• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fertilisasi In Vitro Bagian Reproduksi dan Kebidanan, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan dari Desember 2013- Mei 2014.

Metode Penelitian Tahap I. Kemampuan Pematangan Inti Oosit Koleksi Ovarium dan Seleksi Oosit

Ovarium diperoleh dari domba yang dipotong di RPH kambing/domba Kampung Cikanyong Desa Citaringgul Kecamatan Babakan Madang Kabupaten Bogor. Ovarium dibawa ke laboratorium menggunakan termos berisi larutan NaCl 0,9% yang ditambahkan antibiotik 100 IU/ml penicillin (Sigma-Aldrich, St. Louis, MO, USA) dan 0,1 g/ml streptomycin (Sigma-Aldrich) dengan temperatur 35-37°C. Di laboratorium ovarium kemudian dicuci kembali dengan NaCl 0,9% dan berikutnya dicacah (slicing) dengan scalpel untuk mengeluarkan oosit. Pencacahan dilakukan di cawan petri yang berisi PBS ditambah 0,3% bovine serum albumin (BSA) (Sigma-Aldrich. Inc, A-7030), 100 IU/ml penicillin (Sigma-Aldrich, St. Louis, MO, USA) dan 0,1 g/ml streptomycin (Sigma-Aldrich) dan diekuilibrasi terlebih dahulu di dalam inkubator. Oosit yang digunakan adalah oosit dengan sel-sel kumulus yang kompak serta sitoplasma yang homogen. Oosit hasil seleksi dicuci dalam media maturasi sebanyak dua kali untuk kemudian dimaturasi secara in vitro. Oosit dimaturasi di dalam drop berisi 100 μl media maturasi yang ditutup mineral oil selama 24 jam. Media dasar yang digunakan untuk maturasi adalah tissue culture media (TCM) 199 with Earle’s salts (Gibco, Grand Island, NY, USA) ditambah dengan 10 IU/ml Pregnant Mare Serum Gonadotrophin (PMSG) (Kyoritsu Seiyaku, Tokyo, Japan), 10 IU/ml (hCG) (Kyoritsu Seiyaku, Tokyo, Japan) dan 50 μg/μl gentamycin (Sigma-Aldrich. Inc, P-4687). Pada penelitian ini, oosit dimaturasi dalam media yang dibagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok tanpa BSA (BSA-) berupa media dasar tanpa penambahan 0,3% BSA tetapi ditambah sericin 0%, 0,1%, 0,25%, dan 0,5%. Kelompok dengan BSA, berupa media dasar ditambah dengan 0,3% BSA (BSA+) dan sericin 0% (kontrol), 0,1%, 0,25%, dan 0,5%. Penggunaan konsentrasi sericin mengacu pada Isobe et al. (2012). Semua kultur dilakukan pada suhu 39°C dalam 5% CO2 in air. Setelah 24 jam, oosit kemudian difiksasi untuk dievaluasi status intinya.

Evaluasi Tingkat Maturasi Oosit

Oosit yang telah dimaturasi didenudasi sel-sel kumulusnya dengan bantuan enzim hyaluronidase 0,25% dengan cara dipipet berulang menggunakan pipet yang sesuai dengan ukuran oosit. Setelahnya oosit dibilas dengan PBS+BSA 0,3%. Oosit yang telah dilepaskan sel kumulusnya diletakkan pada drop

9

PBS+BSA 0,3% diatas gelas objek yang telah diberi bantalan paraffin dan vaseline (1:9) pada keempat sisi, kemudian difiksir dan ditutup dengan cover glass sambil meratakan parafin dan vaseline agar menempel sempurna pada gelas objek. Preparat selanjutnya difiksasi dalam larutan asam asetat dan ethanol absolute dengan perbandingan 1:3 selama 48-72 jam. Setelah 48-72 jam preparat diwarnai dengan 2% aceto-orcein selama 2-3 menit, kemudian pewarna dibilas dengan 25% asam asetat dan seluruh sisi cover glass diberi larutan kuteks bening untuk selanjutnya dilakukan pengamatan morfologi dengan menggunakan mikroskop fase kontras (Olympus IX, Japan). Status inti oosit dikelompokkan menjadi tahap germinal vesicle (GV), germinal vesicle breakdown (GVBD) dan metaphase II (MII). Tingkat maturasi merupakan perbandingan antara jumlah oosit yang mencapai tahap MII dengan jumlah keseluruhan oosit yang dimaturasi. Tahap II. Fertilisasi In vitro (FIV)

Oosit yang telah dimaturasi dari semua kelompok kemudian difertilisasi in vitro. Pada tahap ini konsentrasi sericin 0,5% tidak digunakan karena menurunkan tingkat maturasi oosit. Thawing semen beku domba dilakukan dalam waterbath pada suhu 30-32°C selama 30 detik, kemudian disentrifugasi pada kecepatan 1800 rpm selama 5 menit dalam media fertilisasi. Setelah sentrifugasi, endapan spermatozoa diencerkan dengan media fertilisasi sampai konsentrasi akhir 1×106 spermatozoa/ml. Campuran spermatozoa dan media fertilisasi dibuat dalam bentuk drop 100 μl dan ditutup dengan mineral oil (Sigma-Aldrich. Inc, M-8410). Oosit yang sudah dimaturasi dicuci dalam media fertilisasi sebanyak 2 kali, kemudian dipindahkan ke dalam drop dan diinkubasi selama 14 jam dalam inkubator CO2 5% temperatur 39°C. Setelah 14 jam ko-inkubasi, dilakukan evaluasi tingkat fertilisasi oosit. Oosit difiksasi dengan metode yang sama dengan yang digunakan untuk melihat tingkat maturasi inti oosit.

Penentuan tingkat kemampuan fertilisasi in vitro dilakukan berdasarkan pembentukan dan jumlah pronukleus (PN). Oosit yang terfertilisasi normal ditandai dengan terbentuknya dua pronukleus (jantan dan betina, 2PN) dalam sitoplasma oosit, sedangkan yang terfertilisasi polispermi terdiri dari lebih 2 PN. Tingkat fertilisasi dibagi dalam 3 kriteria, yaitu total, normal, dan polispermi. Total fertilisasi merupakan perbandingan antara jumlah oosit yang dibuahi dengan jumlah keseluruhan oosit. Tingkat fertilisasi normal diperoleh dari perbandingan oosit yang membentuk 2 PN dengan jumlah oosit yang terfertilisasi, sedangkan polispermi adalah perbandingan antara oosit yang terdiri dari >2PN dengan jumlah oosit terfertilisasi.

Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 8 perlakuan dan masing-masing 5 ulangan. Penelitian tahap 1 berupa maturasi oosit secara in vitro dengan media yang dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok tanpa BSA (BSA-) dengan sericin 0%, 0,1%, 0,25%, dan 0,5%. Kelompok dengan BSA (BSA+) berupa 0,3% BSA (BSA+) dan sericin 0% (kontrol), 0,1%, 0,25%, dan 0,5%.Penelitian tahap II adalah fertilisasi in vitro dari oosit yang dimaturasi dengan metode yang sama pada tahap I.

11

Tingkat maturasi inti oosit domba pada perlakuan berbagai konsentrasi sericin dengan atau tanpa BSA dapat dilihat pada tabel 1. Dari hasil penelitian terlihat 70-92% oosit yang dimaturasi dalam media dengan suplementasi sericin dan BSA+sericin mampu mencapai tahapan germinal vesicle breakdown (GVBD) dan melanjutkan proses meosisnya setelah IVM. Tahapan GVBD pada penelitian ini diawali dengan oosit yang mampu mencapai MI dengan persentase (4,65- 18,6%) dan dilanjutkan dengan A/T (1,7-11,6%), MII (21,0-83,7%). Pada kelompok BSA-, terjadi penurunan persentase oosit yang mencapai fase MII secara signifikan pada konsentrasi sericin 0,5% (P < 0,05) dari persentase oosit yang mencapai tahap GVBD (67,9% ± 5,4). Persentase oosit yang mencapai tahap GVBD tertinggi terlihat pada kelompok sericin 0,1% (92,2% ± 2,3) dan berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol (35,0% ± 4,2) dan sericin 0,5% (67,9 ± 5,4). Namun demikian tidak terlihat perbedaan yang signifikan antara sericin 0,1% dan 0,25% (84,7% ± 3,2) (P > 0,05). Lebih lanjut, tabel 1 menunjukkan persentase oosit yang mampu mencapai MII tertinggi terlihat pada konsentrasi sericin 0,1% (83,7% ± 1,8) dan berbeda nyata jika dibandingkan dengan konsentrasi sericin 0% (20,6% ± 4,1), sericin 0,25% (63,6% ± 2,9 ) dan sericin 0,5% (39,7% ± 3,4) (P < 0,05).

Tabel 1. Tingkat maturasi inti oosit domba pada media yang ditambahkan sericin tanpa atau dengan BSA

Keterangan:

GVBD : germinal vesicle breakdown, MII : metaphase II a,b,c,d

Superskrip yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P < 0,05)

Tingkat Fertilisasi In Vitro dari Oosit yang Dimaturasi dalam Media yang Ditambahkan Sericin tanpa atau dengan BSA

Tingkat fertilisasi oosit dapat diketahui dengan melihat adanya pembentukan pronukleus (Gambar 2). Persentase oosit yang terfertilisasi setelah dimaturasi pada media yang ditambahkan sericin ditampilkan dalam tabel 2.

Perlakuan Jumlah oosit

Tingkat maturasi inti n (% rata-rata± SEM) BSA (%) Sericin (%) GVBD MII BSA - 0 57 20 (35,0 ± 4,2)a 12 (20,6 ± 4,1)a 0,1 86 79 (92,2 ± 2,3)bc 72 (83,7 ± 1,8)b 0,25 86 73 (84,7 ± 3,2)c 55 (63,6 ± 2,9)c 0,5 86 57 (67,9 ± 5,4)d 33 (39,7 ± 3,4)d BSA + 0 86 75 (87,5 ± 1,8) 59 (70,0 ± 4,4)a 0,1 86 74 (87,1 ± 3,4) 63 (73,0 ± 3,3)a 0,25 86 68 (79,4 ± 2,8) 49 (58,1 ± 3,8)b 0,5 86 65 (77,1 ± 5,1) 39 (46,0 ± 2,5)c

12

Gambar 2. Pembentukan pronukleus (PN) pada oosit setelah fertilisasi. a. Oosit dengan 2 pronukleus ( 2 PN), ), b. Oosit dengan lebih 2 pronukleus (>2 PN), tanda panah menunjukkan pronuklues (perbesaran 200x). Tabel 2. Tingkat fertilisasi oosit domba setelah dimaturasi pada media yang

ditambahkan sericin tanpa atau dengan BSA

Keterangan: a,b,c,d

Superskrip yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P < 0,05)

Penelitian tahap kedua dilakukan dengan mengevaluasi tingkat fertilisasi dari oosit yang terfertilisasi secara keseluruhan (total) dan monospermi, setelah 14 jam inkubasi. Tabel 2 menunjukkan, kultur oosit pada media yang disuplementasi sericin dengan atau tanpa BSA, hanya memberikan pengaruh pada persentase total fertilisasi dari oosit (P < 0,05), namun tidak berpengaruh pada persentase fertilisasi normal dan polispermi (P > 0,05). Oosit yang dimaturasi pada perlakuan BSA- lalu difertilisasi secara in vitro, persentase total oosit terfertilisasi yang paling tinggi terlihat pada oosit yang dimaturasi dengan sericin 0,1% (84,7% ± 3,5) (P < 0,05) dibandingkan dengan sericin 0,25% (54,8% ± 6,7) dan kontrol (16,5% ± 4,1). Pada kelompok perlakuan BSA+, tidak terdapat perbedaan persentase total oosit yang terfertilisasi, monospermi dan polispermi antar perlakuan (P > 0,05).

Perlakuan

Jumlah oosit

Oosit yang terfertilisasi n (% rata-rata± SEM) BSA

(%)

Sericin

(%) Total Normal Polispermi

BSA - 0 42 7 (16,6 ± 4,1)a 6 (85,7 ± 3,3) 1 (14,3 ± 2,4) 0,1 85 72 (84,7 ± 3,5)b 61 (84,7 ± 2,8) 11 (15,3 ± 3,9) 0,25 85 46 (54,8 ± 6,7)c 39 (88,1 ± 3,3) 7 (11,8 ± 4,0) BSA + 0 85 58 (68,7 ± 4,3) 45 (79,1 ± 3,2) 13 (20,8 ± 5,0) 0,1 85 56 (66,0 ± 2,5) 45 (80,4 ± 3,1) 11 (19,5 ± 5,6) 0,25 85 45 (53,3 ± 7,9) 33 (81,0 ± 2,8) 12 (18,9 ± 3,0)

a

a a b

13

Pembahasan

Sericin dilaporkan memiliki aktivitas antioksidan dan mencegah kerusakan sel akibat radikal bebas melalui mekanisme penghambatan peroksidasi lipid (Kato et al. 1998). Penghambatan peroksidasi lipid melalui peningkatan gugus hidroksil mengindikasikan sericin memiliki aktivitas menangkap ROS yang tinggi (Kato et al. 1998; Chlapanidas et al 2013). Gugus hidroksil pada asam amino menghambat peroksidasi lipid dengan berikatan dengan ROS sehingga menjadi senyawa yang lebih stabil serta dengan cara mengkelat logam reaktif seperti besi (Fe2+) dan tembaga (Cu2+) yang memicu peroksidasi lipid (Patel dan Modasiya 2011; Chlapanidas et al. 2013). Transisi ion logam seperti Fe2+ dan Cu2+ mengkatalisis produksi radikal bebas yang berbahaya (Halliwell dan Gutteridge 1990a). Menurut Minnoti dan August (1989) Fe2+ merupakan element yang bersifat paling merusak (detrimental) terhadap sel, Fe2+ mampu menginduksi superoksidasi anion menjadi radikal hidroksil. Produksi radikal hidroksil yang dikatalisasi oleh Fe2+ akan mengoksidasi lipid dan menyebabkan stres oksidatif Pengikatan logam reaktif oleh hidroksil amino akan mengurangi kereaktifan logam tersebut serta mencegah terjadinya reaksi yang menghasilkan radikal hidroksil (Young dan Woodside 2001). Selanjutnya, potensi sericin sebagai antioksidan dilaporkan dapat meningkatkan proliferasi sel embrio sehingga persentase blastosis yang diproduksi secara in vitro juga meningkat (Isobe et al. 2012). Dalam penelitian ini, sericin ditambahkan ke dalam media maturasi untuk mengevaluasi potensi antioksidan dari sericin, tetapi tidak ditemukan adanya perbedaan yang signifikan antara kelompok oosit yang dimaturasi dengan dan tanpa sericin. Terada et al. (2002) melaporkan sericin memiliki target yang sama dengan BSA pada sel, sehingga kemungkinan terjadi pengaruh yang bersamaan dan tidak saling mendukung (overlapping effect) dalam penambahan sericin ke dalam media dengan BSA. Hal tersebut di atas mungkin juga terjadi pada penelitian ini karena pada saat oosit dimaturasi dalam media dengan sericin tanpa BSA, sericin mampu mendukung oosit untuk berkembang sampai pada fase MII. Oleh karena itu diperlukan penelitian lanjutan tentang konsentrasi antioksidan yang ada di dalam oosit setelah maturasi. Kemungkinan lainnya adalah bahwa dilaporkan oosit masih mempunyai kandungan GSH yang tinggi sehingga masih mampu mentoleransi pembentukan radikal bebas yang meningkat akibat sistem kultur yang digunakan (De Matos et al. 2002).

Sericin dan BSA, keduanya merupakan kelompok protein albumin, menurut Ellmerer et al. (2000) albumin merupakan protein yang berperan sebagai pembawa molekul-molekul penting seperti asam lemak, steroid, serta mampu berinteraksi dengan sel dan meningkatkan pertumbuhan sel. Albumin juga berperan penting dalam melindungi sel dari stres oksidatif akibat radikal bebas. Kelompok protein ini memiliki kemampuan untuk berikatan dengan molekul logam yang bersifat reaktif (Halliwell dan Gutteridge 1990a). Kesamaan target dan peranannya dalam mengurangi stres oksidatif, memungkinkan sericin dapat dijadikan sebagai pengganti BSA. Terada et al. (2002) menjelaskan bahwa, sericin memiliki efek yang sama dengan BSA dan merupakan komponen alternatif yang dapat disuplementasi ke dalam media selain BSA. Selama ini, serum dan BSA merupakan kompenen yang umum ditambahkan ke dalam media untuk memenuhi kebutuhan protein dalam perkembangan oosit (Ali dan Sirard,

14

2002). Namun demikian, serum termasuk didalamnya BSA memiliki efek negatif, keduanya diperoleh dengan cara dipurifikasi dari darah yang memungkinkan terjadinya resiko terkontaminasi oleh patogen dan virus (Thibier, 2006). Oleh karenanya diperlukan penggantian penggunaan serum dan BSA dengan komponen lain yang tetap mampu mencukupi kebutuhan protein untuk perkembangan oosit. Banyak penelitian yang telah melaporkan tentang penggantian serum dan BSA dan penggunaan media tanpa serum (Ali et al. 2002; Summers dan Biggers et al. 2003).

Oosit yang dimaturasi pada media tanpa BSA atau sericin yang mampu berkembang sampai tahap MII hanya 20,6%. Data ini menunjukkan bahwa oosit memerlukan protein dan atau asam amino untuk perkembangannya. Secara in vivo, selama masa perkembangan oosit hingga mencapai embrio akan terpaparkan pada lingkungan dengan level asam amino yang tinggi dalam oviduk dan uterus (Elhassan et al. 2001). Asam amino tertentu pada membran oosit dan embrio, berperan sebagai molekul pembawa asam amino lain melalui membran untuk memenuhi kebutuhan asam amino yang diperlukan untuk sintesis protein (Van Winkle, 2001). Secara spesifik, berbagai asam amino dibutuhkan sebagai substrat untuk sintesis nukleotida (glutamina, aspartat, glisina), GSH (asam glutamat, sisteina, glisina), glikoprotein, asam hyaluronic, dan molekul signal (arginina). Asam amino tersebut juga berperan penting dalam pengaturan pH dan osmolaritas, pengkelat logam berat (glisina) dan donor gugus metil (metionina) (Dumollarad et al. 2007; Sturmey et al. 2008).

Penambahan sericin 0,1% pada penelitian ini memberikan persentase tingkat maturasi dan fertilisasi terbaik. Hal ini mengindikasikan penambahan sericin pada konsentrasi tersebut mampu mencukupi kebutuhan protein yang selama ini diperoleh dari penambahan serum atau BSA. Namun demikian, mekanisme transport seluler dari sericin dalam mendukung perkembangan oosit dan proliferasi sel hingga blastosis belum diketahui. Menurut (Francis et al.2010) transportasi senyawa yang merupakan makromolekul termasuk didalamnya albuminoid protein ke dalam sel dapat berlangsung dengan mekanisme endositosis. Mayor dan Pragono (2007) telah melaporkan bahwa protein-protein yang ada di dalam media dapat ditransportasikan dengan mekanisme endositosis, yaitu difasilitasi oleh vesikula-vesikula. Secara in vitro partikel berukuran besar dapat digunakan oleh sel dengan cara fagositosis dan atau dengan makropinositosis dari cairan media. Kedua mekanime tersebut bertujuan untuk meregulasi formasi dari actin yang ada pada membran. Menurut Lim et al. (2008) makropinositosis merupakan molekul sinyal yang distimulasi oleh growth factor untuk merubah formasi dari actin, perubahan formasi tersebut akan membentuk vesikula yang selanjutnya melakukan fusi dengan membran. Selanjutnya, vesikula intraseluler tersebut akan mengalami fusi dengan vesikula yang ada di lisosom lalu terdegradasi dan melepaskan molekul yang ditransportasikan (Lim et al. 2008; Francis et al. 2010). Lebih lanjut, molekul protein akan masuk ke dalam nukleus melalui transpor aktif dengan melewati nuclear pore complex (NPC) atau berikatan dengan nuclear localization signal untuk berikutnya mengaktifkan berbagai proses yang berlangsung di nukleus dan atau diubah menjadi substrat untuk pembentukan senyawa tertentu (Phillip et al. 1990).

Disisi lain, penambahan sericin dengan konsentrasi tinggi dapat memberikan efek toksik terhadap sel (Terada et al. 2002). Hal ini juga ditemukan

15

pada penelitian ini, dimana terjadi penurunan persentase oosit yang mampu melanjutkan meosis hingga mencapai MII pada konsentrasi sericin 0,25% dan 0,5%. Kelompok protein lainnya yang juga tergolong albuminoid protein yaitu BSA, dilaporkan dapat menyebabkan kerusakan pada sel. Menurut Osman et al. (2012) molekul albumin dalam jumlah yang tinggi dapat menyebabkan kondisi hiperosmotik pada sel, kondisi tersebut berakibat pada terjadinya stres pada membran sel. Apabila stres pada membran berlangsung secara terus menerus maka akan menyebakan kerusakan pada sitoskeleton dan atau gangguan pada sistem regulasi peningkatan volume sel/ regulatory volume increase system (RVI) (Nang et al. 2011).

Suplementasi antioksidan sericin dalam media maturasi pada penelitian ini merupakan upaya untuk meningkatkan tingkat maturasi inti yang pada akhirnya berpengaruh pada keberhasilan fertilisasi. Pada penelitian ini evaluasi keberhasilan fertilisasi dilihat dengan jumlah pembentukan pronukleus dengan kriteria monospemi (2 PN) dan polispermi (>2 PN). Secara umum, persentase tingkat fertilisasi memperlihatkan kecenderungan yang sama dengan tingkat maturasi. Oosit yang dimaturasi dengan media yang ditambahkan sericin 0,1% tanpa BSA menunjukkan persentase tingkat fertilisasi yang paling baik. Hal ini mengindikasikan bahwa sericin pada konsentrasi yang tepat mampu mendukung kompetensi perkembangan oosit hingga membentuk pronukleus.

Persentase oosit yang terfertilisasi oleh lebih dari satu spermatozoa (polispermi) pada penelitian ini mencapai 13,7% - 20,8%. Menurut Crozet et al. (1988) kejadian polispermi pada fertilisasi in vitro domba masih bervariasi, namun relatif tinggi (10-30%) dibandingkan dengan kondisi in vivo. Salah satu penyebab tingginya kejadian polispermi pada fertilisasi in vitro dikarenakan konsentrasi spermatozoa yang digunakan cenderung lebih banyak dibandingkan dengan in vivo (Han et al. 1999; Luisa et al. 2005). Selain itu, kejadian polispermi disebabkan oleh kondisi kultur in vitro yang tidak memungkinkan untuk mencegah terjadinya polipermi, pada kondisi in vivo sekresi dari cairan yang berasal dari sel epitel oviduk akan meregulasi jumlah spermatozoa yang akan berikatan dengan zona pelusida dan mengurangi terjadinya penetrasi oosit oleh lebih dari satu spermatozoa. Lebih lanjut menurut Hai Li et al. (2003) dalam microdroplet spermatozoa untuk fertilisasi in vitro selain terdapat spermatozoa motil juga ditemukan adanya spermatozoa yang sudah mati. Spermatozoa yang telah mati dapat menimbukan kerusakan (detrimental) terhadap oosit, sehingga mengurangi kemampuan oosit untuk melakukan block polispermi (Gill et al. 2003; Hai Li et al. 2003;Luisa et al. 2005).

5 SIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait