• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tempat dan Waktu

Penelitian perkembangan dan preferensi makan dilakukan di Laboratorium Entomologi Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, IPB. Pengujian kandungan kimia daun dilaksanakan di dua laboratorium yang berbeda, yaitu pengujian proksimat dilakukan di Laboratorium Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, IPB dan pengujian fitokimia dilaksanakan di Laboratorium Kimia Organik, Fakultas MIPA, IPB. Penelitian dimulai dari bulan November 2013 sampai Agustus 2014.

Metode Penelitian Pemeliharaan Tanaman Uji

Tanaman yang digunakan sebagai inang yaitu bibit jabon merah dan putih yang masing-masing berumur 3 bulan yang didapatkan dari persemaian di sekitar kampus IPB. Tanaman dipelihara di dalam sungkup beratap paranet hitam. Bibit tanaman disiram setiap hari. Kedua jenis tanaman ini disiapkan untuk pengamatan perkembangan dan preferensi makan M. procris.

Pemeliharaan Serangga Uji

Larva dan pupa M. procris diperoleh dari Hutan Rakyat yang ada di sekitar

Dramaga. Larva dan pupa dibawa ke laboratorium Entomologi Hutan dan ditempatkan di dalam wadah plastik berukuran 17 x 12 x 11 cm3 sampai menjadi imago. Imago yang keluar dibedakan jenis kelaminnya, kemudian dipilih 10 pasang imago dan dimasukkan ke dalam kurungan serta diberi makan larutan madu 10% yang diserapkan pada kapas, kemudian digantung di bagian atas kurungan. Dalam kurungan tersebut juga diletakkan media peletakan telur (bibit jabon merah dan putih) untuk tempat bertelur kupu-kupu betina.

Pengamatan Perkembangan

Penelitian perkembangan dimulai dengan menggunakan 10 larva M. procris

sebagai ulangan, masing-masing pada daun jabon merah dan putih. Pengamatan dilakukan setiap hari dan dimulai dari larva instar 1 atau 2 sampai imago.

Khusus untuk fase telur, pengamatan dilakukan pada telur hasil pembedahan abdomen betina karena proses peneluran oleh imago di laboratorium mengalami hambatan. Pengamatan dilakukan terhadap ukuran dan stadium telur.

Larva yang diperoleh dari lapangan diletakkan di dalam wadah plastik pengamatan berukuran 17 x 12 x 11 cm3, masing-masing wadah berisi 1 ekor larva. Fase larva diamati mulai dari instar pertama sampai instar terakhir. Pengamatan larva meliputi jumlah instar, morfologi, perilaku dan stadium tiap instar. Pengukuran larva meliputi ukuran panjang dan lebar kepala larva setiap instar (Gambar 1). Pada fase pupa selain dilakukan pengukuran, juga dilakukan pengamatan stadium dan perilaku.

Pengamatan imago dilakukan dengan cara mengambil kupu-kupu yang baru keluar dari pupa kemudian ditempatkan di dalam kurungan berkasa berukuran 60 x 60 x 40 cm3. Pada setiap kurungan ditempatkan satu pasang kupu-kupu. Apabila

5

Gambar 1 Pengukuran bagian tubuh larva Moduza procris

perbandingan jantan dan betina tidak mencapai 1 : 1, maka jantan dipindahkan beberapa kali ke dalam beberapa kurungan imago betina agar semua imago dapat berkopulasi. Kupu-kupu kemudian diberi makan cairan madu 10% yang diserapkan pada kapas dan digantung di bagian atas kurungan. Pengamatan imago meliputi morfologi, nisbah kelamin, lama hidup dan jumlah telur yang diletakkan (keperidian). Pengamatan dilakukan setiap hari sampai kupu-kupu tersebut mati, sehingga diperoleh data lama hidup imago. Pengukuran panjang tubuh dan rentang sayap dilakukan langsung setelah imago mati. Cara pengukuran terhadap imago dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Pengukuran imago Moduza procris.

Pada penelitian ini dilakukan juga pengamatan terhadap parasitoid yang menyerang hama di lapangan. Jenis parasitoid yang diperoleh dari lapangan disimpan di dalam botol koleksi berisi alkohol 70%, selanjutnya untuk menentukan jenis perasitoid yang ditemukan diidentifikasi menggunakan buku acuan (identifikasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Selain itu suhu dan kelembaban diukur sebagai faktor yang mempengaruhi perkembangan hama di laboratorium. Pengukuran suhu ruangan dilakukan tiga kali sehari yaitu pada pukul 07.30, 13.30 dan 17.30 WIB (Bariyah 2011). Rata-rata suhu dan kelembaban relatif laboratorium yaitu berturut-turut 27.12 °C dan 64.93%.

Pengujian Preferensi Makan

Pengujian preferensi makan dilakukan dengan dua cara yaitu metode pilihan (choise) dan metode tanpa pilihan (no choise). Metode pilihan dilakukan dengan

menempatkan 1 ekor larva insar empat pada wadah pengamatan, dan diberi pakan daun jabon merah dan putih dalam wadah yang sama. Sebelumnya daun jabon dipetakan di atas kertas milimeter blok untuk mengetahui luas daun yang

Kepala

Panjang tubuh

Panjang tubuh Rentang sayap

6 dijadikan pakan. Pangkal daun diberi kapas yang telah dibasahi air untuk menjaga daun tetap segar. Pergantian pakan daun dilakukan setiap hari. Daun yang telah dimakan keesokan harinya dipetakan kembali di atas kertas milimeter blok dan dihitung jumlah luasan daun yang dimakan larva per hari.

Metode tanpa pilihan dilakukan dengan memasukkan satu jenis daun jabon merah atau putih ke dalam wadah plastik. Ukuran daun yang digunakan sebagai pakan dalam metode pilihan atau tanpa pilihan relatif sama. Pada setiap metode dilakukan dengan lima ulangan. Jumlah luasan daun yang dimakan dihitung setiap hari, hingga larva berganti kulit menjadi instar 5.

Pengujian Kandungan Kimia Daun Jabon

Bahan tanaman uji yang digunakan adalah daun jabon merah dan putih yang berada pada posisi ke tiga dari tunas dan masih berwarna hijau. Daun yang digunakan sebagai sampel merupakan daun yang diambil pada pohon jabon berumur 7 bulan, yang diambil secara acak berasal dari Hutan Rakyat Desa Cibanteng, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Pada tahap awal daun jabon dibersihkan dengan air kemudian dikering udarakan tanpa terkena cahaya matahari langsung atau dikeringkan di dalam oven dengan suhu tidak melebihi 50 °C. Setelah kering, daun dihaluskan dan sampel siap untuk diuji.

Uji Proksimat (Senyawa Primer)

Uji proksimat terdiri dari uji kadar air, kadar abu, protein kasar, serat kasar dan kandungan lemak total. Uji mineral meliputi kandungan Ca, P dan NaCl. Analisis serat meliputi ADF (Acid Detergent Fiber), selulosa, lignin dan silika

serta uji asam amino (AOAC. 2005; SNI 01-2891-1992).

Pengujian Kadar Air. Cawan porselin yang sebelumnya telah dipanaskan pada oven 105 oC didinginkan selama ± 1 jam di dalam eksikator, kemudian ditimbang berat cawan (X). Sampel yang telah ditimbang sebanyak ± 5 g (Y), kemudian diletakkan ke dalam cawan. Ke dalam oven 105 oC sampel dimasukkan selama ± 4 – 6 jam (tercapai bobot tetap). Sampel diangkat, kemudian didinginkan dalam eksikator selama 10 menit. Berat sampel ditimbang dan dicatat. Tahapan tersebut diulangi sampai diketahui berat stabilnya (Z). Perhitungan kadar air dilakukan dengan rumus:

Kadar Air pada 105 oC = x 100%

Pengujian Kadar Abu. Cawan porselin yang sebelumnya telah dipanaskan pada tanur 400 – 600 oC kemudian didinginkan di dalam eksikator, dan ditimbang (X). Sampel ± 5 g dimasukkan ke dalam cawan kemudian ditimbang (Y), selanjutnya sampel dibakar di atas hot plate sampai tidak berasap. Setelah proses

pembakaran selesai sampel dimasukkan ke dalam tanur dengan suhu 800 °C selama 1 jam. Sampel kemudian diangkat dan didinginkan dalam eksikator lagi selama 30 menit. Berat sampel ditimbang dan dicatat (Z). Perhitungan kadar abu dilakukan dengan rumus:

Kadar Abu = x 100% X x Y – Z Y X – Z Y

7 Pengujian Serat Kasar. Sampel ditimbang sebanyak ± 1 g (X), kemudian dimasukkan ke dalam gelas piala. Sampel dimasukkan ke dalam alat Heater extract dan ditambah dengan 50 ml H2SO4 0.3 N, kemudian diekstrak selama 30 menit. Setelah diekstrak sampel ditambahkan dengan 25 ml NaOH 1.5 N dan diekstrak kembali selama 30 menit. Selanjutnya sampel ditempatkan pada kertas saring Whatman 41 yang telah dipanaskan dalam oven 105 oC selama 1 jam, dan

ditimbang kembali (a). Cairan kemudian disaring menggunakan Whatman 41 dan

dimasukkan ke dalam corong buchner. Penyaringan tersebut dilakukan dengan

labu pengisap yang dihubungkan dengan pancar air. Sampel yang telah selesai disaring kemudian dicuci berturut-turut dengan menggunakan 50 ml air panas, 50 ml H2SO4 0.3 N, 50 ml air panas dan 25 ml aseton. Kertas saring Whatman 41 beserta isinya dimasukkan ke dalam cawan porselen, selanjutnya dikeringkan dengan oven 105 oC selama 1 jam. Sampel diangkat dan didinginkan dalam eksikator kemudian ditimbang beratnya (Y). Setelah ditimbang sampel ditempatkan pada cawan dan dimasukkan ke dalam tanur selama 1 jam dengan suhu mencapai 800 °C, sampel diangkat dan didinginkan kemudian ditimbang beratnya (Z). Perhitungan kandungan serat kasar dilakukan dengan rumus:

% Serat Kasar = x 100%

Pengujian Protein Kasar. Pengujian protein kasar dilakukan dalam beberapa tahapan. Tahapan pertama yaitu tahap destruksi, sampel ditimbang sebanyak ± 0.3 g, kemudian ditambakan ± 1.5 g katalis Selenium Mixture.

Selanjutnya sampel dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl dan ditambahkan 20 ml

H2SO4 pekat, dan didestruksi sampai warna larutan menjadi hijau-kekuningan- jernih. Tahap kedua yaitu tahapan destilasi, setelah proses destruksi sampel didinginkan selama ± 15 menit. Ke dalam sampel ditambahkan 300 ml aquadest, kemudian didinginkan kembali, setelah proses pendinginan ke dalam sampel ditambahakan 100 ml NaOH 40 % (teknis) dan dilakukan destilasi. Proses destilasi ini berlangsung selama ± 30 menit sampai terjadinya letupan. Tahapan ketiga yaitu proses titrasi. Hasil destilasi dicampur dengan 10 ml H2SO4 0.1 N yang sudah ditambah 3 tetes indikator campuran Methylen Blue dan Methylen Red

dengan NaOH 0.1 N sampai terjadi perubahan warna dari ungu menjadi biru- kehijauan. Pada proses titrasi ini juga dilakukan penetapan blanko (sebagai pembanding), 10 ml H2SO4 0.1 N dipipet dan ditambah 2 tetes indikator PP (Phenol Phtalein), kemudian dititrasi dengan NaOH 0.1 N. Perhitungan protein

kasar dilakukan dengan rumus: % Protein =

x 100%

Pengujian Kadar Lemak. Labu penyari (labu lemak) disiapkan sebelumnya, dengan batu didih di dalamnya yang telah dipanaskan sebelumnya pada suhu 105 - 110 oC dan didinginkan di dalam eksikator. Berat labu penyari ditimbang (a). Sampel daun yang telah dihaluskan ditimbang ± 1 g (x), dan dimasukkan ke dalam selongsong penyaring, kemudian ditutup dengan menggunakan kapas tidak berlemak. Selongsong penyaring ini dimasukkan ke

Y – Z – a X

(ml blanco – ml sampel) x N NaOH x 14 x 6.25 Berat sampel (mg)

8 dalam alat soxlet, selanjutnya disaring menggunakan petroleum benzin.

Selanjutnya ekstraktor dihubungkan dengan kondensor, proses ini dilakukan menggunakan alat FATEX-S. Labu penyari diangkat dari alat FATEX-S, kemudian

dikeringkan dalam oven 105 - 110 oC sampai bobotnya tetap (± 4 - 6 jam). Sampel diangkat dari oven, kemudian didinginkan di dalam eksikator selama 30 menit, selanjutnya ditimbang bobot akhirnya (b). Perhitungan lemak kasar dilakukan dengan rumus:

% Lemak = x 100%

Pengujian Van Soest. Sistem analisis Van Soest merupakan kelanjutan dari

uji serat, yaitu menggolongkan zat pakan menjadi isi sel (cell content) dan dinding

sel (cell wall). Analisis serat yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi analisis

ADF, selulosa dan lignin. Analisis ADF mewakili selulosa dan lignin dinding sel tanaman.

Prinsip dasar dari analisis ADF adalah mengukur bagian dinding sel tanaman yang tidak dapat larut dalam larutan detergen asam dengan komposit utama CTAB (Cetyl Trimethyl Ammonium Bromide) pada pemanasan satu jam.

Larutan detergent asam atau Acid Detergent Solution (ADS) dibuat dengan

melarutkan CTAB 20 g dalam 27.5 asam sulfat 1 N dan ditambahkan aquadest hingga volumenya menjadi 1 liter. Sampel ditimbang sebanyak 1 g (A), selanjutnya dimasukkan ke dalam gelas piala 600 ml, dan ditambahkan dengan 100 ml larutan ADS. Sampel kemudian diekstraksi selama 60 menit dari mulai mendidih. Sampel hasil ekstraksi disaring menggunakan cawan kaca masir yang telah ditimbang sebelumnya (B). Residu hasil ekstraksi dibilas menggunakan air panas dan aseton. Sampel dikeringkan pada oven 105 °C selama ± 4 jam sampai beratnya stabil, selanjutnya cawan diangkat dan didinginkan di dalam eksikator. Setelah dingin, cawan dikeluarkan dari eksikator dan ditimbang (C).

Analisis selulosa merupakan lanjutan dari analisa ADF. Sampel analisis ADF yang sudah ditimbang (C) ditambah dengan larutan asam sulfat (H2SO4) 72% sampai terendam selama 3 jam. Setelah 3 jam, residu dibilas menggunakan air panas dan aseton. Selanjutnya dikeringkan pada oven 105 °C selama ± 4 jam sampai beratnya stabil, angkat dan dinginkan dalam eksikator. Setelah dingin, cawan dikeluarkan dari eksikator dan ditimbang (D).

Analisis lignin merupakan kelanjutan dari analisis ADF dan selulosa. Sampel yang sudah dikeringkan (D), selanjutnya dibakar di dalam tanur dengan tempratur ± 600 °C. Sampel yang ditempatkan di dalam cawan diangkat dan didinginkan dalam eksikator dan ditimbang beratnya (E). Analisis Van Soest dapat dihitung dengan persamaan berikut:

% ADF = x 100% % Selulosa = x 100% % Lignin = x 100% b – a x C – D A C – E A C – B A

9 Uji Fitokimia (Senyawa Metabolik Sekunder)

Analisis fitokimia daun yang dilakukan mengacu pada metode Harborne (1987).

Uji Alkaloid. Sebanyak 500 mg sampel dilarutkan di dalam 5 ml kloroform dan dibasakan dengan beberapa tetes NH4OH, kemudian sampel disaring ke dalam tabung reaksi. Ekstrak kloroform kemudian ditambahi 10 tetes H2SO4 2M lalu dikocok hingga terbentuk dua lapisan. Lapisan asam yang berada di atas di ambil, kemudian diteteskan pada pelat tetes dan diuji berturut-turut dengan pereaksi Meyer, pereaksi Wagner, dan pereaksi Dragendrof. Uji positif bila didapat endapan berturut-turut putih, cokelat, dan merah jingga.

Uji Flavonoid. Pada 500 mg sampel ditambahkan 10 ml air panas kemudian dididihkan selama 5 menit dan disaring. Ke dalam 5 ml filtratnya ditambahkan 0.5 g serbuk Mg, 1 ml HCl pekat, dan 1 ml amil alkohol kemudian dikocok dengan kuat. Hasil uji positif bila muncul warna merah, kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol.

Uji Kuinon. Sebanyak 500 mg sampel ditambahkan ke dalam 10 ml air panas dan sampel dididihkan selama 5 menit lalu disaring. Filtrat ditambahi 3 tetes NaOH. Uji positif bila ditandai dengan munculnya endapan merah.

Uji Tanin. Sebanyak 500 mg sampel ditambahkan ke dalam 50 ml air panas dan dididihkan selama 15 menit lalu disaring. Filtratnya ditambahi 10 ml FeCl3 1%. Uji positif bila ditandai dengan munculnya warna hijau kehitaman.

Uji Saponin. Pada 500 mg sampel ditambahkan 10 ml air panas dan dididihkan selama 5 menit lalu disaring. Sebanyak 10 ml filtrat dikocok di dalam tabung reaksi tertutup selama 10 detik kemudian dibiarkan selama 10 menit. Adanya saponin ditunjukkan dengan terbentuknya buih yang stabil.

Uji Triterpenoid dan Steroid. Uji ini menggunakan pereaksi Lieberman- Burchard. Pada pengujian ini, sebanyak 500 mg sampel dimaserasi dengan 25 ml etanol panas selama 1 jam, disaring dan residunya ditambah eter. Filtrat ditambah 3 tetes asam asetatanhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat secara berurutan. Larutan dikocok perlahan dan dibiarkan beberapa menit. Uji positif ditandai dengan terbentuknya warna merah atau ungu untuk triterpenoid dan warna hijau atau biru

untuk steroid.

Analisis Data

Data pengamatan perkembangan dianalisis secara deskriptif, data hasil penelitian ditampilkan dalam bentuk tabel dan gambar. Data preferensi makan dengan metode pilihan dan tanpa pilihan dianalisis dengan uji t pada taraf nyata 5%, menggunakan software SAS versi 9.1. Data pengujian kandungan kimia

senyawa primer dan senyawa metabolik sekunder dianalisis secara deskriptif yaitu hasil pengujian kandungan kimia daun dua jenis jabon disajikan dalam bentuk tabel dan dilihat berapa persentase perbedaan kandungan kimia dari daun jabon merah dan putih.

10

HASIL DAN PEMBAHASAN

Habitat dan Morfologi Jabon

Jabon merah (A. macrophyllus) merupakan tanaman pioner yang toleran

cahaya, dapat hidup di dataran rendah sampai ketinggian 50 - 1000 m dpl. Penyebaran alami jabon merah di Indonesia lebih sempit bila dibandingkan dengan jabon putih, yang meliputi Sulawesi, Maluku dan Papua. Tinggi pohon jabon merah bisa mencapai 40 meter dengan batang bundar dan tegak lurus mencapai 70% - 80% dengan lingkar batang mencapai lebih dari 150 cm (diameter lebih dari 50 cm). Daya tumbuh di lahan kritis juga cukup baik, bahkan bisa dijadikan sebagai buffer zone untuk kepentingan konservasi atau daerah

penyangga karena memiliki perakaran yang dalam. Di Hungoyono, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, jabon merah ditemukan tumbuh dengan subur diatas bukit karst dekat sumber air panas tempat peneluran burung maleo (Macrocephalon maleo) (Halawane et al. 2011).

Jabon putih (A. cadamba) merupakan tanaman pionir yang dapat tumbuh

baik pada tanah-tanah aluvial yang lembab dan umumnya dijumpai di hutan sekunder di sepanjang bantaran sungai dan daerah transisi antara daerah berawa, daerah yang tergenang air secara permanen maupun secara periodik. Beberapa pohon jabon terkadang juga ditemukan di areal hutan primer. Jenis ini tumbuh baik pada berbagai jenis tanah, terutama pada tanah-tanah yang subur dan beraerasi baik (Soerianegara & Lemmens 1993).

Penyebaran jabon putih di Indonesia cukup luas meliputi seluruh Sumatera, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, seluruh Sulawesi, Nusa Tenggara Barat dan Papua. Jabon tumbuh pada daerah lembab di pinggir sungai, rawa dan kadang-kadang terendam air. Jabon tersebar dari daerah pantai hingga ketinggian 1000 m dpl (Heyne 1987). Jabon termasuk jenis kayu daun lebar yang lunak (ringan). Kayu teras berwarna putih kekuningan sampai kuning terang, tidak dapat dibedakan dengan jelas warnanya dari kayu gubal (Martawijaya et al. 1989). Beberapa ciri morfologi yang membedakan jabon

merah dari jabon putih dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Perbedaan ciri morfologi jabon merah dan jabon putih No Karakteristik Jabon merah Jabon putih

1 2 3 4 5 6

Tunas daun muda Pangkal daun Urat daun primer Batang muda Batang pohon dewasa Warna buah  Berwarna merah  Runcing  Berwarna merah

 Berwarna merah kehitaman

 Berwarna kehitaman

Buah masak fisiologis berwarna coklat kemerahan

 Berwarna coklat muda  Rata  Berwarna hijau kekuningan  Berwarna hijau kecoklatan  Berwarna coklat kelabu

Buah masak fisiologis berwarna kuning

11 Perkembangan M. procris

M. procris merupakan serangga yang mengalami metamorfosis sempurna

(holometabola), yaitu terdiri dari telur, larva yang terdiri dari lima instar, pupa dan

imago. Perubahan setiap instar larva ditandai dengan terjadinya pergantian kulit pada setiap fase larva. Lama perkembangan M. procris mulai dari telur, larva,

pupa sampai imago dengan pakan jabon merah dan putih tersaji pada Tabel 2. Data stadium dan ukuran pradewasa dan dewasa M. procris ditunjukkan pada

Lampiran 1 - 5.

Tabel 2 Rata-rata stadium larva dan pupa serta lama hidup imago Moduza procris

pada daun jabon merah dan jabon putih (hari) Tahap

perkembangan

Jabon merah Jabon putih

N Stadium Stadium Larva Instar 1 Instar 2 Instar 3 Instar 4 Instar 5 Pupa Imago* Jantan Betina 50 10 10 10 10 10 10 2 8 16.00 ± 1.91 3.10 ± 0.32 3.20 ± 0.42 3.10 ± 0.32 3.10 ± 0.32 3.50 ± 0.53 8.70 ± 1.06 11.50 ± 3.53 11.75 ± 2.05 17.20 ± 2.47 3.40 ± 0.52 4.50 ± 0.53 3.20 ± 0.42 3.40 ± 0.52 2.70 ± 0.48 8.10 ± 0.99 14.50 ± 2.12 15.25 ± 2.38 * = lama hidup, N = jumlah ulangan (individu)

Telur

Telur berbentuk agak bulat berwarna hijau kekuningan dan terdapat rambut- rambut halus seperti duri pada permukaannya (Gambar 3a). Telur yang diperoleh dari hasil pembedahan imago betina rata-rata berukuran 1.32 mm untuk pakan dengan daun jabon merah, dan 1.36 mm pada jabon putih (Tabel 3). Menurut Morrell (1948), telur M. procris berukuran 1 mm, dengan lama fase telur 3.5 hari.

Telur diletakkan kupu-kupu betina pada ujung daun tanaman inang yang terdapat bekas gigitan larva. Telur berwarna hijau kekuningan, agak bulat berbentuk kubah dengan permukaan berbentuk heksagonal dan terdapat bulu-bulu halus seperti duri (Gambar 3b).

Gambar 3 Telur Moduza procris, (a) hasil pembedahan,

(b) menurut Morrell (1948).

0 .5 mm

0..5mm

12 Tabel 3 Ukuran pradewasa dan imago Moduza procris pada jabon merah dan

jabon putih (mm) Tahap

perkembangan

Jabon merah Jabon putih N Lebar Panjang tubuh Lebar Panjang tubuh

Telur Larva* Instar 1 Instar 2 Instar 3 Instar 4 Instar 5 Pupa Jantan Betina Imago** Jantan Betina 10 10 10 10 10 10 2 8 2 8 1.32 ± 0.09 0.91 ± 0.03 1.92 ± 0.02 2.91 ± 0.03 3.91 ± 0.03 4.91 ± 0.02 8.00 ± 0.00 9.83 ± 0.52 55.00 ± 0.00 67.25 ± 0.89 -- 7.20 ± 0.42 9.70 ± 0.43 15.60 ± 0.52 24.20 ± 0.79 33.90 ± 0.74 27.50 ± 0.58 29.63 ± 0.52 16.50 ± 0.71 20.50 ± 0.93 1.36 ± 0.09 0.94 ± 0.01 1.94 ± 0.02 2.93 ± 0.04 3.93 ± 0.04 4.92 ± 0.02 8.50 ± 0.71 10.25 ± 0.71 55.50 ± 0.71 67.63 ± 0.92 -- 7.80 ± 0.42 10.30 ± 0.67 16.30 ± 0.48 24.70 ± 0.48 34.80 ± 0.42 28.00 ± 0.00 30.00 ± 0.54 16.00 ± 1.41 20.88 ± 0.64 Keterangan: * = lebar pada larva adalah lebar kepala, N = jumlah ulangan (individu)

** = lebar pada imago adalah rentang sayap imago

Gambar 4 Larva Moduza procris, (a) instar 1 awal, (b) instar 1 akhir,

(c) instar 2, (d) instar 3, (e) instar 4, (f) instar 5. Larva

Larva M. procris berbentuk silindris (erusiform). Larva tua berwarna coklat

tua sampai hitam. Pada ruas tubuh terdapat sejumlah duri. Kepala berwarna coklat tua sampai coklat kemerahan dengan bercak-bercak merah. Pada kepala terdapat ciri khas yaitu adanya semacam tanduk bercabang pada bagian ujung. Larva memakan daun dengan cara menggigit dari ujung daun tanaman dan meninggalkan tulang daun. Semakin besar ukuran stadium larva semakin banyak daun yang dimakan. Larva yang akan berganti kulit berhenti makan untuk sementara waktu. Pergantian kulit ditandai dengan adanya sisa bekas kulit (eksuvia). Eksuvia ini akan dimakan kembali oleh larva kecuali eksuvia kepala.

3 mm 5 mm 1 cm 2.5 mm 6 mm 5 mm 3 mm 1 cm 6 mm 5 mm a b c d e f

13 Larva akan merespon bila diganggu, dan mengeluarkan cairan berwarna hijau sebagai perlindungan diri dari serangan musuhnya.

Larva Instar 1. Larva instar 1 memiliki panjang awal 3 mm dan berwarna coklat kehijauan, sesuai dengan warna daun yang dimakan (Gambar 4a). Setelah keluar dari telur larva mencari pakan di sekitarnya dan mulai memakan tepi daun dalam jumlah yang sedikit serta gerakan larva masih lambat. Rambut-rambut tubuh belum terbentuk. Kepala larva agak bulat dengan lebar 0.91 mm (Gambar 4b). Rata-rata stadium larva instar 1 pada pakan daun jabon merah relatif lebih singkat (3.10 hari), daripada pakan daun jabon putih (3.40 hari) (Tabel 2). Menurut Morrell (1948), umumnya larva hidup secara soliter pada setiap ujung daun tanaman inangnya. Bourinbaiar dan Huang (2006) menambahkan bahwa aktifitas larva muda relatif rendah, sehingga keberadaannya masih di sekitar daerah peletakkan telur.

Larva Instar 2. Larva instar 2 yang baru berganti kulit mempunyai panjang tubuh sekitar 8 mm. Larva berwarna merah kecoklatan. Pada instar 2 ini larva mulai banyak makan daripada instar sebelumnya. Akhir instar 2, larva memiliki panjang tubuh 10 mm (Gambar 4c). Rata-rata stadium larva instar 2 dengan pemberian pakan daun jabon merah relatif lebih singkat (3.20 hari) daripada jabon putih (4.50 hari). Sebaliknya ukuran larva instar 2 relatif lebih besar pada pakan daun jabon putih daripada jabon merah (Tabel 3). Morrell (1948) melaporkan bahwa larva instar 2 mempunyai panjang tubuh sekitar 6 – 6.5 mm dengan lama stadium 3 hari.

Larva Instar 3. Larva instar 3 memiliki panjang tubuh awal sekitar 13 mm, dengan warna tubuh coklat kehitaman. Pada akhir instar larva mempunyai panjang tubuh sekitar 18 mm, dengan warna yang sama coklat kehitaman. Serabut tubuh mulai tumbuh dan sepasang serabut yang lebih panjang pada bagian kepala yang menyerupai tanduk pada bagian ujung (Gambar 4d). Pada instar 3 larva mulai intens makan akan tetapi tidak dalam jumlah yang banyak. Larva makan untuk mencukupi kebutuhan tubuh dan proses moulting. Rata-rata stadium larva instar 3

dengan pemberian pakan daun jabon merah relatif lebih singkat (3.10 hari) daripada jabon putih (3.20 hari). Sebaliknya ukuran larva relatif lebih besar pada pakan daun jabon putih daripada jabon merah (Tabel 3). Morrell (1948) melaporkan bahwa pada fase ini panjang tubuh larva sekitar 15 - 16 mm dengan lama hidup 3 hari.

Larva Instar 4. Larva instar 4 memiliki panjang tubuh awal sekitar 20 mm, dengan warna tubuh coklat kehitaman (Gambar 4e). Rata- rata stadium larva instar 4 lebih singkat pada pakan daun jabon merah (3.10 hari) daripada daun jabon putih (3.40 hari). Sebaliknya ukuran relatif lebih besar pada pakan daun

Dokumen terkait