• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TI JAUA PUSTAKA

2.1.2 Bahan Pengkapsul

Enkapsulasi probiotik biasa dilakukan dalam sistem polimer yang bersifat lembut dan tidak beracun ( ) (Anal dan Singh 2007). Polimer yang biasa digunakan dalam proses enkapsulasi bakteri probiotik adalah polisakarida yang diekstrak dari rumput laut (karagenan dan alginat), tumbuhan (pati dan turunannya, gum arab), atau bakteri (gellan dan xanthan), dan protein hewan (kasein, whey, skim, gelatin) (Rokka dan Rantamäki 2010).

Biopolimer yang paling sering digunakan untuk enkapsulasi bakteri probiotik adalah alginat. Keuntungan penggunaan alginat sebagai bahan pengkapsul adalah tidak toksik, membentuk matriks secara lembut dengan CaCl2 yang dapat menjerap material sensitif seperti sel bakteri probiotik, serta sel dapat (Kailasapthy 2002).

2.1.2.1 Alginat

Alginat tergolong salah satu contoh hidrokoloid alami. Alginat merupakan kopolimer rantai lurus dari residu asam β4(144)4D4manuronat (M) dan asam α4(144)4L4guloronat (G) yang membentuk homopolimer M atau G dan blok heteropolimer MG (Cardenas . 2003). Struktur molekul alginat dapat dilihat pada Gambar 2. Alginat telah digunakan secara luas untuk enkapsulasi probiotik skala laboratorium (Rokka dan Rantamäki 2010). Garam alginat larut dalam air, tetapi mengendap dan membentuk jel pada pH lebih rendah dari tiga. Alginat dapat membentuk jel (formasi ), film, manik ( ), pelet, mikropartikel, dan nano partikel (Sarmento . 2007).

6

Penambahan kation divalen (misalnya Ca2+) yang berfungsi sebagai penaut silang antar molekul alginat, akan menyebabkan terjadinya gelatinisasi yang akan membentuk jel matriks kalsium alginat. Kapsul kalsium alginat sangat berpori yang memungkinkan air dapat berdifusi keluar masuk matriks (Rokka dan Rantamäki 2010). Ikatan yang terbentuk antara Ca2+ dengan alginat dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Pengaruh kation Ca2+ terhadap struktur alginat (blog.khymos.org)

Penggunaan alginat sebagai bahan enkapsulasi sering dikombinasikan dengan bahan lainnya, diantaranya dengan penambahan prebiotik (Hi4Maize) (Sultana . 2000, Homayouni . 2008a), terigu dan polard (Widodo . 2003) sebagai bahan pengisi ( ), chitosan sebagai (Krasaekoopt . 2004), dan pektin untuk membentuk kompleks alginat4pektin yang lebih kuat (Castilla . 2010).

2.1.2.2 , dan

Selain bahan berbasis polisakarida, bahan berbasis protein juga sering digunakan pada proses enkapsulasi bakteri probiotik (Rokka dan Rantamäki 2010). Bahan berbasis protein seperti gelatin, skim, whey, dan digunakan sebagai bahan pembawa ( ) pada enkapsulasi probiotik menggunakan teknik ( . 2003, Picot dan Lacroix 2004, Triana 2006). Penggunaan bahan berbasis protein sebagai bahan enkapsulasi pada teknik dikarenakan sifatnya yang memiliki kemampuan mengemulsi serta mampu melindungi sel bakteri dari panas ( ). Bakteri yang dienkapsulasi dengan teknik akan sempurna di dalam produk susu fermentasi (Krasaekoopt . 2003). Susu skim adalah bagian susu yang tertinggal setelah krim diambil sebagian atau seluruhnya. Susu skim mengandung semua komponen gizi dari susu kecuali lemak dan vitamin yang larut dalam lemak (Buckle . 1987). Karena lemaknya telah dipisahkan, susu skim hanya mengandung 0,5 – 2,0% lemak (Varnam dan Sutherland 1994).

Protein susu merupakan penyusun terbesar pada susu skim. Protein susu dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu kasein dan whey. Kasein merupakan fraksi protein yang menggumpal ketika susu diasamkan pada pH 4,6 pada suhu sekitar 30 oC, sedangkan fraksi yang tertinggal setelah pengendapan kasein disebut whey. Pada susu sapi dan kerbau, komposisi kasein dan whey adalah berkisar 80:20 (Fox dan McSweeney 1998).

Kasein sangat stabil terhadap suhu tinggi. Pemanasan pada suhu 100 oC selama 24 jam atau pemanasan suhu 140 oC selama 20 menit tidak menyebabkan terjadinya koagulasi. Berbeda dengan whey yang terdenaturasi sempurna pada pemanasan 90 oC selama 10 menit. Kasein merupakan fosfoprotein yang mengandung 0,85% fosfor, sedangkan whey tidak mengandung fosfor (Fox dan McSweeney 1998).

Salah satu produk turunan kasein adalah .

diproduksi dari susu skim yang diasamkan hingga pH 4,6. Pada pH ini, senyawa kompleks dari kalsium fosfat larut dan kasein menggumpal (presipitasi). Untuk menghilangkan garam, laktosa, dan whey, kasein yang terpresipitasi dilarutkan kembali dengan menambahkan senyawa alkali

7

(NaOH) hingga pH ~ 8,5 (Buckle . 1987) untuk menghasilkan produk . Setelah itu dikeringkan menggunakan untuk mendapatkan bentuk serbuk.

kering biasanya mengandung 90 – 94% protein, 3 – 5% kadar air, 6 – 7% abu, dan 0,7 – 1,0% lemak (Bassette dan Acosta 1988).

Whey merupakan bagian cair dari susu atau serum susu yang dipisahkan dari dalam pembuatan keju dan pembuatan kasein. Whey mengandung semua komponen susu kecuali kasein. Whey terdiri atas protein susu terlarut, laktosa, vitamin, dan mineral. Protein whey terdiri atas α4laktalbumin dan β4laktoglubolin (Mulvihill dan Grufferty 1997). Berdasarkan proses koagulasi kasein, whey dibedakan menjadi (rennet whey), yaitu hasil koagulasi kasein secara enzimatis dan , yaitu koagulasi kasein menggunakan asam.

Beberapa produk turunan kasein dan whey yang telah dikomersialkan, diproduksi dari susu skim atau whey. Produk berbasis protein ini digunakan sebagai bahan tambahan pada industri pangan. Kasein dan umumnya dibuat dari susu skim yang ditambahkan asam klorida atau asam sulfat atau melalui fermentasi asam laktat. Setelah dicapai titik isoelektrik, kasein dinetralkan kembali untuk menghasilkan produk . Protein yang tersisa dalam whey setelah kasein dipisahkan dari susu dimanfaatkan kembali untuk memproduksi

melalui presipitasi dengan penambahan polifosfat atau senyawa anion polivalen, ultrafiltrasi, adsorpsi penukar ion, filtrasi jel, atau presipitasi menggunakan kombinasi asam dan panas. juga diproduksi dengan mengombinasikan proses elektrodialisis, pemekatan, kristalisasi laktosa, dan pengeringan (Morr dan Richter 1988). Perbedaan komposisi

susu sapi, skim, , dan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komponen susu sapi, skim, , dan

Komponen Susu sapia Skim bubuka a (WPC 35)b

Air (%) 87,4 3,0 5,0 4,8

Lemak (%) 3,5 0,9 1,2 4,2

Protein (%) 3,5 35,9 89,0 35,5

Laktosa (%) 4,8 52,2 0,3 47,5

Abu (%) 0,7 8,0 4,5 8,0

Sumber : a Tamime dan Robinson (1989) b

Early (1998)

2.2 VIABILITAS PROBIOTIK TERE KAPSULASI

Upaya untuk meningkatkan viabilitas probiotik telah banyak dilakukan. Peningkatan viabilitas probiotik selama proses produksi, penyimpanan, dan terhadap kondisi pencernaan banyak dilakukan dengan penggunaan , dan alginat ataupun dengan menggunakan prebiotik.

Capela . (2006) dalam penelitiannya melakukan enkapsulasi dan dengan teknik emulsi menggunakan 3% alginat dan CaCl2 0,1 M pada 200 rpm. Proses enkapsulasi memberikan peningkatan viabilitas probiotik pada selama pengeringan beku dan setelah penyimpanan selama enam bulan pada suhu 4 dan 21 oC.

Krasaekoopt . (2006) dalam penelitiannya melakukan enkapsulasi 547 (koleksi kultur di University of Queensland, Australia), 01 (produksi Chr. Hansen Pty Ltd., Australia), dan ATTC 1994 (CSIRO starter koleksi kultur, Australia) dengan teknik ekstrusi menggunakan alginat 2% yang diberi perlakuan khusus dengan penyalutan citosan 0,4% untuk meningkatkan stabilitas . Viabilitas sel terenkapsulasi lebih

8

besar 1 siklus log selama penyimpanan 4 minggu dibandingkan dengan sel bebas (tidak dienkapsulasi).

Purwandhani . (2007) dalam penelitiannya melakukan enkapsulasi SNP 2 dengan teknik ekstrusi dan emulsi satu lapis menggunakan alginat 3% dan CaCl2 0,1 M serta enkapsulasi dua lapis ( ) dengan penambahan skim sebagai lapis pertama. Enkapsulasi dengan metode emulsi menghasilkan ukuran yang lebih kecil (50 – 100 Km) dibandingkan metode ekstrusi (2,5 – 4mm). Sel probiotik terenkapsulasi memiliki ketahanan terhadap panas yang lebih tinggi dibandingkan sel bebas. Metode ekstrusi menghasilkan ketahan sel yang lebih tinggi dibandingkan metode emulsi.

Widodo . (2003) dalam penelitiannya melakukan enkapsulasi teknik ekstrusi menggunakan alginat 1% dengan penambahan bahan pengisi ( ) 2% dan tepung terigu 2% dengan konsentrasi larutan CaCl2 5%. Enkapsulasi dengan

menghasilkan viabilitas lebih tinggi (2,4 x 108 sel/ml) dibandingkan dengan tepung terigu (9,3 x 107 sel/ml). Laju pengasaman dalam mencapai pH 4,5 pada terenkapsulasi lebih lambat 1 jam dibandingkan bebas.

Sultana . (2000) dalam penelitiannya melakukan enkapsulasi dan dengan teknik emulsi menggunakan alginat 2%, CaCl2 0,1 M, dan dengan perlakuan khusus berupa penambahan prebiotik pati jagung (Hi4maize, Starch Australia Ltd) sebagai sebanyak 0 – 4%. Penambahan (Hi4maize) meningkatkan rendemen dan jumlah . yang terenkapsulasi dalam . Namun, yang terlalu banyak (4%) akan menurunkan rendemen .

Nazzaro . (2009) dalam penelitiannya melakukan enkapsulasi

dengan teknik ekstrusi menggunakan alginat 2%, CaCl2 0,05 M, dan dengan perlakuan khusus berupa penambahan 1% prebiotik inulin dan 0,15% xanthan gum. terenkapsulasi memiliki kemampuan tumbuh baik dalam jus wortel dan bertahan selama 8 minggu penyimpanan pada suhu 4 oC. Enkapsulasi mampu meningkatkan viabilitas sel selama fermentasi dan penyimpanan (5,59 x 1012 dan 4,35 x 1010 untuk probiotik terenkapsulasi vs 4,47 x 1010 dan 2,08 x 108 untuk probiotik bebas). Selain itu enkapsulasi dengan alginate4inulin4xanthan gum mampu meningkatkan viabilitas sel secara signifikan dibandingkan sel bebas.

Castilla . (2010) melakukan penelitian mengenai sifat tekstur dari

terenkapsulasi dengan teknik ekstrusi menggunakan alginat4pektin (1:2, 1:4, dan 1:6). Hasil menunjukan bahwa diameter meningkat seiring dengan peningkatan proporsi pektin. Penggunaan alginat : pektin dengan perbandingan 1:4 dan 1:6 mampu meningkatkan viabilitas sel pada simulasi kondisi pencernaan.

Tingkat kematian . yang terenkapsulasi dalam kalsium4alginat menurun secara proporsional dengan meningkatnya konsentrasi alginat (Lee dan Heo 2000). Mandal . (2006) melakukan penelitian mengenai pengaruh konsentrasi natrium alginat 0%, 2%, 3% dan 4% terhadap viabilitas . NCDC 298 pada pH 1,5. Hasil yang didapatkan menunjukan viabilitas . NCDC 298 meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi alginat dan alginat 4% memiliki viabilitas tertinggi.

2.3 BAKTERI ASAM LAKTAT

Bakteri asam laktat (BAL) merupakan bakteri gram positif yang berbentuk batang atau bulat, tidak membentuk spora, serta memproduksi asam laktat sebagai produk utama selama proses fermentasi. Genus BAL yang biasa digunakan dalam produk pangan adalah genus

9

" # , , $ , Vagococcus, dan Weissella

(Axelsson 2004). Selama proses fermentasi, BAL dapat menghasilkan metabolit4metabolit yang menimbulkan perubahan rasa dan bentuk atau tekstur makanan serta menghambat pertumbuhan bakteri pathogen dan pembusuk. Metabolit4metabolit tersebut antara lain asam organik (asam laktat dan asam asetat), diasetil, hidrogen peroksida dan bakteriosin yang semuanya memiliki aktivitas antimikroba (Shah 2007).

Berdasarkan fermentasi heksosa dan jenis asam yang dihasilkan terdapat dua kelompok BAL, yaitu homofermentatif dan heterofermentatif. Pada kelompok homofermentatif, asam laktat merupakan satu4satunya produk hasil fermentasi, sedangkan pada kelompok heterofermentatif selain memproduksi asam laktat juga memproduksi etanol dan asam asetat sebagai produk samping (Fardiaz 1992). Metabolisme glukosa oleh bakteri asam laktat dapat terjadi melalui dua jalur fermentasi, yaitu fermentasi homolaktat (glikolisis atau ! % ) yang menghasilkan asam laktat dan fermentasi heterolaktat yang menghasilkan asam laktat dan etanol (Axelsson 2004, Tamime . 2006).

Bakteri asam laktat homofermentatif sering digunakan dalam pengawetan pangan karena produksi asam laktat dalam jumlah besar dan mampu menghambat bakteri penyebab kerusakan makanan dan pathogen lain. Bakteri asam laktat heterofermentatif dimanfaatkan dalam pembentukan flavor dan komponen aroma seperti asetaldehid dan diasetil, tetapi kedua jenis bakteri asam laktat tersebut mempunyai kemampuan menghasilkan asam organik, hidrogen peroksida dan bakteriosin (Gomes dan Malcata 1999).

Peranan utama BAL dalam industri pangan adalah sebagai kultur produk4 produk yang melibatkan proses fermentasi atau produk pangan fungsional yang memiliki pengaruh positif terhadap kesehatan (Tamime . 2006). Selain memiliki efek mengawetkan pada produk fermentasi yang diinginkan, beberapa bakteri asam laktat yang tergolong bakteri probiotik dapat memberikan pengaruh positif terhadap kesehatan dan menjaga keseimbangan mikroba alami yang tinggal di dalam tubuh manusia (Fuller 1992). Beberapa kriteria yang harus dimiliki oleh bakteri probiotik adalah tahan terhadap asam lambung, tahan terhadap garam empedu, bersifat antagonis terhadap bakteri pathogen, aman digunakan oleh manusia, memproduksi senyawa anti bakteri, mempunyai sifat penempelan pada usus manusia, berkolonisasi dalam saluran usus manusia, aman dalam makanan (Reid 1999). Sejumlah genus bakteri dan khamir yang digunakan sebagai probiotik adalah , ,

# , dan ! , tetapi spesies utama yang dipercaya memiliki

karakteristik probiotik adalah . , ., dan (Shah 2007).

Bakteri asam laktat yang digunakan sebagai dalam produk4produk susu fermentasi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu mesofilik dan termofilik. Kultur mesofilik ditumbuhkan pada suhu 10 – 40 oC dengan suhu optimum 30 oC, sedangkan kultur termofilik memiliki suhu optimum pertumbuhan antara 40 – 50 oC. Beberapa spesies yang

tergolong mesofilik adalah ssp. ssp. , dan

. Kelompok bakteri termofilik dibagi menjadi dua genus, yaitu dan (Mäkinen dan Bigret 2004).

merupakan salah satu bakteri probiotik yang telah dimanfaatkan secara komersil untuk memproduksi susu fermentasi. Beberapa . memproduksi diasetil dari sitrat, spesies ini digunakan sebagai dalam produk susu fermentasi di Jepang, yaitu Yakult (Mäkinen dan Bigret 2004).

merupakan bakteri gram positif yang berbentuk batang, , tidak membentuk spora dan bersifat heterofermentatif. tergolong

10

mikroaerofilik dengan suhu pertumbuhan optimum 30 oC dengan rentang 10 oC hingga 40 oC. Beberapa mampu bertahan pada suhu 63 oC (Foster . 1961). Keberadaan

dalam saluran pencernaan penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem mikroba dalam usus. tergolong bakteri probiotik karena mampu bertahan dalam lambung dan cairan empedu, mampu mencapai dan berkoloni pada selaput lendir usus kecil, menghasilkan asam laktat yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri merugikan dan memacu pertumbuhan bakteri seperti (Widodo 2003).

Pada proses enkapsulasi probiotik, bakteri ditumbuhkan terlebih dahulu didalam media MRS broth pada kondisi optimum pertumbuhannya untuk memproduksi sel bakteri. Waktu panen bakteri probiotik untuk dienkapsulasi adalah pada akhir fase eksponensial (log) atau awal memasuki fase stasioner karena memiliki jumlah populasi yang optimum. Menurut Stanley (1998), pada fase stasioner jumlah sel bakteri asam laktat mencapai 108 – 109 cfu/ml. Ding dan

Shah (2008) menumbuhkan beberapa spesies dan pada MRS broth

selama 18 jam pada suhu 37 oC sebelum dienkapsulasi. Penelitian yang dilakukan Harmayani

. (2001) menumbuhkan sp. Dad 13, D2 dan dalam

MRS broth selama 16 – 18 jam (saat memasuki awal fase stasioner). Kondisi inkubasi untuk menumbuhkan bakteri asam laktat pada kultur kerja ( & ) adalah selama 4 – 6 jam pada suhu 37 – 42 oC (Stanley 1998). Pembuat kultur kerja sebagai dadih susu sapi dilakukan dengan menginokulasikan ke dalam susu sapi segar yang telah disterilisasi dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 4 jam, yaitu hingga akhir fase lag atau awal memasuki fase log (Suprihanto 2009).

2.4 DADIH

Dadih merupakan produk olahan susu tradisional Indonesia khas daerah Sumatra Barat. Dadih tergolong susu fermentasi seperti dan kefir (Sirait 1993). Akan tetapi, dadih terbuat dari susu kerbau yang difermentasi secara alami pada suhu ruang standar selama dua malam (Sugitha 1995). Dadih yang diproduksi di Sumatra Barat, dibuat dengan bahan dasar susu kerbau yang difermantasi di dalam tabung bambu dan tanpa penambahan lalu ditutup dengan daun pisang. Fermentasi pada dadih diperkirakan dilakukan oleh mikroorganisme yang dapat berasal dari bambu (Azria 1986, Zakaria . 1998), daun pisang serta susu kerbau (Yudoamijoyo . 1983).

Gambar 4. Proses pembuatan dadih tradisional (Sirait 1993)

Sampai saat ini dadih masih dibuat secara tradisional dan belum ada standar proses pembuatan, sehingga pada setiap pembuatan dadih di berbagai daerah diperoleh dadih dengan kualitas yang berbeda4beda dalam hal rasa, aroma, dan tekstur (Sirait 1993). Proses pembuatan dadih secara tradisional dapat dilihat pada Gambar 4. Produksi dadih secara tradisional tidak

Inkubasi pada suhu ruang selama 48 jam Susu

kerbau

Bambu Ditutup dengan

11

ditambahkan , sehingga konsistensi rasa, aroma dan tekstur sulit untuk dijaga pada produksi berikutnya. Menurut Sirat (1993), dadih yang baik adalah berwarna putih dan memiliki aroma dan konsistensi seperti susu asam ( ).

Proses terjadinya dadih melibatkan berbagai macam mikroorganisme. Secara tradisional, kemungkinan terbesar mikroorganisme tersebut berasal dari bambu yang digunakan sebagai wadah pembuatan dadih atau dari susu kerbau. Bambu yang umum digunakan untuk pembuatan dadih adalah bambu gombong (' ) dan bambu ampel ( ) (Azria 1986). Hasil isolasi BAL pada dadih terdiri dari 36 strain genus

, , , dan (Ngatirah . 2000, Pato 2003).

Berbeda dengan pada umumnya yang terbuat dari susu sapi, bahan baku utama dadih terbuat dari susu kerbau. Susu kerbau memiliki konsentrasi total padatan yang lebih tinggi dibandingkan susu sapi. Perbedaan komposisi susu sapi dengan susu kerbau dapat dilihat pada Tabel 3. Unsur utama pada susu adalah laktosa yang mempunyai peranan penting dalam industri susu. Hal ini dikarenakan laktosa mudah diuraikan oleh bakteri (Eckles . 1984). Tabel 3. Komposisi susu sapi dan susu kerbau dari beberapa spesies (dalam %)

Spesies

Dalam susu Dalam total padatan

Air Le4 mak

Padatan non lemak Le4 mak

Padatan non lemak

Pro Lak Abu Pro Lak Abu

Sapi 87,20 3,70 3,50 4,90 0,70 28,90 27,34 38,28 5,47 K. Cina 76,80 12,60 3,70 3,70 0,86 54,31 26,03 15,94 3,71 K. Filipina 78,46 10,35 4,32 4,32 0,84 48,05 27,30 20,06 3,90 K. india 82,46 7,38 5,48 5,48 0,78 42,81 20,88 31,78 4,52 Keterangan : K = kerbau, Pro = protein, Lak = laktosa

Sumber : Henderson (1971)

Perbedaan komposisi bahan baku susu fermentasi akan menghasilkan produk dengan komposisi yang berbeda pula. Menurut Yudoamijoyo (1983), dadih memiliki kandungan lemak dan protein yang lebih tinggi dibandingkan yang dibuat dari susu sapi (Tabel 4). Hasil analisis proksimat pada dadih yang dilakukan Sirait . (1984) menunjukan hasil yang bervariasi dengan rataan kadar air 82,10%, kadar protein 6,99%, kadar lemak 8,08%, dan pH 4,99.

Tabel 4. Komposisi kimia dan dadih (dalam %)

pH T.A Protein Lemak Karbo4

hidrat Abu Kadar air

( 3,4 1,490 3,91 0,07 4,32 0,92 90,78

Dadih A 4,1 1,278 5,93 5,42 3,34 0,96 84,35

Dadih B 4,0 1,320 7,57 6,48 3,79 1,13 81,03

Keterangan : T.A = (sebagai asam laktat) Kadar air = 100% 4 total bahan kering (%)

A dan B adalah sampel dadih yang berasal dari daerah berbeda Sumber : Yudoamijoyo . (1983)

Berbagai teknologi untuk meningkatkan kualitas dadih telah dilakukan. Taufik (2004) melakukan modifikasi proses produksi dadih dengan menggunakan susu sapi yang dievaporasi hingga 50% volume awal untuk mendapatkan total padatan yang menyerupai susu kerbau dan

12

III. METODE PE ELITIA

3.1 WAKTU DA TEMPAT PE ELITIA

Penelitian ini dimulai pada bulan Maret hingga Oktober 2010. Penelitian dilakukan di laboratorium mikrobiologi dan laboratorium kimia Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor.

3.2 ALAT DA BAHA

Peralatan yang digunakan selama proses penelitian meliputi inkubator (Lab Line Instruments Inc., model no. 403 1, USA), autoclave (Hirayama, model HA 24, Jepang),

(Esco Micro Pte Ltd., Model no. EHC 6, Singapura), vortex, , (Cimarec® 3, model no. SP47230 26, USA), pipet mikro, tip, ose, jangka sorong, timbangan analitik (Precisa Instruments Ltd, Switzerland), pH meter (Eutech Instrumen pH 510, Malaysia), cawan petri, desikator, oven (Lab Line Instrumen, Inc, model no. 3476 M 1. USA), rheometer (Brookfield, model no. DV III+), peralatan gelas (erlenmayer, tabung pengencer, gelas piala, buret, gelas ukur, pipet volumetrik, tabung reaksi, pipet tetes, dan labu ukur), lampu spirtus, dan

.

Bahan bahan yang digunakan adalah isolat yang telah diisolasi dari dadih di Kabupaten Sijunjung Sumatra Barat, natrium alginat, (WPC 35, Murray Goulburn Co operative Co. Ltd, Australia), (NatraPro, MG Nutritionals, Murray Goulburn Co operative Co. Ltd, Australia), susu skim bubuk, CaCl2 (Merck), susu sapi segar, buffer fosfat, etanol 70%, NaCl, aquades, NaOH, MRS Agar dan MRS Broth (Pronadisa), Buffer Peptone Water (Oxoid), (Merck), dan glukosa (Merck).

3.3 TAHAPA PE ELITIA

Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu tahap pemilihan komposisi bahan pengkapsul, pengeringan jel kalsium alginat, dan tahap aplikasi terenkapsulasi kering sebagai dadih susu sapi. Masing masing tahapan dirancang untuk mencapai tujuan khusus yang diinginkan. Diagram alir tahapan penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 5.

3.3.1 Pemilihan Komposisi Bahan Pengkapsul

Tujuan tahap ini adalah menentukan komposisi bahan enkapsulasi (biopolimer) yang tepat untuk mengenkapsulasi . dengan teknik ekstrusi. Biopolimer yang digunakan adalah natrium alginat, WPC 35, , dan . WPC 35, , dan digunakan sebagai bahan pengisi.

Tahap ini terdiri atas beberapa kegiatan, yaitu (i) penentuan total padatan bahan pengkapsul, (ii) penentuan perbandingan alginat bahan pengisi, serta (iii) pengujian efektivitas enkapsulasi dan aktivitas metabolisme terenkapsulasi.

13

Gambar 5. Diagram alir tahapan penelitian Mulai

Pemilihan Komposisi Bahan Pengkapsul

Penentuan total biopolimer

Penentuan perbandingan alginat dan bahan pengisi optimum

Pengujian efektivitas enkapsulasi dan aktivitas metabolisme probiotik terenkapsulasi

Total biopolimer optimum

Perbandingan optimum

Komposisi bahan enkapsulasi optimum

Pengeringan Jel Kalsium Alginat

Penentuan waktu pengeringan optimum

Waktu pengeringan optimum

Pembuatan kering terenkapsulasi

terenkapsulasi kering dengan komposisi terbaik

Aplikasi Terenkapsulasi Kering sebagai Dadi Susu Sapi

Selesai Pembuatan dadih susu sapi dengan

inokulasi terenkapsulasi

kering secara langsung

Pembuatan kultur kerja

Dadih susu sapi

Kultur kerja ( cair)

Pembuatan dadih susu sapi

Dadih susu sapi

14

3.3.1.1 Penentuan total biopolimer bahan pengkapsul

Kegiatan ini dilakukan untuk menentukan total padatan (biopolimer) optimum. Biopolimer yang digunakan untuk menentukan total padatan optimum adalah natrium alginat. Pembentukan jel kalsium alginat dilakukan dengan metode ekstrusi (Krasaekoopt . 2003). Pembuatan suspensi bahan pengkapsul dapat dilihat pada Lampiran 1. Sebanyak 20 gram suspensi natrium alginat (2%, 3%, 4%, dan 5% b/b) yang telah didinginkan pada suhu ruang diteteskan dalam 60 ml CaCl2 0,1 M menggunakan berukuran 0,7 mm dengan jarak tetes 1 cm dan diaduk menggunakan dengan kecepatan 150 – 200 rpm. Waktu pengerasan jel dalam larutan CaCl2 0,1 M dilakukan selama 30 menit, kemudian disaring secara steril dan dibilas dengan NaCl 0,85% lalu ditiriskan selama ± 2 menit. Selanjutnya ditimbang. Parameter yang diamati meliputi rendemen ( ), bentuk dan ukuran .

Yield = (massa /massa larutan natrium alginat) 100%

Pada tahap ini, analisis statistik yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktor tunggal ( ), yaitu konsentrasi biopolimer (natrium alginat). Faktor ini terdiri dari empat taraf perlakuan, yaitu alginat 2% (A1), alginat 3% (A2), alginat 4% (A3), dan alginat 5% (A4). Pengulangan dilakukan sebanyak dua kali. Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut :

Yij = µ + Ai + εij

Yij = Pengamatan pada faktor A taraf ke i dan ulangan ke j µ = Rataan umum

Ai = Pengaruh faktor A taraf ke i εij = pengaruh galat percobaan

Untuk mengetahui pengaruh antar taraf tersebut dilakukan analisis ragam (analisis varian) menggunakan tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05). Jika hasilnya berbeda nyata, analisis dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan.

3.3.1.2 Penentuan perbandingan natrium alginat(bahan pengisi optimum

Kegiatan ini dilakukan untuk menentukan perbandingan alginat bahan pengisi yang optimum pada masing masing bahan pengisi. Tahap ini diawali dengan meyiapkan sebanyak 20 gram suspensi bahan pengkapsul yang terdiri atas alginat bahan pengisi dengan perbandingan 1:1, 2:1, dan 3:1 (b/b) dari masing masing bahan pengisi (dengan jumlah total padatan adalah total padatan optimum yang didapat dari tahap 3.3.1.1). Penyiapan atau pembuatan suspensi bahan enkapsulasi dapat dilihat pada Lampiran 1. Selanjutnya dilakukan kegiatan seperti tahap 3.3.1.1.

Pada tahap ini, analisis statistik yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktor tunggal ( ), yaitu komposisi bahan pengkapsul yang terdiri dari natrium alginat dan bahan pengisi. Faktor ini terdiri dari 10 taraf perlakuan, yaitu alginat tanpa bahan pengisi (B1), alginat 1:1 (B2), alginat 2:1 (B3), alginat 3:1 (B4), alginat 1:1 (B5), alginat 2:1 (B6), alginat 3:1 (B7), alginat skim 1:1 (B8), alginat skim 2:1 (B9), alginat skim 3:1 (B10). Pengulangan dilakukan sebanyak dua kali. Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut :

Yij = µ + Bi + εij

Yij = Pengamatan pada faktor B taraf ke i dan ulangan ke j µ = Rataan umum

15

Bi = Pengaruh faktor B taraf ke i εij = pengaruh galat percobaan

Untuk mengetahui pengaruh antar taraf tersebut dilakukan analisis ragam (analisis varian) menggunakan tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05). Jika hasilnya berbeda nyata, analisis dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan.

3.3.1.3 Pengujian efektivitas enkapsulasi dan aktivitas metabolisme

probiotik terenkapsulasi jel kalsium alginat

Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui viabilitas dan efisiensi enkapsulasi serta aktivitas metabolisme terenkapsulasi. Komposisi bahan pengkapsul yang digunakan adalah komposisi optimum yang didapat dari tahap 3.3.1.2. Proses enkapsulasi diawali dengan menyiapkan suspensi sel . di dalam media MRS broth kemudian dilanjutkan dengan proses enkapsulasi. Aktivitas metabolisme probiotik terenkapsulasi dapat diukur melalui kemampuannya mengasamkan susu dengan melihat perubahan pH media fermentasi yang dibandingkan dengan probiotik yang tidak dienkapsulasi (sel bebas) (Sultana . 2000).

Preparasi .isolat terlebih dahulu diaktivasi dalam 10 ml MRS broth sebanyak 2 – 3 kali dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam. Suspensi kultur disimpan dalam pada suhu 4 oC sebagai kultur stok. Suspensi sel yang akan

Dokumen terkait