• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengujian Antikoagulan Bromadiolon pada Tikus Sawah (Rattus argentiventer Rob. & Klo.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengujian Antikoagulan Bromadiolon pada Tikus Sawah (Rattus argentiventer Rob. & Klo.)"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

PUTRI SETYA UTAMI

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

PUTRI SETYA UTAMI. Pengujian Antikoagulan Bromadiolon pada Tikus Sawah (Rattus argentiventer Rob. & Klo.). Dibimbing oleh SWASTIKO PRIYAMBODO.

Pengujian umpan beracun bersifat kronis (antikoagulan) berbahan aktif bromadiolon terhadap tikus sawah (Rattus argentiventer Rob. & Klo.) dilaksanakan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Tikus sawah dikenal sebagai hewan pengganggu karena merupakan hama utama pada tanaman padi dan hampir selalu menyebabkan kehilangan hasil di beberapa daerah sentra produksi padi di Indonesia, serta dapat menularkan penyakit pada manusia. Oleh karena itu, diperlukan usaha pengendalian yang optimal untuk menjaga populasi hama ini di bawah ambang ekonomi. Pengendalian secara kimiawi menggunakan rodentisida selama ini dianggap merupakan metode paling efektif dan dalam aplikasinya di lapangan biasanya hanya diberikan satu pilihan umpan beracun tanpa adanya umpan lain, namun pada kenyataannya pasti terdapat umpan lain. Pengujian rodentisida antikoagulan bromadiolon terhadap tikus sawah dilakukan dengan metode pilihan dan terdapat empat jenis formulasi bromadiolon yang digunakan. Dalam pengujian ini, tikus diberikan tiga jenis pilihan umpan (rodentisida, gabah, dan beras). Tikus sawah lebih menyukai gabah yang merupakan pakan dasarnya. Rodentisida Bromadiolon A, C, dan D yang berbentuk serealia lebih disukai oleh tikus sawah dibandingkan dengan Bromadiolon B yang berbentuk blok. Namun rodentisida yang paling banyak dikonsumsi yaitu Bromadiolon C (0.2997 g), sedangkan Bromadiolon B paling sedikit dikonsumsi (0.0008 g). Kematian paling tinggi terjadi pada perlakuan Bromadiolon A yang disertai penurunan bobot tubuh terbesar, namun rodentisida yang lebih efektif dalam mengendalikan tikus sawah di lapang yaitu Bromadiolon C.

(3)

PUTRI SETYA UTAMI. Trial of Anticoagulant Bromadiolone Rice Field Rat (Rattus argentiventer Rob. & Klo.). Supervised by SWASTIKO PRIYAMBODO.

Trial of the chronical poisonous bait (anticoagulant) based on bromadiolone to rice field rat (Rattus argentiventer Rob. & Klo.) carried out at the laboratory of Vertebrate Pests, Plant Protection Department, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University. Rice field rats known as a destroyer animal because it is a major pest in rice crop and always causes loss of product in some areas at the centre of the rice production in Indonesia, and can transmit disease to human. Therefore, it required the control efforts to maintain the population bellow the economic level. Chemical control using rodenticide is considered to be the most effective method and its application in the field is normally given only one choice of bait in the absence of other toxic bait, however in fact there are other feed. Trial the rodenticide anticoagulants (bromadiolone) to rice field rat conducted with choice-test method. There are four types of bromadiolone formulations used. In this trial, the rat was given three kinds of feed options (rodenticide, grains, and rice). Rice field rats preferred grain is a basic feed. The shape of Bromadiolone A, C, and D is cereal, and it is preferred by rice field rat compared to Bromadiolone B in the form of blocks. Rats consumed Bromadiolone C (0.2997 g) more than others, whereas the Bromadiolone B is the least amount of consumption (0.0008 g). Most deaths occurred on the Bromadiolone A that accompanied the greatest decrease in body weight, however Bromadiolone C is the most effective rodenticide in controlling rice field rats.

(4)

PUTRI SETYA UTAMI

A34080021

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(5)

NRP : A34080021

Disetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Swastiko Priyambodo, M.Si NIP 19630226 198703 1 001

Diketahui,

Ketua Departemen Proteksi Tanaman

Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si NIP 19650621 198910 2 001

(6)

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 4 Mei 1990 dari pasangan Bapak Drs. H. Subadri, MM dan Ibu Hj. Lilis Muflihah, S.Pd. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.

Penulis memulai studinya di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Pegadungan 11 Pagi, Jakarta Barat dan lulus pada tahun 2002. Setelah itu penulis melanjutkan studi ke Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 169 Jakarta Barat dan lulus pada tahun 2005. Selanjutnya, penulis melanjutkan studi ke Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 33 Jakarta Barat dan lulus pada tahun 2008. Pada tahun yang sama dengan kelulusan SMA, penulis diterima di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

(7)

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Pengujian Antikoagulan Bromadiolon pada Tikus Sawah (Rattus argentiventer Rob. & Klo.)”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Pertanian, pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini dengan penuh hormat, cinta, kasih, dan sayang penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Ibunda dan ayahanda yang selalu memberikan doa, kasih sayang, perhatian, semangat, dukungan moril, lahir batin yang tiada hentinya, serta menjadi panutan dan motivator bagi penulis agar senantiasa selalu menjadi yang terbaik dan berguna bagi orang lain.

2. Kakak dan adik yang selalu menyayangi dan memberikan semangat kepada penulis untuk terus memberikan yang terbaik.

3. Dr. Ir. Swastiko Priyambodo, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah mencurahkan waktu, perhatian, semangat, bimbingan, arahan, masukan, dan nasehat selama menjadi dosen pembimbing hingga penyelesaian skripsi ini. 4. Dr. Ir. Tri Asmira Damayanti, M.Agr selaku dosen penguji tamu yang telah

memberikan masukan dan saran untuk perbaikan skripsi ini.

5. Dr. Ir. Teguh Santoso, DEA selaku dosen pembimbing akademik yang telah berperan besar di awal masa kuliah.

6. Seluruh staf pengajar di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor atas ilmu yang telah diberikan selama penulis menuntut ilmu di IPB.

7. Bapak Ahmad Soban atas bantuannya selama penelitian sampai akhir penelitian, serta staf dan administrasi Departemen Proteksi Tanaman.

8. Galih Pamungkas yang selalu memberikan semangat, doa, dukungan, dan setia membantu dalam penelitian hingga penyusunan skripsi.

9. Rekan-rekan mahasiswa IPB khususnya Ushwanuuri RL, Priyanti Widya N, Hamdayanti, M. Karami, Agus Wahid S, Novra E, Sherly Vonia I, Ni Nengah, Yuke A, Minkhaya SP, Rizki Nazarreta, Rosi Rosidah J, dan seluruh PTN ’45 atas semangat, doa, bantuan, kritik dan saran, serta dukungannya selama ini.

10. Teman-teman B21, VSCAL, dan Savant atas semangat, doa, dan dukungan yang diberikan kepada penulis.

11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis sadar bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna dan masih membutuhkan saran serta kritik. Namun, penulis berharap agar tulisan ini dapat memberikan manfaat dalam rangka pembelajaran bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.

Bogor, Februari 2012

(8)
(9)

Konsumsi Tikus Sawah terhadap Empat Formulasi

Rodentisida Bromadiolon ... 18

Kecenderungan Konsumsi Tikus Sawah terhadap Rodentisida .. 21

Pengujian Rodentisida vs Umpan ... 23

Bobot Tubuh dan Kematian Tikus Sawah ... 25

Konsumsi Racun dan Lama Kematian dari Setiap Individu ... 27

Perbedaan Konsumsi antara Tikus Sawah Jantan dan Betina ... 29

Konsumsi Tikus Sawah terhadap Gabah Saat Perlakuan dan Pasca Perlakuan ... 30

Bobot Tubuh Tikus Sawah Pasca Perlakuan ... 31

KESIMPULAN DAN SARAN ... 33

Kesimpulan ... 33

Saran ... 33

DAFTAR PUSTAKA ... 34

LAMPIRAN ... 37

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Konsumsi tikus sawah terhadap keempat jenis formulasi bromadiolon .... 18

2 Konsumsi tikus sawah terhadap kedua jenis umpan dan rodentisida ... 23

3 Bobot tubuh dan kematian tikus sawah saat perlakuan ... 25

4 Perbedaan konsumsi antara tikus sawah jantan dan betina ... 29

5 Konsumsi tikus sawah terhadap gabah saat perlakuan dan pasca

perlakuan ... 30

6 Bobot tubuh tikus sawah pada gabah pasca perlakuan ... 32

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman,

Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor ... 11

2 Tikus sawah (R. argentiventer) ... 12

3 Umpan: (A) Beras dan (B) gabah... 12

4 Rodentisida kronis bromadiolon: (A) Bromadiolon A 0.005%, (B) Bromadiolon B 0.005%, (C) Bromadiolon C 0.005%, (D) Bromadiolon D 0.25% ... 13

5 Kandang percobaan ... 14

6 Timbangan elektronik (electronic top-loading balance for animal)... 14

7 Konsumsi setiap individu tikus sawah terhadap rodentisida ... 22

8 Proporsi konsumsi rodentisida, gabah, dan beras terhadap konsumsi total pada keempat jenis bromadiolon ... 24

(12)
(13)

18 Analisis sidik ragam konsumsi tikus sawah terhadap gabah saat perlakuan dan pasca perlakuan Bromadiolon A ... 40

19 Analisis sidik ragam konsumsi tikus sawah terhadap gabah saat perlakuan dan pasca perlakuan Bromadiolon B ... 41

20 Analisis sidik ragam konsumsi tikus sawah terhadap gabah saat perlakuan dan pasca perlakuan Bromadiolon C ... 41

(14)
(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tikus (Ordo Rodentia) merupakan hewan liar dari golongan mamalia dan

dikenal sebagai hewan pengganggu dalam kehidupan manusia. Hewan pengerat

dan pemakan segala jenis makanan (omnivora) ini sering menimbulkan kerusakan

dan kerugian dalam kehidupan manusia antara lain dalam bidang pertanian,

perkebunan, permukiman dan kesehatan. Tikus sudah mampu beradaptasi dengan

baik serta menggantungkan dirinya pada kehidupan manusia dalam hal pakan dan

tempat tinggal. Selain itu, tikus dapat membahayakan manusia karena mampu

menularkan penyakit pada manusia. Kelompok hewan ini dapat menjadi vektor

beberapa penyakit zoonosis antara lain Yersiniosis, Leptospirosis, dan

Salmonellosis. Sedangkan patogen yang dapat ditularkan kepada manusia yaitu Lymphochytis choriomeningitis, Entamoeba histolytica, dan Giardia muris (Meehan 1984). Berdasarkan hal tersebut tikus sering dipandang oleh manusia

sebagai hewan yang memiliki efek negatif dalam ekosistem alam (Dickman

1988). Namun menurut Priyambodo (2009), hewan ini dapat memberikan

keuntungan bagi manusia terutama dalam bidang pengetahuan, yaitu dapat

digunakan sebagai hewan percobaan di Laboratorium. Sebagai contoh,

penggunaan tikus putih (Rattus norvegicus Strain Albino) dan mencit putih (Mus

musculus Strain Albino) di Laboratorium untuk pengujian obat sebelum diaplikasikan pada manusia.

Perkembangan hama tikus dapat berlangsung sangat cepat apabila kondisi

ketersediaan makanan mencukupi, kurangnya usaha pengendalian yang dilakukan

oleh petani serta sedikitnya musuh alami tikus yang terdapat di alam, sehingga

kondisi ini melampaui batas ambang ekonomi dan merugikan petani. Ada 29

spesies tikus yang menjadi hama penting di Asia Tenggara yang dapat

menyebabkan kehilangan ekonomi dan menularkan penyakit pada manusia

(Hoque et al. 1988). Beberapa spesies tikus tersebut yang terdapat di Indonesia antara lain Bandicota indica (wirok besar), Rattus norvegicus (tikus riul), R. rattus

(16)

Tikus sawah (Rattus argentiventer Rob. & Klo.) merupakan salah satu hama

utama pada tanaman padi yang memiliki sifat-sifat sangat berbeda dengan jenis

hama utama padi yang lainnya. Tikus sawah dapat beradaptasi dengan baik pada

berbagai agroekosistem, baik lahan sawah irigasi, lahan sawah kering, maupun

lahan sawah rawa pasang surut. Tikus sawah dapat menyebabkan kerusakan pada

tanaman padi mulai dari saat persemaian hingga padi siap dipanen, dan bahkan di

dalam gudang penyimpanan. Kehilangan hasil panen akibat serangan tikus sawah

hampir selalu terjadi pada setiap musim tanam di beberapa daerah sentra produksi

padi di Indonesia. Rata-rata luas serangan tikus sawah pada periode 1994-2005

mencapai 113 514 ha dengan intensitas kerusakan 20% (Direktorat Perlindungan

Tanaman Pangan 2006). Oleh karena itu, usaha pengendalian terhadap hewan ini

perlu dilakukan yang mencakup berbagai macam aspek kegiatan.

Usaha pengendalian tikus sawah selama ini belum menunjukkan hasil yang

optimal. Hal ini karena tikus sawah memiliki karakter biologis dan keunikan

perilaku yang berbeda dengan hama lainnya (Brown et al. 2003; Nolte et al.

2002). Teknologi pengendalian tikus sawah yang telah dikenal selama ini lebih

memfokuskan pada kegiatan kultur teknis, sanitasi, fisik/mekanis, kimiawi,

biologis, dan cara pengendalian lokal lainnya.

Pengendalian secara kimiawi menggunakan rodentisida selama ini dianggap

merupakan metode paling efektif untuk mengendalikan tikus sawah. Hal tersebut

dapat terjadi karena efektifitas rodentisida dapat dibuktikan secara langsung

dengan terbunuhnya sejumlah tikus setelah pengumpanan rodentisida. Namun

penggunaan bahan kimia secara terus menerus akan berdampak pada lingkungan

yaitu terbunuhnya hewan non target serta pencemaran habitat.

Aplikasi pengendalian secara kimiawi dengan menggunakan rodentisida di

lapangan biasanya hanya diberikan satu pilihan umpan beracun tanpa adanya

umpan lain. Pada kenyataannya di lapang pasti terdapat umpan lain, seperti bulir

padi, apabila rodentisida diaplikasikan pada saat tanaman memasuki fase

generatif. Oleh sebab itu, perlu dilakukan pengujian terhadap beberapa jenis

formulasi rodentisida disertai pemberian umpan lain yang tidak beracun berupa

serealia untuk mengetahui kecenderungan tikus sawah dalam mengonsumsi

(17)

Rodentisida yang digunakan dalam penelitian ini yaitu berbahan aktif

bromadiolon karena menurut Buckle (1994) dapat digunakan secara luas untuk

mengendalikan tikus di permukiman dan di pertanian. Selain itu, rodentisida ini

bekerja lambat sehingga tidak menimbulkan jera umpan (bait-shyness) pada tikus,

tidak memerlukan umpan pendahuluan (pre-baiting) dalam aplikasinya, dan

konsentrasinya rendah sehingga diterima oleh tikus.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan konsumsi tikus sawah

terhadap empat jenis formulasi rodentisida berbahan aktif bromadiolon pada saat

terdapat umpan tanpa racun dalam usaha pengendalian tikus sawah

(R. argentiventer) yang efektif dan efisien.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai jenis

formulasi bromadiolon yang efektif dan efisien untuk aplikasi pengendalian tikus

sawah (R. argentiventer) di lapangan pada saat terdapat umpan lain yang tidak

beracun.

Hipotesis

Tikus sawah (R. argentiventer) lebih memilih umpan gabah dibandingkan

umpan yang lainnya karena gabah merupakan pakan dasar sesuai dengan

habitatnya, di lahan persawahan, dimana selalu tersedia bulir padi. Selain itu, tikus

sawah lebih menyukai pakan yang berbentuk serealia dibandingkan berbentuk

blok, sehingga rodentisida bromadiolon berbentuk serealia yang lebih banyak

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Tikus Sawah

Klasifikasi dan Morfologi

Tikus sawah merupakan hewan pengerat yang termasuk dalam Filum

Chordata, Subfilum Vertebrata, Kelas Mamalia, Subkelas Theria, Infrakelas

Eutheria, Ordo Rodentia, Subordo Myomorpha, Famili Muridae, Subfamili

Murinae, Genus Rattus, dan Spesies R. argentiventer Rob. & Klo. (Boeadi 1979).

Tikus sawah merupakan hewan terestrial yang memiliki tonjolan pada

telapak kaki yang relatif kecil dan permukaannya halus. Selain itu, tikus sawah

memiliki rambut agak kasar, moncong berbentuk kerucut, badan berbentuk

silindris, warna badan pada bagian punggung coklat kelabu kehitaman, dan warna

badan pada bagian perut kelabu pucat atau putih kotor. Ciri khusus dari tikus

sawah yaitu ekor relatif lebih pendek daripada panjang kepala dan badan. Panjang

kepala dengan badan 130-210 mm, ekor 120-200 mm, dan tungkai 34-43 mm.

Jumlah puting susu tikus betina 12 buah, 3 pasang di bagian dada dan 3 pasang di

bagian perut (Priyambodo 2009).

Biologi dan Ekologi

Tikus sawah (R.argentiventer) merupakan hama utama penyebab kerusakan

terbesar tanaman padi, terutama pada agroekosistem dataran rendah dengan pola

tanam yang intensif. Tikus sawah dapat merusak tanaman padi pada semua stadia

pertumbuhan dari semai hingga panen, bahkan di dalam gudang penyimpanan

(BB Padi 2009). Tikus sawah sebagian besar tinggal di persawahan dan

lingkungan sekitar sawah. Tikus sawah memiliki daya adaptasi yang tinggi

sehingga mudah tersebar di dataran rendah dan dataran tinggi. Selain itu, tikus

sawah juga suka menggali liang untuk berlindung dan berkembangbiak, membuat

terowongan atau jalur sepanjang pematang dan tanggul irigasi (Rochman 1992).

Tikus sawah memiliki panca indera yang berkembang dengan baik sehingga

dapat menunjang setiap aktivitas kehidupannya. Sebagai hewan nokturnal,

penglihatan tikus sawah telah berkembang dan beradaptasi untuk melihat dalam

(19)

pandang 10-15 m (Anggara et al. 2008). Namun tikus sawah dianggap buta warna

sehingga sebagian warna terlihat abu-abu (Rochman 1992). Indera penciuman

berkembang baik sehingga tikus dapat mendeteksi wilayah pergerakan tikus lain,

jejak anggota kelompoknya, dan betina estrus. Indera pendengaran tikus sawah

berkembang sempurna. Indera pengecap berkembang baik sehingga mampu

mendeteksi rasa pahit, racun, dan enak atau tidaknya suatu pakan. Indera peraba

juga berkembang baik, misai dan rambut-rambut panjang pada sisi tubuhnya

digunakan sebagai sensor sentuhan terhadap benda-benda yang dilalui (BB Padi

2009).

Sebagai hewan nokturnal, tikus memiliki orientasi mencari makan,

pasangan, dan kawasan (Brooks & Rowe 1979). Selain itu, tikus memiliki

kemampuan fisik seperti menggali, memanjat, meloncat, melompat,

menggerogoti, berenang, dan menyelam (Rochman 1992). Tikus telah memiliki

otak yang berkembang sempurna sehingga mampu belajar dan mengingat dengan

baik. Tikus sawah dapat mengingat sarang, sumber pakan yang aman ataupun

beracun, dan sumber air (Anggara et al. 2008).

Tikus sawah termasuk hewan omnivora (pemakan segala jenis makanan),

seperti biji-bijian (beras, gabah, jagung), umbi-umbian, serangga, dan sebagainya.

Pada saat makanan berlimpah, tikus sawah akan menjadi lebih selektif dan

memilih makanan yang paling disukai, yaitu biji-bijian atau padi yang tersedia di

sawah (Rochman et al. 1982).

Seluruh bagian tanaman padi pada berbagai stadia pertumbuhan dapat

dirusak oleh tikus. Walaupun demikian, tikus paling suka memakan bagian malai

atau bulir tanaman padi pada stadia generatif. Pada stadia persemaian, tikus

mencabut benih yang sudah mulai tumbuh (bibit) untuk memakan bagian biji

yang masih tersisa (endosperm). Pada stadia vegetatif, tikus memotong bagian

pangkal batang untuk memakan bagian batangnya. Adapun pada stadia generatif,

tikus memotong pangkal batang untuk memakan bagian malai atau bulirnya

(Priyambodo 2009).

Tikus sawah memiliki kemampuan reproduksi yang tinggi. Di lahan yang

ditanami padi secara terus menerus (2 kali per tahun) puncak populasi akan terjadi

(20)

per tahun, puncak populasi hanya terjadi 1 kali, yaitu pada fase generatif. Dalam

satu musim tanam padi, tikus sawah mampu beranak hingga 3 kali dengan

rata-rata 10 ekor anak per kelahiran. Tikus betina relatif cepat matang seksual (± 1

bulan) dibandingkan dengan tikus jantan (± 2-3 bulan). Cepat atau lambatnya

kematangan seksual tersebut tergantung dari ketersediaan pakan di lapangan serta

tempat berlindung dan bersarang yang memadai. Apabila hal tersebut terpenuhi

maka tikus sawah dapat berkembangbiak dalam waktu singkat sehingga akan

terjadi peningkatan populasi yang sangat pesat atau disebut juga ledakan populasi

(Macdonald & Fenn 1994).

Masa kebuntingan tikus betina sekitar 21 hari dan mampu kawin kembali

24-48 jam setelah melahirkan (post partum oestrus) (Southwhick 1969; Meehan

1984). Terdapatnya padi yang belum dipanen dapat memperpanjang periode

reproduksi tikus sawah. Dalam kondisi tersebut, anak tikus dari kelahiran pertama

sudah mampu bereproduksi sehingga seekor tikus betina dapat menghasilkan total

sebanyak 80 ekor tikus dalam satu musim tanam padi. Secara teoritis dari 1

pasang tikus dapat berkembang menjadi + 2.000 ekor dalam waktu 1 tahun

(Meehan 1984).

Pada saat tanaman fase padi vegetatif, tikus hidup soliter dan di luar liang,

sedang pada fase generatif, tikus hidup berpasang-pasangan dan tinggal di dalam

liang persawahan dengan pematang yang sempit (Sudarmaji 2005). Luas wilayah

dan jarak jelajah harian tikus dipengaruhi oleh jumlah sumber pakan dan populasi

tikus. Bila sumber pakan berlimpah, jelajah hariannya pendek (50-125 m) dan bila

sumber pakan sedikit, jelajah harian panjang (100-200 m) (BB Padi 2009).

Keberadaan tikus di lapang dapat diketahui dengan cara pengumpanan tanpa

racun yang dipasang minimal sebanyak 20 titik umpan per hektar atau

pengamatan jejak dan jalan lintas tikus. Selain itu, keberadaan tikus di suatu

tempat dapat diketahui dengan adanya benda yang rusak. Penentuan yang akurat

akan adanya investasi tikus dapat diperoleh melalui pengamatan terhadap bahan

makanan atau aktivitas sarang dan tanda-tanda pergerakan tikus dari sarang ke

(21)

Metode Pengendalian Tikus Sawah

Pengendalian tikus sawah sering dilakukan oleh manusia. Beberapa metode

pengendalian yang dapat dilakukan antara lain kultur teknis, sanitasi,

fisik-mekanis, biologis atau hayati, dan kimiawi. Elemen penting yang harus

diperhatikan untuk mengendalikan tikus di persawahan adalah sanitasi lingkungan

dan monitoring populasi tikus di sekitar persawahan (Priyambodo 2009). Sanitasi

dapat menyebabkan tikus kehilangan tempat persembunyian dan sumber pakan

alternatif terutama saat periode bera, sehingga secara tidak langsung dapat

menurunkan populasi tikus sawah (Sudarmaji 2004).

Pengendalian secara hayati (biologi) terhadap populasi tikus dilakukan

dengan menggunakan parasit, predator, atau patogen untuk mengurangi atau

bahkan menghilangkan populasi tikus dari suatu habitat. Namun cara ini kurang

efektif dan kurang memberikan hasil yang memuaskan. Pengendalian populasi

tikus secara hayati dengan penggunaan parasit, patogen, dan manipulasi genetik

telah dirintis, namun belum dapat diterapkan secara luas (Fall 1977).

Pengendalian secara kultur teknis dapat dibagi menjadi beberapa cara yaitu

pengaturan pola tanam, pengaturan waktu tanam, pengaturan jarak tanam, dan

penggunaan tanaman perangkap, sedangkan pengendalian secara kimiawi dapat

dilakukan dengan beberapa cara yaitu penggunaan umpan beracun, penggunaan

bahan fumigasi, dan bahan kimia penarik (attractant) (Priyambodo 2009). Metode

pengendalian terhadap tikus yang sering digunakan oleh manusia yaitu secara

mekanik dengan menggunakan perangkap dan secara kimiawi dengan

menggunakan rodentisida (Mutiarani 2009).

Umumnya pengendalian hama dengan menggunakan rodentisida dapat

dikatakan berhasil. Pengendalian dengan bahan kimia dapat memberikan efek

positif maupun negatif. Efek positif berupa hasil yang cepat dan efektif sedangkan

efek negatifnya antara lain pencemaran lingkungan dan resistensi hama.

Rodentisida

Rodentisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang

digunakan untuk mematikan berbagai jenis hewan pengerat, misalnya tikus.

(22)

makanannya (tanaman). Menurut Prakash (1988) berdasarkan kecepatan kerjanya,

rodentisida dibagi menjadi dua jenis yaitu rodentisida akut (bekerja cepat) dan

rodentisida kronis (bekerja lambat).

Rodentisida akut adalah racun yang bekerja cepat dengan merusak sistem

syaraf tikus. Rodentisida akut dapat menyebabkan kematian setelah mencapai

dosis letal dalam waktu 24 jam atau kurang (Buckle & Smith 1996). Berdasarkan

toksisitasnya, rodentisida akut dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu highly

toxicity (toksisitas tinggi), moderately toxicity (toksisitas sedang), dan lower toxicity (toksisitas rendah) (Priyambodo 2009).

Rodentisida kronis (antikoagulan) merupakan rodentisida yang bekerja

lambat dengan cara menghambat proses koagulasi atau penggumpalan darah serta

memecah pembuluh darah kapiler. Rodentisida kronis dapat dikelompokkan

berdasarkan kelompok kimia bahan aktifnya dan berdasarkan saat diproduksinya

(Priyambodo 2009).

Rodentisida Kronis

Rodentisida kronis (antikoagulan) merupakan rodentisida yang bersifat tidak

langsung mematikan setelah tertelan oleh hewan sasaran, namun memerlukan

waktu beberapa lama untuk bereaksi dan menimbulkan kematian terhadap target.

Hal ini disebabkan rodentisida memiliki daya kerja yang lambat (Buckle 1994).

Berdasarkan kelompok bahan kimia aktifnya, rodentisida kronis

(antikoagulan) dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu hydroxicoumarin dan

indanedione (Priyambodo 2009). Selain itu rodentisida kronis (antikoagulan) juga dapat dikelompokkan berdasarkan saat diproduksinya, yaitu rodentisida

antikoagulan generasi I dan generasi II. Rodentisida antikoagulan generasi II

dibuat karena sudah terjadi atau diperkirakan akan terjadi resistensi tikus terhadap

rodentisida antikoagulan generasi I (Priyambodo 2009).

Penggunaan rodentisida yang bersifat kronis bertujuan untuk menghindari

sifat jera umpan yang dimiliki oleh tikus, sehingga pengendalian dengan

pengumpanan dapat berjalan lebih efektif. Pengendalian dengan rodentisida

semacam ini memerlukan pemberian yang berulang selama 3 hari atau lebih,

(23)

terbentuknya populasi tikus yang resisten di beberapa negara sehingga

pemanfaatannya harus dilakukan secara hati-hati. Salah satu dampak yang

ditimbulkan oleh rodentisida kronis yaitu terhambatnya pembentukan protrombin

yang menyebabkan kerapuhan kapiler darah sehingga terjadi pendarahan (Chandra

2005). Rodentisida ini membuat darah menjadi berkurang kekentalannya dan

semakin lama semakin encer sehingga pada akhirnya tikus akan mati karena

pendarahan didalam tubuhnya (Syamsuddin 2007). Tikus yang telah mengonsumsi

rodentisida antikoagulan dengan dosis yang mematikan biasanya akan mengalami

kematian 2-14 hari setelah proses peracunan (Surtikanti 2007).

Bromadiolon

Bromadiolon merupakan salah satu golongan antikoagulan generasi kedua

yang efektif terhadap tikus dan hewan pengerat lainnya (Bennet 2002). Struktur

kimia dari bromadiolon yaitu

3-[3-(4’-bromobiphenyl-4-yl)-3-hydroxy-1-phenylpropyl]-4-hydroxycoumarin [28772-56-7], C30H23BrO4 (Buckle 1994).

Bromadiolon diproduksi dalam berbagai bentuk yaitu bentuk umpan siap

saji, bentuk tepung atau bubuk, dan bentuk blok. Secara umum bromadiolon

digunakan dengan konsentrasi 0.005% dan sudah efektif di lapangan terhadap

tikus yang sudah resisten terhadap antikoagulan generasi pertama. Bromadiolon

merupakan racun antikoagulan dengan dosis tunggal 50 mg/kg dengan LD50

kurang dari 2 mg/kg. Penggunaan bromadiolon harus dilakukan dengan tepat dan

aman karena seringkali ditemukan bau bangkai tikus yang sulit terdeteksi (Pardosi

& Sukana 2005).

Gabah

Gabah merupakan bulir padi yang termasuk tahap penting dalam

pengolahan padi sebelum dikonsumsi. Menurut Priyambodo (2009), tikus dapat

menyerang padi pada berbagai stadia pertumbuhan. Pada stadia persemaian, tikus

merusak tanaman padi dengan mencabut benih yang sudah mulai tumbuh (bibit)

untuk memakan bagian biji yang masih tersisa (endosperm). Pada stadia vegetatif,

tikus memotong bagian pangkal batang untuk memakan bagian batangnya. Pada

(24)

Gabah tersusun dari 15-30% kulit luar (sekam), 4-5% kulit ari, 12-14%

bekatul, 65-67% endosperm, dan 2-3% lembaga. Lapisan bekatul paling banyak

mengandung vitamin B1. Selain itu, bekatul juga mengandung protein, lemak,

vitamin B2, dan niasin. Endosperm merupakan bagian utama butir beras, dengan

komposisi utama adalah pati. Selain itu endosperm mengandung protein cukup

banyak, serta selulosa, mineral, dan vitamin dalam jumlah kecil (Lasztity 1986).

Beras

Beras merupakan salah satu padi-padian terpenting di dunia yang

dikonsumsi oleh manusia. Beras yang dihasilkan dari tanaman padi merupakan

makanan pokok sebagian besar penduduk Asia. Sekitar 1.75 milyar dari ± 3

milyar penduduk Asia termasuk ± 300 juta penduduk Indonesia menggantungkan

kebutuhan kalorinya dari beras. Beras merupakan gabah yang bagian kulitnya

sudah dibuang dengan cara digiling dan disosoh menggunakan alat pengupas dan

penggiling (huller) serta penyosoh (polisher). Struktur beras terdiri dari beberapa

bagian yaitu kulit gabah, lapisan perikarp, lapisan aleuron, bakal kecambah, dan

bagian endosperm (Lasztity 1986). Permukaan beras ditutupi oleh selaput tipis

yang mengandung protein, vitamin, karbohidrat, mineral, dan lemak.

Beras sebagai komoditas pangan menyumbang energi, protein, dan zat besi

masing-masing sebesar 63.1%, 37.7%, dan 25-30% dari total kebutuhan tubuh.

Setelah dimasak kandungan protein yang dimiliki beras menurun sampai 2%

(Tasar 2000). Lebih dari 50% penduduk dunia juga tergantung pada beras sebagai

sumber kalori utama. Pangan, khususnya beras yang dikonsumsi harus sehat dan

(25)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen

Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Gambar 1), dari

Bulan Oktober hingga Desember 2011.

Gambar 1 Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Bahan dan Alat

Hewan Uji

Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tikus sawah (R.

argentiventer Rob. & Klo.) (Gambar 2). Tikus sawah yang digunakan diperoleh dari daerah Subang, Jawa Barat. Tikus yang akan diuji diidentifikasi berdasarkan

jenis tikus, kondisi kesehatan, jenis kelamin, bobot tubuh, dan tidak bunting.

Tikus yang dibutuhkan untuk penelitian ini yaitu 10 ekor untuk setiap perlakuan

(26)

Gambar 2 Tikus sawah (R. argentiventer)

Umpan

Umpan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari dua jenis yaitu beras

(Gambar 3A) dan gabah (Gambar 3B). Beras merupakan makanan pokok bagi

sebagian besar masyarakat. Sedangkan gabah merupakan bentuk dasar dari beras

sebelum dilakukan penggilingan dan dapat digunakan sebagai pakan hewan

terutama tikus sawah.

(A) (B)

Gambar 3 Umpan: (A) Beras dan (B) gabah  

Rodentisida

Rodentisida yang digunakan bersifat kronis (antikoagulan) sehingga tidak

langsung menyebabkan kematian setelah pemberian rodentisida, namun

dibutuhkan beberapa waktu. Pemberian rodentisida dilakukan secara berulang

untuk dapat menimbulkan keracunan serta kematian. Rodentisida kronis yang

digunakan berbahan aktif bromadiolon yang terdiri dari empat jenis yaitu

Bromadiolon A 0.005% berbentuk butiran beras dengan warna merah muda pekat

(Gambar 4A), Bromadiolon B 0.005% berbentuk blok dengan warna biru

(27)

merah muda agak pudar (Gambar 4C), dan Bromadiolon D 0.25% berbentuk

tepung dengan warna biru muda (Gambar 4D).

(A) (B)

(C) (D)

Gambar 4 Rodentisida kronis bromadiolon: (A) Bromadiolon A 0.005%, (B) Bromadiolon B 0.005%, (C) Bromadiolon C 0.005%, (D) Bromadiolon D 0.25%

Kandang Percobaan

Kandang percobaan (Gambar 5) yang digunakan untuk pemeliharaan dan

perlakuan berbentuk balok yang terbuat dari kawat bangunan yang kuat dan keras

dengan ukuran p x l x t masing-masing yaitu 38 cm x 22 cm x 22 cm.

Lubang-lubang kawat pada kandang berukuran kecil sehingga tidak memungkinkan tikus

untuk keluar dari kandang. Pada setiap kandang percobaan dilengkapi dengan

peralatan tambahan berupa gelas berisi air untuk minum tikus, wadah umpan

(28)

Gambar 5 Kandang percobaan

Timbangan

Alat untuk menimbang yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

timbangan elektronik (electronic top-loading balance for animal) (Gambar 6).

Timbangan elektronik digunakan untuk menimbang bobot tubuh hewan uji (tikus)

sebelum dan setelah perlakuan. Selain itu, timbangan juga digunakan untuk

menimbang bobot konsumsi tikus terhadap ketiga jenis umpan (beras, gabah, dan

rodentisida).

Gambar 6 Timbangan elektronik (electronic top-loading balance for animal)

Metode

Persiapan Hewan Uji

Tikus sawah yang digunakan sebagai hewan uji diambil dari daerah Subang,

Jawa Barat. Tikus sawah yang digunakan sebagai hewan uji diidentifikasi

berdasarkan kondisi kesehatan, jenis kelamin, serta bobot tubuh. Bobot tubuh

tikus sawah yang digunakan > 70 g. Selain itu dilakukan pemilihan tikus sawah

(29)

Tikus sawah yang dibutuhkan untuk penelitian ini sebanyak 10 ekor untuk

setiap perlakuan. Setelah perlakuan pertama, untuk perlakuan berikutnya

digunakan tikus sawah yang sama (berlanjut) sehingga tikus sawah yang telah

digunakan sebelumnya, digunakan kembali untuk perlakuan berikutnya. Apabila

terdapat tikus sawah yang mati pada perlakuan sebelumnya, maka untuk

perlakuan berikutnya digunakan tikus yang baru. Total tikus yang digunakan

dalam penelitian ini sebanyak 16 ekor tikus sawah, karena terdapat enam ekor

tikus yang mati.

Persiapan Rodentisida

Rodentisida golongan bromadiolon yang digunakan terdiri atas empat jenis

(Bromadiolon A, B, C, dan D). Tiga jenis dari empat jenis rodentisida yang ada

merupakan rodentisida siap pakai. Namun terdapat rodentisida Bromadiolon D

yang berbentuk tepung sehingga perlu dilakukan pencampuran terlebih dahulu

dengan beras dan minyak. Untuk membuat rodentisida siap saji dari jenis

Bromadiolon D sebanyak 100 g diperlukan rodentisida tepung sebanyak 2.5 g dan

beras sebanyak 97.5 g. Kemudian kedua bahan tersebut dicampurkan dan

ditambahkan minyak goreng secukupnya yang berfungsi untuk melekatkan tepung

pada beras. Selanjutnya ketiga bahan tersebut diaduk secara merata sehingga

warna beras menjadi biru muda seluruhnya. Konsentrasi untuk bromadiolon D

menjadi 0.006%.

Pengujian Rodentisida vs Umpan

Pengujian antikoagulan bromadiolon pada tikus sawah menggunakan

metode pilihan (choice test), yaitu pengujian umpan beracun terhadap tikus

dengan memberikan alternatif umpan lain, sehingga tikus mempunyai pilihan

dalam mengonsumsi umpan yang disediakan. Pengujian ini terdiri dari empat

urutan perlakuan yaitu perlakuan Bromadiolon A vs gabah vs beras, Bromadiolon

B vs gabah vs beras, Bromadiolon C vs gabah vs beras, dan Bromadiolon D vs

gabah vs beras.

Teknik pengujian untuk semua perlakuan (rodentisida vs gabah vs beras)

(30)

ditimbang terlebih dahulu bobot tubuhnya sebagai bobot awal dengan

menggunakan timbangan elektronik, bobot tubuh yang digunakan > 70 g.

Selanjutnya masing-masing hewan uji dimasukkan ke dalam kandang percobaan

yang telah dilengkapi dengan bumbung bambu dan gelas yang berisi air untuk

minum tikus sawah setiap harinya. Setelah seluruh hewan uji dimasukkan ke

dalam kandang percobaan, kemudian dimasukkan rodentisida, gabah, dan beras

dalam wadah yang terpisah ke dalam kandang percobaan. Sebelum diaplikasikan,

masing-masing umpan beracun dan tidak beracun (rodentisida, gabah, beras)

ditimbang bobotnya menggunakan timbangan elektronik. Untuk rodentisida bobot

awal yang digunakan sebanyak > 10 g, untuk gabah dan beras bobot awal yang

digunakan sebanyak > 20 g.

Tikus yang sama digunakan kembali untuk perlakuan berikutnya, namun

sebelumnya tikus diadaptasikan kembali dengan pemberian gabah. Apabila

terdapat tikus yang mati pada saat perlakuan, maka diganti dengan tikus sawah

yang baru untuk perlakuan berikutnya. Metode pengujian yang sama dilakukan

untuk semua perlakuan.

Pemberian Umpan (Gabah) Pasca Perlakuan

Setelah pengujian rodentisida vs umpan, dilanjutkan dengan pemberian

umpan gabah. Penggantian rodentisida dan umpan dengan gabah bertujuan untuk

mengondisikan tikus sawah setelah diberi perlakuan dengan rodentisida untuk

digunakan pada perlakuan berikutnya. Gabah yang akan diberikan diletakkan

dalam wadah dan kemudian dimasukkan ke dalam kandang berisi tikus sawah

yang telah selesai diberi perlakuan. Jumlah gabah yang diberikan pada tikus

sawah pasca perlakuan yaitu > 20 g.

Pengamatan yang dilakukan

Pengujian choice test (rodentisida vs umpan) dilakukan masing-masing sebanyak 10 kali ulangan, menggunakan 10 ekor tikus sawah. Setiap ulangan

(31)

berturut-turut. Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap konsumsi gabah selama 3 hari

berturut-turut.

Peubah yang diamati

Konsumsi tikus sawah terhadap umpan beracun (rodentisida) dan umpan

tanpa racun (gabah, beras) dicatat setiap harinya dengan catatan tikus sawah telah

mengonsumsi salah satu umpan (beracun atau tanpa racun) yaitu rodentisida,

gabah, atau beras sebanyak ≥ 1 g agar dapat berganti ke hari berikutnya. Setelah 5

hari perlakuan, tikus sawah ditimbang kembali bobot tubuhnya sebagai bobot

akhir. Konsumsi gabah setiap hari dicatat dengan asumsi tikus sawah telah

mengonsumsi gabah sebanyak ≥ 1 g agar dapat berganti ke hari berikutnya.

Setelah 3 hari pemberian gabah, tikus sawah ditimbang kembali bobot tubuhnya

sebagai bobot awal untuk perlakuan berikutnya.

Konversi Umpan

Semua data konsumsi yang diperoleh dari pengujian preferensi makan tikus

sawah dikonversi terlebih dahulu kedalam 100 g bobot tubuh tikus, dengan rumus

sebagai berikut:

Konversi umpan atau rodentisida (g/100 g bobot tubuh) =

Bobot umpan atau rodentisida yang dikonsumsi (g) x 100%

Rata-rata bobot tubuh tikus (g)

Rerata bobot tubuh tikus (g) = Bobot awal + bobot akhir

2

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan untuk pengujian ini adalah

Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan menggunakan 1 jenis tikus yaitu tikus

sawah dengan 10 ulangan untuk uji rodentisida vs umpan. Apabila hasil yang

diperoleh berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji selang ganda Duncan

(Duncan Multiple Range Test) pada taraf α = 5% dan 1% dengan menggunakan

(32)

Pengujian Ketertarikan Tikus Sawah terhadap Rodentisida dan Umpan

(Choice Test)

Konsumsi Tikus Sawah terhadap Empat Formulasi Rodentisida Bromadiolon

Tikus sawah yang mempunyai habitat di lahan persawahan terdapat dalam

jumlah yang melimpah sehingga perlu dikendalikan, karena dapat menimbulkan

kerusakan pada tanaman serta kehilangan hasil terutama pada tanaman padi.

Rodentisida selama ini dianggap metode yang paling efektif dalam mengendalikan

tikus sawah. Bromadiolon sebagai salah satu golongan rodentisida telah dinilai

efektif dalam mengendalikan tikus sawah dan tersedia dalam berbagai jenis dan

bentuk, sehingga perlu diketahui bentuk dan jenis yang paling efektif dan efisien

dalam mengendalikan tikus sawah. Konsumsi tikus sawah terhadap empat

formulasi rodentisida bromadiolon dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Konsumsi tikus sawah terhadap keempat jenis formulasi bromadiolon

Rodentisida Konsumsi (g/100 g bobot tubuh)

Bromadiolon A 0.1045 aA

Bromadiolon B 0.0008 aA

Bromadiolon C 0.2997 aA

Bromadiolon D 0.1146 aA

Pr > F 0.2533

Keterangan: Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang ganda Duncan pada taraf α=5% (huruf kecil) dan α=1% (huruf besar)

Hasil pengujian pada Tabel 1 menunjukkan bahwa konsumsi tikus sawah

terhadap keempat formulasi bromadiolon tidak menunjukkan perbedaan yang

nyata (sama). Konsumsi tikus sawah terhadap Bromadiolon C paling tinggi

diantara yang lainnya yaitu sebesar 0.2997 g. Bromadiolon C paling banyak

dikonsumsi oleh tikus sawah karena rodentisida tersebut memiliki kandungan

(33)

(additives) yang dapat meningkatkan ketertarikan tikus terhadap umpan beracun

yaitu diantaranya bahan penarik (arrestant atau attractant) dan bahan pengikat

(binder) yang terkandung di dalam umpan beracun (Priyambodo 2009).

Bromadiolon B paling sedikit dikonsumsi oleh tikus sawah karena

rodentisida ini berbentuk blok sehingga kurang disukai oleh tikus sawah. Menurut

Priyambodo (2009) tikus sawah lebih menyukai pakan berbentuk serealia

dibandingkan dengan pakan berbentuk blok, sehingga ketiga jenis rodentisida

(Bromadiolon A, C, dan D) yang berbentuk serealia lebih banyak dikonsumsi oleh

tikus sawah dibandingkan dengan Bromadiolon B. Selain itu, Bromadiolon B

kurang disukai oleh tikus sawah karena desain rodentisida ini ditujukan untuk

tikus rumah. Oleh sebab itu, dilakukan pengujian lanjutan terhadap Bromadiolon

B pada tikus rumah dengan metode yang sama.

Hasil pengujian lanjutan yang dilakukan terhadap Bromadiolon B pada tikus

rumah dengan metode pilihan (choise test), diperoleh hasil konsumsi sebesar

1.7583 g. Hal ini menunjukkan bahwa Bromadiolon B disukai oleh tikus rumah

sehingga lebih efektif apabila diaplikasikan pada tikus rumah. Hal yang

menyebabkan Bromadiolon B disukai oleh tikus rumah yaitu bau yang khas (lebih

menyengat) yang dimiliki oleh Bromadiolon B. Menurut Priyambodo (2009) tikus

rumah memiliki indera penciuman yang lebih peka dibandingkan dengan tikus

sawah. Dikonsumsinya Bromadiolon B oleh tikus sawah pada pengujian ini

disebabkan oleh perilaku tikus yang ingin mencicipi umpan baru.

Konsumsi tikus sawah terhadap empat formulasi bromadiolon berdasarkan

metode pilihan (choice test) dibandingkan dengan metode tanpa pilihan

(no-choice test) menunjukkan nilai konsumsi yang berbeda untuk Bromadiolon A, C, dan D. Konsumsi tikus sawah terhadap Bromadiolon A berdasarkan metode

pilihan memiliki rerata konsumsi lebih kecil (0.1045 g) dibandingkan dengan

metode tanpa pilihan (1.0975 g) (Priyambodo 2011). Begitu pula halnya dengan

Bromadiolon C berdasarkan metode pilihan memiliki rerata konsumsi 0.2997 g

sedangkan pada metode tanpa pilihan memiliki rerata konsumsi 4.5848 g

(34)

pilihan memiliki rerata konsumsi 4.9620 g (Priyambodo 2010).

Hal ini dapat terjadi karena pada metode pilihan terdapat alternatif umpan

lain yang tidak beracun sehingga tikus mempunyai pilihan lain dalam

mengonsumsi umpan yang telah disediakan dan mencegah tikus sawah

mengonsumsi rodentisida. Sedangkan pada metode tanpa pilihan tidak disediakan

umpan lain yang tidak beracun sehingga tikus tidak mempunyai pilihan lain dalam

mengonsumsi umpan dan harus memakan umpan beracun tersebut.

Demikian pula halnya dengan konsumsi tikus sawah terhadap Bromadiolon

B berdasarkan metode pilihan (choice test) memiliki rerata konsumsi lebih kecil

(0.0008 g) dibandingkan dengan konsumsi tikus rumah berdasarkan metode tanpa

pilihan (no-choice test) pada tikus rumah (11.1376 g) (Priyambodo 2010).

Perbedaaan yang cukup tinggi ini karena desain Bromadiolon B memang

ditujukan untuk tikus rumah dan mengandung bahan-bahan tambahan yang

disukai oleh tikus rumah. Selain itu bentuk blok dari rodentisida ini juga disukai

oleh tikus rumah dan tidak disukai oleh tikus sawah karena tikus sawah lebih

menyukai pakan yang berbentuk serealia.

Apabila dihitung persentase rasio antara metode pilihan (choice test) terhadap metode tanpa pilihan (no-choice test), nilai tertinggi dimiliki oleh

Bromadiolon A (9.5216%) diikuti oleh Bromadiolon C (6.5368%), Bromadiolon

D (2.3096%), dan Bromadiolon B (0.0072%). Persentase lebih besar yang dimiliki

oleh Bromadiolon A disebabkan oleh lebih kecilnya konsumsi pada pengujian

tanpa pilihan. Apabila dibandingkan dengan jenis bromadiolon yang lainnya, jenis

ini cenderung kurang disukai meskipun dilakukan pengujian dengan metode tanpa

pilihan (no-choice test). Pada Bromadiolon B, diperoleh rasio yang sangat kecil

karena terjadi perbedaan yang lebih besar antara metode pilihan dan tanpa pilihan,

hal ini disebabkan oleh pengujian tanpa pilihan dilakukan pada tikus rumah yang

memang menyukai rodentisida jenis ini. Pada Bromadiolon C dan D yang

memiliki rasio diantara Bromadiolon A dan B, tikus sawah cenderung menyukai

kedua jenis rodentisida ini karena berdasarkan metode tanpa pilihan (no-choice

(35)

Tikus sawah yang berjumlah 10 ekor pada perlakuan Bromadiolon A

memiliki kecenderungan yang cukup tinggi dalam mengonsumsi rodentisida jenis

ini. Hal ini dapat dilihat dari hampir setiap kali pemberian selama 5 hari,

rodentisida ini dikonsumsi oleh tikus sawah. Seluruh individu mengonsumsi

rodentisida dengan jumlah yang bervariasi dan berkisar antara 0.0535-0.2078 g.

Tikus sawah yang memiliki bobot tubuh paling besar mengonsumsi rodentisida

paling banyak yaitu mencapai 0.2078 g.

Tikus sawah yang berjumlah 10 ekor pada perlakuan Bromadiolon B

cenderung tidak menyukai rodentisida jenis ini. Hanya terdapat 2 ekor tikus yang

mengonsumsi rodentisida dengan jumlah rerata konsumsi 0.0024 g dan 0.0059 g.

Individu pertama maupun kedua hanya mengonsumsi rodentisida jenis ini satu

kali dengan jumlah yang sangat sedikit. Hal ini dikarenakan tikus sawah tidak

menyukai umpan yang berbentuk blok namun lebih menyukai umpan yang

berbentuk serealia.

Tikus sawah yang berjumlah 10 ekor pada perlakuan Bromadiolon C

memiliki kecenderungan yang cukup tinggi dalam mengonsumsi rodentisida jenis

ini melebihi jenis bromadiolon yang lainnya dalam pengujian ini dan tikus sawah

cenderung menyukainya. Semua tikus mengonsumsi rodentisida dengan jumlah

yang bervariasi dan berkisar antara 0.0188-2.0083 g. Hampir setiap kali

pemberian, rodentisida ini dikonsumsi dengan jumlah yang cukup banyak setiap

harinya. Selain itu, tingginya nilai konsumsi disebabkan terdapat 2 individu tikus

sawah yang mengonsumsi cukup banyak. Bromadiolon C paling banyak

dikonsumsi dan lebih disukai oleh tikus sawah karena bentuknya yang berupa

serealia serta memiliki kandungan bahan tambahan yang disukai.

Tikus sawah yang berjumlah 10 ekor pada perlakuan Bromadiolon D

memiliki kecenderungan yang cukup tinggi dalam mengonsumsi rodentisida,

namun terdapat satu ekor tikus yang tidak mengonsumsi rodentisida jenis ini. Hal

ini disebabkan oleh perilaku individu tikus sawah yang memiliki kecurigaan

terhadap umpan baru akibat perilaku jera umpan. Konsumsi tikus sawah terhadap

(36)

kecenderungan dalam mengonsumsi rodentisida satu dan yang lainnya namun

konsistensi dari setiap individu sangat bervariasi tergantung dari jenis racun yang

disediakan dan keadaan individu tikus itu sendiri. Konsistensi setiap individu

tikus sawah dalam mengonsumsi rodentisida dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Konsumsi setiap individu tikus sawah terhadap rodentisida

Semua individu tikus sawah memiliki konsistensi yang hampir sama

dalam mengonsumsi rodentisida Bromadiolon A, B, C, dan D seperti yang terlihat

pada Gambar 7, namun terdapat 2 individu pada perlakuan Bromadiolon C yang

mengonsumsi rodentisida dalam jumlah yang cukup banyak. Hal ini menyebabkan

nilai konsumsi rerata rodentisida Bromadiolon C menjadi besar.

Konsumsi rodentisida dengan jumlah yang sangat sedikit disebabkan oleh

perilaku tikus yang ingin mencicipi umpan baru namun selanjutnya akan

mengalami penurunan jumlah konsumsi akibat jera umpan. Tikus yang telah

mengonsumsi rodentisida antikoagulan bromadiolon dalam jumlah yang cukup

akan mengalami penurunan aktivitas, hewan menjadi lemas, dan pergerakannya

(37)

Pengujian berdasarkan metode pilihan (choice-test) akan memberikan

alternatif pada tikus sawah dalam mengonsumsi umpan (beracun atau tidak

beracun). Hasil pengujian rodentisida vs umpan dapat dilihat pada Tabel 2.

Dengan naluri dasar yang dimiliki, tikus dapat membedakan umpan yang beracun

dan tidak beracun sehingga dapat dipastikan bahwa umpan tidak beracun yang

akan lebih banyak dikonsumsi oleh tikus sawah.

Tabel 2 Konsumsi tikus sawah terhadap kedua jenis umpan dan rodentisida

Jenis umpan dan

rodentisida

Konsumsi (g/100 g bobot tubuh)

Bromadiolon

Keterangan: Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang ganda Duncan pada taraf α=5% (huruf kecil) dan α=1% (huruf besar)

Hasil pengujian pada Tabel 2 menunjukkan bahwa rerata konsumsi gabah

memiliki nilai paling tinggi karena gabah merupakan pakan utama yang disukai

oleh tikus sawah. Komposisi pakan yang dikonsumsi tergantung pada kondisi

lingkungan dan pertanaman padi. Meskipun tikus tergolong dalam hewan

omnivora dan di dalam saluran pencernaan tikus sawah ditemukan endosperm

padi, bagian pangkal batang padi, serpihan rumput, bagian tanaman dikotil, dan

potongan bagian tubuh arthropoda, namun makanan pokok yang lebih disukai

adalah padi (Anggara 2008). Beras kurang disukai oleh tikus sawah karena bagian

kulit luarnya yang keras sudah dibuang dan tikus perlu mengerat untuk

mengurangi pertumbuhan gigi serinya, sehingga tikus sawah cenderung lebih

menyukai gabah.

Rerata konsumsi tikus sawah terhadap rodentisida sangat rendah karena

(38)

mencegah tikus sawah dalam mengonsumsi rodentisida. Rodentisida dikonsumsi

oleh tikus sawah walaupun dalam jumlah yang sedikit, karena perilaku tikus

sawah yang memiliki keinginan untuk mencicipi umpan baru. Menurut Rochman

et al. (2005) tikus memiliki indera perasa yang sangat peka dan mampu merasakan senyawa phenilthiocarbamide (berasa pahit) dalam konsentrasi yang

sangat rendah yaitu 3 ppm. Dengan kemampuan tersebut, tikus mampu memilah

makanan yang aman dan menolak makanan yang beracun.

Persentase konsumsi rodentisida dan umpan lain (gabah, beras)

dibandingkan dengan persentase konsumsi total dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Proporsi konsumsi rodentisida, gabah, dan beras terhadap konsumsi total pada keempat jenis bromadiolon

Apabila dilihat persentase konsumsi rodentisida terhadap konsumsi total

(Gambar 8), Bromadiolon C memiliki persentase paling tinggi (4.30%) diikuti

Bromadiolon D (2.01%), Bromadiolon A (1.94%), dan Bromadiolon B (0.01%).

Rentang konsumsi rodentisida yang berkisar antara 0.01-4.30% ini tergolong

(39)

total juga akan semakin tinggi. Konsumsi Bromadiolon B hampir tidak terlihat

pada diagram karena konsumsi rodentisida ini sangat kecil dan hanya beberapa

individu saja yang mengonsumsi rodentisida jenis ini, sedangkan konsumsi

rodentisida terhadap konsumsi total oleh tikus rumah sebesar 24.15%.

Bobot Tubuh dan Kematian Tikus Sawah

Bobot tubuh awal tikus sawah diperoleh dari penimbangan sebelum

diberikan perlakuan dan bobot tubuh akhir tikus sawah diperoleh dari

penimbangan setelah dilakukan lima hari perlakuan. Bobot tubuh tikus sawah

secara umum akan mengalami penurunan setelah diberikan perlakuan dengan

rodentisida. Perubahan bobot tubuh dan kematian tikus sawah dapat dilihat pada

Tabel 3.

Tabel 3 Bobot tubuh dan kematian tikus sawah saat perlakuan

Perlakuan

Bobot tubuh (g)

Kematian Awal Akhir Rerata Perubahan

bobot

Bromadiolon A 96.680 90.925 93.803 -5.755 4

Bromadiolon B 79.564 79.081 79.323 -0.483 0

Bromadiolon C 78.374 76.828 77.601 -1.546 2

Bromadiolon D 77.796 75.090 76.443 -2.706 1

Bobot tubuh tikus sawah mengalami penurunan setelah perlakuan dengan

rerata penurunan bobot tubuh berkisar antara 0.483 g sampai 5.755 g (Tabel 3).

Penurunan bobot tubuh paling tinggi terjadi pada perlakuan Bromadiolon A

diikuti oleh Bromadiolon D, Bromadiolon C, dan Bromadiolon B. Penurunan

bobot tubuh yang terjadi disebabkan oleh telah bekerjanya rodentisida

antikoagulan yang termakan oleh tikus sawah, sehingga terjadi gangguan

fisiologis dan menimbulkan pengaruh terhadap penurunan bobot tubuh tikus

sawah.

Konsumsi tikus sawah terhadap rodentisida ada yang menyebabkan

(40)

sedangkan tikus yang tetap hidup mengonsumsi rodentisida pada dosis yang tidak

mematikan (sub lethal dose). Selain itu, kematian dapat terjadi karena tikus sawah

mengalami penurunan kondisi fisiologis, sedangkan tikus sawah yang tidak mati

memiliki kemampuan bertahan hidup (survival) yang tinggi.

Kematian paling banyak terjadi pada perlakuan Bromadiolon A yaitu

sebanyak 4 ekor tikus sawah dari jumlah keseluruhan sebanyak 10 ekor. Hal ini

disebabkan oleh lebih sedikitnya gabah dan beras yang dikonsumsi. Pada

perlakuan ini, konsumsi gabah dan beras adalah yang terkecil yaitu

masing-masing sebesar 5.0007 g dan 0.2876 g (Tabel 2), sehingga bobot tikus sawah

mengalami penurunan yang tertinggi yaitu sebesar 5.755 g. Tikus sawah yang

mati mengalami keracunan yang kronis dalam tubuhnya, sehingga mempengaruhi

konsumsi gabah dan beras, yang pada akhirnya menyebabkan penurunan bobot

tubuh. Selanjutnya, pada perlakuan Bromadiolon C terdapat 2 ekor tikus yang

mati dengan rerata penurunan bobot tubuh sebesar 1.546 g.

Angka kematian terkecil terjadi pada perlakuan Bromadiolon B (kematian

0), dimana penurunan bobot tubuh tikus sawah yaitu 0.483 g. Penurunan bobot

yang terkecil disebabkan oleh lebih sedikitnya rodentisida yang dikonsumsi

(0.0008 g) sehingga tidak menimbulkan pengaruh yang berarti dan tidak

menyebabkan kematian pada tikus sawah. Pada Bromadiolon D tikus yang mati

berjumlah 1 ekor dengan konsumsi rodentisida sebesar 0.1146 g (Tabel 2).

Konsumsi rodentisida yang sedikit kurang mempengaruhi proses fisiologis dalam

tubuh tikus, sehingga tikus tetap hidup meskipun terjadi penurunan bobot.

Tikus yang mati mengonsumsi rodentisida dengan jumlah yang lebih

banyak dibandingkan yang lainnya. Terdapat juga tikus yang mati dengan hanya

memakan sedikit rodentisida. Kondisi ini menyebabkan data yang diperoleh tidak

seragam sehingga dapat dikatakan tidak ada korelasi positif antara konsumsi

rodentisida dan kematian tikus sawah. Hal ini disebabkan adanya perbedaan faktor

psikologis dan fisiologis yang besar dari setiap individu tikus sawah baik dari sisi

genetis maupun non-genetis berupa cekaman. Tikus yang mati akibat sedikit

(41)

cekaman, dan pada akhirnya menimbulkan kematian pada tikus.

Konsumsi Racun dan Lama Kematian dari Setiap Individu

Masing-masing individu mengonsumsi rodentisida dengan jumlah yang

berbeda sehingga dosis letal (lethal dose) dari konsentrasi Bromadiolon yang

termakan dan lama kematian juga berbeda. Tikus yang telah mengonsumsi

rodentisida antikoagulan dengan dosis yang mematikan biasanya akan mengalami

kematian 2-14 hari setelah proses peracunan (Surtikanti 2007).

Pada perlakuan Bromadiolon A terdapat 4 ekor tikus yang mengalami

kematian. Dosis letal dan lama kematian untuk masing-masing individu yaitu

individu ke-2 (betina) dosis letal 0.330 mg/kg dengan lama kematian 12 hari

setelah perlakuan (saat gabah pasca perlakuan), individu ke-3 (jantan) dosis letal

0.520 mg/kg dengan lama kematian 5 hari setelah perlakuan (saat perlakuan),

individu ke-5 (jantan) dosis letal 0.082 mg/kg dengan lama kematian 4 hari

setelah perlakuan (saat perlakuan), dan individu ke-8 (betina) dosis letal 0.112

mg/kg dengan lama kematian 5 hari setelah perlakuan.

Pada perlakuan Bromadiolon C terdapat 2 ekor tikus yang mengalami

kematian dengan dosis letal dan lama kematian masing-masing individu yaitu

individu ke-5 (betina) dosis letal 0.892 mg/kg dengan lama kematian 11 hari

setelah perlakuan (saat gabah pasca perlakuan) dan individu ke-10 (betina) dosis

letal 0.329 mg/kg dengan lama kematian 9 hari setelah perlakuan (saat gabah

pasca perlakuan).

Pada perlakuan Bromadiolon D hanya 1 ekor tikus sawah (jantan) yang

mengalami kematian yaitu individu ke-2 dengan dosis letal sebesar 0.194 mg/kg

dengan lama kematian 5 hari setelah perlakuan (saat perlakuan).

Antara tikus sawah jantan dan betina tidak terdapat perbedaan dalam hal

kematian dan resistensi karena diperoleh data yang seimbang. Selain itu, dapat

dikatakan bahwa tidak ada korelasi antara konsumsi racun (mg/kg bobot tubuh)

dan lama kematian pada individu tikus sawah tersebut. Dosis letal dari tikus

sawah yang mati pada perlakuan Bromadiolon C dan D merupakan akumulasi dari

(42)

pada Rattus norvegicus, maka konsentrasi bromadiolon (A, C, dan D) yang termakan oleh tikus sawah tersebut tidak cukup untuk dapat menyebabkan

kematian. Hal ini tidak sesuai karena pada umumnya tikus sawah yang liar

mempunyai resistensi yang lebih tinggi terhadap racun dibandingkan dengan tikus

peliharaan di dalam laboratorium, karena tikus sawah diduga telah mengalami

resistensi akibat pemberian rodentisida terus-menerus saat berada di lapang.

Namun resistensi tersebut tergantung sejauh mana tikus sawah terkena paparan

rodentisida saat berada di lapang.

Resistensi pada tikus dapat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu fisiologis

(physiological factor) dan perilaku (behavioral factor). Faktor fisiologis yang

dapat menyebabkan resistensi yaitu telah terjadinya kekebalan pada tubuh tikus

terhadap rodentisida akibat adanya mutasi protein dalam tubuh tikus, namun

resistensi tersebut dapat terjadi pada kurun waktu yang cukup lama. Adapun

faktor perilaku yang dapat menyebabkan resistensi yaitu perilaku jera umpan

(bait-shyness) dan jera racun (poison-shyness) akibat pemberian rodentisida

secara terus-menerus.

Kematian yang terjadi sebagian besar disebabkan oleh akumulasi kondisi

psikologis dan rodentisida yang termakan sehingga kemudian dapat berpengaruh

terhadap penurunan kondisi fisiologis (seperti rambut tikus yang mengalami

kerontokan, urin yang dikeluarkan lebih banyak, serta gangguan metabolisme

lainnya) sehingga pada akhirnya akan menimbulkan kematian pada tikus. Menurut

Tarumingkeng (1992), terdapat faktor-faktor eksternal yang tidak dapat

dikendalikan dan dapat mempengaruhi ketidaksesuaian hasil eksperimen dengan

hipotesa yang ada. Faktor-faktor tersebut antara lain rotasi makan (waktu atau

periode makan) yang menyebabkan terjadinya perubahan yang berbeda dalam hal

toksisitas kematian tikus, resistensi tikus percobaan yaitu adanya perbedaan strain

yang dapat menyebabkan resistensi pada tikus percobaan, dan fisik (metabolisme)

tikus yaitu proses dalam tubuh tikus yang dapat menyebabkan resistensi.

Gejala yang terlihat pada individu tikus sawah yang mengalami keracunan

setelah mengonsumsi rodentisida antikoagulan pada umumnya sama yaitu terjadi

(43)

terdapat pula tikus yang tidak menunjukkan gejala pendarahan dibagian luar

tubuhnya. Hal ini disebabkan seberapa banyak rodentisida yang termakan dan

seberapa parah proses pendarahan yang terjadi dalam tubuh tikus. Hal ini sesuai

dengan sifat rodentisida antikoagulan yang dapat menghambat pembentukan

protrombin dan menyebabkan kerapuhan kapiler darah sehingga terjadi

pendarahan (Chandra 2005). Rodentisida ini membuat darah menjadi berkurang

kekentalannya dan semakin lama semakin encer sehingga pada akhirnya tikus

akan mati karena pendarahan didalam tubuhnya (Syamsuddin 2007).

Perbedaan Konsumsi antara Tikus Sawah Jantan dan Betina

Tikus sawah jantan dan betina seringkali memiliki perilaku yang berbeda

sehingga dapat berpengaruh terhadap umpan yang dikonsumsi. Perbedaan

konsumsi antara tikus sawah jantan dan betina dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Perbedaan konsumsi antara tikus sawah jantan dan betina

Keterangan: Angka pada baris dalam perlakuan yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang ganda Duncan pada taraf α=5% (huruf kecil) dan α=1% (huruf besar)

Hasil pengujian pada Tabel 4 menunjukkan bahwa antara tikus sawah jantan

dan betina pada perlakuan Bromadiolon A tidak terdapat perbedaan nyata dalam

hal mengonsumsi gabah, beras, dan rodentisida, dimana tikus sawah betina lebih

banyak mengonsumsi umpan gabah dibandingkan tikus sawah jantan. Sementara

itu tikus sawah jantan yang lebih banyak mengonsumsi beras dan rodentisida. Jenis

umpan

Bromadiolon A Bromadiolon B Bromadiolon C Bromadiolon D

Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina

(44)

banyak mengonsumsi gabah dan rodentisida dibandingkan dengan tikus sawah

jantan, namun lebih sedikit mengonsumsi beras. Pada perlakuan Bromadiolon C

dan D, tikus sawah jantan lebih banyak mengonsumsi ketiga jenis umpan

dibandingkan dengan tikus sawah betina.

Berdasarkan hasil yang telah diperoleh tersebut, maka dapat dikatakan

antara tikus sawah jantan dan betina tidak terdapat perbedaan dalam mengonsumsi

gabah, beras, dan rodentisida. Terjadinya variasi konsumsi dalam hal jenis

kelamin lebih cenderung karena aktivitas yang berbeda yang dilakukan oleh tikus

sawah dan sejauh mana adaptasi tikus dalam kandang percobaan terhadap ketiga

jenis umpan yang disediakan.

Konsumsi Tikus Sawah terhadap Gabah Saat Perlakuan dan Pasca Perlakuan

Tikus sawah yang telah diberikan perlakuan rodentisida dan umpan selama

5 hari turut kemudian diberikan umpan gabah selama 3 hari

berturut-turut. Pemberian umpan gabah pasca perlakuan bertujuan untuk mengondisikan

atau mengadaptasikan kembali tikus sawah untuk diberi perlakuan berikutnya.

Konsumsi tikus sawah terhadap gabah saat perlakuan dan pasca perlakuan dapat

dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Konsumsi tikus sawah terhadap gabah saat perlakuan dan pasca perlakuan

Jenis perlakuan

Konsumsi (g/100 g bobot tubuh)

Gabah saat

(45)

terhadap gabah saat perlakuan dan pasca perlakuan tidak menunjukkan perbedaan

yang nyata. Konsumsi tikus sawah terhadap gabah pasca perlakuan ada yang

mengalami peningkatan dan ada yang mengalami penurunan. Konsumsi tikus

sawah terhadap gabah pasca perlakuan yang mengalami penurunan menunjukkan

pengaruh dari proses peracunan di dalam tubuh tikus sawah, sehingga dapat

menurunkan konsumsi terhadap gabah. Peningkatan konsumsi gabah setelah

perlakuan menunjukkan bahwa tikus tidak mengalami keracunan (kondisi fisik

masih sehat), sehingga memiliki potensi pemenuhan kebutuhan pakan setiap

harinya kurang lebih 10-15% dari bobot tubuhnya jika pakan tersebut berupa

pakan kering (Anggara et al. 2008; Rochman et al. 2005).

Peningkatan konsumsi gabah pasca perlakuan pada tikus sawah terjadi pada

perlakuan Bromadiolon B (0.0793 g) dan D (0.7099 g). Hal ini dikarenakan

konsumsi tikus sawah terhadap rodentisida lebih sedikit sehingga kondisi tubuh

tikus relatif masih sehat (tidak mengalami keracunan) dan memerlukan kebutuhan

pakan yang tinggi. Selain itu, pada perlakuan Bromadiolon D tikus sawah sudah

menjadi lebih resisten. Pada dua perlakuan yang lain terjadi penurunan konsumsi

gabah pasca perlakuan yaitu pada Bromadiolon A (0.9756 g) dan C (0.2763)

akibat konsumsi rodentisida yang lebih banyak.

Bobot Tubuh Tikus Sawah Pasca Perlakuan

Pemberian gabah pasca perlakuan dapat mempengaruhi peningkatan atau

penurunan bobot tubuh pada tikus sawah. Apabila kondisi tikus setelah diberi

perlakuan masih cukup baik, maka konsumsi terhadap gabah pasca perlakuan

akan meningkat atau normal namun bobot tubuh tikus dapat meningkat atau

menurun. Pada umumnya setelah diberi perlakuan rodentisida, bobot tubuh tikus

akan terus menurun. Bobot tubuh tikus sawah pasca perlakuan dapat dilihat pada

(46)

Perlakuan

Bobot tubuh (g)

Awal Akhir Rerata Perubahan bobot

Bromadiolon A 88.790 83.191 85.991 -5.599

Bromadiolon B 79.081 78.388 78.735 -0.693

Bromadiolon C 76.828 74.761 75.795 -2.067

Bromadiolon D 75.767 76.449 76.108 +0.682

Bobot tubuh tikus sawah secara umum mengalami penurunan pada

perlakuan Bromadiolon A, B, dan C, namun mengalami peningkatan pada

perlakuan Bromadiolon D seperti yang terlihat pada Tabel 6. Penurunan bobot

tubuh terbesar setelah konsumsi gabah pasca perlakuan terjadi pada perlakuan

Bromadiolon A (5.599 g) diikuti Bromadiolon C (2.067 g). Hal ini disebabkan

oleh konsumsi tikus sawah terhadap Bromadiolon A dan C juga mengalami

penurunan. Penurunan bobot tubuh juga terjadi pada perlakuan Bromadiolon B,

tetapi sangat kecil yaitu 0.693 g. Sebaliknya pada perlakuan Bromadiolon D

terjadi peningkatan bobot tubuh setelah pemberian gabah pasca perlakuan yaitu

0.682 g. Hal ini sejalan dengan konsumsi terhadap gabah pasca perlakuan yang

juga mengalami peningkatan.

(47)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Tikus sawah (Rattus argentiventer Rob. & Klo) lebih menyukai umpan

gabah dibandingkan beras dan rodentisida. Hal ini disebabkan gabah merupakan

pakan dasar dari tikus sawah sesuai dengan habitatnya yaitu lahan persawahan,

dimana selalu tersedia bulir padi. Dari keempat jenis formulasi rodentisida

bromadiolon yang diberikan, Bromadiolon A, C, dan D lebih disukai oleh tikus

sawah dibandingkan dengan Bromadiolon B. Hal ini karena tikus sawah lebih

menyukai umpan yang berbentuk serealia dibandingkan yang berbentuk blok.

Rodentisida Bromadiolon C yang paling banyak dikonsumsi oleh tikus sawah dan

Bromadiolon B yang paling sedikit dikonsumsi oleh tikus sawah. Kematian paling

tinggi terjadi pada perlakuan Bromadiolon A yang disertai penurunan bobot tubuh

lebih besar dibandingkan perlakuan yang lainnya, namun rodentisida yang lebih

efektif dalam mengendalikan tikus sawah di lapang yaitu Bromadiolon C karena

lebih banyak dikonsumsi dan dapat menyebabkan kematian.

Saran

Rodentisida berbahan aktif bromadiolon (0.005%) perlu diujikan terhadap

spesies tikus yang lain untuk mengetahui tingkat palatabilitas tikus yang berbeda

terhadap bromadiolon. Selain itu, perlu dilakukan pengujian rodentisida

bromadiolon dengan menggunakan umpan tambahan yang lain, misalnya

kacang-kacangan dan umbi-umbian atau pakan yang mengandung protein tinggi.

Penambahan bahan penyedap ke dalam umpan juga akan menimbulkan

ketertarikan pada tikus khususnya pada bahan aktif yang berbentuk tepung

(48)

DAFTAR PUSTAKA

Anggara AW, Sudarmadji. 2008. Modul G-2: Pengendalian Hama Tikus Terpadu (PHTT), Pelatihan TOT SL-PTT Padi Nasional. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Dasa Prima.

BB Padi. 2009. Tikus sawah (Rattus argentiventer Rob. & Klo.). BB Padi.

(http://bbpadi.litbang.deptan.go.id/index.php/in/hama-padi/227--tikus-sawah-rattus-argentiventer-rob-a-kloss-) [18 Desember 2011].

Bennett SM. 2002. Bromadiolone. Piedpiper: http://www.the-piedpiper.co.uk/th15 (b). htm [20 Januari 2012].

Boeadi. 1979. Morfologi tikus. Prosiding Lokakarya Pengendalian Hama Tikus. Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. Jakarta.

Brooks, J.E. and F.P. Rowe. 1979. Commercial Rodent Control. Monograph WHO/VBC 79.726. 109 hal.

Brown et al. 2003. Movement of the rice field rat, Rattus argentiventer, near a trap barrier system in race crop in West Java, Indonesia. International Journal of Pest Management, 49 (2): 123-129.

Buckle AP. 1994. Rodent control methods: chemical. Di dalam: Buckle AP. editor. Rodent Pest and Their Control. New York: CAB International. Hlm 127.

Buckle AP, Smith RH. 1996. Rodent Pest and Their Control. Cambrige UK: University Press.

Chandra B. 2005. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Dickman CR. 1988. Rodent-ecosystem relationship a review. Ecologically-Based Rodent Management 40: 113-126.

Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. 2006. Laporan tahunan luas dan intensitas serangan hama utama tanaman padi di indonesia. Ditlin Tanaman Pangan. Jakarta.

Fall MV. 1977. Rodent in tropical rice. Rodent research center university of the Philippines at Los Banos college, Laguna.

Gambar

Gambar 1  Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman,
Gambar 2  Tikus sawah (R. argentiventer)
Gambar 4  Rodentisida kronis bromadiolon: (A) Bromadiolon A 0.005%,
Gambar 5  Kandang percobaan
+7

Referensi

Dokumen terkait

N0 Nama Peneliti Judul Penelitian PRODI FAKULTAS SKIM Usulan Dana Keterangan..

Penelitian lain yang telah dilakukan oleh Fauzi dan Anggorowati tahun 2013 yang melibatkan sebanyak 36 pasien DM di paguyuban diabetes mellitus Ngudi Laras Purbalingga

Signifikasi Bahasa Inggris dalam Proses Belajar-Mengajar Gamelan Gong Kebyar bagi Mahasiswa Asing dalam Upaya ISI Denpasar Go Internasional. Seni Karawitan FSP HIBAH

Disarankan jika salinitas air formasi cenderung tinggi maka jangan pilih polimer dengan konsentrasi lebih tinggi karena hal ini dapat menyebabkan pore clogging sehingga

1 I Ketut Garwa, SSn.,MSn Perbaikan Proses Produksi Dan Fumigasi Dalam Meningkatkan Kualitas Ekspor Gamelan Bali Ke luar Negeri Seni Karawitan FSP STRATEGIS NAS.

Hasil analisa dan perhitungan dari keempat jenis model PSC diatas maka dapat dilihat bahwa indikator keekonomian dari PSC Sliding Scale dan Gross PSC tidak begitu

Ips, XI Ipa, Ips, dan XII Ipa, Ips karena seluruh siswa siswi MA Hasyim Asy‟ari menerima pelajaran Aswaja. Wawasan yang dimaksud adalah Pengetahuan siswa-siswi di

Dengan mempertimbangkan berbagai keberhasilan dalam pelaksanaan pembangunan di tahun-tahun sebelumnya, maka peranan tahunan Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Kabupaten