• Tidak ada hasil yang ditemukan

Waktu dan Tempat Penelitian

Survei penyakit dan pengambilan sampel tanaman mentimun yang bergejala dilakukan pada pertanaman mentimun di Kabupaten Bogor di Desa Bojong (BBO), Sindang Barang (SBO), dan Petir (SPE), Subang di Desa Marjim (SMA), Tanjung Baru (STB), dan Pungangan (SPU), dan Karawang di Desa Kaceot (KKA), Jatimulya (KJA), dan Kutakarya (KKA), Jawa Barat. Deteksi virus dilakukan di Laboratorium Virologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung mulai bulan Februari 2015 hingga Juni 2015.

Pengambilan Sampel Tanaman Mentimun

Sampel tanaman mentimun yakni daun yang bergejala diambil sebanyak 50 sampel dari tiap lokasi. Deskripsi gejala dan dokumentasi menggunakan kamera digital dilakukan pada masing-masing sampel. Sampel dari semua lokasi dibawa ke Laboratorium dan disimpan pada suhu -80 °C.

Metode Penelitian

Insidensi penyakit ditentukan dengan deteksi serologi menggunakan metode

Dot blot immunobanding assay (DIBA) dengan antiserum CABYV,CGMMV, CMV, PRSV, SqMV, WMV, dan ZYMV. Sedangkan amplifikasi DNA dilakukan dengan PCR atau RT-PCR menggunakan primer universal atau primer target virus.

Penghitungan Insidensi Penyakit

Menurut Allen et al. (1983) persentase insidensi penyakit dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:

IP = × 100% IP = Insidensi penyakit (%)

N = Jumlah tanaman sakit

N = Jumlah seluruh tanaman yang diamati

Deteksi dengan Dot Blot Immunobinding Assay (DIBA)

Metode DIBA dilakukan sesuai metode yang digunakan oleh Asniwita et al. (2013). Deteksi dengan DIBA terdiri dari beberapa tahapan, yaitu blotting,

blocking, reaksi antibodi 1, reaksi antibodi 2, dan pewarnaan.

Blotting. Jaringan daun digerus dalam Tris buffer saline (TBS) [TBS: Tris

–HCl 0.3152 g dan NaCl 0.8766 g, dalam 100 ml akuabides, pH 7.5]. dengan perbandingan 1:10 (b/v). Sap tersebut selanjutnya diteteskan pada membran nitro selulosa sebanyak 2 µl.

Blocking. Setelah sap kering, membran nitroselulosa direndam dalam 10 ml larutan blocking non fat milk dalam TBS yang mengandung Triton X-100

5 dengan konsentrasi final 2%. Membran kemudian diinkubasi pada shaker dengan kecepatan 50 rpm selama 2 jam. Membran kemudian dicuci sebanyak 5 kali dengan dH2O selama 5 menit dalam shaker dengan kecepatan 100 rpm.

Antibodi 1. Membran selanjutnya direndam dalam 5 ml TBS yang

mengandung antiserum pertama 1 µl (1:5000 v/v) ditambah non fat milk dengan konsentrasi final 2%, kemudian membran diinkubasi diatas shaker dengan kecepatan 50 rpm selama dua jam pada suhu ruang. Membran kemudian dicuci sebanyak 5 kali dengan Tween 0.05% dalam TBS (TBST).

Antibodi 2. Membran nitroselulosa selanjutnya direndam dalam 5 ml TBS

yang mengandung antiserum ke dua sebanyak 1 µl (goat anti rabbit-IgG, Sigma) (1:5000 v/v) ditambah non fat milk dengan konsentrasi final 2% dan kemudian membran diinkubasi selama 60 menit diatas shaker dengan kecepatan 50 rpm. Membran kemudian dicuci kembali dengan TBST.

Pewarnaan. Membran lalu direndam selama 5 menit dalam Alkalin

Phosphatase buffer pH 9.5 (Tris-HCl 6.05 g, NaCl 2.92 g, dan MgCl.6H2O 0.51 g dalam 500 ml akuabides steril) yang mengandung nitro blue tetrazolium (NBT) 75 mg/ml dan bromo chloro indolyl phosphate (BCIP) 50 mg/ml (dalam 10 ml AP bufer ditambahkan 45 µl NBT dan 35µl BCIP). Jika reaksi positif akan terjadi perubahan warna putih menjadi ungu pada membran nitroselulosa yang telah ditetesi cairan sap dan reaksi dapat dihentikan dengan merendam membran dengan dH2O.

Deteksi dengan Reverse-Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)

Metode deteksi virus dengan RT-PCR terdiri dari beberapa tahapan, yaitu ekstraksi RNA total, sintesis complementary DNA (cDNA), amplifikasi DNA target, dan visualisasi hasil amplifikasi.

Ekstraksi RNA total. Ekstraksi RNA secara manual dilakukan dengan mengikuti metode CTAB (Doyle dan Doyle 1990). Sampel tanaman bergejala sebanyak 0.1 g digerus menggunakan nitrogen cair dan ditambahkan 500 μl bufer

ekstraksi yang mengandung (1% 2-β-merkaptoetanol). Hasil gerusan kemudian dimasukkan kedalam tabung mikro 2 ml dan diinkubasi dalam penangas air pada

suhu 65 ˚C selama 30 menit. Setiap 10 menit sekali tabung dibolak-balik untuk membantu proses lisis. Setelah 30 menit tabung yang berisi ekstraksi tanaman diangkat dari penangas air kemudian didiamkan selama 2 menit pada suhu ruang, Lalu ditambahkan 500 μl campuran Chloroform:Isoamilalcohol (24:1). Agar tercampur dengan baik tabung divortek dengan kecepatan tinggi selama 5 menit, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 12 000 rpm selama 15 menit. Supernatan kemudian dipindahkan ke tabung baru, lalu ditambahkan Isopropanol (volume sebanding dengan supernatan yang diperoleh). Tabung mikro dibolak-balik sehingga terlihat benang-benang RNA, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 12 000 rpm selama 7 menit. Setelah disentrifugasi akan terlihat pelet RNA, campuran supernatan dan Isopropanol dipindahkan sehingga menyisakan pelet RNA. Pelet RNA yang diperoleh dicuci dengan etanol 70% sebanyak 500 μl.

Pelet RNA yang telah ditambahkan etanol disentrifugasi selama 7 menit dengan kecepatan 12 000 rpm, etanol dibuang lalu tabung diletakkan secara terbalik diatas tisu selama 15 menit agar pelet kering. Pelet yang diperoleh dilarutkan dalam 50

6

Sintesis cDNA. Produk ekstraksi RNA total digunakan sebagai template untuk sintesis cDNA. Sintesis cDNA terjadi melalui transkripsi balik RNA menggunakan enzim transkriptase MmuLV (Moloney Murine Leukimia Virus). Molekul cDNA tersebut digunakan untuk cetakan pada proses PCR. Komposisi bahan reaksi transkripsi balik terdiri dari: bufer RT 2 µl, dNTP 10 mM 0.50 µl, DTT 50 mM 0.35 µl, RNAse inhibitor (Thermo scientific) 0.35 µl, MmuLV (Thermo scientific) 0.35 µl, dH2O 3.7 µl, oligo d(T) 0.75 µl , dan RNA 2 µl. Untuk sintesis cDNA dari genus Polerovirus menggunakan primer reverse

Polerovirus. Reagen seperti dH2O 3.7 µl , dNTP 10 mM 0.50 µl, oligo d(T) 0.75 µl, dan RNA 2 µl direaksikan pada suhu 65 °C selama 5 menit dan segera didinginkan didalam es. Selanjutnya reagen tersebut direaksikan kembali dengan menambah 5× bufer RT 2 µl, DTT 50 mM 0.35 µl, RNAse inhibitor (Thermo scientific) 0.35 µl, dan MmuLV (Thermo scientific) 0.35 µl yang dicampur rata dan diinkubasi pada suhu 42 °C selama 60 menit dan 70 °C selama 10 menit untuk menginaktivasi enzim. Produk cDNA kemudian digunakan sebagai templat pada amplifikasi PCR.

RT-PCR/PCR. Amplifikasi DNA virus dilakukan dengan menggunakan

pasangan primer untuk mengamplifikasi dan mendeteksi CABYV, CGMMV, PRSV, WMV, dan Begomovirus (Tabel 1). Komposisi reaktan PCR tercantum pada tabel 2.

Tabel 1 Sekuen primer untuk deteksi virus pada mentimun

Primer1 Runutan

Produk PCR

(pb)

Referensi Tob-Uni 1-cpR 5’-ATTTAAGTGGASGGAAAAVCACT-3’ ~ 830 Letschert et al. 2002 CGMMV-cpF 5’-GATTCCTTATCCGAGAAAGTT-3’

SPG1-R 5’-CCCKGTGCGWRAATCCAT-3’ ~ 912 Li et al. 2004

SPG2-F 5’-ATCCVAAYWTYCAGGGAGCTAA-3’

Polerovirus-cpR 5’-GTCTACCTATTTBGGRTTNTGGAA-3’ ~ 600 Correa et al. 2005 Polerovirus-cpF 5’-TGCGACAAATAGTTAATGAATACGGT-3’

PRSV-P-cpR 5’-TCGTGCCACTCAATCACAAT-3’ ~ 470 Mohammed et al. 2012

PRSV-P-cpF 5’-GTTACTGACATGCCGTCCA-3’

Potyvirus-cpR 5’-ATGGTHTGGTGTGYATHGARAAYGG-3’ ~ 320 Jeanne et al. 2008 Potyvirus-cpF 5’-TGCTGCKGCYTTCATYTG-3’

1

cpF = coat protein forward; cpR = coat protein reverse.

Tabel 2 Komposisi reaktan Polymerase chain reaction (PCR) untuk satu kali reaksi amplifikasi DNA genom virus

Komponen Volume (µl)

Go Taq green 2x (Thermo scientific) 12.5

Primer forward 10 µM 1.0

Primer reverse 10 µM 1.0

Air bebas nuklease 9.5

cDNA 1.0

7 PCR dilakukan dengan program PCR diatur pada waktu dan suhu tertentu sesuai dengan virus target (Tabel 3).

Tabel 3 Program PCR untuk mendeteksi virus pada mentimun

Target Predenaturasi Denaturasi Annealing Kondisi PCR Elongasi Ekstensi akhir ∑Siklus CABYV 95ºC/5 min 95ºC/1 min 45ºC/1 min 72ºC/1 min 72ºC/10 min 40 CGMMV 94ºC/5 min 94ºC/1 min 60ºC/45 det 72ºC/1 min 72ºC/5 min 35 PRSV 94ºC/5 min 94ºC/30 det 50ºC/1 min 72ºC/1 min 72ºC/7 min 35 WMV 94ºC/5 min 94ºC/4 min 53ºC/1 min 72ºC/1 min 72ºC/5 min 35 Begomovirus 94ºC/5 min 94ºC/1 min 50ºC/1 min 72ºC/1 min 72ºC/7 min 35

Visualisasi DNA. Visualisasi DNA hasil amplikasi dilakukan pada

elektroforesis gel agarosa 1%. Agarosa sebanyak 0.3 g dicampur dengan 30 ml bufer 0.5x TBE (Tris borate EDTA) dan dipanaskan dalam microwave selama 2 menit hingga tercampur rata. Setelah gel hangat dituang ke dalam cetakan gel (gel tray) dan didiamkan selama ± 30 menit hingga mengeras. Elektroforesis dilakukan pada tegangan 50 volt selama 50 menit. Gel agarosa kemudian direndam dalam Ethidium bromida (0.5%) selama 15 menit. Hasil elektroforesis berupa pita DNA divisualisasi dengan transluminator ultraviolet dan didokumentasi dengan kamera digital.

HASIL

Gejala Infeksi Virus pada Tanaman Mentimun di Lapangan

Gejala infeksi virus dari lokasi pengambilan sampel bervariasi berupa mosaik pada daun, kuning, malformasi daun, penebalan tulang daun, dan keriting pada daun (Gambar 1 dan Tabel 1). Gejala dominan pada pertanaman mentimun di Bogor yaitu klorosis disertai penebalan tulang daun dan mosaik disertai ujung-ujung daun mengeriting. Gejala dominan pada pertanaman mentimun di Karawang yaitu klorosis disertai penebalan daun, klorosis, dan mosaik, sedangkan gejala dominan pada pertanaman mentimun di Subang yaitu mosaik, klorosis, malformasi disertai penebalan daun, dan mosaik kuning.

Gambar 1 Gejala dominan infeksi virus pada tanaman mentimun di Kabupaten Bogor (a-c), Karawang (d-f), dan Subang (g-i). a. klorosis disertai penebalan tulang daun, b-c. malformasi daun disertai keriting, d. klorosis disertai penebalan daun, e. klorosis, f-g. mosaik, h. klorosis, malformasi, dan penebalan tulang daun, dan i. mosaik kuning

a b c

d e f

9

Tabel 4 Variasi gejala infeksi virus pada tanaman mentimun di Jawa Barat

Lokasi Tipe gejala

1

Kultivar

M MK K Ptd Kdl

Bogor - Bandana, Wulan, Bulan

Karawang Bandana, Etana

Subang Labana, Sabana, Bandana

1)

M = Malformasi, MK = mosaik, K = kuning, Ptd = Penebalan tulang daun, Kdl = kerdil

Insidensi Penyakit

Berdasarkan uji serologi dari 150 sampel yang diuji menunjukkan tanaman terinfeksi CABYV, CGMMV, CMV, PRSV, SqMV, WMV, dan ZYMV. Insidensi penyakit CABYV di Kabupaten Bogor paling tinggi dibandingkan CGMMV, CMV, PRSV, SqMV, WMV, dan ZYMV. Persentase insidensi penyakit masing-masing sebesar 100%, 86%, 98%, 0%, 8%, 32%, dan 6%. Insidensi CABYV juga dominan ditemukan di Kabupaten Karawang dan Subang. Insidensi penyakit CABYV, CGMMV, CMV, PRSV, SqMV, WMV, dan ZYMV di Kabupaten Karawang berturut-turut adalah 100%, 98%, 100%, 14%, 72%, 68%, dan 64%, dan di Kabupaten Subang berturut-turut adalah 100%, 88%, 86%, 2%, 8%, 60%, dan 46%. Insidensi PRSV merupakan yang terendah dengan persentase insidensi penyakit pada Kabupaten Karawang dan Subang masing-masing adalah 14% dan 2% dan hanya terdeteksi pada sampel di Kabupaten Subang dan Karawang, Jawa Barat (Tabel 5).

Tabel 5 Insidensi penyakit oleh beberapa virus berdasarkan uji serologi

Antiserum virus

Insidensi penyakit1 (%) dari tiap lokasi

Total (%)

Bogor Karawang Subang

CABYV 50/50 (100) 50/50 (100) 50/50 (100) 150/150 (100) CGMMV 43/50 (86.0) 49/50 (98.0) 44/50 (88.0) 136/150 (90.6) CMV 49/50 (98.0) 50/50 (100) 43/50 (86.0) 142/150 (94.6) PRSV 0/50 (0.0) 7/50 (14.0) 1/50 (2.0) 8/150 (5.3) SqMV 4/50 (8.0) 36/50 (72.0) 4/50 (8.0) 44/150 (29.3) WMV 16/50 (32.0) 34/50 (68.0) 30/50 (60.0) 80/150 (53.3) ZYMV 3/50 (6.0) 32/50 (64.0) 23/50 (46.0) 58/150 (38.7) 1)

Insidensi penyakit = n/N x 100%; n = jumlah tanaman positif terdeteksi virus, N = total tanaman yang diuji.

Infeksi Campuran

Berdasarkan hasil deteksi serologi, terdeteksi adanya infeksi campuran pada beberapa tanaman mentimun. Infeksi campuran CABYV, CGMMV, dan CMV merupakan yang paling dominan dideteksi di Kabupaten Bogor dan Subang. Infeksi campuran lainnya terdeteksi pada 22 sampel tanaman (15%) dari Kabupaten Bogor, 27 sampel tanaman (18%) dari Kabupaten Subang, dan 53 sampel tanaman (35%) dari Kabupaten Karawang (Tabel 6, Lampiran 1-3).

10

Tabel 6 Infeksi tunggal dan infeksi campuran virus

Tipe infeksi Lokasi

Bogor Subang Karawang

Infeksi tunggal1 I 1 0 0 Infeksi ganda1 I II 0 1 0 I III 3 1 0 I VII 0 1 0 I II III 23 16 2 I II VI 0 3 0 I II VII 0 2 0 I III VI 2 0 0 I II II IV 0 0 5 I II III V 2 2 8 I II III VI 10 6 0 I II III VII 1 0 2 I III VI VII 1 2 1 I III IV VI VII 0 1 0 I II III IV V 0 0 5 I II II V VI 2 0 3 I II III VI VII 1 12 9 I II II V VI VII 0 2 17 I II III IV V VI VII 0 0 3

1I= CABYV, II = CGMMV, III = CMV, IV = PRSV, V = SqMV, VI = WMV, VII =ZYMV.

Amplifikasi DNA

Pita DNA PRSV asal Karawang teramplifikasi dengan ukuran ~ 470 pb (Gambar 2a). DNA Polerovirus asal Subang berukuran ~ 450 pb (Gambar 2b) dan amplifikasi DNA Begomovirus asal Subang dan Karawang berukuran ~ 900 pb (Gambar 2c). WMV dan CGMMV belum berhasil teramplifikasi dengan primer universal (data tidak ditampilkan), sehingga perlu dideteksi lebih lanjut dengan primer spesifik virus untuk mengkonfirmasi hasil deteksi serologi.

Gambar 2 Amplifikasi DNA PRSV (a), Polerovirus (b), dan Begomovirus (c). Ukuran DNA ditunjukkan dengan panah. L = penanda DNA 100 pb (a dan b), 1 kb (c) (Thermo Scientific), K+ = kontrol positif, KKA = PRSV asal Karawang, SMA = Polerovirus asal Subang, SPU =

Begomovirus asal Subang, SMA = Begomovirus asal Subang, KJA =

Begomovirus asal Karawang dlfjdkjfkdjkjkjklfjdlkdjgkjjdkjkljdkjjdl

K+ KKA L

L K+

+

SMA L K+ SPU SMA KJA

470 pb 450 pb

900 pb

PEMBAHASAN

Gejala penyakit yang ditemukan di lapangan berupa mosaik pada daun, klorosis, malformasi daun, penebalan tulang daun, keriting, dan kuning. Gejala mosaik yang dominan ditemukan bercampur dengan permukaan daun yang tidak rata, malformasi disertai klorosis. Selain menyebabkan mosaik pada daun, infeksi virus juga menyebabkan penurunan kuantitas dan kualitas buah. Identifikasi berdasarkan gejala saja tidak dapat menentukan virus penyebab, karena gejala dapat disebabkan oleh infeksi tunggal atau campuran.

Infeksi campuran pada beberapa tanaman mentimun terdeteksi merupakan interaksi virus kemungkinan berupa interaksi sinergis dan antagonis antara dua atau lebih virus. Interaksi sinergis adalah infeksi campuran antara dua atau lebih virus yang meningkatkan replikasi dari satu atau kedua virus dan meningkatkan gejala dibandingkan infeksi tunggal. Interaksi tersebut juga meningkatkan kerusakan pada tanaman terutama pada kultivar rentan sehingga meningkatkan kehilangan hasil panen (Syller 2012). Kehilangan hasil panen pada mentimun dilaporkan terjadi akibat infeksi tunggal maupun campuran antara PRSV, WMV, dan ZYMV (Arteaga et al. 1998). Menurut Poolpol dan Inouye (1986) interaksi antara ZYMV dengan CMV pada mentimun merupakan interaksi sinergis. Interaksi antagonis adalah interaksi yang menyebabkan hanya satu virus yang memperoleh keuntungan dan menurunkan aktivitas virus lainnya (Syller 2012). Infeksi campuran pada satu tanaman mentimun kemungkinan terjadi karena penyebaran virus oleh kutu daun dan secara mekanis melalui alat pertanian. Infeksi campuran menyebabkan variasi gejala yang berbeda dari infeksi tunggal masing-masing virus.

Gejala tunggal yang disebabkan oleh CMV berupa mosaik, belang, kerdil, dan keriting (Palukaitis et al. 1992). Gejala yang disebabkan oleh ZYMV berupa mosaik kuning, malformasi buah dan daun, pelepuhan, pengurangan ukuran lamina daun, nekrosis, dan kerdil, dan gejala yang disebabkan oleh SqMV berupa mosaik hijau kuning, penyempitan ukuran daun dan kerdil (Zitter et al. 1996; Desbiez dan Lecoq 1997; Lestari dan Nurhayati 2014). Gejala yang disebabkan oleh infeksi tunggal PRSV berupa mosaik, kerdil, dan warna buah yang tidak sempurna (Gonsalves 1998). Gejala yang disebabkan oleh CABYV berupa, bintik-bintik seperti klorosis pada daun, daun menebal, dan menjadi rapuh (Lecoq

et al. 2011). Gejala yang disebabkan oleh CGMMV berupa klorosis pada daun, nekrosis pada pedikel, dan kerusakan pada buah (Boubourakas et al. 2004). Gejala infeksi tunggal CABYV yang ditemukan di Kabupaten Bogor sesuai dengan gejala CABYV yang dilaporkan oleh Lecoq et al. (2011). Gejala infeksi CGMMV, CMV, PRSV, SqMV, WMV, dan ZYMV yang ditemukan dalam penelitian ini berbeda dengan gejala tunggal yang telah dilaporkan. Gejala campuran yang disebabkan oleh infeksi ganda antara CGMMV dan WMV berupa pemucatan tulang daun, belang kuning hijau, dan mosaik (Moradi dan Jafarpour 2010).

RT-PCR pita DNA PRSV asal Karawang teramplifikasi menggunakan primer spesifik protein selubung PRSV-P. Berdasarkan kisaran inangnya ada 2 strain PRSV, yaitu PRSV-W dan PRSV-P. Strain PRSV-W hanya dapat

12

menginfeksi tanaman dari famili Cucurbitaceae (Gonsalves 1998), sedangkan strain PRSV-P menginfeksi famili Caricaeae dan Cucurbitaceae. Oleh karena PRSV dapat teramplifikasi dengan primer PRSV-P hal ini menunjukkan PRSV pada tanaman tersebut kemungkinan adalah PRSV-W atau PRSV-P, namun perlu dikonfirmasi dengan perunutan DNA. Tanaman Cucurbitaceae yang terinfeksi oleh PRSV menunjukkan gejala berupa mosaik, kerdil, dan warna buah yang tidak sempurna. Menurut Rosales et al. (2000) gejala khas PRSV hanya ditemukan pada tanaman pepaya, sedangkan pada Cucurbitaceae menunjukkan gejala ringan. Tanaman muda yang terinfeksi PRSV tidak dapat berkembang, sedangkan tanaman tua yang terinfeksi akan menghasilkan buah namun mengalami malformasi dan perubahan warna. Menurut Harmiyati (2015) infeksi PRSV juga memengaruhi bobot kering tanaman Cucurbitaceae. Tanaman dari famili Cucurbitaceae, kecuali kabocha tidak menunjukkan penurunan bobot, melainkan kenaikan bobot. Faktor yang memengaruhi penambahan bobot tanaman adalah tanaman mengeluarkan senyawa tertentu sehingga dapat mengeliminasi atau mengurangi infeksi virus dan keberadaan virus tidak mengganggu metabolisme tanaman (Harmiyati 2015).

Sampel asal Subang yang terdeteksi serologi dengan antiserum CABYV juga teramplifikasi dengan ukuran ~ 450 pb menggunakan primer universal gen protein selubung genus Polerovirus. Ukuran DNA ini lebih pendek dibandingkan dengan DNA kontrol positif PeVYV (Pepper vein yellow virus) yang dilaporkan oleh Apindiati et al. (2015) yang berukuran 650 pb (Gambar 2b). Polerovirus

menyebabkan gejala kuning pada tanaman mentimun (Knierim et al. 2010). Gejala kuning banyak ditemukan pada pertanaman mentimun di lokasi pengambilan sampel. Gejala tersebut ikuti oleh penebalan tulang daun seperti yang ditemukan di Kabupaten Bogor, Subang, dan Karawang. Spesies dari genus

Polerovirus yang menginfeksi mentimun yaitu CABYV, MABYV (Melon aphid borne yellows virus), dan SABYV (Suakwa aphid borne yellow virus) (Lecoq et al. 1992; Knierim et al. 2010). Oleh karena ukuran DNA virus yang teramplifikasi lebih pendek dibandingkan kontrol positif, perlu dilakukan konfirmasi dengan perunutan DNA untuk mengetahui spesies virus yang terdeteksi dari sampel dalam penelitian ini.

Gejala kuning yang teramati di tiga lokasi diikuti oleh beberapa gejala lain seperti mosaik, kerdil, dan keriting. Gejala yang terlihat pada tanaman mentimun diduga diinfeksi oleh Begomovirus. Pita DNA Begomovirus teramplifikasi dengan ukuran DNA yang sama dengan kontrol positif ToLCNDV (Tomato leaf curl new delhi virus) (Gambar 2c). Septariani et al. (2014) melaporkan ToLCNDV ditemukan di Tegal, Sleman, Sukoharjo, dan Bogor. Gejala yang terlihat berupa mosaik kuning, melepuh, menguning, dan mosaik hijau muda. Gejala kuning pada mentimun juga dilaporkan oleh Adnyani (2015), namun disebabkan oleh SLCCV (Squash leaf curl china virus). SLCCV menginfeksi tanaman mentimun di Bali dan menyebabkan produksi mentimun menurun meskipun tidak terjadi penurunan secara drastis.

Deteksi RT-PCR terhadap sampel CGMMV dan WMV belum berhasil teramplifikasi dengan primer universal. Sampel yang tidak berhasil teramplifikasi dapat disebabkan beberapa faktor, yaitu kualitas DNA yang kurang baik, tidak terdapat kesesuaian antara basa nukleotida target dengan basa nukleotida penyusun primer, virus yang diamplifikasi bukan merupakan virus target

13

(Padmalatha dan Prasad 2006), dan kondisi penyimpanan sampel yang kurang baik sehingga RNA terdegradasi (Grisoni et al. 2006). Oleh karena itu CGMMV dan WMV perlu dideteksi dengan menggunakan primer spesifik virus.

14

Dokumen terkait