ORANG YANG MAHIR MEMBUAT DAN MEMPERBAIKI ALAT-ALAT MUSIK MELAYU
4.3 Bahan-bahan Pembuatan Gendang Melayu
Proses pembuatan gendang Melayu yang dilakukan oleh Yusuf Wibisono telah menggunakan alat-alat modern seperti mesin bubut, sekrap, bor dan sebagainya. Bahan-bahan yang dipakai dalam proses pembuatan gendang ronggeng Melayu ini adalah sebagai berikut (sebagian besar dikutip dari Fadlin 1989).
(i) Bahan untuk membuat badan atau resonator yang disebut baluh, boleh menggunakan beberapa jenis kayu. Yang paling umum adalah kayu batang pohon
kelapa (Cocos nucifera).11 Ini pun ditentukan tingkat ketuaan pohon. Jikalau digunakan batang pohon kelapa yang relatif muda, akan mempermudah proses pembuatannya, namun daya tahannya agak kurang. Sebaliknya jika menggunakan batang pohon kelapa yang sudah berumur tua, akan mudah retak. Untuk memilih bahan-bahan ini, para pembuat gendang umumnya, termasuk Yusuf Wibisono selalu mengikuti kepada aspek kemudahan dalam proses pembuatan, sehingga selalu memilih batang pohon kelapa yang relatif masih muda. Selain pohon kelapa, dipergunakan juga batang pokok mahagoni (Swetenia mahagoni), nangka (Artocarpus integra), rambutan dan lain-lain.
Pada masa sekarang ini, menurut penjelasan Yusuf Wibisono, kayu sebagai bahan dasar pembuatan baluh gendang ini agak sulit diperoleh, karena masalah sosial di Indonesia, yaitu illegal logging (pembalakan liar). Terutama seperti pengadaan kayu mahoni yang biasa diperoleh dari penyalur. Oleh karena itu biaya produksi pun akan berakibat meningkat. Ditambah lagi dengan masalah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang mengakibatkan sering padamnya aliran listrik. Maka hal ini berdampak pula kepada naiknya harga produksi gendang ronggeng Melayu. Hampir semua pembuat gendang ronggeng Melayu di Sumatera Utara mengalami masalah yang sama, dan akhirnya mereka pun menaikkan ongkos produksi ini.
11
Dalam bahasa Melayu di Sumatera Utara, ada beberapa sebutan untuk pohon kelapa ini. Di antaranya adalah nyiur, dalam kalimat misalnya Lihat nen nyiur melambai ditiup angin. Istilah atau sebutan lainnya adalah bahasa Melayu yang dianggap lama, yaitu kelambir yang bermakna pohon kelapa juga. Di Medan ini bahkan ada jalan yang menggunakan nama kelambir.
Bentuk badan gendang yang dipanggil baluh dalam bahasa Melayu ini, umumnya dua, yaitu bentuk konis12 dan bentuk mangkuk (bowl) yang dipotong bahagian bawahnya. Adapun ukurannya berbeda-beda, menurut keinginan si pemesan (pemain gendang), dan fungsinya di dalam ensambel musik Melayu. Biasanya gendang yang berukuran kecil berfungsi sebagai peningkah irama disebut dengan gendang anak, sedangkan yang berukuran besar memainkan irama dan rentak yang tetap (ostinato rhythm) yang disebut gendang induk. Dalam penelitian lapangan, penulis mendapati gendang ronggeng Melayu buatan Yusuf Wibisono yang berukuran kecil dengan garis tengah (diameter) 36 sentimeter sampai 43 sentimeter . Gendang yang berukuran besar berkisar antara 44 sentimeter sampai 48 sentimeter.
Dalam kaitan ini, menurut penjelasan Yusuf Wibisono, para seniman musik di Riau, Jambi atau Palembang biasanya suka yang ukuran besar, sementara para seniman musik di Thailand, Malaysia, Singapura lebih menyukai gendang ronggeng Melayu yang berukuran kecil. Sementera di Medan atau Sumatera Utara sendiri para pemain gendang biasanya menyukai kedua-duanya, artinya dalam satu ensambel ada satu gendang besar dan satu gendang kecil. Hal ini menurut Yusuf Wibisono berkaitan dengan aspek keindahan bunyi yang dihasilkan yang mengikuti sistem estetika masing-masing pemain dalam kebudayaan Melayu secara luas.
12
Yang dimasud bentuk konis (conical) ialah suatu benda yang yang memiliki dua lingkaran dengan diameter yang berbeda ukurannya dan disertai dengan badan dan ketebalan tertentu. Bentuk- bentuk lainya untuk gendang adalah silindrikal, bowl, barel, frame drum, goblet, hourglass, double
Gambar 4.1
Baluh
Sumber Fadlin (1989)
(ii) Bahan yang digunakan sebagai membran (selaput) adalah kulit, yaitu kulit kambing betina yang berusia relatif muda, yaitu berusia sekitar satu sampai dua tahun ketika disembelih. Ini dilakukan para pembuat gendang untuk menentukan ketebalannya. Kambing yang muda mempunyai kulit yang lebih tipis, sebaliknya kambing yang berusia tua saat dipotong, kulitnya akan lebih tebal. Kulit kambing ini sebelum dipasangkan ke baluh terlebih dahulu diproses. Menurut tradisi terdapat dua macam pemrosesannya: pertama, kulit yang menurut istilahnya
disebut kulit mentah adalah kulit yang diproses melalui pencukuran pada saat kulit tersebut masih dalam keadaan baru disembelih dan masih basah. Selanjutnya kulit tersebut dijemur sehingga kering dengan cara merentangkannya di dinding rumah atau direntangkan dengan menggunakan alat perentang lainnya yang biasanya terbuat dari kayu. Sekalipun kulit tersebut telah dikeringkan, namun pada saat dipasangkan terlebih dehulu direndam dengan air yang bercampur kaporit (cairan pemutih pakaian) selama lebih kurang dua belas jam lamanya. Tujuan proses ini adalah untuk meningkatkan kualitas atau daya tahan kulit, selain itu akan memudahkan proses pemasangannya.
Yang kedua adalah kulit yang menurut istilah dalam tradisi pembuatan gendang disebut “kulit masak." Kulit ini dengan mudah dapat diproleh di perusahaan-perusahaan kulit yang ada di Medan. Melihat kondisi kualitasnya, jelas kulit jenis ini diproses dengan pendekatan yang profesional. Sayang sekali, sejauh ini peneliti belum berhasil mengumpulkan data-data yang berkaitan dengen bahan kimia (chemistry) yang dipakai untuk pemrosesan kulit tersebut. Dalam hal ini peneliti tidak memaksakan kepada informan-informan yang dijumpai untuk menanyakan hal tersebut kerana menurut mereka hal ini adalah rahasia dagang (bisnis).
Terlepas dari problem ini, mengikut tradisi pemain gendang Melayu, kualitas bunyi yang menggunakan dua jenis kulit ini jelas berbeda, dan masing- masing pemain gendang mempunyai selera yang berbeda-beda pula. Ada penggendang yang menyenangi kulit mentah dan adapula yang menyenangi kulit
masak. Alasan mereka mengenai ini, berhubungan dengan kualitas yang dihasilkan oleh kedua jenis kulit tersebut. Menurut mereka gendang yang menggunakan kulit mentah dapat menghasilkan “suara ideal" yang disebut "berdenting." Sebaliknya bunyi yang dihasilkan kulit masak dianggap tidak selamanya sesuai dan menyenangkan, biasanya mereka menyebutnya dengan istilah “suara gendang kulit mati." (Fadlin 1998:45)
Ukuran kulit ditentukan oleh besar dan kecilnya ukuran badan gendang (baluh) tersebut. Namun biasanya diameternya dilebihkan antara sembilan sentimeter sampai dua belas sentimeter dari ukuran lubang baluh. Gunanya adalah untuk membungkus kawat atau rotan pengikatan yang juga berfungsi sebagai tempat tautan untuk meregangkan kulit. Sejauh ini tidak ada istilah di dalam tradisi Melayu yang dipakai untuk memberi nama kulit tersebut. Berbeda halnya bahan- bahan lainnya, rotan, yang setelah dibentuk mempunyai istilah khusus sesuai dengan kegunaan dan fungsinya. Yusuf Wibisono menggunakan jenis kulit mentah tersebut, yang ia peroleh dari pemasok kulit langganannya di daerah Jalan Perniagaan Medan.
(iii) Rotan yang berfungsi sebagai galang (bingkai yang berbentuk lingkaran dipakai sebagai tali pengikat yang diletakkan di sebelah bawah gendang),
sentung (rotan yang bentuknya lebih kecil dari galang,yang berfungsi sebagai pasak
yang diselipkan dibahagian bawah di antara baluh dan galang, selain itu berfungsi untuk merenggangkan kulit atau membran), tarih (tali yang terbuat dari bahan kulit rotan yang dikupas), dan sedak (rotan yang berukuran kecil berdiameter 3 milimeter
sampai 1 sentimeter, yang berfungsi untuk melaras gendang yang diselipkan di antara baluh dan kulit).
Rotan besar berukuran garis menengah dua setengah sentimeter yang menurut jenisnya disebut rotan mano, kegunaannya dalam pembuatan gendang: pertama untuk tempat tumpuan “tali pengikat" dan diletakkan di sebelah bawah gendang yang disebut bingkai, tali juga dikenal dengan istilah galang (perlu dicatat bahwa pengertian bingkai di sini tidak berarti segi empat melainkan berbentuk lingkaran; selanjutnya untuk bingkai peneliti hanya memakai istilah galang). Dari jenis rotan yang sama yaitu rotan mano, dengan ukuran relatif lebih kecil daripada
galang diperoleh bagian gendang lainnya yang disebut sentung. Kegunaannya
adalah sebagai pasak yang diselipkan di bagian bawah, di antara baluh dengan
galang. Sentung juga berfungsi untuk meregangkan kulit (membran).
Bahan rotan lainnya adalah tali pengikat di antara kulit (membran) dengan
galang. Tali yang terbuat dari bahan-bahan kulit rotan yang dikupas ini disebut tarih. Rotan yang dianggap mempunyai daya tahan yang sangat kuat menurut para
pembuat gendang adalah rotan sabut, yaitu rotan yang berukuran kecil berdiameter tiga milimeter sampai satu sentimeter; dan dalam gendang Melayu, rotan ini juga berfungsi untuk melaras (mentuning) gendang yang diselipkan di antara baluh dengan kulit, dan disebut sedak.
Di samping bahan-bahan yang diuraikan di atas, masih ada kawat yang juga dipakai untuk pembuatan gendang yaitu untuk mengikat kulit gendang ke baluh. Akan tetapi kawat ini dianggap mempunyai kelemahan. Hal ini disebabkan karena
kawat tersebut akan berkarat dalam waktu tertentu, akibatnya kulit akan menjadi rusak. Kerena keadaan ini para pembuat gendang lebih senang menggantikannya dengan rotan bulat yang berukuran kecil.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bahan-bahan gendang terdiri dari: (1) kayu batang pohon kelapa sebagai baluh; (2) kulit yang berfungsi sebagai membran; (3) rotan yang berfungsi sebagai galang, sentung, tarih dan sedak. Ketiga bahan dasar ini menjadi bahagian yang integral dalm konteks pembuatan gendang ronggeng Melayu, termasuk yang dilakukan oleh Yusuf Wibisono. Setelah disediakan bahan-bahan dan peralatan untuk pembuatan gendang ronggeng Melayu, maka selanjutnya akan diuraikan proses pembuatannya.
Gambar 4.2
Menganyam Rotan Pengikat Kulit ke Baluh
4.3Proses Pembuatan Gendang Ronggeng Melayu
Selain menyediakan bahan-bahan pembuatan gendang ronggeng Melayu seperti disebutkan di atas, para pembuat gendang ronggeng ini juga biasanya menyediakan peralatan pembuatan. Sekalipun pada masa kini kecenderungan para pembuat gendang adalah menggunakan alat-alat modern (seperti mesin bubut, sekrap, bor/gerudi, dan sebagainya), namun peneliti dalam kajian ini membatasi pendeskripsian pembuatan gendang secara tradisional. Peralatan pembuatan gendang yang dipakai dengan cara tradisional ini adalah: parang, kapak, pisau, pahat dan martil (hammer). Dengan menggunakan alat-alat yang sederhana ini pembuatan gendang akan memakan masa yang lama. Hal ini disebabkan faktor kesulitan pada saat pembuatan baluh.
Menurut penjelasan para informan, termasuk Yusuf Wibisono apabila ia mengerjakan dengan cara sungguh-sungguh, baluh hanya boleh diselesaikan dalam waktu tiga hari. Sekalipun ia tidak menjelaskan dengan terperinci, dapat penulis kemukakan bahwa waktu pembuatan baluh tidak kurang daripada delapan belas sampai dua puluh empat jam masa kerja. Lembatnya masa kerja ini disebabkan oleh sikap si pembuat gendang yang sangat hati-hati untuk menghindari baluh jangan sampai pecah. Hal ini terutama pada saat membentuk bahagian dalam gendang.
Proses awal pembuatan baluh adalah dengan mengikis bahagian luarnya. Prosedur ini tidak bergantung kepada kering atau basahnya batang pohon kelapa. Alat yang biasa dipakai untuk mengikis ini biasanya kapak dan parang. Setelah
bahagian luar terbentuk (baik konis maupun bentuk mangkuk), maka dilanjutkan dengan mengorek bahagian dalam (internal) dengan menggunakan pahat. Di sinilah letak faktor kesulitan dalam pembuatan baluh. Bila tidak dilakukan dengan cara yang berhati-hati akan membuat baluh ini pecah. Hal ini juga disebabkan oleh sifat serat (urat) batang pokok kelapa yang pada dasarnya tidak saling mengikat atau tegak lurus secara paralel. Hal ini tentu tidak sama dengen jenis kayu lain misalnya kayu mahagoni atau kayu nangka yang mempunyai alur serat kayu yang sangat kompleks dan relatif keras.
Setelah baluh selesai dikerjakan tahapan berikutnya adalah pembuatan
galang. Cara membentuk galang menjadi berbentuk lingkaran adalah dengan
memanaskan rotan mano tersebut dengan cara memanggangnya di atas perapian sambil melengkungkan rotan tersebut sampai menjadi lingkaran. Kemudian ujungnya disatukan, setelah dipotong serong. Begitu juga proses ini terjadi pada saat pembuatan sentung yang berfungsi sebagai pasak untuk meregangkan (melaras atau mentuning) gendang ronggeng Melayu. Akan tetapi kedua ujungnya tidak disatukan.
Pemasangan kulit dilakukan dengan beberapa tahapan. Setelah kulit direndam seperti uraian di atas, maka kulit tersebut direntangkan menutupi lubang
baluh yang berdiameter besar. Kemudian kulit tersebut diikat dengan kawat atau
rotan. Kawat atau rotan tersebut kemudian dibalut oleh sisa kulit yang menjurai di sisi gendang.
Gambar 3. Membentuk Galang
Sumber: Fadlin (1989)
Tahapan berikutnya adalah "menganyam" tali kulit rotan untuk menghubungkan kawat atau rotan pengikat tersebut dengan galang di lubang bahagian bawah baluh. Dengan teknis penganyaman tertentu, rotan ini tidak hanya berfungsi sebagai tali peregang antara kulit dengan galang, melainkan juga memberikan kesan keindahan. Anyaman yang melilit galang adalah dengan menggunakan simpul hidup atau dikenal dengan istilah simpul jerat. Dengan meminjam teori-teori pendeskripsian alat musik yang lazim dipakai dalam
etnomusikologi, maka teknik lacing (ikatan) ini disebut berbentuk huruf I. Apabila gendang tersebut diletakkan dengan cara menelungkupkan lubang bahagian bawah menutupi lantai, rotan pengikat ini dapat merupakan garis-garis vertikal. Jarak antara satu pasang tarih dengan pasangan tarih lainnya adalah satu setengah sampai dua setengah sentimeter. Secara relatif, empat puluh satu sampai lima puluh lima pasang, bergantung kepada kejarangan jarak.
Gambar 4.
Penganyaman Tarih dari Kulit ke Galang
Gambar 4.
Rotan Pengikat Kulit ke Baluh oleh Yusuf Wibisono
Selepas proses pengikatan selesai, maka sentung yang berfungsi sebagai pasak diselipkan di antara baluh dengan galang. Untuk menghasilkan bunyi yang baik masih diperlukan sebuah rotan yang berdiameter tiga milimeter. Selain itu, untuk menghias gendang agar kelihatan lebih indah, dan sekaligus berfungsi untuk
menutupi sentung digunakan kulit rotan yang dijalin menyerupai anyaman tikar. Begitu juga halnya di bahagian atasnya yaitu di bawah lipatan kulit.
Gambar 6. Teknis Ikatan Tarih
Gambar 7.
Ukiran Ornamen pada Baluh dan Jalinan Rotan
Yusuf Wibisono melakukan semua kegiatan sebagai pengrajin dan pembuat gendang Melayu ini secara sendiri tanpa di bantu oleh satu orang pun. Karena menurut beliau gendang yang dibuatnya harus dikerjakan secara bertahap dan harus
benar-benar dikerjakan agar gendang yang dihasilkan berkualitas. Dan semua gendang buatan Yusuf Wibisono adalah gendang yang berkualitas dan telah dikenal sampai ke luar negeri.