• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di lahan pertanaman kacang panjang di Desa Carangpulang, Dramaga, Bogor dan di Laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei hingga September 2013.

Metode Penelitian Perbanyakan Sumber Inokulum BCMV

Isolat BCMV strain Blackeye cowpea (BCMV-BlC) diperoleh dari koleksi laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor. Inokulum BCMV diperbanyak dengan menginokulasikan cairan perasan (sap) BCMV pada tanaman kacang panjang kultivar Parade secara berkala. Tanaman sumber inokulum ditanam dalam polybag dan dipelihara hingga siap digunakan.

Inokulasi mekanis dilakukan pada tanaman kacang pajang berumur 7 hari setelah tanam. Sap BCMV dibuat dengan mencampurkan daun sakit dengan bufer fosfat dengan perbandingan 1:10 (b/v). Bufer fosfat dibuat dengan cara mencampur 38.5 ml 1 M KH2PO4 dengan 61.5 ml 1 M K2HPO4. Campuran tersebut diencerkan sepuluh kali untuk mendapat bufer fosfat 0.1 M pH 7. Sebelum digunakan bufer diberi 1% 1,2-mercaptoethanol. Kemudian sap BCMV dioleskan pada daun tanaman kacang panjang sehat yang telah ditaburi carborundum 600 mesh, lalu permukaan daun dibilas dengan akuades.

Persiapan Lahan Percobaan

Lahan percobaan yang digunakan berukuran 500 m2 dibagi menjadi 3 blok yang mewakili masing-masing kelompok uji. Setiap kelompok uji terdiri dari 24 perlakuan yang terbagi atas 2 perlakuan utama, yaitu perlakuan ekstrak kasar dan perlakuan ekstrak protein. Setiap blok dibatasi oleh tanaman jagung (varietas Laksmi IPB) baris ganda sebagai tanaman pagar untuk melindungi tanaman dari penularan virus yang dibawa kutudaun ke pertanaman (Gambar 1).

Persiapan Ekstrak Tanaman

Tanaman yang digunakan dalam penelitian ini dipilih berdasarkan hasil uji pendahuluan yang dilakukan oleh Damayanti dan Megasari (2013, data tidak dipublikasikan) dan Panjaitan (2013). Empat belas tanaman tersebut menunjukkan tingkat hambatan relatif lesio lokal nekrotik (LLN) yang tinggi pada tanaman Chenopodium amaranticolor (data tidak ditampilkan). Masing-masing sepuluh spesies tanaman digunakan sebagai perlakuan ekstrak kasar dan perlakuan ekstrak protein (Tabel 1).

Persiapan Ekstrak Kasar. Ekstrak kasar dibuat sesuai prosedur yang dikemukakan oleh Deepthi et al. (2007) dengan modifikasi minor pada rasio bahan tanaman dengan bufer yaitu dari 1:1 (b/v) menjadi 1:5 (b/v) dan tanpa sonifikasi pada pembuatan ekstrak tersebut. Ekstrak kasar dibuat dengan menggerus 10 g bagian tanaman (daun/ kulit buah/ rimpang) dengan mortar dan pistil dalam 50 ml 0.01 M bufer fosfat pH 7.2. Filtrat hasil penyaringan dengan

4

kain kasa kemudian disentrifugasi pada kecepatan 10 000 rpm selama 10 menit. Supernatan selanjutnya dimasukkan dalam botol semprot kecil yang biasa digunakan sebagai botol parfum dan siap digunakan dalam pengujian.

Gambar 1 Lahan percobaan: (a) Sebelum penanaman; (b) Setelah penanaman dengan tanaman pagar; (c) peta perlakuan kelompok (kiri - kanan; kelompok 1 - 3). Perlakuan ekstrak kasar (□) dan ekstrak protein (■), serta tanaman jagung sebagai tanaman pinggir (■; jarak 1 m). Perlakuan ekstrak yang diuji yaitu BNG (bogenvil), JGR (jengger ayam), TYG (Tempuyung), JMB (jambu biji), BP4 (bunga pukul empat), SMB (sambiloto), PTH (patah tulang), TLK (temulawak), MMB (mimba), PGD (pagoda), JHM (jahe merah), MGS (manggis), KCB (kecubung), KYP (kunyit putih), serta K(+) (kontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan) dan K(-) (kontrol sehat)

Persiapan Ekstrak Protein. Supernatan hasil ekstraksi ekstrak kasar ditambahkan aseton dengan perbandingan 1:1 (v/v). Selanjutnya diinkubasi pada suhu 4 oC selama satu malam. Campuran tersebut kemudian disentrifugasi pada kecepatan 10 000 rpm selama 15 menit. Supernatan hasil sentifugasi selanjutnya dilarutkan dalam bufer fosfat pH 7.2 dengan rasio 1:1 (v/v). Larutan tersebut dimasukkan ke dalam botol parfum kecil dan siap digunakan.

5 Tabel 1 Spesies tanaman yang diuji pada perlakuan ekstrak kasar dan ekstrak

protein No Spesies Bagian tanaman Ekstrak kasar1 Ekstrak protein1

1 Pagoda (Clerodendrum japonicum) Daun  

2 Pukul Empat (Mirabilis jalapa) Daun  

3 Jambu Biji (Psidium guajava) Daun  

4 Mimba (Azadirachta indica) Daun  

5 Tempuyung (Sonchus arvencis) Daun  

6 Temulawak (Curcuma xanthorizzha) Rimpang  

7 Bogenvil (Bougainvillea spectabilis) Daun 

8 Jengger Ayam (Celosia cristata) Daun 

9 Jahe Merah (Zingiber officinale var. rubra) Rimpang 

10 Manggis (Garcinia mangostana) Kulit buah 

11 Kecubung (Datura stramonium) Daun 

12 Kunyit Putih (Curcuma manga) Rimpang 

13 Patah Tulang (Euphorbia tirucalli) Daun 

14 Sambiloto (Andrographis paniculata) Daun 

1

Ekstrak dipilih berdasarkan seleksi awal pada C. amaranticolor (Damayanti dan Megasari 2013, data tidak dipublikasikan; Panjaitan 2013)

Persiapan Tanaman Uji dan Perlakuan di Lapangan

Kacang panjang kultivar Parade ditanam pada lahan pertanaman yang telah dipersiapkan sebelumnya. Tiap perlakuan terdiri dari 40 tanaman yang ditanam pada 2 guludan. Sedangkan tanaman pinggir jagung ditanam 21 hari sebelum penanaman kacang panjang.

Perlakuan. Perlakuan ekstrak kasar dan ekstrak protein dilakukan dengan penyemprotan pada daun tanaman kacang panjang berumur 7 hari setelah tanam (HST). Inokulasi BCMV dilakukan 1 jam setelah penyemprotan ekstrak (ekstrak kasar dan ekstrak protein). Tanaman kontrol diinfeksi BCMV tanpa perlakuan ekstrak (K+). Sedangkan tanaman kontrol sehat (K-) tidak diberi perlakuan ekstrak tanaman dan tidak diinokulasi BCMV. Pengamatan dilakukan setiap minggu sampai 7 minggu setelah inokulasi (MSI).

Parameter Pengamatan. Parameter yang diamati meliputi waktu inkubasi, kejadian penyakit, gejala, keparahan penyakit dan titer BCMV.

Kejadian penyakit dihitung pada minggu ke 4 setelah perlakuan dengan menggunakan rumus sebagai berikut.

Yaitu, n adalah jumlah tanaman bergejala mosaik; dan N adalah jumlah tanaman yang diamati. Kejadian penyakit untuk tanaman yang tidak menunjukkan gejala dikonfirmasi secara serologi dengan metode DIBA (dot-blot immunobinding assay) sesuai dengan protokol yang digunakan oleh Anggraini (2011).

Keparahan penyakit dihitung setiap minggu dengan ketentuan skala keparahan sebagai berikut (Gambar 2).

6

Skor 0 = Tanaman tidak bergejala

Skor 1 = Gejala mosaik ringan dengan pemucatan tulang daun Skor 2 = Gejala mosaik sedang

Skor 3 = Gejala mosaik berat

Skor 4 = Gejala mosaik berat diikuti dengan malformasi daun, tanaman kerdil atau mati

Persentase keparahan penyakit dihitung menggunakan rumus sebagai berikut.

yaitu, ni adalah jumlah tanaman pada kategori serangan i; vi adalah skala kategori serangan i; Z adalah nilai skala kategori serangan tertinggi; dan N adalah jumlah seluruh tanaman yang diamati.

Gambar 2 Skor keparahan penyakit: (a) Skor 0; (b) Skor 1; (c) Skor 2; (d) Skor 3; (e) Skor 4

Waktu inkubasi dihitung dari inokulasi BCMV sampai 4 minggu setelah inokulasi (MSI). Tingkat hambatan relatif (THR) keparahan ditentukan berdasarkan nilai keparahan penyakit setiap perlakuan dengan rumus sebagai berikut.

Yaitu, THR keparahan (i) adalah persentase tingkat hambatan relatif keparahan suatu perlakuan (i); KP adalah keparahan penyakit; dan K+ adalah kontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan.

Titer BCMV diperoleh dari hasil analisis serologi (ELISA) sampel daun yang diambil pada 4 MSI dan selanjutnya ditentukan THR virusnya menggunakan rumus sebagai berikut.

Yaitu, THR virus (i) adalah persentase tingkat hambatan relatif virus perlakuan (i); NAE adalah nilai absorbansi ELISA; dan K+ adalah kontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan.

7

Deteksi Serologi Titer BCMV dengan ELISA Tidak Langsung

Pengaruh perlakuan ekstrak tanaman terhadap titer BCMV ditentukan secara serologi dengan mendeteksi daun-daun sampel dari setiap perlakuan. Deteksi serologi dilakukan dengan metode ELISA tidak langsung (Indirect-ELISA) dengan antiserum BCMV (Agdia, USA). Daun sampel dari setiap perlakuan dibuat menjadi 8 sampel komposit dan tiap komposit diambil dari 5 tanaman. Antigen berasal dari daun sampel yang diperoleh dari lapangan kemudian digerus dengan pistil di dalam plastik bening tebal dengan bufer ekstraksi [1.59 g Na2CO5, 2.93 g NaHCO3, 0.20 g NaN3, 20 g PVP yang dilarutkan dalam 1 000 ml akuabides, pH 9.6] dengan perbandingan 1:100 (b/v). Sap sampel, kontrol positif dan kontrol negatif diisikan ke dalam sumuran ELISA masing-masing sebanyak 100 µl. Kemudian plat ELISA diinkubasi selama satu malam pada suhu 4 oC dalam kotak plastik lembab.

Plat ELISA selanjutnya dicuci dengan 1x Phosphate Buffer Saline Tween 20 (PBST) [8.0 g NaCl, 1.15 g Na2HPO4, 0.20 g KH2PO4, 0.20 g KCl, 0.50 g Tween-20 dilarutkan dalam 1 000 ml akuades, pH 7.4] sebanyak delapan kali. Tiap sumuran kemudian diberi 100 µl antiserum pertama BCMV (1:300 v/v) yang dicampurkan dengan bufer ECI [1000 ml PBST, 2.0 g BSA, 20 g PVP, 0.2 g NaN3, pH 7.4] dan diinkubasi dalam kotak plastik lembab selama 2 jam pada suhu ruang. Kemudian plat ELISA dicuci dengan PBST sebanyak delapan kali.

Antiserum kedua (Rabbit Antimouse IgG-Alkaline Phosphate, Agdia) yang dilarutkan dalam bufer ECI (1:300 v/v) diisi ke dalam sumuran sebanyak 100 µl dan diinkubasi dalam kotak plastik lembab selama 1 jam pada suhu ruang. Pencucian plat dilakukan delapan kali dengan PBST.

Plat ELISA selanjutnya diisi dengan substrat PNP (P-nitrophenylphosphate) [10 mg PNP dalam 10 ml bufer PNP (0.1 g MgCl6H2O, 0.2 g NaN3, 97.0 ml diethanolamine, 1 000 ml akuabides, pH 9.6)] sebanyak 100 µl. Selanjutnya diinkubasi pada suhu ruang dalam kondisi gelap. Kemudian plat ELISA dianalisis secara kuantitatif dengan ELISA reader (BIO-RAD Model 550) pada panjang gelombang 405 nm setiap interval 15 menit sampai 60 menit. Pengujian dikatakan positif jika nilai absorbansi ELISA (NAE) sampel uji besarnya 2 kali NAE kontrol negatif ELISA (tanaman sehat).

Analisis Data

Percobaan dirancang dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK). Pada uji lapangan digunakan 24 perlakuan termasuk kontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan dan kontrol sehat dengan kelompok perlakuan sebanyak 3 kelompok sebagai ulangan. Hasil percobaan kemudian dianalisis dengan analisis sidik ragam

(ANOVA) pada taraf nyata α = 5%. Data diolah menggunakan program Microsoft Excel 2010 dan Statistical Package for Social Sciences (SPSS) versi 17.0. Perlakuan yang menunjukkan adanya pengaruh langsung kemudian diuji lanjut dengan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%.

HASIL

Waktu Inkubasi

Ekstrak Kasar. Waktu inkubasi semua perlakuan ekstrak kasar tanaman menunjukkan nyata lebih panjang dibandingkan kontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan, kecuali perlakuan ekstrak manggis (Tabel 2). Waktu inkubasi terpanjang ditunjukkan oleh perlakuan ekstrak pukul empat (19.1 hari setelah inokulasi (HSI)) namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya kecuali dengan perlakuan ekstrak kasar manggis (12.7 HSI) dan kontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan.

Ekstrak Protein. Waktu inkubasi semua perlakuan ekstrak tanaman menunjukkan nyata lebih panjang dibandingkan kontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan kecuali perlakuan ekstrak temulawak (Tabel 2). Perlakuan yang menunjukkan waktu inkubasi terpanjang adalah perlakuan ekstrak pagoda (19.1 HSI) namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan lain kecuali perlakuan ekstrak temulawak (13.0 HSI) dan kontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan.

Kejadian Penyakit

Ekstrak Kasar. Kejadian penyakit semua perlakuan ekstrak kasar tanaman menunjukkan nyata lebih rendah dibandingkan kontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan (Tabel 2). Perlakuan ekstrak bogenvil, pagoda dan pukul empat efektif menurunkan kejadian penyakit yang tidak berbeda nyata dengan kontrol sehat. Kejadian penyakit tertinggi dan terendah berturut-turut ditunjukkan oleh perlakuan ekstrak jahe merah (58.7%) dan bogenvil (10.3%).

Ekstrak Protein. Kejadian penyakit semua perlakuan ekstrak protein tanaman menunjukkan nyata lebih rendah dibandingkan kontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan kecuali perlakuan kunyit putih (Tabel 2). Kejadian penyakit tertinggi dan terendah berturut-turut ditunjukkan oleh perlakuan ekstrak kunyit putih (86.6%) dan pagoda (45.0%). Kejadian penyakit perlakuan ekstrak protein lebih tinggi dibandingkan perlakuan ekstrak kasar.

Gejala Infeksi BCMV

Ekstrak Kasar. Kontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan menunjukkan gejala gejala mosaik berat (MB) diikuti dengan malformasi daun (MD). Perlakuan ekstrak bogenvil dan pukul empat hanya menunjukkan gejala pemucatan tulang daun (Pm) dan mosaik ringan (MR). Sedangkan perlakuan ekstrak jahe merah, manggis, mimba, tempuyung, dan temulawak menunjukkan gejala gejala mosaik berat (MB) tanpa malformasi daun (Gambar 3e - h).

Ekstrak Protein. Semua perlakuan ekstrak protein tanaman menunjukkan gejala mosaik berat (MB) diikuti malformasi daun. Namun perlakuan ekstrak tempuyung dan kecubung hanya menunjukkan gejala pemucatan tulang daun (Pm), mosaik ringan (MR) hingga mosaik sedang (MS) (Gambar 3i-k). Gejala tanaman perlakuan ekstrak protein menunjukkan gejala mosaik ringan, mosaik sedang dan mosaik berat diikuti malformasi daun. Sedangkan tanaman perlakuan ekstrak kasar masih menunjukkan gejala yang lebih ringan (Gambar 3i-k).

9 Tabel 2 Pengaruh perlakuan ekstrak tanaman terhadap waktu inkubasi dan

kejadian penyakit

No Tanaman Waktu inkubasi

(HSI1)2 Kejadian penyakit (%)

3

Ekstrak Kasar

1 Pagoda 18.6 ± 3.0 c 21.0 ± 11.0 abc

2 Pukul Empat 19.1 ± 5.4 c 24.7 ± 12.3 abcd 3 Jambu Biji 15.0 ± 1.6 bc 31.5 ± 0.8 bcd 4 Mimba 15.5 ± 2.5 bc 57.7 ± 31.9 cd 5 Tempuyung 15.9 ± 3.3 bc 49.5 ± 18.6 cd 6 Temulawak 16.7 ± 0.6 bc 54.3 ± 31.7 cd 7 Bogenvil 17.5 ± 1.7 bc 10.3 ± 2.5 ab 8 Jengger Ayam 16.9 ± 0.3 bc 40.9 ± 26.9 bcd 9 Jahe Merah 14.4 ± 0.9 bc 58.7 ± 9.7 d 10 Kulit Manggis 12.7 ± 3.8 ab 41.4 ± 31.3 bcd 11 K+4 8.9 ± 0.9 a 100.0 ± 0.0 e 12 K-4 - 0.0 ± 0.0 a Ekstrak Protein 1 Pagoda 19.1 ± 6.2 c 45.0 ± 32.5 b 2 Pukul Empat 17.1 ± 3.3 bc 46.5 ± 28.8 b 3 Jambu Biji 14.7 ± 3.3 bc 52.0 ± 21.6 b 4 Mimba 18.0 ± 2.4 bc 47.2 ± 23.6 b 5 Tempuyung 16.3 ± 1.3 bc 49.1 ± 21.2 bc 6 Temulawak 13.0 ± 0.3 ab 60.4 ± 17.5 bc 7 Kecubung 16.0 ± 2.8 bc 48.0 ± 20.2 b 8 Kunyit Putih 14.5 ± 3.1 bc 86.6 ± 7.6 cd 9 Patah Tulang 17.1 ± 3.5 bc 68.9 ± 23.1 bc 10 Sambiloto 18.1 ± 2.7 bc 47.5 ± 21.8 b 11 K+4 8.5 ± 0.4 a 100.0 ± 0.0 d 12 K-4 - 0.0 ± 0.0 a 1

HSI: hari setelah inokulasi; 2Untuk setiap kelompok ekstrak, angka yang diikuti huruf yang berbeda pada lajur yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda

Duncan α = 0.05; - = tidak bergejala; 3Kejadian penyakit berdasarkan gejala visual dan

dikonfirmasi dengan dot-blot immunobinding assay (DIBA); 4K+ = kontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan, K- = kontrol sehat

10

Tabel 3 Pengaruh perlakuan ekstrak tanaman terhadap gejala

No Tanaman Gejala1 Ekstrak Kasar 1 Pagoda Pm, MR, MS 2 Pukul Empat Pm, MR 3 Jambu Biji Pm, MR, MS 4 Mimba MR, MS, MB 5 Tempuyung MR, MS, MB 6 Temulawak MR, MS, MB 7 Bogenvil Pm, MR 8 Jengger Ayam Pm, MR, MS 9 Jahe Merah MR, MS, MB 10 Manggis MR, MS, MB 11 K+2 MS, MB, MD, Pb, K 12 K-2 - Ekstrak Protein 1 Pagoda MR, MS, MB 2 Pukul Empat MR, MS, MB 3 Jambu Biji MR, MS, MB 4 Mimba MR, MS, MB 5 Tempuyung Pm, MR, MS 6 Temulawak MR ,MS, MB 7 Kecubung Pm, MR, MS 8 Kunyit Putih MR, MS, MB 9 Patah Tulang MR, MS, MB 10 Sambiloto MR, MS, MB 11 K+2 MS, MB, MD, Pb, K 12 K-2 - 1

Pm= pemucatan tulang daun, MR= mosaik ringan, MS= mosaik sedang, MB= mosaik berat, MD= mosaik berat yang diikuti malformasi daun Pb= penebalan tulang daun, K= klorosis, - = tidak bergejala, gejala pada 4 MSI; 2K+ = kontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan, K- = kontrol sehat

11

Gambar 3 Gejala infeksi BCMV di lapangan. Tanaman kontrol sehat (a) dan kontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan (b-d), gejala perlakuan ekstrak kasar (e-h), gejala perlakuan ekstrak protein (i-k). (a) tidak bergejala; (b, e, i) pemucatan tulang daun; (f, j) mosaik ringan;(g) mosaik sedang; (c, h, k) mosaik berat; (d) mosaik berat diikuti klorosis

Keparahan Penyakit dan Tingkat Hambatan Relatif Keparahan

Ekstrak Kasar. Keparahan penyakit semua perlakuan ekstrak kasar menunjukkan nyata lebih rendah dibanding kontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan (Tabel 4). Keparahan penyakit tertinggi dan terendah berturut-turut ditunjukkan oleh perlakuan ekstrak mimba (35.1%) dan bogenvil (6.6%).

Semua perlakuan ekstrak tanaman menunjukkan THR keparahan yang nyata lebih tinggi dibandingkan kontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan (Tabel 4). THR keparahan tertinggi dan terendah ditunjukkan oleh perlakuan ekstrak bogenvil (89.8%) dan tempuyung (48.4%) serta mimba (48.4%).

Ekstrak Protein.Semua perlakuan ekstrak protein menunjukkan keparahan penyakit yang nyata lebih rendah dengan kontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan (Tabel 4). Keparahan penyakit tertinggi dan terendah berturut-turut ditunjukkan oleh perlakuan ekstrak kunyit putih (33.0%) dan tempuyung (15.8%). Semua perlakuan ekstrak tanaman menunjukkan THR keparahan yang nyata lebih tinggi dibandingkan kontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan (Tabel 4). THR keparahan tertinggi dan terendah berturut-turut ditunjukkan oleh perlakuan ekstrak tempuyung (74.4%) dan kunyit putih (43.2%).

a b c d

e f g h

12

Titer dan Tingkat Hambatan Relatif BCMV

Ekstrak Kasar. Semua perlakuan ekstrak kasar menunjukkan NAE nyata lebih rendah dibandingkan kontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan (Tabel 5). Hanya perlakuan ekstrak bogenvil yang negatif terdeteksi BCMV diantara perlakuan lainnya. NAE tertinggi dan terendah berturut-turut ditunjukkan oleh perlakuan ekstrak pagoda (0.515) dan bogenvil (0.171).

Semua perlakuan ekstrak kasar menunjukkan THR BCMV yang nyata lebih tinggi dibandingkan kontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan (Tabel 5). THR BCMV tertinggi dan terendah berturut-turut ditunjukkan oleh perlakuan ekstrak bogenvil (99.1%) dan pagoda (59.8%). Perlakuan ekstrak bogenvil menunjukkan THR BCMV paling tinggi diantara perlakuan lainnya tetapi tidak berbeda nyata antar perlakuan ekstrak tanaman.

Ekstrak Protein. Semua perlakuan ekstrak protein menunjukkan NAE yang tidak berbeda nyata dengan kontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan (Tabel 5). Diantara ekstrak yang diuji, ada delapan perlakuan ekstrak protein tanaman yang memiliki NAE lebih tinggi daripada kontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan, yaitu perlakuan jambu biji, temulawak, kecubung, kunyit putih, sambiloto, mimba, pukul empat, dan pagoda, sehingga THR virusnya negatif.

Semua perlakuan ekstrak protein menunjukkan THR BCMV dibawah 50% (Tabel 5). THR BCMV perlakuan ekstrak tanaman tertinggi dan terendah berturut-turut ditunjukkan oleh tempuyung (42.7%) dan jambu biji (-55.1%).

13 Tabel 4 Pengaruh perlakuan ekstrak tanaman terhadap keparahan dan tingkat

hambatan relatif penyakit

No Tanaman Keparahan penyakit (%)1 THR keparahan (%)1 Ekstrak Kasar 1 Pagoda 10.4 ± 3.2 abc 83.2 ± 7.1 bcd 2 Pukul Empat 7.5 ± 5.3 ab 87.0 ± 10.8 bcd 3 Jambu Biji 18.6 ± 1.1 abc 69.6 ± 8.8 bcd

4 Mimba 35.1 ± 24.4 c 48.4 ± 33.8 b

5 Tempuyung 29.8 ± 13.7 bc 48.4 ± 31.5 b 6 Temulawak 28.6 ± 24.9 bc 52.6 ± 48.6 bc

7 Bogenvil 6.6 ± 1.9 ab 89.8 ± 2.2 cd

8 Jengger Ayam 15.6 ± 15.3 abc 79.1 ± 15.6 bcd 9 Jahe Merah 27.5 ± 14.4 bc 53.4 ± 31.2 bc 10 Kulit Manggis 29.5 ± 24.1 bc 59.4 ± 19.8 bc 11 K+2 65.5 ± 22.0 d 0.0 ± 0.0 a 12 K-2 0.0 ± 0.0 a 100.0 ± 0.0 d Ekstrak Protein 1 Pagoda 21.6 ± 16.9 ab 62.2 ± 29.9 b 2 Pukul Empat 19.9 ± 18.1 ab 64.5 ± 35.5 b 3 Jambu Biji 21.5 ± 17.8 ab 61.9 ± 33.6 b 4 Mimba 20.3 ± 14.9 ab 65.0 ± 26.2 b 5 Tempuyung 15.8 ± 8.4 ab 74.4 ± 14.9 bc 6 Temulawak 31.0 ± 7.8 b 48.3 ± 18.9 b 7 Kecubung 17.5 ± 3.8 ab 72.1 ± 3.2 bc 8 Kunyit Putih 33.0 ± 17.0 b 43.2 ± 34.5 b 9 Patah Tulang 23.3 ± 9.8 b 61.0 ± 21.7 b 10 Sambiloto 24.4 ± 19.5 b 56.8 ± 37.7 b 11 K+2 62.5 ± 10.7 c 0.0 ± 0.0 a 12 K-2 0.0 ± 0.0 a 100.0 ± 0.0 c 1

Untuk setiap kelompok ekstrak, angka yang diikuti huruf yang berbeda pada lajur yang sama

menunjukkan hasil berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan α = 0.05; 2

K+ = kontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan, K- = kontrol sehat

14

Tabel 5 Pengaruh perlakuan ekstrak tanaman terhadap titer BCMV

No Tanaman NAE1, 2 THR5 virus1

Ekstrak Kasar3 1 Pagoda 0.515 ± 0.323 b 59.8 ± 36.0 b 2 Pukul Empat 0.413 ± 0.236 ab 72.5 ± 27.5 b 3 Jambu Biji 0.328 ± 0.138 ab 81.2 ± 17.5 bc 4 Mimba 0.509 ± 0.289 b 60.3 ± 32.1 b 5 Tempuyung 0.472 ± 0.234 ab 64.9 ± 27.5 b 6 Temulawak 0.441 ± 0.216 ab 68.6 ± 25.5 b 7 Bogenvil 0.171 ± 0.033 a 99.1 ± 1.2 c 8 Jengger Ayam 0.428 ± 0.253 ab 70.6 ± 29.2 b 9 Jahe Merah 0.496 ± 0.274 ab 62.3 ± 30.6 b 10 Kulit Manggis 0.479 ± 0.224 ab 64.1 ± 26.7 b 11 K+6 1.181 ± 0.256 c 0.0 ± 0.0 a 12 K-6 0.159 ± 0.065 a 100.0 ± 0.0 c Ekstrak Protein4 1 Pagoda 1.315 ± 0.525 bcd -15.6 ± 64.9 abc 2 Pukul Empat 1.329 ± 0.450 bcd -3.5 ± 4.5 abc 3 Jambu Biji 1.715 ± 0.495 d -55.1 ± 78.3 a 4 Mimba 1.363 ± 0.565 bcd -5.7 ± 17.9 abc 5 Tempuyung 0.832 ± 0.334 b 42.7 ± 17.7 c 6 Temulawak 1.714 ± 0.903 d -35.5 ± 40.8 ab 7 Kecubung 1.552 ± 0.350 cd -30.0 ± 26.4 ab 8 Kunyit Putih 1.450 ± 0.373 cd -17.9 ± 11.9 abc 9 Patah Tulang 1.067 ± 0.494 bc 15.4 ± 34.0 bc 10 Sambiloto 1.445 ± 0.592 cd -11.7 ± 15.5 abc

11 K+6 1.280 ± 0.395 bcd 0.0 ± 0.0 abc

12 K-6 0.151 ± 0.046 a 100.0 ± 0.0 d

1

Untuk setiap kelompok ekstrak, angka yang diikuti huruf yang berbeda pada lajur yang sama

menunjukkan hasil berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan α= 0.05; 2

NAE = nilai absorbansi ELISA; 3NAE K- ELISA = 0.131. Uji dinyatakan positif jika NAE perlakuan > 2 x NAE K- ELISA (NAE perlakuan > 0.262); 4NAE K- ELISA = 0.121. Uji dinyatakan positif jika NAE perlakuan > 2 x NAE K- ELISA (NAE perlakuan > 0.242); 5THR = tingkat hambatan relatif;

6K+ = kontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan, K- = kontrol sehat.

Secara umum, perlakuan ekstrak kasar dan ekstrak protein tidak menyebabkan gangguan terhadap pertumbuhan tanaman. Produktivitas polong perlakuan ekstrak kasar cenderung lebih tinggi dibandingkan kontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan. Bahkan produktivitas polong tanaman perlakuan pagoda, pukul empat, jambu biji, mimba, tempuyung, bogenvil, jengger ayam dan jahe merah tidak berbeda nyata dengan produktivitas polong tanaman kontrol sehat. Hanya perlakuan temulawak yang terendah dibandingkan perlakuan lainnya, termasuk kontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan (Lampiran 17).

Produktivitas polong perlakuan ekstrak protein cenderung tidak berbeda nyata dibandingkan kontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan. Hanya perlakuan pagoda yang menunjukkan produktivitas polong yang tidak berbeda nyata dengan kontrol sehat. Perlakuan tempuyung menunjukkan produktivitas polong terendah

15 (Lampiran 17). Produktivitas tanaman juga sangat dipengaruhi oleh banyaknya tanaman yang mati karena serangan penyakit dan kondisi cuaca yang buruk.

PEMBAHASAN

Penggunaan ekstrak tanaman untuk mengendalikan virus berpotensi untuk diteliti dan dikembangkan lebih lanjut. Ekstrak tanaman mudah dibiodegradasi, kurang fitotoksik dan lebih sistemik serta aman dan spesifik target (Deepthi et al. 2007). Secara umum, ekstrak tanaman mampu secara nyata memperpanjang waktu inkubasi dan menurunkan kejadian dan keparahan penyakit oleh BCMV di lapangan. Baik pengujian di lapangan maupun di rumah kaca (Damayanti dan Megasari 2013, data tidak dipublikasikan; Panjaitan 2013), perlakuan ekstrak kasar menunjukkan lebih efektif menekan kejadian dan keparahan penyakit, serta titer BCMV dibandingkan perlakuan ekstrak protein.

Pada uji efikasi ekstrak kasar di rumah kaca, NAE perlakuan beberapa ekstrak kasar seperti bogenvil, jambu biji, jahe merah, kulit manggis, mimba, tempuyung, dan temulawak menunjukkan lebih tinggi (Panjaitan 2013) dibandingkan NAE pengujian di lapangan. Hal ini diduga karena suhu di rumah kaca lebih tinggi dan konstan yang mendukung ekspresi gejala dan perkembangan BCMV di dalam jaringan tanaman. Saat pengujian lapangan dilakukan (Mei –

September) curah hujan tinggi berkisar antara 110 mm – 290 mm, dengan kelembaban nisbi 28.0 % - 85.4% dan suhu rata-rata 25.1 oC – 26.3 oC (Lampiran 18). Kondisi lingkungan ini kemungkinan kurang mendukung ekspresi gejala tanaman perlakuan (keparahan penyakit) sehingga NAE pengujian di lapangan lebih rendah dibandingkan di rumah kaca. Pada perlakuan ekstrak kasar bogenvil menunjukkan adanya gejala infeksi virus ringan, namun secara serologi tidak terdeteksi BCMV. Hal ini menunjukkan gejala tersebut bukan disebabkan oleh BCMV, namun kemungkinan dapat disebabkan oleh faktor abiotik atau virus lain yang menginfeksi secara alami di lapangan. Infeksi campuran virus atau mikroorganisme lainnya merupakan hal yang umum terjadi di alam (Syller 2012).

Sebagian besar tanaman perlakuan ekstrak protein di lapangan menunjukkan gejala berkedok (masking); diduga karena terhambatnya translokasi virus tetapi proses replikasi virus di dalam sel tanaman tidak terhambat (Wahyuni 2005). Hal ini dibuktikan oleh keparahan penyakit yang nyata lebih rendah dibandingkan kontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan, namun titer virus tinggi. Rendahnya THR BCMV oleh perlakuan ekstrak protein diduga karena jenis pelarut yang digunakan. Pada berbagai uji ekstrak tanaman, perbedaan pelarut memberikan hasil yang bervariasi terhadap kandungan senyawa aktif yang dihasilkan dan juga terhadap aktivitas ekstrak tanaman tersebut (Baranwal dan Verma 1997; Vivanco et al. 1999; Sanches et al. 2005; Umamaheswari et al. 2008; Porwal et al. 2012; Velmurugan et al. 2012). Namun penggunaan aseton sebagai pelarut pada beberapa ekstrak tanaman diantaranya ekstrak daun jambu biji dilaporkan efektif menekan infeksi Tobamovirus (Tobacco mosaic virus dan Tomato mosaic virus) (Deepthi et al. 2007). Dalam penelitian ini semua perlakuan ekstrak kasar termasuk daun jambi biji justru lebih efektif menekan titer BCMV dibandingkan perlakuan ekstrak protein dengan pelarut aseton. Hal ini menunjukkan bahwa

16

keefektifan ekstrak tanaman dalam menekan virus tergantung dari inang, spesies virus dan pelarut yang digunakan.

Mekanisme penekanan ekstrak tanaman terhadap infeksi BCMV pada percobaan ini belum diketahui. Namun beberapa ekstrak tanaman diketahui mengandung protein antivirus yang tergolong ke dalam ribosome-inactivating proteins (RIPs) dan memiliki sifat menginduksi ketahanan sistemik (induced systemic resistance, ISR). ISR tidak secara langsung menghambat perkembangan virus, melainkan meningkatkan ketahanan tanaman itu sendiri dengan menginduksi tanaman untuk memproduksi suatu senyawa yang dapat menghambat perkembangan patogen (Prasad et al. 1995; Verma et al. 1998).

Kandungan Bougainvillea Antiviral Protein (BAP) pada bogenvil, Mirabilis Antiviral Protein (MAP) pada pukul empat dan Celosia Cristata Protein (CCP) pada jengger ayam (Kataoka et al. 1991; Balasaraswathi et al. 1998; Balasubrahmanyam et al. 2000; Rajesh et al. 2005; Begam et al. 2006) diduga berperan dalam penekanan infeksi BCMV. Kandungan substansi antivirus ekstrak tanaman lainnya belum diketahui. Pada Clerodendrum inerme dilaporkan memiliki substansi antivirus yang disebut sebagai single chain ribosome-inactivating proteins (Jassim dan Naji 2003), namun pada Clerodendrum japonicum yang digunakan dalam penelitian ini kandungan substansi antivirusnya belum diketahui.

Selain protein antivirus, kandungan senyawa aktif dalam tanaman dilaporkan mampu menekanan infeksi suatu virus. Senyawa aktif tersebut antara lain flavonoid, terpenoid, coumarin, tannin, quercetin, saponin dan fenol. Senyawa

Dokumen terkait