan peroksidase, diinkubasi pada temperatur ruangan selama 30 menit, dan dicuci 3 kali 5 menit dengan PBS (Ding dan Candido 2000; Inoue et al. 2003; Rostaing et al. 2004; dan Motoi et al. 2005).

Preparat objek ditetesi kromogen AEC, diinkubasi pada temperatur ruangan selama 3 menit, dan dicuci 3 kali 5 menit dengan PBS. Counterstain dilakukan dengan meneteskan Lillie Mayer Hematoksilin secara merata selama satu menit dan dicuci dengan dionized water. Preparat objek ditutup dengan cover glass yang direkatkan dengan gliserin. Imunoreaktivitas positif dievaluasi di bawah mikroskop dengan lensa objektif 40 kali. Visualisasi endapan berwarna (kromogranin) yang terbentuk menunjukkan adanya kompleks antigen-antibodi (Lehr et al. 1999).

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa antibodi poliklonal IgY yang terbentuk oleh rangsangan antigen ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli dapat mengenal keberadaan antigen cacing A. galli. Kompleks antigen-antibodi ditunjukkan oleh reaksi positif yang ditandai munculnya warna jingga kontras pada potongan melintang dan memanjang pada bagian kutikula dan saluran cerna

A. galli (Gambar 12).

A

B

Gambar 12. Reaksi positif uji imunohistokimia terhadap antigen A. galli Keterangan: A = potongan melintang, B = potongan memanjang.

59 PEMBAHASAN

Teknik polymer peroxidase merupakan teknik yang banyak digunakan. Teknik ini menggunakan dua antibodi, yaitu antibodi primer dan antibodi sekunder yang telah dikonjugasikan dengan peroksidase. Reaksi yang ditimbulkan dapat diamati dengan mikroskop cahaya yang dapat memberikan gambaran kualitatif dari intensitas produk warna yang terbentuk (Lehr et al. 1999). Pembentukan kompleks reaksi antigen-antibodi tersebut berlangsung seperti yang ditunjukkan pada Gambar 13.

P

Gambar 13. Kompleks antigen-antibodi pada teknik polimer peroksidase

Untuk mendeteksi peroksidase, ditambahkan suatu kromogen yang dapat menghasilkan endapan berwarna (kromogranin) pada suatu reaksi sehingga produk dapat tervisualisasi. Tujuan umum teknik imunohistokimia adalah untuk mengidentifikasi dan mengkarakterisasi komponen struktur dan fungsi sel, oleh karena itu kompleks antigen-antibodi yang terjadi harus dilabel dengan suatu cara khusus agar dapat tervisualisasi. Substansi yang cocok untuk melabel kompleks tersebut adalah yang memberikan reaksi warna yang tegas. Kromogen yang digunakan pada reaksi yang berperoksidase adalah AEC sehingga reaksi berlangsung seperti yang terlihat pada Gambar 14.

Peroksidase

H2O2 Endapan merah jambu

(kromogranin) AEC

Penambahan AEC tidak akan menghasilkan kromogranin tanpa adanya H2O2 dan peroksidase. Antibodi primer akan bereaksi/berikatan dengan antigen (molekul) jaringan yang dideteksi, selanjutnya antibodi yang dilabel dengan peroksidase akan bereaksi dengan antibodi primer tersebut. Sehingga keberadaan enzim peroksidase ini melambangkan adanya kompleks antigen-antibodi. Pada penelitian ini, kompleks antigen-antibodi yang terbentuk pada kutikula dan sepanjang saluran cerna cacing A. galli menghasilkan warna jingga kontras (Gambar 12). Lehr et al. (1999) melaporkan bahwa uji imunohistokimia terhadap karsinoma sel-sel tumor epitel pada itik membentuk dua warna yang kontras. Warna turquoise (biru hijau) adalah representasi positif sitokeratin sel-sel tumor sedangkan warna pink (merah jambu) adalah representasi positif vimentin stroma.

Teknik imunohistokimia adalah salah satu metode imunokimiawi yang sudah dikembangkan pada imunodiagnostik penyakit parasitik. Yarim et al. (2004) menyatakan bahwa uji imunohistokimia dapat mendeteksi keberadaan enzim 3β-hydroxysteroid-dehidrogenase (3β-HSD) pada bradyzoit yang menutupi sarcocysts di dalam otot skelet domba sebagai inang intermediet Sarcocystis spp. Nagano et al. (2004) membuktikan bahwa antibodi primer dapat mengenal antigen cacing Clonorchis sinensis yang berlokasi pada sel-sel epitel intestinal cacing dewasa dan pada telur intrauterin.

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa IgY yang terbentuk oleh rangsangan antigen ekskretori/sekretori larva L3 A. galli dapat mengenal antigen yang berada pada kutikula dan saluran cerna A. galli.

SARAN

Dari hasil penelitian ini dapat disarankan bahwa untuk mengetahui kemungkinan antigen ekskretori/sekretori stadium L3 dan atau IgY dapat mengurangi kelangsungan hidup A. galli perlu dilakukan penelitian secara in vivo

61 POTENSI ANTIGEN EKSKRETORI/SEKRETORI STADIUM L3,

IMUNOGLOBULIN YOLK, DAN KOMBINASINYA TERHADAP

Dokumen terkait