• Tidak ada hasil yang ditemukan

Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober–Desember 2008 bertempat di Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia Pusat Antar Universitas (PAU) IPB, Konservasi Satwa Langka dan Harapan PAU-IPB dan Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB, Bogor.

Bahan

Bahan yang digunakan dalam pembuatan ampas sagu fermentasi adalah ampas sagu (Metroxylon spp) kering, urea, FeSO4, ZnSO4 dan jamur Pleurotus ostreatus.

Peralatan yang digunakan adalah autoclave, laminar air flow dan plastik

polypropylene (PP). Metode Penelitian

Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Pada tahap ini dicobakan enam perlakuan waktu fermentasi masing-masing dengan tiga ulangan. Peubah yang diamati pada tahap I adalah protein kasar, protein murni, serat kasar, NDF, ADF, selulosa, lignin dan silika. Uji lanjut yang digunakan jika perlakuan menunjukkan perbedaan nyata adalah uji Duncan. Perlakuan yang dicobakan pada tahap I adalah sebagai berikut:

W0 = tanpa fermentasi

W3 = waktu fermentasi 3 minggu W4 = waktu fermentasi 4 minggu W5 = waktu fermentasi 5 minggu W6 = waktu fermentasi 6 minggu W7 = waktu fermentasi 7 minggu

Model matematik percobaan ini (Gaspersz, 1995) adalah: Yij= μ + τi+ ε

Keterangan :

ij

Yij

μ : Nilai tengah pengamatan

: Nilai pengamatan satuan percobaan yang memperoleh perlakuan ke-i dan ulangan ke-j.

τi :

ε

Pengaruh perlakuan ke-i, i = 1, 2, 3, 4, 5, 6.

ij

Pembuatan Ampas Sagu Fermentasi

: Pengaruh galat percobaan dari pengamatan yang memperoleh perlakuan ke-i dan ulangan ke-j, j = 1, 2, 3.

Bibit jamur Tiram (Pleurotus ostreatus) yang digunakan dalam fermentasi ampas sagu diperoleh dari isolasi jaringan dalam dari batang jamur Tiram yang kemudian dimurnikan untuk dibuat stok bibit jamur. Pemurnian dan pembuatan stok bibit jamur Tiram sampai dengan menghasilkan ampas sagu fermentasi dapat dilihat pada Gambar 10. Substrat ampas sagu yang diperkaya dengan urea, FeSO4, ZnSO4 adalah modifikasi dari metode yang dilakukan

Pertumbuhan miselium 12 hari

Pembuatan stok bibit

Sukria (1990) sedangkan tahapan pembuatan ampas sagu fermentasi menurut prosedur yang dilakukan Sutiwa, 2008 (pers.comm). Tahapan pembuatan ampas sagu fermentasi adalah sebagai berikut:

1. 100 g ampas sagu kering ( kadar air ± 12% ) dicampur dengan larutan mineral: 1,8 g urea, 0,0432 g FeSO4 dan 1,1915 g ZnSO4.

2. Campuran itu dimasukkan ke dalam kantong plastik PP transparan berukuran 15 x 28 x 0,8 cm, dipadatkan dan dipasangkan cincin paralon kemudian ditutup dengan menggunakan kapas dan kertas.

Substrat tersebut dikondisikan mengandung 60-70% air.

3. Disterilisasi selama 25 menit, dibiarkan dingin dan diinokulasi dengan

starter Pleurotus ostreatus sebanyak 5 g untuk setiap 100 g ampas sagu. 4. Ampas sagu yang telah dingin diberi starter Pleurotus ostreatus kemudian

diinkubasi pada suhu kamar (26 o

5. Ampas sagu yang telah ditumbuhi miselium Pleurotus ostreatus kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 60

C) sesuai perlakuan.

o

C.

Gambar 10 Pemurnian dan pembuatan stok bibit jamur Tiram serta produk ampas sagu fermentasi

Isolasi jaringan dalam dari batang Jamur Tiram

Inokulasi substrat dengan bibit Jamur Tiram

Ampas sagu fermentasi (5 minggu)

Pemurnian jamur Tiram

Kandungan nutrien ampas sagu yang difermentasi dengan jamur Pleurotus ostreatus pada waktu yang berbeda, diperlihatkan dalam Tabel 8.

Tabel 8 Kandungan nutrien ampas sagu fermentasi pada waktu fermentasi yang berbeda

Kandungan nutrien (%)

Waktu fermentasi (minggu)

0 3 4 5 6 7 Bahan kering 92,56 94,29 93,73 93,63 94,11 95,00 Bahan organik 85,27 87,09 86,42 85,32 84,90 85,56 Protein kasar 5,61f ± 0,05 6,16 e 6,99 ± 0,20 d ± 0,11 7,23 e 7,98 ±0,05 b ±0,14 8,23 a Protein murni ±0,06 2,55 d ±0,04 3,63 c ±0,18 4,13 b ±0,14 4,37 ab ±0,09 4,60 a ±0,39 4,52a Serat kasar ±0,12 12,55 d ±0,80 13,10 d ±1,23 14,80 c ±0,09 17,64ab 17,27 ±0,70 b 18,74 ±0,52 a NDF ±0,33 75,33 a ±1,47 68,30 b ±1,26 65,10bc ±1,50 62,40c ±2,60 55,76d ±4,52 61,12c ADF ±1,96 30,88d 34,78 ± 1,61 d ±4,11 44,01 c ±3,11 54,65ab±1,29 49,40bc±5,17 57,29a Selulosa ±1,94 22,97 c ±2,76 24,67 c ±3,79 34,94 b ±4,12 40,61a ±2,71 38,44ab±2,32 41,22a Lignin ±0,57 4,38a ± 0,64 4,19ab ±1,46 4,04ab ±0,19 2,71bc ± 0,68 2,80bc ± 0,76 2,05c ± Silika 0,10 3,53d±0,73 5,92cd±3,70 5,03cd±0,99 11,32ab±1,27 8,16bc±2,48 14,02a±1,71 NDF = Neutral Detergent Fiber; ADF = Acid Detergent Fiber

Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

Protein Kasar

Kadar protein kasar ampas sagu fermentasi (ASF) pada berbagai waktu fermentasi meningkat dengan semakin lamanya waktu fermentasi. Hasil pengamatan selama penelitian memperlihatkan kisaran rataan kadar protein kasar antara 5,61-8,23 % (Tabel 8) dengan rataan umum 7,03 ± 0,08 %. Hasil analisis ragam menunjukkan waktu fermentasi berpengaruh sangat nyata terhadap protein kasar. Berdasarkan uji lanjut kadar protein kasar meningkat (P<0,05) dengan bertambahnya waktu fermentasi. Peningkatan protein kasar terjadi dengan semakin lamanya waktu fermentasi dan persentase protein kasar pada waktu fermentasi empat minggu meningkat sebanyak 13,47% dari waktu 3 minggu (tertinggi), kemudian peningkatan terendah adalah pada waktu fermentasi 5 dan 7 minggu, masing-masing 3,43 dan 3,13%. Hal ini menggambarkan peningkatan protein kasar ampas sagu pada setiap minggu waktu fermentasi lebih disebabkan oleh adanya sumbangan protein dari jamur Pleurotus ostreatus dengan adanya

pertumbuhan miselium dari jamur tersebut. Seperti dikemukakan Ragunathan et al. (1996) yang disitasi oleh Fazaeli et al. (2006), miselium jamur mengandung protein.

Pertumbuhan jamur mengalami beberapa fase mulai dari fase log, eksponensial dan stasioner. Pada fase log mikroorganisme mengalami fase adaptasi untuk menyesuaikan diri dengan substrat dan kondisi lingkungan sehingga pada fase ini belum terjadi pembelahan sel karena beberapa enzim belum disintesis. Setelah fase adaptasi dilalui, fase berikutnya adalah fase eksponensial yang ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangbiakan dari jamur yang cepat dan kemudian menurun pada fase stasioner. Peningkatan protein kasar seperti dalam penelitian ini juga ditemukan pada beberapa penelitian antara lain yang dilakukan oleh Kutlu et al. (1999) tentang pengaruh inokulasi jerami gandum dengan Pleurotus florida menggunakan 2% urea terhadap nilai nutrisi dari jerami gandum. Dari hasil penelitian tersebut diperoleh kadar protein kasar jerami gandum yang diinokulasi dengan Plerotus florida selama 20 - 80 hari berturut-turut 6,10 dan 6,71%. Hal ini berarti kadar protein kasar jerami gandum meningkat 10%. Selain itu penelitian yang dilaporkan oleh Rouzbehan et al. (2001) bahwa kadar protein kasar jerami gandum yang diberi 3% urea dan diinokulasi jamur Pleurotus ostreatus x Pleurotus sajor caju dan Pleurotus

jaringan Iranian selama empat minggu meningkat berturut-turut 0,9 dan 1,6%. Jika dibandingkan dengan kadar protein kasar ampas sagu yang difermentasi, peningkatan protein kasar jerami gandum pada dua penelitian ini lebih rendah daripada peningkatan protein kasar ampas sagu yang difermentasi 3 dan 7 minggu dari kadar protein kasar awal 1,73%. Berdasarkan hasil penelitian yang dikemukakan, maka peningkatan kadar protein kasar dipengaruhi oleh kondisi substrat.

Protein Murni

Protein murni mencerminkan nitrogen yang hanya terkait dengan protein dan tidak termasuk nitrogen dari sumber nonprotein. Hasil pengamatan selama penelitian memperlihatkan kisaran rataan kadar protein murni antara 2,55-4,60% dengan rataan umum 5,47 ± 0,16%. Peningkatan kadar protein murni dari tiap waktu fermentasi bervariasi, pada waktu fermentasi 4 minggu dari 3 minggu

waktu fermentasi 3, kadar protein murni meningkat 13,77% lebih besar daripada waktu fermentasi yang lain. Hasil analisis ragam menunjukkan waktu fermentasi berpengaruh sangat nyata. Berdasarkan uji lanjut waktu fermentasi berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap peningkatan kadar protein murni ampas sagu fermentasi. Hasil tersebut menunjukkan waktu fermentasi 6 dan 7 minggu berbeda (lebih tinggi) daripada waktu fermentasi 0, 3 dan 4 minggu. Demikian halnya dengan waktu fermentasi 4 dan 5 minggu yang mempunyai kadar protein murni berbeda (lebih tinggi) daripada waktu fermentasi 0 dan 3 minggu. Kadar protein murni ampas sagu fermentasi hampir pada semua waktu fermentasi menunjukkan peningkatan, kecuali pada waktu fermentasi 7 minggu yang mengalami sedikit penurunan.

Meningkatnya protein murni disebabkan oleh terakumulasinya biomassa sel dari jamur Pleurotus ostreatus seiring dengan bertambahnya waktu fermentasi. Nitrogen yang diberikan dalam substrat yang mengandung karbon merupakan media yang baik digunakan oleh mikroba Pleurotus ostreatus untuk membentuk protein selnya. Nitrogen dalam media fermentasi berpengaruh pada laju pertumbuhan jamur karena mempunyai fungsi fisiologis bagi mikroorganisme untuk sintesis protein, asam nukleat dan koenzim (Fardiaz 1988). Pernyataan ini dibuktikan dalam penelitian pendahuluan, substrat ampas sagu tanpa diberi nitrogen dan diinokulasi dengan jamur Pleurotus ostreatus sampai waktu fermentasi 6 minggu, hanya menghasilkan rataan protein kasar 1,37%. Berdasarkan pengamatan secara visual, miselium yang tumbuh pada substrat ter-sebut sangat cepat dan lebih tipis daripada substrat yang diberi nitrogen. Kondisi ini memperkuat pernyataan bahwa pertumbuhan mikroba memerlukan nitrogen dan karbon. Pernyataan ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang diperoleh bahwa produk ampas sagu fermentasi yang diberi nitrogen (urea) dan difermentasi sampai 7 minggu memberi sumbangan protein murni.

Produk ampas sagu fermentasi yang difermentasi sampai dengan 5 minggu mengandung beberapa asam amino, yakni asam amino non esensial: 0,29% asam aspartat, 0,60% asam glutamat, 0,11% prolin, 0,14% serin, 0,23% alanin, 0,25% glisin, 0,11% tirosin, 0,05% sistin dan asam amino esensial: 0,11% histidin,

0,04% arginin, 0,16% threonin, 0,19% valin, 0,09% methionin, 0,12% isoleusin, 0,18% leusin, 0,11% phenilalanin dan 0,13% lisin.

Serat Kasar

Ampas sagu yang difermentasi dengan waktu fermentasi yang berbeda mempunyai kadar serat kasar yang bervariasi, dan tertinggi pada waktu fermentasi 7 minggu. Tampak pada Tabel 8 rataan kadar serat kasar berkisar antara 12,55-18,74% dengan rataan umum 15,68 ± 0,61%. Hasil ini memperlihatkan peningkatan yang tertinggi terjadi pada waktu fermentasi 5 minggu yakni 19,19%. Berdasarkan analisis ragam waktu fermentasi berpengaruh sangat nyata. Hasil uji lanjut memperlihatkan waktu fermentasi nyata (P<0,05) berpengaruh meningkatkan kadar serat kasar. Hasil tersebut menunjukkan kadar serat kasar pada waktu fermentasi 0 dan 3 minggu berbeda (lebih rendah) dengan waktu fermentasi 4, 5, 6 dan 7 minggu. Sedangkan waktu fermentasi 4 minggu berbeda dengan waktu fermentasi 5, 6 dan 7 minggu. Demikian pula waktu fermentasi 6 minggu berbeda dengan 7 minggu.

Peningkatan serat kasar ampas sagu fermentasi berhubungan erat dengan bertambahnya waktu fermentasi sehingga memberikan kesempatan kepada jamur untuk bertumbuh dan berkembangbiak. Selama tumbuh dan berkembang biak terjadi akumulasi dinding sel jamur Pleurotus ostreatus dalam substrat. Kitin adalah komponen dinding sel jamur Pleurotus ostreatus yang diklasifikasikan ke dalam serat kasar. Kemungkinan lain terjadinya peningkatan serat kasar disebabkan kondisi substrat yakni tersedianya pati dalam substrat ampas sagu, adalah yang memberikan peluang bagi jamur Pleurotus ostreatus lebih dahulu mendegradasi pati yang lebih mudah dicerna daripada serat kasar. Akibat dari pertumbuhan jamur Pleurotus ostreatus dalam hal ini pertumbuhan miselum mengakibatkan proporsi serat kasar meningkat dan menyebabkan persentase serat kasar substrat meningkat pula. Fenomena ini berhubungan dengan sifat ekstraseluler dari enzim pemecah makromolekul, yang berarti jika mikroba yang memproduksi enzim ekstraseluler ditumbuhkan pada media padat yang mengandung substrat yang dapat dihidrolisa akan mengeluarkan enzim tersebut disekeliling koloninya dan akan menghidrolisa substrat disekeliling koloni (Fardiaz 1987). Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang

menggunakan jamur Pleurotus florida pada bahan limbah jerami gandum dimana serat kasar mengalami penurunan. Hal ini diduga disebabkan perbedaan substrat yang digunakan.

Neutral Detergent Fiber (NDF)

Hasil analisis NDF pada substrat ampas sagu yang diolah dengan teknik fermentasi menggunakan jamur Pleurotus ostreaus secara umum memperlihatkan kadar NDF yang menurun. Hasil pengamatan menunjukkan rataan kadar NDF berkisar antara 55,76-75,33% dengan rataan umum 64,67 ± 2,22%. Tampaknya bahwa semakin lamanya waktu fermentasi, maka kadar NDF yang dihasilkan semakin menurun dan hal tersebut ditunjukkan pada lama waktu fermentasi 6 minggu dengan kadar NDF yang terendah (55,76%). Hasil analisis ragam menunjukkan waktu fermentasi berbeda sangat nyata. Selanjutnya berdasarkan uji lanjut kadar NDF menurun (P<0,05) dengan semakin bertambahnya waktu fermentasi (Tabel8).

Rendahnya NDF pada waktu fermentasi 6 minggu disebabkan semakin meningkatnya degradasi komponen dinding sel oleh enzim yang dihasilkan oleh jamur Pleurotus ostreatus. Jika diperhatikan persentase menurunnya NDF pada tiap waktu fermentasi terhadap waktu fermentasi 0 minggu adalah semakin meningkat berturut-turut 9,33; 13,58; 17,16; 25,98; 18,86%. Fenomena ini menggambarkan terjadinya degradasi dan penggunaan dinding sel sebagai sumber karbon untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan jamur yang secara umum meningkat seiring dengan bertambahnya waktu fermentasi. Menurunnya kadar NDF substrat juga dilaporkan oleh Singh et al. (1990) dan Okano et al. (2005) pada jerami gandum dengan menggunakan jamur Coprinus fimetarius dan ampas tebu dengan menggunakan empat jenis jamur White-rot. Hal yang sama juga dilaporkan Fazaeli et al. (2006) pada jerami gandum yang diinokulasi dengan jamur Pleurotus jenis F-77 dan difermentasikan selama 17 hari, kadar NDF pada substrat tersebut menurun sebesar 9,8%. Hasil penelitian ini lebih tinggi daripada ampas sagu fermentasi yang difermentasi selama 3 minggu (21 hari). Dari Tabel 8 terlihat kadar NDF ampas sagu fermentasi yang difermentasi selama 21 hari (3 minggu) menurun sebesar 7,03%. Menurunnya kadar NDF juga didapatkan pada penelitian yang dilakukan oleh Rouzbehan et al. (2001)pada jerami gandum yang

diberi 3% urea dan diinokulasi dengan jamur Pleurotus ostreatus x Pleurotus sajor caju dan Pleurotus jaringan Iranian selama 4 minggu, sebagai akibat degradasi dinding sel untuk memperoleh karbon guna kebutuhan energi daripada mikroba jamur tersebut. Dilaporkan bahwa kadar NDF pada penelitian tersebut menurun berturut-turut sebesar 7,4 dan 8,6%. Hasil ini lebih rendah jika dibandingkan dengan kadar NDF ampas sagu fermentasi yang difermentasi selama 4 minggu (10,23%).

Acid Detergent Fiber (ADF)

Pengolahan ampas sagu dengan teknik fermentasi menggunakan jamur

Pleurotus ostreatus menghasilkan kadar ADF yang berbeda pada setiap waktu fermentasi (Tabel 8) dengan kadar yang semakin meningkat seiring dengan semakin lamanya waktu fermentasi. Hasil penelitian menunjukkan kadar ADF berkisar antara 30,88-57,29% dengan rataan umum kadar ADF adalah 45,17 ± 2,87%. Berdasarkan analisis ragam waktu fermentasi berpengaruh sangat nyata. Hasil uji lanjut menunjukkan kadar ADF nyata (P<0,05) meningkat dengan semakin lamanya waktu fermentasi. Hasil tersebut memperlihatkan kadar ADF yang dihasilkan pada waktu fermentasi 0 dan 3 minggu berbeda (lebih rendah) daripada waktu fermentasi 4, 5, 6 dan 7 minggu.

Komponen penyusun ADF adalah selulosa dan lignin. Meningkatnya ADF dengan semakin lamanya waktu fermentasi menggambarkan terjadinya penambahan komponen dinding sel pada substrat. Dinding sel jamur berbeda dengan dinding sel tumbuhan, dinding sel jamur tidak terdiri atas selulosa, melainkan dari kitin (Mario et al. 2008). Hal ini berarti dengan bertambahnya waktu fermentasi sumbangan kitin dari dinding sel jamur Pleurotus ostreatus

semakin meningkat dan berpengaruh meningkatkan kandungan ADF substrat. Disisi lain degradasi selulosa substrat menjadi lambat karena substrat masih mempunyai pati untuk digunakan sebagai sumber karbon untuk pertumbuhan jamur Pleurotus ostreatus. Meningkatnya ADF substrat karena kitin sebagai dinding sel jamur Pleurotus ostreatus mempunyai struktur kimia berkerabat dekat dengan selulosa.

Selulosa

Secara umum hasil penelitian ini memperlihatkan kadar selulosa lebih tinggi pada tiap waktu fermentasi, dengan persentase kenaikan yang rendah pada awal waktu fermentasi kemudian meningkat dan akhirnya kembali menurun (Tabel 8). Kadar selulosa ampas sagu fermentasi berkisar antara 22,97-41,22% dengan rataan umum yang dimiliki 33,81 ± 2,71%. Berdasarkan Tabel 8 terlihat persentase kenaikan kadar selulosa pada setiap waktu fermentasi adalah 1,70; 10,27; 5,67; 2,17 dan 2,78%. Hasil analisis ragam menunjukkan waktu fermentasi berpengaruh sangat nyata. Berdasarkan uji lanjut kadar selulosa meningkat (P<0,05) dengan semakin meningkatnya waktu fermentasi. Hasil analisis ini menunjukkan kadar selulosa pada waktu fermentasi 7 minggu berbeda dengan 0, 3, dan 4 minggu waktu fermentasi sedangkan terhadap 5 dan 6 minggu waktu fermentasi menunjukkan hasil yang tidak berbeda.

Secara umum dalam beberapa penelitian biofermentasi dengan menggunakan jamur pendegradasi lignoselulosa menunjukkan kadar selulosa yang semakin menurun dengan semakin meningkatnya waktu fermentasi. Kondisi ini menggambarkan bahwa terjadi degradasi selulosa oleh enzim selulolitik untuk menyediakan energi dan karbon bagi mikroba dalam substrat. Namun hal ini bertentangan dengan hasil penelitian yang diperoleh, disebabkan kadar selulosa yang semakin meningkat pada waktu fermentasi 5, 6 dan 7 minggu. Kemungkinan fenomena ini terjadi terkait dengan kondisi substrat yang digunakan. Ampas sagu yang digunakan mempunyai kadar pati 52,98% (Tabel 9) dan semakin menurun dengan bertambahnya waktu fermentasi. Kondisi substrat seperti ini memungkinkan lambatnya degradasi selulosa; disisi lain mengakibatkan bertambahnya populasi jamur Pleurotus ostreatus yang lebih cepat daripada degradasi selulosa substrat. Pengamatan visual pada substrat ampas sagu fermentasi tanpa pemberian urea bahwa substrat tersebut mempunyai pertumbuhan miselium yang lebih tipis daripada substrat ampas sagu fermentasi yang diberi urea. Hal ini menunjukkan bahwa substrat ampas sagu fermentasi yang diberi urea mempunyai populasi jamur Pleurotus ostreatus yang lebih banyak dan hal ini akan mengakibatkan sumbangan kitin yang lebih banyak pula dalam substrat tersebut. Pendapat ini didukung oleh Mario et al. (2008) bahwa

miselium Pleurotus ostreatus mengandung kitin, meskipun persentase kandung-annya belum diketahui. Struktur kimiawi kitin berkerabat dekat dengan selulosa sehingga dalam analisis Van Soest terdeteksi sebagai selulosa dan mengakibatkan persentase selulosa substrat meningkat. Kemungkinan hal ini terjadi disebabkan perubahan komposisi yang menyebabkan terjadi perubahan komposisi substrat termasuk selulosa. Hasil penelitian ini berbeda dengan beberapa hasil penelitian lain yang menggunakan limbah jerami padi dan jerami gandum yang kadar selulosanya lebih rendah setelah difermentasi dengan jamur Pleurotus ostreatus

(Jafari et al. 2007).

Tabel 9 Kadar pati ampas sagu hasil dari waktu fermentasi yang berbeda

Waktu fermentasi (minggu)

0 3 4 5 6 7

52,98% 45,45% 34,90% 26,11% 24,89% 27,42%

Sumber: Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia-PAU, IPB, 2009

Lignin

Kadar lignin ampas sagu pada berbagai waktu fermentasi menunjukkan hasil yang menurun, dan penurunan tersebut terjadi dengan semakin meningkatnya waktu fermentasi (Tabel 8). Hasil penelitian menunjukkan kadar lignin berkisar antara 2,05-4,38% dengan rataan umum 3,36 ± 0,64 %. Berdasarkan pengamatan dengan waktu fermentasi yang berbeda, penurunan 1,33 % kadar lignin yang drastis terjadi pada 5 minggu waktu fermentasi yaitu dari 4,04 menjadi 2,71%. Tampak pada Tabel 8 persentase degradasi lignin rendah pada awal waktu fermentasi dan meningkat drastis pada waktu fermentasi 5 minggu. Analisis ragam memperlihatkan waktu fermentasi berpengaruh nyata. Selanjutnya uji lanjut menunjukkan kadar lignin ampas sagu fermentasi menurun (P<0,05) dengan bertambahnya waktu fermentasi. Hasil analisis memperlihatkan waktu fermentasi 0 minggu berbeda (lebih tinggi) daripada waktu fermentasi 5,6 dan 7 minggu sedangkan waktu fermentasi 0 minggu tidak berbeda dengan waktu fermentasi 3 dan 4 minggu.

Menurunnya kadar lignin dengan bertambahnya waktu fermentasi disebabkan terjadinya degradasi lignin oleh enzim yang dihasilkan oleh jamur

dapat menyediakan karbon atau energi untuk kebutuhan pertumbuhannya dari lignin dan oleh karena itu memerlukan substrat lain seperti selulosa atau sumber karbon lain untuk kebutuhan pertumbuhan tersebut. Crawford (1981) melaporkan bahwa jamur pelapuk putih mungkin tidak mendegradasi lignin secara signifikan tanpa adanya bahan tambahan terutama sumber karbon untuk metabolisme. Hal ini berarti bahwa jika substrat cukup mengandung karbohidrat sebagai sumber karbon atau energi, maka lignin akan didegradasi kemudian (Tabel 8).

Pati merupakan polisakharida yang mudah tercerna didalam substrat untuk kebutuhan jamur Pleurotus ostreatus. Hasil analisis pati ampas sagu fermentasi menunjukkan dengan bertambahnya waktu fermentasi kadar pati ampas sagu fermentasi semakin menurun (Tabel 9) dan penurunan pati ini jika dibandingkan dengan penurunan kadar lignin pada waktu fermentasi yang sama penurunan pati lebih tinggi daripada lignin. Fenomena seperti ini menunjukkan jamur Pleurotus ostreatus lebih mudah memanfaatkan pati yang terdapat dalam substrat daripada lignin untuk menyediakan karbon atau energi untuk pertumbuhannya. Kondisi seperti ini terlihat pula pada hasil penelitian aktivitas ligninolitik jenis Ganoderma pada berbagai sumber karbon (Artiningsih 2006). Aktivitas ligninolitik yang terendah didapatkan apabila jamur tersebut ditumbuhkan pada media glukosa. Arora dan Sandhu (1985) menyatakan gula lebih diperlukan dalam pembentukan biomassa jamur daripada produksi enzim ligninolitik.

Silika

Ampas sagu yang difermentasi dengan waktu fermentasi yang berbeda mempunyai kadar silika yang berbeda pula. Terlihat pada Tabel 8 kadar silika mengalami peningkatan dengan meningkatnya waktu fermentasi. Tabel tersebut memperlihatkan kisaran rataan silika antara 3,53-14,02% dengan rataan umum 8,00 ± 1,81%. Analisis ragam menunjukkan waktu fermentasi berpengaruh sangat nyata. Berdasarkan uji lanjut waktu fermentasi nyata (P<0,05) mempengaruhi peningkatan kadar silika. Hasil uji tersebut menunjukkan kadar silika pada waktu fermentasi 0, 3, dan 4 minggu berbeda (lebih rendah) daripada kadar silika waktu fermentasi 5, 6 dan 7 minggu.

Meningkatnya silika bukan merupakan hasil dari proses fermentasi ataupun sumbangan dinding sel dari jamur Pleurotus ostreatus. Silika merupakan unsur struktural untuk melengkapi lignin dalam memperkuat dan mengeraskan dinding sel tanaman. Ampas sagu yang digunakan terdiri dari serbuk ampas sagu dan serat empulur, sehingga meningkatnya kadar silika diduga disebabkan oleh kadar silika didalam serat empulur yang kemungkinan bervariasi. Peningkatan kadar silika juga didapati pada fermentasi jerami padi dengan jamur Pleurotus ostreatus sampai umur 60 hari (Jafari et al. 2007).

Penetapan waktu fermentasi

Dasar penetapan waktu fermentasi yang terbaik untuk pembuatan ampas sagu fermentasi dalam ransum tikus mengacu pada komposisi nutrien dan komponen serat ampas sagu hasil fermentasi, yaitu:

a. Protein kasar: kadar protein kasar meningkat seiring dengan bertambahnya waktu fermentasi dengan persentase kenaikan yang fluktuatif dan tertinggi pada waktu fermentasi 7 minggu, yakni 8,23% ±0,06.

b. Protein murni: kadar protein murni mengalami peningkatan dengan bertambahnya waktu fermentasi, walaupun persentase tersebut semakin menurun, yaitu 1,09 menjadi 0,25%. Kadar protein murni yang tertinggi adalah pada waktu fermentasi 6 minggu, yakni 4,60% ± 0,39.

c. Serat kasar: kadar serat kasar untuk semua perlakuan waktu fermentasi mengalami peningkatan, kadar serat kasar yang tertinggi adalah 18,74% ± 0,39 pada waktu fermentasi 7 minggu. Persentase kenaikan serat kasar ini berfluktuasi, persentase tertinggi adalah pada waktu fermentasi 5 minggu yakni 2,84% dan terendah pada waktu fermentasi 6 minggu yakni, 0,37 %. d. Selulosa: kadar selulosa juga meningkat dengan bertambahnya waktu

fermentasi. Kadar selulosa yang tertinggi adalah 41,22% pada waktu fermentasi 7 minggu dengan persentase kenaikan yang lebih rendah daripada waktu fermentasi 4 dan 5 minggu masing-masing 10,30 dan 5,67%.

e. Lignin: kadar lignin semakin menurun dengan bertambahnya waktu fermentasi dari yang tertinggi 4,38% pada waktu fermentasi 0 minggu dan terendah pada waktu 7 minggu yakni 2,05%.

Berdasarkan evaluasi terhadap kandungan nutrien, maka parameter yang dipakai sebagai indikator dalam penetapan waktu fermentasi yang terbaik, yakni serat kasar, selulosa dan lignin. Untuk serat kasar dipilih kadar serat kasar 17,64% yang diperoleh pada waktu fermentasi 5 minggu. Hal ini berarti bahwa jika penggunaan ampas sagu fermentasi tertinggi 20% dapat menyumbangkan 3,53% dalam ransum. Jika serat kasar yang dipilih adalah 18,74%, maka

Dokumen terkait