PUTRI SETYA UTAMI
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
PUTRI SETYA UTAMI. Pengujian Antikoagulan Bromadiolon pada Tikus Sawah (Rattus argentiventer Rob. & Klo.). Dibimbing oleh SWASTIKO PRIYAMBODO.
Pengujian umpan beracun bersifat kronis (antikoagulan) berbahan aktif bromadiolon terhadap tikus sawah (Rattus argentiventer Rob. & Klo.) dilaksanakan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Tikus sawah dikenal sebagai hewan pengganggu karena merupakan hama utama pada tanaman padi dan hampir selalu menyebabkan kehilangan hasil di beberapa daerah sentra produksi padi di Indonesia, serta dapat menularkan penyakit pada manusia. Oleh karena itu, diperlukan usaha pengendalian yang optimal untuk menjaga populasi hama ini di bawah ambang ekonomi. Pengendalian secara kimiawi menggunakan rodentisida selama ini dianggap merupakan metode paling efektif dan dalam aplikasinya di lapangan biasanya hanya diberikan satu pilihan umpan beracun tanpa adanya umpan lain, namun pada kenyataannya pasti terdapat umpan lain. Pengujian rodentisida antikoagulan bromadiolon terhadap tikus sawah dilakukan dengan metode pilihan dan terdapat empat jenis formulasi bromadiolon yang digunakan. Dalam pengujian ini, tikus diberikan tiga jenis pilihan umpan (rodentisida, gabah, dan beras). Tikus sawah lebih menyukai gabah yang merupakan pakan dasarnya. Rodentisida Bromadiolon A, C, dan D yang berbentuk serealia lebih disukai oleh tikus sawah dibandingkan dengan Bromadiolon B yang berbentuk blok. Namun rodentisida yang paling banyak dikonsumsi yaitu Bromadiolon C (0.2997 g), sedangkan Bromadiolon B paling sedikit dikonsumsi (0.0008 g). Kematian paling tinggi terjadi pada perlakuan Bromadiolon A yang disertai penurunan bobot tubuh terbesar, namun rodentisida yang lebih efektif dalam mengendalikan tikus sawah di lapang yaitu Bromadiolon C.
PUTRI SETYA UTAMI. Trial of Anticoagulant Bromadiolone Rice Field Rat (Rattus argentiventer Rob. & Klo.). Supervised by SWASTIKO PRIYAMBODO.
Trial of the chronical poisonous bait (anticoagulant) based on bromadiolone to rice field rat (Rattus argentiventer Rob. & Klo.) carried out at the laboratory of Vertebrate Pests, Plant Protection Department, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University. Rice field rats known as a destroyer animal because it is a major pest in rice crop and always causes loss of product in some areas at the centre of the rice production in Indonesia, and can transmit disease to human. Therefore, it required the control efforts to maintain the population bellow the economic level. Chemical control using rodenticide is considered to be the most effective method and its application in the field is normally given only one choice of bait in the absence of other toxic bait, however in fact there are other feed. Trial the rodenticide anticoagulants (bromadiolone) to rice field rat conducted with choice-test method. There are four types of bromadiolone formulations used. In this trial, the rat was given three kinds of feed options (rodenticide, grains, and rice). Rice field rats preferred grain is a basic feed. The shape of Bromadiolone A, C, and D is cereal, and it is preferred by rice field rat compared to Bromadiolone B in the form of blocks. Rats consumed Bromadiolone C (0.2997 g) more than others, whereas the Bromadiolone B is the least amount of consumption (0.0008 g). Most deaths occurred on the Bromadiolone A that accompanied the greatest decrease in body weight, however Bromadiolone C is the most effective rodenticide in controlling rice field rats.
PUTRI SETYA UTAMI
A34080021
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada
Departemen Proteksi Tanaman
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
NRP : A34080021
Disetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Swastiko Priyambodo, M.Si NIP 19630226 198703 1 001
Diketahui,
Ketua Departemen Proteksi Tanaman
Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si NIP 19650621 198910 2 001
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 4 Mei 1990 dari pasangan Bapak Drs. H. Subadri, MM dan Ibu Hj. Lilis Muflihah, S.Pd. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.
Penulis memulai studinya di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Pegadungan 11 Pagi, Jakarta Barat dan lulus pada tahun 2002. Setelah itu penulis melanjutkan studi ke Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 169 Jakarta Barat dan lulus pada tahun 2005. Selanjutnya, penulis melanjutkan studi ke Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 33 Jakarta Barat dan lulus pada tahun 2008. Pada tahun yang sama dengan kelulusan SMA, penulis diterima di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Pengujian Antikoagulan Bromadiolon pada Tikus Sawah (Rattus argentiventer Rob. & Klo.)”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Pertanian, pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini dengan penuh hormat, cinta, kasih, dan sayang penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Ibunda dan ayahanda yang selalu memberikan doa, kasih sayang, perhatian, semangat, dukungan moril, lahir batin yang tiada hentinya, serta menjadi panutan dan motivator bagi penulis agar senantiasa selalu menjadi yang terbaik dan berguna bagi orang lain.
2. Kakak dan adik yang selalu menyayangi dan memberikan semangat kepada penulis untuk terus memberikan yang terbaik.
3. Dr. Ir. Swastiko Priyambodo, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah mencurahkan waktu, perhatian, semangat, bimbingan, arahan, masukan, dan nasehat selama menjadi dosen pembimbing hingga penyelesaian skripsi ini. 4. Dr. Ir. Tri Asmira Damayanti, M.Agr selaku dosen penguji tamu yang telah
memberikan masukan dan saran untuk perbaikan skripsi ini.
5. Dr. Ir. Teguh Santoso, DEA selaku dosen pembimbing akademik yang telah berperan besar di awal masa kuliah.
6. Seluruh staf pengajar di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor atas ilmu yang telah diberikan selama penulis menuntut ilmu di IPB.
7. Bapak Ahmad Soban atas bantuannya selama penelitian sampai akhir penelitian, serta staf dan administrasi Departemen Proteksi Tanaman.
8. Galih Pamungkas yang selalu memberikan semangat, doa, dukungan, dan setia membantu dalam penelitian hingga penyusunan skripsi.
9. Rekan-rekan mahasiswa IPB khususnya Ushwanuuri RL, Priyanti Widya N, Hamdayanti, M. Karami, Agus Wahid S, Novra E, Sherly Vonia I, Ni Nengah, Yuke A, Minkhaya SP, Rizki Nazarreta, Rosi Rosidah J, dan seluruh PTN ’45 atas semangat, doa, bantuan, kritik dan saran, serta dukungannya selama ini.
10. Teman-teman B21, VSCAL, dan Savant atas semangat, doa, dan dukungan yang diberikan kepada penulis.
11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis sadar bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna dan masih membutuhkan saran serta kritik. Namun, penulis berharap agar tulisan ini dapat memberikan manfaat dalam rangka pembelajaran bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.
Bogor, Februari 2012
Konsumsi Tikus Sawah terhadap Empat Formulasi
Rodentisida Bromadiolon ... 18
Kecenderungan Konsumsi Tikus Sawah terhadap Rodentisida .. 21
Pengujian Rodentisida vs Umpan ... 23
Bobot Tubuh dan Kematian Tikus Sawah ... 25
Konsumsi Racun dan Lama Kematian dari Setiap Individu ... 27
Perbedaan Konsumsi antara Tikus Sawah Jantan dan Betina ... 29
Konsumsi Tikus Sawah terhadap Gabah Saat Perlakuan dan Pasca Perlakuan ... 30
Bobot Tubuh Tikus Sawah Pasca Perlakuan ... 31
KESIMPULAN DAN SARAN ... 33
Kesimpulan ... 33
Saran ... 33
DAFTAR PUSTAKA ... 34
LAMPIRAN ... 37
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Konsumsi tikus sawah terhadap keempat jenis formulasi bromadiolon .... 18
2 Konsumsi tikus sawah terhadap kedua jenis umpan dan rodentisida ... 23
3 Bobot tubuh dan kematian tikus sawah saat perlakuan ... 25
4 Perbedaan konsumsi antara tikus sawah jantan dan betina ... 29
5 Konsumsi tikus sawah terhadap gabah saat perlakuan dan pasca
perlakuan ... 30
6 Bobot tubuh tikus sawah pada gabah pasca perlakuan ... 32
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor ... 11
2 Tikus sawah (R. argentiventer) ... 12
3 Umpan: (A) Beras dan (B) gabah... 12
4 Rodentisida kronis bromadiolon: (A) Bromadiolon A 0.005%, (B) Bromadiolon B 0.005%, (C) Bromadiolon C 0.005%, (D) Bromadiolon D 0.25% ... 13
5 Kandang percobaan ... 14
6 Timbangan elektronik (electronic top-loading balance for animal)... 14
7 Konsumsi setiap individu tikus sawah terhadap rodentisida ... 22
8 Proporsi konsumsi rodentisida, gabah, dan beras terhadap konsumsi total pada keempat jenis bromadiolon ... 24
18 Analisis sidik ragam konsumsi tikus sawah terhadap gabah saat perlakuan dan pasca perlakuan Bromadiolon A ... 40
19 Analisis sidik ragam konsumsi tikus sawah terhadap gabah saat perlakuan dan pasca perlakuan Bromadiolon B ... 41
20 Analisis sidik ragam konsumsi tikus sawah terhadap gabah saat perlakuan dan pasca perlakuan Bromadiolon C ... 41
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tikus (Ordo Rodentia) merupakan hewan liar dari golongan mamalia dan
dikenal sebagai hewan pengganggu dalam kehidupan manusia. Hewan pengerat
dan pemakan segala jenis makanan (omnivora) ini sering menimbulkan kerusakan
dan kerugian dalam kehidupan manusia antara lain dalam bidang pertanian,
perkebunan, permukiman dan kesehatan. Tikus sudah mampu beradaptasi dengan
baik serta menggantungkan dirinya pada kehidupan manusia dalam hal pakan dan
tempat tinggal. Selain itu, tikus dapat membahayakan manusia karena mampu
menularkan penyakit pada manusia. Kelompok hewan ini dapat menjadi vektor
beberapa penyakit zoonosis antara lain Yersiniosis, Leptospirosis, dan
Salmonellosis. Sedangkan patogen yang dapat ditularkan kepada manusia yaitu Lymphochytis choriomeningitis, Entamoeba histolytica, dan Giardia muris (Meehan 1984). Berdasarkan hal tersebut tikus sering dipandang oleh manusia
sebagai hewan yang memiliki efek negatif dalam ekosistem alam (Dickman
1988). Namun menurut Priyambodo (2009), hewan ini dapat memberikan
keuntungan bagi manusia terutama dalam bidang pengetahuan, yaitu dapat
digunakan sebagai hewan percobaan di Laboratorium. Sebagai contoh,
penggunaan tikus putih (Rattus norvegicus Strain Albino) dan mencit putih (Mus
musculus Strain Albino) di Laboratorium untuk pengujian obat sebelum diaplikasikan pada manusia.
Perkembangan hama tikus dapat berlangsung sangat cepat apabila kondisi
ketersediaan makanan mencukupi, kurangnya usaha pengendalian yang dilakukan
oleh petani serta sedikitnya musuh alami tikus yang terdapat di alam, sehingga
kondisi ini melampaui batas ambang ekonomi dan merugikan petani. Ada 29
spesies tikus yang menjadi hama penting di Asia Tenggara yang dapat
menyebabkan kehilangan ekonomi dan menularkan penyakit pada manusia
(Hoque et al. 1988). Beberapa spesies tikus tersebut yang terdapat di Indonesia antara lain Bandicota indica (wirok besar), Rattus norvegicus (tikus riul), R. rattus
Tikus sawah (Rattus argentiventer Rob. & Klo.) merupakan salah satu hama
utama pada tanaman padi yang memiliki sifat-sifat sangat berbeda dengan jenis
hama utama padi yang lainnya. Tikus sawah dapat beradaptasi dengan baik pada
berbagai agroekosistem, baik lahan sawah irigasi, lahan sawah kering, maupun
lahan sawah rawa pasang surut. Tikus sawah dapat menyebabkan kerusakan pada
tanaman padi mulai dari saat persemaian hingga padi siap dipanen, dan bahkan di
dalam gudang penyimpanan. Kehilangan hasil panen akibat serangan tikus sawah
hampir selalu terjadi pada setiap musim tanam di beberapa daerah sentra produksi
padi di Indonesia. Rata-rata luas serangan tikus sawah pada periode 1994-2005
mencapai 113 514 ha dengan intensitas kerusakan 20% (Direktorat Perlindungan
Tanaman Pangan 2006). Oleh karena itu, usaha pengendalian terhadap hewan ini
perlu dilakukan yang mencakup berbagai macam aspek kegiatan.
Usaha pengendalian tikus sawah selama ini belum menunjukkan hasil yang
optimal. Hal ini karena tikus sawah memiliki karakter biologis dan keunikan
perilaku yang berbeda dengan hama lainnya (Brown et al. 2003; Nolte et al.
2002). Teknologi pengendalian tikus sawah yang telah dikenal selama ini lebih
memfokuskan pada kegiatan kultur teknis, sanitasi, fisik/mekanis, kimiawi,
biologis, dan cara pengendalian lokal lainnya.
Pengendalian secara kimiawi menggunakan rodentisida selama ini dianggap
merupakan metode paling efektif untuk mengendalikan tikus sawah. Hal tersebut
dapat terjadi karena efektifitas rodentisida dapat dibuktikan secara langsung
dengan terbunuhnya sejumlah tikus setelah pengumpanan rodentisida. Namun
penggunaan bahan kimia secara terus menerus akan berdampak pada lingkungan
yaitu terbunuhnya hewan non target serta pencemaran habitat.
Aplikasi pengendalian secara kimiawi dengan menggunakan rodentisida di
lapangan biasanya hanya diberikan satu pilihan umpan beracun tanpa adanya
umpan lain. Pada kenyataannya di lapang pasti terdapat umpan lain, seperti bulir
padi, apabila rodentisida diaplikasikan pada saat tanaman memasuki fase
generatif. Oleh sebab itu, perlu dilakukan pengujian terhadap beberapa jenis
formulasi rodentisida disertai pemberian umpan lain yang tidak beracun berupa
serealia untuk mengetahui kecenderungan tikus sawah dalam mengonsumsi
Rodentisida yang digunakan dalam penelitian ini yaitu berbahan aktif
bromadiolon karena menurut Buckle (1994) dapat digunakan secara luas untuk
mengendalikan tikus di permukiman dan di pertanian. Selain itu, rodentisida ini
bekerja lambat sehingga tidak menimbulkan jera umpan (bait-shyness) pada tikus,
tidak memerlukan umpan pendahuluan (pre-baiting) dalam aplikasinya, dan
konsentrasinya rendah sehingga diterima oleh tikus.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan konsumsi tikus sawah
terhadap empat jenis formulasi rodentisida berbahan aktif bromadiolon pada saat
terdapat umpan tanpa racun dalam usaha pengendalian tikus sawah
(R. argentiventer) yang efektif dan efisien.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai jenis
formulasi bromadiolon yang efektif dan efisien untuk aplikasi pengendalian tikus
sawah (R. argentiventer) di lapangan pada saat terdapat umpan lain yang tidak
beracun.
Hipotesis
Tikus sawah (R. argentiventer) lebih memilih umpan gabah dibandingkan
umpan yang lainnya karena gabah merupakan pakan dasar sesuai dengan
habitatnya, di lahan persawahan, dimana selalu tersedia bulir padi. Selain itu, tikus
sawah lebih menyukai pakan yang berbentuk serealia dibandingkan berbentuk
blok, sehingga rodentisida bromadiolon berbentuk serealia yang lebih banyak
TINJAUAN PUSTAKA
Tikus Sawah
Klasifikasi dan Morfologi
Tikus sawah merupakan hewan pengerat yang termasuk dalam Filum
Chordata, Subfilum Vertebrata, Kelas Mamalia, Subkelas Theria, Infrakelas
Eutheria, Ordo Rodentia, Subordo Myomorpha, Famili Muridae, Subfamili
Murinae, Genus Rattus, dan Spesies R. argentiventer Rob. & Klo. (Boeadi 1979).
Tikus sawah merupakan hewan terestrial yang memiliki tonjolan pada
telapak kaki yang relatif kecil dan permukaannya halus. Selain itu, tikus sawah
memiliki rambut agak kasar, moncong berbentuk kerucut, badan berbentuk
silindris, warna badan pada bagian punggung coklat kelabu kehitaman, dan warna
badan pada bagian perut kelabu pucat atau putih kotor. Ciri khusus dari tikus
sawah yaitu ekor relatif lebih pendek daripada panjang kepala dan badan. Panjang
kepala dengan badan 130-210 mm, ekor 120-200 mm, dan tungkai 34-43 mm.
Jumlah puting susu tikus betina 12 buah, 3 pasang di bagian dada dan 3 pasang di
bagian perut (Priyambodo 2009).
Biologi dan Ekologi
Tikus sawah (R.argentiventer) merupakan hama utama penyebab kerusakan
terbesar tanaman padi, terutama pada agroekosistem dataran rendah dengan pola
tanam yang intensif. Tikus sawah dapat merusak tanaman padi pada semua stadia
pertumbuhan dari semai hingga panen, bahkan di dalam gudang penyimpanan
(BB Padi 2009). Tikus sawah sebagian besar tinggal di persawahan dan
lingkungan sekitar sawah. Tikus sawah memiliki daya adaptasi yang tinggi
sehingga mudah tersebar di dataran rendah dan dataran tinggi. Selain itu, tikus
sawah juga suka menggali liang untuk berlindung dan berkembangbiak, membuat
terowongan atau jalur sepanjang pematang dan tanggul irigasi (Rochman 1992).
Tikus sawah memiliki panca indera yang berkembang dengan baik sehingga
dapat menunjang setiap aktivitas kehidupannya. Sebagai hewan nokturnal,
penglihatan tikus sawah telah berkembang dan beradaptasi untuk melihat dalam
pandang 10-15 m (Anggara et al. 2008). Namun tikus sawah dianggap buta warna
sehingga sebagian warna terlihat abu-abu (Rochman 1992). Indera penciuman
berkembang baik sehingga tikus dapat mendeteksi wilayah pergerakan tikus lain,
jejak anggota kelompoknya, dan betina estrus. Indera pendengaran tikus sawah
berkembang sempurna. Indera pengecap berkembang baik sehingga mampu
mendeteksi rasa pahit, racun, dan enak atau tidaknya suatu pakan. Indera peraba
juga berkembang baik, misai dan rambut-rambut panjang pada sisi tubuhnya
digunakan sebagai sensor sentuhan terhadap benda-benda yang dilalui (BB Padi
2009).
Sebagai hewan nokturnal, tikus memiliki orientasi mencari makan,
pasangan, dan kawasan (Brooks & Rowe 1979). Selain itu, tikus memiliki
kemampuan fisik seperti menggali, memanjat, meloncat, melompat,
menggerogoti, berenang, dan menyelam (Rochman 1992). Tikus telah memiliki
otak yang berkembang sempurna sehingga mampu belajar dan mengingat dengan
baik. Tikus sawah dapat mengingat sarang, sumber pakan yang aman ataupun
beracun, dan sumber air (Anggara et al. 2008).
Tikus sawah termasuk hewan omnivora (pemakan segala jenis makanan),
seperti biji-bijian (beras, gabah, jagung), umbi-umbian, serangga, dan sebagainya.
Pada saat makanan berlimpah, tikus sawah akan menjadi lebih selektif dan
memilih makanan yang paling disukai, yaitu biji-bijian atau padi yang tersedia di
sawah (Rochman et al. 1982).
Seluruh bagian tanaman padi pada berbagai stadia pertumbuhan dapat
dirusak oleh tikus. Walaupun demikian, tikus paling suka memakan bagian malai
atau bulir tanaman padi pada stadia generatif. Pada stadia persemaian, tikus
mencabut benih yang sudah mulai tumbuh (bibit) untuk memakan bagian biji
yang masih tersisa (endosperm). Pada stadia vegetatif, tikus memotong bagian
pangkal batang untuk memakan bagian batangnya. Adapun pada stadia generatif,
tikus memotong pangkal batang untuk memakan bagian malai atau bulirnya
(Priyambodo 2009).
Tikus sawah memiliki kemampuan reproduksi yang tinggi. Di lahan yang
ditanami padi secara terus menerus (2 kali per tahun) puncak populasi akan terjadi
per tahun, puncak populasi hanya terjadi 1 kali, yaitu pada fase generatif. Dalam
satu musim tanam padi, tikus sawah mampu beranak hingga 3 kali dengan
rata-rata 10 ekor anak per kelahiran. Tikus betina relatif cepat matang seksual (± 1
bulan) dibandingkan dengan tikus jantan (± 2-3 bulan). Cepat atau lambatnya
kematangan seksual tersebut tergantung dari ketersediaan pakan di lapangan serta
tempat berlindung dan bersarang yang memadai. Apabila hal tersebut terpenuhi
maka tikus sawah dapat berkembangbiak dalam waktu singkat sehingga akan
terjadi peningkatan populasi yang sangat pesat atau disebut juga ledakan populasi
(Macdonald & Fenn 1994).
Masa kebuntingan tikus betina sekitar 21 hari dan mampu kawin kembali
24-48 jam setelah melahirkan (post partum oestrus) (Southwhick 1969; Meehan
1984). Terdapatnya padi yang belum dipanen dapat memperpanjang periode
reproduksi tikus sawah. Dalam kondisi tersebut, anak tikus dari kelahiran pertama
sudah mampu bereproduksi sehingga seekor tikus betina dapat menghasilkan total
sebanyak 80 ekor tikus dalam satu musim tanam padi. Secara teoritis dari 1
pasang tikus dapat berkembang menjadi + 2.000 ekor dalam waktu 1 tahun
(Meehan 1984).
Pada saat tanaman fase padi vegetatif, tikus hidup soliter dan di luar liang,
sedang pada fase generatif, tikus hidup berpasang-pasangan dan tinggal di dalam
liang persawahan dengan pematang yang sempit (Sudarmaji 2005). Luas wilayah
dan jarak jelajah harian tikus dipengaruhi oleh jumlah sumber pakan dan populasi
tikus. Bila sumber pakan berlimpah, jelajah hariannya pendek (50-125 m) dan bila
sumber pakan sedikit, jelajah harian panjang (100-200 m) (BB Padi 2009).
Keberadaan tikus di lapang dapat diketahui dengan cara pengumpanan tanpa
racun yang dipasang minimal sebanyak 20 titik umpan per hektar atau
pengamatan jejak dan jalan lintas tikus. Selain itu, keberadaan tikus di suatu
tempat dapat diketahui dengan adanya benda yang rusak. Penentuan yang akurat
akan adanya investasi tikus dapat diperoleh melalui pengamatan terhadap bahan
makanan atau aktivitas sarang dan tanda-tanda pergerakan tikus dari sarang ke
Metode Pengendalian Tikus Sawah
Pengendalian tikus sawah sering dilakukan oleh manusia. Beberapa metode
pengendalian yang dapat dilakukan antara lain kultur teknis, sanitasi,
fisik-mekanis, biologis atau hayati, dan kimiawi. Elemen penting yang harus
diperhatikan untuk mengendalikan tikus di persawahan adalah sanitasi lingkungan
dan monitoring populasi tikus di sekitar persawahan (Priyambodo 2009). Sanitasi
dapat menyebabkan tikus kehilangan tempat persembunyian dan sumber pakan
alternatif terutama saat periode bera, sehingga secara tidak langsung dapat
menurunkan populasi tikus sawah (Sudarmaji 2004).
Pengendalian secara hayati (biologi) terhadap populasi tikus dilakukan
dengan menggunakan parasit, predator, atau patogen untuk mengurangi atau
bahkan menghilangkan populasi tikus dari suatu habitat. Namun cara ini kurang
efektif dan kurang memberikan hasil yang memuaskan. Pengendalian populasi
tikus secara hayati dengan penggunaan parasit, patogen, dan manipulasi genetik
telah dirintis, namun belum dapat diterapkan secara luas (Fall 1977).
Pengendalian secara kultur teknis dapat dibagi menjadi beberapa cara yaitu
pengaturan pola tanam, pengaturan waktu tanam, pengaturan jarak tanam, dan
penggunaan tanaman perangkap, sedangkan pengendalian secara kimiawi dapat
dilakukan dengan beberapa cara yaitu penggunaan umpan beracun, penggunaan
bahan fumigasi, dan bahan kimia penarik (attractant) (Priyambodo 2009). Metode
pengendalian terhadap tikus yang sering digunakan oleh manusia yaitu secara
mekanik dengan menggunakan perangkap dan secara kimiawi dengan
menggunakan rodentisida (Mutiarani 2009).
Umumnya pengendalian hama dengan menggunakan rodentisida dapat
dikatakan berhasil. Pengendalian dengan bahan kimia dapat memberikan efek
positif maupun negatif. Efek positif berupa hasil yang cepat dan efektif sedangkan
efek negatifnya antara lain pencemaran lingkungan dan resistensi hama.
Rodentisida
Rodentisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang
digunakan untuk mematikan berbagai jenis hewan pengerat, misalnya tikus.
makanannya (tanaman). Menurut Prakash (1988) berdasarkan kecepatan kerjanya,
rodentisida dibagi menjadi dua jenis yaitu rodentisida akut (bekerja cepat) dan
rodentisida kronis (bekerja lambat).
Rodentisida akut adalah racun yang bekerja cepat dengan merusak sistem
syaraf tikus. Rodentisida akut dapat menyebabkan kematian setelah mencapai
dosis letal dalam waktu 24 jam atau kurang (Buckle & Smith 1996). Berdasarkan
toksisitasnya, rodentisida akut dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu highly
toxicity (toksisitas tinggi), moderately toxicity (toksisitas sedang), dan lower toxicity (toksisitas rendah) (Priyambodo 2009).
Rodentisida kronis (antikoagulan) merupakan rodentisida yang bekerja
lambat dengan cara menghambat proses koagulasi atau penggumpalan darah serta
memecah pembuluh darah kapiler. Rodentisida kronis dapat dikelompokkan
berdasarkan kelompok kimia bahan aktifnya dan berdasarkan saat diproduksinya
(Priyambodo 2009).
Rodentisida Kronis
Rodentisida kronis (antikoagulan) merupakan rodentisida yang bersifat tidak
langsung mematikan setelah tertelan oleh hewan sasaran, namun memerlukan
waktu beberapa lama untuk bereaksi dan menimbulkan kematian terhadap target.
Hal ini disebabkan rodentisida memiliki daya kerja yang lambat (Buckle 1994).
Berdasarkan kelompok bahan kimia aktifnya, rodentisida kronis
(antikoagulan) dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu hydroxicoumarin dan
indanedione (Priyambodo 2009). Selain itu rodentisida kronis (antikoagulan) juga dapat dikelompokkan berdasarkan saat diproduksinya, yaitu rodentisida
antikoagulan generasi I dan generasi II. Rodentisida antikoagulan generasi II
dibuat karena sudah terjadi atau diperkirakan akan terjadi resistensi tikus terhadap
rodentisida antikoagulan generasi I (Priyambodo 2009).
Penggunaan rodentisida yang bersifat kronis bertujuan untuk menghindari
sifat jera umpan yang dimiliki oleh tikus, sehingga pengendalian dengan
pengumpanan dapat berjalan lebih efektif. Pengendalian dengan rodentisida
semacam ini memerlukan pemberian yang berulang selama 3 hari atau lebih,
terbentuknya populasi tikus yang resisten di beberapa negara sehingga
pemanfaatannya harus dilakukan secara hati-hati. Salah satu dampak yang
ditimbulkan oleh rodentisida kronis yaitu terhambatnya pembentukan protrombin
yang menyebabkan kerapuhan kapiler darah sehingga terjadi pendarahan (Chandra
2005). Rodentisida ini membuat darah menjadi berkurang kekentalannya dan
semakin lama semakin encer sehingga pada akhirnya tikus akan mati karena
pendarahan didalam tubuhnya (Syamsuddin 2007). Tikus yang telah mengonsumsi
rodentisida antikoagulan dengan dosis yang mematikan biasanya akan mengalami
kematian 2-14 hari setelah proses peracunan (Surtikanti 2007).
Bromadiolon
Bromadiolon merupakan salah satu golongan antikoagulan generasi kedua
yang efektif terhadap tikus dan hewan pengerat lainnya (Bennet 2002). Struktur
kimia dari bromadiolon yaitu
3-[3-(4’-bromobiphenyl-4-yl)-3-hydroxy-1-phenylpropyl]-4-hydroxycoumarin [28772-56-7], C30H23BrO4 (Buckle 1994).
Bromadiolon diproduksi dalam berbagai bentuk yaitu bentuk umpan siap
saji, bentuk tepung atau bubuk, dan bentuk blok. Secara umum bromadiolon
digunakan dengan konsentrasi 0.005% dan sudah efektif di lapangan terhadap
tikus yang sudah resisten terhadap antikoagulan generasi pertama. Bromadiolon
merupakan racun antikoagulan dengan dosis tunggal 50 mg/kg dengan LD50
kurang dari 2 mg/kg. Penggunaan bromadiolon harus dilakukan dengan tepat dan
aman karena seringkali ditemukan bau bangkai tikus yang sulit terdeteksi (Pardosi
& Sukana 2005).
Gabah
Gabah merupakan bulir padi yang termasuk tahap penting dalam
pengolahan padi sebelum dikonsumsi. Menurut Priyambodo (2009), tikus dapat
menyerang padi pada berbagai stadia pertumbuhan. Pada stadia persemaian, tikus
merusak tanaman padi dengan mencabut benih yang sudah mulai tumbuh (bibit)
untuk memakan bagian biji yang masih tersisa (endosperm). Pada stadia vegetatif,
tikus memotong bagian pangkal batang untuk memakan bagian batangnya. Pada
Gabah tersusun dari 15-30% kulit luar (sekam), 4-5% kulit ari, 12-14%
bekatul, 65-67% endosperm, dan 2-3% lembaga. Lapisan bekatul paling banyak
mengandung vitamin B1. Selain itu, bekatul juga mengandung protein, lemak,
vitamin B2, dan niasin. Endosperm merupakan bagian utama butir beras, dengan
komposisi utama adalah pati. Selain itu endosperm mengandung protein cukup
banyak, serta selulosa, mineral, dan vitamin dalam jumlah kecil (Lasztity 1986).
Beras
Beras merupakan salah satu padi-padian terpenting di dunia yang
dikonsumsi oleh manusia. Beras yang dihasilkan dari tanaman padi merupakan
makanan pokok sebagian besar penduduk Asia. Sekitar 1.75 milyar dari ± 3
milyar penduduk Asia termasuk ± 300 juta penduduk Indonesia menggantungkan
kebutuhan kalorinya dari beras. Beras merupakan gabah yang bagian kulitnya
sudah dibuang dengan cara digiling dan disosoh menggunakan alat pengupas dan
penggiling (huller) serta penyosoh (polisher). Struktur beras terdiri dari beberapa
bagian yaitu kulit gabah, lapisan perikarp, lapisan aleuron, bakal kecambah, dan
bagian endosperm (Lasztity 1986). Permukaan beras ditutupi oleh selaput tipis
yang mengandung protein, vitamin, karbohidrat, mineral, dan lemak.
Beras sebagai komoditas pangan menyumbang energi, protein, dan zat besi
masing-masing sebesar 63.1%, 37.7%, dan 25-30% dari total kebutuhan tubuh.
Setelah dimasak kandungan protein yang dimiliki beras menurun sampai 2%
(Tasar 2000). Lebih dari 50% penduduk dunia juga tergantung pada beras sebagai
sumber kalori utama. Pangan, khususnya beras yang dikonsumsi harus sehat dan
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen
Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Gambar 1), dari
Bulan Oktober hingga Desember 2011.
Gambar 1 Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Bahan dan Alat
Hewan Uji
Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tikus sawah (R.
argentiventer Rob. & Klo.) (Gambar 2). Tikus sawah yang digunakan diperoleh dari daerah Subang, Jawa Barat. Tikus yang akan diuji diidentifikasi berdasarkan
jenis tikus, kondisi kesehatan, jenis kelamin, bobot tubuh, dan tidak bunting.
Tikus yang dibutuhkan untuk penelitian ini yaitu 10 ekor untuk setiap perlakuan
Gambar 2 Tikus sawah (R. argentiventer)
Umpan
Umpan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari dua jenis yaitu beras
(Gambar 3A) dan gabah (Gambar 3B). Beras merupakan makanan pokok bagi
sebagian besar masyarakat. Sedangkan gabah merupakan bentuk dasar dari beras
sebelum dilakukan penggilingan dan dapat digunakan sebagai pakan hewan
terutama tikus sawah.
(A) (B)
Gambar 3 Umpan: (A) Beras dan (B) gabah
Rodentisida
Rodentisida yang digunakan bersifat kronis (antikoagulan) sehingga tidak
langsung menyebabkan kematian setelah pemberian rodentisida, namun
dibutuhkan beberapa waktu. Pemberian rodentisida dilakukan secara berulang
untuk dapat menimbulkan keracunan serta kematian. Rodentisida kronis yang
digunakan berbahan aktif bromadiolon yang terdiri dari empat jenis yaitu
Bromadiolon A 0.005% berbentuk butiran beras dengan warna merah muda pekat
(Gambar 4A), Bromadiolon B 0.005% berbentuk blok dengan warna biru
merah muda agak pudar (Gambar 4C), dan Bromadiolon D 0.25% berbentuk
tepung dengan warna biru muda (Gambar 4D).
(A) (B)
(C) (D)
Gambar 4 Rodentisida kronis bromadiolon: (A) Bromadiolon A 0.005%, (B) Bromadiolon B 0.005%, (C) Bromadiolon C 0.005%, (D) Bromadiolon D 0.25%
Kandang Percobaan
Kandang percobaan (Gambar 5) yang digunakan untuk pemeliharaan dan
perlakuan berbentuk balok yang terbuat dari kawat bangunan yang kuat dan keras
dengan ukuran p x l x t masing-masing yaitu 38 cm x 22 cm x 22 cm.
Lubang-lubang kawat pada kandang berukuran kecil sehingga tidak memungkinkan tikus
untuk keluar dari kandang. Pada setiap kandang percobaan dilengkapi dengan
peralatan tambahan berupa gelas berisi air untuk minum tikus, wadah umpan
Gambar 5 Kandang percobaan
Timbangan
Alat untuk menimbang yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
timbangan elektronik (electronic top-loading balance for animal) (Gambar 6).
Timbangan elektronik digunakan untuk menimbang bobot tubuh hewan uji (tikus)
sebelum dan setelah perlakuan. Selain itu, timbangan juga digunakan untuk
menimbang bobot konsumsi tikus terhadap ketiga jenis umpan (beras, gabah, dan
rodentisida).
Gambar 6 Timbangan elektronik (electronic top-loading balance for animal)
Metode
Persiapan Hewan Uji
Tikus sawah yang digunakan sebagai hewan uji diambil dari daerah Subang,
Jawa Barat. Tikus sawah yang digunakan sebagai hewan uji diidentifikasi
berdasarkan kondisi kesehatan, jenis kelamin, serta bobot tubuh. Bobot tubuh
tikus sawah yang digunakan > 70 g. Selain itu dilakukan pemilihan tikus sawah
Tikus sawah yang dibutuhkan untuk penelitian ini sebanyak 10 ekor untuk
setiap perlakuan. Setelah perlakuan pertama, untuk perlakuan berikutnya
digunakan tikus sawah yang sama (berlanjut) sehingga tikus sawah yang telah
digunakan sebelumnya, digunakan kembali untuk perlakuan berikutnya. Apabila
terdapat tikus sawah yang mati pada perlakuan sebelumnya, maka untuk
perlakuan berikutnya digunakan tikus yang baru. Total tikus yang digunakan
dalam penelitian ini sebanyak 16 ekor tikus sawah, karena terdapat enam ekor
tikus yang mati.
Persiapan Rodentisida
Rodentisida golongan bromadiolon yang digunakan terdiri atas empat jenis
(Bromadiolon A, B, C, dan D). Tiga jenis dari empat jenis rodentisida yang ada
merupakan rodentisida siap pakai. Namun terdapat rodentisida Bromadiolon D
yang berbentuk tepung sehingga perlu dilakukan pencampuran terlebih dahulu
dengan beras dan minyak. Untuk membuat rodentisida siap saji dari jenis
Bromadiolon D sebanyak 100 g diperlukan rodentisida tepung sebanyak 2.5 g dan
beras sebanyak 97.5 g. Kemudian kedua bahan tersebut dicampurkan dan
ditambahkan minyak goreng secukupnya yang berfungsi untuk melekatkan tepung
pada beras. Selanjutnya ketiga bahan tersebut diaduk secara merata sehingga
warna beras menjadi biru muda seluruhnya. Konsentrasi untuk bromadiolon D
menjadi 0.006%.
Pengujian Rodentisida vs Umpan
Pengujian antikoagulan bromadiolon pada tikus sawah menggunakan
metode pilihan (choice test), yaitu pengujian umpan beracun terhadap tikus
dengan memberikan alternatif umpan lain, sehingga tikus mempunyai pilihan
dalam mengonsumsi umpan yang disediakan. Pengujian ini terdiri dari empat
urutan perlakuan yaitu perlakuan Bromadiolon A vs gabah vs beras, Bromadiolon
B vs gabah vs beras, Bromadiolon C vs gabah vs beras, dan Bromadiolon D vs
gabah vs beras.
Teknik pengujian untuk semua perlakuan (rodentisida vs gabah vs beras)
ditimbang terlebih dahulu bobot tubuhnya sebagai bobot awal dengan
menggunakan timbangan elektronik, bobot tubuh yang digunakan > 70 g.
Selanjutnya masing-masing hewan uji dimasukkan ke dalam kandang percobaan
yang telah dilengkapi dengan bumbung bambu dan gelas yang berisi air untuk
minum tikus sawah setiap harinya. Setelah seluruh hewan uji dimasukkan ke
dalam kandang percobaan, kemudian dimasukkan rodentisida, gabah, dan beras
dalam wadah yang terpisah ke dalam kandang percobaan. Sebelum diaplikasikan,
masing-masing umpan beracun dan tidak beracun (rodentisida, gabah, beras)
ditimbang bobotnya menggunakan timbangan elektronik. Untuk rodentisida bobot
awal yang digunakan sebanyak > 10 g, untuk gabah dan beras bobot awal yang
digunakan sebanyak > 20 g.
Tikus yang sama digunakan kembali untuk perlakuan berikutnya, namun
sebelumnya tikus diadaptasikan kembali dengan pemberian gabah. Apabila
terdapat tikus yang mati pada saat perlakuan, maka diganti dengan tikus sawah
yang baru untuk perlakuan berikutnya. Metode pengujian yang sama dilakukan
untuk semua perlakuan.
Pemberian Umpan (Gabah) Pasca Perlakuan
Setelah pengujian rodentisida vs umpan, dilanjutkan dengan pemberian
umpan gabah. Penggantian rodentisida dan umpan dengan gabah bertujuan untuk
mengondisikan tikus sawah setelah diberi perlakuan dengan rodentisida untuk
digunakan pada perlakuan berikutnya. Gabah yang akan diberikan diletakkan
dalam wadah dan kemudian dimasukkan ke dalam kandang berisi tikus sawah
yang telah selesai diberi perlakuan. Jumlah gabah yang diberikan pada tikus
sawah pasca perlakuan yaitu > 20 g.
Pengamatan yang dilakukan
Pengujian choice test (rodentisida vs umpan) dilakukan masing-masing sebanyak 10 kali ulangan, menggunakan 10 ekor tikus sawah. Setiap ulangan
berturut-turut. Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap konsumsi gabah selama 3 hari
berturut-turut.
Peubah yang diamati
Konsumsi tikus sawah terhadap umpan beracun (rodentisida) dan umpan
tanpa racun (gabah, beras) dicatat setiap harinya dengan catatan tikus sawah telah
mengonsumsi salah satu umpan (beracun atau tanpa racun) yaitu rodentisida,
gabah, atau beras sebanyak ≥ 1 g agar dapat berganti ke hari berikutnya. Setelah 5
hari perlakuan, tikus sawah ditimbang kembali bobot tubuhnya sebagai bobot
akhir. Konsumsi gabah setiap hari dicatat dengan asumsi tikus sawah telah
mengonsumsi gabah sebanyak ≥ 1 g agar dapat berganti ke hari berikutnya.
Setelah 3 hari pemberian gabah, tikus sawah ditimbang kembali bobot tubuhnya
sebagai bobot awal untuk perlakuan berikutnya.
Konversi Umpan
Semua data konsumsi yang diperoleh dari pengujian preferensi makan tikus
sawah dikonversi terlebih dahulu kedalam 100 g bobot tubuh tikus, dengan rumus
sebagai berikut:
Konversi umpan atau rodentisida (g/100 g bobot tubuh) =
Bobot umpan atau rodentisida yang dikonsumsi (g) x 100%
Rata-rata bobot tubuh tikus (g)
Rerata bobot tubuh tikus (g) = Bobot awal + bobot akhir
2
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan untuk pengujian ini adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan menggunakan 1 jenis tikus yaitu tikus
sawah dengan 10 ulangan untuk uji rodentisida vs umpan. Apabila hasil yang
diperoleh berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji selang ganda Duncan
(Duncan Multiple Range Test) pada taraf α = 5% dan 1% dengan menggunakan
Pengujian Ketertarikan Tikus Sawah terhadap Rodentisida dan Umpan
(Choice Test)
Konsumsi Tikus Sawah terhadap Empat Formulasi Rodentisida Bromadiolon
Tikus sawah yang mempunyai habitat di lahan persawahan terdapat dalam
jumlah yang melimpah sehingga perlu dikendalikan, karena dapat menimbulkan
kerusakan pada tanaman serta kehilangan hasil terutama pada tanaman padi.
Rodentisida selama ini dianggap metode yang paling efektif dalam mengendalikan
tikus sawah. Bromadiolon sebagai salah satu golongan rodentisida telah dinilai
efektif dalam mengendalikan tikus sawah dan tersedia dalam berbagai jenis dan
bentuk, sehingga perlu diketahui bentuk dan jenis yang paling efektif dan efisien
dalam mengendalikan tikus sawah. Konsumsi tikus sawah terhadap empat
formulasi rodentisida bromadiolon dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Konsumsi tikus sawah terhadap keempat jenis formulasi bromadiolon
Rodentisida Konsumsi (g/100 g bobot tubuh)
Bromadiolon A 0.1045 aA
Bromadiolon B 0.0008 aA
Bromadiolon C 0.2997 aA
Bromadiolon D 0.1146 aA
Pr > F 0.2533
Keterangan: Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang ganda Duncan pada taraf α=5% (huruf kecil) dan α=1% (huruf besar)
Hasil pengujian pada Tabel 1 menunjukkan bahwa konsumsi tikus sawah
terhadap keempat formulasi bromadiolon tidak menunjukkan perbedaan yang
nyata (sama). Konsumsi tikus sawah terhadap Bromadiolon C paling tinggi
diantara yang lainnya yaitu sebesar 0.2997 g. Bromadiolon C paling banyak
dikonsumsi oleh tikus sawah karena rodentisida tersebut memiliki kandungan
(additives) yang dapat meningkatkan ketertarikan tikus terhadap umpan beracun
yaitu diantaranya bahan penarik (arrestant atau attractant) dan bahan pengikat
(binder) yang terkandung di dalam umpan beracun (Priyambodo 2009).
Bromadiolon B paling sedikit dikonsumsi oleh tikus sawah karena
rodentisida ini berbentuk blok sehingga kurang disukai oleh tikus sawah. Menurut
Priyambodo (2009) tikus sawah lebih menyukai pakan berbentuk serealia
dibandingkan dengan pakan berbentuk blok, sehingga ketiga jenis rodentisida
(Bromadiolon A, C, dan D) yang berbentuk serealia lebih banyak dikonsumsi oleh
tikus sawah dibandingkan dengan Bromadiolon B. Selain itu, Bromadiolon B
kurang disukai oleh tikus sawah karena desain rodentisida ini ditujukan untuk
tikus rumah. Oleh sebab itu, dilakukan pengujian lanjutan terhadap Bromadiolon
B pada tikus rumah dengan metode yang sama.
Hasil pengujian lanjutan yang dilakukan terhadap Bromadiolon B pada tikus
rumah dengan metode pilihan (choise test), diperoleh hasil konsumsi sebesar
1.7583 g. Hal ini menunjukkan bahwa Bromadiolon B disukai oleh tikus rumah
sehingga lebih efektif apabila diaplikasikan pada tikus rumah. Hal yang
menyebabkan Bromadiolon B disukai oleh tikus rumah yaitu bau yang khas (lebih
menyengat) yang dimiliki oleh Bromadiolon B. Menurut Priyambodo (2009) tikus
rumah memiliki indera penciuman yang lebih peka dibandingkan dengan tikus
sawah. Dikonsumsinya Bromadiolon B oleh tikus sawah pada pengujian ini
disebabkan oleh perilaku tikus yang ingin mencicipi umpan baru.
Konsumsi tikus sawah terhadap empat formulasi bromadiolon berdasarkan
metode pilihan (choice test) dibandingkan dengan metode tanpa pilihan
(no-choice test) menunjukkan nilai konsumsi yang berbeda untuk Bromadiolon A, C, dan D. Konsumsi tikus sawah terhadap Bromadiolon A berdasarkan metode
pilihan memiliki rerata konsumsi lebih kecil (0.1045 g) dibandingkan dengan
metode tanpa pilihan (1.0975 g) (Priyambodo 2011). Begitu pula halnya dengan
Bromadiolon C berdasarkan metode pilihan memiliki rerata konsumsi 0.2997 g
sedangkan pada metode tanpa pilihan memiliki rerata konsumsi 4.5848 g
pilihan memiliki rerata konsumsi 4.9620 g (Priyambodo 2010).
Hal ini dapat terjadi karena pada metode pilihan terdapat alternatif umpan
lain yang tidak beracun sehingga tikus mempunyai pilihan lain dalam
mengonsumsi umpan yang telah disediakan dan mencegah tikus sawah
mengonsumsi rodentisida. Sedangkan pada metode tanpa pilihan tidak disediakan
umpan lain yang tidak beracun sehingga tikus tidak mempunyai pilihan lain dalam
mengonsumsi umpan dan harus memakan umpan beracun tersebut.
Demikian pula halnya dengan konsumsi tikus sawah terhadap Bromadiolon
B berdasarkan metode pilihan (choice test) memiliki rerata konsumsi lebih kecil
(0.0008 g) dibandingkan dengan konsumsi tikus rumah berdasarkan metode tanpa
pilihan (no-choice test) pada tikus rumah (11.1376 g) (Priyambodo 2010).
Perbedaaan yang cukup tinggi ini karena desain Bromadiolon B memang
ditujukan untuk tikus rumah dan mengandung bahan-bahan tambahan yang
disukai oleh tikus rumah. Selain itu bentuk blok dari rodentisida ini juga disukai
oleh tikus rumah dan tidak disukai oleh tikus sawah karena tikus sawah lebih
menyukai pakan yang berbentuk serealia.
Apabila dihitung persentase rasio antara metode pilihan (choice test) terhadap metode tanpa pilihan (no-choice test), nilai tertinggi dimiliki oleh
Bromadiolon A (9.5216%) diikuti oleh Bromadiolon C (6.5368%), Bromadiolon
D (2.3096%), dan Bromadiolon B (0.0072%). Persentase lebih besar yang dimiliki
oleh Bromadiolon A disebabkan oleh lebih kecilnya konsumsi pada pengujian
tanpa pilihan. Apabila dibandingkan dengan jenis bromadiolon yang lainnya, jenis
ini cenderung kurang disukai meskipun dilakukan pengujian dengan metode tanpa
pilihan (no-choice test). Pada Bromadiolon B, diperoleh rasio yang sangat kecil
karena terjadi perbedaan yang lebih besar antara metode pilihan dan tanpa pilihan,
hal ini disebabkan oleh pengujian tanpa pilihan dilakukan pada tikus rumah yang
memang menyukai rodentisida jenis ini. Pada Bromadiolon C dan D yang
memiliki rasio diantara Bromadiolon A dan B, tikus sawah cenderung menyukai
kedua jenis rodentisida ini karena berdasarkan metode tanpa pilihan (no-choice
Tikus sawah yang berjumlah 10 ekor pada perlakuan Bromadiolon A
memiliki kecenderungan yang cukup tinggi dalam mengonsumsi rodentisida jenis
ini. Hal ini dapat dilihat dari hampir setiap kali pemberian selama 5 hari,
rodentisida ini dikonsumsi oleh tikus sawah. Seluruh individu mengonsumsi
rodentisida dengan jumlah yang bervariasi dan berkisar antara 0.0535-0.2078 g.
Tikus sawah yang memiliki bobot tubuh paling besar mengonsumsi rodentisida
paling banyak yaitu mencapai 0.2078 g.
Tikus sawah yang berjumlah 10 ekor pada perlakuan Bromadiolon B
cenderung tidak menyukai rodentisida jenis ini. Hanya terdapat 2 ekor tikus yang
mengonsumsi rodentisida dengan jumlah rerata konsumsi 0.0024 g dan 0.0059 g.
Individu pertama maupun kedua hanya mengonsumsi rodentisida jenis ini satu
kali dengan jumlah yang sangat sedikit. Hal ini dikarenakan tikus sawah tidak
menyukai umpan yang berbentuk blok namun lebih menyukai umpan yang
berbentuk serealia.
Tikus sawah yang berjumlah 10 ekor pada perlakuan Bromadiolon C
memiliki kecenderungan yang cukup tinggi dalam mengonsumsi rodentisida jenis
ini melebihi jenis bromadiolon yang lainnya dalam pengujian ini dan tikus sawah
cenderung menyukainya. Semua tikus mengonsumsi rodentisida dengan jumlah
yang bervariasi dan berkisar antara 0.0188-2.0083 g. Hampir setiap kali
pemberian, rodentisida ini dikonsumsi dengan jumlah yang cukup banyak setiap
harinya. Selain itu, tingginya nilai konsumsi disebabkan terdapat 2 individu tikus
sawah yang mengonsumsi cukup banyak. Bromadiolon C paling banyak
dikonsumsi dan lebih disukai oleh tikus sawah karena bentuknya yang berupa
serealia serta memiliki kandungan bahan tambahan yang disukai.
Tikus sawah yang berjumlah 10 ekor pada perlakuan Bromadiolon D
memiliki kecenderungan yang cukup tinggi dalam mengonsumsi rodentisida,
namun terdapat satu ekor tikus yang tidak mengonsumsi rodentisida jenis ini. Hal
ini disebabkan oleh perilaku individu tikus sawah yang memiliki kecurigaan
terhadap umpan baru akibat perilaku jera umpan. Konsumsi tikus sawah terhadap
kecenderungan dalam mengonsumsi rodentisida satu dan yang lainnya namun
konsistensi dari setiap individu sangat bervariasi tergantung dari jenis racun yang
disediakan dan keadaan individu tikus itu sendiri. Konsistensi setiap individu
tikus sawah dalam mengonsumsi rodentisida dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Konsumsi setiap individu tikus sawah terhadap rodentisida
Semua individu tikus sawah memiliki konsistensi yang hampir sama
dalam mengonsumsi rodentisida Bromadiolon A, B, C, dan D seperti yang terlihat
pada Gambar 7, namun terdapat 2 individu pada perlakuan Bromadiolon C yang
mengonsumsi rodentisida dalam jumlah yang cukup banyak. Hal ini menyebabkan
nilai konsumsi rerata rodentisida Bromadiolon C menjadi besar.
Konsumsi rodentisida dengan jumlah yang sangat sedikit disebabkan oleh
perilaku tikus yang ingin mencicipi umpan baru namun selanjutnya akan
mengalami penurunan jumlah konsumsi akibat jera umpan. Tikus yang telah
mengonsumsi rodentisida antikoagulan bromadiolon dalam jumlah yang cukup
akan mengalami penurunan aktivitas, hewan menjadi lemas, dan pergerakannya
Pengujian berdasarkan metode pilihan (choice-test) akan memberikan
alternatif pada tikus sawah dalam mengonsumsi umpan (beracun atau tidak
beracun). Hasil pengujian rodentisida vs umpan dapat dilihat pada Tabel 2.
Dengan naluri dasar yang dimiliki, tikus dapat membedakan umpan yang beracun
dan tidak beracun sehingga dapat dipastikan bahwa umpan tidak beracun yang
akan lebih banyak dikonsumsi oleh tikus sawah.
Tabel 2 Konsumsi tikus sawah terhadap kedua jenis umpan dan rodentisida
Jenis umpan dan
rodentisida
Konsumsi (g/100 g bobot tubuh)
Bromadiolon
Keterangan: Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang ganda Duncan pada taraf α=5% (huruf kecil) dan α=1% (huruf besar)
Hasil pengujian pada Tabel 2 menunjukkan bahwa rerata konsumsi gabah
memiliki nilai paling tinggi karena gabah merupakan pakan utama yang disukai
oleh tikus sawah. Komposisi pakan yang dikonsumsi tergantung pada kondisi
lingkungan dan pertanaman padi. Meskipun tikus tergolong dalam hewan
omnivora dan di dalam saluran pencernaan tikus sawah ditemukan endosperm
padi, bagian pangkal batang padi, serpihan rumput, bagian tanaman dikotil, dan
potongan bagian tubuh arthropoda, namun makanan pokok yang lebih disukai
adalah padi (Anggara 2008). Beras kurang disukai oleh tikus sawah karena bagian
kulit luarnya yang keras sudah dibuang dan tikus perlu mengerat untuk
mengurangi pertumbuhan gigi serinya, sehingga tikus sawah cenderung lebih
menyukai gabah.
Rerata konsumsi tikus sawah terhadap rodentisida sangat rendah karena
mencegah tikus sawah dalam mengonsumsi rodentisida. Rodentisida dikonsumsi
oleh tikus sawah walaupun dalam jumlah yang sedikit, karena perilaku tikus
sawah yang memiliki keinginan untuk mencicipi umpan baru. Menurut Rochman
et al. (2005) tikus memiliki indera perasa yang sangat peka dan mampu merasakan senyawa phenilthiocarbamide (berasa pahit) dalam konsentrasi yang
sangat rendah yaitu 3 ppm. Dengan kemampuan tersebut, tikus mampu memilah
makanan yang aman dan menolak makanan yang beracun.
Persentase konsumsi rodentisida dan umpan lain (gabah, beras)
dibandingkan dengan persentase konsumsi total dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8 Proporsi konsumsi rodentisida, gabah, dan beras terhadap konsumsi total pada keempat jenis bromadiolon
Apabila dilihat persentase konsumsi rodentisida terhadap konsumsi total
(Gambar 8), Bromadiolon C memiliki persentase paling tinggi (4.30%) diikuti
Bromadiolon D (2.01%), Bromadiolon A (1.94%), dan Bromadiolon B (0.01%).
Rentang konsumsi rodentisida yang berkisar antara 0.01-4.30% ini tergolong
total juga akan semakin tinggi. Konsumsi Bromadiolon B hampir tidak terlihat
pada diagram karena konsumsi rodentisida ini sangat kecil dan hanya beberapa
individu saja yang mengonsumsi rodentisida jenis ini, sedangkan konsumsi
rodentisida terhadap konsumsi total oleh tikus rumah sebesar 24.15%.
Bobot Tubuh dan Kematian Tikus Sawah
Bobot tubuh awal tikus sawah diperoleh dari penimbangan sebelum
diberikan perlakuan dan bobot tubuh akhir tikus sawah diperoleh dari
penimbangan setelah dilakukan lima hari perlakuan. Bobot tubuh tikus sawah
secara umum akan mengalami penurunan setelah diberikan perlakuan dengan
rodentisida. Perubahan bobot tubuh dan kematian tikus sawah dapat dilihat pada
Tabel 3.
Tabel 3 Bobot tubuh dan kematian tikus sawah saat perlakuan
Perlakuan
Bobot tubuh (g)
Kematian Awal Akhir Rerata Perubahan
bobot
Bromadiolon A 96.680 90.925 93.803 -5.755 4
Bromadiolon B 79.564 79.081 79.323 -0.483 0
Bromadiolon C 78.374 76.828 77.601 -1.546 2
Bromadiolon D 77.796 75.090 76.443 -2.706 1
Bobot tubuh tikus sawah mengalami penurunan setelah perlakuan dengan
rerata penurunan bobot tubuh berkisar antara 0.483 g sampai 5.755 g (Tabel 3).
Penurunan bobot tubuh paling tinggi terjadi pada perlakuan Bromadiolon A
diikuti oleh Bromadiolon D, Bromadiolon C, dan Bromadiolon B. Penurunan
bobot tubuh yang terjadi disebabkan oleh telah bekerjanya rodentisida
antikoagulan yang termakan oleh tikus sawah, sehingga terjadi gangguan
fisiologis dan menimbulkan pengaruh terhadap penurunan bobot tubuh tikus
sawah.
Konsumsi tikus sawah terhadap rodentisida ada yang menyebabkan
sedangkan tikus yang tetap hidup mengonsumsi rodentisida pada dosis yang tidak
mematikan (sub lethal dose). Selain itu, kematian dapat terjadi karena tikus sawah
mengalami penurunan kondisi fisiologis, sedangkan tikus sawah yang tidak mati
memiliki kemampuan bertahan hidup (survival) yang tinggi.
Kematian paling banyak terjadi pada perlakuan Bromadiolon A yaitu
sebanyak 4 ekor tikus sawah dari jumlah keseluruhan sebanyak 10 ekor. Hal ini
disebabkan oleh lebih sedikitnya gabah dan beras yang dikonsumsi. Pada
perlakuan ini, konsumsi gabah dan beras adalah yang terkecil yaitu
masing-masing sebesar 5.0007 g dan 0.2876 g (Tabel 2), sehingga bobot tikus sawah
mengalami penurunan yang tertinggi yaitu sebesar 5.755 g. Tikus sawah yang
mati mengalami keracunan yang kronis dalam tubuhnya, sehingga mempengaruhi
konsumsi gabah dan beras, yang pada akhirnya menyebabkan penurunan bobot
tubuh. Selanjutnya, pada perlakuan Bromadiolon C terdapat 2 ekor tikus yang
mati dengan rerata penurunan bobot tubuh sebesar 1.546 g.
Angka kematian terkecil terjadi pada perlakuan Bromadiolon B (kematian
0), dimana penurunan bobot tubuh tikus sawah yaitu 0.483 g. Penurunan bobot
yang terkecil disebabkan oleh lebih sedikitnya rodentisida yang dikonsumsi
(0.0008 g) sehingga tidak menimbulkan pengaruh yang berarti dan tidak
menyebabkan kematian pada tikus sawah. Pada Bromadiolon D tikus yang mati
berjumlah 1 ekor dengan konsumsi rodentisida sebesar 0.1146 g (Tabel 2).
Konsumsi rodentisida yang sedikit kurang mempengaruhi proses fisiologis dalam
tubuh tikus, sehingga tikus tetap hidup meskipun terjadi penurunan bobot.
Tikus yang mati mengonsumsi rodentisida dengan jumlah yang lebih
banyak dibandingkan yang lainnya. Terdapat juga tikus yang mati dengan hanya
memakan sedikit rodentisida. Kondisi ini menyebabkan data yang diperoleh tidak
seragam sehingga dapat dikatakan tidak ada korelasi positif antara konsumsi
rodentisida dan kematian tikus sawah. Hal ini disebabkan adanya perbedaan faktor
psikologis dan fisiologis yang besar dari setiap individu tikus sawah baik dari sisi
genetis maupun non-genetis berupa cekaman. Tikus yang mati akibat sedikit
cekaman, dan pada akhirnya menimbulkan kematian pada tikus.
Konsumsi Racun dan Lama Kematian dari Setiap Individu
Masing-masing individu mengonsumsi rodentisida dengan jumlah yang
berbeda sehingga dosis letal (lethal dose) dari konsentrasi Bromadiolon yang
termakan dan lama kematian juga berbeda. Tikus yang telah mengonsumsi
rodentisida antikoagulan dengan dosis yang mematikan biasanya akan mengalami
kematian 2-14 hari setelah proses peracunan (Surtikanti 2007).
Pada perlakuan Bromadiolon A terdapat 4 ekor tikus yang mengalami
kematian. Dosis letal dan lama kematian untuk masing-masing individu yaitu
individu ke-2 (betina) dosis letal 0.330 mg/kg dengan lama kematian 12 hari
setelah perlakuan (saat gabah pasca perlakuan), individu ke-3 (jantan) dosis letal
0.520 mg/kg dengan lama kematian 5 hari setelah perlakuan (saat perlakuan),
individu ke-5 (jantan) dosis letal 0.082 mg/kg dengan lama kematian 4 hari
setelah perlakuan (saat perlakuan), dan individu ke-8 (betina) dosis letal 0.112
mg/kg dengan lama kematian 5 hari setelah perlakuan.
Pada perlakuan Bromadiolon C terdapat 2 ekor tikus yang mengalami
kematian dengan dosis letal dan lama kematian masing-masing individu yaitu
individu ke-5 (betina) dosis letal 0.892 mg/kg dengan lama kematian 11 hari
setelah perlakuan (saat gabah pasca perlakuan) dan individu ke-10 (betina) dosis
letal 0.329 mg/kg dengan lama kematian 9 hari setelah perlakuan (saat gabah
pasca perlakuan).
Pada perlakuan Bromadiolon D hanya 1 ekor tikus sawah (jantan) yang
mengalami kematian yaitu individu ke-2 dengan dosis letal sebesar 0.194 mg/kg
dengan lama kematian 5 hari setelah perlakuan (saat perlakuan).
Antara tikus sawah jantan dan betina tidak terdapat perbedaan dalam hal
kematian dan resistensi karena diperoleh data yang seimbang. Selain itu, dapat
dikatakan bahwa tidak ada korelasi antara konsumsi racun (mg/kg bobot tubuh)
dan lama kematian pada individu tikus sawah tersebut. Dosis letal dari tikus
sawah yang mati pada perlakuan Bromadiolon C dan D merupakan akumulasi dari
pada Rattus norvegicus, maka konsentrasi bromadiolon (A, C, dan D) yang termakan oleh tikus sawah tersebut tidak cukup untuk dapat menyebabkan
kematian. Hal ini tidak sesuai karena pada umumnya tikus sawah yang liar
mempunyai resistensi yang lebih tinggi terhadap racun dibandingkan dengan tikus
peliharaan di dalam laboratorium, karena tikus sawah diduga telah mengalami
resistensi akibat pemberian rodentisida terus-menerus saat berada di lapang.
Namun resistensi tersebut tergantung sejauh mana tikus sawah terkena paparan
rodentisida saat berada di lapang.
Resistensi pada tikus dapat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu fisiologis
(physiological factor) dan perilaku (behavioral factor). Faktor fisiologis yang
dapat menyebabkan resistensi yaitu telah terjadinya kekebalan pada tubuh tikus
terhadap rodentisida akibat adanya mutasi protein dalam tubuh tikus, namun
resistensi tersebut dapat terjadi pada kurun waktu yang cukup lama. Adapun
faktor perilaku yang dapat menyebabkan resistensi yaitu perilaku jera umpan
(bait-shyness) dan jera racun (poison-shyness) akibat pemberian rodentisida
secara terus-menerus.
Kematian yang terjadi sebagian besar disebabkan oleh akumulasi kondisi
psikologis dan rodentisida yang termakan sehingga kemudian dapat berpengaruh
terhadap penurunan kondisi fisiologis (seperti rambut tikus yang mengalami
kerontokan, urin yang dikeluarkan lebih banyak, serta gangguan metabolisme
lainnya) sehingga pada akhirnya akan menimbulkan kematian pada tikus. Menurut
Tarumingkeng (1992), terdapat faktor-faktor eksternal yang tidak dapat
dikendalikan dan dapat mempengaruhi ketidaksesuaian hasil eksperimen dengan
hipotesa yang ada. Faktor-faktor tersebut antara lain rotasi makan (waktu atau
periode makan) yang menyebabkan terjadinya perubahan yang berbeda dalam hal
toksisitas kematian tikus, resistensi tikus percobaan yaitu adanya perbedaan strain
yang dapat menyebabkan resistensi pada tikus percobaan, dan fisik (metabolisme)
tikus yaitu proses dalam tubuh tikus yang dapat menyebabkan resistensi.
Gejala yang terlihat pada individu tikus sawah yang mengalami keracunan
setelah mengonsumsi rodentisida antikoagulan pada umumnya sama yaitu terjadi
terdapat pula tikus yang tidak menunjukkan gejala pendarahan dibagian luar
tubuhnya. Hal ini disebabkan seberapa banyak rodentisida yang termakan dan
seberapa parah proses pendarahan yang terjadi dalam tubuh tikus. Hal ini sesuai
dengan sifat rodentisida antikoagulan yang dapat menghambat pembentukan
protrombin dan menyebabkan kerapuhan kapiler darah sehingga terjadi
pendarahan (Chandra 2005). Rodentisida ini membuat darah menjadi berkurang
kekentalannya dan semakin lama semakin encer sehingga pada akhirnya tikus
akan mati karena pendarahan didalam tubuhnya (Syamsuddin 2007).
Perbedaan Konsumsi antara Tikus Sawah Jantan dan Betina
Tikus sawah jantan dan betina seringkali memiliki perilaku yang berbeda
sehingga dapat berpengaruh terhadap umpan yang dikonsumsi. Perbedaan
konsumsi antara tikus sawah jantan dan betina dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Perbedaan konsumsi antara tikus sawah jantan dan betina
Keterangan: Angka pada baris dalam perlakuan yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang ganda Duncan pada taraf α=5% (huruf kecil) dan α=1% (huruf besar)
Hasil pengujian pada Tabel 4 menunjukkan bahwa antara tikus sawah jantan
dan betina pada perlakuan Bromadiolon A tidak terdapat perbedaan nyata dalam
hal mengonsumsi gabah, beras, dan rodentisida, dimana tikus sawah betina lebih
banyak mengonsumsi umpan gabah dibandingkan tikus sawah jantan. Sementara
itu tikus sawah jantan yang lebih banyak mengonsumsi beras dan rodentisida. Jenis
umpan
Bromadiolon A Bromadiolon B Bromadiolon C Bromadiolon D
Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina
banyak mengonsumsi gabah dan rodentisida dibandingkan dengan tikus sawah
jantan, namun lebih sedikit mengonsumsi beras. Pada perlakuan Bromadiolon C
dan D, tikus sawah jantan lebih banyak mengonsumsi ketiga jenis umpan
dibandingkan dengan tikus sawah betina.
Berdasarkan hasil yang telah diperoleh tersebut, maka dapat dikatakan
antara tikus sawah jantan dan betina tidak terdapat perbedaan dalam mengonsumsi
gabah, beras, dan rodentisida. Terjadinya variasi konsumsi dalam hal jenis
kelamin lebih cenderung karena aktivitas yang berbeda yang dilakukan oleh tikus
sawah dan sejauh mana adaptasi tikus dalam kandang percobaan terhadap ketiga
jenis umpan yang disediakan.
Konsumsi Tikus Sawah terhadap Gabah Saat Perlakuan dan Pasca Perlakuan
Tikus sawah yang telah diberikan perlakuan rodentisida dan umpan selama
5 hari turut kemudian diberikan umpan gabah selama 3 hari
berturut-turut. Pemberian umpan gabah pasca perlakuan bertujuan untuk mengondisikan
atau mengadaptasikan kembali tikus sawah untuk diberi perlakuan berikutnya.
Konsumsi tikus sawah terhadap gabah saat perlakuan dan pasca perlakuan dapat
dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Konsumsi tikus sawah terhadap gabah saat perlakuan dan pasca perlakuan
Jenis perlakuan
Konsumsi (g/100 g bobot tubuh)
Gabah saat
terhadap gabah saat perlakuan dan pasca perlakuan tidak menunjukkan perbedaan
yang nyata. Konsumsi tikus sawah terhadap gabah pasca perlakuan ada yang
mengalami peningkatan dan ada yang mengalami penurunan. Konsumsi tikus
sawah terhadap gabah pasca perlakuan yang mengalami penurunan menunjukkan
pengaruh dari proses peracunan di dalam tubuh tikus sawah, sehingga dapat
menurunkan konsumsi terhadap gabah. Peningkatan konsumsi gabah setelah
perlakuan menunjukkan bahwa tikus tidak mengalami keracunan (kondisi fisik
masih sehat), sehingga memiliki potensi pemenuhan kebutuhan pakan setiap
harinya kurang lebih 10-15% dari bobot tubuhnya jika pakan tersebut berupa
pakan kering (Anggara et al. 2008; Rochman et al. 2005).
Peningkatan konsumsi gabah pasca perlakuan pada tikus sawah terjadi pada
perlakuan Bromadiolon B (0.0793 g) dan D (0.7099 g). Hal ini dikarenakan
konsumsi tikus sawah terhadap rodentisida lebih sedikit sehingga kondisi tubuh
tikus relatif masih sehat (tidak mengalami keracunan) dan memerlukan kebutuhan
pakan yang tinggi. Selain itu, pada perlakuan Bromadiolon D tikus sawah sudah
menjadi lebih resisten. Pada dua perlakuan yang lain terjadi penurunan konsumsi
gabah pasca perlakuan yaitu pada Bromadiolon A (0.9756 g) dan C (0.2763)
akibat konsumsi rodentisida yang lebih banyak.
Bobot Tubuh Tikus Sawah Pasca Perlakuan
Pemberian gabah pasca perlakuan dapat mempengaruhi peningkatan atau
penurunan bobot tubuh pada tikus sawah. Apabila kondisi tikus setelah diberi
perlakuan masih cukup baik, maka konsumsi terhadap gabah pasca perlakuan
akan meningkat atau normal namun bobot tubuh tikus dapat meningkat atau
menurun. Pada umumnya setelah diberi perlakuan rodentisida, bobot tubuh tikus
akan terus menurun. Bobot tubuh tikus sawah pasca perlakuan dapat dilihat pada
Perlakuan
Bobot tubuh (g)
Awal Akhir Rerata Perubahan bobot
Bromadiolon A 88.790 83.191 85.991 -5.599
Bromadiolon B 79.081 78.388 78.735 -0.693
Bromadiolon C 76.828 74.761 75.795 -2.067
Bromadiolon D 75.767 76.449 76.108 +0.682
Bobot tubuh tikus sawah secara umum mengalami penurunan pada
perlakuan Bromadiolon A, B, dan C, namun mengalami peningkatan pada
perlakuan Bromadiolon D seperti yang terlihat pada Tabel 6. Penurunan bobot
tubuh terbesar setelah konsumsi gabah pasca perlakuan terjadi pada perlakuan
Bromadiolon A (5.599 g) diikuti Bromadiolon C (2.067 g). Hal ini disebabkan
oleh konsumsi tikus sawah terhadap Bromadiolon A dan C juga mengalami
penurunan. Penurunan bobot tubuh juga terjadi pada perlakuan Bromadiolon B,
tetapi sangat kecil yaitu 0.693 g. Sebaliknya pada perlakuan Bromadiolon D
terjadi peningkatan bobot tubuh setelah pemberian gabah pasca perlakuan yaitu
0.682 g. Hal ini sejalan dengan konsumsi terhadap gabah pasca perlakuan yang
juga mengalami peningkatan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Tikus sawah (Rattus argentiventer Rob. & Klo) lebih menyukai umpan
gabah dibandingkan beras dan rodentisida. Hal ini disebabkan gabah merupakan
pakan dasar dari tikus sawah sesuai dengan habitatnya yaitu lahan persawahan,
dimana selalu tersedia bulir padi. Dari keempat jenis formulasi rodentisida
bromadiolon yang diberikan, Bromadiolon A, C, dan D lebih disukai oleh tikus
sawah dibandingkan dengan Bromadiolon B. Hal ini karena tikus sawah lebih
menyukai umpan yang berbentuk serealia dibandingkan yang berbentuk blok.
Rodentisida Bromadiolon C yang paling banyak dikonsumsi oleh tikus sawah dan
Bromadiolon B yang paling sedikit dikonsumsi oleh tikus sawah. Kematian paling
tinggi terjadi pada perlakuan Bromadiolon A yang disertai penurunan bobot tubuh
lebih besar dibandingkan perlakuan yang lainnya, namun rodentisida yang lebih
efektif dalam mengendalikan tikus sawah di lapang yaitu Bromadiolon C karena
lebih banyak dikonsumsi dan dapat menyebabkan kematian.
Saran
Rodentisida berbahan aktif bromadiolon (0.005%) perlu diujikan terhadap
spesies tikus yang lain untuk mengetahui tingkat palatabilitas tikus yang berbeda
terhadap bromadiolon. Selain itu, perlu dilakukan pengujian rodentisida
bromadiolon dengan menggunakan umpan tambahan yang lain, misalnya
kacang-kacangan dan umbi-umbian atau pakan yang mengandung protein tinggi.
Penambahan bahan penyedap ke dalam umpan juga akan menimbulkan
ketertarikan pada tikus khususnya pada bahan aktif yang berbentuk tepung
DAFTAR PUSTAKA
Anggara AW, Sudarmadji. 2008. Modul G-2: Pengendalian Hama Tikus Terpadu (PHTT), Pelatihan TOT SL-PTT Padi Nasional. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Dasa Prima.
BB Padi. 2009. Tikus sawah (Rattus argentiventer Rob. & Klo.). BB Padi.
(http://bbpadi.litbang.deptan.go.id/index.php/in/hama-padi/227--tikus-sawah-rattus-argentiventer-rob-a-kloss-) [18 Desember 2011].
Bennett SM. 2002. Bromadiolone. Piedpiper: http://www.the-piedpiper.co.uk/th15 (b). htm [20 Januari 2012].
Boeadi. 1979. Morfologi tikus. Prosiding Lokakarya Pengendalian Hama Tikus. Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. Jakarta.
Brooks, J.E. and F.P. Rowe. 1979. Commercial Rodent Control. Monograph WHO/VBC 79.726. 109 hal.
Brown et al. 2003. Movement of the rice field rat, Rattus argentiventer, near a trap barrier system in race crop in West Java, Indonesia. International Journal of Pest Management, 49 (2): 123-129.
Buckle AP. 1994. Rodent control methods: chemical. Di dalam: Buckle AP. editor. Rodent Pest and Their Control. New York: CAB International. Hlm 127.
Buckle AP, Smith RH. 1996. Rodent Pest and Their Control. Cambrige UK: University Press.
Chandra B. 2005. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Dickman CR. 1988. Rodent-ecosystem relationship a review. Ecologically-Based Rodent Management 40: 113-126.
Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. 2006. Laporan tahunan luas dan intensitas serangan hama utama tanaman padi di indonesia. Ditlin Tanaman Pangan. Jakarta.
Fall MV. 1977. Rodent in tropical rice. Rodent research center university of the Philippines at Los Banos college, Laguna.