• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ternak Babi

Ternak babi merupakan ternak dengan perkembangbiakan relatif lebih cepat daripada ternak lain sehingga babi termasuk ternak penghasil daging yang berpotensi untuk dikembangkan dalam usaha pemenuhan daging. Hal ini didukung oleh sifatnya yang mempunyai pertumbuhan cepat, prolifik dan efisien dalam mengkonversi pakan menjadi daging dengan persentase karkas yang tinggi. Dengan demikian kapasitas ternak babi untuk mengubah sejumlah bahan-bahan makanan penguat menjadi daging sangat penting artinya, terutama di daerah yang mempunyai produksi bahan makanan penguat yang cukup atau berlebihan. Pada konversi ransum yang sama ternak babi lebih banyak menghasilkan pertambahan bobot badan dibanding ternak lainnya, kecuali broiler. Selain itu ternak babi dapat menggunakan bahan-bahan makanan yang relatif rusak bukan oleh penyakit atau racun dengan hasil yang sama atau hampir sama seperti pemberian dengan biji-bijian yang masih utuh (Parakkasi 1990).

Umumnya dikenal tiga tipe babi yaitu tipe lemak (lard type), tipe sedang (bacon type) dan tipe daging (meat type). Namun penggolongan ini sudah hampir lenyap di negara-negara yang peternakan babinya telah maju, karena bertujuan untuk menghasilkan daging yang berkualitas baik tanpa melihat apapun tipe babi yang dipelihara. Adapun babi yang digunakan dalam penelitian adalah babi lokal keturunan VDL (Veredeld Duits Landvarken) dan merupakan tipe daging yang tidak dapat dikelompokkan dalam satu tipe yang umumnya dikenal, sehingga dapat dikatakan tipe babi yang digunakan adalah tipe campuran.

Pemberian ransum yang baik pada babi dara, maka babi tersebut dapat dikawinkan pada umur delapan bulan, beranak pada umur satu tahun dan anak-anaknya dapat mencapai berat badan 100 kg pada umur enam bulan bila dipelihara dalam keadaan sehat. Parakkasi (1990) menyatakan bahwa berat karkas babi kurang lebih 73% dari berat hidup. Karkas tersebut masih berisi tulang, kepala, kulit dan kaki.

Pertumbuhan Ternak Babi

Pertumbuhan ternak merupakan fenomena universal yang bermula dari suatu telur yang telah dibuahi dan berlanjut sampai ternak menjadi dewasa. Dalam pertumbuhan tersebut terjadi dua hal yang mendasar, yaitu peningkatan bobot badan sampai mencapai bobot badan dewasa, yang disebut pertumbuhan dan terjadinya perubahan konformasi dan bentuk tubuh serta berbagai fungsi dan kesanggupan, yang disebut perkembangan (Lawrie 2003).

Pertumbuhan postnatal dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu periode pertumbuhan sebelum penyapihan dan sesudah penyapihan. Pada saat lahir hingga pubertas terjadi tahapan pertumbuhan yang cepat dan tahapan pertumbuhan yang lambat yang terjadi pada saat dewasa tubuh tercapai (Soeparno 2005). Keadaan seperti ini menyebabkan terjadinya perubahan organ-organ dan jaringan yang berlangsung secara gradual hingga tercapainya ukuran dan bentuk karakteristik masing-masing organ dan jaringan tersebut. Perubahan ini terjadi mengikuti tiga proses utama didalam pertumbuhan, yakni (1) proses dasar pertumbuhan seluler yang meliputi perbanyakan sel atau produksi sel-sel baru (hyperplasia) dan pembesaran sel dan akresi atau pertambahan material struktural nonseluler (nonprotoplasmik), misalnya deposisi lemak, glikogen, plasma darah dan kartilago, (2) diferensiasi sel-sel induk di dalam embrio menjadi ektoderm, mesoderm dan endoderm. Diferensiasi selanjutnya menghasilkan sel-sel khusus antara lain sel-sel syaraf dan epidermal berasal dari ektoderm, sel-sel penyususn saluran pencernaan atau gastrointestinal beserta kelenjar-kelenjar atau glandula sekresinya berasal dari endoderm, dan (3) kontrol pertumbuhan dan deferensiasi yang melibatkan banyak proses. Pada kondisi lingkungan yang ideal pola pertumbuhan postnatal untuk semua spesies ternak adalah serupa, yakni mengikuti kurva pertumbuhan sigmoidal (Gambar 2, Soeparno 2005). Bentuk kurva ini mencerminkan dua fenomena yang berarti yakni pertumbuhan yang dipercepat dan diperlambat. Pada waktu kecepatan pertumbuhan mendekati konstan, pertumbuhan otot, tulang dan organ-organ penting lainnya mulai berhenti, sedangkan perletakan lemak mulai dipercepat. Kecepatan pertumbuhan yang berbeda-beda sejak lahir sampai dewasa berpengaruh pada komponen penting yang terdapat dalam jaringan tubuh ternak, yakni tulang, urat daging dan lemak.

Diantara ketiga komponen tersebut tulanglah yang pertama tumbuh dan berkembang terlebih dahulu dari otot dan yang terakhir adalah lemak (Williams 1982).

Selama pertumbuhan, lemak menumpuk diberbagai depot yang berbeda dan pada ternak muda deposisi lemak terjadi disekitar jeroan dan ginjal kemudian dengan bertambahnya umur serta konsumsi energi, deposisi lemak juga terjadi diantara otot (lemak intermuskular), lapisan bawah kulit (lemak subkutan) dan terakhir diantara ikatan serabut otot (lemak intramuskular atau marbling). Setelah otot mencapai pertumbuhan yang maksimal, pertambahan berat otot terjadi karena deposisi lemak (intramuskular). Dengan demikian selama pertumbuhan dan perkembangan lemak akan ditimbun dan karkas ternak dewasa dapat mengandung 30 - 40% lemak. Keadaan ini dibuktikan pada persentase lemak karkas babi, sapi dan domba yang semakin meningkat dengan bertambahnya umur. Diantara ketiga ternak tersebut peningkatan persentase lemak karkas babi yang paling tinggi (Soeparno 2005).

Gambar 2 Kurva pertumbuhan (Soeparno 2005)

B er at ba d an dewasa konsepsi Waktu

Pencernaan dan Metabolisme Lemak

Lemak merupakan substansi yang dapat ditemukan pada jaringan tanaman dan hewan, dan terdiri dari unsur-unsur karbon, hidrogen dan oksigen. Lemak didalam makanan yang memegang peranan penting adalah lemak netral atau trigliserida yang molekulnya terdiri atas satu molekul gliserol dan tiga molekul asam lemak yang terikat pada gliserol tersebut dengan ikatan ester (Gambar 3).

Lemak yang dikonsumsi mempunyai beberapa fungsi yaitu memberikan rasa kenyang lebih lama daripada makanan dengan kandungan lemak yang kurang. Hal ini disebabkan absorpsi lemak dalam saluran pencernaan lebih lambat daripada karbohidrat dan protein. Selain itu fungsi utama lemak adalah untuk mensuplai sejumlah enersi dengan volume yang relatif tinggi. Lemak juga berfungsi untuk meningkatkan absorpsi vitamin-vitamin yang larut dalam lemak dan sebagai sumber asam-asam lemak esensial yang tidak dapat disintesa oleh tubuh melainkan harus disuplai dalam makanan (Piliang dan Djojosoebagio 2006).

Pencernaan lemak mulai terjadi didalam duodenum setelah lemak makanan terlebih dahulu diubah menjadi emulsi yang partikelnya masih besar dalam lambung. Terbentuknya emulsi ini oleh adanya pergerakan-pergerakan lambung yang mencampurnya dengan fospolipid, dan komponen chyme. Dua komponen utama yang merupakan zat pengemulsi (emulsifier) adalah asam empedu dan lesitin. Segera setelah lemak sampai di duodenum terjadi pencernaan oleh adanya empedu dan cairan lipase. Garam empedu berfungsi sebagai deterjent anion yang bersama-sama fospolipid dan kolesterol membentuk misel. Kemudian oleh gerakan-gerakan khusus yang sifatnya mengaduk empedu dan lipida yang bersifat polar (sebagai detergent) terbentuklah mikro emulsi yang terutama berisi trigliserida dengan sedikit lemak lainnya. Setelah itu oleh lipase dari pankreas

H2C – O - COR H2C – O - COR H2C – O - COR

terjadi hidrolisa trigliserida menjadi beta-monogliserida dan asam-asam lemak bebas (Parakkasi 1990).

Gliserol kemudian diserap secara pasif masuk melalui vena mesentrikum; sebagian kecil mengalami proses phosporilase oleh enzim dari sitoplasma usus kecil. Asam-asam lemak berantai pendek sampai C10 yang lebih larut dalam air cenderung juga diserap kedalam pembuluh darah balik mesentrikum. Monogliserida dan asam lemak berantai panjang dari micelle campuran masuk ke mikrovilli dan daerah apex dari sel mukosa secara difusi. Dalam sel epitel, asam-asam lemak berantai panjang diubah menjadi asetil-KoA. Penyerapan lemak tergantung oleh beberapa faktor, yakni panjang rantai asam lemak, berat molekul dari lemak, asam lemak jenuh/tidak jenuh, monogliserida lebih mudah diserap dibanding asam lemak bebas dan faktor umur (Parakkasi 1990).

Ransum yang mengandung lemak terutama asam lemak jenuh dalam proses metabolisme akan menghasilkan kolesterol. Oleh karena itu perlu diberikan pakan berserat untuk menurunkan kolesterol. Mekanisme serat menurunkan kolesterol serum adalah menunda pengosongan lambung yang berpengaruh terhadap masuknya chyme kedalam usus kecil, hal ini berefek terhadap penyerapan karbohidrat, dan lipid. Selain itu serat juga berfungsi mengganggu enzym-enzym pencernaan, mengganggu pembentukan misel, mengganggu kandungan isi usus dan menghambat biosintesis kolesterol. Dengan demikian pemberian serat berpengaruh bukan saja terhadap kolesterol tetapi juga terhadap penimbunan lemak tubuh (Stipanuk 2000).

Kolesterol

Kolesterol merupakan komponen terbesar dari senyawa yang banyak ditemukan pada turunan steroid yaitu pada struktur organ tubuh hewan dan manusia dengan berbagai fungsi biologis yang terkait. Komponen ini disintesis di banyak jaringan dari asetil-KoA dan secara khas adalah produk metabolisme hewan oleh karenanya terdapat didalam makanan yang berasal dari hewan seperti otak, hati, daging dan kuning telur (Murray et al. 2003). Struktur kolesterol dapat dilihat pada Gambar 4. Menurut Piliang dan Djojosoebagio (2006) kolesterol tubuh berasal dari dua sumber yaitu kolesterol yang berasal dari sintesa tubuh yang disebut kolesterol endogenous dan yang berasal dari makanan yang disebut

kolesterol eksogenous. Kolesterol yang disintesa dalam tubuh terutama oleh sel-sel hati, usus halus dan kelenjar adrenal. Kolesterol dalam tubuh digunakan oleh kelenjar adrenal untuk sintesis hormon adrenokortikal, ovarium untuk sintesis progesteron dan estrogen serta oleh testis untuk sintesis testosterone, garam-garam empedu, dan vitamin D (Guyton dan Hall 1997). Zat-zat tersebut ditranspor diantara jaringan yang terikat pada lipoprotein, terutama chylomicron dan lipoprotein dengan densitas rendah (low density lipoprotein). Biosintesis kolesterol dapat dibagi menjadi lima tahap yakni; 1). Mevalonat yang merupakan senyawa enam-karbon disintesis dari asetil-KoA, 2). Unit isoprenoid dibentuk dari mevalonat dengan menghilangkan CO2, 3). Enam isoprenoid mengadakan kondensasi untuk membentuk intermediat skualin, 4). Skualin mengalami siklisasi untuk menghasilkan senyawa steroid induk, yaitu lanosterol, dan 5). Kolesterol dibentuk dari lanosterol setelah melewati beberapa tahap lebih lanjut, termasuk menghilangnya tiga gugus metal (Murray et al. 2003). Secara umum sintesis kolesterol dapat dilihat pada Gambar 5.

Serat dan Pencernaannya

Pencernaan babi mengikuti pola pencernaan ternak nonruminansia, yakni tidak mempunyai tempat khusus untuk berlangsungnya proses mikroorganisme/fermen-tasi yang intensif seperti pada ternak ruminansia karena memiliki lambung sederhana. Kalaupun ada hanya terdapat dalam jumlah yang sedikit dalam sekum dimana proses pencernaan telah berlangsung. Kondisi seperti ini menyebabkan babi mempunyai toleransi terhadap serat kasar yang rendah dibandingkan dengan ternak ruminansia, sehingga jika kadar serat kasar dalam ransum meningkat maka

HO

Acetyl-CoA Thiolase 3-hydroxy-3methylglutaryl-CoA (HMG-CoA) Phospomevalonate kinase HMG-CoA

synthase Mevalonic acid

Mevalonate-5-phospate ATP Mevalonate kinase HMG-CoA reductase Isopentenyl-5-pyrophospate (PP) Mevalonate-5-pyrophospate Mevalonate-5phyphosphate decarboxylase Farnesyl-PP Farnesyl-PP synthase Geranyl PP Farnesyl-PP synthase Squalene 2.3 oxidosqualene Squalene monooxygenase Lanosterol Cholesterol

NADP Squalene epooxydase Heme A Dolichol Ubiquinon Prenylated proteins Geranylgeranyl-PP Geranylgeranyl- PP synthase Acetoacetyl-CoA Dymethylallyl- (PP) Isopentenyl-PP isomerase CO2

Gambar 5 Sintesa Kolesterol

kecernaan nutrien akan menurun (Parakkasi 1990).

Ternak babi dapat mentolerir kadar serat kasar sampai dengan 6% dan daya cerna serat kasar tersebut oleh ternak babi berkisar antara 10 – 90%. Variasi tersebut antara lain disebabkan oleh komposisi serat kasar (Parakkasi 1990). Beberapa hasil penelitian dengan taraf kadar serat kasar yang berbeda memperlihatkan bahwa komposisi serat kasar merupakan salah satu faktor penting yang berpengaruh terhadap koefisien cerna dan pertambahan berat badan. Penelitian dengan kadar serat kasar yang bervariasi yaitu 8,40; 9,48; 10,7 dan 11,6% berpengaruh nyata terhadap pertambahan berat badan babi per hari masing-masing 446, 433, 350, dan 341g/e/h. Demikian pula terhadap koefisien cerna bahan kering dimana kadar serat kasar yang tinggi, yaitu 10,7 dan 11,6% mempunyai koefisien cerna bahan kering yang lebih rendah masing-masing 13,2 dan 13,5% dibandingkan dengan serat kasar 8,40 dan 9,48% dimana penurunan koefisien cerna masing-masing sebesar 14,43 dan 14,73% (Sikka 2007). Sebelumnya Kass et al. (1980) melaporkan bahwa pemberian serat kasar 7 sampai 10% dalam ransum menghambat pertumbuhan, walau Cunha (1970) menyatakan bahwa 3,5% sampai 13,5% kadar serat kasar dalam ransum babi tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan. Perbedaan kecernaan serat kasar pada babi kemungkinan disebabkan komposisi komponen serat kasar yang terkandung dalam ransum berbeda-beda. Keys et al. (1970) dan Farrell (1973) menyatakan bahwa penggunaan serat kasar pada ransum babi yang sedang bertumbuh tergantung pada taraf dan sumber serat kasar ransum serta kematangan tanamannya.

Serat Pangan

Secara umum serat bahan makanan didefinisikan sebagai kelompok polisakarida dan polimer-polimer lain yang tidak dapat dicerna oleh sistem enzim dalam saluran gastrointestinal bagian atas pada manusia (Mc Allan 1985) sehingga oleh Linder (1985) tidak digolongkan sebagai zat makanan. Termasuk dalam kategori serat adalah selulosa, hemiselulosa, pektin, dan lignin. Lignin termasuk serat tetapi bukan karbohidrat.

Dalam ilmu pangan serat dibedakan atas kelarutannya dalam air, sehingga dikenal serat yang tidak larut dan yang larut dalam air. Serat yang tidak larut

dalam air adalah komponen struktural tanaman, sedangkan yang larut adalah komponen nonstruktural. Serat pangan yang tidak larut (Insoluble Dietary Fiber atau IDF) diartikan sebagai serat pangan yang tidak larut dalam air panas maupun air dingin. Serat ini (IDF) merupakan komponen terbesar dari serat pangan total atau Total Dietary Fiber (TDF) dalam diet, sedangkan serat yang larut dalam air atau Soluble Dietary Fiber (SDF) hanya merupakan sepertiga bagian (Prosky et al. 1984; Prosky dan De Vries 1992). Serat pangan total (TDF) mengandung gula-gula dan asam-asam gula-gula sebagai bahan pembangun utama serta grup fungsional yang dapat mengikat dan terikat atau bereaksi satu sama lain dengan komponen lain. Semua komponen TDF memberikan karakteristik fungsional meliputi kemampuan daya ikat air, kapasitas untuk mengembang, meningkatkan densitas kamba, membentuk gel dengan viskositas berbeda-beda, mengabsorsi minyak, pertukaran kation, warna dan flavor.

Peran utama serat dalam makanan ialah pada kemampuannya mengikat air. Dengan adanya serat akan membantu mempercepat sisa-sisa makanan melalui saluran pencernaan untuk diekskresi keluar. Tanpa bantuan serat, feses dengan kandungan air rendah akan lebih lama tinggal dalam saluran usus dan mengalami kesukaran untuk dapat diekskresi keluar dari usus karena gerakan-gerakan peristaltik usus besar menjadi lamban (Piliang dan Djojosoebagio 2006).

Menurut Supadmo (1997) serat yang larut dapat menurunkan kadar kolesterol sedangkan serat tidak larut mempunyai efek melancarkan pembuangan sisa makanan secara alami. Serat-serat yang bersifat larut dalam air seperti pektin dan gum menurut sejumlah peneliti secara nyata menurunkan kadar kolesterol plasma (Yamada et al. 1999). Demikian halnya dengan serat yang tidak larut.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nishina dan Freedland (1990), menemukan bahwa selulosa yang merupakan serat tidak larut ternyata tidak hanya berpengaruh terhadap metabolisme lipid, tetapi juga dapat menurunkan kadar gliserida gliserol dan kadar kolesterol plasma. Horigome et al. (1992) menyim-pulkan bahwa bagian serat baik yang bersifat larut maupun yang tidak larut menurunkan kolesterol. Hasil penelitian van Bennekum et al. (2005) tentang pengaruh serat tidak larut terhadap kolesterol mencit menyatakan bahwa pemberian 7,5% selulosa dan kitosan dalam ransum berpengaruh nyata terhadap

akumulasi kolesterol mencit. Serum kolesterol pada mencit yang mendapatkan perlakuan tersebut masing-masing 1,6 dan 2,2 mg lebih rendah daripada kontrol (4,3 mg). Demikian halnya dengan kolesterol hati total masing-masing 41 dan 30 mg lebih rendah daripada kontrol (72 mg). Dari hasil penelitian tersebut dinyatakan bahwa selulose dan kitosan cukup menstabilkan serum kolesterol. Hal ini terlihat, konsumsi selulosa dan kitosan memberikan kontribusi nyata terhadap

Lobus kiri hati

Usus halus

Gambar 6 Mekanisme selulosa menghambat sintesa kolesterol SELULOSA

Kolon Kolon

Vena porta Hati Kerja enzim HMG-CoA

reduktase biosin- tesa kolesterol dihambat

Selulosa Selulosa difer-mentasi oleh mikroorganisme Asam asetat, propionat, butirat Asam propionat diangkut ke hati Kolesterol, LDL darah rendah, HDL darah meningkat

efek kekenyangan (Burton-Freeman 2000). Peran serat dalam menurunkan kolesterol dilaporkan juga oleh William (1985) bahwa serat pangan memiliki sifat mengikat bahan organik lain, misalnya asam empedu kemudian terbuang bersama feses. Dengan adanya serat pangan yang mengikat asam empedu maka jumlah asam empedu bebas akan berkurang sehingga perlu dibentuk asam empedu baru. Asam empedu baru ini dibentuk dari kolesterol yang terdapat dalam darah. Dengan demikian konsentrasi kolesterol dalam darah akan menurun. Selain itu mekanisme lain dalam menurunkan kolesterol darah oleh perlakuan serat pangan dilaporkan oleh Nishimura et al. (1993) yaitu melalui penghambatan sintesis kolesterol hepatik oleh metabolit fermentasi mikroflora usus. Mekanisme selulosa menghambat sintesis kolesterol dapat dilihat pada Gambar 6.

Ampas Sagu

Pohon sagu merupakan nama umum untuk tumbuhan genus Metroxylon, berasal dari kata Yunani yang terdiri dari kata Metra berarti isi batang atau empulur dan Xylon berarti xylem (Flach 1977). Sagu termasuk tumbuhan monokotil dari famili Palmae, genus Metroxylon dan Ordo Arecales, berkembang- biak melalui tunas, akar atau biji sehingga tumbuh membentuk rumpun dan berkelompok (Louhenapessy et al. 2010).

Pada umumnya dikenal lima jenis sagu di Maluku, yakni: sagu Tuni (Metroxylon rumphii Mart), sagu Ihur (Metroxylon sylvester Mart), sagu Makanaru (Metroxylon longispinum Mart), sagu Duri Rotan (Metroxylon micro-canthum Mart) merupakan sagu berduri dan satu jenis sagu yang tidak berduri yakni sagu Molat (Metroxylon sagu Rottb) (Louhenapessy 2006).

Menurut Alfons (2006), luas areal sagu potensial di Maluku diperkirakan sebesar 31.360 ha. Jumlah pohon masak tebang untuk kondisi hutan sagu di Indonesia adalah antara 8–36 pohon/ha dimana untuk kondisi hutan sagu di Maluku rata-rata pohon sagu masak tebang berbagai jenis sagu adalah 20 pohon/ha dan rataan produksi tiap pohon adalah 220 kg, sehingga dalam luasan

Taksiran luas lahan sagu di Indonesia sangat bervariasi dari waktu ke waktu. Luas lahan sagu di Indonesia adalah 1.398.000 ha, sedangkan di Maluku (provinsi Maluku dan Maluku Utara) luas lahan sagu adalah 50.000 ha (Balitbanghut 2005).

satu ha dapat diproduksi 4400 kg tepung sagu (Louhenapessy 1988). Dari jumlah produksi tepung sagu diperoleh limbah padat berupa ampas sagu dalam jumlah yang besar dengan perbandingan tepung sagu dan ampas sagu 1 : 6. Hal ini berarti potensi ampas sagu tersedia cukup besar yaitu 1320 kg per pohon yang terdiri dari campuran ampas dan sisa pati yang tidak terekstraksi (Rumalatu 1981). Pada dasarnya proses ekstraksi pati adalah pemisahan pati dari empulur batang sagu dengan bantuan air. Proses penghancuran empulur ini di Maluku dapat dilakukan dengan dua cara, yakni penghancuran empulur dengan menokok (menggunakan nani) dan dengan cara mekanik (penghancuran empulur dengan menggunakan mesin). Tahapan proses tersebut dapat dilihat pada skema pembuatan tepung sagu dalam Gambar 7.

Kandungan Nutrien Ampas Sagu

Nutrien yang terkandung dalam ampas sagu umumnya sangat rendah dan tidak banyak dipengaruhi oleh spesies, habitat atau pengolahan agronomi. Variasi nutrien ampas sagu dapat disebabkan oleh sistem pengolahannya. Kandungan nutrisi ampas sagu dari dua cara pengolahan ini belum diketahui secara jelas, namun berdasarkan cara pengolahan yang berbeda dapat dikatakan bahwa ampas sagu yang diperoleh melalui pengolahan tradisional kemungkinan mempunyai pati yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengolahan secara mekanik. Kandungan nutrien terutama protein kasar (Tabel 1) yang rendah dari ampas sagu ini merupakan faktor pembatas penggunaannya dalam ransum karena umumnya selain rendah protein, lemak, vitamin dan mineral juga mengandung serat kasar dan komponen dinding sel yang tinggi.

Kadar selulosa ampas sagu Metroxylon silvester adalah 21,62% (Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan, IPB 2008). Berdasarkan berbagai penelitian pada ternak monogastrik penggunaan ampas sagu hanya terbatas dalam jumlah kecil. Penggunaan ampas sagu dalam ransum ternak monogastrik seperti unggas dan babi sangat bervariasi tergantung fase hidup dari ternak tersebut. Taraf pemberian ampas sagu yang tinggi dalam ransum secara langsung menurunkan penggunaan bahan makanan sumber energi, yakni jagung dan dedak padi dalam ransum disebabkan tingginya energi yang dimiliki ampas

sagu. Disisi lain penggunaan ampas sagu dalam proporsi yang tinggi dalam ransum berdampak menaikkan penggunaan bahan sumber protein. Penggunaan

Gambar 7 Skema pembuatan tepung sagu ampas sagu Pengupasan kulit Pemotongan batang sagu Persiapan bahan mentah Penebangan

Penghancuran empulur menggunakan nani

Penghancuran empulur menggunakan mesin

Pengemasan tepung basah Ekstraksi (peremasan)

ampas sagu tanpa difermentasi masing-masing 7,5; 15 dan 22,5% dalam ransum babi lepas sapih mengakibatkan penggunaan jagung menurun dari 53% menjadi 40% dan dedak padi dari 7% menjadi 0,50%, sedangkan penggunaan tepung ikan Tabel 1 Komposisi kimia ampas sagu

Komposisi kimia Metroxylon Metroxylon

1) 2) ---%--- Bahan kering 73,66 86,65 Protein kasar 2,30 3,36 Lemak 0,41 - Serat kasar 18,86 25,41 Abu 18,19 7,99 Pati - - NDF 49,96 87,40 ADF 36,26 42,11 Selulosa - 29,52 Lignin - -

NDF = Neutral Detergent Fiber; ADF = Acid Detergent Fiber; (-) = tidak diteliti, 1) Nurkurnia

(1989), 2) Tisnowati (1991). sebagai sumber protein hewani sebesar 10% untuk semua persentase pemberian

ampas sagu (Ralahalu 1998).

Hal inipun tergantung pada banyaknya keragaman jenis bahan ransum yang digunakan. Pertambahan berat badan yang diperoleh pada 7,5; 15 dan 22,5% pemberian ampas sagu berturut- turut adalah 746, 705 dan 694 g/e/h. Terlihat bahwa pertambahan berat badan babi menurun seiring dengan meningkatnya persentase pemberian ampas sagu. Penggunaan ampas sagu juga telah diteliti pada ayam dan itik dimana pertambahan berat badan yang baik pada itik alabio jantan diperoleh pada penggunaan ampas sagu fermentasimaksimum 7,5% (Biyatmoko 2002).

Mengacu pada hasil-hasil penelitian yang telah dikemukakan maka dapat dikatakan bahwa ampas sagu bukan saja dapat dimanfaatkan sebagai salah satu bahan makanan sumber energi tetapi juga sebagai bahan makanan yang dapat membantu menurunkan kolesterol. Kontribusi ampas sagu dalam ransum sebagai

sumber serat (selulosa) efeknya terhadap kolesterol hasilnya berbeda

diban-dingkan sumber serat lainnya terutama serat yang larut dalam air. Hasil penelitian Burton-Freeman (2000) menyatakan bahwa konsumsi selulosa

memberikan kontribusi nyata terhadap efek kekenyangan, bukan disebabkan pada

Dokumen terkait