DI SUMATERA UTARA
2.4 Masyarakat Jawa di Sumatera Utara
Akhir abad ke- 19 sampai awal abad ke- 20 merupakan dimana masyarakat Jawa datang dan memasuki wilayah Sumatera Utara dengan menjadi kuli kontrak (koeli contarct). Kuli kontrak merupakan struktur perburuhan yang mengharuskan pekerjaanya terikat perjanjian untuk bekerja pada pemerintah Kolonial maupun perusahaan swasta milik asing dengan syarat dan aturan tertentu.
Pada tahun 1863, Jacobus Nienhuys, seorang pengusaha Belanda yang telah lama tinggal di Batavia, datang ke Deli dan mendapat kontrak dari Sultan Deli untuk menanam tembakau selama 20 tahun di Sumatera Timur. Nienhuys mulai membuka sebuah ladang di Martubung dengan 88 orang kuli Cina dan 23 kuli Melayu (Sinar 2006:207). Hasil tembakau dari kebun Martubung ini mendapat sambutan yang baik oleh Belanda karena dianggap tembakau yang berkualitas sangat baik (van Papenrecht 1927 dalam Sinar 2006:207). Pada tahun 1866, Janssen dan Clemen memberikan bantuan modal kepada Neienhuys untuk mendirikan sebuah perusahaan perkebunan tembakau yang diberi nama Deli Maatschapij.
Karena pada saat itu pasar tembakau di Eropa sedang naik, Nienhuys memperpanjang kontraknya dengan Sultan Deli pada tanggal 8 April 1867 selama
99 tahun. Nienhuys juga membuka perkebunan tembakaunya yang lain di Sunggal pada tahun 1869 dan Sungai Besar dan Kelumpang pada tahun 1875, karena semakin luas dan semakin bertambahnya kebun sehingga memerlukan semakin banyak kuli.
Sejak dibukanya perkebunan pertama, kebutuhan kuli dapat dipenuhi dengan mendatangkan kuli orang Cina dan India dari P. Pinang dan Singapura. Saat itu Cina sedang mengalami kelebihan penduduk dan krisis pengangguran yang sangat parah. Sehingga perusahaan-perusahaan swasta di Hindia-Belanda pada saat itu dengan mudah mengimpor kuli melalui agen-agen dan makelar buruh.
Tahun-tahun berikutnya merupakan tahun yang penting bagi perkembangan perkebunan tembakau di Sumatera Timur. Sampai tahun 1884 telah berdiri 12 perusahaan perkebunan tembakau di wilayah Marindal, Medan, Petersburg, Tanjung Jati, Bandar Khalipah, Deli Tua, Kwala Begumit, Bekalia, Belawan, Lubuk Dalam, Buluh Cina, dan Kota Limbaru. Asosiasi dari ke dua belas perusahaan perkebunan ini dinamakan Kongsi XII. Perkembangan ini semakin memantapkan Sumatera Timur sebagai produsen tembakau terbesar di Asia (Sinar 2006:311).
Namun perkembangan ini tidak diimbangi dengan peningkatan taraf hidup para kuli bahkan kehidupan kuli kontrak ini sangat memprihatinkan. Mereka mendapat perlakuan buruk dari tuan kebun. Kuli-kuli dimaki dan dipukuli jika mereka malas bekerja. Jika mereka berusaha untuk kabur, maka polisi akan mengejar mereka layaknya seperti binatang buruan (Soegiri dan Cahyono, 2005:8).
Pesta yang sengaja dibuat oleh tuan kebun ketika setelah gajian membuat para kuli menghabiskan gajinya untuk berjudi, mabuk, dan prostitusi. Setelah itu kuli-kuli tersebut terpaksa harus berhutang pada makelar dengan bunga yang tinggi (lihat Breman 1997 dan Aulia 2006).
Jika seorang kuli melarikan diri, maka dia akan dikejar-kejar oleh opas dan penduduk setempat demi mendapatkan imbalan yang besar jika mendapatkannya, kuli yang tertangkap akan mendapatkan hukuman yang berat. Mereka akan dicambuk dan dipukul. (Seogiri dan Cahyono, 2005:10).
Hal ini yang menyebabkan pemerintah Cina berusaha mengurangi ekspor kuli kontraknya. Pada tahun 1874 pemerintah Cina mengeluarkan larangan migrasi kuli yang dikontrak pemerintah Kolonial Belanda. Pemerintah Inggris pun mulai berusaha melarang pengiriman kuli dari India. Maka perusahaan-perusahaan perkebunan di Sumatera Timur mulai melirik-lirik kuli dari Jawa. Kuli-kuli tersebut dibujuk dengan janji-janji oleh makelar agar mau dikontrak. Pada tahun 1875 sebanyak 250 kuli dari Jawa tiba di Deli. Rombongan kuli yang pertama sekali tiba di Sumatera Timur dan yang membuka gelombang-gelombang migrasi kuli kontrak selanjutnya.
Dengan adanya peraturan Koeli Ordonnatie10, mempermudah para makelar untuk merekrut lagi kuli-kuli dari Jawa (Sinar, 2006:314). Pada tahun 1880, lebih
10
Koeli Ordonnatie adalah undang-undang tenaga kerja di mana dalam undang-undang tersebut diuraikan bahwa majikan harus menyediakan perumahan dan pemeliharaan kesehatan yang memadai, buruh hanya terikat dengan perkebunan selama kontrak yang berlaku. Kontrak harus ditandatangani di hadapan hakim dan dapat dipertikaian di pengadilan. Namun dalam prakteknya koeli ordonnatie disalahgunakan menjadi media untuk membujuk para kuli agar mau dikontrak dan memberi keleluasaan pada makelar buruh untuk merekrut para kuli.
banyak lagi kuli dari Jawa didatangkan. Sepanjang tahun 1880 sampai 1884, telah ada sekitar 30.000 kuli kontrak dari Jawa didatangkan.
Orang Jawa meskipun pada umumnya diketahui sebagai penghuni daerah agraris, mereka sejak zaman dahulu melakukan perpindahan dalam berbagai bentuk seperti perdagangan, pendudukan kerajaan-kerajaan Jawa, migrasi secara spontan, dan sebagainya. Sebagai pedagang, umpamanya, mereka terkenal bergerak antar pulau-pulau di nusantara, terutama membawa beras dan tekstil (Sartono Kartodirdjo 1988:10).
Kerajaan-kerajaan yang muncul di pulau Sumatera di antaranya banyak yang silsilah raja-raja atau golongan bangsawannya merupakan keturunan orang- orang Jawa atau yang menjalin hubungan perkawinan dengan pihak Kerajaan Jawa. Begitu juga Kerajaan Malaka. Kampung Jawa di sana-sini dibangun sejak zaman dahulu, seperti di Daerah Deli terdapat pemukiman orang Jawa kira-kira 500 orang yang disebut Kota Jawa (Luckman Sinar 1985:6), dan daerah Asahan sekitar Pasir Putih dikatakan sebagai pemukiman orang Jawa beberapa abad sebelum kunjungan John Anderson (Andesron 1971:136).
Di Semenanjung Malaya juga terdapat sejumlah migran orang Jawa yang kini sudah turun-temurun dan menetap di situ. Di samping itu, perpindahan orang Jawa secara besar-besaran dan mencolok dalam sejarah Indonesia adalah yang didatangkan oleh pihak perkebunan sebagai tenaga kerja di Sumatera Timur. Sejak tahun 1880, dengan menggantikan kuli orang Tionghoa mereka mulai dibawa ke Sumatera Timur dan setelah tahun 1910 kedatangan mereka
bertambah banyak. Mereka awalnya terikat dengan sebuah kontrak dengan disertai peraturan-peraturan tentang hukuman atas mereka yang disebut Penale Sanctie. Namun demikian, sejak tahun 1911 dengan tiba-tiba kontrak kerja tersebut didasarkan pada kontrak (Reid 1987:82-83).
Pada masa kini, perpindahan orang Jawa dilaksanakan dalam rangka kebijakan transmigrasi yang disponsori oleh pemerintah. Trasmigrasi ini dilakukan karena alasan pemerataan penduduk dan padatnya penduduk di pulau Jawa, kekurangan lahan pertanian, dan kemiskinan di pedesaan Jawa pada umumnya. Orang Jawa pada hakekatnya mempunyai watak yang senantiasa berusaha menyesuaikan diri dengan orang di lingkungannya, dan mementingkan keharmonisan. Meskipun orang-orang Jawa yang lahir di Sumatera sering disebut Pujakesuma watak dan kebiasaan yang berdasarkan budaya mereka sendiri tetap disampaikan dari orang tuanya. Mereka mengatasi ego dan nafsu demi ketenangan hidup dan kebijaksanaan, dan sukarela bekerja untuk umum dengan cara gotong royong. Para migran orang Jawa yang umumnya terdiri dari petani kecil hidup sederhana, dan menerima kesengsaraan dengan menganggap hidupnya memang begitu. Namun tak lupa mempertahankan nama dan harga dirinya (Sadarmo dan R. Suyono 1985:2).
2.4.1 Sistem Kekerabatan
Orang-orang Jawa di Sumatera Timur tetap mempertahankan sistem kekerabatan, yang disebut bebrayat. Menurut informasi Bapak Subanindyo
Hadiluwih, seorang tokoh masyarakat Jawa di Sumatera Utara, bebrayat berasal dari kata brayat yang berarti keluarga mendapat suku kata awalan (prefik) be. Dalam budaya Jawa brayat berarti sistem bekeluarga dalam arti luas, yaitu keluarga inti, batih, atau keluarga budaya. Sistem kekerabatan ini dilandasi oleh sikap bergotong-royong, dengan konsep sepi ing pamrih, rame ing gawe, artinya tidak mengharapkan balasan pamrih, dan mengutamakan kerja bersama-sama. Dengan menggunakan sistem ini, mereka meyakini bahwa semua manusia adalah keluarga, namun dalam penjabaran tanggung jawab selalu dikonsepkan dengan paseduluran: (1) sedulur tunggal kringkel merupakan saudara lahir dari ibu dan ayah yang sama; (2) sedulur kuwalon yaitu saudara lain ayah tetapi ibunya sama, atau sebaliknya saudara lain ibu nemun ayahnya sama, dan saudara tiri; (3)
sedulur misanan merupakan saudara satu nenek atau satu kakek, yang mencakup
kandung atau tiri; (4) sedulur mindoan adalah saudara satu buyut (orang tau kakek atau nenek) berlaku baik untuk saudara kandung atau tiri, (5) sedulur
mentelu yaitu saudara satu canggah (buyutnya ayah dan ibu) baik saudara kandung
atau tiri; (6) bala yaitu yang menurut anggapan mereka masih saudara, namun dari silsilah sudah tidak terlacak kedudukannya, dan disebabkan oleh interaksi mereka, karena kebutuhan yang erat, misalnya jenis pekerjaan sama, sering berkomunikasi, dan sejenisnya; (7) tangga yang konsepnya tidak terbatas pada letak rumah yang berdekatan saja, tetapi dalam kepentingan tertentu mereka saling membutuhkan.
2.4.2 Transformasi Kebudayaan
Orang-orang Jawa yang ada di Sumatera Timur, secara umum mengalami transformasi-transformasi budaya. Di satu sisi mereka ingin mempertahankan budaya leluhurnya yang berasal dari pulau Jawa, di sisi lain mereka juga harus berinteraksi dengan berbagai etnik setempat dan pendatang lainnya di Sumatera Timur yang pesat perkembangan ekonominya. Orang- orang Jawa ini mata pencaharian utamanya secara umum adalah petani dengan menggarap lahan untuk perkebunan kelapa sawit, geta, koko atau juga kelapa. Di antara tokoh-tokoh masyarakat Jawa yang terkenal di Sumatera Utara di antaranya adalah Drs. Kasim Siyo, M.Si., sebagai presiden Pujakesuma Sumatera Utara, kemudian Wagirin Arman seorang tokoh politik dan ali parlemen di Kabupaten Deli Serang, Djati Oetomo, manejer radio Pasopati Medan yang menyiarkan khas budaya Jawa, Prof. Dr. Subanindyo Hadiluwih, S.H., seniman, dosen, dan penulis terkemuka mengenai kebudayaan Jawa di Sumatera Utara, dan banyak lagi yang lainnya.
Di bidang kesenian, umumnya kebudayaan Melayu di kawasan ini paling banyak didukung oleh seniman beretnik Jawa ini, di samping seniman Melayu itu sendiri. Di antara seniman-seniman seni Melayu yang berasal daripada etnik Jawa adalah: Sirtoyono yang bergabung dengan kumpulan kesenian Patria, ia seniman serba bisa, pemusik, penari, koreografer, pelakon, dan penulis drama sekaligus. Seterusnya adalah Sumardi, sebagai pemain akordion Melayu yang handal. Di sisi
lain ada pula Retno Ayumi, seorang penulis tari dan penari Melayu terkemuka di Sumatera Utara.