• Tidak ada hasil yang ditemukan

Zat Aditif bahan pangan menurut Komite Gabungan Ahli FAO (Food and Agriculture Organization) dan WHO (World Health Organization) merupakan suatu substansi bukan gizi yang ditambahkan ke dalam bahan pangan dengan sengaja, yang pada umumnya dalam jumlah kecil, untuk memperbaiki penampakan, cita rasa, tekstur atau sifat-sifat penyimpanannya (Desrosier, 1988). Zat aditif yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari- hari ialah bahan pengawet kimia.

Menurut Buckle et al. (1987), bahan-bahan pengawet kimia adalah salah satu kelompok dari sejumlah besar bahan-bahan kimia yang baik ditambahkan dengan sengaja kedalam bahan pangan atau ada dalam bahan pangan sebagai akibat dari perlakuan prapengolahan, pengolahan atau penyimpanan. Pengawet kimia didefenisikan oleh FDA (Food and Drug Administration) sebagai semua bahan kimia yang bila ditambahkan pada pangan cenderung untuk mencegah atau menghambat kerusakan

(deteriorasi), tetapi tidak termasuk garam dapur, gula, rempah atau minyak yang diekstrak dari rempah, bahan yang ditambahan pada makanan dengan pemaparan secara langsung terhadap asap kayu atau bahan-bahan kimia yang diaplikasikan untuk kemampuan inseksidal atau herbisidalnya (Desrosier, 1988).

Pengawet adalah bahan tambahan pangan yang dapat mencegah atau menghambat fermentasi, pengasam, dan peruraian lain terhadap pangan yang disebabkan oleh mikroorganisme (Winarno dan Rahayu, 1994). Bahan tambahan pangan ini biasanya ditambahkan ke dalam pangan yang mudah rusak, atau pangan yang disukai sebagai medium tumbuhnya bakteri atau kapang. Pertumbuhan bakteri dicegah atau dihambat tergantung dari jumlah pengawet yang ditambahkan dan juga pH atau keasaman dari pangan.

Pengawet digunakan untuk mencegah atau menghambat kerusakan kimia maupun biologis makanan. Bahan aditif yang digunakan untuk mencegah kerusakan biologis disebut antimikroba (Davidson dan Branen, 1993). Zat anti mikroba adalah senyawa biologis atau kimia yang dapat menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroba (Pelczar dan Reid, 1972).

Zat anti mikroba dapat bersifat bakterisidal (membunuh bakteri), bakteriostatik (menghambat pertumbuhan bakteri), fungisidal (membunuh kapang), fungistatik (menghambat pertumbuhan kapang), germisidal

(menghambat germinasi spora bakteri), dan lain sebagainya (Fardiaz, 1992). Umumnya bahan pengawet yang dipakai dalam bahan makanan hanya bersifat bakteriostatik. Menurut Pelczar dan Reid (1972), mekanisme penghambatan pertumbuhan mikroba oleh senyawa anti mikroba adalah sebagai berikut : (1)merusak dinding sel sehingga menyebabkan lisis dan menghambat sintesis

komponen selnya

(2)mengganggu permeabilitas membran sitoplasma sehingga terjadi kebocoran zat nutrisi dalam sel

(3)denaturasi protein

(4)merusak sistem metabolisme dalam sel dengan cara menghambat kerja enzim intraseluler

Menurut Frazier dan Westhoff (1988), ada beberapa faktor yang mempengaruhi efektivitas mekanisme senyawa anti mikroba yaitu: (1)jenis, jumlah, umur, dan keadaan mikroba

(2)konsentrasi zat anti mikroba (3)suhu dan waktu kontak

(4)sifat fisiko kimia substrat seperti pH, kadar air, tegangan permukaan, jenis dan jumlah komponen yang ada dan sebagainya

Seleksi penggunaan antimikroba yang tepat tergantung pada beberapa faktor, termasuk zat antimikroba dan zat kimia yang terkandung, komposisi produk pangan, sistem pengawetan selain bahan kimia yang digunakan pada produk, tipe, karateristik dan jumlah mikroorganisme, keamanan antimikroba dan efektivitas biaya penggunaan antimikroba. Bahan pengawet kimia yang digunakan pada penelitian ini adalah parabens, asam benzoat dan kalium sorbat. Berikut akan dijelaskan mengenai sifat dan karakteritik dari ketiga jenis pengawet tersebut.

1. Parabens

Alkil (metil, etil, propil, butil, dan heptil) ester dari asam p- hidroksi benzoat dikenal sebagai paraben. Dibanyak negara, tiga komponen fenolik, metil, propil, dan heptil ester dari asam p- hidroksibenzoat (paraben) diizinkan untuk ditambahkan langsung pada makanan sebagai antimikroba (Davidson, 1993). Paraben bersifat tidak berwarna, tidak berbau (kecuali metil paraben), tidak berasa, relatif tidak higroskopik, dan bukan merupakan komponen volatil (Davidson dan Juneja, 1990). Paraben biasa dipasarkan dalam bentuk bubuk putih (Davidson, 1993). Salah satu bentuk paraben yang banyak dijual di pasaran adalah metil paraben atau lebih dikenal dengan nama dagang nipagin. Nipagin biasa dijual dengan harga cukup mahal yaitu sekitar Rp 100.000/kg. Rumus struktur paraben dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Rumus struktur metil paraben (A) dan propil paraben (B)

Ester dari asam p-hidroksibenzoat memiliki spektrum aktivitas anti mikroba yang luas. Paraben memiliki nilai pKa yang tinggi yaitu sebesar 8.5 (Booth dan Kroll, 1989). Paraben efektif pada kondisi pH asam maupun basa (Davidson dan Juneja, 1990). Menurut Davidson (1993), paraben efektif pada pH 3-8. Dibandingkan dengan kelemahan asam sebagai pengawet, paraben efektif secara signifikan pada konsentrasi yang lebih rendah (Eklund, 1985).

Alkil ester dari paraben sebagian besar tidak terdisosiasi sempurna pada kondisi netral (Booth dan Kroll, 1989). Aktivitas penghambatan paraben tidak tergantung pada pH, walaupun beberapa paraben aktivitas penghambat pertumbuhannya meningkat pada pH yang lebih rendah

(Eklund, 1985). Aktivitasnya semakin tinggi dengan meningkatnya panjang rantai alkil esternya tetapi kelarutannya menurun (Booth dan Kroll, 1989).

Menurut Davidson dan Juneja (1990), mekanisme penghambatan mikroba oleh paraben ialah pengaruh yang diberikan pada membran sitoplasma dari mikroba. Paraben mampu menghambat trasport membran dan sistem transport elektron. Paraben juga berpengaruh langsung pada sintesis RNA, DNA dan protein (Eklund, 1985).

Penggunaan paraben sebagai tambahan makanan diperbolehkan dengan batas maksimal penambahan 0.1 % (Davidson dan Juneja, 1990). Menurut Departemen Kesehatan RI (1988), kadar penggunaan metil paraben yang diijinkan adalah 0.1 g/kg untuk kecap, minuman ringan, acar ketimun dalam botol, margarin, padatan sari nanas, dan saus tomat. Paraben memiliki bahaya keracunan yang rendah. Paraben dengan cepat dapat dihidrolisis di hati dan ginjal menjadi asam p-hidoksihipurat kemudian diekskresikan melalui urin (Davidson dan Juneja, 1990). Konsumsi paraben berlebih akan menyebabkan penumpukan asam p- hidoksihipurat di hati dan ginjal sehingga kondisinya menjadi asam (Davidson, 1993).

2. Asam Benzoat

Asam benzoat dengan rumus empiris C7H6O2 merupakan padatan berupa kristal putih yang umum digunakan sebagai antimikroba. Asam benzoat terbentuk secara alami pada kranberri (Desrosier, 1988), cengkeh dan kayu manis (Winarno, 1997). Asam benzoat dan garam-garamnya dan derivat-derivatnya adalah suatu kelompok zat pengawet kimia yang sudah digunakan secara luas dan sering digunakan pada makanan yang asam (Winarno, 1997). Asam benzoat biasa dijual dengan harga yang cukup murah yaitu sekitar Rp 17.000/kg. Rumus struktur asam benzoat dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Rumus struktur asam benzoat

Asam benzoat lebih efektif terhadap kamir dan bakteri daripada kapang dan pada konsentrasi diatas 25 mg/l asam yang tidak terurai akan menghambat pertumbuhan kapang (Buckle et al., 1987). Benzoat efektif pada pH 2.5-4.0 (Winarno, 1997). Menurut Desrosier (1988), benzoat kurang efektif dalam suatu bahan pangan yang mempunyai pH 7.0 dibandingkan dengan bahan pangan asam yang mempunyai pH mendekati 3.0.

Asam benzoat banyak beredar dalam bentuk garam-garamnya seperti natrium benzoat, kalium benzoat dan amonium benzoat. Garam natrium dan amonium benzoat dapat digunakan, akan tetapi molekul- molekul asam benzoat itu sendiri yang mempunyai sifat yang mematikan Molekul-molekul yang tidak mengalami disosiasi diduga merupakan komponen yang aktif (Desrosier, 1988). Jumlah komponen asam benzoat yang tidak berdisosiasi ini tergantung pada tingkat pH bahan pangan yang bersangkutan. Pengaruh pH pada penguraian asam benzoat dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Pengaruh pH pada penguraian asam benzoat*

pH Asam benzoat yang tidak terurai (%) 3 4 5 6 7 94 60 13 1.5 0.15 * (Buckle et al., 1987)

Pada umumnya aktivitas germisidal dari asam benzoat meningkat menjadi 10 kali dalam substrat yang mempunyai pH rendah daripada substrat yang mempunyai pH tinggi. Bahkan dalam suatu bahan pangan yang sangat asam daya mematikannya berada pada tingkatan 100 kali lebih efektif daripada dalam bahan pangan yang sedikit alkalis (Desrosier, 1988).

Sebagai pengawet pada makanan, ada beberapa keuntungan penggunaan asam benzoat yaitu tidak berwarna dan mudah larut dalam produk. Asam benzoat harus digunakan dengan konsentrasi serendah mungkin untuk menghindari kemungkinan terjadi penyimpangan flavor (off-flavor) pada produk. Kadar penggunaan asam benzoat yang diijinkan adalah 0.1 g/kg untuk makanan lain selain kecap, minuman ringan, acar ketimun dalam botol, margarin, padatan sari nanas, dan saus tomat (Departemen Kesehatan RI, 1988). Sedangkan menurut SNI (1995), untuk makanan yang disebutkan diatas dan makanan lain batas penggunaan maksimum adalah 1 g/kg.

Asam benzoat memiliki bahaya keracunan yang rendah karena dalam tubuh manusia sudah ada mekanisme detoksifikasi benzoat. Asam benzoat akan berkonjugasi dengan glisin didalam ginjal membentuk asam hipurat yang kemudian diekskresikan melalui urin (Davidson dan Juneja, 1990). Konsumsi asam benzoat berlebih akan menyebabkan ginjal menjadi asam karena adanya penumpukan asam hipurat (Chipley, 1993)

3. Kalium Sorbat

Asam sorbat (trans, trans-2,4-hexadienoic acid) yang memiliki rumus empiris C6H8O2 merupakan padatan putih, berbentuk kristal dan berbau agak asam. Menurut Desrosier (1988), asam sorbat termasuk golongan asam lemak rantai panjang yang tidak jenuh yang efektif sebagai agensia fungistatis (menghambat pertumbuhan jamur). Secara komersil asam sorbat tersedia dalam bentuk garamnya termasuk kalsium, natrium dan kalium sorbat.

Kalium sorbat dengan rumus empiris C6H7O2K merupakan garam kalium dari asam sorbat. Kalium sorbat lebih umum digunakan daripada asam sorbat karena kelarutannya yang lebih tinggi dalam air daripada asam sorbat (Merck Indeks, 1989). Kalium sorbat akan menjadi asam sorbat begitu terlarut dalam air. Kalium sorbat memiliki 74% aktivitas antimikroba asam sorbat sehingga membutuhkan konsentrasi lebih tinggi untuk mencapai hasil yang sama dengan asam sorbat murni. (Sofos dan Busta, 1993). Kalium sorbat biasa dijual dengan harga cukup mahal yaitu sekitar Rp 90.000/kg. Rumus struktur kalium sorbat dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Rumus struktur kalium sorbat

Secara umum sorbat dapat menghambat mikroba gram positif, gram negatif, katalase positif, katalase negatif, aerobik dan anaerobik, mesofilik dan psikrofilik serta bakteri patogen (Sofos dan Busta, 1993). Pada produk dengan pertumbuhan kapang yang rendah, asam sorbat dapat digunakan sebagai penghambat pertumbuhan kapang (fungistatis), bahkan membunuh kapang (fungisida), tetapi dengan adanya jumlah pertumbuhan kapang yang tinggi, asam sorbat dimetabolisasikan dan tidak memperlihatkan daya hambat (Desrosier, 1988).

Mekanisme penghambatan mikroba oleh asam sorbat adalah mencegah kerja enzim dehidrogenase terhadap asam lemak. Struktur α- diena pada asam sorbat dapat mencegah oksidasi asam lemak oleh enzim tersebut (Winarno, 1997). Menurut Sofos dan Busta (1993), penghambatan bakteri oleh sorbat yaitu dengan memperpanjang fase adaptasi (lag phase) pertumbuhan mikroba, dengan pengaruh yang lebih kecil pada laju

pertumbuhan. Sorbat pada bakteri pembentuk spora mempengaruhi germinasi spora, pertumbuhan dan atau pemisahan sel vegetatif.

Jumlah kebutuhan asam sorbat untuk pengawetan suatu produk tergantung dari beberapa faktor termasuk komposisi produk (pH, Aw), jumlah kontaminasi awal, pengemas atau suhu penyimpanan. Sebagai pengawet berbasis asam, asam sorbat dan kalium sorbat lebih baik digunakan dibawah pH 5-6. Kalium sorbat efektif hingga pH 6.5 tetapi efektifitasnya meningkat dengan menurunnya pH (Sofos dan Busta, 1993). Pengaruh pH pada penguraian asam sorbat dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Pengaruh pH pada penguraian asam sorbat*

pH Asam sorbat yang tidak terurai (%) 3 4 5 6 7 98 86 37 6 0.6 * (Buckle et al., 1987)

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/ Menkes/ Per/ IX/ 1988, kalium sorbat digunakan pada sediaan keju olahan dengan batas maksimum 3 g/kg. Sedangkan pada produk keju, margarin, acar ketimun dalam botol, jem dan jeli serta pekatan sari nenas batas maksimum penggunaannya sebesar 1g/kg.

Sorbat dapat menyebabkan iritasi kulit pada beberapa orang yang sensitif dengan konsentrasi sekitar 1% dan beberapa yang sangat sensitif mengalami iritasi pada konsentrasi lebih rendah (Sofos dan Busta, 1993). Mengingat rata-rata penggunaan sorbat pada proses pangan adalah 0,1- 0,3%, potensi iritasi karena adanya sorbat pada produk komersil sangat kecil (Davidson dan Branen, 1993).

C. KERUSAKAN TAHU

Tahu termasuk bahan pangan yang sangat mudah rusak sehingga dapat digolongkan ke dalam High Perisable Food (Shurtleff dan Aoyagi, 1979). Penyimpanan pada suhu rendah (15oC) hanya dapat mempertahankan kesegaran tahu 1-2 hari (Dotson et al.,1977). Hasil penelitian Prastawa et al. (1980), menunjukkan bahwa tahu yang dibiarkan pada udara terbuka tanpa perendaman di dalam air hanya bertahan sekitar 10 jam. Secara organoleptik, tanda-tanda yang dapat digunakan untuk mengetahui telah terjadinya kerusakan tahu antara lain adalah permukaan tahu berlendir, tekstur menjadi lunak, kekompakan berkurang, warna dan penampakan tidak cerah, dan kadang-kadang berjamur pada permukaannya (Prastawa et al., 1980).

Kerusakan tahu mempunyai kaitan erat dengan aktivitas mikroorganisme. Menurut Frazier dan Westhoff (1978), mikroorganisme penyebab kerusakan pada bahan pangan yang berkadar air tinggi dengan pH sekitar netral terutama adalah golongan bakteri. Shurtleff dan Aoyagi (1979), menyatakan bahwa penyebab utama kerusakan tahu adalah bakteri. Terdapatnya mikroba pada tahu yang baru saja keluar dari proses produksi tidak dapat dihindari, meskipun proses pembuatannya telah dilakukan dengan sanitasi yang baik. Jumlah koloni bakteri sering mencapai 100 000 per gram (Shurtleff dan Aoyagi,1979).

Sehubungan dengan aktivitas bakteri, kerusakan tahu dapat tergantung dari beberapa faktor antara lain : 1) adanya bakteri yang tahan panas seperti golongan termodurik, 2) adanya kontaminan yang mengkontaminasi tahu selama proses pembuatan sampai tahu siap dikonsumsi, 3) suhu penyimpanan, dan 4) adanya enzim tahan panas yang dihasilkan oleh golongan bakteri tertentu (Shurtleff dan Aoyagi, 1979).

III. BAHAN DAN METODE

Dokumen terkait