• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGUJIAN ANTIKOAGULAN BROMADIOLON PADA TIKUS SAWAH (Rattus argentiventer Rob. & Klo.) PUTRI SETYA UTAMI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGUJIAN ANTIKOAGULAN BROMADIOLON PADA TIKUS SAWAH (Rattus argentiventer Rob. & Klo.) PUTRI SETYA UTAMI"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

PUTRI SETYA UTAMI

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

ABSTRAK

PUTRI SETYA UTAMI. Pengujian Antikoagulan Bromadiolon pada Tikus Sawah (Rattus argentiventer Rob. & Klo.). Dibimbing oleh SWASTIKO PRIYAMBODO.

Pengujian umpan beracun bersifat kronis (antikoagulan) berbahan aktif bromadiolon terhadap tikus sawah (Rattus argentiventer Rob. & Klo.) dilaksanakan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Tikus sawah dikenal sebagai hewan pengganggu karena merupakan hama utama pada tanaman padi dan hampir selalu menyebabkan kehilangan hasil di beberapa daerah sentra produksi padi di Indonesia, serta dapat menularkan penyakit pada manusia. Oleh karena itu, diperlukan usaha pengendalian yang optimal untuk menjaga populasi hama ini di bawah ambang ekonomi. Pengendalian secara kimiawi menggunakan rodentisida selama ini dianggap merupakan metode paling efektif dan dalam aplikasinya di lapangan biasanya hanya diberikan satu pilihan umpan beracun tanpa adanya umpan lain, namun pada kenyataannya pasti terdapat umpan lain. Pengujian rodentisida antikoagulan bromadiolon terhadap tikus sawah dilakukan dengan metode pilihan dan terdapat empat jenis formulasi bromadiolon yang digunakan. Dalam pengujian ini, tikus diberikan tiga jenis pilihan umpan (rodentisida, gabah, dan beras). Tikus sawah lebih menyukai gabah yang merupakan pakan dasarnya. Rodentisida Bromadiolon A, C, dan D yang berbentuk serealia lebih disukai oleh tikus sawah dibandingkan dengan Bromadiolon B yang berbentuk blok. Namun rodentisida yang paling banyak dikonsumsi yaitu Bromadiolon C (0.2997 g), sedangkan Bromadiolon B paling sedikit dikonsumsi (0.0008 g). Kematian paling tinggi terjadi pada perlakuan Bromadiolon A yang disertai penurunan bobot tubuh terbesar, namun rodentisida yang lebih efektif dalam mengendalikan tikus sawah di lapang yaitu Bromadiolon C.

(3)

PUTRI SETYA UTAMI. Trial of Anticoagulant Bromadiolone Rice Field Rat (Rattus argentiventer Rob. & Klo.). Supervised by SWASTIKO PRIYAMBODO.

Trial of the chronical poisonous bait (anticoagulant) based on bromadiolone to rice field rat (Rattus argentiventer Rob. & Klo.) carried out at the laboratory of Vertebrate Pests, Plant Protection Department, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University. Rice field rats known as a destroyer animal because it is a major pest in rice crop and always causes loss of product in some areas at the centre of the rice production in Indonesia, and can transmit disease to human. Therefore, it required the control efforts to maintain the population bellow the economic level. Chemical control using rodenticide is considered to be the most effective method and its application in the field is normally given only one choice of bait in the absence of other toxic bait, however in fact there are other feed. Trial the rodenticide anticoagulants (bromadiolone) to rice field rat conducted with choice-test method. There are four types of bromadiolone formulations used. In this trial, the rat was given three kinds of feed options (rodenticide, grains, and rice). Rice field rats preferred grain is a basic feed. The shape of Bromadiolone A, C, and D is cereal, and it is preferred by rice field rat compared to Bromadiolone B in the form of blocks. Rats consumed Bromadiolone C (0.2997 g) more than others, whereas the Bromadiolone B is the least amount of consumption (0.0008 g). Most deaths occurred on the Bromadiolone A that accompanied the greatest decrease in body weight, however Bromadiolone C is the most effective rodenticide in controlling rice field rats.

(4)

PENGUJIAN ANTIKOAGULAN BROMADIOLON PADA

TIKUS SAWAH (Rattus argentiventer Rob. & Klo.)

PUTRI SETYA UTAMI

A34080021

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(5)

Disetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Swastiko Priyambodo, M.Si NIP 19630226 198703 1 001

Diketahui,

Ketua Departemen Proteksi Tanaman

Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si NIP 19650621 198910 2 001

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 4 Mei 1990 dari pasangan Bapak Drs. H. Subadri, MM dan Ibu Hj. Lilis Muflihah, S.Pd. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.

Penulis memulai studinya di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Pegadungan 11 Pagi, Jakarta Barat dan lulus pada tahun 2002. Setelah itu penulis melanjutkan studi ke Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 169 Jakarta Barat dan lulus pada tahun 2005. Selanjutnya, penulis melanjutkan studi ke Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 33 Jakarta Barat dan lulus pada tahun 2008. Pada tahun yang sama dengan kelulusan SMA, penulis diterima di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama menjadi mahasiswa penulis aktif di organisasi kemahasiswaan, antara lain menjadi anggota Divisi Insekta Unit Konservasi Fauna IPB pada tahun 2008/2009, menjadi anggota UKM Gentra Kaheman IPB pada tahun 2008/2009, menjadi pengurus pada Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman (HIMASITA) IPB, yaitu sebagai anggota Divisi Komunikasi dan Informasi pada tahun 2009/2010, dan menjadi anggota Entomologi Club pada tahun 2009/2010. Penulis juga pernah magang di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman pada tahun 2010.

(7)

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Pengujian Antikoagulan Bromadiolon pada Tikus Sawah (Rattus argentiventer Rob. & Klo.)”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Pertanian, pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini dengan penuh hormat, cinta, kasih, dan sayang penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Ibunda dan ayahanda yang selalu memberikan doa, kasih sayang, perhatian, semangat, dukungan moril, lahir batin yang tiada hentinya, serta menjadi panutan dan motivator bagi penulis agar senantiasa selalu menjadi yang terbaik dan berguna bagi orang lain.

2. Kakak dan adik yang selalu menyayangi dan memberikan semangat kepada penulis untuk terus memberikan yang terbaik.

3. Dr. Ir. Swastiko Priyambodo, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah mencurahkan waktu, perhatian, semangat, bimbingan, arahan, masukan, dan nasehat selama menjadi dosen pembimbing hingga penyelesaian skripsi ini. 4. Dr. Ir. Tri Asmira Damayanti, M.Agr selaku dosen penguji tamu yang telah

memberikan masukan dan saran untuk perbaikan skripsi ini.

5. Dr. Ir. Teguh Santoso, DEA selaku dosen pembimbing akademik yang telah berperan besar di awal masa kuliah.

6. Seluruh staf pengajar di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor atas ilmu yang telah diberikan selama penulis menuntut ilmu di IPB.

7. Bapak Ahmad Soban atas bantuannya selama penelitian sampai akhir penelitian, serta staf dan administrasi Departemen Proteksi Tanaman.

8. Galih Pamungkas yang selalu memberikan semangat, doa, dukungan, dan setia membantu dalam penelitian hingga penyusunan skripsi.

9. Rekan-rekan mahasiswa IPB khususnya Ushwanuuri RL, Priyanti Widya N, Hamdayanti, M. Karami, Agus Wahid S, Novra E, Sherly Vonia I, Ni Nengah, Yuke A, Minkhaya SP, Rizki Nazarreta, Rosi Rosidah J, dan seluruh PTN ’45 atas semangat, doa, bantuan, kritik dan saran, serta dukungannya selama ini.

10. Teman-teman B21, VSCAL, dan Savant atas semangat, doa, dan dukungan yang diberikan kepada penulis.

11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis sadar bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna dan masih membutuhkan saran serta kritik. Namun, penulis berharap agar tulisan ini dapat memberikan manfaat dalam rangka pembelajaran bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.

Bogor, Februari 2012

(8)

viii    viii   

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ... x DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan Penelitian ... 3 Manfaat Penelitian ... 3 Hipotesis ... 3 TINJAUAN PUSTAKA ... 4 Tikus Sawah ... 4

Klasifikasi dan Morfologi ... 4

Biologi dan Ekologi ... 4

Metode Pengendalian Tikus Sawah ... 7

Rodentisida ... 7

Rodentisida Kronis ... 8

Bromadiolon ... 9

Gabah ... 9

Beras ... 10

BAHAN DAN METODE ... 11

Tempat dan Waktu ... 11

Bahan dan Alat ... 11

Hewan Uji ... 11 Umpan ... 12 Rodentisida ... 12 Kandang Percobaan ... 13 Timbangan ... 14 Metode ... 14

Persiapan Hewan Uji ... 14

Persiapan Rodentisida ... 15

Pengujian Rodentisida vs Umpan ... 15

Pemberian Umpan (Gabah) Pasca Perlakuan ... 16

Pengamatan yang dilakukan ... 16

Peubah yang diamati ... 17

Konversi Umpan ... 17

Rancangan Percobaan ... 17

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 18

Pengujian Ketertarikan Tikus Sawah terhadap Rodentisida dan Umpan (Choice Test) ... 18

(9)

Konsumsi Tikus Sawah terhadap Empat Formulasi

Rodentisida Bromadiolon ... 18

Kecenderungan Konsumsi Tikus Sawah terhadap Rodentisida .. 21

Pengujian Rodentisida vs Umpan ... 23

Bobot Tubuh dan Kematian Tikus Sawah ... 25

Konsumsi Racun dan Lama Kematian dari Setiap Individu ... 27

Perbedaan Konsumsi antara Tikus Sawah Jantan dan Betina ... 29

Konsumsi Tikus Sawah terhadap Gabah Saat Perlakuan dan Pasca Perlakuan ... 30

Bobot Tubuh Tikus Sawah Pasca Perlakuan ... 31

KESIMPULAN DAN SARAN ... 33

Kesimpulan ... 33

Saran ... 33

DAFTAR PUSTAKA ... 34

LAMPIRAN ... 37

(10)

x    x   

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Konsumsi tikus sawah terhadap keempat jenis formulasi bromadiolon .... 18 2 Konsumsi tikus sawah terhadap kedua jenis umpan dan rodentisida ... 23 3 Bobot tubuh dan kematian tikus sawah saat perlakuan ... 25 4 Perbedaan konsumsi antara tikus sawah jantan dan betina ... 29 5 Konsumsi tikus sawah terhadap gabah saat perlakuan dan pasca

perlakuan ... 30 6 Bobot tubuh tikus sawah pada gabah pasca perlakuan ... 32

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman,

Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor ... 11

2 Tikus sawah (R. argentiventer) ... 12

3 Umpan: (A) Beras dan (B) gabah... 12

4 Rodentisida kronis bromadiolon: (A) Bromadiolon A 0.005%, (B) Bromadiolon B 0.005%, (C) Bromadiolon C 0.005%, (D) Bromadiolon D 0.25% ... 13

5 Kandang percobaan ... 14

6 Timbangan elektronik (electronic top-loading balance for animal)... 14

7 Konsumsi setiap individu tikus sawah terhadap rodentisida ... 22

8 Proporsi konsumsi rodentisida, gabah, dan beras terhadap konsumsi total pada keempat jenis bromadiolon ... 24

(12)

xii    xii   

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Analisis sidik ragam konsumsi tikus sawah terhadap keempat jenis

formulasi bromadiolon ... 38 2 Analisis sidik ragam konsumsi tikus sawah terhadap

Bromadiolon A vs gabah vs beras... 38 3 Analisis sidik ragam konsumsi tikus sawah terhadap

Bromadiolon B vs gabah vs beras ... 38 4 Analisis sidik ragam konsumsi tikus sawah terhadap

Bromadiolon C vs gabah vs beras ... 38 5 Analisis sidik ragam konsumsi tikus sawah terhadap

Bromadiolon D vs gabah vs beras... 38 6 Analisis sidik ragam perbedaan konsumsi gabah antara tikus sawah

jantan dan betina pada perlakuan Bromadiolon A ... 38 7 Analisis sidik ragam perbedaan konsumsi beras antara tikus sawah

jantan dan betina pada perlakuan Bromadiolon A ... 39

8 Analisis sidik ragam perbedaan konsumsi rodentisida antara tikus sawah jantan dan betina pada perlakuan Bromadiolon A ... 39

9 Analisis sidik ragam perbedaan konsumsi gabah antara tikus sawah jantan dan betina pada perlakuan Bromadiolon B ... 39

10 Analisis sidik ragam perbedaan konsumsi beras antara tikus sawah jantan dan betina pada perlakuan Bromadiolon B ... 39

11 Analisis sidik ragam perbedaan konsumsi rodentisida antara tikus sawah jantan dan betina pada perlakuan Bromadiolon B ... 39 12 Analisis sidik ragam perbedaan konsumsi gabah antara tikus

sawah jantan dan betina pada perlakuan Bromadiolon C ... 39 13 Analisis sidik ragam perbedaan konsumsi beras antara tikus

sawah jantan dan betina pada perlakuan Bromadiolon C.... ... 40

14 Analisis sidik ragam perbedaan konsumsi rodentisida antara tikus sawah jantan dan betina pada perlakuan Bromadiolon C ... 40

15 Analisis sidik ragam perbedaan konsumsi gabah antara tikus sawah jantan dan betina pada perlakuan Bromadiolon D ... 40 16 Analisis sidik ragam perbedaan konsumsi beras antara tikus

sawah jantan dan betina pada perlakuan Bromadiolon D ... 40

17 Analisis sidik ragam perbedaan konsumsi rodentisida antara tikus sawah jantan dan betina pada perlakuan Bromadiolon D ... 40

(13)

18 Analisis sidik ragam konsumsi tikus sawah terhadap gabah saat perlakuan dan pasca perlakuan Bromadiolon A ... 40

19 Analisis sidik ragam konsumsi tikus sawah terhadap gabah saat perlakuan dan pasca perlakuan Bromadiolon B ... 41

20 Analisis sidik ragam konsumsi tikus sawah terhadap gabah saat perlakuan dan pasca perlakuan Bromadiolon C ... 41

21 Analisis sidik ragam konsumsi tikus sawah terhadap gabah saat perlakuan dan pasca perlakuan Bromadiolon D ... 41 

(14)
(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tikus (Ordo Rodentia) merupakan hewan liar dari golongan mamalia dan dikenal sebagai hewan pengganggu dalam kehidupan manusia. Hewan pengerat dan pemakan segala jenis makanan (omnivora) ini sering menimbulkan kerusakan dan kerugian dalam kehidupan manusia antara lain dalam bidang pertanian, perkebunan, permukiman dan kesehatan. Tikus sudah mampu beradaptasi dengan baik serta menggantungkan dirinya pada kehidupan manusia dalam hal pakan dan tempat tinggal. Selain itu, tikus dapat membahayakan manusia karena mampu menularkan penyakit pada manusia. Kelompok hewan ini dapat menjadi vektor beberapa penyakit zoonosis antara lain Yersiniosis, Leptospirosis, dan

Salmonellosis. Sedangkan patogen yang dapat ditularkan kepada manusia yaitu Lymphochytis choriomeningitis, Entamoeba histolytica, dan Giardia muris

(Meehan 1984). Berdasarkan hal tersebut tikus sering dipandang oleh manusia sebagai hewan yang memiliki efek negatif dalam ekosistem alam (Dickman 1988). Namun menurut Priyambodo (2009), hewan ini dapat memberikan keuntungan bagi manusia terutama dalam bidang pengetahuan, yaitu dapat digunakan sebagai hewan percobaan di Laboratorium. Sebagai contoh, penggunaan tikus putih (Rattus norvegicus Strain Albino) dan mencit putih (Mus

musculus Strain Albino) di Laboratorium untuk pengujian obat sebelum

diaplikasikan pada manusia.

Perkembangan hama tikus dapat berlangsung sangat cepat apabila kondisi ketersediaan makanan mencukupi, kurangnya usaha pengendalian yang dilakukan oleh petani serta sedikitnya musuh alami tikus yang terdapat di alam, sehingga kondisi ini melampaui batas ambang ekonomi dan merugikan petani. Ada 29 spesies tikus yang menjadi hama penting di Asia Tenggara yang dapat menyebabkan kehilangan ekonomi dan menularkan penyakit pada manusia (Hoque et al. 1988). Beberapa spesies tikus tersebut yang terdapat di Indonesia antara lain Bandicota indica (wirok besar), Rattus norvegicus (tikus riul), R. rattus

diardii (tikus rumah), R. argentiventer (tikus sawah), R. exulans (tikus ladang),

(16)

2   

2   

Tikus sawah (Rattus argentiventer Rob. & Klo.) merupakan salah satu hama utama pada tanaman padi yang memiliki sifat-sifat sangat berbeda dengan jenis hama utama padi yang lainnya. Tikus sawah dapat beradaptasi dengan baik pada berbagai agroekosistem, baik lahan sawah irigasi, lahan sawah kering, maupun lahan sawah rawa pasang surut. Tikus sawah dapat menyebabkan kerusakan pada tanaman padi mulai dari saat persemaian hingga padi siap dipanen, dan bahkan di dalam gudang penyimpanan. Kehilangan hasil panen akibat serangan tikus sawah hampir selalu terjadi pada setiap musim tanam di beberapa daerah sentra produksi padi di Indonesia. Rata-rata luas serangan tikus sawah pada periode 1994-2005 mencapai 113 514 ha dengan intensitas kerusakan 20% (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan 2006). Oleh karena itu, usaha pengendalian terhadap hewan ini perlu dilakukan yang mencakup berbagai macam aspek kegiatan.

Usaha pengendalian tikus sawah selama ini belum menunjukkan hasil yang optimal. Hal ini karena tikus sawah memiliki karakter biologis dan keunikan perilaku yang berbeda dengan hama lainnya (Brown et al. 2003; Nolte et al. 2002). Teknologi pengendalian tikus sawah yang telah dikenal selama ini lebih memfokuskan pada kegiatan kultur teknis, sanitasi, fisik/mekanis, kimiawi, biologis, dan cara pengendalian lokal lainnya.

Pengendalian secara kimiawi menggunakan rodentisida selama ini dianggap merupakan metode paling efektif untuk mengendalikan tikus sawah. Hal tersebut dapat terjadi karena efektifitas rodentisida dapat dibuktikan secara langsung dengan terbunuhnya sejumlah tikus setelah pengumpanan rodentisida. Namun penggunaan bahan kimia secara terus menerus akan berdampak pada lingkungan yaitu terbunuhnya hewan non target serta pencemaran habitat.

Aplikasi pengendalian secara kimiawi dengan menggunakan rodentisida di lapangan biasanya hanya diberikan satu pilihan umpan beracun tanpa adanya umpan lain. Pada kenyataannya di lapang pasti terdapat umpan lain, seperti bulir padi, apabila rodentisida diaplikasikan pada saat tanaman memasuki fase generatif. Oleh sebab itu, perlu dilakukan pengujian terhadap beberapa jenis formulasi rodentisida disertai pemberian umpan lain yang tidak beracun berupa serealia untuk mengetahui kecenderungan tikus sawah dalam mengonsumsi beberapa jenis umpan pilihan, yaitu umpan beracun dan umpan tanpa racun.

(17)

Rodentisida yang digunakan dalam penelitian ini yaitu berbahan aktif bromadiolon karena menurut Buckle (1994) dapat digunakan secara luas untuk mengendalikan tikus di permukiman dan di pertanian. Selain itu, rodentisida ini bekerja lambat sehingga tidak menimbulkan jera umpan (bait-shyness) pada tikus, tidak memerlukan umpan pendahuluan (pre-baiting) dalam aplikasinya, dan konsentrasinya rendah sehingga diterima oleh tikus.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan konsumsi tikus sawah terhadap empat jenis formulasi rodentisida berbahan aktif bromadiolon pada saat

terdapat umpan tanpa racun dalam usaha pengendalian tikus sawah (R. argentiventer) yang efektif dan efisien.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai jenis formulasi bromadiolon yang efektif dan efisien untuk aplikasi pengendalian tikus sawah (R. argentiventer) di lapangan pada saat terdapat umpan lain yang tidak beracun.

Hipotesis

Tikus sawah (R. argentiventer) lebih memilih umpan gabah dibandingkan umpan yang lainnya karena gabah merupakan pakan dasar sesuai dengan habitatnya, di lahan persawahan, dimana selalu tersedia bulir padi. Selain itu, tikus sawah lebih menyukai pakan yang berbentuk serealia dibandingkan berbentuk blok, sehingga rodentisida bromadiolon berbentuk serealia yang lebih banyak dikonsumsi oleh tikus sawah.

(18)

4    4   

TINJAUAN PUSTAKA

Tikus Sawah Klasifikasi dan Morfologi

Tikus sawah merupakan hewan pengerat yang termasuk dalam Filum Chordata, Subfilum Vertebrata, Kelas Mamalia, Subkelas Theria, Infrakelas Eutheria, Ordo Rodentia, Subordo Myomorpha, Famili Muridae, Subfamili Murinae, Genus Rattus, dan Spesies R. argentiventer Rob. & Klo. (Boeadi 1979).

Tikus sawah merupakan hewan terestrial yang memiliki tonjolan pada telapak kaki yang relatif kecil dan permukaannya halus. Selain itu, tikus sawah memiliki rambut agak kasar, moncong berbentuk kerucut, badan berbentuk silindris, warna badan pada bagian punggung coklat kelabu kehitaman, dan warna badan pada bagian perut kelabu pucat atau putih kotor. Ciri khusus dari tikus sawah yaitu ekor relatif lebih pendek daripada panjang kepala dan badan. Panjang kepala dengan badan 130-210 mm, ekor 120-200 mm, dan tungkai 34-43 mm. Jumlah puting susu tikus betina 12 buah, 3 pasang di bagian dada dan 3 pasang di bagian perut (Priyambodo 2009).

Biologi dan Ekologi

Tikus sawah (R.argentiventer) merupakan hama utama penyebab kerusakan terbesar tanaman padi, terutama pada agroekosistem dataran rendah dengan pola tanam yang intensif. Tikus sawah dapat merusak tanaman padi pada semua stadia pertumbuhan dari semai hingga panen, bahkan di dalam gudang penyimpanan (BB Padi 2009). Tikus sawah sebagian besar tinggal di persawahan dan lingkungan sekitar sawah. Tikus sawah memiliki daya adaptasi yang tinggi sehingga mudah tersebar di dataran rendah dan dataran tinggi. Selain itu, tikus sawah juga suka menggali liang untuk berlindung dan berkembangbiak, membuat terowongan atau jalur sepanjang pematang dan tanggul irigasi (Rochman 1992).

Tikus sawah memiliki panca indera yang berkembang dengan baik sehingga dapat menunjang setiap aktivitas kehidupannya. Sebagai hewan nokturnal, penglihatan tikus sawah telah berkembang dan beradaptasi untuk melihat dalam intensitas cahaya rendah. Tikus dapat mengenali bentuk benda hingga jarak

(19)

pandang 10-15 m (Anggara et al. 2008). Namun tikus sawah dianggap buta warna sehingga sebagian warna terlihat abu-abu (Rochman 1992). Indera penciuman berkembang baik sehingga tikus dapat mendeteksi wilayah pergerakan tikus lain, jejak anggota kelompoknya, dan betina estrus. Indera pendengaran tikus sawah berkembang sempurna. Indera pengecap berkembang baik sehingga mampu mendeteksi rasa pahit, racun, dan enak atau tidaknya suatu pakan. Indera peraba juga berkembang baik, misai dan rambut-rambut panjang pada sisi tubuhnya digunakan sebagai sensor sentuhan terhadap benda-benda yang dilalui (BB Padi 2009).

Sebagai hewan nokturnal, tikus memiliki orientasi mencari makan, pasangan, dan kawasan (Brooks & Rowe 1979). Selain itu, tikus memiliki kemampuan fisik seperti menggali, memanjat, meloncat, melompat, menggerogoti, berenang, dan menyelam (Rochman 1992). Tikus telah memiliki otak yang berkembang sempurna sehingga mampu belajar dan mengingat dengan baik. Tikus sawah dapat mengingat sarang, sumber pakan yang aman ataupun beracun, dan sumber air (Anggara et al. 2008).

Tikus sawah termasuk hewan omnivora (pemakan segala jenis makanan), seperti biji-bijian (beras, gabah, jagung), umbi-umbian, serangga, dan sebagainya. Pada saat makanan berlimpah, tikus sawah akan menjadi lebih selektif dan memilih makanan yang paling disukai, yaitu biji-bijian atau padi yang tersedia di sawah (Rochman et al. 1982).

Seluruh bagian tanaman padi pada berbagai stadia pertumbuhan dapat dirusak oleh tikus. Walaupun demikian, tikus paling suka memakan bagian malai atau bulir tanaman padi pada stadia generatif. Pada stadia persemaian, tikus mencabut benih yang sudah mulai tumbuh (bibit) untuk memakan bagian biji yang masih tersisa (endosperm). Pada stadia vegetatif, tikus memotong bagian pangkal batang untuk memakan bagian batangnya. Adapun pada stadia generatif, tikus memotong pangkal batang untuk memakan bagian malai atau bulirnya (Priyambodo 2009).

Tikus sawah memiliki kemampuan reproduksi yang tinggi. Di lahan yang ditanami padi secara terus menerus (2 kali per tahun) puncak populasi akan terjadi 2 kali, yaitu pada saat tanaman fase generatif. Di lahan yang ditanami padi 1 kali

(20)

6   

6   

per tahun, puncak populasi hanya terjadi 1 kali, yaitu pada fase generatif. Dalam satu musim tanam padi, tikus sawah mampu beranak hingga 3 kali dengan rata-rata 10 ekor anak per kelahiran. Tikus betina relatif cepat matang seksual (± 1 bulan) dibandingkan dengan tikus jantan (± 2-3 bulan). Cepat atau lambatnya kematangan seksual tersebut tergantung dari ketersediaan pakan di lapangan serta tempat berlindung dan bersarang yang memadai. Apabila hal tersebut terpenuhi maka tikus sawah dapat berkembangbiak dalam waktu singkat sehingga akan terjadi peningkatan populasi yang sangat pesat atau disebut juga ledakan populasi (Macdonald & Fenn 1994).

Masa kebuntingan tikus betina sekitar 21 hari dan mampu kawin kembali 24-48 jam setelah melahirkan (post partum oestrus) (Southwhick 1969; Meehan 1984). Terdapatnya padi yang belum dipanen dapat memperpanjang periode reproduksi tikus sawah. Dalam kondisi tersebut, anak tikus dari kelahiran pertama sudah mampu bereproduksi sehingga seekor tikus betina dapat menghasilkan total sebanyak 80 ekor tikus dalam satu musim tanam padi. Secara teoritis dari 1 pasang tikus dapat berkembang menjadi + 2.000 ekor dalam waktu 1 tahun (Meehan 1984).

Pada saat tanaman fase padi vegetatif, tikus hidup soliter dan di luar liang, sedang pada fase generatif, tikus hidup berpasang-pasangan dan tinggal di dalam liang persawahan dengan pematang yang sempit (Sudarmaji 2005). Luas wilayah dan jarak jelajah harian tikus dipengaruhi oleh jumlah sumber pakan dan populasi tikus. Bila sumber pakan berlimpah, jelajah hariannya pendek (50-125 m) dan bila sumber pakan sedikit, jelajah harian panjang (100-200 m) (BB Padi 2009).

Keberadaan tikus di lapang dapat diketahui dengan cara pengumpanan tanpa racun yang dipasang minimal sebanyak 20 titik umpan per hektar atau pengamatan jejak dan jalan lintas tikus. Selain itu, keberadaan tikus di suatu tempat dapat diketahui dengan adanya benda yang rusak. Penentuan yang akurat akan adanya investasi tikus dapat diperoleh melalui pengamatan terhadap bahan makanan atau aktivitas sarang dan tanda-tanda pergerakan tikus dari sarang ke daerah makanan (Chandra 2005).

(21)

Metode Pengendalian Tikus Sawah

Pengendalian tikus sawah sering dilakukan oleh manusia. Beberapa metode pengendalian yang dapat dilakukan antara lain kultur teknis, sanitasi, fisik-mekanis, biologis atau hayati, dan kimiawi. Elemen penting yang harus diperhatikan untuk mengendalikan tikus di persawahan adalah sanitasi lingkungan dan monitoring populasi tikus di sekitar persawahan (Priyambodo 2009). Sanitasi dapat menyebabkan tikus kehilangan tempat persembunyian dan sumber pakan alternatif terutama saat periode bera, sehingga secara tidak langsung dapat menurunkan populasi tikus sawah (Sudarmaji 2004).

Pengendalian secara hayati (biologi) terhadap populasi tikus dilakukan dengan menggunakan parasit, predator, atau patogen untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan populasi tikus dari suatu habitat. Namun cara ini kurang efektif dan kurang memberikan hasil yang memuaskan. Pengendalian populasi tikus secara hayati dengan penggunaan parasit, patogen, dan manipulasi genetik telah dirintis, namun belum dapat diterapkan secara luas (Fall 1977).

Pengendalian secara kultur teknis dapat dibagi menjadi beberapa cara yaitu pengaturan pola tanam, pengaturan waktu tanam, pengaturan jarak tanam, dan penggunaan tanaman perangkap, sedangkan pengendalian secara kimiawi dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu penggunaan umpan beracun, penggunaan bahan fumigasi, dan bahan kimia penarik (attractant) (Priyambodo 2009). Metode pengendalian terhadap tikus yang sering digunakan oleh manusia yaitu secara mekanik dengan menggunakan perangkap dan secara kimiawi dengan menggunakan rodentisida (Mutiarani 2009).

Umumnya pengendalian hama dengan menggunakan rodentisida dapat dikatakan berhasil. Pengendalian dengan bahan kimia dapat memberikan efek positif maupun negatif. Efek positif berupa hasil yang cepat dan efektif sedangkan efek negatifnya antara lain pencemaran lingkungan dan resistensi hama.

Rodentisida

Rodentisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang digunakan untuk mematikan berbagai jenis hewan pengerat, misalnya tikus. Rodentisida dapat membunuh tikus (hewan pengerat) dengan cara meracuni

(22)

8   

8   

makanannya (tanaman). Menurut Prakash (1988) berdasarkan kecepatan kerjanya, rodentisida dibagi menjadi dua jenis yaitu rodentisida akut (bekerja cepat) dan rodentisida kronis (bekerja lambat).

Rodentisida akut adalah racun yang bekerja cepat dengan merusak sistem syaraf tikus. Rodentisida akut dapat menyebabkan kematian setelah mencapai dosis letal dalam waktu 24 jam atau kurang (Buckle & Smith 1996). Berdasarkan toksisitasnya, rodentisida akut dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu highly

toxicity (toksisitas tinggi), moderately toxicity (toksisitas sedang), dan lower toxicity (toksisitas rendah) (Priyambodo 2009).

Rodentisida kronis (antikoagulan) merupakan rodentisida yang bekerja lambat dengan cara menghambat proses koagulasi atau penggumpalan darah serta memecah pembuluh darah kapiler. Rodentisida kronis dapat dikelompokkan berdasarkan kelompok kimia bahan aktifnya dan berdasarkan saat diproduksinya (Priyambodo 2009).

Rodentisida Kronis

Rodentisida kronis (antikoagulan) merupakan rodentisida yang bersifat tidak langsung mematikan setelah tertelan oleh hewan sasaran, namun memerlukan waktu beberapa lama untuk bereaksi dan menimbulkan kematian terhadap target. Hal ini disebabkan rodentisida memiliki daya kerja yang lambat (Buckle 1994).

Berdasarkan kelompok bahan kimia aktifnya, rodentisida kronis (antikoagulan) dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu hydroxicoumarin dan

indanedione (Priyambodo 2009). Selain itu rodentisida kronis (antikoagulan) juga

dapat dikelompokkan berdasarkan saat diproduksinya, yaitu rodentisida antikoagulan generasi I dan generasi II. Rodentisida antikoagulan generasi II dibuat karena sudah terjadi atau diperkirakan akan terjadi resistensi tikus terhadap rodentisida antikoagulan generasi I (Priyambodo 2009).

Penggunaan rodentisida yang bersifat kronis bertujuan untuk menghindari sifat jera umpan yang dimiliki oleh tikus, sehingga pengendalian dengan pengumpanan dapat berjalan lebih efektif. Pengendalian dengan rodentisida semacam ini memerlukan pemberian yang berulang selama 3 hari atau lebih, namun pemakaian rodentisida kronis secara terus-menerus dapat menyebabkan

(23)

terbentuknya populasi tikus yang resisten di beberapa negara sehingga pemanfaatannya harus dilakukan secara hati-hati. Salah satu dampak yang ditimbulkan oleh rodentisida kronis yaitu terhambatnya pembentukan protrombin yang menyebabkan kerapuhan kapiler darah sehingga terjadi pendarahan (Chandra 2005). Rodentisida ini membuat darah menjadi berkurang kekentalannya dan semakin lama semakin encer sehingga pada akhirnya tikus akan mati karena pendarahan didalam tubuhnya (Syamsuddin 2007). Tikus yang telah mengonsumsi rodentisida antikoagulan dengan dosis yang mematikan biasanya akan mengalami kematian 2-14 hari setelah proses peracunan (Surtikanti 2007).

Bromadiolon

Bromadiolon merupakan salah satu golongan antikoagulan generasi kedua yang efektif terhadap tikus dan hewan pengerat lainnya (Bennet 2002). Struktur kimia dari bromadiolon yaitu 3-[3-(4’-bromobiphenyl-4-yl)-3-hydroxy-1-phenylpropyl]-4-hydroxycoumarin [28772-56-7], C30H23BrO4 (Buckle 1994).

Bromadiolon diproduksi dalam berbagai bentuk yaitu bentuk umpan siap saji, bentuk tepung atau bubuk, dan bentuk blok. Secara umum bromadiolon digunakan dengan konsentrasi 0.005% dan sudah efektif di lapangan terhadap tikus yang sudah resisten terhadap antikoagulan generasi pertama. Bromadiolon merupakan racun antikoagulan dengan dosis tunggal 50 mg/kg dengan LD50 kurang dari 2 mg/kg. Penggunaan bromadiolon harus dilakukan dengan tepat dan aman karena seringkali ditemukan bau bangkai tikus yang sulit terdeteksi (Pardosi & Sukana 2005).

Gabah

Gabah merupakan bulir padi yang termasuk tahap penting dalam pengolahan padi sebelum dikonsumsi. Menurut Priyambodo (2009), tikus dapat menyerang padi pada berbagai stadia pertumbuhan. Pada stadia persemaian, tikus merusak tanaman padi dengan mencabut benih yang sudah mulai tumbuh (bibit) untuk memakan bagian biji yang masih tersisa (endosperm). Pada stadia vegetatif, tikus memotong bagian pangkal batang untuk memakan bagian batangnya. Pada stadia generatif, tikus dapat menyerang bagian malai atau bulir tanaman padi.

(24)

10   

10   

Gabah tersusun dari 15-30% kulit luar (sekam), 4-5% kulit ari, 12-14% bekatul, 65-67% endosperm, dan 2-3% lembaga. Lapisan bekatul paling banyak mengandung vitamin B1. Selain itu, bekatul juga mengandung protein, lemak, vitamin B2, dan niasin. Endosperm merupakan bagian utama butir beras, dengan komposisi utama adalah pati. Selain itu endosperm mengandung protein cukup banyak, serta selulosa, mineral, dan vitamin dalam jumlah kecil (Lasztity 1986).

Beras

Beras merupakan salah satu padi-padian terpenting di dunia yang dikonsumsi oleh manusia. Beras yang dihasilkan dari tanaman padi merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk Asia. Sekitar 1.75 milyar dari ± 3 milyar penduduk Asia termasuk ± 300 juta penduduk Indonesia menggantungkan kebutuhan kalorinya dari beras. Beras merupakan gabah yang bagian kulitnya sudah dibuang dengan cara digiling dan disosoh menggunakan alat pengupas dan penggiling (huller) serta penyosoh (polisher). Struktur beras terdiri dari beberapa bagian yaitu kulit gabah, lapisan perikarp, lapisan aleuron, bakal kecambah, dan bagian endosperm (Lasztity 1986). Permukaan beras ditutupi oleh selaput tipis yang mengandung protein, vitamin, karbohidrat, mineral, dan lemak.

Beras sebagai komoditas pangan menyumbang energi, protein, dan zat besi masing-masing sebesar 63.1%, 37.7%, dan 25-30% dari total kebutuhan tubuh. Setelah dimasak kandungan protein yang dimiliki beras menurun sampai 2% (Tasar 2000). Lebih dari 50% penduduk dunia juga tergantung pada beras sebagai sumber kalori utama. Pangan, khususnya beras yang dikonsumsi harus sehat dan aman (Wahyudin 2008).

(25)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Gambar 1), dari Bulan Oktober hingga Desember 2011.

Gambar 1 Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Bahan dan Alat

Hewan Uji

Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tikus sawah (R.

argentiventer Rob. & Klo.) (Gambar 2). Tikus sawah yang digunakan diperoleh

dari daerah Subang, Jawa Barat. Tikus yang akan diuji diidentifikasi berdasarkan jenis tikus, kondisi kesehatan, jenis kelamin, bobot tubuh, dan tidak bunting. Tikus yang dibutuhkan untuk penelitian ini yaitu 10 ekor untuk setiap perlakuan dengan bobot tubuh > 70 g.

(26)

12   

12   

Gambar 2 Tikus sawah (R. argentiventer)

Umpan

Umpan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari dua jenis yaitu beras (Gambar 3A) dan gabah (Gambar 3B). Beras merupakan makanan pokok bagi sebagian besar masyarakat. Sedangkan gabah merupakan bentuk dasar dari beras sebelum dilakukan penggilingan dan dapat digunakan sebagai pakan hewan terutama tikus sawah.

(A) (B) Gambar 3 Umpan: (A) Beras dan (B) gabah  

Rodentisida

Rodentisida yang digunakan bersifat kronis (antikoagulan) sehingga tidak langsung menyebabkan kematian setelah pemberian rodentisida, namun dibutuhkan beberapa waktu. Pemberian rodentisida dilakukan secara berulang untuk dapat menimbulkan keracunan serta kematian. Rodentisida kronis yang digunakan berbahan aktif bromadiolon yang terdiri dari empat jenis yaitu Bromadiolon A 0.005% berbentuk butiran beras dengan warna merah muda pekat (Gambar 4A), Bromadiolon B 0.005% berbentuk blok dengan warna biru (Gambar 4B), Bromadiolon C 0.005% berbentuk butiran beras dengan warna

(27)

merah muda agak pudar (Gambar 4C), dan Bromadiolon D 0.25% berbentuk tepung dengan warna biru muda (Gambar 4D).

(A) (B)

(C) (D)

Gambar 4 Rodentisida kronis bromadiolon: (A) Bromadiolon A 0.005%, (B) Bromadiolon B 0.005%, (C) Bromadiolon C 0.005%, (D) Bromadiolon D 0.25%

Kandang Percobaan

Kandang percobaan (Gambar 5) yang digunakan untuk pemeliharaan dan perlakuan berbentuk balok yang terbuat dari kawat bangunan yang kuat dan keras dengan ukuran p x l x t masing-masing yaitu 38 cm x 22 cm x 22 cm. Lubang-lubang kawat pada kandang berukuran kecil sehingga tidak memungkinkan tikus untuk keluar dari kandang. Pada setiap kandang percobaan dilengkapi dengan peralatan tambahan berupa gelas berisi air untuk minum tikus, wadah umpan beserta umpannya, dan bumbung bambu sebagai tempat persembunyian tikus.

(28)

14   

14   

Gambar 5 Kandang percobaan

Timbangan

Alat untuk menimbang yang digunakan dalam penelitian ini yaitu timbangan elektronik (electronic top-loading balance for animal) (Gambar 6). Timbangan elektronik digunakan untuk menimbang bobot tubuh hewan uji (tikus) sebelum dan setelah perlakuan. Selain itu, timbangan juga digunakan untuk menimbang bobot konsumsi tikus terhadap ketiga jenis umpan (beras, gabah, dan rodentisida).

Gambar 6 Timbangan elektronik (electronic top-loading balance for animal)

Metode

Persiapan Hewan Uji

Tikus sawah yang digunakan sebagai hewan uji diambil dari daerah Subang, Jawa Barat. Tikus sawah yang digunakan sebagai hewan uji diidentifikasi berdasarkan kondisi kesehatan, jenis kelamin, serta bobot tubuh. Bobot tubuh tikus sawah yang digunakan > 70 g. Selain itu dilakukan pemilihan tikus sawah yang sehat dan tidak bunting.

(29)

Tikus sawah yang dibutuhkan untuk penelitian ini sebanyak 10 ekor untuk setiap perlakuan. Setelah perlakuan pertama, untuk perlakuan berikutnya digunakan tikus sawah yang sama (berlanjut) sehingga tikus sawah yang telah digunakan sebelumnya, digunakan kembali untuk perlakuan berikutnya. Apabila terdapat tikus sawah yang mati pada perlakuan sebelumnya, maka untuk perlakuan berikutnya digunakan tikus yang baru. Total tikus yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 16 ekor tikus sawah, karena terdapat enam ekor tikus yang mati.

Persiapan Rodentisida

Rodentisida golongan bromadiolon yang digunakan terdiri atas empat jenis (Bromadiolon A, B, C, dan D). Tiga jenis dari empat jenis rodentisida yang ada merupakan rodentisida siap pakai. Namun terdapat rodentisida Bromadiolon D yang berbentuk tepung sehingga perlu dilakukan pencampuran terlebih dahulu dengan beras dan minyak. Untuk membuat rodentisida siap saji dari jenis Bromadiolon D sebanyak 100 g diperlukan rodentisida tepung sebanyak 2.5 g dan beras sebanyak 97.5 g. Kemudian kedua bahan tersebut dicampurkan dan ditambahkan minyak goreng secukupnya yang berfungsi untuk melekatkan tepung pada beras. Selanjutnya ketiga bahan tersebut diaduk secara merata sehingga warna beras menjadi biru muda seluruhnya. Konsentrasi untuk bromadiolon D menjadi 0.006%.

Pengujian Rodentisida vs Umpan

Pengujian antikoagulan bromadiolon pada tikus sawah menggunakan metode pilihan (choice test), yaitu pengujian umpan beracun terhadap tikus dengan memberikan alternatif umpan lain, sehingga tikus mempunyai pilihan dalam mengonsumsi umpan yang disediakan. Pengujian ini terdiri dari empat urutan perlakuan yaitu perlakuan Bromadiolon A vs gabah vs beras, Bromadiolon B vs gabah vs beras, Bromadiolon C vs gabah vs beras, dan Bromadiolon D vs gabah vs beras.

Teknik pengujian untuk semua perlakuan (rodentisida vs gabah vs beras) yaitu tikus sawah yang akan digunakan sebagai hewan uji masing-masing

(30)

16   

16   

ditimbang terlebih dahulu bobot tubuhnya sebagai bobot awal dengan menggunakan timbangan elektronik, bobot tubuh yang digunakan > 70 g. Selanjutnya masing-masing hewan uji dimasukkan ke dalam kandang percobaan yang telah dilengkapi dengan bumbung bambu dan gelas yang berisi air untuk minum tikus sawah setiap harinya. Setelah seluruh hewan uji dimasukkan ke dalam kandang percobaan, kemudian dimasukkan rodentisida, gabah, dan beras dalam wadah yang terpisah ke dalam kandang percobaan. Sebelum diaplikasikan, masing-masing umpan beracun dan tidak beracun (rodentisida, gabah, beras) ditimbang bobotnya menggunakan timbangan elektronik. Untuk rodentisida bobot awal yang digunakan sebanyak > 10 g, untuk gabah dan beras bobot awal yang digunakan sebanyak > 20 g.

Tikus yang sama digunakan kembali untuk perlakuan berikutnya, namun sebelumnya tikus diadaptasikan kembali dengan pemberian gabah. Apabila terdapat tikus yang mati pada saat perlakuan, maka diganti dengan tikus sawah yang baru untuk perlakuan berikutnya. Metode pengujian yang sama dilakukan untuk semua perlakuan.

Pemberian Umpan (Gabah) Pasca Perlakuan

Setelah pengujian rodentisida vs umpan, dilanjutkan dengan pemberian umpan gabah. Penggantian rodentisida dan umpan dengan gabah bertujuan untuk mengondisikan tikus sawah setelah diberi perlakuan dengan rodentisida untuk digunakan pada perlakuan berikutnya. Gabah yang akan diberikan diletakkan dalam wadah dan kemudian dimasukkan ke dalam kandang berisi tikus sawah yang telah selesai diberi perlakuan. Jumlah gabah yang diberikan pada tikus sawah pasca perlakuan yaitu > 20 g.

Pengamatan yang dilakukan

Pengujian choice test (rodentisida vs umpan) dilakukan masing-masing sebanyak 10 kali ulangan, menggunakan 10 ekor tikus sawah. Setiap ulangan digunakan 1 ekor tikus sawah dan dilakukan pengamatan selama 5 hari

(31)

berturut-turut. Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap konsumsi gabah selama 3 hari berturut-turut.

Peubah yang diamati

Konsumsi tikus sawah terhadap umpan beracun (rodentisida) dan umpan tanpa racun (gabah, beras) dicatat setiap harinya dengan catatan tikus sawah telah mengonsumsi salah satu umpan (beracun atau tanpa racun) yaitu rodentisida, gabah, atau beras sebanyak ≥ 1 g agar dapat berganti ke hari berikutnya. Setelah 5 hari perlakuan, tikus sawah ditimbang kembali bobot tubuhnya sebagai bobot akhir. Konsumsi gabah setiap hari dicatat dengan asumsi tikus sawah telah mengonsumsi gabah sebanyak ≥ 1 g agar dapat berganti ke hari berikutnya. Setelah 3 hari pemberian gabah, tikus sawah ditimbang kembali bobot tubuhnya sebagai bobot awal untuk perlakuan berikutnya.

Konversi Umpan

Semua data konsumsi yang diperoleh dari pengujian preferensi makan tikus sawah dikonversi terlebih dahulu kedalam 100 g bobot tubuh tikus, dengan rumus sebagai berikut:

Konversi umpan atau rodentisida (g/100 g bobot tubuh) =

Bobot umpan atau rodentisida yang dikonsumsi (g) x 100% Rata-rata bobot tubuh tikus (g)

Rerata bobot tubuh tikus (g) = Bobot awal + bobot akhir 2

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan untuk pengujian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan menggunakan 1 jenis tikus yaitu tikus sawah dengan 10 ulangan untuk uji rodentisida vs umpan. Apabila hasil yang diperoleh berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji selang ganda Duncan (Duncan Multiple Range Test) pada taraf α = 5% dan 1% dengan menggunakan bantuan program SAS for Windows Versi 9.1.3.

(32)

       

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengujian Ketertarikan Tikus Sawah terhadap Rodentisida dan Umpan (Choice Test)

Konsumsi Tikus Sawah terhadap Empat Formulasi Rodentisida Bromadiolon

Tikus sawah yang mempunyai habitat di lahan persawahan terdapat dalam jumlah yang melimpah sehingga perlu dikendalikan, karena dapat menimbulkan kerusakan pada tanaman serta kehilangan hasil terutama pada tanaman padi. Rodentisida selama ini dianggap metode yang paling efektif dalam mengendalikan tikus sawah. Bromadiolon sebagai salah satu golongan rodentisida telah dinilai efektif dalam mengendalikan tikus sawah dan tersedia dalam berbagai jenis dan bentuk, sehingga perlu diketahui bentuk dan jenis yang paling efektif dan efisien dalam mengendalikan tikus sawah. Konsumsi tikus sawah terhadap empat formulasi rodentisida bromadiolon dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Konsumsi tikus sawah terhadap keempat jenis formulasi bromadiolon Rodentisida Konsumsi (g/100 g bobot tubuh) Bromadiolon A 0.1045 aA

Bromadiolon B 0.0008 aA Bromadiolon C 0.2997 aA Bromadiolon D 0.1146 aA Pr > F 0.2533

Keterangan: Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang ganda Duncan pada taraf α=5% (huruf kecil) dan α=1% (huruf besar) Hasil pengujian pada Tabel 1 menunjukkan bahwa konsumsi tikus sawah terhadap keempat formulasi bromadiolon tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (sama). Konsumsi tikus sawah terhadap Bromadiolon C paling tinggi diantara yang lainnya yaitu sebesar 0.2997 g. Bromadiolon C paling banyak dikonsumsi oleh tikus sawah karena rodentisida tersebut memiliki kandungan bahan tambahan (additives) yang disukai oleh tikus sawah sehingga nilai

(33)

(additives) yang dapat meningkatkan ketertarikan tikus terhadap umpan beracun yaitu diantaranya bahan penarik (arrestant atau attractant) dan bahan pengikat (binder) yang terkandung di dalam umpan beracun (Priyambodo 2009).

Bromadiolon B paling sedikit dikonsumsi oleh tikus sawah karena rodentisida ini berbentuk blok sehingga kurang disukai oleh tikus sawah. Menurut Priyambodo (2009) tikus sawah lebih menyukai pakan berbentuk serealia dibandingkan dengan pakan berbentuk blok, sehingga ketiga jenis rodentisida (Bromadiolon A, C, dan D) yang berbentuk serealia lebih banyak dikonsumsi oleh tikus sawah dibandingkan dengan Bromadiolon B. Selain itu, Bromadiolon B kurang disukai oleh tikus sawah karena desain rodentisida ini ditujukan untuk tikus rumah. Oleh sebab itu, dilakukan pengujian lanjutan terhadap Bromadiolon B pada tikus rumah dengan metode yang sama.

Hasil pengujian lanjutan yang dilakukan terhadap Bromadiolon B pada tikus rumah dengan metode pilihan (choise test), diperoleh hasil konsumsi sebesar 1.7583 g. Hal ini menunjukkan bahwa Bromadiolon B disukai oleh tikus rumah sehingga lebih efektif apabila diaplikasikan pada tikus rumah. Hal yang menyebabkan Bromadiolon B disukai oleh tikus rumah yaitu bau yang khas (lebih menyengat) yang dimiliki oleh Bromadiolon B. Menurut Priyambodo (2009) tikus rumah memiliki indera penciuman yang lebih peka dibandingkan dengan tikus sawah. Dikonsumsinya Bromadiolon B oleh tikus sawah pada pengujian ini disebabkan oleh perilaku tikus yang ingin mencicipi umpan baru.

Konsumsi tikus sawah terhadap empat formulasi bromadiolon berdasarkan metode pilihan (choice test) dibandingkan dengan metode tanpa pilihan

(no-choice test) menunjukkan nilai konsumsi yang berbeda untuk Bromadiolon A, C,

dan D. Konsumsi tikus sawah terhadap Bromadiolon A berdasarkan metode pilihan memiliki rerata konsumsi lebih kecil (0.1045 g) dibandingkan dengan metode tanpa pilihan (1.0975 g) (Priyambodo 2011). Begitu pula halnya dengan Bromadiolon C berdasarkan metode pilihan memiliki rerata konsumsi 0.2997 g sedangkan pada metode tanpa pilihan memiliki rerata konsumsi 4.5848 g (Priyambodo 2011). Hal yang sama terjadi pula pada Bromadiolon D berdasarkan

(34)

20   

20   

metode pilihan memiliki rerata konsumsi 0.1146 g sedangkan pada metode tanpa pilihan memiliki rerata konsumsi 4.9620 g (Priyambodo 2010).

Hal ini dapat terjadi karena pada metode pilihan terdapat alternatif umpan lain yang tidak beracun sehingga tikus mempunyai pilihan lain dalam mengonsumsi umpan yang telah disediakan dan mencegah tikus sawah mengonsumsi rodentisida. Sedangkan pada metode tanpa pilihan tidak disediakan umpan lain yang tidak beracun sehingga tikus tidak mempunyai pilihan lain dalam mengonsumsi umpan dan harus memakan umpan beracun tersebut.

Demikian pula halnya dengan konsumsi tikus sawah terhadap Bromadiolon B berdasarkan metode pilihan (choice test) memiliki rerata konsumsi lebih kecil (0.0008 g) dibandingkan dengan konsumsi tikus rumah berdasarkan metode tanpa pilihan (no-choice test) pada tikus rumah (11.1376 g) (Priyambodo 2010). Perbedaaan yang cukup tinggi ini karena desain Bromadiolon B memang ditujukan untuk tikus rumah dan mengandung bahan-bahan tambahan yang disukai oleh tikus rumah. Selain itu bentuk blok dari rodentisida ini juga disukai oleh tikus rumah dan tidak disukai oleh tikus sawah karena tikus sawah lebih menyukai pakan yang berbentuk serealia.

Apabila dihitung persentase rasio antara metode pilihan (choice test) terhadap metode tanpa pilihan (no-choice test), nilai tertinggi dimiliki oleh Bromadiolon A (9.5216%) diikuti oleh Bromadiolon C (6.5368%), Bromadiolon D (2.3096%), dan Bromadiolon B (0.0072%). Persentase lebih besar yang dimiliki oleh Bromadiolon A disebabkan oleh lebih kecilnya konsumsi pada pengujian tanpa pilihan. Apabila dibandingkan dengan jenis bromadiolon yang lainnya, jenis ini cenderung kurang disukai meskipun dilakukan pengujian dengan metode tanpa pilihan (no-choice test). Pada Bromadiolon B, diperoleh rasio yang sangat kecil karena terjadi perbedaan yang lebih besar antara metode pilihan dan tanpa pilihan, hal ini disebabkan oleh pengujian tanpa pilihan dilakukan pada tikus rumah yang memang menyukai rodentisida jenis ini. Pada Bromadiolon C dan D yang memiliki rasio diantara Bromadiolon A dan B, tikus sawah cenderung menyukai kedua jenis rodentisida ini karena berdasarkan metode tanpa pilihan (no-choice

(35)

Tikus sawah yang berjumlah 10 ekor pada perlakuan Bromadiolon A memiliki kecenderungan yang cukup tinggi dalam mengonsumsi rodentisida jenis ini. Hal ini dapat dilihat dari hampir setiap kali pemberian selama 5 hari, rodentisida ini dikonsumsi oleh tikus sawah. Seluruh individu mengonsumsi rodentisida dengan jumlah yang bervariasi dan berkisar antara 0.0535-0.2078 g. Tikus sawah yang memiliki bobot tubuh paling besar mengonsumsi rodentisida paling banyak yaitu mencapai 0.2078 g.

Tikus sawah yang berjumlah 10 ekor pada perlakuan Bromadiolon B cenderung tidak menyukai rodentisida jenis ini. Hanya terdapat 2 ekor tikus yang mengonsumsi rodentisida dengan jumlah rerata konsumsi 0.0024 g dan 0.0059 g. Individu pertama maupun kedua hanya mengonsumsi rodentisida jenis ini satu kali dengan jumlah yang sangat sedikit. Hal ini dikarenakan tikus sawah tidak menyukai umpan yang berbentuk blok namun lebih menyukai umpan yang berbentuk serealia.

Tikus sawah yang berjumlah 10 ekor pada perlakuan Bromadiolon C memiliki kecenderungan yang cukup tinggi dalam mengonsumsi rodentisida jenis ini melebihi jenis bromadiolon yang lainnya dalam pengujian ini dan tikus sawah cenderung menyukainya. Semua tikus mengonsumsi rodentisida dengan jumlah yang bervariasi dan berkisar antara 0.0188-2.0083 g. Hampir setiap kali pemberian, rodentisida ini dikonsumsi dengan jumlah yang cukup banyak setiap harinya. Selain itu, tingginya nilai konsumsi disebabkan terdapat 2 individu tikus sawah yang mengonsumsi cukup banyak. Bromadiolon C paling banyak dikonsumsi dan lebih disukai oleh tikus sawah karena bentuknya yang berupa serealia serta memiliki kandungan bahan tambahan yang disukai.

Tikus sawah yang berjumlah 10 ekor pada perlakuan Bromadiolon D memiliki kecenderungan yang cukup tinggi dalam mengonsumsi rodentisida, namun terdapat satu ekor tikus yang tidak mengonsumsi rodentisida jenis ini. Hal ini disebabkan oleh perilaku individu tikus sawah yang memiliki kecurigaan terhadap umpan baru akibat perilaku jera umpan. Konsumsi tikus sawah terhadap rodentisida ini bervariasi dan berkisar antara 0.0069-0.8352 g.

(36)

22   

22   

Sebagian besar dari masing-masing individu tikus sawah memiliki kecenderungan dalam mengonsumsi rodentisida satu dan yang lainnya namun konsistensi dari setiap individu sangat bervariasi tergantung dari jenis racun yang disediakan dan keadaan individu tikus itu sendiri. Konsistensi setiap individu tikus sawah dalam mengonsumsi rodentisida dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Konsumsi setiap individu tikus sawah terhadap rodentisida

Semua individu tikus sawah memiliki konsistensi yang hampir sama dalam mengonsumsi rodentisida Bromadiolon A, B, C, dan D seperti yang terlihat pada Gambar 7, namun terdapat 2 individu pada perlakuan Bromadiolon C yang mengonsumsi rodentisida dalam jumlah yang cukup banyak. Hal ini menyebabkan nilai konsumsi rerata rodentisida Bromadiolon C menjadi besar.

Konsumsi rodentisida dengan jumlah yang sangat sedikit disebabkan oleh perilaku tikus yang ingin mencicipi umpan baru namun selanjutnya akan mengalami penurunan jumlah konsumsi akibat jera umpan. Tikus yang telah mengonsumsi rodentisida antikoagulan bromadiolon dalam jumlah yang cukup akan mengalami penurunan aktivitas, hewan menjadi lemas, dan pergerakannya akan menjadi lambat.

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Konsum si rodentisida (g/100 g bb) Individu Bromadiolon A Bromadiolon B Bromadiolon C Bromadiolon D

(37)

Pengujian berdasarkan metode pilihan (choice-test) akan memberikan alternatif pada tikus sawah dalam mengonsumsi umpan (beracun atau tidak beracun). Hasil pengujian rodentisida vs umpan dapat dilihat pada Tabel 2. Dengan naluri dasar yang dimiliki, tikus dapat membedakan umpan yang beracun dan tidak beracun sehingga dapat dipastikan bahwa umpan tidak beracun yang akan lebih banyak dikonsumsi oleh tikus sawah.

Tabel 2 Konsumsi tikus sawah terhadap kedua jenis umpan dan rodentisida Jenis umpan

dan

rodentisida

Konsumsi (g/100 g bobot tubuh) Bromadiolon A Bromadiolon B Bromadiolon C Bromadiolon D Gabah 5.0007 aA 6.1125 aA 6.4342 aA 5.2187 aA Beras 0.2876 bB 0.3118 bB 0.2413 bB 0.3798 bB Rodentisida 0.0145 bB 0.0008 bB 0.2997 bB 0.1146 bB Jumlah 5.3928 6.4527 6.9752 5.7131 Pr > F 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001

Keterangan: Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang ganda Duncan pada taraf α=5% (huruf kecil) dan α=1% (huruf besar) Hasil pengujian pada Tabel 2 menunjukkan bahwa rerata konsumsi gabah memiliki nilai paling tinggi karena gabah merupakan pakan utama yang disukai oleh tikus sawah. Komposisi pakan yang dikonsumsi tergantung pada kondisi lingkungan dan pertanaman padi. Meskipun tikus tergolong dalam hewan omnivora dan di dalam saluran pencernaan tikus sawah ditemukan endosperm padi, bagian pangkal batang padi, serpihan rumput, bagian tanaman dikotil, dan potongan bagian tubuh arthropoda, namun makanan pokok yang lebih disukai adalah padi (Anggara 2008). Beras kurang disukai oleh tikus sawah karena bagian kulit luarnya yang keras sudah dibuang dan tikus perlu mengerat untuk mengurangi pertumbuhan gigi serinya, sehingga tikus sawah cenderung lebih menyukai gabah.

Rerata konsumsi tikus sawah terhadap rodentisida sangat rendah karena adanya umpan lain yang tidak beracun, yaitu gabah dan beras. Tikus sawah

(38)

24   

24   

memiliki pilihan lain dalam mengonsumsi umpan dan secara tidak langsung mencegah tikus sawah dalam mengonsumsi rodentisida. Rodentisida dikonsumsi oleh tikus sawah walaupun dalam jumlah yang sedikit, karena perilaku tikus sawah yang memiliki keinginan untuk mencicipi umpan baru. Menurut Rochman

et al. (2005) tikus memiliki indera perasa yang sangat peka dan mampu

merasakan senyawa phenilthiocarbamide (berasa pahit) dalam konsentrasi yang sangat rendah yaitu 3 ppm. Dengan kemampuan tersebut, tikus mampu memilah makanan yang aman dan menolak makanan yang beracun.

Persentase konsumsi rodentisida dan umpan lain (gabah, beras) dibandingkan dengan persentase konsumsi total dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Proporsi konsumsi rodentisida, gabah, dan beras terhadap konsumsi total pada keempat jenis bromadiolon

Apabila dilihat persentase konsumsi rodentisida terhadap konsumsi total (Gambar 8), Bromadiolon C memiliki persentase paling tinggi (4.30%) diikuti Bromadiolon D (2.01%), Bromadiolon A (1.94%), dan Bromadiolon B (0.01%). Rentang konsumsi rodentisida yang berkisar antara 0.01-4.30% ini tergolong sangat kecil apabila dibandingkan dengan konsumsi total. Semakin tinggi

BromadiolonA 1.94% 5.33% 92.73% Bromadiolon B 95.14% 0.01% 4.85% Bromadiolon C 4.30% 92.24% 3.46% Gabah Beras Rodentisida Bromadiolon D 91.35% 2.01% 6.65%

(39)

total juga akan semakin tinggi. Konsumsi Bromadiolon B hampir tidak terlihat pada diagram karena konsumsi rodentisida ini sangat kecil dan hanya beberapa individu saja yang mengonsumsi rodentisida jenis ini, sedangkan konsumsi rodentisida terhadap konsumsi total oleh tikus rumah sebesar 24.15%.

Bobot Tubuh dan Kematian Tikus Sawah

Bobot tubuh awal tikus sawah diperoleh dari penimbangan sebelum diberikan perlakuan dan bobot tubuh akhir tikus sawah diperoleh dari penimbangan setelah dilakukan lima hari perlakuan. Bobot tubuh tikus sawah secara umum akan mengalami penurunan setelah diberikan perlakuan dengan rodentisida. Perubahan bobot tubuh dan kematian tikus sawah dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Bobot tubuh dan kematian tikus sawah saat perlakuan

Perlakuan

Bobot tubuh (g)

Kematian Awal Akhir Rerata Perubahan

bobot

Bromadiolon A 96.680 90.925 93.803 -5.755 4 Bromadiolon B 79.564 79.081 79.323 -0.483 0 Bromadiolon C 78.374 76.828 77.601 -1.546 2 Bromadiolon D 77.796 75.090 76.443 -2.706 1

Bobot tubuh tikus sawah mengalami penurunan setelah perlakuan dengan rerata penurunan bobot tubuh berkisar antara 0.483 g sampai 5.755 g (Tabel 3). Penurunan bobot tubuh paling tinggi terjadi pada perlakuan Bromadiolon A diikuti oleh Bromadiolon D, Bromadiolon C, dan Bromadiolon B. Penurunan bobot tubuh yang terjadi disebabkan oleh telah bekerjanya rodentisida antikoagulan yang termakan oleh tikus sawah, sehingga terjadi gangguan fisiologis dan menimbulkan pengaruh terhadap penurunan bobot tubuh tikus sawah.

Konsumsi tikus sawah terhadap rodentisida ada yang menyebabkan kematian pada tikus dan ada yang tidak (tikus tetap hidup). Hal ini terjadi karena

(40)

26   

26   

tikus yang mati mengonsumsi rodentisida dalam jumlah yang cukup banyak sedangkan tikus yang tetap hidup mengonsumsi rodentisida pada dosis yang tidak mematikan (sub lethal dose). Selain itu, kematian dapat terjadi karena tikus sawah mengalami penurunan kondisi fisiologis, sedangkan tikus sawah yang tidak mati memiliki kemampuan bertahan hidup (survival) yang tinggi.

Kematian paling banyak terjadi pada perlakuan Bromadiolon A yaitu sebanyak 4 ekor tikus sawah dari jumlah keseluruhan sebanyak 10 ekor. Hal ini disebabkan oleh lebih sedikitnya gabah dan beras yang dikonsumsi. Pada perlakuan ini, konsumsi gabah dan beras adalah yang terkecil yaitu masing-masing sebesar 5.0007 g dan 0.2876 g (Tabel 2), sehingga bobot tikus sawah mengalami penurunan yang tertinggi yaitu sebesar 5.755 g. Tikus sawah yang mati mengalami keracunan yang kronis dalam tubuhnya, sehingga mempengaruhi konsumsi gabah dan beras, yang pada akhirnya menyebabkan penurunan bobot tubuh. Selanjutnya, pada perlakuan Bromadiolon C terdapat 2 ekor tikus yang mati dengan rerata penurunan bobot tubuh sebesar 1.546 g.

Angka kematian terkecil terjadi pada perlakuan Bromadiolon B (kematian 0), dimana penurunan bobot tubuh tikus sawah yaitu 0.483 g. Penurunan bobot yang terkecil disebabkan oleh lebih sedikitnya rodentisida yang dikonsumsi (0.0008 g) sehingga tidak menimbulkan pengaruh yang berarti dan tidak menyebabkan kematian pada tikus sawah. Pada Bromadiolon D tikus yang mati berjumlah 1 ekor dengan konsumsi rodentisida sebesar 0.1146 g (Tabel 2). Konsumsi rodentisida yang sedikit kurang mempengaruhi proses fisiologis dalam tubuh tikus, sehingga tikus tetap hidup meskipun terjadi penurunan bobot.

Tikus yang mati mengonsumsi rodentisida dengan jumlah yang lebih banyak dibandingkan yang lainnya. Terdapat juga tikus yang mati dengan hanya memakan sedikit rodentisida. Kondisi ini menyebabkan data yang diperoleh tidak seragam sehingga dapat dikatakan tidak ada korelasi positif antara konsumsi rodentisida dan kematian tikus sawah. Hal ini disebabkan adanya perbedaan faktor psikologis dan fisiologis yang besar dari setiap individu tikus sawah baik dari sisi genetis maupun non-genetis berupa cekaman. Tikus yang mati akibat sedikit konsumsi rodentisida disebabkan oleh konsumsi tikus terhadap umpan gabah dan

(41)

cekaman, dan pada akhirnya menimbulkan kematian pada tikus.

Konsumsi Racun dan Lama Kematian dari Setiap Individu

Masing-masing individu mengonsumsi rodentisida dengan jumlah yang berbeda sehingga dosis letal (lethal dose) dari konsentrasi Bromadiolon yang termakan dan lama kematian juga berbeda. Tikus yang telah mengonsumsi rodentisida antikoagulan dengan dosis yang mematikan biasanya akan mengalami kematian 2-14 hari setelah proses peracunan (Surtikanti 2007).

Pada perlakuan Bromadiolon A terdapat 4 ekor tikus yang mengalami kematian. Dosis letal dan lama kematian untuk masing-masing individu yaitu individu ke-2 (betina) dosis letal 0.330 mg/kg dengan lama kematian 12 hari setelah perlakuan (saat gabah pasca perlakuan), individu ke-3 (jantan) dosis letal 0.520 mg/kg dengan lama kematian 5 hari setelah perlakuan (saat perlakuan), individu ke-5 (jantan) dosis letal 0.082 mg/kg dengan lama kematian 4 hari setelah perlakuan (saat perlakuan), dan individu ke-8 (betina) dosis letal 0.112 mg/kg dengan lama kematian 5 hari setelah perlakuan.

Pada perlakuan Bromadiolon C terdapat 2 ekor tikus yang mengalami kematian dengan dosis letal dan lama kematian masing-masing individu yaitu individu ke-5 (betina) dosis letal 0.892 mg/kg dengan lama kematian 11 hari setelah perlakuan (saat gabah pasca perlakuan) dan individu ke-10 (betina) dosis letal 0.329 mg/kg dengan lama kematian 9 hari setelah perlakuan (saat gabah pasca perlakuan).

Pada perlakuan Bromadiolon D hanya 1 ekor tikus sawah (jantan) yang mengalami kematian yaitu individu ke-2 dengan dosis letal sebesar 0.194 mg/kg dengan lama kematian 5 hari setelah perlakuan (saat perlakuan).

Antara tikus sawah jantan dan betina tidak terdapat perbedaan dalam hal kematian dan resistensi karena diperoleh data yang seimbang. Selain itu, dapat dikatakan bahwa tidak ada korelasi antara konsumsi racun (mg/kg bobot tubuh) dan lama kematian pada individu tikus sawah tersebut. Dosis letal dari tikus sawah yang mati pada perlakuan Bromadiolon C dan D merupakan akumulasi dari konsumsi rodentisida perlakuan sebelumnya dan saat perlakuan. Apabila

(42)

28   

28   

dibandingkan dengan LD50 yang dimiliki oleh bromadiolon (1.25-1.75 mg/kg) pada Rattus norvegicus, maka konsentrasi bromadiolon (A, C, dan D) yang termakan oleh tikus sawah tersebut tidak cukup untuk dapat menyebabkan kematian. Hal ini tidak sesuai karena pada umumnya tikus sawah yang liar mempunyai resistensi yang lebih tinggi terhadap racun dibandingkan dengan tikus peliharaan di dalam laboratorium, karena tikus sawah diduga telah mengalami resistensi akibat pemberian rodentisida terus-menerus saat berada di lapang. Namun resistensi tersebut tergantung sejauh mana tikus sawah terkena paparan rodentisida saat berada di lapang.

Resistensi pada tikus dapat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu fisiologis (physiological factor) dan perilaku (behavioral factor). Faktor fisiologis yang dapat menyebabkan resistensi yaitu telah terjadinya kekebalan pada tubuh tikus terhadap rodentisida akibat adanya mutasi protein dalam tubuh tikus, namun resistensi tersebut dapat terjadi pada kurun waktu yang cukup lama. Adapun faktor perilaku yang dapat menyebabkan resistensi yaitu perilaku jera umpan (bait-shyness) dan jera racun (poison-shyness) akibat pemberian rodentisida secara terus-menerus.

Kematian yang terjadi sebagian besar disebabkan oleh akumulasi kondisi psikologis dan rodentisida yang termakan sehingga kemudian dapat berpengaruh terhadap penurunan kondisi fisiologis (seperti rambut tikus yang mengalami kerontokan, urin yang dikeluarkan lebih banyak, serta gangguan metabolisme lainnya) sehingga pada akhirnya akan menimbulkan kematian pada tikus. Menurut Tarumingkeng (1992), terdapat faktor-faktor eksternal yang tidak dapat dikendalikan dan dapat mempengaruhi ketidaksesuaian hasil eksperimen dengan hipotesa yang ada. Faktor-faktor tersebut antara lain rotasi makan (waktu atau periode makan) yang menyebabkan terjadinya perubahan yang berbeda dalam hal toksisitas kematian tikus, resistensi tikus percobaan yaitu adanya perbedaan strain yang dapat menyebabkan resistensi pada tikus percobaan, dan fisik (metabolisme) tikus yaitu proses dalam tubuh tikus yang dapat menyebabkan resistensi.

Gejala yang terlihat pada individu tikus sawah yang mengalami keracunan setelah mengonsumsi rodentisida antikoagulan pada umumnya sama yaitu terjadi penurunan aktivitas, pergerakan menjadi lambat, dan tubuh menjadi lemas. Pada

(43)

terdapat pula tikus yang tidak menunjukkan gejala pendarahan dibagian luar tubuhnya. Hal ini disebabkan seberapa banyak rodentisida yang termakan dan seberapa parah proses pendarahan yang terjadi dalam tubuh tikus. Hal ini sesuai dengan sifat rodentisida antikoagulan yang dapat menghambat pembentukan protrombin dan menyebabkan kerapuhan kapiler darah sehingga terjadi pendarahan (Chandra 2005). Rodentisida ini membuat darah menjadi berkurang kekentalannya dan semakin lama semakin encer sehingga pada akhirnya tikus akan mati karena pendarahan didalam tubuhnya (Syamsuddin 2007).

Perbedaan Konsumsi antara Tikus Sawah Jantan dan Betina

Tikus sawah jantan dan betina seringkali memiliki perilaku yang berbeda sehingga dapat berpengaruh terhadap umpan yang dikonsumsi. Perbedaan konsumsi antara tikus sawah jantan dan betina dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Perbedaan konsumsi antara tikus sawah jantan dan betina

Keterangan: Angka pada baris dalam perlakuan yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang ganda Duncan pada taraf α=5% (huruf kecil) dan α=1% (huruf besar)

Hasil pengujian pada Tabel 4 menunjukkan bahwa antara tikus sawah jantan dan betina pada perlakuan Bromadiolon A tidak terdapat perbedaan nyata dalam hal mengonsumsi gabah, beras, dan rodentisida, dimana tikus sawah betina lebih banyak mengonsumsi umpan gabah dibandingkan tikus sawah jantan. Sementara itu tikus sawah jantan yang lebih banyak mengonsumsi beras dan rodentisida. Jenis

umpan

Bromadiolon A Bromadiolon B Bromadiolon C Bromadiolon D Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina

Gabah 4.8880 aA 5.1140 aA 5.5272 aA 6.6978 aA 6.7614 aA 6.1071 aA 5.6404 aA 4.5862 aA Beras 0.4302 aA 0.1450 aA 0.5792 aA 0.0444 aA 0.4509 aA 0.1484 aA 0.6113 aA 0.0327 aA Rodentisida 0.1146 aA 0.0944 aA 0.0005 aA 0.0012 aA 0.3773 aA 0.1053 aA 0.1806 aA 0.0157 aA

(44)

30   

30   

Pada perlakuan Bromadiolon B juga terjadi hal demikian, tikus sawah betina lebih banyak mengonsumsi gabah dan rodentisida dibandingkan dengan tikus sawah jantan, namun lebih sedikit mengonsumsi beras. Pada perlakuan Bromadiolon C dan D, tikus sawah jantan lebih banyak mengonsumsi ketiga jenis umpan dibandingkan dengan tikus sawah betina.

Berdasarkan hasil yang telah diperoleh tersebut, maka dapat dikatakan antara tikus sawah jantan dan betina tidak terdapat perbedaan dalam mengonsumsi gabah, beras, dan rodentisida. Terjadinya variasi konsumsi dalam hal jenis kelamin lebih cenderung karena aktivitas yang berbeda yang dilakukan oleh tikus sawah dan sejauh mana adaptasi tikus dalam kandang percobaan terhadap ketiga jenis umpan yang disediakan.

Konsumsi Tikus Sawah terhadap Gabah Saat Perlakuan dan Pasca Perlakuan

Tikus sawah yang telah diberikan perlakuan rodentisida dan umpan selama 5 hari turut kemudian diberikan umpan gabah selama 3 hari berturut-turut. Pemberian umpan gabah pasca perlakuan bertujuan untuk mengondisikan atau mengadaptasikan kembali tikus sawah untuk diberi perlakuan berikutnya. Konsumsi tikus sawah terhadap gabah saat perlakuan dan pasca perlakuan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Konsumsi tikus sawah terhadap gabah saat perlakuan dan pasca perlakuan

Jenis perlakuan

Konsumsi (g/100 g bobot tubuh) Gabah saat perlakuan Gabah pasca perlakuan Perubahan konsumsi Bromadiolon A 5.0007 aA 4.0251 aA - 0.9756 Bromadiolon B 6.1125 aA 6.1918 aA +0.0793 Bromadiolon C 6.4342 aA 6.1579 aA - 0.2763 Bromadiolon D 5.2187 aA 5.9286 aA +0.7099

Keterangan: Angka pada baris yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang ganda Duncan pada taraf α=5% (huruf kecil) dan α=1% (huruf besar)

(45)

terhadap gabah saat perlakuan dan pasca perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Konsumsi tikus sawah terhadap gabah pasca perlakuan ada yang mengalami peningkatan dan ada yang mengalami penurunan. Konsumsi tikus sawah terhadap gabah pasca perlakuan yang mengalami penurunan menunjukkan pengaruh dari proses peracunan di dalam tubuh tikus sawah, sehingga dapat menurunkan konsumsi terhadap gabah. Peningkatan konsumsi gabah setelah perlakuan menunjukkan bahwa tikus tidak mengalami keracunan (kondisi fisik masih sehat), sehingga memiliki potensi pemenuhan kebutuhan pakan setiap harinya kurang lebih 10-15% dari bobot tubuhnya jika pakan tersebut berupa pakan kering (Anggara et al. 2008; Rochman et al. 2005).

Peningkatan konsumsi gabah pasca perlakuan pada tikus sawah terjadi pada perlakuan Bromadiolon B (0.0793 g) dan D (0.7099 g). Hal ini dikarenakan konsumsi tikus sawah terhadap rodentisida lebih sedikit sehingga kondisi tubuh tikus relatif masih sehat (tidak mengalami keracunan) dan memerlukan kebutuhan pakan yang tinggi. Selain itu, pada perlakuan Bromadiolon D tikus sawah sudah menjadi lebih resisten. Pada dua perlakuan yang lain terjadi penurunan konsumsi gabah pasca perlakuan yaitu pada Bromadiolon A (0.9756 g) dan C (0.2763) akibat konsumsi rodentisida yang lebih banyak.

Bobot Tubuh Tikus Sawah Pasca Perlakuan

Pemberian gabah pasca perlakuan dapat mempengaruhi peningkatan atau penurunan bobot tubuh pada tikus sawah. Apabila kondisi tikus setelah diberi perlakuan masih cukup baik, maka konsumsi terhadap gabah pasca perlakuan akan meningkat atau normal namun bobot tubuh tikus dapat meningkat atau menurun. Pada umumnya setelah diberi perlakuan rodentisida, bobot tubuh tikus akan terus menurun. Bobot tubuh tikus sawah pasca perlakuan dapat dilihat pada Tabel 6.

Gambar

Gambar 1  Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman,                          Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Gambar 4  Rodentisida kronis bromadiolon: (A) Bromadiolon A 0.005%,      (B) Bromadiolon B 0.005%, (C) Bromadiolon C 0.005%, (D)    Bromadiolon D 0.25%
Gambar 6  Timbangan elektronik (electronic top-loading balance for animal)
Tabel 3  Bobot tubuh dan kematian tikus sawah saat perlakuan  Perlakuan

Referensi

Dokumen terkait

Penulisan ilmiah ini bertujuan untuk menyajikan konversi bilangan bulat dan operasi arithmatika pada representasi bilangan bulat dengan sistem bilangan yang berbeda beda

Pada pembuatan bank soal secara manual dapat dijumpai beberapa kesulitan, yaitu kesulitan menempatkan kombinasi pilihan jawaban agar tidak mudah dihafal, kurangnya variasi

Seperti yang kita ketahui bahwa bahasa Pascal merupakan bahasa pemrograman yang fleksibel, dalam arti dapat digunakan pada banyak bidang sehingga kita bisa mengambil manfaat

Dengan mempertimbangkan berbagai keberhasilan dalam pelaksanaan pembangunan di tahun-tahun sebelumnya, maka peranan tahunan Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Kabupaten

Sumber: BPS Provinsi

Ips, XI Ipa, Ips, dan XII Ipa, Ips karena seluruh siswa siswi MA Hasyim Asy‟ari menerima pelajaran Aswaja. Wawasan yang dimaksud adalah Pengetahuan siswa-siswi di

Untuk memulai monitoring, user bisa memilih button “Start”, jika ingin menghentikan user bisa memilih button “Stop”, button “Grafik” untuk menampilkan data secara grafik

1 I Ketut Garwa, SSn.,MSn Perbaikan Proses Produksi Dan Fumigasi Dalam Meningkatkan Kualitas Ekspor Gamelan Bali Ke luar Negeri Seni Karawitan FSP STRATEGIS NAS.