• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Gambar 1), dari Bulan Oktober hingga Desember 2011.

Gambar 1 Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Bahan dan Alat

Hewan Uji

Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tikus sawah (R. argentiventer Rob. & Klo.) (Gambar 2). Tikus sawah yang digunakan diperoleh dari daerah Subang, Jawa Barat. Tikus yang akan diuji diidentifikasi berdasarkan jenis tikus, kondisi kesehatan, jenis kelamin, bobot tubuh, dan tidak bunting. Tikus yang dibutuhkan untuk penelitian ini yaitu 10 ekor untuk setiap perlakuan dengan bobot tubuh > 70 g.

Gambar 2 Tikus sawah (R. argentiventer)

Umpan

Umpan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari dua jenis yaitu beras (Gambar 3A) dan gabah (Gambar 3B). Beras merupakan makanan pokok bagi sebagian besar masyarakat. Sedangkan gabah merupakan bentuk dasar dari beras sebelum dilakukan penggilingan dan dapat digunakan sebagai pakan hewan terutama tikus sawah.

(A) (B) Gambar 3 Umpan: (A) Beras dan (B) gabah  

Rodentisida

Rodentisida yang digunakan bersifat kronis (antikoagulan) sehingga tidak langsung menyebabkan kematian setelah pemberian rodentisida, namun dibutuhkan beberapa waktu. Pemberian rodentisida dilakukan secara berulang untuk dapat menimbulkan keracunan serta kematian. Rodentisida kronis yang digunakan berbahan aktif bromadiolon yang terdiri dari empat jenis yaitu Bromadiolon A 0.005% berbentuk butiran beras dengan warna merah muda pekat (Gambar 4A), Bromadiolon B 0.005% berbentuk blok dengan warna biru (Gambar 4B), Bromadiolon C 0.005% berbentuk butiran beras dengan warna

merah muda agak pudar (Gambar 4C), dan Bromadiolon D 0.25% berbentuk tepung dengan warna biru muda (Gambar 4D).

(A) (B)

(C) (D)

Gambar 4 Rodentisida kronis bromadiolon: (A) Bromadiolon A 0.005%, (B) Bromadiolon B 0.005%, (C) Bromadiolon C 0.005%, (D) Bromadiolon D 0.25%

Kandang Percobaan

Kandang percobaan (Gambar 5) yang digunakan untuk pemeliharaan dan perlakuan berbentuk balok yang terbuat dari kawat bangunan yang kuat dan keras dengan ukuran p x l x t masing-masing yaitu 38 cm x 22 cm x 22 cm. Lubang-lubang kawat pada kandang berukuran kecil sehingga tidak memungkinkan tikus untuk keluar dari kandang. Pada setiap kandang percobaan dilengkapi dengan peralatan tambahan berupa gelas berisi air untuk minum tikus, wadah umpan beserta umpannya, dan bumbung bambu sebagai tempat persembunyian tikus.

Gambar 5 Kandang percobaan

Timbangan

Alat untuk menimbang yang digunakan dalam penelitian ini yaitu timbangan elektronik (electronic top-loading balance for animal) (Gambar 6). Timbangan elektronik digunakan untuk menimbang bobot tubuh hewan uji (tikus) sebelum dan setelah perlakuan. Selain itu, timbangan juga digunakan untuk menimbang bobot konsumsi tikus terhadap ketiga jenis umpan (beras, gabah, dan rodentisida).

Gambar 6 Timbangan elektronik (electronic top-loading balance for animal) Metode

Persiapan Hewan Uji

Tikus sawah yang digunakan sebagai hewan uji diambil dari daerah Subang, Jawa Barat. Tikus sawah yang digunakan sebagai hewan uji diidentifikasi berdasarkan kondisi kesehatan, jenis kelamin, serta bobot tubuh. Bobot tubuh tikus sawah yang digunakan > 70 g. Selain itu dilakukan pemilihan tikus sawah yang sehat dan tidak bunting.

Tikus sawah yang dibutuhkan untuk penelitian ini sebanyak 10 ekor untuk setiap perlakuan. Setelah perlakuan pertama, untuk perlakuan berikutnya digunakan tikus sawah yang sama (berlanjut) sehingga tikus sawah yang telah digunakan sebelumnya, digunakan kembali untuk perlakuan berikutnya. Apabila terdapat tikus sawah yang mati pada perlakuan sebelumnya, maka untuk perlakuan berikutnya digunakan tikus yang baru. Total tikus yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 16 ekor tikus sawah, karena terdapat enam ekor tikus yang mati.

Persiapan Rodentisida

Rodentisida golongan bromadiolon yang digunakan terdiri atas empat jenis (Bromadiolon A, B, C, dan D). Tiga jenis dari empat jenis rodentisida yang ada merupakan rodentisida siap pakai. Namun terdapat rodentisida Bromadiolon D yang berbentuk tepung sehingga perlu dilakukan pencampuran terlebih dahulu dengan beras dan minyak. Untuk membuat rodentisida siap saji dari jenis Bromadiolon D sebanyak 100 g diperlukan rodentisida tepung sebanyak 2.5 g dan beras sebanyak 97.5 g. Kemudian kedua bahan tersebut dicampurkan dan ditambahkan minyak goreng secukupnya yang berfungsi untuk melekatkan tepung pada beras. Selanjutnya ketiga bahan tersebut diaduk secara merata sehingga warna beras menjadi biru muda seluruhnya. Konsentrasi untuk bromadiolon D menjadi 0.006%.

Pengujian Rodentisida vs Umpan

Pengujian antikoagulan bromadiolon pada tikus sawah menggunakan metode pilihan (choice test), yaitu pengujian umpan beracun terhadap tikus dengan memberikan alternatif umpan lain, sehingga tikus mempunyai pilihan dalam mengonsumsi umpan yang disediakan. Pengujian ini terdiri dari empat urutan perlakuan yaitu perlakuan Bromadiolon A vs gabah vs beras, Bromadiolon B vs gabah vs beras, Bromadiolon C vs gabah vs beras, dan Bromadiolon D vs gabah vs beras.

Teknik pengujian untuk semua perlakuan (rodentisida vs gabah vs beras) yaitu tikus sawah yang akan digunakan sebagai hewan uji masing-masing

ditimbang terlebih dahulu bobot tubuhnya sebagai bobot awal dengan menggunakan timbangan elektronik, bobot tubuh yang digunakan > 70 g. Selanjutnya masing-masing hewan uji dimasukkan ke dalam kandang percobaan yang telah dilengkapi dengan bumbung bambu dan gelas yang berisi air untuk minum tikus sawah setiap harinya. Setelah seluruh hewan uji dimasukkan ke dalam kandang percobaan, kemudian dimasukkan rodentisida, gabah, dan beras dalam wadah yang terpisah ke dalam kandang percobaan. Sebelum diaplikasikan, masing-masing umpan beracun dan tidak beracun (rodentisida, gabah, beras) ditimbang bobotnya menggunakan timbangan elektronik. Untuk rodentisida bobot awal yang digunakan sebanyak > 10 g, untuk gabah dan beras bobot awal yang digunakan sebanyak > 20 g.

Tikus yang sama digunakan kembali untuk perlakuan berikutnya, namun sebelumnya tikus diadaptasikan kembali dengan pemberian gabah. Apabila terdapat tikus yang mati pada saat perlakuan, maka diganti dengan tikus sawah yang baru untuk perlakuan berikutnya. Metode pengujian yang sama dilakukan untuk semua perlakuan.

Pemberian Umpan (Gabah) Pasca Perlakuan

Setelah pengujian rodentisida vs umpan, dilanjutkan dengan pemberian umpan gabah. Penggantian rodentisida dan umpan dengan gabah bertujuan untuk mengondisikan tikus sawah setelah diberi perlakuan dengan rodentisida untuk digunakan pada perlakuan berikutnya. Gabah yang akan diberikan diletakkan dalam wadah dan kemudian dimasukkan ke dalam kandang berisi tikus sawah yang telah selesai diberi perlakuan. Jumlah gabah yang diberikan pada tikus sawah pasca perlakuan yaitu > 20 g.

Pengamatan yang dilakukan

Pengujian choice test (rodentisida vs umpan) dilakukan masing-masing sebanyak 10 kali ulangan, menggunakan 10 ekor tikus sawah. Setiap ulangan digunakan 1 ekor tikus sawah dan dilakukan pengamatan selama 5 hari

berturut-turut. Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap konsumsi gabah selama 3 hari berturut-turut.

Peubah yang diamati

Konsumsi tikus sawah terhadap umpan beracun (rodentisida) dan umpan tanpa racun (gabah, beras) dicatat setiap harinya dengan catatan tikus sawah telah mengonsumsi salah satu umpan (beracun atau tanpa racun) yaitu rodentisida, gabah, atau beras sebanyak ≥ 1 g agar dapat berganti ke hari berikutnya. Setelah 5 hari perlakuan, tikus sawah ditimbang kembali bobot tubuhnya sebagai bobot akhir. Konsumsi gabah setiap hari dicatat dengan asumsi tikus sawah telah mengonsumsi gabah sebanyak ≥ 1 g agar dapat berganti ke hari berikutnya. Setelah 3 hari pemberian gabah, tikus sawah ditimbang kembali bobot tubuhnya sebagai bobot awal untuk perlakuan berikutnya.

Konversi Umpan

Semua data konsumsi yang diperoleh dari pengujian preferensi makan tikus sawah dikonversi terlebih dahulu kedalam 100 g bobot tubuh tikus, dengan rumus sebagai berikut:

Konversi umpan atau rodentisida (g/100 g bobot tubuh) =

Bobot umpan atau rodentisida yang dikonsumsi (g) x 100% Rata-rata bobot tubuh tikus (g)

Rerata bobot tubuh tikus (g) = Bobot awal + bobot akhir 2

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan untuk pengujian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan menggunakan 1 jenis tikus yaitu tikus sawah dengan 10 ulangan untuk uji rodentisida vs umpan. Apabila hasil yang diperoleh berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji selang ganda Duncan (Duncan Multiple Range Test) pada taraf α = 5% dan 1% dengan menggunakan bantuan program SAS for Windows Versi 9.1.3.

Pengujian Ketertarikan Tikus Sawah terhadap Rodentisida dan Umpan

(Choice Test)

Konsumsi Tikus Sawah terhadap Empat Formulasi Rodentisida Bromadiolon

Tikus sawah yang mempunyai habitat di lahan persawahan terdapat dalam jumlah yang melimpah sehingga perlu dikendalikan, karena dapat menimbulkan kerusakan pada tanaman serta kehilangan hasil terutama pada tanaman padi. Rodentisida selama ini dianggap metode yang paling efektif dalam mengendalikan tikus sawah. Bromadiolon sebagai salah satu golongan rodentisida telah dinilai efektif dalam mengendalikan tikus sawah dan tersedia dalam berbagai jenis dan bentuk, sehingga perlu diketahui bentuk dan jenis yang paling efektif dan efisien dalam mengendalikan tikus sawah. Konsumsi tikus sawah terhadap empat formulasi rodentisida bromadiolon dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Konsumsi tikus sawah terhadap keempat jenis formulasi bromadiolon Rodentisida Konsumsi (g/100 g bobot tubuh)

Bromadiolon A 0.1045 aA

Bromadiolon B 0.0008 aA

Bromadiolon C 0.2997 aA

Bromadiolon D 0.1146 aA

Pr > F 0.2533

Keterangan: Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang ganda Duncan pada taraf α=5% (huruf kecil) dan α=1% (huruf besar) Hasil pengujian pada Tabel 1 menunjukkan bahwa konsumsi tikus sawah terhadap keempat formulasi bromadiolon tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (sama). Konsumsi tikus sawah terhadap Bromadiolon C paling tinggi diantara yang lainnya yaitu sebesar 0.2997 g. Bromadiolon C paling banyak dikonsumsi oleh tikus sawah karena rodentisida tersebut memiliki kandungan bahan tambahan (additives) yang disukai oleh tikus sawah sehingga nilai

(additives) yang dapat meningkatkan ketertarikan tikus terhadap umpan beracun yaitu diantaranya bahan penarik (arrestant atau attractant) dan bahan pengikat (binder) yang terkandung di dalam umpan beracun (Priyambodo 2009).

Bromadiolon B paling sedikit dikonsumsi oleh tikus sawah karena rodentisida ini berbentuk blok sehingga kurang disukai oleh tikus sawah. Menurut Priyambodo (2009) tikus sawah lebih menyukai pakan berbentuk serealia dibandingkan dengan pakan berbentuk blok, sehingga ketiga jenis rodentisida (Bromadiolon A, C, dan D) yang berbentuk serealia lebih banyak dikonsumsi oleh tikus sawah dibandingkan dengan Bromadiolon B. Selain itu, Bromadiolon B kurang disukai oleh tikus sawah karena desain rodentisida ini ditujukan untuk tikus rumah. Oleh sebab itu, dilakukan pengujian lanjutan terhadap Bromadiolon B pada tikus rumah dengan metode yang sama.

Hasil pengujian lanjutan yang dilakukan terhadap Bromadiolon B pada tikus rumah dengan metode pilihan (choise test), diperoleh hasil konsumsi sebesar 1.7583 g. Hal ini menunjukkan bahwa Bromadiolon B disukai oleh tikus rumah sehingga lebih efektif apabila diaplikasikan pada tikus rumah. Hal yang menyebabkan Bromadiolon B disukai oleh tikus rumah yaitu bau yang khas (lebih menyengat) yang dimiliki oleh Bromadiolon B. Menurut Priyambodo (2009) tikus rumah memiliki indera penciuman yang lebih peka dibandingkan dengan tikus sawah. Dikonsumsinya Bromadiolon B oleh tikus sawah pada pengujian ini disebabkan oleh perilaku tikus yang ingin mencicipi umpan baru.

Konsumsi tikus sawah terhadap empat formulasi bromadiolon berdasarkan metode pilihan (choice test) dibandingkan dengan metode tanpa pilihan (no-choice test) menunjukkan nilai konsumsi yang berbeda untuk Bromadiolon A, C, dan D. Konsumsi tikus sawah terhadap Bromadiolon A berdasarkan metode pilihan memiliki rerata konsumsi lebih kecil (0.1045 g) dibandingkan dengan metode tanpa pilihan (1.0975 g) (Priyambodo 2011). Begitu pula halnya dengan Bromadiolon C berdasarkan metode pilihan memiliki rerata konsumsi 0.2997 g sedangkan pada metode tanpa pilihan memiliki rerata konsumsi 4.5848 g (Priyambodo 2011). Hal yang sama terjadi pula pada Bromadiolon D berdasarkan

pilihan memiliki rerata konsumsi 4.9620 g (Priyambodo 2010).

Hal ini dapat terjadi karena pada metode pilihan terdapat alternatif umpan lain yang tidak beracun sehingga tikus mempunyai pilihan lain dalam mengonsumsi umpan yang telah disediakan dan mencegah tikus sawah mengonsumsi rodentisida. Sedangkan pada metode tanpa pilihan tidak disediakan umpan lain yang tidak beracun sehingga tikus tidak mempunyai pilihan lain dalam mengonsumsi umpan dan harus memakan umpan beracun tersebut.

Demikian pula halnya dengan konsumsi tikus sawah terhadap Bromadiolon B berdasarkan metode pilihan (choice test) memiliki rerata konsumsi lebih kecil (0.0008 g) dibandingkan dengan konsumsi tikus rumah berdasarkan metode tanpa pilihan (no-choice test) pada tikus rumah (11.1376 g) (Priyambodo 2010). Perbedaaan yang cukup tinggi ini karena desain Bromadiolon B memang ditujukan untuk tikus rumah dan mengandung bahan-bahan tambahan yang disukai oleh tikus rumah. Selain itu bentuk blok dari rodentisida ini juga disukai oleh tikus rumah dan tidak disukai oleh tikus sawah karena tikus sawah lebih menyukai pakan yang berbentuk serealia.

Apabila dihitung persentase rasio antara metode pilihan (choice test) terhadap metode tanpa pilihan (no-choice test), nilai tertinggi dimiliki oleh Bromadiolon A (9.5216%) diikuti oleh Bromadiolon C (6.5368%), Bromadiolon D (2.3096%), dan Bromadiolon B (0.0072%). Persentase lebih besar yang dimiliki oleh Bromadiolon A disebabkan oleh lebih kecilnya konsumsi pada pengujian tanpa pilihan. Apabila dibandingkan dengan jenis bromadiolon yang lainnya, jenis ini cenderung kurang disukai meskipun dilakukan pengujian dengan metode tanpa pilihan (no-choice test). Pada Bromadiolon B, diperoleh rasio yang sangat kecil karena terjadi perbedaan yang lebih besar antara metode pilihan dan tanpa pilihan, hal ini disebabkan oleh pengujian tanpa pilihan dilakukan pada tikus rumah yang memang menyukai rodentisida jenis ini. Pada Bromadiolon C dan D yang memiliki rasio diantara Bromadiolon A dan B, tikus sawah cenderung menyukai kedua jenis rodentisida ini karena berdasarkan metode tanpa pilihan (no-choice test) diperoleh nilai konsumsi yang hampir sama.

Tikus sawah yang berjumlah 10 ekor pada perlakuan Bromadiolon A memiliki kecenderungan yang cukup tinggi dalam mengonsumsi rodentisida jenis ini. Hal ini dapat dilihat dari hampir setiap kali pemberian selama 5 hari, rodentisida ini dikonsumsi oleh tikus sawah. Seluruh individu mengonsumsi rodentisida dengan jumlah yang bervariasi dan berkisar antara 0.0535-0.2078 g. Tikus sawah yang memiliki bobot tubuh paling besar mengonsumsi rodentisida paling banyak yaitu mencapai 0.2078 g.

Tikus sawah yang berjumlah 10 ekor pada perlakuan Bromadiolon B cenderung tidak menyukai rodentisida jenis ini. Hanya terdapat 2 ekor tikus yang mengonsumsi rodentisida dengan jumlah rerata konsumsi 0.0024 g dan 0.0059 g. Individu pertama maupun kedua hanya mengonsumsi rodentisida jenis ini satu kali dengan jumlah yang sangat sedikit. Hal ini dikarenakan tikus sawah tidak menyukai umpan yang berbentuk blok namun lebih menyukai umpan yang berbentuk serealia.

Tikus sawah yang berjumlah 10 ekor pada perlakuan Bromadiolon C memiliki kecenderungan yang cukup tinggi dalam mengonsumsi rodentisida jenis ini melebihi jenis bromadiolon yang lainnya dalam pengujian ini dan tikus sawah cenderung menyukainya. Semua tikus mengonsumsi rodentisida dengan jumlah yang bervariasi dan berkisar antara 0.0188-2.0083 g. Hampir setiap kali pemberian, rodentisida ini dikonsumsi dengan jumlah yang cukup banyak setiap harinya. Selain itu, tingginya nilai konsumsi disebabkan terdapat 2 individu tikus sawah yang mengonsumsi cukup banyak. Bromadiolon C paling banyak dikonsumsi dan lebih disukai oleh tikus sawah karena bentuknya yang berupa serealia serta memiliki kandungan bahan tambahan yang disukai.

Tikus sawah yang berjumlah 10 ekor pada perlakuan Bromadiolon D memiliki kecenderungan yang cukup tinggi dalam mengonsumsi rodentisida, namun terdapat satu ekor tikus yang tidak mengonsumsi rodentisida jenis ini. Hal ini disebabkan oleh perilaku individu tikus sawah yang memiliki kecurigaan terhadap umpan baru akibat perilaku jera umpan. Konsumsi tikus sawah terhadap rodentisida ini bervariasi dan berkisar antara 0.0069-0.8352 g.

kecenderungan dalam mengonsumsi rodentisida satu dan yang lainnya namun konsistensi dari setiap individu sangat bervariasi tergantung dari jenis racun yang disediakan dan keadaan individu tikus itu sendiri. Konsistensi setiap individu tikus sawah dalam mengonsumsi rodentisida dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Konsumsi setiap individu tikus sawah terhadap rodentisida

Semua individu tikus sawah memiliki konsistensi yang hampir sama dalam mengonsumsi rodentisida Bromadiolon A, B, C, dan D seperti yang terlihat pada Gambar 7, namun terdapat 2 individu pada perlakuan Bromadiolon C yang mengonsumsi rodentisida dalam jumlah yang cukup banyak. Hal ini menyebabkan nilai konsumsi rerata rodentisida Bromadiolon C menjadi besar.

Konsumsi rodentisida dengan jumlah yang sangat sedikit disebabkan oleh perilaku tikus yang ingin mencicipi umpan baru namun selanjutnya akan mengalami penurunan jumlah konsumsi akibat jera umpan. Tikus yang telah mengonsumsi rodentisida antikoagulan bromadiolon dalam jumlah yang cukup akan mengalami penurunan aktivitas, hewan menjadi lemas, dan pergerakannya akan menjadi lambat.

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Konsum si rodentisida (g/100 g bb) Individu Bromadiolon A Bromadiolon B Bromadiolon C Bromadiolon D

Pengujian berdasarkan metode pilihan (choice-test) akan memberikan alternatif pada tikus sawah dalam mengonsumsi umpan (beracun atau tidak beracun). Hasil pengujian rodentisida vs umpan dapat dilihat pada Tabel 2. Dengan naluri dasar yang dimiliki, tikus dapat membedakan umpan yang beracun dan tidak beracun sehingga dapat dipastikan bahwa umpan tidak beracun yang akan lebih banyak dikonsumsi oleh tikus sawah.

Tabel 2 Konsumsi tikus sawah terhadap kedua jenis umpan dan rodentisida Jenis umpan

dan

rodentisida

Konsumsi (g/100 g bobot tubuh) Bromadiolon A Bromadiolon B Bromadiolon C Bromadiolon D Gabah 5.0007 aA 6.1125 aA 6.4342 aA 5.2187 aA Beras 0.2876 bB 0.3118 bB 0.2413 bB 0.3798 bB Rodentisida 0.0145 bB 0.0008 bB 0.2997 bB 0.1146 bB Jumlah 5.3928 6.4527 6.9752 5.7131 Pr > F 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001

Keterangan: Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang ganda Duncan pada taraf α=5% (huruf kecil) dan α=1% (huruf besar) Hasil pengujian pada Tabel 2 menunjukkan bahwa rerata konsumsi gabah memiliki nilai paling tinggi karena gabah merupakan pakan utama yang disukai oleh tikus sawah. Komposisi pakan yang dikonsumsi tergantung pada kondisi lingkungan dan pertanaman padi. Meskipun tikus tergolong dalam hewan omnivora dan di dalam saluran pencernaan tikus sawah ditemukan endosperm padi, bagian pangkal batang padi, serpihan rumput, bagian tanaman dikotil, dan potongan bagian tubuh arthropoda, namun makanan pokok yang lebih disukai adalah padi (Anggara 2008). Beras kurang disukai oleh tikus sawah karena bagian kulit luarnya yang keras sudah dibuang dan tikus perlu mengerat untuk mengurangi pertumbuhan gigi serinya, sehingga tikus sawah cenderung lebih menyukai gabah.

Rerata konsumsi tikus sawah terhadap rodentisida sangat rendah karena adanya umpan lain yang tidak beracun, yaitu gabah dan beras. Tikus sawah

mencegah tikus sawah dalam mengonsumsi rodentisida. Rodentisida dikonsumsi oleh tikus sawah walaupun dalam jumlah yang sedikit, karena perilaku tikus sawah yang memiliki keinginan untuk mencicipi umpan baru. Menurut Rochman et al. (2005) tikus memiliki indera perasa yang sangat peka dan mampu merasakan senyawa phenilthiocarbamide (berasa pahit) dalam konsentrasi yang sangat rendah yaitu 3 ppm. Dengan kemampuan tersebut, tikus mampu memilah makanan yang aman dan menolak makanan yang beracun.

Persentase konsumsi rodentisida dan umpan lain (gabah, beras) dibandingkan dengan persentase konsumsi total dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Proporsi konsumsi rodentisida, gabah, dan beras terhadap konsumsi total pada keempat jenis bromadiolon

Apabila dilihat persentase konsumsi rodentisida terhadap konsumsi total (Gambar 8), Bromadiolon C memiliki persentase paling tinggi (4.30%) diikuti Bromadiolon D (2.01%), Bromadiolon A (1.94%), dan Bromadiolon B (0.01%). Rentang konsumsi rodentisida yang berkisar antara 0.01-4.30% ini tergolong sangat kecil apabila dibandingkan dengan konsumsi total. Semakin tinggi

BromadiolonA 1.94% 5.33% 92.73% Bromadiolon B 95.14% 0.01% 4.85% Bromadiolon C 4.30% 92.24% 3.46% Gabah Beras Rodentisida Bromadiolon D 91.35% 2.01% 6.65%

total juga akan semakin tinggi. Konsumsi Bromadiolon B hampir tidak terlihat pada diagram karena konsumsi rodentisida ini sangat kecil dan hanya beberapa individu saja yang mengonsumsi rodentisida jenis ini, sedangkan konsumsi rodentisida terhadap konsumsi total oleh tikus rumah sebesar 24.15%.

Bobot Tubuh dan Kematian Tikus Sawah

Bobot tubuh awal tikus sawah diperoleh dari penimbangan sebelum diberikan perlakuan dan bobot tubuh akhir tikus sawah diperoleh dari penimbangan setelah dilakukan lima hari perlakuan. Bobot tubuh tikus sawah secara umum akan mengalami penurunan setelah diberikan perlakuan dengan rodentisida. Perubahan bobot tubuh dan kematian tikus sawah dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Bobot tubuh dan kematian tikus sawah saat perlakuan

Perlakuan

Bobot tubuh (g)

Kematian Awal Akhir Rerata Perubahan

bobot

Bromadiolon A 96.680 90.925 93.803 -5.755 4 Bromadiolon B 79.564 79.081 79.323 -0.483 0 Bromadiolon C 78.374 76.828 77.601 -1.546 2 Bromadiolon D 77.796 75.090 76.443 -2.706 1

Bobot tubuh tikus sawah mengalami penurunan setelah perlakuan dengan rerata penurunan bobot tubuh berkisar antara 0.483 g sampai 5.755 g (Tabel 3). Penurunan bobot tubuh paling tinggi terjadi pada perlakuan Bromadiolon A diikuti oleh Bromadiolon D, Bromadiolon C, dan Bromadiolon B. Penurunan bobot tubuh yang terjadi disebabkan oleh telah bekerjanya rodentisida antikoagulan yang termakan oleh tikus sawah, sehingga terjadi gangguan fisiologis dan menimbulkan pengaruh terhadap penurunan bobot tubuh tikus sawah.

Konsumsi tikus sawah terhadap rodentisida ada yang menyebabkan kematian pada tikus dan ada yang tidak (tikus tetap hidup). Hal ini terjadi karena

sedangkan tikus yang tetap hidup mengonsumsi rodentisida pada dosis yang tidak mematikan (sub lethal dose). Selain itu, kematian dapat terjadi karena tikus sawah mengalami penurunan kondisi fisiologis, sedangkan tikus sawah yang tidak mati memiliki kemampuan bertahan hidup (survival) yang tinggi.

Kematian paling banyak terjadi pada perlakuan Bromadiolon A yaitu sebanyak 4 ekor tikus sawah dari jumlah keseluruhan sebanyak 10 ekor. Hal ini disebabkan oleh lebih sedikitnya gabah dan beras yang dikonsumsi. Pada perlakuan ini, konsumsi gabah dan beras adalah yang terkecil yaitu masing-masing sebesar 5.0007 g dan 0.2876 g (Tabel 2), sehingga bobot tikus sawah mengalami penurunan yang tertinggi yaitu sebesar 5.755 g. Tikus sawah yang mati mengalami keracunan yang kronis dalam tubuhnya, sehingga mempengaruhi konsumsi gabah dan beras, yang pada akhirnya menyebabkan penurunan bobot tubuh. Selanjutnya, pada perlakuan Bromadiolon C terdapat 2 ekor tikus yang mati dengan rerata penurunan bobot tubuh sebesar 1.546 g.

Angka kematian terkecil terjadi pada perlakuan Bromadiolon B (kematian 0), dimana penurunan bobot tubuh tikus sawah yaitu 0.483 g. Penurunan bobot yang terkecil disebabkan oleh lebih sedikitnya rodentisida yang dikonsumsi (0.0008 g) sehingga tidak menimbulkan pengaruh yang berarti dan tidak menyebabkan kematian pada tikus sawah. Pada Bromadiolon D tikus yang mati berjumlah 1 ekor dengan konsumsi rodentisida sebesar 0.1146 g (Tabel 2). Konsumsi rodentisida yang sedikit kurang mempengaruhi proses fisiologis dalam tubuh tikus, sehingga tikus tetap hidup meskipun terjadi penurunan bobot.

Tikus yang mati mengonsumsi rodentisida dengan jumlah yang lebih banyak dibandingkan yang lainnya. Terdapat juga tikus yang mati dengan hanya memakan sedikit rodentisida. Kondisi ini menyebabkan data yang diperoleh tidak seragam sehingga dapat dikatakan tidak ada korelasi positif antara konsumsi rodentisida dan kematian tikus sawah. Hal ini disebabkan adanya perbedaan faktor psikologis dan fisiologis yang besar dari setiap individu tikus sawah baik dari sisi genetis maupun non-genetis berupa cekaman. Tikus yang mati akibat sedikit

Dokumen terkait