• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas Sarcocystis Singaporensis Terhadap Mortalitas Tikus Sawah Rattus Rattus Argentiventer Rob & Kloss (Rodentia : Muridae) Di Laboratorium

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Efektivitas Sarcocystis Singaporensis Terhadap Mortalitas Tikus Sawah Rattus Rattus Argentiventer Rob & Kloss (Rodentia : Muridae) Di Laboratorium"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIVITAS Sarcocystis singaporensis TERHADAP

MORTALITAS TIKUS SAWAH

Rattus rattus argentiventer Rob & Kloss (Rodentia : Muridae)

DI LABORATORIUM

SKRIPSI

OLEH

WAWAN PUJIANTO 050302020

HPT

DEPARTEMEN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

EFEKTIVITAS Sarcocystis singaporensis TERHADAP

MORTALITAS TIKUS SAWAH

Rattus rattus argentiventer Rob & Kloss (Rodentia : Muridae)

DI LABORATORIUM

SKRIPSI OLEH

WAWAN PUJIANTO 050302020

HPT

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Di Departemen Ilmu Hama Penyakit Tumbuhan

Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing

Ir. Yuswani Pangestiningsih, MS Ir. Fatimah Zahara

Ketua Anggota

DEPARTEMEN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

ABSTRACT

Wawan Pujianto, The efektivitas more of doses sporocysts protozoa

sarcocystis singaporensis to control rats Rattus-rattus argentiventer Rob & Kloss

(4)

ABSTRAK

Wawan Pujianto, efektivitas Sarcocystis singaporensis untuk mengendalikan tikus sawah (rattus-rattus argentiventer) Rodentia : Muridae di Laboratorium. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dosis yang paling efektif untuk mengendalikan tikus sawah (Rattus-rattus argentiventer). Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) non faktorial dengan 5 kombinasi perlakuan dan 3 ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis sporosit

Sarcocystis singaporensis berpengaruh nyata pada setiap ulangan. Mortalitas

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.

Skripsi ini berjudul ”Efektivitas Sarcocystis singaporensis Terhadap

Mortalitas Tikus Sawah Rattus rattus argentiventer Rob & Kloss (Rodentia : Muridae) di Laboratorium”. Skripsi ini merupakan salah satu

syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Komisi Pembimbing Ir. Yuswani Pangestiningsih, MS selaku Ketua dan Ir. Fatimah Zahara selaku Anggota yang telah memberikan bimbingan dan saran

kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih, semoga skripsi ini bemanfaat bagi pihak yang membutuhkan.

Medan, Mei 2011

(6)

DAFTAR ISI

Biologi Hama Rattus rattus argentiventer ... 5

Gejala Serangan ... 9

Pengendalian ... 10

Umpan Protozoa Sarcocystis singaporensis ... 11

BAHAN DAN METODA Tempat dan Waktu Penelitian ... 13

Bahan dan Alat ... 13

Metoda Penelitian ... 13

Pelaksanaan Penelitian ... 15

Penyediaan Tikus ... 15

Penyediaan Umpan ... 15

Pelaksanaan Perlakuan ... 15

(7)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Hlm

1. Umpan (pellet) Sporosit protozoa ... 6

2. Kandang tikus dengan tempat makanan dan minumnya ... 7

3. Gejala tikus yang sakit. ... 8

(8)

DAFTAR TABEL

No Judul Hal

(9)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Hal

1. Bagan Penelitian……… 26

2. Mortalitas Tikus Sawah R. argentiventer hari ke- 5 ………. 27

3. Mortalitas Tikus Sawah R. argentiventer hari ke- 6……….. 27

4. Mortalitas Tikus Sawah R. argentiventer hari ke- 7……….. 28

5. Mortalitas Tikus Sawah R. argentiventer hari ke- 8……….…. 28

6. Mortalitas Tikus Sawah R. argentiventer hari ke- 9………. 29

7. Mortalitas Tikus Sawah R. argentiventer hari ke- 10 ……….. 29

8. Mortalitas Tikus Sawah R. argentiventer hari ke- 11……….. 30

9. Mortalitas Tikus Sawah R. argentiventer hari ke- 12………... 30

10. Mortalitas Tikus Sawah R. argentiventer hari ke- 13……… 32

11. Mortalitas Tikus Sawah R. argentiventer hari ke- 14……… 32

(10)

ABSTRACT

Wawan Pujianto, The efektivitas more of doses sporocysts protozoa

sarcocystis singaporensis to control rats Rattus-rattus argentiventer Rob & Kloss

(11)

ABSTRAK

Wawan Pujianto, efektivitas Sarcocystis singaporensis untuk mengendalikan tikus sawah (rattus-rattus argentiventer) Rodentia : Muridae di Laboratorium. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dosis yang paling efektif untuk mengendalikan tikus sawah (Rattus-rattus argentiventer). Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) non faktorial dengan 5 kombinasi perlakuan dan 3 ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis sporosit

Sarcocystis singaporensis berpengaruh nyata pada setiap ulangan. Mortalitas

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Padi memiliki arti khusus bagi indonesia. Areal persawahan yang saat ini ada sekitar jutaan hektar per tahun harus menghidupi kurang lebih 180 juta jiwa rakyat indonesia. Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan produksi persatuan luas. Berbagai disiplin ilmu telah menyumbangkan pikirannya dalam usaha swasembada beras, diantaranya bidang hama telah menghasilkan teknik pengendalian hama terpadu dengan menggunakan berbagai komponen pengendalian hama (Baehaki, 1993).

Berbagai faktor menyebabkan produksi padi tidak meningkat secepat laju yang diharapkan. Dilihat dari bidang perlindungan tanaman, ketidak berhasilan Indonesia dalam mempertahankan swasembada beras setelah tahun 1984 disebabkan oleh dua faktor utama. Pertama, terjadinya ledakan OPT (Organisme Penggangu Tanaman) padi seperti tikus dan wereng batang cokelat dan jenis hama penggangu lainnya, sedangkan faktor kedua adalah gangguan fenomena iklim terutama kekeringan dan banjir (Untung, 2005).

Kegagalan saat panen sering dialami petani akibat merebaknya hama padi,

salah satunya tikus sawah (Rattus rattus argentiventer : Robinson & Kloss). Tikus

sawah mampu merusak tanaman padi pada berbagai stadium tanaman. Setiap

tahunnya, sekitar 17 persen tanaman pertanian mengalami kerusakan. Ini setara

dengan ukuran kemampuan untuk konsumsi makanan lebih dari 20 juta orang

setiap tahunnya. Tingkat kerusakan sangat tergantung dari jumlah populasi tikus

(13)

tanaman. Semakin sedikit jumlah predator alami tikus sawah seperti burung hantu,

elang dan ular, menyebabkan populasi tikus sawah semakin meningkat

(Anita, 2003).

Dalam usaha untuk mengatasi kendala yang diakibatkan oleh keberadaan tikus tersebut berbagai alternatif pengendalian telah dilakukan, baik secara kultur teknis, fisik, mekanik, maupun secara kimia. Beberapa peneliti mengemukakan bahwa pengendalian hama tikus secara kimiawi merupakan alternatif yang paling umum ditempuh dibandingkan dengan cara pengendalian lainnya. Hal tersebut dapat dimengerti karena dengan penggunaan bahan kimia yang beracun, hasilnya dapat segera terlihat dan dapat diaplikasikan secara mudah untuk areal yang luas (Sunarjo, 1992).

Namun penggunaan bahan kimia secara terus menerus untuk mengendalikan berbagai hama dan penyakit telah menimbulkan berbagai masalah baru, terutama bagi lingkungan. Penggunaan racun tikus di tempat-tempat penyimpanan atau di rumah-rumah memiliki resiko yang lebih besar, karena substansi racunnya memiliki kemungkinan yang lebih besar terjadinya kontak dengan manusia, hewan peliharaan dan ternak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dilaporkan juga bahwa penggunaan rodentisida sintetik telah menyebabkan tikus menjadi resisten (Meehan, 1984).

(14)

tetapi bekerja dengan cara mempengaruhi indera penciuman tikus yang berkembang sangat baik (Anonim, 2002).

Beberapa komponen teknologi pengendalian tikus yang dilakukan oleh petani ternyata belum berhasil menuntaskan masalah. Hal ini karena pengendalian yang dilakukan petani kurang tepat atau tidak memperhatikan kapan seharusnya dilakukan pengendalian (Suhana dkk., 2006).

Saat ini telah diketahui bahwa parasit Sarcocystis singaporensis dapat digunakan sebagai agen pengendali hayati dalam mengendalikan tikus di Asia Tenggara. Di Sumatera utara dilaporkan bahwa keberadaan inang dari parasit ini yaitu ular piton dan tikus yang cukup berlimpah. Selanjutnya pengujian parasit dalam feses ular piton menunjukkkan bahwa protozoa ini terdapat di Sumatera Utara dan memiliki keefektifan dalam mengendalikan tikus. Rodentisida biologis ini selain dapat mengendalikan tikus tetapi tidak berbahaya bagi organisme bukan sasaran dan tidak memiliki sifat jera umpan.

Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang penggunaan protozoa Sarcocystys untuk mengendalikan tikus sawah

Rattus rattus argentiventer.

Tujuan Penelitian

(15)

Hipotesa Penelitian

- Pemberian Sarcocystis singaporensis pada berbagai tingkatan dosis dan media berpengaruh terhadap mortalitas tikus sawah.

- Dosis Sarcocystis singaporensis yang diberikan 2 tablet pada tikus merupakan perlakuan yang paling efektif dibandingkan dengan dosis yang lain.

Kegunaan Penelitian

- Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen Hama dan Penyakit Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Biologi dan Ekologi Tikus Sawah Rattus rattus argentiventer Rob & Kloss

Tikus merupakan salah satu hama utama pada kegiatan pertanian. Kerusakan yang ditimbulkan oleh serangan hama tikus ini dapat terjadi mulai dari lapangan sampai ke tempat penyimpanan. Selain itu, tikus sering membawa berbagai macam patogen yang dapat ditularkan kepada manusia, yaitu diantaranya

Yersiniosis, Leptospirosis, Salmonellosis dan Lymphochytis choriomeningitis

(Meehan, 1984).

Tikus cenderung untuk memilih biji-bijian (serealia) seperti : padi, jagung, dan gandum. Kebutuhan pakan bagi seekor tikus setiap harinya kurang lebih 10% dari bobot tubuhya jika pakan tersebut berupa pakan kering. Hal ini dapat pula ditingkatkan sampai 15% dari bobot tubuhnya jika pakan yang dikonsumsi berupa pakan basah. Kebutuhan minum seekor tikus setiap harinya kira-kira 15 - 30 ml air (Priyambodo, 1995).

Bagian punggung tikus sawah berwarna cokelat muda bercak hitam, perut dan dada berwarna putih, panjang kepala dengan badan 130-210 mm, panjang ekor 120-200 mm dan tungkai 34-43 mm. Jumlah puting susu betina 12 buah, 3 pasang di dada dan 3 pasang diperut. Kepadatan populasi tikus berkaitan dengan fase pertumbuhan tanaman padi (Departemen Pertanian Jakarta, 2006a).

Rattus rattus argentiventer mencapai umur dewasa sangat cepat, masa

(17)

dewasa adalah 68 hari, dan bagi betina masa bunting selama 20-22 hari (Liem, 1979).

Tikus termasuk binatang nokturnal, keluar dari sarangnya aktif pada malam hari untuk mencari makan. Untuk itu diperlukan suatu kemampuan yang khusus agar bebas mencari makanan dan menyelamatkan diri dari predator (pemangsa) pada suasana gelap (Ambarwati & Sagala, 2006).

Tikus mempunyai daya cium yang tajam, sebelum aktif atau keluar sarangnya ia akan mencium-cium dengan menggerakkan kepala kekiri dan kekanan. Mengeluarkan jejak bau selama orientasi sekitar sarangnya sebelum meninggalkannya. Urin dan sekresi genital yang memberikan jejak bau yang selanjutnya akan dideteksi dan diikuti oleh tikus lainnya. Bau penting untuk tikus karena dari bau ini dapat membedakan antara tikus sefamili atau tikus asing. Bau juga memberikan tanda akan bahaya yang telah dialami. Selain itu tikus sangat sensitif terhadap suara yang mendadak. Disamping itu tikus dapat mendengar suara ultra. Sedangkan mata tikus khusus untuk melihat pada malam hari. Tikus dapat mendeteksi gerakan pada jarak lebih dari 10 meter dan dapat membedakan antara pola benda yang sederhana dengan obyek yang ukurannya berbeda-beda. Mampu melakukan persepsi/perkiraan pada jarak lebih 1 meter, perkiraan yang tepat ini sebagai usaha untuk meloncat bila diperlukan (Kompas, 2001).

Habitat tikus umumnya di permukaan tanah, persawahan, padang rumput,

perkebunan dan semak belukar. Daerah penyebarannya di kawasan Asia, meliputi

Thailand, Semenanjung Malaysia, Sumatera, Kalimantan, Jawa, Filipina, dan

(18)

Luas wilayah dan jarak jelajah tikus dipengaruhi jumlah sumber pakan dan

populasi tikus. Bila sumber pakan berlimpah (fase generatif tanaman), maka

jelajah hariannya pendek (50-125 m) dan bila sumber pakan tikus sedikit (fase

pengolahan tanah sampai dengan akhir vegetatif), jelajah hariannya panjang dapat

mencapai (100-200 m). Dapat disimpulkan bahwa tikus akan terus melakukan

migrasi untuk dapat memperoleh pakan yang sebanyak-banyaknya. Migrasi tikus

dapat mencapai 1-2 km (Departemen Pertanian Jakarta, 2006b).

Gambar 1. Siklus Hidup Tikus

(19)

Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Populasi Tikus Sawah

Populasi tikus akan cepat meningkat jika masa panen mengalami perpanjangan karena tidak serentaknya waktu tanam atau umur varietas yang ditanam tidak sama. Selain itu banyaknya gulma dipematang sawah dapat menjadi tempat berlindung tikus untuk bersembunyi (Harahap & Tjahjono, 2003).

Faktor abiotik yang penting dalam mempengaruhi dinamika populasi tikus adalah air untuk minum dan sarang. Adapun cuaca mempengaruhi populasi tikus secara tidak langsung yaitu mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tumbuh-tumbuhan serta hewan kecil (invertebrata) yang menjadi sumber pakan bagi tikus (Priyambodo, 1995).

Faktor biotik yang penting dalam mengatur populasi tikus antara lain : 1. Tumbuhan atau hewan kecil sebagai sumber pakan.

2. Predator (pemangsa) dari golongan reptilia, aves dan mamalia.

3. Patogen (penyebab penyakit) dari golongan virus, bakteri, cendawan, nematoda dan lain-lain.

4. Tikus lain sebagai kompetitor pada saat populasi tinggi. 5. Manusia yang merupakan musuh utama tikus.

(Priyambodo, 1995).

(20)

mengalami musim kawin dan berkembang biak demikian juga pada fase pematangan bulir (Direktorat Jendral Pertanian Tanaman Pangan 1994).

Perkembangan tikus dipengaruhi oleh keadaan lingkungan terutama ketersediannya bahan makanan pada suatu daerah pertanaman padi dengan pola tanam yang tidak teratur sehingga selalu terpenuhinya bahan makanan bagi tikus sehingga populasi tikus meningkat. Dengan mengikuti pola tanam yang serentak memungkinkan populasi tikus akan menurun (Triharso, 1996).

Gejala Serangan Tikus Sawah Rattus rattus argentiventer Rob & Kloss

Seluruh bagian tanaman padi pada berbagai stadia pertumbuhan dapat dirusak oleh tikus. Walaupun demikian, tikus paling senang memakan bagian malai atau bulir tanaman padi pada stadia generatif. Pada stadia persemaian , tikus mencabut benih yang sudah mulai tumbuh (bibit) untuk memakan bagian biji yang masih tersisa (endosperm). Pada stadia vegetatif, tikus memotong bagian pangkal batang untuk memakan bagian batangnya. Adapun pada stadia generatif,

tikus memotong pangkal batang untuk memakan bagian malai atau bulirnya (Priyambodo, 1995).

(21)

yang disebar atau mencabut tanaman-tanaman yang baru tumbuh (Harahap & Tjahjono 2003).

Padi yang terserang tikus dari jauh terlihat menguning tetapi kuningnya tidak sama dengan kondisi padi yang siap panen. Dari dekat hanya terlihat kulit padi sedangkan isinya sudah habis, selain itu banyak batang padi yang tumbang akibat dikerat (Edy, 2003).

Pengendalian Tikus Sawah Rattus rattus argentiventer Rob & Kloss

Didalam pengendalian tikus ada beberapa metode atau cara yang dapat dilakukan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat, secara garis besar pengendalian tikus dapat dikelompokkan kedalam empat kelompok yaitu :

Pengendalian secara kultur teknis dengan membuat lingkungan yang tidak menguntungkan atau tidak mendukung bagi kehidupan dan perkembangan populasi tikus. Dengan cara pengaturan pola tanam, pengaturan waktu tanam, pengaturan jarak tanam (Priyambodo,1995).

Metode pengendalian yang lain dapat berupa pengendalain secara fisik dan mekanis salah satunya dengan membunuh tikus dengan bantuan alat seperti senapan angin dan perangkap. Perangkap tikus merupakan metode pengendalian yang paling tua tetapi tidak banyak diteliti oleh para ahli karena dianggap kurang ilmiah (Priyambodo, 1995).

Secara biologi pengendalian dilakukan dengan pemanfaatan musuh alami

(22)

Protozoa Sarcocystis singaporensis

S. singaporensis (Apicomplexa : Sarcocystidae) merupakan parasit obligat

yang memerlukan 2 inang untuk melangsungkan siklus hidupnya, yaitu ular piton (Phyton reticulatus) sebagai inang utama dan tikus (genus Rattus dan Bandicota) sebagai inang perantara (Jaekel et al, 1996).

S. singaporensis merupakan parasit tikus yang potensial untuk

mengendalikan populasi tikus dan ramah lingkungan. Selain itu, siklus hidupnya telah teruji oleh banyak peneliti mampu beradaptasi terhadap kondisi laboratorium (Jaekel et al, 1999).

Protozoa S. singaporensis memiliki sporosit yang merupakan bahan penginfeksi dan diaplikasikan secara oral melalui mulut yang akan menginfeksi bagian perut (Khoprasert et al., 2006).

S. singaporensis dapat dihasilkan dalam jumlah yang besar pada ular

piton. Dalam satu siklus infeksi, ular piton biasanya dapat menghasilkan sporosit yang mampu membunuh 20.000–200.000 tikus. Hasil penelitian yang dilakukan di Thailand diketahui bahwa dengan pemberian dosis sporosit S. singaporensis antara 200.000–400.000 sporosit dapat mengurangi populasi tikus sawah sebesar 70–90% (Jaekel, 2006a).

(23)

yang menyebabkan tikus lambat bergerak, bahkan menyebabkan sedikit pengurangan kesuburan, tetapi jika spora dikonsumsi dalam jumlah besar maka akan mengakibatkan radang paru–paru dan tingkat kematian mencapai 90% (Jaekel, 2006b).

Sebagian tikus yang terinfeksi S. singaporensis akan menunjukkan gejala klinis 2-4 hari sebelum kematiannya. Gejala–gejala tersebut antara lain : nafsu makan berkurang, mata berair, sesak nafas, diare dan lesu. Apabila dilakukan pembedahan pada bagian perut dan usus maka terjadi penyumbatan dan terdapat cairan berwarna kekuningan, hati dan kandung kemihnya terlihat membengkak (ACIAR, 1998).

Beberapa faktor yang mempengaruhi efikasi dari suatu patogen tergantung dari jumlah dosis yang diberikan, virulensi dari patogen (jasad renik) dan daya tahan tubuh hewan terhadap pathogen (Oka, 1995).

(24)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Terletak pada ketinggian 25 m diatas permukaan laut. Penelitian dimulai pada bulan November sampai dengan Desember 2009.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah Protozoa Sarcocystis singaporensis, tikus sawah (Rattus rattus argentiventer), beras, air dan bahan pendukung lainnya.

Alat yang digunakan adalah kandang kawat dengan ukuran panjang = 30 cm dan lebar = 30 cm, mortal, timbangan digital presica, sarung tangan, masker, kamera, tempat makanan dan minuman tikus, alat tulis dan alat pendukung lainnya.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap ( RAL ) Non Faktorial yaitu :

Jumlah pemberian umpan Prorodent ( D ) D0 : Kontrol (tanpa S. singaporensis)

(25)

D3 : Pemberian satu (1) tablet/1 ons beras

D4 : Pemberian satu setengah (1½) tablet/1 ons beras D5 : Pemberian dua (2) tablet/1 ons beras

t(r-1) ≥ 15 6(r-1) ≥ 15 6r-6 ≥ 15 6r = 21 r = 21/6 = 3,5

Ulangan dilakukan sebanyak 3 kali. Metode linear yang dipakai :

Yij = µ + ti + Eij

Dimana :

Yij = data yang disebabkan pengaruh perlakuan pada taraf ke i dan ulangan

ke j.

µ = rataan atau nilai tengah.

Ti = efek yang sebenarnya dari perlakuan pada taraf ke i.

(26)

Pelaksanaan Penelitian

a. Penyediaan tikus uji

Tikus uji yang digunakan adalah tikus sawah Rattus rattus argentiventer yang telah dewasa, sehat dan tidak bunting bagi tikus betina. Tikus sawah ditangkap dengan menggunakan perangkap. Hasil tangkapan dibawa ke laboratorium untuk ditimbang dan disesuaikan berat tubuhnya dengan lama masa penyesuaian selama 2 hari. Masa penyesuaian bertujuan untuk memperoleh tikus sawah yang sehat dan tidak bunting sehingga tikus dapat menyesuaikan diri hidup di laboratorium. Selama penyesuaian tikus diberi makan beras. Bobot tikus yang digunakan antara 60–95 gr. Jumlah tikus sawah yang digunakan sebanyak 16 ekor.

b. Penyediaan umpan

Umpan Protozoa Sarcocystis singaporensis diambil dari PT. HETTS BIO LESTARI. Protozoa Sarcocystis singaporensis dibuat berbentuk pellet yang didalamnya mengandung 200.000 sporocyt.

c. Pelaksanaan perlakuan

Sebelum perlakuan dilaksanakan terlebih dahulu disiapkan kandang tikus sebanyak 16 buah, kemudian disusun sesuai perlakuan dan ulangan. Pada setiap kandang diisi makanan dan minuman yang selalu tersedia. Kemudian tikus dimasukkan kedalam kandang dan masing–masing kandang berisi 1 ekor tikus.

(27)

diletakkan pada bahan makanan yang teleh disediakan. Setelah umpan habis dimakan, tikus diberi makan beras setiap hari selama tikus tersebut masih hidup.

Pengamatan dilakukan setiap hari, yaitu satu hari setelah pemberian umpan pada pukul 08.00 WIB sampai pukul 18.00 WIB.

Peubah Amatan

a. Persentase mortalitas tikus sawah akibat dari pemberian umpan yang telah disesuaikan pada perlakuan dihitung dengan menggunakan rumus sebagai

berikut : M = b a

x 100%

Keterangan : M = Mortalitas

a = Jumlah tikus yang mati b = Jumlah populasi tikus (BPT-PH, 2004).

(28)

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Mortalitas Tikus Sawah

Hasil analisis sidik ragam dari pengaruh pemberian sporosit S.

singaporensis dengan dosis yang berbeda terhadap mortalitas tikus sawah

disajikan pada tabel 1 di bawah ini :

Tabel 1. efektivitas Sarcocystis singaporensis terhadap (%) mortalitas tikus sawah

Perlakuan Persentase Mortalitas Tikus (1 HSA)

5 HSA 6 HSA 7 HSA 8 HSA 9 HSA 10 HSA 11 HSA 12 HSA 13 HSA 14 HSA

Keterangan : Angka dengan huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan pengaruh berbeda tidak nyata pada taraf 5% menurut Uji Jarak Duncan.

Dari tabel 1 menunjukkan bahwa pemberian dosis sporosit

S. singaporensis berpengaruh nyata terhadap kematian tikus dengan persentase

mortalitas yang berbeda pula, Hal ini disebabkan oleh banyaknya jumlah sporosit yang masuk kedalam tubuh tikus sehingga mempengaruhi proses terjadinya infeksi.

(29)

oleh perlakuan D2 (pemberian ½ tablet) sebesar 100% pada 14 HSA, dan diikuti oleh perlakuan D1 (pemberian ¼ tablet) sebesar 100% pada 14 HSA, sedangkan percobaan tanpa perlakuan tikus masih dalam kondidi hidup sejak awal penelitian berlangsung sampai akhir penelitian. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi dosis yang diberikan pada tikus maka semakin tinggi mortalitas tikus sawah. Hal ini didukung oleh penelitian yang pernah dilakukan oleh Jaekel (2006b) menyatakan bahwa sporosit yang di konsumsi dalam jumlah besar akan mengakibatkan tingginya angka kematian tikus. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Oka (1995) bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi efikasi suatu pathogen tergantung dari jumlah (dosis) yang diberikan.

Dari hasil penelitian diantara perlakuan (D3, D4 dan D5) tidak berbeda nyata hal ini disebabkan dosis yang diberikan pada setiap perlakuan antara D3, D4, dan D5 tidak terlalu jauh berbeda sehingga lama kematian yang ditimbulkan

oleh tikus tidak terlaku berbeda. Hal ini didukung oleh hasil percobaan Jaekel (2006a) yang dilakukan di Thailand bahwa dengan pemberian dosis

sporosit S. singaporensis dengan jumlah berkisar antara 200.000-400.000 sporosit dapat mengurangi populasi tikus sawah sebesar 70 hingga 90%.

(30)

Hasil pengamatan pada saat penelitian menunjukkan bahwa pada saat pemberian umpan pelet yang berisi sporosit S. singaporensis, sebagian tikus tidak mengkonsumsi umpan pelet secara langsung hal ini disebabkan karena sifat tikus yang mudah curiga terhadap setiap benda baru yang ditemuinya termasuk pakannya, sesuai dengan pernyataan Priyambodo (1995) menyatakan dalam proses mengenali dan mengambil pakan yang ditemukan atau disediakan oleh manusia, tikus tidak langsung memakan seluruhnya tetapi tikus mencicipi terlebih dahulu untuk melihat reaksi yang terjadi di dalam tubuhnya.

Dapat disimpulkan bahwa penggunaan umpan yang berisi parasit

S. singaporensis dengan dosis tinggi dapat mengendalikan populasi tikus dengan

(31)

2. Perilaku Tikus Sawah yang Terinfeksi Protozoa S. singaporensis

Perilaku ataupun gejala yang terlihat pada tikus yang sakit antara lain : bulunya terlihat kasar dan berdiri serta mengalami kerontokan. Kelopak mata tikus mengecil atau menurun seperti hendak tidur dan sebagian mata tikus berair. Tikus juga mengalami penurunan nafsu makan dan diare. ACIAR (1998) menyatakan bahwa sebagian besar tikus yang terinfeksi S. singaporensis akan menunjukkan gejala klinis 2-4 hari menjelang kematiannya. Gejala-gejala tersebut antara lain : nafsu makan berkurang, mata berair, sesak nafas, diare dan lesu.

Gambar 5. Gejala tikus yang sakit

(32)

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

1. Umpan yang berisi sporosit S. singaporensis efektif digunakan untuk pengendalian tikus.

2. Mortalitas tikus tertinggi terdapat pada perlakuan D5 (dosis 2 Tablet) sebesar 100% pada 5 HSA, diikuti perlakuan D4 (pemberian 1½ tablet) sebesar 100% pada 7 HSA, diikuti oleh perlakuan D3 (pemberian 1 tablet) sebesar 100% pada 11 HSA, kemudian diikuti oleh perlakuan D2 (pemberian ½ tablet) sebesar 100% pada 14 HSA, dan diikuti oleh perlakuan D1 (pemberian ¼ tablet) sebesar 100% pada 14 HSA, sedangkan percobaan tanpa perlakuan tikus masih dalam kondidi hidup 3. Tikus tidak langsung mengkonsumsi umpan yang diberikan karena tikus

memiliki sifat curiga terhadap benda baru yang di temuinya.

4. Gejala tikus yang terinfeksi sporosi S. singaporensis antara lain : nafsu makan berkurang, mata berair, bulu terlihat kasar, dan pada saat kematiannya tikus mengalami pendarahan dari mulut dan hidung.

5. Semakin tinggi dosis yang diberikan pada tikus maka semakin tinggi tingkat mortalitas tikus.

SARAN

(33)

Lampiran 1. Data Mortalitas Tikus Sawah R. argentiventer 5 HSA (%).

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

Data Mortalitas Tikus Sawah di Transformasi ke dalam Arc.sin √x

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

Daftar Analisa Sidik Ragam Mortalitas Tikus Sawah 5 HSA (%).

(34)

Lampiran 2. Data Mortalitas Tikus Sawah R. argentiventer 6 HSA (%).

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

Data Mortalitas Tikus Sawah di Transformasi ke dalam Arc.sin √x

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

Daftar Analisa Sidik Ragam Mortalitas Tikus Sawah 6 HSA (%).

(35)

Lampiran 3. Data Mortalitas Tikus Sawah R. argentiventer 7 HSA (%).

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

Data Mortalitas Tikus Sawah di Transformasi ke dalam Arc.sin √x

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

Daftar Analisa Sidik Ragam Mortalitas Tikus Sawah 7 HSA (%).

(36)

Lampiran 4. Data Mortalitas Tikus Sawah R. argentiventer 8 HSA (%).

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

Data Mortalitas Tikus Sawah di Transformasi ke dalam Arc.sin √x

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

Daftar Analisa Sidik Ragam Mortalitas Tikus Sawah 8 HSA (%).

(37)

Lampiran 5. Data Mortalitas Tikus Sawah R. argentiventer 9 HSA (%).

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

Data Mortalitas Tikus Sawah di Transformasi ke dalam Arc.sin √x

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

Daftar Analisa Sidik Ragam Mortalitas Tikus Sawah 9 HSA (%).

(38)

Lampiran 6. Data Mortalitas Tikus Sawah R. argentiventer 10 HSA (%).

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

Data Mortalitas Tikus Sawah di Transformasi ke dalam Arc.sin √x

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

Daftar Analisa Sidik Ragam Mortalitas Tikus Sawah 10 HSA (%).

(39)

Lampiran 7. Data Mortalitas Tikus Sawah R. argentiventer 11 HSA (%).

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

Data Mortalitas Tikus Sawah di Transformasi ke dalam Arc.sin √x

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

Daftar Analisa Sidik Ragam Mortalitas Tikus Sawah 11 HSA (%).

(40)

Lampiran 8. Data Mortalitas Tikus Sawah R. argentiventer 12 HSA (%).

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

Data Mortalitas Tikus Sawah di Transformasi ke dalam Arc.sin √x

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

Daftar Analisa Sidik Ragam Mortalitas Tikus Sawah 12 HSA (%).

(41)

Lampiran 9. Data Mortalitas Tikus Sawah R. argentiventer 13 HSA (%).

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

Data Mortalitas Tikus Sawah di Transformasi ke dalam Arc.sin √x

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

Daftar Analisa Sidik Ragam Mortalitas Tikus Sawah 13 HSA (%).

(42)

Lampiran 10. Data Mortalitas Tikus Sawah R. argentiventer 14 HSA (%).

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III Data Mortalitas Tikus Sawah di Transformasi ke dalam Arc.sin √x

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

Daftar Analisa Sidik Ragam Mortalitas Tikus Sawah 14 HSA (%).

(43)
(44)

DAFTAR PUSTAKA

ACIAR (The Australian Center for International Agricultural Research). 1998. Management Of Rodent Pest in Southeast Asia. Available at =id&gl=id&ct=clnk&cd=19. Diakses tanggal 26 April 2009.

Ambarwati, M & T. Sagala. 2006. Burung Hantu (Tyto alba) Pengendali Tikus Pada Tanaman Pangan. Available at

Diakses tanggal 20 April 2009.

Anita, CH. 2003. Tikus Sawah & Cara Pengendaliannya. Available at

Anonim. 2002. Rat-A-Way. http://www.animalrepellents.com. Diakses pada tanggal 12 April 2009. hlm. 2

Baehaki, S.E. 1993. Berbagai Hama Serangga Tanaman Padi. Penerbit Angkasa, Bandung. hal V.

BPT-PH (Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura). 2004. Luas Serangan dan Kehilangan Hasil Panen Padi. Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara, Medan. Hal. 135-137.

Departemen Pertanian Jakarta. 2006a. Tikus Sawah (Rattus argentiventer Rob & Kloss). Available a

Diakses tanggal 3 April 2009.

_______________________. 2006b. Pengendalian Hama Tikus. Available at 2009.

Direktorat Jendral Perlindungan Tanaman Pangan. 1994. Prakiraan Serangan OPT Utama Tanaman Padi, Jagung, dan Kedelai Pada Musim Hujan 2008/2009. Diunduh dari

(45)

Harahap, I. S & B. Tjahjono. 2003. Pengendalian Hama Penyakit Padi. Penebar Swadaya, Jakarta. hal. 72-73.

Jaekel, T., H. Burgstaller & W. Frank. 1996. Sarcocystis singaporensis: studies on host specificity, pathogenicity and potential use as biocontrol agent of wild rats. J. Parasitol. 82(2). pp. 280-287.

Jaekel, T., Y. Khoprasert., S. Endepols., C. A. Braumann., K. Suasa., P. Promkerd., D. Kliemt., P. Boonsong & S. Hongnark. 1999. Biological control of rodent using Sarcocystis singaporensis. Int. J. for Parasitol. 29. pp. 1321-1330.

Jaekel, T., Y. Khoprasert., P. Promkerd & S. Hongnark. 2005. AN experimental field study to assess the effectiveness of bait containing the parasitic protozoa Sarcocystis singaporensis for protecting ric crops against rodent damage. J. Crop. 2005. pp. 1-8.

_____. 2006b. Phytons and Parasites. Available at

Khoprasert, Y., T. Jaekel., V. Sihabutr & S. Hongnark. 2006. Pathogenic Effects of the Coccidian Protozoan, Sarcocystis singaporensis in the Great Bandicoot, Bandicota indicate, and the Norway Rat, Rattus norvegicus. Available at

Diakses tanggal 25 April 2009.

Kompas. 2001. Nasib Petani dan Keganasan Tikus. Available at

Diakses tanggal 3 April 2009.

Liem, JS. 1979. Prinsip Dasar Pengendalian Hama Tikus. Fakultas Pertanian. Universitas Padjadjaran. Bandung. Hlm. 11-12.

Meehan. 1984. Rat and Mice. Their Biology and Control. Rentokil Library. hlm. 1-2.

Oka, I. N. 1995. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia. Gajah mada University Press, Yogyakarta.

(46)

Suhana, Ruskandi & Sumarko. 2006. Teknik Pengendalian Tikus di Sawah Irigasi Sukamandi. Available at

2009.

Sunarjo, PI. 1992. Pengendalian Kimiawi Tikus Hama. Makalah Seminar Pengendalian Hama Tikus Terpadu. Bogor.

Triharsono. 1996. Dasar-dasar Perlindungan Tanaman. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. hal. 116-117.

Untung, K. 2005. Kelangsungan Swasembada Beras. Available at

(47)

Bagan Penelitian

U0

U4 U3 U2

U1 U5

U1 U2 U4

U3 U4

U5 U1 U3

U4 U5

Gambar

Gambar 1. Siklus Hidup Tikus http://www.depkes.go.id/downloads/Pengendalian%20Tikus.pdf
Gambar 5. Gejala tikus yang sakit

Referensi

Dokumen terkait

singaporensis ini dapat digunakan baik untuk tikus sawah jantan maupun betina pada kelas umur anak maupun dewasa dengan efek yang sama.. Pengaruh Pern berian Dosis

Fenomena tidak dikunjunginya ruang perlakuan yang diberi aroma minyak atsiri tersebut dapat dimungkinkan oleh beberapa alasan yaitu : Pertama, tikus tidak dapat

Tabel 3 menunjukkan pengaruh pemberian dosis sporosit terhadap konsumsi makanan tikus sawah tidak nyata pada hari ke-2 sampai hari ke-12, namun mulai hari ke-14 hingga hari

Skripsi berjudul “Uji Efikasi Rodentisida Nabati Daun Ruku-ruku ( Ocimum sanctum L.) Terhadap Mortalitas Tikus Sawah ( Rattus rattus argentiventer Robb & Kloss. )

Nabati Daun Ruku-ruku (Ocimum sanctum L.) Terhadap Mortalitas Tikus Sawah (Rattus rattus argentiventer Robb & Kloss.) di Laboratorium” dibawah bimbingan Maryani Cyccu Tobing

Perkembangan organisme pengganggu tanaman (OPT) periode laporan 15 Maret 2015 yang perlu menjadi perhatian pada tanaman padi sawah terjadi luas tambah akibat

Kerusakan akibatserangan tikus pada tanaman padi di Indonesia mencapai kerugian sebesar 15-20%setiap tahunnya.Tujuan penelitian ini untuk menguji adanya pengaruh pemberian

Kandang uji yang digunakan dalam Tikus yang berada didalam bumbung. Penelitian