• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kedelai (Glycine max) telah dikenal sebagai tanaman pangan dengan kandungan protein yang tinggi. Kebutuhan kedelai Indonesia tahun 2007 yaitu 1.8 juta ton, sedangkan hasil produksi dalam negeri hanya 608.263 kg (BPS 2008). Upaya peningkatan produksi kedelai dalam negeri dapat dilakukan dengan perluasan lahan pertanian. Perluasan lahan pertanian dapat dilakukan dengan memanfaatkan lahan yang kurang produktif. Lahan kurang produktif di Indonesia di antaranya tanah dengan pH rendah (asam). Tanah masam memiliki kelarutan Al yang tinggi yang dapat menurunkan ketersediaan Ca dan Mg yang akhirnya mempengaruhi pertumbuhan tanaman (Indrasumunar et al. 2000). Lahan yang memiliki pH rendah dapat ditanami kedelai, tetapi produksinya kurang optimal.

Tanaman kedelai tergolong ke dalam famili Leguminosae. Tanaman dalam famili ini umumnya dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik bila bersimbiosis dengan bakteri bintil akar. Alternatif yang dapat dilakukan dalam upaya mengoptimalkan produksi kedelai di tanah masam ialah dengan memanfaatkan kedelai dan bakteri bintil akar yang dapat hidup dan bersimbiosis pada tanah dengan pH rendah. Galur bakteri bintil akar yang memiliki efektivitas simbiotik tinggi berpotensi untuk dikembangkan sebagai inokulan pada tanah masam dengan menggunakan kultivar kedelai yang juga toleran asam (Monasari 2007).

Bradyrhizobium japonicum adalah salah

satu jenis bakteri bintil akar yang dapat memacu pertumbuhan tanaman melalui simbiosisnya dengan tanaman kedelai (Somasegaran & Hoben 1994). Bakteri ini

mampu meningkatkan produksi tanaman karena dapat menyediakan nitrogen bagi tanaman. Nitrogen bebas dari udara diubah oleh bakteri di dalam bintil akar kedelai menjadi amonia, sehingga dapat dimanfaatkan tanaman untuk pertumbuhan (Atlas & Bartha 1992).

Beberapa galur B. japonicum bersifat toleran pada pH 4.0-4.5 (Denarie et al. 1992). Seleksi galur-galur bakteri bintil akar kedelai pada cekaman pH rendah telah banyak dilakukan. Endarini et al. (1995) menyeleksi dua puluh lima galur B. japonicum pada media agar-agar dan kaldu dengan tingkat kemasaman yang tinggi. Seleksi yang

dilakukan menunjukkan isolat BJ 11 yang merupakan isolat dengan kemampuan tumbuh yang tinggi pada media asam (pH 4.5).

Mutagenesis dengan transposon dapat dilakukan untuk mendapatkan mutan B.

japonicum yang tetap toleran asam tetapi

dengan efektivitas simbiotik yang meningkat. Koloni mutan yang diperoleh diseleksi lagi pada media dengan pH masam. Isolat yang mampu tumbuh pada media tersebut kemudian diuji kemampuannya untuk membentuk bintil akar pada tanaman siratro dan kedelai. Hasil yang didapat ialah mutan galur BJ 11, yaitu BJ 11(19) dan BJ 11(5) yang mampu membentuk bintil pada siratro dan kedelai dengan bobot kering bintil akar lebih tinggi dibandingkan dengan tipe liarnya (Monasari 2007).

Salah satu kultivar kedelai yang toleran asam ialah kultivar Slamet. Kedelai kultivar Slamet merupakan hasil persilangan antara kedelai varietas Wilis dan Dempo. Kedelai kultivar Slamet memiliki kandungan protein sebesar 34%. Selain bersifat tahan pada tanah masam, kedelai kultivar Slamet juga bersifat tahan terhadap penyakit karat. Pertumbuhan dan hasil kedelai kultivar Slamet lebih tinggi bila dibandingkan dengan kultivar Sumbing, Singgalang, Tidar, Wilis, dan kipas putih, ketika ditumbuhkan pada tanah masam (Harun & Ammar 2001).

Tujuan

Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pemberian inokulan B. japonicum

BJ 11(19), BJ 11(5), dan BJ 11 (wt) yang toleran asam-Al pada kedelai kultivar Slamet yang ditanam pada tanah masam di rumah kaca.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari sampai dengan Juli 2008 di Laboratorium Mikrobiologi, Laboratorium Fisiologi Tumbuhan, dan rumah kaca Departemen Biologi, FMIPA, IPB.

Bahan

Isolat BJ 11 (19), BJ 11(5), dan BJ 11 (wt) adalah tiga galur B. japonicum toleran asam yang merupakan koleksi laboratorium

 

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kedelai (Glycine max) telah dikenal sebagai tanaman pangan dengan kandungan protein yang tinggi. Kebutuhan kedelai Indonesia tahun 2007 yaitu 1.8 juta ton, sedangkan hasil produksi dalam negeri hanya 608.263 kg (BPS 2008). Upaya peningkatan produksi kedelai dalam negeri dapat dilakukan dengan perluasan lahan pertanian. Perluasan lahan pertanian dapat dilakukan dengan memanfaatkan lahan yang kurang produktif. Lahan kurang produktif di Indonesia di antaranya tanah dengan pH rendah (asam). Tanah masam memiliki kelarutan Al yang tinggi yang dapat menurunkan ketersediaan Ca dan Mg yang akhirnya mempengaruhi pertumbuhan tanaman (Indrasumunar et al. 2000). Lahan yang memiliki pH rendah dapat ditanami kedelai, tetapi produksinya kurang optimal.

Tanaman kedelai tergolong ke dalam famili Leguminosae. Tanaman dalam famili ini umumnya dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik bila bersimbiosis dengan bakteri bintil akar. Alternatif yang dapat dilakukan dalam upaya mengoptimalkan produksi kedelai di tanah masam ialah dengan memanfaatkan kedelai dan bakteri bintil akar yang dapat hidup dan bersimbiosis pada tanah dengan pH rendah. Galur bakteri bintil akar yang memiliki efektivitas simbiotik tinggi berpotensi untuk dikembangkan sebagai inokulan pada tanah masam dengan menggunakan kultivar kedelai yang juga toleran asam (Monasari 2007).

Bradyrhizobium japonicum adalah salah

satu jenis bakteri bintil akar yang dapat memacu pertumbuhan tanaman melalui simbiosisnya dengan tanaman kedelai (Somasegaran & Hoben 1994). Bakteri ini

mampu meningkatkan produksi tanaman karena dapat menyediakan nitrogen bagi tanaman. Nitrogen bebas dari udara diubah oleh bakteri di dalam bintil akar kedelai menjadi amonia, sehingga dapat dimanfaatkan tanaman untuk pertumbuhan (Atlas & Bartha 1992).

Beberapa galur B. japonicum bersifat toleran pada pH 4.0-4.5 (Denarie et al. 1992). Seleksi galur-galur bakteri bintil akar kedelai pada cekaman pH rendah telah banyak dilakukan. Endarini et al. (1995) menyeleksi dua puluh lima galur B. japonicum pada media agar-agar dan kaldu dengan tingkat kemasaman yang tinggi. Seleksi yang

dilakukan menunjukkan isolat BJ 11 yang merupakan isolat dengan kemampuan tumbuh yang tinggi pada media asam (pH 4.5).

Mutagenesis dengan transposon dapat dilakukan untuk mendapatkan mutan B.

japonicum yang tetap toleran asam tetapi

dengan efektivitas simbiotik yang meningkat. Koloni mutan yang diperoleh diseleksi lagi pada media dengan pH masam. Isolat yang mampu tumbuh pada media tersebut kemudian diuji kemampuannya untuk membentuk bintil akar pada tanaman siratro dan kedelai. Hasil yang didapat ialah mutan galur BJ 11, yaitu BJ 11(19) dan BJ 11(5) yang mampu membentuk bintil pada siratro dan kedelai dengan bobot kering bintil akar lebih tinggi dibandingkan dengan tipe liarnya (Monasari 2007).

Salah satu kultivar kedelai yang toleran asam ialah kultivar Slamet. Kedelai kultivar Slamet merupakan hasil persilangan antara kedelai varietas Wilis dan Dempo. Kedelai kultivar Slamet memiliki kandungan protein sebesar 34%. Selain bersifat tahan pada tanah masam, kedelai kultivar Slamet juga bersifat tahan terhadap penyakit karat. Pertumbuhan dan hasil kedelai kultivar Slamet lebih tinggi bila dibandingkan dengan kultivar Sumbing, Singgalang, Tidar, Wilis, dan kipas putih, ketika ditumbuhkan pada tanah masam (Harun & Ammar 2001).

Tujuan

Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pemberian inokulan B. japonicum

BJ 11(19), BJ 11(5), dan BJ 11 (wt) yang toleran asam-Al pada kedelai kultivar Slamet yang ditanam pada tanah masam di rumah kaca.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari sampai dengan Juli 2008 di Laboratorium Mikrobiologi, Laboratorium Fisiologi Tumbuhan, dan rumah kaca Departemen Biologi, FMIPA, IPB.

Bahan

Isolat BJ 11 (19), BJ 11(5), dan BJ 11 (wt) adalah tiga galur B. japonicum toleran asam yang merupakan koleksi laboratorium

 

Mikrobiologi, Departemen Biologi, FMIPA, IPB. Biji kedelai yang digunakan diperoleh dari Balai Penelitian Biologi dan Genetika Molekuler (Balitbiogen), Cimanggu, Bogor. Tanah masam diambil dari Jasinga, Bogor dengan pH 4.7. Gambut diperoleh dari Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia.

Metode

Rancangan Percobaan. Percobaan disusun dalam Rancangan Acak Lengkap dengan 5 perlakuan, yaitu: (1) tanaman dengan inokulasi isolat BJ 11(19), (2) diinokulasi BJ 11(5), (3) diinokulasi isolat BJ 11 (wt) tipe liar, (4) tanpa diinokulasi B.

japonicum tetapi ditambah dengan KNO3

(kontrol +N) , dan (5) tanpa diinokulasi B.

japonicum dan tanpa penambahan KNO3

(kontrol –N). Setiap perlakuan dibuat dalam enam ulangan, sehingga terdapat 30 unit percobaan. Data dianalisis secara statistik dengan perangkat lunak SPSS 13.0 dan uji lanjutan Duncan Multiple Range Test

(DMRT).

Peremajaan Isolat dan Penyiapan Inokulan. Isolat B. japonicum ditumbuhkan pada media Yeast Mannitol Agar (YMA) yang terdiri atas manitol 10 g/l, K2HPO4 0.5 g/l, MgSO4.7H2O 0.2 g/l, NaCl 0.2 g/l, ekstrak khamir 0.5 g/l yang ditambahkan merah kongo sebanyak 0.0025% dan antibiotik rifampisin sebanyak 50 μg/ml. Ketiga isolat uji telah diketahui bersifat resisten terhadap antibiotik Rifampisin (Wahyudi 1996, Monasari 2007). Inkubasi dilakukan pada suhu ruang selama 7-8 hari. Inokulan dibuat dengan memindahkan isolat hasil peremajaan ke Erlenmeyer yang berisi Yeast Mannitol

Broth (YMB) dan diinkubasi selama 5 hari

pada inkubator bergoyang dengan kecepatan 125 rpm.

Penyiapan Media Tanam. Media tanam yang digunakan terdiri atas tanah masam dan gambut. Tanah masam terlebih dahulu dikeringanginkan, dihaluskan, diayak hingga lolos dari mata saring 2 mm, dan disterilisasi. Sterilisasi tanah dan gambut masing-masing dilakukan selama satu jam pada suhu 121º C dan tekanan 1 atm. Tanah masam dan gambut yang digunakan dianalisis sifat-sifat kimianya di Balai Penelitian Tanah, Bogor (Lampiran 1). Untuk tiap unit percobaan, sebanyak 1200 g tanah kemudian dicampur dengan 800 g gambut. Untuk tanaman kontrol –N, media tanam terdiri atas campuran tanah masam dan gambut steril. Tanaman kontrol +N media

tanamnya terdiri atas campuran tanah masam dan gambut steril yang ditambahkan KNO3 0.05%, dengan perbandingan 20% (v/w). Media tanam untuk tanaman dengan perlakuan inokulasi B. japonicum terdiri atas campuran tanah masam dan gambut yang telah diinokulasikan masing-masing isolat juga sebanyak 20% (v/w) dengan kerapatan sel 108 sel/ml (OD620 nm = 0.7). Jumlah sel dihitung dengan menggunakan hemasitometer Neubauer. Kerapatan sel akhir ialah 8x106

sel/g media tanam.

Penanaman, Pemeliharaan, dan Pemanenan Kedelai. Campuran tanah dan gambut yang telah diberi perlakuan dimasukkan ke dalam polibag kemudian dibuat satu lubang tanam yang diisi dengan 5 biji kedelai. Biji kedelai dipilih yang berukuran seragam dan disterilisasi terlebih dahulu menggunakan NaOCl 2% selama 2 menit, kemudian dibilas lima kali dengan air steril. Pemeliharaan tanaman dilakukan di rumah kaca dengan menyiram tanaman setiap hari. Tepat pada hari ke-14 dilakukan penjarangan, sehingga pada setiap polibag terdapat 3 tanaman. Selanjutnya pada hari ke-30 disisakan 2 tanaman. Pemanenan dilakukan dalam dua tahap, yaitu saat kedelai berumur 50 hari setelah tanam (HST) dan 75-108 HST.

Pengamatan Respon Tanaman. Tinggi tanaman diukur setiap 10 hari sejak 20 sampai 70 HST. Pemanenan tanaman yang pertama dilakukan untuk mengetahui jumlah bunga, persentase bintil akar efektif, bobot tajuk dan akar, kadar nitrogen tajuk, dan aktivitas nitrogenase pada bintil akar. Pemanenan kedua dilakukan untuk mengetahui jumlah polong, bobot 100 biji, dan persentase kadar nitrogen dalam biji. Pengukuran aktivitas nitrogenase akar tanaman dilakukan dengan metode reduksi asetilen menurut Anas & Muluk (2003) di Laboratorium Bioteknologi Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, FAPERTA, IPB (Lampiran 2). Kadar nitrogen tajuk dan biji diukur dengan metode Kjeldahl (Yoshida et al. 1972, Lampiran 3).

Uji Viabilitas Isolat. Media tanam yang telah ditanami kedelai, diambil 1 g dari tiap polibag, diinokulasikan ke dalam tabung berisi9 ml larutan garam fisiologis, kemudian dilakukan pengenceran serial. Penghitungan populasi sel dilakukan dengan metode cawan hitung. Uji viabilitas sel dilakukan pada saat tanaman berumur 15, 30, 50, dan 70 HST.

 

HASIL

Peremajaan isolat

Ketiga isolat mampu tumbuh pada media YMA yang ditambahkan merah kongo sebanyak 0.0025% dan antibiotik rifampisin sebanyak 50 μg/ml setelah diinkubasi selama 7 hari pada suhu ruang. Ciri koloni B.

japonicum, yaitu berlendir, kurang mampu

menyerap pewarna merah kongo, dan berelevasi cembung (Gambar 1).

Gambar 1 Koloni B. japonicum BJ 11(19) berumur 7 hari pada media YMA + merah kongo 0.0025% + rifampisin 50 μg/ml.

Pengamatan Respon Tanaman

Hasil pengukuran tinggi tanaman menunjukkan adanya pengaruh inokulasi B.

japonicum dalam meningkatkan tinggi

tanaman (p<0.05). Saat 20 HST, hanya tanaman dengan inokulasi isolat BJ 11(19) yang mempunyai tinggi yang berbeda nyata dengan tanaman kontrol. Saat 30 HST, ketiga jenis tanaman dengan perlakuan inokulasi isolat B. japonicum memiliki tinggi yang tidak berbeda nyata dengan kedua jenis tanaman kontrol (Gambar 2). Pengukuran tinggi tanaman saat 40 HST menunjukkan hanya tanaman dengan inokulasi isolat BJ 11(5) yang tingginya berbeda nyata dengan tanaman kontrol. Pengukuran berikutnya, yaitu 50 HST menunjukkan perlakuan inokulasi B.

japonicum mempengaruhi tinggi tanaman,

namun berbeda nyata hanya dengan tanaman kontrol tanpa penambahan N. Pengukuran terakhir tinggi tanaman, yaitu saat tanaman berumur 60 dan 70 HST, ketiga jenis tanaman dengan perlakuan inokulasi B. japonicum

memiliki tinggi yang berbeda nyata dengan kedua jenis tanaman kontrol (Tabel 1, Lampiran 4).

Pemanenan tahap pertama dilakukan untuk mengetahui bobot basah dan kering tajuk dan akar, jumlah bunga, persentase bintil akar efektif, aktivitas nitrogenase akar, dan kadar nitrogen tajuk. Isolat BJ 11(19) dan BJ 11(5)

menunjukkan perbedaan bobot tajuk yang cukup tinggi di antara kelima perlakuan. Bobot akar tertinggi didapatkan pada tanaman dengan inokulasi isolat BJ 11(5) (Gambar 3, Lampiran 5). Jumlah bunga, persentase bintil akar efektif, dan kadar tajuk lebih tinggi pada tanaman yang diinokulasi isolat BJ 11(19) dan BJ 11(5) daripada perlakuan lainnya (Tabel 2). Tanaman yang diinokulasi isolat BJ 11(19) dan BJ 11(5) juga memiliki akar dengan aktivitas nitrogenase yang lebih tinggi dibandingkan dengan BJ 11 (wt). Jumlah bintil yang didapatkan lebih banyak pada tanaman dengan inokulasi isolat BJ 11(5) ternyata lebih banyak dibandingkan dengan BJ 11(19). Tanaman kedelai kontrol –N tidak menghasilkan bintil akar, sedangkan tanaman kontrol +N menghasilkan bintil akar yang berukuran kecil dan tidak efektif. Oleh sebab itu, pengukuran aktivitas nitrogenase akar tidak dilakukan terhadap kedua jenis tanaman kontrol.

Pemanenan tahap kedua dilakukan untuk melihat pengaruh inokulasi B. japonicum

terhadap jumlah polong, jumlah biji, bobot 100 biji, dan kadar nitrogen dalam biji (Tabel 3, Lampiran 6-9). Perbedaan jumlah polong yang sangat nyata (p < 0.01) ditunjukkan oleh tanaman dengan perlakuan BJ 11(19). Demikian pula dalam hal jumlah biji, isolat BJ 11(19) menunjukkan perbedaan yang sangat nyata dibandingkan dengan tanaman kontrol.

Hasil pengukuran bobot 100 biji dan kadar nitrogen biji kedelai menunjukkan ketiga isolat memiliki kemampuan yang sama bila dibandingkan dengan tanaman kontrol. Perlakuan inokulasi BJ 11(19) cenderung menunjukkan hasil tertinggi di antara perlakuan lainnya dalam mempengaruhi bobot 100 biji.

Uji Viabilitas Isolat

Jumlah sel saat 15 HST cukup tinggi pada media tanam dengan inokulasi isolat BJ 11(19) dibandingkan dengan media tanam yang diinokulasi kedua isolat uji lainnya. Saat 30 dan 50 HST, ketiga isolat menunjukkan peningkatan jumlah sel (Tabel 4). Namun pada akhir pengujian, ketiga isolat uji menunjukkan jumlah yang sangat rendah hingga tidak memenuhi syarat hitungan cawan. Viabilitas sel B. japonicum 70 HST tidak dapat dihitung. Hal tersebut karena pencawanan hanya sampai tingkat pengenceran 10-3. Seharusnya dilakukan pencawanan pada tingkat pengenceran lebih rendah daripada 10-3 (Tabel 4).

 

Tabel 1 Pengaruh inokulasi B. japonicum terhadap tinggi tanaman kedelai pada 20-70 hari setelah tanam

Perlakuan Tinggi (cm)

20 HST 30 HST 40 HST 50 HST 60 HST 70 HST Kontrol -N 16.6±2.19b 31.4±4.42ab 57.8±4.07b 81.5±5.39b 93.3±4.62c 105.1±2.09c Kontrol +N 17.2±2.44b 32.3±3.79ab 59.5±6.43b 96.5±12.8a 104.7±8.96b 115.2±4.60b BJ 11 (19) 20.5±1.45a 34.5±2.16a 65.1±9.30ab 105.2±3.77a 114.9±2.22a 126.4±1.44a BJ 11 (5) 18.8±2.39ab 34.9±2.38a 69.5±5.35a 104.3±2.88a 113.9±1.95a 124.8±2.42a BJ 11 (wt) 18.3±0.92ab 29.5±1.62b 63.6±4.93ab 98.4±5.07a 112.3±3.03a 126.0±1.62a Keterangan: Angka pada setiap kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata dengan pada taraf 5% (DMRT). Data adalah rataan 6 ulangan ± standar deviasi (SD).

Gambar 2 Pengaruh inokulasi B. japonicum terhadap bobot basah dan kering tajuk dan akar tanaman kedelai 50 HST.

Tabel 2 Pengaruh inokulasi B. japonicum terhadapjumlah bunga, jumlah bintil akar, persentase bintil efektif, dan kadar nitrogen tajuk tanaman kedelai 50 HST

Perlakuan Jumlah bunga Jumlah bintil Bintil efektif (%) Aktivitas nitrogenase (µmol/jam/mg akar) Kadar nitrogen tajuk (%) Kontrol –N 11 - - - 2.21 Kontrol +N 15 3 - - 2.93 BJ 11 (19) 19 16 31.30 0.730 4.25 BJ 11 (5) 18 23 17.39 0.357 3.45 BJ 11 (wt) 15 13 15.38 0.294 3.45

Tabel 3 Pengaruh inokulasi Bradyrhizobium japonicum terhadap jumlah polong, jumlah biji, bobot 100 biji, dan kadar nitrogen biji tanaman kedelai

Perlakuan Jumlah polong Jumlah biji Bobot 100 biji Kadar nitrogen biji (%) Kontrol -N 22.4±1.52d 43.6±3.65c 8.9±0.65c 6.704±0.15b Kontrol +N 26.8±1.30c 50.4±4.83c 10.1±0.37b 6.882±0.39ab BJ 11 (19) 35.4±3.13a 70.6±6.50a 13.5±0.97a 7.132±0.08a BJ 11 (5) 31.8±1.64b 63.0±3.16ab 13.3±0.39a 7.104±0.07a BJ 11 (wt) 30.2±1.64bc 59.0±2.35b 12.9±0.59a 7.164±0.02a Angka pada setiap kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 1% (DMRT). Data adalah rataan 5 ulangan ± SD.

 

Tabel 4 Viabilitas isolat B. japonicum dalam contoh media tanam

Sampel tanah Jumlah sel per g tanah ( x 10 6 ) 15 HST 30 HST 50 HST 70 HST Kontrol -N - - - - Kontrol + N - - 0.3 - BJ 11(19) 3.1 5.4 2.1 * BJ 11(5) * 4.5 2.9 * BJ 11 wt * 3.4 2.7 *

Keterangan: - : tidak ada pertumbuhan B. japonicum

* : B. japonicum yang tumbuh kurang dari 30 koloni (tidak memenuhi persyaratan statistik)

PEMBAHASAN

Bradyrhizobium japonicum termasuk

bakteri tumbuh lambat karena tumbuh pada media setelah 7 hari inkubasi. Pewarna merah kongo yang ditambahkan dalam media sebanyak 0.0025% digunakan untuk membedakan koloni B. japonicum dengan koloni bakteri kontaminan. Bradyrhizobium

japonicum kurang mampu menyerap warna

merah kongo (Somasegaran & Hoben 1994).

Bradyrhizobium japonicum mensintesis

eksopolisakarida yang disekresikan dalam jumlah besar ke dalam media mengandung manitol (Parveen et al. 1997), sehingga koloninya pada media YMA terlihat lengket dan berlendir. Eksopolisakarida yang disintesis merupakan pertahanan B. japonicum

terhadap kondisi lingkungan yang asam (Lounch & Miller 2001).

Inokulasi isolat bakteri bintil akar mampu meningkatkan tinggi tanaman kedelai. Hal ini menunjukkan adanya manfaat simbiosis tanaman kedelai dengan bakteri bintil akar dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman. Hasil penelitian ini sesuai dengan yang dilakukan oleh Nainggolan (2004), bahwa simbiosis B. japonicum dengan tanaman kedelai dapat meningkatkan tinggi tanaman.

Pengaruh inokulasi bakteri bintil akar terhadap tanaman kedelai terlihat juga pada bobot kering tajuk dan akar tanaman. Bobot tajuk dan bobot akar tanaman tertinggi didapatkan pada perlakuan dengan isolat BJ 11(5). Kedua jenis tanaman kontrol memiliki bobot akar yang relatif lebih tinggi daripada perlakuan dengan isolat BJ 11(19) dan BJ 11 (wt). Hal ini dapat disebabkan oleh kemampuan akar tanaman dalam membentuk cabang-cabang akar dan memperpanjang akar untuk mencapai unsur hara yang dibutuhkan.

Dalam hal ini, kedua jenis tanaman kontrol yang ditanam pada tanah dengan kandungan N rendah dan tanpa inokulasi B. japonicum

berusaha menemukan nitrogen yang dibutuhkan dari dalam tanah. Sistem perakaran yang lebih luas lebih berguna bagi tanaman yang tumbuh pada tanah dengan kadar nitrogen rendah atau tanah dengan ketersediaan nitrogen anorganik yang terbatas (Srivastava & Singh 1999). Tanaman yang diinokulasi B. japonicum memungkinkan kebutuhan N kedelai lebih tercukupi sehingga pertumbuhan akar tidak terlalu dalam.

Adanya bintil akar yang efektif pada tanaman dengan perlakuan inokulasi bakteri bintil akar membuktikan bahwa terdapat perbedaan hasil antar perlakuan simbiosis dan tanpa simbiosis bakteri bintil akar dengan tanaman kedelai. Nitrogen bebas yang difiksasi oleh bakteri bintil akar dapat menunjang pertumbuhan dan perkembangan organ-organ tanaman kedelai. Jumlah bunga lebih tinggi pada tanaman dengan inokulasi isolat BJ 11(19) dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hasil ini didukung juga oleh hasil penghitungan persentase bintil akar efektif yang didapatkan lebih tinggi pula pada perlakuan dengan isolat BJ 11(19).

Tanaman dengan inokulasi isolat BJ 11(5) memang memiliki jumlah bintil akar yang lebih tinggi, namun 83% di antaranya tidak efektif. Akibatnya dapat terlihat pada hasil pengukuran kadar nitrogen tajuk. Tanaman dengan inokulasi isolat BJ 11(19) yang memiliki persentase bintil akar efektif tertinggi juga memiliki kadar nitrogen tanaman yang paling tinggi di antara kelima perlakuan. Bakteri bintil akar mampu menambat nitrogen, sehingga kadar nitrogen

 

Tabel 4 Viabilitas isolat B. japonicum dalam contoh media tanam

Sampel tanah Jumlah sel per g tanah ( x 10 6 ) 15 HST 30 HST 50 HST 70 HST Kontrol -N - - - - Kontrol + N - - 0.3 - BJ 11(19) 3.1 5.4 2.1 * BJ 11(5) * 4.5 2.9 * BJ 11 wt * 3.4 2.7 *

Keterangan: - : tidak ada pertumbuhan B. japonicum

* : B. japonicum yang tumbuh kurang dari 30 koloni (tidak memenuhi persyaratan statistik)

PEMBAHASAN

Bradyrhizobium japonicum termasuk

bakteri tumbuh lambat karena tumbuh pada media setelah 7 hari inkubasi. Pewarna merah kongo yang ditambahkan dalam media sebanyak 0.0025% digunakan untuk membedakan koloni B. japonicum dengan koloni bakteri kontaminan. Bradyrhizobium

japonicum kurang mampu menyerap warna

merah kongo (Somasegaran & Hoben 1994).

Bradyrhizobium japonicum mensintesis

eksopolisakarida yang disekresikan dalam jumlah besar ke dalam media mengandung manitol (Parveen et al. 1997), sehingga koloninya pada media YMA terlihat lengket dan berlendir. Eksopolisakarida yang disintesis merupakan pertahanan B. japonicum

terhadap kondisi lingkungan yang asam (Lounch & Miller 2001).

Inokulasi isolat bakteri bintil akar mampu meningkatkan tinggi tanaman kedelai. Hal ini menunjukkan adanya manfaat simbiosis tanaman kedelai dengan bakteri bintil akar dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman. Hasil penelitian ini sesuai dengan yang dilakukan oleh Nainggolan (2004), bahwa simbiosis B. japonicum dengan tanaman kedelai dapat meningkatkan tinggi tanaman.

Pengaruh inokulasi bakteri bintil akar terhadap tanaman kedelai terlihat juga pada bobot kering tajuk dan akar tanaman. Bobot tajuk dan bobot akar tanaman tertinggi didapatkan pada perlakuan dengan isolat BJ 11(5). Kedua jenis tanaman kontrol memiliki bobot akar yang relatif lebih tinggi daripada perlakuan dengan isolat BJ 11(19) dan BJ 11 (wt). Hal ini dapat disebabkan oleh kemampuan akar tanaman dalam membentuk cabang-cabang akar dan memperpanjang akar untuk mencapai unsur hara yang dibutuhkan.

Dalam hal ini, kedua jenis tanaman kontrol yang ditanam pada tanah dengan kandungan N rendah dan tanpa inokulasi B. japonicum

berusaha menemukan nitrogen yang dibutuhkan dari dalam tanah. Sistem perakaran yang lebih luas lebih berguna bagi tanaman yang tumbuh pada tanah dengan kadar nitrogen rendah atau tanah dengan ketersediaan nitrogen anorganik yang terbatas (Srivastava & Singh 1999). Tanaman yang diinokulasi B. japonicum memungkinkan kebutuhan N kedelai lebih tercukupi sehingga pertumbuhan akar tidak terlalu dalam.

Adanya bintil akar yang efektif pada tanaman dengan perlakuan inokulasi bakteri bintil akar membuktikan bahwa terdapat perbedaan hasil antar perlakuan simbiosis dan tanpa simbiosis bakteri bintil akar dengan tanaman kedelai. Nitrogen bebas yang difiksasi oleh bakteri bintil akar dapat menunjang pertumbuhan dan perkembangan organ-organ tanaman kedelai. Jumlah bunga lebih tinggi pada tanaman dengan inokulasi isolat BJ 11(19) dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hasil ini didukung juga oleh hasil penghitungan persentase bintil akar efektif yang didapatkan lebih tinggi pula pada perlakuan dengan isolat BJ 11(19).

Tanaman dengan inokulasi isolat BJ 11(5) memang memiliki jumlah bintil akar yang

Dokumen terkait