• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga dan Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) mulai April sampai Oktober 2011.

Bahan Tumbuhan Sumber Insektisida Nabati

Bahan tumbuhan yang digunakan sebagai sumber ekstrak insektisida nabati antara lain daun Tephrosia vogelii (kacang babi/Fabaceae) yang diperoleh dari kebun organik Bina Sarana Bakti, Cisarua, Bogor; rimpang Alpinia purpurata

(lengkuas merah/Zingiberaceae) yang diperoleh dari pasar Bogor; biji Swietenia mahagoni (mahoni/Meliaceae) yang diperoleh dari Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga; dan biji Annona muricata (sirsak/Annonaceae) yang diperoleh dari pasar Bogor.

Penyiapan Tanaman Media Uji

Daun cabai (Capsicum annuum L.) varietas SPH 77 digunakan sebagai media pengujian keefektifan insektisida nabati. Benih cabai disemai dalam nampan semai yang telah diisi campuran sekam bakar dan pupuk kompos dengan perbandingan 3:1. Setelah berumur kurang lebih 4 minggu setelah tanam (MST), bibit cabai dipindah ke polybag berkapasitas 5 kg (25 cm x 25 cm) yang telah diisi campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 3:1. Pemeliharaan yang dilakukan meliputi pemupukan, penyiraman, dan pengendalian hama. Pupuk NPK diberikan setelah tanaman cabai berumur kurang lebih 8 MST. Pemberian pupuk NPK berikutnya dilakukan setelah panen pertama. Penyiraman dilakuan setiap pagi atau sore hari. Pengendalian hama seperti kutu-kutuan dilakukan dengan menyemprot permukaan bawah daun menggunakan air yang dialirkan lewat selang, sedangkan untuk gangguan penyakit tidak dilakukan

11

pengendalian karena intensitas serangannya rendah. Setelah tanaman berumur kurang lebih 10 MST, daun cabai dapat digunakan sebagai media pengujian.

Perbanyakan Serangga Uji

Serangga yang digunakan dalam pengujian keefektifan insektisida nabati adalah Spodoptera litura (F.) (Lepidoptera: Noctuidae) instar pertama. Perbanyakan serangga uji diawali dengan pemeliharaan larva S. litura di laboratorium. Larva S. litura diperoleh dari pertanaman talas di Situ Gede, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Larva yang diperoleh dimasukkan ke dalam wadah plastik pemeliharaan (34.5 cm x 26.5 cm x 7 cm) dengan tutup berkain kasa. Bagian dasar wadah pemeliharaan dialasi kertas buram agar cairan yang keluar bersama kotoran S. litura bisa segera diserap. Setiap wadah pemeliharaan diisi maksimal 40 ekor larva.

Selama pemeliharaan, pakan yang digunakan adalah daun talas. Daun talas diperoleh dari pertanaman talas liar yang ada di sekitar kampus IPB Dramaga. Daun talas yang akan dijadikan pakan dicuci terlebih dahulu dengan air yang mengalir. Setelah dicuci, daun ditiriskan sebelum diberikan ke larva. Daun talas berukuran sedang diberikan setiap pagi dan sore hari masing-masing sebanyak 1 lembar. Setiap mengganti pakan, wadah pemeliharaan dibersihkan dari kotoran- kotoran larva dan dilakukan penggantian kertas buram.

Setelah mencapai instar ke-6 akhir (prapupa), pada bagian dasar wadah pemeliharaan diberikan serbuk gergaji yang telah disterilisasi di dalam oven selama kurang lebih 15 menit pada suhu 105 °C. Serbuk gergaji ditempatkan di dasar wadah pemeliharaan bagian pinggir dan bagian tengahnya dikosongkan (membentuk bingkai kotak). Di atas serbuk gergaji diberikan 2 lembar kertas buram. Larva S. litura dan pakannya diletakkan di atasnya.

Setelah S. litura menjadi pupa, dipindahkan ke wadah yang dibuat khusus untuk imago S. litura berkopulasi dan bertelur, yaitu berupa wadah plastik berbentuk silinder (diameter 16 cm dan tinggi 16 cm). Dinding bagian dalam wadah secara keseluruhan dilapisi kertas buram. Bagian atas wadah ditutup menggunakan tutup kasa. Setiap wadah pemeliharaan diisi maksimal 30 buah pupa. Setelah imago S. litura keluar dari pupa, diletakkan pakan berupa larutan

12

madu (perbandingan air dan madu 9:1) yang diserapkan pada kapas dan diletakkan di atas tutup kasa. Imago yang telah berkopulasi akan meletakkan telurnya pada permukaan kertas buram.

Jika kelompok telur yang dihasilkan sudah cukup banyak dan warnanya sudah agak gelap (abu-abu kehitaman), telur dipanen. Telur dipanen dengan menggunting kertas buram yang menjadi tempat bertelur S. litura sesuai ukuran kelompok telur yang dihasilkan. Kelompok telur yang didapat dimasukkan ke dalam wadah plastik berbentuk silinder yang lebih kecil (diameter 6 cm dan tinggi 6.5 cm). Setelah telur menetas, larva S. litura segera digunakan untuk pengujian.

Penyiapan Bahan Tumbuhan Sumber Insektisida Nabati

Daun T. vogelii dikeringanginkan selama seminggu, kemudian dipotong menjadi bagian-bagian kecil. Sebaliknya, rimpang A. purpurata dipotong menjadi bagian-bagian kecil terlebih dahulu sebelum dikeringanginkan selama seminggu. Biji S. mahagoni dan A. muricata dikupas kulitnya sehingga didapat bagian endospermanya, kemudian dikeringanginkan selama seminggu juga. Semua bahan tumbuhan dikeringanginkan di tempat yang teduh (tidak terkena sinar matahari secara langsung) dan kering. Setelah kering, setiap bahan tumbuhan digiling menggunakan blender hingga menjadi serbuk. Setiap bahan tumbuhan yang sudah digiling diayak menggunakan pengayak kawat kasa berjalinan 0,5 mm.

Ekstraksi Bahan Tumbuhan Sumber Insektisida Nabati Metode Maserasi

Setiap bahan tumbuhan sebanyak 200 g dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer, kemudian ditambahkan metanol teknis yang terlebih dahulu diuapkan menggunakan rotary evaporator (agar diperoleh metanol murni) sampai semua bahan tumbuhan terendam, lalu disimpan selama 2 malam (48 jam). Rendaman masing-masing bahan tumbuhan disaring menggunakan corong kasa yang dialasi kertas saring. Hasil saringan diuapkan menggunakan rotary evaporator pada suhu 50 °C dan tekanan 337 mbar hingga diperoleh ekstrak kasar. Metanol hasil

13

penguapan yang diperoleh digunakan kembali untuk merendam bahan tumbuhan hasil penyaringan selama 2 malam juga, kemudian diuapkan kembali menggunakan rotary evaporator. Setiap ekstrak yang diperoleh disimpan dalam lemari pendingin pada suhu ± 4 °C hingga saat digunakan.

Penyiapan Sediaan Ekstrak yang Diperoleh dari Metode Maserasi.

Ekstrak T. vogelii sebanyak 0.5 g dicampur dengan pelarut metanol, Solvesso R-100, dan pengemulsi Tween-80 (9:1:5) sebanyak 0.48 ml; kemudian ditambahkan akuades sampai volumenya menjadi 50 ml. Konsentrasi akhir metanol, Solvesso R-100, dan Tween-80 adalah 0.96%. Akuades yang mengandung pelarut metanol, Solvesso R-100, dan Tween-80 digunakan sebagai larutan kontrol. Untuk ekstrak A. muricata, A. purpurata, dan S. mahagoni

dicampur dengan pelarut aseton dan pengemulsi Tween-80 (5:1) sebanyak 0.6 ml; kemudian ditambahkan akuades sampai volumenya menjadi 50 ml. Konsentrasi akhir metanol dan Tween-80 adalah 1.2%. Semua larutan ekstrak dikocok menggunakan pengocok ultrasonik agar diperoleh ekstrak yang tersuspensikan secara merata dalam akuades. Selanjutnya, dilakukan pengenceran pada tiap suspensi ekstrak sehingga diperoleh konsentrai 1%, 0.5%, 0.25%, dan 0.125%.

Metode Fermentasi

Perbanyakan bakteri selulolitik. Isolat bakteri yang digunakan selama proses ekstraksi diperoleh dari Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan dan sudah diuji positif menghasilkan enzim yang mampu mendegradasi selulosa. Isolat bakteri tersebut berasal dari saluran pencernaan kambing dan diisolasi dari kotorannya. Sebelum proses ekstraksi, bakteri dibiakkan terlebih dahulu pada media Natrium Agar (NA) dengan komposisi: akuades 100 ml, beef extract 0.3 g,

peptone 0.5 g, dan bacto agar 1.5 g. Semua bahan dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer lalu diaduk sampai semua bahan padat larut dalam akuades, kemudian media disterilkan menggunakan autoklaf selama 15 menit pada suhu 121 °C dan tekanan 1 atm.

Setelah dibiakkan pada media NA, isolat bakteri diperbanyak pada media

14

dan dextrose 2 g. Sebelum media dibuat, kulit kentang dikupas, kemudian dicuci dan dipotong-potong menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Selanjutnya, kentang direbus dalam akuades sampai tekstur kentang menjadi lunak. Hasil rebusan disaring untuk diambil sarinya. Setelah itu, ditambahkan dextrose dan akuades sampai volumenya menjadi 100 ml lagi, lalu diaduk sampai dextrose

larut. Media PDB yang sudah selesai dibuat dimasukkan ke dalam 25 buah tabung reaksi (masing-masing 5 ml). Media disterilkan menggunakan autoklaf pada suhu dan tekanan yang sama dengan proses sterilisasi media NA.

Untuk perbanyakan bakteri, sebanyak 1 ose isolat bakteri dimasukkan ke dalam media PDB dan dihomogenkan menggunakan Vortex. Media PDB yang berisi isolat bakteri diinkubasikan selama ± 36 jam sambil dikocok menggunakan

shaker. Selama pengocokan, ujung tabung ditutup menggunakan alumunium foil tanpa diberi seal. Setelah masa inkubasi, isolat bakteri segera digunakan untuk proses ekstraksi.

Ekstraksi insektisida nabati dengan metode fermentasi. Setiap bahan tumbuhan ditimbang sebanyak 10, 5, 2.5, dan 0.5 g; kemudian dimasukkan ke dalam wadah ekstraksi dan ditambahkan akuades sampai volumenya menjadi 45 ml. Setelah itu, ditambahkan isolat bakteri yang telah diperbanyak dalam media PDB sehingga didapat larutan sebanyak 50 ml dengan konsentrasi bahan tumbuhan 20%, 10%, 5%, dan 1%. Untuk kontrol, larutan hanya berisi akuades dan isolat bakteri. Selanjutnya, wadah ditutup dengan alumunium foil dan diinkubasikan sampai 48 jam.

Pada 24, 36, dan 48 jam setelah isolat bakteri dimasukkan; dilakukan pengadukan terhadap larutan bahan tumbuhan. Pengadukan dilakukan agar terjadi perputaran udara dalam larutan sehingga diharapkan pertumbuhan bakteri dapat terjadi secara merata. Setelah 48 jam, dilakukan penyaringan terhadap ekstrak hasil fermentasi. Penyaringan dilakukan menggunakan saringan berjalinan ± 0.1 mm. Sediaan ekstrak hasil penyaringan disimpan dalam lemari pendingin dengan suhu ± 4 °C hingga saat digunakan.

15

Pengujian Keefektifan Ekstrak Insektisida Nabati

Pengujian dilakukan dengan metode residu pada daun menggunakan metode celup daun. Pengujian dilaksanakan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan 2 faktor. Faktor pertama adalah jenis metode ekstraksi yang digunakan, meliputi ekstraksi dengan pelarut organik (maserasi) dan bakteri selulolitik (fermentasi). Faktor kedua adalah jenis bahan tumbuhan sumber ekstrak yang digunakan meliputi daun T. vogelii, rimpang A. purpurata, biji

S. mahagoni dan A. muricata. Setiap perlakuan diulang sebanyak 5 kali.

Daun yang digunakan dalam pengujian diusahakan berukuran seragam dan tidak terserang penyakit. Daun cabai dicelup satu per satu ke dalam suspensi ekstrak dengan konsentrasi tertentu sampai basah merata lalu ditiriskan. Daun kontrol dicelupkan ke dalam larutan kontrol yang sesuai. Setelah tiris, tangkai daun dibalut dengan kapas dan seal dari batas helai daun dan tangkai sampai ujung kapas kecuali bagian paling ujung. Bagian kapas yang tidak tertutup seal

dicelupkan ke dalam akuades sampai akuades mencapai setengah bagian kapas. Selanjutnya, bagian tersebut dibalut juga menggunakan seal.

Pemberian akuades yang diserapkan pada kapas bertujuan daun perlakuan tetap segar sampai pengamatan selesai dilakukan. Pembalutan tangkai dan kapas secara keseluruhan menggunakan seal dilakukan untuk mencegah serangga uji meminum akuades yang diserapkan pada kapas, sehingga didapat data yang lebih akurat karena larva hanya memakan daun yang sudah diberi perlakuan menggunakan sediaan ekstrak tumbuhan.

Setiap daun perlakuan dan daun kontrol diletakkan secara terpisah di dalam cawan petri (diameter 9 cm) yang dialasi kertas tisu yang ukurannya melebihi diameter cawan (satu daun per cawan). Cawan diletakkan pada posisi terbalik. Alas tisu diletakkan pada bagian tutup cawan, sedangkan bagian dasar cawan ditutupkan di atas tisu. Dengan demikian, bagian tutup dan dasar cawan tersekat tisu sehingga serangga uji tidak dapat keluar dari cawan.

Sebanyak 10 ekor larva instar pertama S. litura yang baru menetas dimasukkan ke dalam cawan petri, kemudian diberikan daun kontrol atau daun perlakuan sesuai konsentrasinya. Setelah 24 jam, dilakukan pengamatan efek mortalitas terhadap serangga uji dan dilakukan penggantian daun perlakuan

dengan daun perlakua dilakukan pengamata permukaan daun yan Dua puluh empat jam daun tanpa perlakuan. makan dilakukan seti perlakuan (JSAP).

Pengamatan Efek M

Pengamatan di

S. litura yang mati. S dan berwarna coklat mortalitas serangga uj keterangan: PM = pe M = jum N = jum Pengamatan Aktivi Pertama S. litura

Alat bantu yang spidol, dan lampu. D diletakkan di depan la

Gambar 1 Penghitun

S. litura A

kuan yang baru, begitu juga dengan daun kontr atan aktivitas penghambatan makan dengan m

ang dimakan serangga uji pada daun perlaku m berikutnya, daun perlakuan dan daun kontrol

an. Pengamatan efek mortalitas dan aktivitas etiap hari selama 3 hari pada 24, 48, dan 72

Mortalitas terhadap Larva Instar Pertama S

dilakukan dengan menghitung jumlah larva . Serangga uji yang terlihat tidak bergerak, tubuhn

at kehitaman dianggap sebagai serangga uji m uji dihitung menggunakan rumus:

PM 100%

persentase mortalitas serangga uji (%)

jumlah total serangga uji yang mati selama pe jumlah total serangga uji yang digunakan untuk pe

tivitas Penghambatan Makan terhadap

ng digunakan selama pengamatan antara lain pu. Daun yang diamati direntangkan di atas kac n lampu sehingga terlihat jelas bekas gigitan ser

hitungan total lingkaran bekas gigitan larva

ura (A) dan ilustrasinya (B).

B

16

kontrol. Setelah itu, n menghitung luas kuan dan kontrol. kontrol diganti dengan

tas penghambatan 72 jam sejak awal

a S. litura va instar pertama ubuhnya mengerut mati. Persentase pengamatan n untuk pengujian ap Larva Instar in kaca pembesar, kaca pembesar dan

erangga uji.

17

Bekas gigitan tampak membentuk wilayah dengan warna lebih muda daripada bagian daun yang tidak digigit. Bekas gigitan larva instar pertama S. litura yang teramati selama pengamatan pada umumnya berbentuk lingkaran (diameter ± 0.5 mm). Jumlah lingkaran bekas gigitan tersebut dihitung untuk mendapatkan jumlah total bagian permukaan daun yang dimakan serangga uji.

Selain lingkaran, bekas gigitan serangga uji juga memiliki bentuk tidak beraturan. Untuk menghitungnya, dilakukan estimasi terhadap jumlah lingkaran berdiameter ± 0.5 mm yang dibutuhkan untuk menutupi seluruh wilayah bekas gigitan yang bentuknya tidak beraturan. Untuk mempermudah proses penghitungannya, digunakan spidol (diameter ujung ± 0.5 mm) untuk memberi tanda titik pada wilayah bekas gigitan sampai penuh (lihat Gambar 6B). Jumlah tanda titik tersebut diasumsikan sebagai jumlah bekas gigitan serangga uji yang berbentuk lingkaran dengan diameter ± 0.5 mm. Setelah diperoleh jumlah total lingkaran bekas gigitan serangga uji, nilai tersebut dikalikan dengan 0.196 mm2 (luas lingkaran bekas gigitan serangga uji yang dijadikan patokan) sehingga diperoleh luas permukaan daun cabai yang dimakan serangga uji.

Persentase penghambatan makan dihitung menggunakan rumus:

B 1 − x 100%

keterangan: B = persentase penghambatan makan (%)

Ap = luas permukaan daun yang dimakan dari perlakuam (mm2) Ak = luas permukaan daun yang dimakan dari kontrol (mm2)

Pengolahan Data

Data mortalitas dan penghambatan makan yang diperoleh diolah dengan

sidik ragam yang dilanjutkan dengan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5% menggunakan paket program Statistical Analysis System (SAS)

9.1.3 (SAS Institute 1990). Data mortalitas yang diperoleh juga diolah dengan metode probit (Finney 1971) untuk menghitung nilai LC (lethal concentration) tiap ekstrak menggunakan program POLO-PC (LeOra Software 1987). Penghitungan nilai LC hanya dilakukan pada data hasil perlakuan ekstrak dengan persentase mortalitas > 50%. Nilai LC yang dihitung adalah LC50 dan LC95.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Ekstraksi Bahan Tumbuhan Sumber Insektisida Nabati

Hasil ekstraksi menggunakan metode maserasi yang terbanyak diperoleh dari biji S. mahagoni, diikuti daun T. vogelii, biji A. muricata, dan rimpang

A. purpurata (Tabel 1). Ekstrak yang diperoleh dari biji S. mahagoni berbentuk campuran cairan kental berwarna coklat muda transparan dan padatan yang berwarna coklat muda bertekstur lunak. Ekstrak daun T. vogelii berbentuk cairan kental dan lengket berwarna hijau tua pekat. Ekstrak biji A. muricata berupa cairan kental berwarna coklat tua transparan. Ekstrak rimpang A. purpurata

berbentuk campuran cairan kental berwarna coklat kemerahan transparan dan padatan yang berwarna coklat kemerahan pekat dan lengket.

Tabel 1 Bobot dan persentase rendemen hasil ekstraksi bahan tumbuhan menggunakan metode maserasi

Sumber ekstrak Bobot awal (g) Bobot akhir (g)a Rendemen (%)b A. muricata 200 12.25 6.12 A. purpurata 200 10.12 5.06 S. mahagoni 200 39.42 19.71 T. vogelii 200 17.64 8.82 a

Bobot akhir merupakan bobot ekstrak kasar yang diperoleh setelah filtrat diuapkan.

b

Nilai rendemen diperoleh menggunakan rumus: (bobot akhir/bobot awal)x 100%.

Pada proses ekstraksi menggunakan metode fermentasi, beberapa perubahan tampak pada larutan selama proses fermentasi, antara lain terjadi perubahan warna larutan, timbul gelembung udara di antara bahan tumbuhan sumber ekstrak, dan terjadi pengentalan larutan (Tabel 1). Warna larutan yang menjadi keruh menunjukkan selulosa telah terdegradasi dan larut dalam akuades. Terjadinya pengentalan larutan menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri. Timbulnya gelembung udara menunjukkan telah dimulainya proses fermentasi (Weimer dan Zeikus 1977). Warna sediaan ekstrak yang diperoleh umumnya berwarna coklat,

19

kecuali ekstrak S. mahagoni berwarna oranye kecoklatan. Kepekatan warna tiap ekstrak meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi bahan tumbuhan dalam larutan. Volume yang didapat setiap ekstrak menurun seiring dengan meningkatnya konsentrasi bahan tumbuhan dalam larutan.

Tabel 2 Karakteristik larutan bahan tumbuhan sumber insektisida nabati selama dan sesudah proses ekstraksi menggunakan metode fermentasi

Sumber ekstrak Karakteristik larutan Konsentrasi (%) Warna Gelembung Udaraa Kekentalan a Volume setelah penyaringan (ml)

A. muricata 1 Coklat muda - +++ 45.0

5 - +++ 44.0

10 - ++ 36.5

20 - ++ 22.5

A. purpurata 1 Coklat susu + + 46.0

5 + + 38.0 10 ++ - 32.0 20 ++ - 21.5 S. mahagoni 1 Oranye kecoklatan ++ ++ 49.0 5 ++ ++ 41.0 10 ++++ +++ 36.0 20 +++++ +++ 26.5 T. vogelii 1 Coklat tua ++ ++ 48.0 5 ++ ++ 37.5 10 +++ + 32.0 20 ++++ + 20.0 a

Tanda + menunjukkan jumlah gelembung udara dan tingkat kekentalan larutan. Semakin banyak tanda + yang dimiliki suatu ekstrak, semakin banyak gelembung udara yang terlihat dan semakin tinggi tingkat kekentalannya.

Perbandingan Keefektifan Ekstrak Insektisida Nabati

Perbandingan Pengaruh Insektisida Nabati terhadap Mortalitas S. litura

Pengaruh tiap ekstrak terhadap persentase mortalitas larva instar pertama

S. litura ditunjukkan pada Tabel 3. Perlakuan yang dapat menyebabkan kematian serangga uji ≥ 80% pada konsentrasi tertinggi adalah ekstrak A. muricata dan

20

< 50% pada konsentrasi tertinggi adalah ekstrak A. purpurata maserasi maupun fermentasi dan A. muricata fermentasi. Perlakuan yang menyebabkan kematian serangga uji 50% sampai 79% (sedang) adalah ekstrak T. vogelii maserasi maupun fermentasi dan S. mahagoni fermentasi.

Tabel 3 Perbandingan efek mortalitas ekstrak insektisida nabati dengan dua metode ekstraksi yang berbeda terhadap larva instar pertama S. litura

Sumber ekstrak Metode ekstraksi Maserasi Fermentasi Konsentrasi (%) Mortalitas (%)a Konsentrasi (%) Mortalitas (%)a A. muricata 1 90a 20 4cd 0.5 76a 10 8cd 0.25 50b 5 14cd 0.125 26c 1 12cd Kontrol 0d Kontrol 0d

A. purpurata 1 38a 20 28ab

0.5 30ab 10 24ab 0.25 20abc 5 16bc 0.125 12bc 1 10bc Kontrol 2c Kontrol 0c S. mahagoni 1 86a 20 56bc 0.5 60b 10 34de 0.25 40cd 5 28de 0.125 18ef 1 18ef Kontrol 0f Kontrol 0f

T. vogelii 1 62a 20 60a

0.5 48ab 10 44abc

0.25 34bc 5 28bc

0.125 24e 1 18cd

Kontrol 0d Kontrol 0d

a

Mortalitas kumulatif pada 72 jam sejak awal perlakuan (JSAP). Untuk setiap rataan mortalitas yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%.

21

Pada perlakuan ekstrak A. muricata, perlakuan dengan ekstrak fermentasi kurang aktif dalam memberikan efek mortalitas terhadap serangga uji. Hal ini terlihat dari persentase mortalitas tertinggi yang dihasilkan sebesar 14%, sedangkan perlakuan dengan ekstrak maserasi mencapai 90%. Pada perlakuan ekstrak A. purpurata, persentase mortalitas tertinggi yang dihasilkan perlakuan ekstrak fermentasi cenderung tidak berbeda nyata dengan ekstrak maserasi, yaitu masing-masing sebesar 38% dan 28%. Pada perlakuan ekstrak S. mahagoni, perlakuan dengan ekstrak fermentasi menghasilkan persentase kematian sebesar 56% yang berbeda nyata dengan ekstrak maserasi yaitu 86%. Pada perlakuan ekstrak T. vogelii maserasi maupun fermentasi, persentase mortalitas tertinggi yang diperoleh kedua perlakuan tidak berbeda nyata yaitu masing-masing sebesar 60% dan 62%.

Tabel 4 menunjukkan nilai LC (lethal concentration) ekstrak insektisida nabati yang digunakan dalam perlakuan. Penghitungan nilai LC hanya dilakukan pada ekstrak yang menghasilkan kematian serangga ≥ 50% pada saat pengujian. Nilai LC merupakan tolok ukur toksisitas suatu bahan.

Tabel 4 Penduga parameter toksisitas ekstrak insektisida nabati terhadap larva instar pertama S. litura

Jenis ekstrak a ± Gba b ± GBa LC50 (SK 95%) a (%) LC95 (SK 95%)a (%) A. muricata maserasi 1.317 ± 0.188 2.167 ± 0.316 0.247 1.416 (0.193 – 0.303) (0.966 – 2.720) S. mahagoni maserasi 0.992 ± 0.174 2.193 ± 0.322 0.353 1.985 (0.284 – 0.437) (1.300 – 4.122) T. vogelii maserasi 0.294 ± 0.151 1.131 ± 0.277 0.549 15.617 (0.381 – 1.004) (4.467 – 516.316) T. vogelii fermentasi 1.031 ± 0.192 0.903 ± 0.206 13.841 961.915 (8.543 – 32.721) (189.232 – 52 704.178) S. mahagoni fermentasi 1.021 ± 0.192 0.765 ± 0.204 21.597 3048.310 a

a = intersep regresi probit, b = kemiringan regresi probit. GB = galat baku, SK = selang kepercayaan.

22

Berdasarkan nilai LC50 dan LC95, ekstrak A. muricata maserasi paling aktif terhadap larva instar pertama S. litura dengan nilai LC50 dan LC95 berturut-turut 0.25% dan 1.42%; diikuti ekstrak S. mahagoni maserasi (0.35% dan 1.98%) dan ekstrak T. vogelii maserasi (0.55% dan 15.62%).

Untuk ekstraksi dengan metode maserasi, dari nilai LC50 dan persentase rendemen yang dihasilkan dari ekstrasi maserasi (Tabel 1), dapat diketahui jumlah bahan tumbuhan sumber ekstrak kering yang dibutuhkan untuk menghasilkan kematian serangga sebesar 50%. Untuk ekstraksi biji A. muricata dibutuhkan bahan tumbuhan sebanyak 4.03 g, untuk biji S. mahagoni sebanyak 1.79 g, dan untuk daun T. vogelii sebanyak 6.22 g. Dari jumlah tersebut dapat diketahui bahwa pada ekstrasi biji A. muricata maserasi membutuhkan bahan tumbuhan kering lebih banyak daripada biji S. mahagoni, walaupun nilai LC50-nya lebih rendah.

Untuk ekstraksi dengan metode fermentasi dengan masa perendaman 48 jam, dari nilai LC50 dapat diketahui bahwa selama proses ekstraksi dibutuhkan biji S. mahagoni sebanyak 21.58 g dan daun T. vogelii sebanyak 13.84 g. Dari jumlah tersebut, diketahui bahwa pada ekstraksi menggunakan metode fermentasi dengan masa inkubasi 48 jam membutuhkan bahan tumbuhan ekstrak lebih banyak untuk menghasilkan persentase mortalitas yang sama dibandingkan dengan metode maserasi.

Perbandingan Pengaruh Insektisida Nabati terhadap Penghambatan Makan S. litura

Pengaruh penghambatan makan tiap ekstrak terhadap larva instar pertama

S. litura ditunjukkan pada Tabel 5. Perlakuan yang dapat menyebabkan penghambatan aktivitas makan ≥ 75% pada konsentrasi tertinggi adalah ekstrak

T. vogelii dan S. mahagoni maserasi. Sebaliknya, perlakuan yang menyebabkan

penghambatan makan < 50% pada konsentrasi tertinggi adalah ekstrak

A. purpurata maserasi maupun fermentasi. Perlakuan yang menyebabkan persentase penghambatan makan serangga uji 50% sampai 70% (sedang) adalah ekstrak A. muricata maserasi maupun fermentasi, S. mahagoni fermentasi, dan T. vogelii fermentasi.

23

Tabel 5 Perbandingan efek penghambatan makan ekstrak insektisida nabati dengan dua metode ekstraksi yang berbeda

Sumber ekstrak

Metode ekstraksi

Maserasi Fermentasi

Konsentrasi (%)

Penghambatan makan (%)a pada Konsentrasi

(%)

Penghambatan makan (%)a pada

24 JSAP 48 JSAP 72 JSAP 24 JSAP 48 JSAP 72 JSAP

A. muricata 1 62.16a 31.80abc -3.71c 20 -4.36c -1.61c -4.62c

0.5 52.79ab 14.62bc 0.69c 10 -2.18c 1.50c -1.81c

0.25 39.35abc 7.71c -4.50c 5 5.67c 0.53c -3.95c

0.125 15.86bc 5.22c -4.70c 1 -1.60c -4.57c -4.25c

A. purpurata 1 18.80ab 35.73a -4.54b 20 9.72ab 14.25ab 1.82ab

0.5 16.95ab 27.70ab -6.48b 10 8.33ab 11.53ab -4.72b

0.25 13.11ab 24.19ab -6.81b 5 7.77ab 7.91ab -4.47b

0.125 8.53ab 0.98ab -5.72b 1 1.23ab 2.06ab -1.51b

S. mahagoni 1 77.98ab 79.81a -5.04ij 20 59.25abcd 57.75abcd 0.86hij

0.5 60.17abcd 69.32abc -6.07ij 10 52.40bcde 49.17cde -6.87j

0.25 50.63cde 57.59abcd 1.14hij 5 33.76def 29.96efg -4.72ij

0.125 29.09efg 44.22cdef 6.00ghij 1 26.67efgh 21.03fghi -4.65ij

T. vogelii 1 61.93abcd 82.93a 20.69fgh 20 50.15cde 49.08cde 0.29h

0.5 49.87cde 77.91ab 14.72fgh 10 27.69efgh 31.25efg 3.01h

0.25 37.12def 67.34abc 9.61fgh 5 11.46fgh 19.27fgh 1.74h

0.125 32.16efg 57.15bcde 7.05gh 1 4.79gh 18.51fgh 0.46h

a

Nilai penghambatan makan yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%. JSAP = jam sejak

24

Pada perlakuan ekstrak A. muricata, perlakuan dengan ekstrak fermentasi menghasilkan penghambatan aktivitas makan yang kurang baik. Hal ini terlihat dari persentase penghambatan makan tertinggi yang dihasilkan sebesar 5.67% pada 24 jam sejak awal perlakuan (JSAP), sedangkan perlakuan dengan ekstrak maserasi mencapai 62.16% pada 24 JSAP. Pada perlakuan ekstrak A. purpurata, perlakuan dengan ekstrak maserasi menunjukkan hasil yang cenderung lebih

Dokumen terkait