• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMUNOGLOBULIN YOLK, DAN KOMBINASINYA TERHADAP PENURUNAN POPULASI Ascaridia galli

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui populasi larva di dalam usus halus ayam yang yang diimunisasi dan ditantang dengan cacing Ascaridia galli. Sebanyak 18 ekor ayam dibagi dalam enam kelompok (A – F). Kelompok A adalah sebagai kontrol, ayam pada kelompok B, C, dan D diimunisasi aktif secara intramuskular dengan dosis 80 µg ekskretori/sekretori larva A. galli yang dicampur dengan fruend adjuvant complete dan diulang tiga kali dengan dosis 60 µg yang dicampur dengan freund adjuvant incomplete. Ayam pada kelompok C, D, dan F diinfeksi dengan dosis 1000 L2. Ayam pada kelompok D dan E diimunisasi pasif secara oral setiap hari dengan 0,875 mg IgY anti-ascaridiosis. Populasi A. galli di dalam intestinal dihitung pada 12 minggu pascainfeksi. IgY anti-ascaridiosis diuji terhadap kelangsungan hidup A. galli setiap 12 jam secara

in vitro. Hasil menunjukkan bahwa kombinasi imunisasi aktif dan pasif secara signifikan menurunkan kelangsungan hidup A. galli di dalam usus halus ayam petelur. Tindakan imunisasi berkorelasi positif dengan jumlah kelangsungan hidup cacing (worm burden) dalam saluran cerna ayam pada kelompok C dan D 12 minggu pascainfeksi. Hasil tersebut merefleksikan bahwa produk ekskretori/sekretori larva A. galli mengandung antigen, dan antibodi berperan terhadap dalam mekanisme imunitas terhadap A. galli.

Kata kunci: Ascaridia galli, antigen excretory/secretory , immunoglobulin yolk

ABSTRACT

The purpose of the present study was to determine the presence of worm populations in intestine of chickens immunized and challenged to experimental Ascaridia galli infection. Amount of 18 head chickens were devided into six groups (A – F). Group A was a control group. Three groups (B - D), the chickens were actively immunized with 80 µg mixed with fruend adjuvant complete and repeated three times with dose of each 60 µg excretory/secretory antigen of A. galli larvae mixed with freund adjuvant incomplete with an interval of one week intra muscularly. Four groups (C – F), chickens were infected with dose 1000 L2. Two groups (D – E), the chickens were passively immunized ten times with 0,875 mg egg yolk with an interval of one day intra orally of hen immunized against excretory/secretory antigen of A. galli. Intestinal worm burdens of infected groups were recorded. Anti-ascaridiosis IgY were treated to observed A. galli survival in vitro with an interval of 12 hours. The result showed that active combined with passive immunizations decreased significantly A. galli survival in intestine of laying hens. Immunizations were positively correlated with worm burden at 12 weeks after infection in group C and D. The results suggest that A. galli larvae excretory/secretory product contain protective antigen and that antibody-mediated mechanisms contribute to immune protection.

PENDAHULUAN

Metode pengendalian helminthosis secara kemoprofilaksis yang telah dilakukan selama ini mempunyai beberapa kelemahan. Pemberian dosis optimal 30,3 ppm fenbendazole menghasilkan nilai efikasi yang bervariasi antara 69,0 – 89,6% sehingga tidak selalu dapat mengeluarkan cacing Ascaridia galli secara menyeluruh dari dalam usus halus inang definitif (Sander dan Schwartz 1994). Penggunaan anthelmintika berspektrum luas dilaporkan oleh Waller (1997) telah menyebabkan resistensi nematoda terhadap anthelmintika. Oleh karena itu, perlu dicarikan metode pengendalian ascaridiosis yang tepat dan akurat secara imunoprofilaksis.

Penelitian yang menunjukkan prospek pengendalian helminthosis secara imunoprofilaksis telah banyak dikembangkan. Antigen yang diekspresikan melalui ekskretori/sekretori cacing nematoda seperti Ostertagia circumcincta dan

Onchocerca gipsoni pada sapi (Harnett et al. 1997), Ascaris suum pada babi (Rhoads et al. 2001), Haemonchus contortus pada domba (Vervelde et al. 2003) dapat berperan sebagai molekul biologik aktif pemicu respons imunitas inang definitif. Kajian imunoproteksi H. contortus pada kambing dilaporkan Ruiz et al. (2004) bahwa imunisasi aktif dengan sistein protease yang diisolasi dari H. contortus dewasa dianggap sebagai kandidat vaksin yang penting untuk mengontrol haemonchosis. Sistein protease bersifat antigen imunoprotektif karena kambing yang telah diinfeksi dengan H. contortus dan diimunisasi dengan enzim protease tersebut menunjukkan penurunan jumlah telur H. contortus pada tiap gram tinja, penurunan jumlah cacing (worm burden) pada tiap ekor kambing secara signifikan.

Aplikasi imunoglobulin yolk (IgY) sebagai imunoterapi telah menunjukkan hasil signifikan dalam meningkatkan fungsi imun. Davis dan Reeves (2002) melaporkan bahwa imunisasi pasif secara oral dengan menambahkan IgY ke dalam kolustrum dapat mencegah infeksi Escherichia coli

pada pedet dan rotavirus pada mencit. Akita dan Nakai (1992) dan Makoto et al. (1998) melaporkan juga bahwa kerentanan anak-anak terhadap patogen dapat dicegah dengan cara memformulasikan IgY anti-patogen ke dalam makanan.

63 Penelitian tentang metode pengendalian ascaridiosis pada ayam petelur secara imunoprofilaksis belum cukup memberi penjelasan tentang peran imunitas humoral terhadap kelangsungan hidup cacing A. galli secara in vivo. Untuk mengendalikan infeksi A. galli diperlukan penelitian yang diarahkan kepada prospek pengendalian secara imunoprofilaksis. Tindakan yang harus dilakukan adalah dengan melakukan imunisasi aktif dan atau imunisasi pasif. Imunisasi aktif dilakukan dengan cara memaparkan antigen sebagai bahan asing untuk memicu respons imunitas humoral dan seluler inang definitif. Imunisasi pasif dilakukan dengan cara memberikan komponen imunitas yang berperan dalam reaksi imunologik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi antigen ekskretori/sekretori pada imunisasi aktif dan atau IgY pada pasif terhadap penurunan populasi cacing A. galli secara in vivo.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kandang Unggas, dan Laboratorium Imunologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Waktu Penelitian berlangsung 9 bulan dari bulan Mei 2006 sampai dengan bulan Februari 2007.

Rancangan Penelitian

Sepuluh hari sebelum imunisasi aktif masing-masing ayam dipastikan bebas dari infeksi cacing melalui pemeriksaan telur tiap gram tinja. Ayam dipelihara secara individual dalam kandang baterei yang diberi pakan komersial dan air minum secara ad libitum. Delapan belas ekor ayam HySex Brown berumur 24 minggu digunakan sebagai ayam percobaan yang dibagi menjadi enam kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari tiga ekor ayam.

Populasi cacing A. galli secara in vivo dianalisis pada semua kelompok ayam. Kelompok A adalah sebagai kelompok ayam tidak diimunisasi dan tidak diinfeksi. Kelompok B adalah ayam yang diimunisasi aktif. Imunisasi aktif menggunakan antigen ekskretori/sekretori stadium L3A. galli yang disiapkan pada artikel kedua dalam tulisan ini. Kelompok C adalah ayam yang diimunisasi aktif

dan diinfeksi dengan dosis 1000 L2 A. galli. Dosis 1000 L2 A. galli disiapkan seperti yang dijelaskan pada artikel pertama dalam tulisan ini. Kelompok D adalah ayam yang diimunisasi aktif, diinfeksi dengan dosis 1000 telur infektif A. galli, dan diimunisasi pasif. Imunisasi pasif menggunakan yolk dari telur ayam yang telah positif mengandung IgY terhadap ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli

yang disiapkan pada artikel ketiga dalam tulisan ini. Kelompok E adalah ayam yang diinfeksi dengan dosis 1000 telur infektif A. galli dan diimunisasi pasif. Kelompok F adalah ayam yang diinfeksi dengan dosis 1000 telur infektif A. galli. Semua ayam dinekropsi setelah 12 minggu pascainfeksi, dan cacing A. galli yang ditemukan di dalam saluran cerna dihitung jumlahnya.

Teknik Imunisasi Aktif dan Pasif pada Ayam Percobaan

Imunisasi aktif dilakukan empat kali dalam interval waktu satu minggu setiap kali imunisasi. Teknik yang digunakan adalah suntikan pertama 80 μg dengan emulsi antigen plus Freund’s Complete Adjuvant (FCA) yang diikuti dengan tiga kali suntikan booster (60 μg/imunisasi) dengan emulsi antigen plus

Incomplete Freund’s Adjuvant (IFA) (Camenisch et al. 1999 dan Carlender 2002). Infeksi dengan dosis 1000 telur infektif A. galli dilakukan langsung ke dalam oesofagus pada minggu ke-8 pascaimunisasi aktif. Imunisasi pasif diberikan langsung ke dalam oesofagus dengan dosis 0,875 mg IgY kuning telur setiap hari selama 10 hari berturut-turut mulai pada minggu ke-9 pascaimunisasi aktif.

Populasi cacing A. galli secara in vivo

Semua kelompok ayam percobaan dipotong dan dinekropsi pada minggu ke-12 pascainfeksi. Usus halus diambil dan dibuka secara longitudinal. Isi usus dan mukosa disaring dengan kain kasa di atas gelas Bermann yang berisi NaCl fisiologis. Satu jam kemudian, larva yang tenggelam ke dasar gelas diambil dan dihitung jumlahnya di bawah mikroskop.

Analisis Data

Data diuji dengan analisis sidik ragam. Apabila terdapat perbedaan, dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan (Stell dan Torrie 1999).

65 HASIL PENELITIAN

Kelangsungan hidup A. galli secara in vivo

Secara in vivo, kelangsungan hidup cacing A. galli 12 minggu pascainfeksi ditemukan pada semua kelompok ayam yang diinfeksi dosis 1000 L2 (Tabel 5). Tabel 5. Populasi cacing A. galli_secara in vivo 12 minggu pascainfeksi .

Kelompok Imunisasi Imunisasi

ayam aktif Infeksi pasif Jumlah Larva A. galli

A - - - 0,00 ± 0,00ab B 260 μg - - 0,00 ± 0,00ab C 260 µg 1000 L2 - 5,67 ± 3,21acd D 260 µg 1000 L2 8,75 mg 2,00 ± 1,00ac E - 1000 L2 8,75 mg 7,00 ± 3,61cd F - 1000 L2 - 9,33 ± 3,51d _______

Superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan

Kelangsungan hidup A. galli pada kelompok ayam yang diimunisasi aktif, dan kelompok ayam yang diimunisasi aktif disertai imunisasi pasif tidak berbeda signifikan dengan kelompok ayam yang tidak diinfeksi. Perbedaan signifikan terjadi pada kelompok ayam yang diinfeksi, dan kelompok ayam yang diinfeksi dan diimunisasi pasif dibandingkan dengan kelompok ayam yang tidak diinfeksi.

Kelompok ayam percobaan yang diimunisasi aktif dan disertai imunisasi pasif dapat mengurangi kelangsungan hidup larva A. galli di dalam usus halus ayam petelur. Jumlah larva A. galli menurun signifikan (P < 0,05) pada kelompok ayam yang diberikan 260 μg ekskretori/sekretori, dan satu minggu setelah infeksi dosis 1000 L2 diberikan juga 10 kali 0,875 mg IgY selama 10 hari dibandingkan dengan kelompok ayam yang hanya diinfeksi dosis 1000 L2 tetapi tidak diimunisasi. Penurunan jumlah larva A. galli terjadi juga pada kelompok ayam yang diinfeksi dan hanya diimunisasi aktif atau imunisasi pasif, hasil uji statistik menunjukkan penurunan jumlah larva tidak signifikan (P > 0,05) (Tabel 5).

PEMBAHASAN

Imunisasi aktif dengan memanfaatkan produk ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli sebagai antigen dapat mempengaruhi kelangsungan hidup cacing yang ditandai dengan penurunan jumlah A. galli yang ditemukan pada saluran cerna ayam petelur (Tabel 5). Hal ini menunjukkan bahwa ayam yang telah diimunisasi dengan ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli dan diinfeksi oleh L2 maka akan mengurangi jumlah larva di dalam usus halus. Ayam tersebut diimunisasi lagi secara pasif maka kelangsungan hidup A. galli di dalam usus halus semakin berkurang jumlahnya. Pada ayam yang diinfeksi oleh larva infektif dan hanya diimunisasi secara pasif, populasi larva dapat dikurangi meskipun pengaruhnya tidak signifikan.

Abe et al. (1992) membuktikan bahwa produk ekskretori/sekretori

Strongyloides ratti dewasa bersifat imunogenik yang dapat merangsang produksi interleukin (IL-3) oleh limfosit dari limfonodus mesenterik tikus yang diinfeksi dengan S. ratti. Aktivitas IL-3 yang merupakan growth factor sel mast bersifat merangsang diferensiasi sel mast mukosa usus halus yang berasal dari sel-sel

progenitor pada situs infeksi. Tizard (1996) menyatakan bahwa degranulasi sel mast mukosa pada kutikula nematoda berkolaborasi dengan antibodi, makrofag, sel eosinofil, musin sel goblet, dan gerakan peristaltik otot licin usus halus dapat mengeluarkan cacing dari dalam lumen saluran cerna.

Imunisasi pasif dengan memanfaatkan yolk dari ayam yang telah diimunisasi dengan produk ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli juga dapat mengurangi jumlah A. galli yang ditemukan pada saluran cerna ayam petelur. Schmidt et al. (1989) menyatakan bahwa pemanfaatan kuning telur segar yang mengandung IgY spesifik memberikan nilai efikasi lebih baik dibandingkan pemanfaatan komponen IgY yang telah dipisahkan dari komponen kuning telur lainnya. IgY yang didepositkan ke dalam kuning telur sangat prospektif digunakan sebagai substansi biologik untuk kekebalan pasif. Prinsip pengebalan pasif adalah pemberian zat kebal pada individu dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain dengan mengkonsumsi telur yang telah mengandung IgY sebagai zat kebal. Selain itu, kegunaan IgY dapat dimanfaatkan sebagai reagen standar

67 untuk perangkat diagnostik, penelitian biomedis, imunoprofilaksis, dan terapi (Camenisch et al. 1999).

Imunisasi aktif ditambah dengan imunisasi pasif dapat menurunkan secara signifikan (P < 0,05) jumlah cacing yang ditemukan pada saluran cerna ayam petelur. Imunisasi aktif bersifat merangsang respons imunitas humoral dan seluler untuk proteksi host dari serangan agen infeksi (Abe et al. 1992; dan Zhang et al. 2005). Imunisasi pasif bersifat menambah zat kebal untuk menghambat invader

memasuki jaringan host Haak-Frendscho 1994; dan Mine dan Kovacs-Nolan 2002). Pada penelitian ini, kolaborasi imunisasi aktif dan imunisasi pasif mempunyai kolerasi positif terhadap penurunan jumlah cacing A. galli yang masih bertahan pada usus halus ayam kebal.

Jumlah larva A. galli yang ditemukan di dalam saluran cerna ayam setelah diberikan telur infektif dipengaruhi oleh jenis ayam yang digunakan sebagai model. Penelitian Schou et al. (2003) membuktikan bahwa pada ayam New Hampshire yang diinfeksi pada umur 60 minggu dengan dosis tunggal 500 telur infektif A. galli ditemukan lebih banyak larva yang establish pada minggu ke3, -6, dan -9 pascainfeksi dibandingkan dengan tiga jenis ayam petelur komersial lainnya: Skalborg, ISA Brown, dan ayam hasil persilangan New Hampshire dan

Skalborg. Cepat atau lambatnya L2 berkembang menjadi stadium berikutnya dipengaruhi oleh kemampuan telur infektif untuk bertahan, bersaing intra spesies

dan flora usus.

Dahl et al. (2002) telah membuktikan bahwa berbagai stadium kehidupan cacing baik larva maupun cacing dewasa masih ditemukan pada saluran cerna ayam Lohmann Brown berumur 29 minggu, meskipun infeksi per oral dengan 1000 ± 50 telur infektif A. galli telah berlangsung selama 10 minggu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun infeksi L2 telah berlangsung selama 12 minggu, stadium larva masih ditemukan di dalam saluran cerna ayam. Suspensi ekskretori/sekretori larva A. galli dapat memicu respons humoral ayam petelur. Aplikasi ekskretori/sekretori larva A. galli, IgY anti-ascaridiosis, dan kombinasinya dapat mengurangi jumlah kelangsungan hidup cacing A. galli di dalam usus halus ayam.

Aplikasi IgY anti-ascaridiosis dapat mengurangi kelangsungan hidup cacing A. galli secara in vivo. Menurut Roitt dan Delves (2001) antibodi yang terbentuk oleh rangsangan antigen cacing nematoda parasitik akan menjerat tubuh cacing dengan cara penempelan sehingga permukaan tubuh cacing terikat pada bagian F(ab) antibodi. Antibodi yang disekresikan dapat berfungsi sebagai media yang mengikat antigen melalui binding site yang spesifik, sekaligus merupakan jembatan yang menghubungkan antigen dengan sel-sel imun atau mengaktifkan komplemen (Vervelde et al. 2003).

Penelitian ini membuktikan bahwa pada saluran cerna ayam yang diimunisasi aktif dan atau pasif masih ditemukan larva A. galli (Tabel 5). Hal ini menunjukkan kurang optimalnya sistem imunitas ayam untuk menyingkirkan cacing pada situs predeleksinya sehingga cacing tetap establish pada saluran cerna. Fenomena kurang optimalnya sistem imunitas dapat dijelaskan bahwa untuk establish pada inang definitif, cacing parasitik menghindar dari serangan sistem imunitas. Reaksi imunologik inang definitif dihindari oleh cacing dengan cara mengubah struktur antigen permukaannya atau melapisinya dengan molekul glikoprotein major histocompatibility complex (MHC) dan imunoglobulin inang definitif sehingga dianggap self (Tizard 1996).

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa antigen ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli dan IgY yang terbentuk oleh rangsangannya berpotensi mengurangi populasi cacing A. galli secara in vivo.

SARAN

Dari hasil penelitian ini dapat disarankan bahwa untuk mengetahui kemungkinan kelangsungan hidup A. galli secara in vivo dapat dihambat secara sempurna (jumlah cacing yang ditemukan pada saluran cerna adalah nol) perlu dilakukan penelitian dalam durasi masa infeksi yang lebih dari 12 minggu.

69 PEMBAHASAN UMUM

Prosentase L1 yang berkembang menjadi L2 adalah 89,46% (Gambar 7) sedangkan prosentase L2 yang berkembang menjadi L3 adalah 12,7% (Tabel 1). Kemampuan L3 Ascaridia galli berkembang di dalam saluran cerna ayam Isa Brown dipengaruhi oleh besarnya dosis infeksi yang diberikan pada satu waktu. Semakin besar dosis L2 yang diberikan pada satu waktu semakin tinggi pula prosentase L3 yang berkembang. Prosentase perkembangan L3 yang paling tinggi ditemukan pada kelompok E, yaitu pada ayam yang diberikan satu kali dosis 6000 L2 sekaligus.

A. galli adalah cacing nematoda yang berpredeleksi di dalam usus halus unggas. Ayam jenis New Hampshire lebih rentan terinfeksi oleh A. galli

dibandingkan jenis ayam petelur komersial lainnya seperti Skalborg, ISA Brown, dan ayam hasil persilangan New Hampshire dan Skalborg (Schou et al. 2003). Dahl et al. (2002) menemukan berbagai stadium kehidupan cacing A. galli di dalam saluran cerna ayam jenis Lohmann Brown pada 10 minggu infeksi dengan dosis 1000 ± 50 L2A. galli.

Pada penelitian ini, cacing A. galli dapat melangsungkan kehidupannya pada saluran cerna ayam petelur jenis ISA Brown. Dosis pemberian L2 mempengaruhi populasi L3 yang ditemukan tujuh hari pascainfeksi. Pada kelompok ayam yang diberikan enam kali dosis 1000 L2 dengan interval waktu setiap kali pemberian 30 menit ditemukan jumlah L3 yang paling sedikit (8,39%). Seperti yang disajikan pada Tabel 1, semakin tinggi dosis L2 yang diberikan semakin banyak pula jumlah L3 yang ditemukan. Pada kelompok ayam yang diberikan sekaligus dosis 6000 L2 ditemukan jumlah L3 yang paling banyak (21,48%).

Selama menjalani kehidupan di dalam tubuh inang definitif, A. galli dan ayam petelur saling berinteraksi untuk mencapai keseimbangan kehidupan antara

A. galli sebagai parasit dan ayam petelur sebagai inang definitif. Interaksi A. galli

dengan inang definitif diperantarai oleh ekskretori/sekretori yang dilepaskan melalui proses anabolik dan katabolik oleh cacing selama establish di dalam tubuh inang definitif. Rhoads et al. (2001) membuktikan bahwa ekskretori/sekretori

Ascaris suum pada babi berperan sebagai molekul biologi aktif untuk penetasan telur, molting, pemecah jaringan inang, invasi dan migrasi larva ke jaringan.

Stadium L3A. galli melepaskan ekskretori/sekretori dengan berat molekul 28 kDa yang divisualisasikan melalui SDS PAGE (Gambar 8). Rata-rata kuantitas protein ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli sebelum pemekatan adalah 0,065 mg/ml dan setelah pemekatan adalah 0,595 mg/ml. Hasil uji kuantitas protein standar terhadap BSA pada UV spektrofotometer dengan panjang gelombang 280 nm (R2 = 0,99) disajikan pada Tabel 2. Establishment cacing di dalam tubuh dilawan melalui mekanisme respons imunitas oleh inang definitif. Ekskretori/sekretori berperan sebagai sumber antigen protektif yang dapat memicu tanggap kebal inang definitif (Jimenez et al 2000). Antigen ekskretori/sekretori merupakan komponen imunogenik (Chung et al. 1997 dan Kim et al. 2000). Lagapa et al (2002) menyatakan bahwa substansi yang diekskresi/sekresikan cacing merupakan target yang potensial untuk memicu respons imun dan dapat dikenal oleh antibodi pada hewan terinfeksi.

Antigen ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli dapat memicu pembentukan antibodi ayam petelur. Antibodi terdeteksi melalui uji AGPT pada minggu keempat, kelima, dan keenam pascaimunisasi berturut-turut pada satu, dua, dan tiga ekor ayam yang diimunisasi (Tabel 3). Pada penelitian ini terbukti bahwa ekskretori/ sekretori stadium L3 A. galli dapat berperan sebagai antigen. Pada ayam petelur jenis HySex Brown, antibodi yang didistribusikan di dalam serum juga didepositkan ke dalam kuning telur (yolk) pada minggu keempat pascaimunisasi. Gambar 9 menunjukkan titer antibodi di dalam kuning telur melalui uji ELISA. Titer antibodi optical density (OD) mulai meningkat pada minggu kedua, dan mencapai puncaknya pada minggu kedelapan dan kesembilan pascaimunisasi. Titer antibodi mulai menurun pada minggu ke-10 pascaimunisasi. Roitt dan Delves (2001) menyatakan bahwa pemaparan antigen ekskretori/sekretori cacing dapat menggertak pelepasan interleukin (4 dan IL-5) oleh sel T helper-2 (Th-2). IL-4 dapat membangkitkan sel B menjadi sel plasma pembentuk antibodi.

Pada penelitian ini, antibodi yang didepositkan ke dalam kuning telur ayam HySex Brown berhasil dipurifikasi melalui proses tahapan pengendapan

71 dengan amonium sulfat, dialisis, pengendapan dengan PEG 6000, dan melalui teknik kromatografi. Pada teknik FPLC, eluat IgY dapat dimonitor pada komputer yang menyebabkan naiknya garis sehingga terbentuk puncak (peak) pada fraksi keempat (Gambar 10). Kuantitas protein IgY pada tiap-tiap tahap purifikasi disajikan pada Tabel 4.

Pada uji ELISA diketahui bahwa konsentrasi optimum cairan ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli yang dibutuhkan adalah 0,15 µg dalam setiap sumur ELISA. Gambar 11 menunjukkan titer antibodi di dalam serum ayam percobaan. Selain pada kelompok ayam kontrol, peningkatan titer antibodi terjadi pada semua kelompok ayam percobaan mulai minggu pertama sampai minggu ke-10 pascainfeksi. Titer antibodi semua kelompok ayam percobaan meningkat signifikan (P < 0,05) hanya terhadap kelompok kontrol pada minggu pertama, kedua, kelima, dan ke-10 pascainfeksi.

Menurut Else dan Finkelman (1998) antibodi dapat mencegah perlekatan larva pada mukosa usus halus, dan bersama mukus menjerat larva untuk dikeluarkan bersama tinja. Tizard (1996) menyatakan bahwa IL-5 yang dilepaskan oleh Th-2 karena rangsangan antigen cacing dapat menggertak eosinofoesis, mobilisasi sel eosinofil, dan deganulasi sel eosinofil untuk melepaskan substansi helmintoksik seperti enzim proteolitik, peroksidase, dan major basic protein. Temuan Roitt dan Delves (2001), Else dan Finkelman (1998), dan Tizard (1996) sesuai dengan hasil penelitian ini, dimana jumlah larva A. galli yang ditemukan pada saluran cerna ayam Hysex Brown yang diimunisasi sebelum ditantang menurun secara signifikan dibandingkan dengan ayam yang tidak diimunisasi tetapi diinfeksi dengan dosis 1000 L2A. galli (Tabel 5).

Produksi antibodi yang dirangsang oleh antigen asal cacing akan memicu mastositosis. Sel mast mukosa berdegranulasi melepaskan kandungan granulanya seperti histamin, leukotriene-D4, dan PGE2. Substansi tersebut akan dilepaskan pada kutikula cacing nematoda apabila antibodi telah berikatan dengan antigen. Kolaborasi antigen, antibodi, dan substansi granula sel eosinofil dan sel mast mukosa juga menimbulkan respons inflamasi untuk menghambat invasi cacing ke jaringan (Kraneveld et al. 1998; Kay 2001a; dan Kay 2001b)).

Tanggap kebal dipicu melalui mekanisme sitotoksisitas seluler tergantung antibodi (ADCC) yang khas (Klei 1997). Imunoglobulin melekat pada permukaan cacing, sel eosinofil kemudian melekat melalui reseptor Fc, sehingga sel eosinofil teraktivasi dan melepaskan sekresi protein dari granula yang dapat merusak parasit bersangkutan (Stuart 1999). Tanggap ini dapat terjadi karena ekskretori/sekretori dapat merangsang sel Th2 untuk memproduksi interleukin (IL), yaitu IL-4 dan IL-5. IL-4 merangsang produksi antibodi, sedangkan Il-5 merangsang pembentukan dan perkembangan sel eosinofil (Roitt dan Delves 2001).

Cross-linking juga akan menimbulkan sinyal aktivasi fosfolipase A2 dan sinyal aktivasi gen sitokin untuk menghasilkan mediator sekunder granul sel mast.

Dokumen terkait