• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGUJIAN EFEKTIVITAS BEBERAPA FUMIGAN TERHADAP TIKUS SAWAH Rattus argentiventer (Rob.&Klo.) oleh: PRAKARSA SITEPU A

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGUJIAN EFEKTIVITAS BEBERAPA FUMIGAN TERHADAP TIKUS SAWAH Rattus argentiventer (Rob.&Klo.) oleh: PRAKARSA SITEPU A"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

PENGUJIAN EFEKTIVITAS BEBERAPA FUMIGAN

TERHADAP TIKUS SAWAH

Rattus argentiventer (Rob.&Klo.)

oleh:

PRAKARSA SITEPU

A44104003

PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

ABSTRAK

PRAKARSA SITEPU. Pengujian Beberapa Fumigan Terhadap Tikus Sawah Rattus argentiventer dibimbing oleh Swastiko Priyambodo.

Tikus merupakan hewan mamalia yang sering berasosiasi dengan manusia yang pada umumnya bersifat parasitisme, tikus mendapatkan keuntungan sedangkan manusia sebaliknya. Di bidang pertanian tikus merupakan salah satu hama penting yang menimbulkan kerugian besar, baik di lapang, maupun tempat penyimpanan. Di Indonesia kurang lebih terdapat 150 jenis tikus dan sembilan jenis diantaranya termasuk Genus Bandicota, Rattus dan Mus berperan sebagai hama pertanian dan vektor patogen pada manusia dan binatang ternak. Diantara jenis tikus yang diketahui menyerang tanaman padi di Indonesia tikus sawah (Rattus argentiventer) merupakan penyebab kerusakan yang terbesar. Tikus sawah dapat menyerang semua stadia pertumbuhan tanaman padi, mulai dari persemaian sampai stadia generatif, yang mengakibatkan tingkat kerusakan yang bervariasi untuk tiap stadia tanaman. Dalam usaha pencegahan dan pengendalian tikus sawah, telah dikembangkan beberapa usaha pengendalian seperti dengan kultur teknis, sanitasi, fisik-mekanis, biologis dan kimiawi (rodentisida dan fumigasi). Agar pengendalian berhasil baik, perlu dilakukan penyesuaian antara stadia pertumbuhan tanaman yang dikaitkan dengan ekobiologi dan perilaku tikus, selain itu dilaksanakan secara terpadu, serentak, dan berkesinambungan. Sebagai suatu cara pengendalian yang efektif dan banyak dipakai oleh masyarakat, perlu dilakukan pengujian terhadap keefektifan beberapa fumigan, sehingga pemanfaatannya dapat ditingkatkan.

Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektivitas berbagai jenis fumigan (belerang mercon, pembakaran belerang dengan merang, dan fumigan hidrogen fosfida) terhadap tikus sawah.

Pengujian yang dilakukan terbagi atas tiga perlakuan yaitu pengujian mercon belerang, pembakaran belerang dengan merang (emposan), dan hidrogen fosfida. Perlakuan mercon belerang terdiri atas tiga taraf yaitu dengan satu, dua, dan tiga batang mercon. Pada satu dan dua batang mercon dilakukan empat ulangan sedangkan pada tiga batang mercon dilakukan dua ulangan. Perlakuan pembakaran merang dengan belerang terdiri dari dua taraf yaitu 40 dan 80 putaran dengan empat ulangan. Perlakuan dengan hidrogen fosfida terdiri dari dua taraf yaitu dua dan enam tablet dengan tiga ulangan.

Berdasarkan hasil penelitian perlakuan fumigasi dengan mercon belerang mengakibatkan kematian tikus sawah paling cepat, dibandingkan dengan fumigasi dari pembakaran belerang dengan merang dan hidrogen fosfida. Rata-rata kematian tikus di bagian tengah arena lebih cepat dibandingkan dengan bagian tepi arena untuk semua perlakuan kecuali pada perlakuan mercon belerang dosis 2 batang. Perlakuan emposan belerang dengan merang (5.38 : 70 gram) selama 80 putaran lebih cepat memberikan pengaruh terhadap tikus dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Adanya perbedaan bobot dan jenis kelamin tikus pada tiap perlakuan, tidak mempengaruhi waktu kematian tikus sawah.

(3)

PENGUJIAN EFEKTIVITAS BEBERAPA FUMIGAN

TERHADAP TIKUS SAWAH

Rattus argentiventer (Rob.&Klo.)

oleh:

PRAKARSA SITEPU

A44104003

PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(4)

Judul skripsi :

PENGUJIAN EFEKTIVITAS BEBERAPA

FUMIGAN TERHADAP TIKUS SAWAH

Rattus argentiventer (Rob.&Klo.)

Nama Mahasiswa : Prakarsa Sitepu

NRP : A44104003

Program Studi : Hama dan Penyakit Tumbuhan

Menyetujui, Pembimbing

Dr. Ir. Swastiko Priyambodo, M.Si NIP. 131 664 407

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 23 September 1986 dan merupakan anak pertama dari dua bersaudara, keluarga M. Joni Sitepu, SH dan Ir. Malem Ukur Br Ginting.

Pada tahun 2001, penulis melanjutkan Sekolah Menengah Umum di SMU Kartika I-2 Medan dan menyelesaikan sekolah pada tahun 2004. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor, Fakultas Pertanian, Departemen Proteksi Tanaman pada tahun 2004 melalui jalur USMI (Ujian Seleksi Masuk IPB). Selama menjadi mahasiswa penulis aktif di organisasi kemahasiswaan, salah satunya sebagai anggota Himpunan Proteksi Tanaman (HIMASITA) pada tahun 2005-2006 dan 2006-2007. Penulis menjadi asisten dosen Vertebrata Hama pada semester genap 2006-2007 dan menjadi anggota kegiatan Pekan Kreativitas Mahasiswa Penelitian yang meraih medali emas di Universitas Malang.

(6)

PRAKATA

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Puji syukur penulis kehadirat Illahi rabbi karena dengan petunjuk dan hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Pengujian Beberapa Fumigan Terhadap Tikus Sawah Rattus argentiventer” pada waktunya. Sripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Pertanian, pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

• Bapak tercinta M. Joni Sitepu dan mama tercinta Ir. Malem Ukur Br Ginting, tiada kata yang dapat ditulis untuk menggantikan jasa beliau yang sangat besar dan hanya rasa terima kasih yang tulus dan doa yang dapat penulis haturkan, serta adikku tersayang yang telah memberikan semangat dan doa.

• Dr. Ir. Swastiko Priyambodo, M.Si selaku dosen pembimbing penelitian yang telah memberikan masukan, ide kepada penulis, arahan, dan dorongan moril selama penulis menyelesaikan skripsi ini.

• Dr. Ir. Widodo, M.Sc selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan nasehat untuk perbaikan skripsi ini.

• Staf pengajar di Departemen Proteksi Tanaman atas ilmu yang telah diberikan selama penulis belajar di IPB. Bapak Ahmad Soban dan keluarga atas semua bantuannya dari awal penelitian sampai akhir penelitian.

• Semua teman-teman angkatan 41, “The Kumbang’s” atas kekompakan, kebersamaan, dan persaudaraan selama belajar di IPB, semoga pertemanan kita tetap abadi.

• Annisa Kusumowardani yang telah memberi perhatian, semangat, dan dukungan selama menyusun skripsi ini.

Semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi kita semua. Amin ya Robbal alamiin.

Bogor, Maret 2008

(7)

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan ... 3 Manfaat ... 3 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Biologi dan Penyebaran Tikus Sawah ... 4

Perilaku ... 5 Habitat... 6 Pengendalian ... 7 Fumigasi... 8 Belerang Oksida... 9 Mercon Belerang... 10 Hidrogen fosfida ... 11

BAHAN DAN METODE ... 12

Tempat dan Waktu... 12

Bahan dan Alat... 12

Metode ... 12

Rancangan Percobaan ... 12

Pembuatan Lubang Tikus ... 13

Perlakuan... 13

Cara Aplikasi ... 13

HASIL DAN PEMBAHASAN... 15

Rentang Waktu Saat Kematian Tikus ... 15

Rentang Waktu Asap Menjangkau Tikus Sawah... 18

Rentang Waktu Kematian Tikus Sawah Berdasarkan Jenis Kelamin... 20

Rentang Waktu Kematian Tikus Sawah Berdasarkan Bobot Tikus... 22

(8)

ii

KESIMPULAN... 24 DAFTAR PUSTAKA ... 25 LAMPIRAN... 27

(9)

iii

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1 Lama Waktu Phostoxin Terurai pada Suhu

yang Berbeda ... 11 Tabel 2 Perlakuan Fumigasi... 13 Tabel 3 Rata-rata Saat Kematian Tikus Sawah Setelah

Aplikasi ... 15 Tabel 4 Rata-rata Kematian Tikus Sawah di Bagian Tengah dan

Tepi dari Arena Pengujian ... 17 Tabel 5 Rata-rata Saat Tikus Merasakan Pengaruh dari

Fumigan ... 29 Tabel 6 Lama Kematian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 21 Tabel 7 Lama Kematian Berdasarkan Bobot Tubuh... 22

(10)

iv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Alat Emposan Buatan PINDAD ... 12

Gambar 2 Kandang Pemeliharaan Tikus ... 12

Gambar 3 Manipulasi Liang Tikus ... 13

Gambar 4 Mercon Belerang Siap Pakai... 14

Gambar 5 Alat Emposan Untuk Jenis Mercon Belerang ... 14

Gambar 6 Kematian Tikus Setelah Perlakuan ... 16

Gambar 7 Kondisi Liang/Stoples Pada Saat Perlakuan ... 20

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tikus merupakan hewan mamalia yang sering berasosiasi dengan manusia yang pada umumnya bersifat parasitisme, tikus mendapatkan keuntungan sedangkan manusia sebaliknya. Di bidang pertanian tikus merupakan salah satu hama penting yang menimbulkan kerugian besar, baik di lapang, maupun tempat penyimpanan. Tikus memiliki palabilitas pakan yang luas pada tanaman pangan antara lain serealia, kacang-kacangan, umbi-umbian, buah, sayuran dan peningkatan populasi tikus terjadi dengan cepat apabila pakan selalu tersedia (Priyambodo 2003). Tinggi rendahnya populasi tikus dan juga faktor lingkungan mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat kerusakan pada semua stadia pertumbuhan tanaman.

Di Indonesia kurang lebih terdapat 150 jenis tikus dan sembilan jenis diantaranya Genus Bandicota, Rattus dan Mus berperan sebagai hama pertanian dan vektor patogen pada manusia dan binatang ternak. Diantara jenis tikus yang diketahui menyerang tanaman padi di Indonesia, tikus sawah (Rattus argentiventer) merupakan penyebab kerusakan yang terbesar (Sudarmaji & Rochman 1997). Tikus sawah dapat menyerang semua stadia pertumbuhan tanaman padi, mulai dari persemaian sampai stadia generatif, yang mengakibatkan tingkat kerusakan yang bervariasi untuk tiap stadia tanaman.

Dalam usaha pencegahan dan pengendalian tikus sawah, telah dikembangkan beberapa usaha pengendalian seperti dengan kultur teknis, sanitasi, fisik-mekanis, biologis dan kimiawi (rodentisida dan fumigasi). Agar pengendalian berhasil baik, perlu dilakukan penyesuaian antara stadia pertumbuhan tanaman yang dikaitkan dengan ekobiologi dan perilaku tikus, selain itu dilaksanakan secara terpadu, serentak, dan berkesinambungan.

Tindakan pengendalian kultur tehnik yang dapat dilakukan di lapang yaitu penanaman serentak pada areal luas dan meminimumkan tempat tinggal. Tindakan dengan tanam serentak hendaknya dilakukan dalam suatu hamparan yang luas atau sekitar 300 ha sehingga akan terjadi situasi stadia pertumbuhan dan kondisi lahan yang relatif seragam. Apabila beberapa varietas yang berbeda

(12)

ditanam pada hamparan tersebut maka diusahakan agar stadia pertumbuhan dan waktu panen kurang lebih bersamaan.

Tindakan pengendalian dengan sanitasi dilakukan mulai awal penanaman padi sampai dengan panen. Selain itu dilakukan pembuatan pematang atau tanggul yang berukuran kecil (tinggi dan lebar kurang dari 40 cm) dan membatasi jumlah pematang/tanggul yamh berukuran besar.

Pengendalian tikus secara biologis di sawah dapat dilakukan dengan hewan predator seperti ular sawah, musang, anjing pemburu, dan hewan lain yang bersifat pemangsa tikus. Pengendalian hayati terhadap tikus lebih sulit untuk dilakukan dan kurang memberikan hasil yang memuaskan. Pada fase generati pertanaman padi perkembangan tikus sangat besar dan tinggi dibandingkan dengan hewan predator, sehingga sulit untuk dilakukan pengendalian cara ini.

Pengendalian dengan umpan beracun (rodentisida) dilakukan dengan mencampur umpan yang biasa dimakan tikus dengan rodentisida. Cara ini hanya efektif pda saat tanaman padi dalam fase vegetatif, karena dala fase generatif, tikus lebih menyukai bulir padi di pertanaman.

Pada stadia pertumbuhan generatif tanaman padi tikus lebih cenderung memakan bulir padi daripada jenis-jenis pakan lainnya, dan sedang melakukan perkembangbiakan sehingga lebih sering berada dalam liang/sarang.

Pada saat itu pengendalian yang paling tepat adalah dengan cara fumigasi. Fumigasi akan efektif karena pada kondisi ini tikus-tikus akan berdatangan ke sawah dan menempati liang-liang yang ada di sekitar pertanaman sawah (Rochman 1976). Fumigasi mempunyai keuntungan yaitu kemampuan membunuh tikus-tikus muda yang berada di dalam liang dan juga ektoparasit (Untung 1973).

Fumigasi atau pengemposan merupakan salah satu cara pengendalian yang banyak dipakai oleh petani. Dalam mempermudah pengaplikasian bermacam-macam alat fumigasi dibuat agar proses fumigasi tersebut menjadi ekonomis dan lebih praktis. Di Indonesia, bahan fumigasi yang dikembangkan dalam pengendalian tikus sawah adalah bahan yang dapat menghasilkan asap belerang oksida. Gas ini dihasilkan dari pembakaran belerang yang dicampur dengan jerami. Selain fumigasi yang berasal dari pembakaran belerang, ada pula beberapa jenis fumigan yang akan menghasilkan gas beracun jika terjadi kontak

(13)

dengan udara atau air. Salah satu fumigan ini adalah gas fosfida. Hidrogen fosfida dapat digunakan untuk fumigasi pada liang-liang tikus, dan pada hal ini pernah dilakukan di India dan beberapa negara Timur Tengah, tetapi pada umumnya fumigan ini digunakan dalam pengendalian serangga dan tikus di gudang.

Sebagai salah satu cara pengendalian yang efektif dan banyak dipakai oleh masyarakat, perlu dilakukan pengujian terhadap keefektifan beberapa fumigan ini, sehingga pemanfaatannya dapat ditingkatkan.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektivitas berbagai jenis fumigan (belerang mercon, pembakaran belerang dengan merang, dan fumigan hidrogen fosfida) terhadap tikus sawah.

Manfaat

Dengan mengetahui keefektifan dari tiap jenis fumigan, dapat dijadikan bahan untuk mengendalikan tikus sawah secara praktis, ekonomis, efisien, dan ramah terhadap lingkungan.

(14)

TINJAUAN PUSTAKA

Biologi dan Penyebaran Tikus Sawah

Tikus sawah (Rattus argentiventer) termasuk hewan terestrial, tergolong ke dalam Ordo Rodentia, Subordo Myomorpha, Famili Muridae, Sub famili Murinae (CPC 2002).

Ukuran tikus sawah tergolong besar, tetapi lebih kecil dari tikus riul (Rattus norvegicus). Tikus sawah mempunyai tekstur rambut agak kasar, bentuk hidung kerucut, bentuk badan silindris, warna badan bagian punggung coklat kelabu kehitaman, warna badan bagian perut kelabu pucat atau putih kotor. Ekor bagian atas dan bawah berwarna coklat hitam. Ekor relatif lebih pendek daripada kepala dan badan, tonjolan pada telapak kakinya kecil dan licin. Tikus betina mempunyai puting susu 12 buah, tiga pasang di bagian dada dan tiga pasang di bagian perut (Priyambodo 2003).

Tikus sawah bersifat omnivora, tetapi memerlukan makanan yang banyak mengandung zat tepung (karbohidrat), seperti biji padi, kelapa, umbi. Jagung dan tebu kurang disukai (Kalshoven 1981).

Di Indonesia, perkembangbiakan tikus sawah yang cepat terjadi pada saat tanaman padi mulai memasuki fase generatif sampai dengan dipanen. Perkembangbiakan tikus sawah banyak dipengaruhi oleh faktor makanan terutama nutrisi pada stadia pertumbuhan tanaman padi dan secara tidak langsung dipengaruhi pula oleh lingkungannya. Pada musim hujan atau bila makanan cukup tersedia, frekuensi kelahiran dan jumlah anak akan tinggi dan banyak, sebaliknya di musim kemarau perkembangbiakannya agak terhambat.

Tikus betina bunting selama 21 hari dan menyusui anaknya selama 28 hari. Tikus betina mampu bunting dan menyusui dalam waktu bersamaan dan tikus tersebut kawin lagi dalam waktu 48 jam setelah melahirkan (Southwhick 1969; Meehan 1984).

Anak tikus yang baru dilahirkan berwarna merah, tidak berambut, dan buta (Meehan 1984). Rambut akan tumbuh lengkap dan mata mulai terbuka pada umur 7 – 10 hari. Setelah berumur 20 hari anak tikus akan disapih oleh induknya untuk hidup mandiri.

(15)

Tikus sawah dapat berkembangbiak dalam waktu singkat sehingga akan terjadi peningkatan populasi yang sangat pesat atau sering disebut dengan ledakan populasi. Hal tersebut dapat terjadi apabila kondisi lingkungan yang memungkinkan seperti tersedianya pakan yang melimpah, serta tempat berlindung dan bersarang yang memadai (Macdonald & Fenn 1994).

Tikus sawah mempunyai adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan dan ditemukan di seluruh kepulauan Indonesia. Tikus sawah sering di jumpai di daerah persawahan dan padang rumput sampai dengan ketinggian 1500 meter dari permukaan laut (Van der Zon 1979 dalam Assagaf 1987).

Perilaku

Tikus sawah tergolong hewan nokturnal dan melakukan aktivitas harian yang teratur, yang bertujuan untuk mencari pakan, minum, pasangan, dan orientasi kawasan. Tikus menyenangi tempat-tempat yang gelap karena di tempat ini tikus merasa aman dan terlindung. Pada umumnya tikus sawah menempati liang atau tempat persembunyian lainnya.

Tanaman padi merupakan pakan utama bagi tikus sawah dan semua stadia pertumbuhan dapat dirusak. Daur perkembangan dan besarnya kerusakan yang ditimbulkan oleh tikus sawah berkaitan erat dengan fase pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi. Jumlah anakan padi yang dikerat oleh seekor tikus sawah dalam semalam tergantung dari musim dan fase pertumbuhan tanaman. Pada tanaman padi umur 2 hari setelah semai, seekor tikus mampu merusak 126-522 bibit dengan rata-rata 283 bibit semalam. Tanaman padi mulai bermalai, seekor tikus dapat memotong 11-176 anakan atau rata-rata 79 batang. Pada stadia ini tanaman padi rusak karena dipotong dan dimakan bagian titik tumbuh/umbut yang masih lembut. Pada stadia padi bermalai, seekor tikus dapat merusak 24-246 anakan atau rata-rata 103 batang. Daya merusak malai sekitar 1-35 malai atau rata-rata 12 malai per malam. Dari sejumlah malai yang dipotong ternyata hanya beberapa malai saja yang dimalan bulirnya, selebihnya dibiarkan berserakan atau dijadikan sarang (Rochman dan Djuarso 1976). Kerusakan tanaman padi pada waktu bunting dan bermalai adalah yang sangat berpengaruh terhadap turunnya produksi (Brooks & Rowe 1979).

(16)

Habitat

Habitat merupakan salah satu faktor lingkungan yang menjadi pendukung perkembangan populasi tikus sawah. Habitat yang memadai akan menguntungkan bagi tikus untuk menemukan tempat hidup dan berkembangbiak dengan baik. Aktifitas membuat liang merupakan salah satu kemampuan tikus sawah untuk mendapatkan tempat hidup dan berkembangbiak.

Pada awal pertanaman padi dengan pola tanam serempak populasi tikus sawah masih sedikit. Pada periode tersebut sebagian tikus sawah masih menghuni tanggul irigasi primer, sekitar pekarangan, gudang, tegalan, dan tepi rawa (Rochman 1992).

Pada tanaman padi menjelang bermalai, tikus sawah mulai berdatangan dan menghuni lubang lama atau membuat lubang baru untuk berkembang biak. Pada stadia generatif pertanaman padi, terjadi puncak populasi tikus sawah dan 90% populasi terdiri dari tikus muda. Tersedianya padi bermalai merupakan habitat yang mendukung terjadinya perkembangbiakan tikus sawah (Rochman, Sukarna, dan Suwalan 1982).

Berdasarkan membuatan liang, tikus dapat dibagi menjadi dua kelompok, tikus yang membuat liang dan yang tidak membuat liang. Contoh tikus-tikus pembuat liang, adalah tikus wirok (Bandicota indica), tikus riul (Rattus norvegicus), tikus sawah (Rattus argentiventer), dan mencit sawah (Mus caroli). Liang-liang ini sangat diperlukan karena sebagai sarang untuk menghindarkan diri dari gangguan musuhnya dan juga sebagai tempat persembunyiannya. Selain itu, sarang bagi tikus berfungsi sebagai tempat untuk melahirkan dan membesarkan anak-anaknya, sebagai tempat untuk menyimpan pakan, dan sebagai tempat untuk beristirahat (Priyambodo 2003).

Menurut Sudarmaji (2004), bahwa panjang dan volume sarang tikus pada stadia generatif dua kali lebih panjang dan lebih besar dibanding pada stadia padi vegetatif. Panjang rata-rata liang tikus 4 meter dan volumenya mencapai 10.3 liter. Hal tersebut karena tikus memerlukan sarang yang lebih longgar dan nyaman untuk membesarkan anak-anaknya.

(17)

Tikus-tikus membuat liang pada pematang yang ditumbuhi rerumputan karena daerah-daerah ini aman dari bahaya dan memiliki pakan yang cukup tersedia untuk perkembangbiakannya (Assagaf 1987).

Pengendalian

Banyak cara pengendalian dan pencegahan tikus sawah yang dilakukan para petani, seperti cara kultur teknis, sanitasi, fisik-mekanis, biologis atau hayati, dan kimiawi (umpan beracun dan fumigasi). Tiap-tiap cara pengendalian memiliki kelebihan dan kekurangannya. Oleh karena itu dalam usaha pengendalian hama, termasuk tikus, dianut konsep pengendalian hama terpadu (Partoatmodjo 1979).

Menurut Priyambodo (2003), beberapa usaha pengendalian hama tikus terpadu, antara lain:

Pengendalian dengan cara kultur teknis atau bercocok tanam. Prinsip dari pengendalian ini adalah membuat lingkungan yang tidak menguntungkan atau tidak mendukung bagi kehidupan dan perkembangan populasi tikus.

Beberapa cara kultur teknis yang dapat membatasi pertumbuhan populasi tikus sawah, antara lain pangaturan waktu tanam, pola tanam, jarak tanam, dan tanaman perangkap. Pengaturan waktu tanam, yaitu menanam secara serempak jenis komoditi dan varietas yang sama dalam areal yang cukup luas (minimal 100 ha). Pengaturan pola tanam, bertujuan untuk membatasi ketersediaan pakan yang sesuai bagi reproduksi tikus. Pengaturan pola tanam hanya berlaku pada tanaman semusim. Pengaturan jarak tanam, adalah mengatur jarak tanam lebih lebar dari biasanya atau menghilangkan satu baris tanaman setiap empat sampai enam baris tanaman dengan tujuan agar tercipta lingkungan yang terbuka yang kurang disukai oleh tikus atau menghambat pergerakan tikus. Hal ini dikenal dengan sistem legowo.

Pengendalian dengan sanitasi adalah dengan memusnahkan tumpukan jerami setelah panen, karena tumpukan ini menyediakan peluang bagi tikus untuk membuat liang, bersarang dan berkembang biak.

Pengendalian secara fisik dan mekanis mempunyai prinsip dasar sebagai berikut: Membunuh tikus secara langsung, mengusir tikus dengan

(18)

bermacam-macam alat yang tidak bersifat kimia, dan melindungi tanaman dari serangan tikus.

Pengendalian secara hayati (biologi) terhadap populasi tikus dilakukan dengan menggunakan parasit, predator, atau patogen untuk mengurangi atau bahkan meghilangkan populasi tikus dari suatu habitat. Namun cara ini kurang efektif dan kurang memberikan hasil yang memuaskan. Pengendalian populasi tikus secara hayati dilakukan dengan penggunaan parasit, patogen, dan manipulasi genetik telah dirintis, namun belum dapat diterapkan secara luas (Fall 1977).

Pengendalian dengan umpan beracun dilakukan dengan cara mencampur umpan yang biasa dimakan oleh tikus dengan rodentisida. Jika umpan tersebut dimakan sesuai dengan dosis yang mematikan, maka tikus-tikus akan mati terbunuh. Akan tetapi cara ini hanya efektif pada saat tanaman padi dalam fase vegetatif, karena pada fase generatif tikus sawah lebih menyukai bulir padi di pertanaman.

Pengendalian dengan fumigan dapat dilakukan untuk membunuh tikus-tikus yang mendiami liang-liang di pematang sawah.

Fumigasi

Pengendalian dengan fumigasi telah dilakukan secara luas terhadap serangga dan hama-hama lainnya. Cara ini biasanya dilakukan di rumah, gudang, kapal laut, atau sarang tikus di dalam tanah.

Fumigasi dapat digunakan untuk membunuh tikus beserta ektoparasitnya. Fumigasi ini cukup berbahaya, baik bagi orang yang melakukan maupun bagi manusia atau hewan lain yang ada di sekitar daerah aplikasi. Fumigan yang sering digunakan terhadap tikus adalah, calcium sianide, hidrogen fosfida (Phostoxin), khloropikrin, metil bromida. Sementara itu untuk karbon dioksida, karbon monoksida dan belerang disulfida relatif jarang digunakan (Brooks dan Rowe 1979). Sedangkan di Indunesia penggunaan emposan yang menghasilkan ketga gas tersebut justru banyak digunakan.

Hidrogen sianida dan gas fosfin umumnya diaplikasikan pada liang-liang tikus di pematang sawah. Pada musim kemarau keefektifan gas-gas ini dibatasi oleh rekahan-rekahan tanah. Kekurangan lain dari cara ini adalah hanya mampu

(19)

membunuh tikus-tikus yang berada dalam liang. Selain itu adalah bahaya yang diakibatkan terhirupnya gas-gas beracun oleh aplikator atau hewan non sasaran, selama proses aplikasi fumigasi tersebut.

Penggunaan fumigan akan berhasil dengan baik apabila berat molekul lebih dari 28. Jika berat molekulnya kurang dari 28, maka gas-gas tersebut akan melayang atau menguap ke bagian atas liang dan hilang. Tingkat kelembapan udara di dalam tanah dan ukuran partikel tanah merupakan faktor lain yang harus diperhatikan (Brooks dan Rowe 1979).

Belerang Dioksida

Belerang dioksida merupakan gas yang berasal dari hasil pembakaran unsur belerang. Belerang berbentuk padat, berwarna kuning, tidak mudah terbakar, bau menusuk hidung, perih di mata, dan dapat terbawa lewat saluran respirasi dan memliki bentuk yang beraneka ragam.

Sebagai pestisida, belerang dapat diaplikasikan ke tanah, dapat digunakan sebagai debu, dan campurannya dengan bahan pembasah akan membentuk suspensi di dalam air.

Gas sulfur dioksida bersama-sama dengan gas karbon monoksida dan karbon dioksida merupakan hasil pembakaran dari merang, atau sabut kelapa dengan belerang dengan perbandingan 10-15 (merang, sabut kelapa) berbanding 1 (belerang). Ketiga gas ini dihasilkan secara bersama-sama dalam bentuk emposan untuk mengendalikan tikus yang berada di dalam sarangnya (Priyambodo 2003). Penelitian khusus oleh Technical Team Pengamanan Padi Universitas Gadjah Mada, pada tahun 1961, menunjukkan bahwa perbandingan berat belerang dengan merang yang paling baik adalah 1:13. Lama fumigasi yang terbaik untuk tiap liang tikus sekitar dua menit (Untung 1973).

Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, gas racun pernafasan yang paling banyak digunakan untuk fumigasi liang tikus diperoleh dari pembakaran belerang. Gas-gas ini dapat mematikan tikus dalam waktu yang relatif yang singkat, dan gas yang dihasilkan ialah SO2 dan CO. Selain itu gas-gas ini dapat membunuh tikus-tikus muda. Gas ini dihembuskan ke dalam liang dengan menggunakan alat

(20)

fumigasi yang berbentuk alat midget-duster, alat GAMA, alat PINDAD atau alat lainnya (Untung 1973).

Mercon Belerang

Mercon belerang merupakan suatu alat sekali-pakai yang pada dasarnya terdiri atas kertas silinder bergaris tengah 2 cm dengan panjang tabung 6.5 cm. Tabung tersebut berisi bubuk arang-belerang-oksidan dengan perbandingan berat 2-4-4. pada mulut tabung yang berdiameter 6 mm terdapat sumbu kertas. Bahan tersebut dinamakan SETI (Swa Empos Tikus) (Sunarjo 1986). Sekarang dikenal dengan mercon belerang.

Sebagai fumigan, mercon belerang hanya efektif bekerja dalam ruang tertutup. Oleh sebab itu mercon belerang ini hanya efektif membunuh tikus sawah yang sedang berada di dalam sarangnya (Sunarjo 1992).

Mercon belerang mengandung komponen yang mudah terbakar, oleh sebab itu harus disimpan di tempat kering an sejuk, dan jauh dari sumber api. Karena sifat tersebut cara aplikasinya harus dilakukan dengan hati-hati dan memerlukan latihan sebelum dapat melakukannya sendiri.

mercon belerang merupakan fumigan yang baru aktif kalau terbakar. Untuk dapat menyembur sendiri, pembakaran harus berlangsung dengan cepat. Pembakaran yang berlangsung cepat dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan bagi aplikator. Oleh sebab itu untuk mencegah kemungkinan luka bakar, sebaiknya aplikator menggunakan sarung tangan panjang sebatas siku.

Hidrogen fosfida

Hidrogen fosfida berasal dari Jerman Barat, ditemukan pada tahun 1930 dan disebarkan ke Amerika oleh Phostoxin Sales (Thomson 1977). Gas hidrogen fosfida sering disebut dengan fosfin, berasal dari reaksi alumunium fosfida dengan uap air di udara (H20 gas)

Gas fosfin tidak hanya bersifat sebagai insektisida, tetapi biosida sehingga dapat membunuh tikus terutama yang berada di dalam gudang. Gas fosfin mempunyai sifat-sifat tidak berwarna, bau seperti bawang putih atau karbit,

(21)

mudah terbakar, dan beracun pada konsentrasi lebih dari 0.3 ppm. Namun demikian, tidak adanya bau bukanlah berarti tidak adanya gas fosfin.

Fosfin hanya sedikit lebih berat dari udara dan lebih cepat menyebar dari pada fumigan lainnya. Standar untuk komoditi pertanian (beras) di penggilingan atau gudang digunakan 30 tablet atau 75 pelet hidrogen fosfida dan untuk liang tikus digunakan 1-4 tablet atau 5-20 pelet hidrogen fosfida (Anonim 2004a).

Setiap tablet hidrogen fosfida membebaskan satu gram gas fosfin (Brooks dan Rowe 1979). Setiap tablet hidrogen fosfida yang beratnya 3 gram, mengandung 55 persen alumunium phosphide, 42 persen amonium karbamat, dan 3 persen parafin. Tablet hidrogen fosfida dapat terurai sampai habis dalam kurun waktu yang berbeda-beda tergantung dari suhu lingkungan (Tabel 1).

Hidrogen fosfida mengandung karbamat, yang bersamaan dengan alumunium phosphide melepaskan karbon dioksida dan amonia. Kedua gas ini mengurangi fosfin yang terbentuk dan juga mengurangi bahaya kebakaran sewaktu gas fosfin dibebaskan dari tablet tersebut. Adapun parafin yang menyelimuti tablet berfungsi untuk melindungi aplikator dari gas fosfin, dengan adanya masa aman sekitar 15 menit (Priyambodo 2003).

Alumunium phosphide dalam reaksinya dengan air atau uap air dapat meninggalkan sedikit residu pada komoditi yang difumigasi. Monro (1969) menyatakan bahwa alumunium phosphide dapat menimbulkan residu kecil pada bahan pangan yang difumigasi, tetapi residu ini akan hilang bila bahan pangan sering dibolak-balik.

Tabel 1 lama waktu hidrogen fosfida terurai pada suhu yang berbeda Waktu

Suhu

Tablet Pelet 5oC Tidak bisa Tidak bisa

5 – 12oC 10 hari (240 jam) 8 hari (192 jam) 12 – 15oC 5 hari (120 jam) 4 hari (120 jam) 16 – 20oC 4 hari ( 96 jam) 3 hari (96 jam)

>20oC 3 hari (72 jam) 2 hari (72 jam) Sumber: (Anonim 2004b)

(22)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Vertebrata Hama, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dimulai dari bulan Oktober sampai dengan November 2007.

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus sawah (Rattus argentiventer), rodentisida siap pakai mercon belerang, hidrogen fosfida, serbuk belerang 5.38 gram, merang 70 gram, oli mobil.

Alat-alat yang digunakan adalah alat emposan buatan PINDAD (Gambar 1), alat pencatat waktu, korek api, 4 buah stoples plastik tembus pandang volume 2.25 liter/stoples, pipa paralon berdiameter 5 cm, kantong plastik, dan kandang tikus (Gambar 2).

Gambar 1. Alat emposan buatan PINDAD Gambar 2. Kandang pemeliharaan

tikus Metode Penelitian

Rancangan Percobaan

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap, terdiri dari enam perlakuan dan empat ulangan. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan program SAS dan dilakukan uji lanjut dengan Uji Selang Berganda Duncan pada taraf 5%.

(23)

Pembuatan Lubang Tikus

Lubang tikus dibuat dari pipa paralon berdiameter 5 cm dengan volume udara kurang lebih 20 liter. Struktur lubang dibentuk bercabang seperti lubang tikus di pematang atau tanggul irigasi. Di ujung lubang terdapat 4 buah sarang yang terbuat dari stoples plastik tembus pandang untuk mengetahui waktu jangkauan asap ke dalam sarang dan rentang waktu terjadinya proses kematian

tikus yang diuji (Gambar 3).

Gambar 3 Manipulasi liang tikus yang dibuat dari pipa paralon

Perlakuan

Perlakuan yang diberikan pada uji ini dapat dilihat pada Tabel 2 Tabel 2 Perlakuan yang dilakukan

Perlakuan Dosis Mercon belerang 1, 2, dan 3 batang

Emposan belerang dengan merang

(5.38 : 70 gram) 40 dan 80 putaran Hidrogen fosfida 2 dan 6 tablet

Cara Aplikasi

Tikus percobaan dimasukkan ke dalam stoples. Pada bagian ujung pipa paralon yang masuk ke dalam stoples ditutup dengan kawat ram agar tikus sawah tidak dapat keluar dari stoples dan masuk ke dalam pipa. Setiap perlakuan rodentisida mercon belerang (Gambar 4) diletakkan dalam alat aplikasi. Alat aplikasi mercon belerang dirancang khusus terbuat dari bahan metal berbentuk kerucut yang dilengkapi pemegang pada bagian pangkal (Gambar 5).

(24)

Aplikasi pembakaran belerang dengan merang menggunakan alat emposan buatan tipe PINDAD yang dilakukan dengan 40 dan 80 putaran. Fumigasi dengan hidrogen fosfida dilakukan dengan meletakkan 2 dan 6 tablet di bagian pangkal pipa paralon yang melintang secara bergantian sebagai perlakuan.

Peubah yang diamati dalam percobaan ini adalah lama waktu asap menjangkau tikus sawah atau tikus sawah merasakan efek, saat kematian tikus sawah yang dihitung dari saat gas masuk ke dalam stoples sampai dengan tikus tersebut mati. Pada perlakuan hidrogen fosfida yang diamati adalah sejak tikus melakukan gruming sampai dengan tikus tersebut kejang-kejang dan mati. Semua peubah tersebut dihitung dalam satuan detik Setelah aplikasi, tikus sawah ditimbang dan diamati jenis kelaminnya.

Gambar 4. Mercon belerang Gambar 5. Alat pemegang untuk mercon belerang

(25)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengujian yang dilakukan terbagi atas tiga perlakuan yaitu pengujian mercon belerang, pembakaran belerang dengan merang (emposan), dan hidrogen fosfida. Perlakuan mercon belerang terdiri atas tiga taraf yaitu dengan satu, dua, dan tiga batang mercon. Pada satu dan dua batang mercon dilakukan empat ulangan sedangkan pada tiga batang mercon dilakukan dua ulangan. Hal ini dikarenakan ketersediaan mercon yang terbatas. Perlakuan pembakaran merang dengan belerang terdiri dari dua taraf yaitu 40 dan 80 putaran dengan empat ulangan. Perlakuan dengan hidrogen fosfida terdiri dari dua taraf yaitu dua dan enam tablet dengan tiga ulangan.

Rentang Waktu Saat Kematian Tikus Sawah

Rentang waktu saat kematian tikus sawah dapat dilihat pada Tabel 3 dan analisis ragamnya disajikan pada Tabel Lampiran 1.

Tabel 3 Rata- rata saat kematian tikus sawah setelah aplikasi

Perlakuan Lama kematian tikus (detik) Mercon belerang dosis 1 batang 35.6 b

Mercon belerang dosis 2 batang 36.13 b Mercon belerang dosis 3 batang 37.3 b Emposan belerang dengan merang (5.38

: 70 gram) dengan 40 putaran

142.1b

Emposan belerang dengan merang (5.38 : 70 gram) dengan 80 putaran

78 b

Hidrogen fosfida dosis 2 tablet 7155 a Hidrogen fosfida dosis 6 tablet 7210 a

Keterangan: Angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf α = 5 %

Hasil pengamatan terhadap rata-rata saat kematian tikus sawah pada perlakuan mercon belerang dan pembakaran merang dengan belerang tidak berbeda nyata, tapi kedua perlakuan ini berbeda sangat nyata dengan perlakuan hidrogen fosfida.

(26)

Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa urutan saat kematian tikus sawah dari yang paling cepat berturut-turut sebagai berikut: mercon belerang 1 batang, mercon belerang 2 batang, mercon belerang 3 batang, emposan 80 putaran,

emposan 40 putaran, hidrogen fosfida 2 tablet, hidrogen fosfida 6 tablet. Perlakuan fumigasi dengan mercon belerang mengakibatkan kematian

tikus sawah paling cepat (Gambar 6), dibandingkan dengan fumigasi dari pembakaran belerang dengan merang dan hidrogen fosfida. Hal ini disebabkan adanya dorongan asap belerang dari serbuk mercon yang terbakar. Bahan baku mercon belerang terdiri dari belerang, serbuk mercon dan kertas sebagai pembungkus sehingga dihasilkan gas SO2 dengan konsentrasi yang tinggi segera setelah dilakukan pembakaran, serta terjadi penjenuhan liang tikus dengan gas SO2 mercon belerang lebih cepat daripada perlakuan emposan dan dari gas fosfin (PH3). Gas SO2 ini menimbulkan gangguan pada pembuluh-pembuluh sistem pernafasan tikus sawah sehingga mempercepat kematiannya (Brooks dan Rowe 1979).

Gambar 6. Kematian tikus setelah perlakuan

Pada perlakuan pembakaran belerang dengan merang mengakibatkan kematian lebih lambat dibandingkan dengan mercon belerang. Hal ini disebabkan adanya pencampuran bahan baku belerang dengan merang (5.38 : 70 gram) dan belerang yang terbakar kurang sempurna sehingga konsentrasi gas SO2 yang dihasilkan tidak sebesar yang dihasilkan mercon belerang. Fumigasi dari pembakaran belerang dengan merang menghasilkan gas CO2 dan CO. Menurut Ganong (1983) dalam Assagaf (1987), gas karbon monoksida tersebut terbentuk

(27)

dari pembakaran tidak sempurna ikatan rantai carbon. Gas ini dapat menyebabkan kematian.

Penelitian Assagaf (1987) menyatakan saat kematian tikus sawah semakin cepat dengan semakin meningkatnya perbandingan belerang dengan merang. Saat kematian yang cepat ini kemungkinan disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas SO2 yang dihasilkan dari pembakaran belerang. Artinya kematian tikus sawah dapat lebih cepat jika perbandingan belerang dengan merang ditingkatkan dari pengujian awal 1:13 menjadi 1:10.

Rata-rata waktu kematian tikus sawah pada perlakuan yang sama tidak seragam. Di bagian tengah arena pengujian, kematian tikus sawah lebih cepat dibandingkan dengan bagian pinggir. Hal ini dikarenakan semakin jauh jarak sarang dari sumber asap, maka semakin lama waktu kematian.

Pada perlakuan mercon belerang dosis dua batang rata-rata kematian tikus di bagian tengah arena lebih lama dibandingkan dengan bagian ujung arena pengujian. Hal ini terjadi karena beberapa faktor yaitu masih terdapat celah pada stoples yang tidak tertutup rapat. Rata-rata kematian tikus di bagian tengah arena dan ujung arena pengujian dapat dilihat pada Tabel 4 dan analisis ragamnya disajikan pada Tabel Lampiran 2-8.

Tabel 4 Rata-rata kematian tikus sawah di bagian tengah dan tepi dari arena pengujian

Keterangan: Angka pada baris yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf α = 5 %

Rata-rata kematian tikus Bagian tengah Bagian tepi Perlakuan

Detik

Mercon belerang dosis 1 batang 35 a 36.125 a Mercon belerang dosis 2 batang 36.625 a 35.625 a Mercon belerang dosis 3 batang 36.5 a 38 a Emposan belerang dengan merang

(5.38 : 70 gram) selama 40 putaran 95.25 b 188.88 a Emposan belerang dengan merang

(5.38 : 70 gram) selama 80 putaran 72.50 a 83.50 a Hidrogen fosfida dosis 2 tablet 6829.8 a 7480.2 a Hidrogen fosfida dosis 6 tablet 6820 a 7600 a

(28)

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa pada perlakuan emposan belerang dengan merang selama 40 putaran, rata-rata kematian tikus di bagian tengah berbeda sangat nyata dengan bagian tepi, sedangkan pada perlakuan lainnya rata-rata kematian tikus di bagian tengah tidak berbeda nyata dengan bagian tepi.

Daya kerja hidrogen fosfida yang lambat disebabkan adanya masa aman 15 menit, yaitu selang waktu 15 menit gas fosfin (PH3) belum terurai dari hidrogen fosfida. Masa aman tersebut disebabkan adanya parafin 2 % yang menyelimuti hidrogen fosfida tersebut (Priyambodo 2003). Akan tetapi pada pengujian ini masa aman tersebut sudah tidak ada lagi karena hidrogen fosfida dalam tabung sudah bereaksi dengan H2O (g) sebagai akibat penggunaan yang tidak serentak untuk semua tablet.

Hasil pengamatan pada penelitian menunjukkan bahwa pada perlakuan selama 1.9 jam, hidrogen fosfida belum habis terurai dan masih dapat diaplikasikan ke liang lain di lapangan. Dosis 1 tablet hidrogen fosfida dinyatakan dalam gram dari fosfin per ton kubik bahan simpanan (g/m3). Pada suhu 20oC hidrogen fosfida habis terurai dalam kurun waktu 3 hari atau 72 jam (Anonim 2004a). Pada pernyataan Rouscher 1968 dalam Assagaf 1987 bahwa pada tingkat kelembaban 50 % dan suhu 25oC hidrogen fosfida memerlukan waktu sekitar dua hari agar gas fosfin terurai habis.

Rentang Waktu Asap Menjangkau Tikus Sawah

Hasil pengamatan terhadap rata-rata saat tikus merasakan pengaruh fumigasi pada perlakuan Mercon belerang dan pembakaran merang dengan belerang tidak berbeda nyata, tapi kedua perlakuan ini berbeda sangat nyata dengan perlakuan hidrogen fosfida. Rentang waktu asap mencapai sasaran atau tikus sawah merasakan efek fumigasi setelah perlakuan dapat dilihat pada Tabel 5 dan analisis ragamnya disajikan pada Tabel Lampiran 9.

Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa urutan saat tikus sawah merasakan pengaruh fumigan dari yang paling cepat berturut-turut sebagai berikut: Emposan 80 putaran, emposan 40 putaran, mercon belerang 3 batang, mercon belerang 2 batang, mercon belerang 1 batang, hidrogen fosfida 6 tablet, hidrogen fosfida 2 tablet.

(29)

Tabel 5 Rata- rata saat tikus merasakan pengaruh dari fumigasi setelah perlakuan

Perlakuan Lama waktu tikus merasakan fumigan (detik)

Mercon belerang dosis 1 batang 16.0 c Mercon belerang dosis 2 batang 12.75 c Mercon belerang dosis 3 batang 11.5 c Emposan belerang dengan merang

(5.38 : 70 gram) selama 40 putaran 11.3 c Emposan belerang dengan merang

(5.38 : 70 gram) selama 80 putaran 10.3 c Hidrogen fosfida dengan dosis 2 tablet 4820.0 a Hidrogen fosfida dengan dosis 6 tablet 3720.0 b

Keterangan: Angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf α = 5 %

Pada perlakuan mercon dan emposan, tikus sawah merasakan pengaruh ditandai dengan masuknya asap dari pipa paralon ke dalam liang tikus sawah (Gambar 7), sehingga tikus menjadi gelisah dan berputar-putar. Sedangkan pada perlakuan hidrogen fosfida ditandai dengan tikus menggerak-gerakkan moncongnya sambil mencium-cium bau udara dalam stoples, gelisah, gruming atau menjilati seluruh tubuh.

Perlakuan fumigasi dengan emposan alat PINDAD memberikan efek gelisah dan berputar-putar pada tikus sawah lebih cepat, dibandingkan dengan mercon belerang dan hidrogen fosfida. Hal ini karena asap yang dihasilkan dari pengemposan dengan alat PINDAD lebih cepat mencapai ujung pipa paralon (liang). Asap yang dihasilkan mengandung gas SO2. Perlakuan hidrogen fosfida memberikan efek yang lama dikarenakan dibutuhkan konsentrasi yang cukup untuk menjenuhkan pipa paralon terlebih dahulu sampai kemudian gas fosfin dapat menjangkau tikus uji di dalam stoples.

(30)

Gambar 7. Kondisi liang/stoples pada saat perlakuan

Berdasarkan hasil pengamatan bahwa jenis kelamin betina lebih banyak digunakan dibandingkan dengan jantan pada tiap perlakuan, disajikan pada Gambar 8. 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 A B C D E F G Perlakuan Ju m lah (e ko r Betina Jantan

Gambar 8. Perbandingan jumlah jenis kelamin pada tiap perlakuan

Keterangan : A = 1 Batang mercon B = 2 Batang mercon C = 3 Batang mercon D = Emposan 40 putaran E = Emposan 80 putaran F = 2 tablet

PH3 G = 6 tablet PH3

Pada Gambar 8 terlihat bahwa pada semua perlakuan jumlah jenis kelamin betina lebih banyak dibandingkan dengan jenis kelamin jantan, bahkan pada perlakuan C dan G jenis kelamin jantan sama sekali tidak ada. Hal ini dikarenakan pemilihan jenis kelamin tikus yang dilakukan secara acak.

(31)

Rentang Waktu Kematian Berdasarkan Jenis Kelamin Tikus

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa meskipun adanya perbedaan jenis kelamin pada tiap perlakuan, tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap terhadap waktu kematian, dapat dilihat pada Tabel 6 dan analisis ragamnya disajikan pada Tabel Lampiran 10-14

Tabel 6 Lama kematian berdasarkan jenis kelamin

Perlakuan Jantan Betina (detik) Rerata

Detik Mercon belerang dosis 1 batang Tidak ada 35.6 (n=16) 35.6

Mercon belerang dosis 2 batang 37.750 a (n=4)

35.583 a (n=12)

36.12

Mercon belerang dosis 3 batang 35 a (n=3) 38.6 a

(n=5) 37.3 Emposan belerang dengan merang

(5.38 : 70 gram) dengan 40 putaran

132.33 a (n=3)

144.31 a (n=13)

142.1

Emposan belerang dengan merang

(5.38 : 70 gram) dengan 80 putaran 91 a (n=2) 76.14 a (n=14)

78

Hidrogen fosfida dengan dosis 2

tablet 4740 b (n=2) 7638 a (n=10)

7155

Hidrogen fosfida dengan dosis 6

tablet Tidak ada

7210 (n=16)

7210

Keterangan: Angka pada baris yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf α = 5 %

Dari Tabel 6 dapat dilihat pada perlakuan hidrogen fosfid dosis 2 tablet lama kematian tikus jantan berbeda sangat nyata dengan tikus betina, sedangkan perlakuan lainnya lama kematian tikus jantan tidak berbeda nyata dengan tikus betina. Pada perlakuan mercon belerang dosis 2 batang, dan emposan belerang dengan merang selama 80 putaran lama kematian tikus betina lebih cepat dibandingkan dengan tikus jantan, sedangkan pada perlakuan mercon belerang dosis 3 batang, emposan belerang dengan merang selama 40 putaran, dan hidrogen fosfid dosis 2 tablet rata-rata kematian tikus jantan lebih cepat dibandingkan dengan tikus betina. Adanya perbedaan jenis kelamin pada tiap perlakuan, tidak mempengaruhi waktu kematian tikus sawah.

(32)

Rentang Waktu Kematian Tikus Sawah Berdasarkan Bobot Tikus

Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa rata-rata bobot tikus di atas 70 gram pada tiap perlakuan kecuali pada perlakuan dengan hidrogen fosfid dosis 6 tablet di bawah 70 gram.

Tikus yang memiliki bobot di atas 70 gram dikategorikan tikus besar (adult) dan tikus yang memiliki bobot di bawah 70 gram dikategorikan tikus kecil (subadult). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa meskipun adanya perbedaan bobot pada tiap perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap waktu kematian tikus sawah (Tabel 7), dan analisis ragamnya disajikan pada Tabel Lampiran 15-21

Tabel 7 Lama kematian berdasarkan bobot tubuh

Perlakuan < 70 gram > 70 gram Rerata (detik)

Detik Mercon Belerang dosis 1 batang 36 a (n=3) 35.4 a

(n=13) 35.6 Mercon Belerang dosis 2 batang 36 a (n=11) 36.4 a

(n=5) 36.12 Mercon Belerang dosis 3 batang 38 a (n=2) 37 a (n=6) 37.3 Emposan belerang dengan merang

(5.38 : 70 gram) selama 40 putaran 121.75 a (n=4) 148.83 a (n=12) 142.1 Emposan belerang dengan merang

(5.38 : 70 gram) selama 80 putaran 60.50 a (n=2) (n=14) 80.5 a 78 Hidrogen Fosfida dosis 2 tablet 7877 a

(n=7)

6144 a

(n=5) 7155 Hidrogen Fosfida dosis 6 tablet 6758 a

(n=8)

8115 a

(n=4) 7210

Keterangan: Angka pada baris yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf α = 5

Dari Tabel 7 dapat dilihat pada semua perlakuan lama kematian tikus besar tidak berbeda nyata dengan tikus kecil. Pada perlakuan mercon belerang dosis 1, 3 batang, dan hidrogen fosfida dosis 2 tablet lama kematian tikus besar lebih cepat dibandingkan tikus kecil, sedangkan pada perlakuan mercon belerang dosis 2 batang, emposan belerang dengan merang selama 40 dan 80 putaran, dan hidrogen fosfida dosis 6 tablet rata-rata kematian tikus kecil lebih cepat

(33)

dibandingkan tikus besar. Adanya perbedaan bobot tikus pada tiap perlakuan, tidak mempengaruhi waktu kematian tikus sawah.

(34)

KESIMPULAN DAN SARAN

Rentang waktu asap menjangkau sarang tikus atau tikus merasakan efek pada perlakuan emposan dengan alat PINDAD lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan mercon belerang dan hidrogen fosfida.

Rentang waktu kematian tikus sawah dengan perlakuan mercon belerang lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan emposan alat PINDAD dan hidrogen fosfida.

Mercon belerang mudah dan praktis dalam pengaplikasian serta cukup aman terhadap lingkungan dan pengguna.

Perbedaan jenis kelamin dan bobot tikus tidak berpengaruh terhadap waktu kematian tikus sawah pada tiap perlakuan.

Setelah perlakuan dengan hidrogen fosfida selama 1.9 jam, hidrogen fosfida tidak habis terurai dan masih dapat digunakan lagi

Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan terhadap populasi tikus sawah di lapangan untuk menguji keefektifan mercon belerang, emposan tipe PINDAD, dan hidrogen fosfida.

(35)

DAFTAR PUSTAKA

[Anonim]. 2004a. Aluminum Phosphide. Pmep. cce.cornell.edu/profiles/fumigant / aluminum-phosphide/index.html -5k- [16 November 2007]

[Anonim]. 2004b. Phostoxin. www. Plunketts. net/phospellet -1- 0104. pdf. [14 November 2007]

Assagaf A. 1987. Pengujian efektifitas fumigasi dari pembakaran merang, belerang dengan merang dan penggunaan Phosphine terhadap tikus sawah [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Brooks JE And FP Rowe. 1979. Commensal rodent control. World Health Organization. 109 h.

[CPC]. Crop Protection Compendium 2002. CPC global module Wallingford University of Kentucky. USA: CAB International.

Fall MV. 1977. Rodent in tropical rice. Rodent research center university of the Philippines at Los Banos college, Laguna.

Greaves WF. 1983. Rodent control in agriculture. Food and Agriculture Organization of the United Nation, Rome. 88 h

Kalshoven LGE. 1981. Pest of crop in Indonesia. Revised and Translated by P. A. Van der laan. P. T. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta. 701 h.

Macdonald DW and MGP Fenn. 1994. The natural history of rodents: Pre-adaptations to pestilence. di dalam: Buckle AP and Smith RH. Rodent pest and their control. Cambridge,UK: University Pres.

Monro HAU. 1969. Manual of fumigation for insect control. Food and Agriculture Organization of the United Nation, Rome. Italy

Meehan AP. 1984. Rats and mice their biology and control. East Grinstead: Rentokil Ltd.

Partoatmodjo S. 1979. Tikus Sawah dan Pemberantasannya. Makalah. Proceeding Lokakarya Pengendalian Hama Tikus, 4-15 September 1979. Bogor. Priyambodo S. 2003. Pengendalian Hama Tikus Terpadu. Jakarta : Penebar

(36)

Rochman. 1976. Tikus Sawah dan Pemberantasannya. Panitia Latihan Percobaan Lapang dan Produksi Padi, 8 Januari-7 Februari 1976. Sukamandi, Subang.

Rochman. 1992. Biologi dan Ekologi Tikus Sebagai Dasar Pengendalian Hama Tikus. Makalah. Seminar Pengendalian Hama Tikus Terpadu, 17-18 Juni. Cisarua.

Rochman, Sukarna D, dan Suwalan. 1982. Pola Perkembangan Tikus Sawah Rattus argentiventer Pada Daerah Berpola Tanam Padi-padi di Subang. Penelitian Pertanian: 77-80.

Rochman dan Djuarso T. 1976. Daya Rusak Tikus Sebelum dan Setelah Mendapat Perlakuan Rodentisida Pada Bebagai Stadia Tanaman. Seminar LPPP Bogor: 6 h.

Southwhick CH. 1969. Reproduction, grouwth and mortality of murid rodent populations. di dalam: Indian rodent symposium.

Sudarmaji. 2004. Dinamika populasi tikus sawah Rattus argentiventer pada ekosistem sawah irigasi teknis dengan pola tanam padi-padi-bera [disertasi]. Yogyakarta: Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada. Sunarjo PI. 1986. Pengembangan ”Self Propelled” Belerang Oksida Sebagai

Fumigan Pengendalian Hama Tikus. Laporan Penelitian.

Sunarjo PI. 1992. Pengendalian Kimiawi Tikus Hama. Makalah. Seminar Pengendalian Hama Tikus Terpadu. Cisarua, 17-18 Jni 1992.

Thomson WT. 1977. Agriculture chemical-book III Miscellaneous. Thomson publication, fresh-no. 164 h

Untung K. 1973. Perkembangan Pemberantasan Kimiawi dalam Mengatasi Hama Tikus Sawah. Makalah. Lokakarya Penelitian Hama Tikus di Cibulan. 15 h.

Van der zon 1979. Habits and habitats of Rodents. di dalam: A manual of rodent control.

(37)

LAMPIRAN

Tabel lampiran 1 Sidik ragam rentang waktu kematian tikus sawah

Sumber db JK KT F P

Perlakuan 6 227783519.375 37963919.895 71.76 0.0001 Galat 17 8993778.406 529045.788

Total 23 236777297.781 R2= 0.962 CV= 39.381

Tabel Lampiran 2 Sidik ragam kematian tikus di bagian tengah dan tepi arena perlakuan mercon 1 batang

Sumber db JK KT F P

Perlakuan 1 5.0625 5.0625 0.20 0.6635 Galat 14 358.875 25.63392857

Total 15 363.9375 R2 = 0.013910 CV=14.23690

Tabel Lampiran 3 Sidik ragam kematian tikus di bagian tengah dan tepi arena perlakuan mercon 2 batang

Sumber db JK KT F P

Perlakuan 1 4.000 4.0 0.10 0.7552 Galat 14 553.75 39.55357143

Total 15 557.75

R2 = 0.007172 CV= 17.40945

Tabel Lampiran 4 Sidik ragam kematian tikus di bagian tengah dan tepi arena perlakuan mercon 3 batang

Sumber db JK KT F P

Perlakuan 1 4.50 4.500 0.09 0.7686 Galat 6 285.0 47.500

Total 7 289.50

R2 =0.015544 CV= 18.50208

Tabel Lampiran 5 Sidik ragam kematian tikus di bagian tengah dan tepi arena perlakuan emposan belerang dengan merang selama 40

putaran Sumber db JK KT F P Perlakuan 1 35062.56250 35062.56250 13.90 0.0022 Galat 14 35318.3750 2522.74107143 Total 15 70380.93750 R2 = 0.498183 CV= 35.35549

(38)

Tabel Lampiran 6 Sidik ragam kematian tikus di bagian tengah dan tepi arena perlakuan emposan belerang dengan merang selama 80 putaran Sumber db JK KT F P Perlakuan 1 484.00 484.00 0.70 0.4174 Galat 14 9704.00 693.14285714 Total 15 10188.00 R2 = 0.047507 CV= 33.75334

Tabel Lampiran 7 Sidik ragam kematian tikus di bagian tengah dan tepi perlakuan hidrogen fosfida dosis 2 tablet

Sumber db JK KT F P

Perlakuan 1 352.0833 352.0833 0.20 0.6667 Galat 10 17886.16666667 1788.61666667

Total 11 18238.2500 R2 = 0.019305 CV= 35.46502

Tabel Lampiran 8 Sidik ragam kematian tikus di bagian tengah dan tepi perlakuan hidrogen fosfida dosis 6 tablet

Sumber db JK KT F P

Perlakuan 1 1825200 1825200 0.52 0.4867 Galat 10 34994400 3499440

Total 11 36819600

R2 = 0.049571 CV= 25.94562

Tabel lampiran 9 Sidik ragam rentang waktu asap menjangkau tikus sawah

Sumber db JK KT F P

Perlakuan 6 72023174.583 12003862.430 124.57 0.0001 Galat 17 1638158.750 96362.279

Total 23 73661333.333 R2= 0.9777 CV= 30.755

Tabel Lampiran 10 Sidik ragam kematian tikus berdasarkan jenis kelamin perlakuan mercon 2 batang

Sumber db JK KT F P

Perlakuan 1 14.083 14.083 0.36 0.556 Galat 14 543.666 38.83

Total 15 557.75

R2 = 0.025250 CV=17.25021

Tabel Lampiran 11 Sidik ragam kematian tikus berdasarkan jenis kelamin perlakuan mercon 3 batang

Sumber db JK KT F P

Perlakuan 1 24.3 24.3 0.55 0.4864 Galat 6 265.2 44.2

Total 7 289.5

(39)

Tabel Lampiran 12 Sidik ragam kematian tikus berdasarkan jenis kelamin perlakuan emposan belerang dengan merang selama 40 putaran Sumber db JK KT F P Perlakuan 1 349.501 349.501 0.07 0.795 Galat 14 70031.435 5002.245 Total 15 70380.937 R2 = 0.004966 CV=49.78552

Tabel Lampiran 13 Sidik ragam kematian tikus berdasarkan jenis kelamin perlakuan emposan belerang dengan merang selama 80 putaran Sumber db JK KT F P Perlakuan 1 386.285 386.285 0.55 0.4699 Galat 14 9801.714 700.122 Total 15 10188 R2 = 0.037916 CV=33.92286

Tabel Lampiran 14 Sidik ragam kematian tikus berdasarkan jenis kelamin perlakuan hidrogen fosfida dosis 2 tablet

Sumber db JK KT F P

Perlakuan 1 3888.15 3888.15 2.71 0.1308 Galat 10 14350.1 1435.01

Total 11 18238.25

R2 = 0.213187 CV= 31.76648

Tabel Lampiran 15 Sidik ragam kematian tikus berdasarkan bobot tubuh perlakuan mercon 1 batang

Sumber db JK KT F P

Perlakuan 1 2200.520 2200.520 0.45 0.5124 Galat 14 68180.416 4870.029

Total 15 70380.937 R2 = 0.001942 CV=14.32303

Tabel Lampiran 16 Sidik ragam kematian tikus berdasarkan bobot tubuh perlakuan mercon 2 batang

Sumber db JK KT F P

Perlakuan 1 0.55 0.55 0.01 0.9081 Galat 14 557.20 39.8

Total 15 557.75

(40)

Tabel Lampiran 17 Sidik ragam kematian tikus berdasarkan bobot tubuh perlakuan mercon 3 batang

Sumber db JK KT F P

Perlakuan 1 1.5 1.5 0.03 0.8655 Galat 6 288 48

Total 7 289.5

R2 = 0.005181 CV=18.59920

Tabel Lampiran 18 Sidik ragam kematian tikus berdasarkan bobot tubuh perlakuan emposan belerang dengan merang selama 40 putaran Sumber db JK KT F P Perlakuan 1 2200.520 2200.520 0.45 0.5124 Galat 14 68180.416 4870.029 Total 15 70380.937 R2 = 0.031266 CV=49.12317

Tabel Lampiran 19 Sidik ragam kematian tikus berdasarkan bobot tubuh perlakuan emposan belerang dengan merang selama 80 putaran Sumber db JK KT F P Perlakuan 1 2200.520 2200.520 0.45 0.5124 Galat 14 68180.416 4870.029 Total 15 70380.937 R2 = 0.068708 CV= 33.37557

Tabel Lampiran 20 Sidik ragam kematian tikus berdasarkan bobot tubuh perlakuan hidrogen fosfida dosis 2 tablet

Sumber db JK KT F P

Perlakuan 1 8761037.142 8761037.142 1.54 0.2430 Galat 10 56896662.857 5689666.285

Total 11 65657700 R2 =0.133435 CV=33.33756

Tabel Lampiran 21 Sidik ragam kematian tikus berdasarkan bobot tubuh perlakuan hidrogen fosfida dosis 6 tablet

Sumber db JK KT F P

Perlakuan 1 4914150 4914150 1.54 0.2429 Galat 10 31905450 3190545

Total 11 36819600 R2 =0.133466 CV=24.77406

Gambar

Gambar 1. Alat emposan buatan PINDAD    Gambar 2. Kandang pemeliharaan
Gambar 3 Manipulasi liang tikus yang dibuat dari pipa paralon
Gambar 4. Mercon belerang                    Gambar  5.    Alat pemegang untuk mercon  belerang
Tabel 4  Rata-rata kematian tikus sawah di bagian tengah dan tepi dari arena   pengujian
+6

Referensi

Dokumen terkait

Ips, XI Ipa, Ips, dan XII Ipa, Ips karena seluruh siswa siswi MA Hasyim Asy‟ari menerima pelajaran Aswaja. Wawasan yang dimaksud adalah Pengetahuan siswa-siswi di

Setelah data yang diperoleh dari hasil penelitian dan wawancara penulis tentang “Strategi Guru Sejarah dalam Meningkatkan Minat Belajar Siswa pada Mata Pelajaran

Seperti yang kita ketahui bahwa bahasa Pascal merupakan bahasa pemrograman yang fleksibel, dalam arti dapat digunakan pada banyak bidang sehingga kita bisa mengambil manfaat

Dengan mempertimbangkan berbagai keberhasilan dalam pelaksanaan pembangunan di tahun-tahun sebelumnya, maka peranan tahunan Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Kabupaten

Sumber: BPS Provinsi

Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui Pengaruh Struktur Modal, Kebijakan Dividen, dan Profitabilitas terhadap Harga Saham Perusahaan Sektor Konstruksi dan Real Estate

Hasil uji t secara parsial belanja barang dan jasa serta variabel belanja modal berpengaruh signifikan terhadap PDRB provinsi Jambi, sementara belanja pegawai tidak berpengaruh

Dalam skripsi ini juga membahas tentang penerapan sanksi tindakan terhadap anak pelaku tindak pidana yang ditinjau dari putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat.. Penulisan