• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.7 Bahasa

Secara umum bahasa dalam cerpen ”Kemboja Terkulai di Pangkuan”

mudah dimengerti walaupun ada bahasa daerah dan Arab yang digunakan. Pilihan

kata menggunakan bahasa sehari-hari sehingga pembaca mudah mengerti isi dari

cerpen tersebut. Pola kalimatnya juga tidak rumit, pesan cerpen dapat dengan mudah

sampai pada pembaca. Sedangkan gaya semantis terdapat juga dalam cerpen ini. Hal

ini tampak dalam contoh kutipan berikut.

”Enggak tahu, Yah. Biar Ibu tengok dulu,” kata Hj. Aisah. (hlm. 15)

”Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’ uun. Apa kata ayahmu?” (hlm. 16)

”Astagfirullaal azhiim. Ya Tuhan, dosa apa yang telah aku perbuat sehingga harus menerima aib seperti ini?”

”... Tapi kini malah aku sendiri yang kecolongan.” (hlm. 17)

”Nikahkan saja! Toh laki-laki yang menghamilinya bisa dicari. Mumpung masih sebulan kehamilannya. Jadi masyarakat tidak tahu.” (hlm. 18)

”... Tidak ikut. Dia tinggal sama kami. Kami yang merawatnya.” (hlm. 20)

”Apa sih yang dicari oleh Haji Abdullah? Sok pahlawan! Biar dibilang orang yang mengerti agama, tapi dia mengorbankan anak perempuannya,” ujar seorang wanita tokoh gender. (hlm. 21)

”Ahlal khair.” Artinya ahli kebaikan, ahli surga. (hlm. 23)

”Allahumamagfirlaha warhamha wa’ afiha wa’ fu anha. Allahuma la tahrimna ajraha, wala taftinna ba’ daha, waghfirlana walaha.” Artinya, Ya Allah, ampunilah dia, sayangilah dia, maafkanlah dia. Ya Allah, janganlah Engkau haramkan baginya akan pahalany, dan janganlah Engkau biarkan timbul fitnah sesudah kepergiannya, dan ampunilah kami maupun dia. (hlm. 24)

Sedangkan gaya semantis di dalam cerpen ini lebih menggunakan majas

Matahari sore tersaput awan. Angin berdesau kencang. Tak lama kemudian rinai gerimis jatuh membasahi tanah merah itu.

Langit kian gelap. Angin dan hujan menggoyang daun dan bunga kemboja. Tiba-tiba setangkai bunga kemboja jatuh terkulai di pangkua Haji Abdullah. (hlm. 24-25)

Simbol yang digunakan dalam cerpen tersebut adalah setangkai kemboja

yang disimbolkan sebagai tokoh Hanifah. Pengarang memberikan judul bunga

Kemboja dapat dijadikan sebagai simbol.

Bahasa yang digunakan dalam cerpen ”Kemboja Terkulai di Pangkuan”

menggunakan bahasa sehari-hari dan mudah dimengerti oleh pembaca sehingga

pembaca dapat menangkap isi cerita tersebut. Terkadang di dalam cerpen tersebut

sering kali menggunakan bahasa Arab dan bahasa Jawa.

Gaya semantis dalam cerpen tersebut menggunakan majas

perumpamaan dan personifikasi. Simbol yang digunakan dalam cerpen tersebut

adalah setangkai kemboja yang disimbolkan sebagai tokoh Hanifah.

4.8 Amanat

Amanat yang terdapat dalam cerpen ”Kemboja Terkulai di Pangkuan”

Karya Irwan Kelana adalah mengandung nilai moral, nilai agama, dan nilai sosial.

Nilai moral yang ditunjukkan, yaitu sikap terbukanya Hanifah terhadap kedua orang

tuanya Haji Abdullah dan Hj. Aisah yang telah hamil. Selain itu juga, sikap ketakutan

yang terjadi pada Haji Abdullah. Hal ini tampak dalam contoh kutipan berikut.

”Bulan lalu, Bu, waktu kami studi banding ke Bandung dan menginap di sebuah villa. Ifah dan Andri dijebak teman-teman. Minuman kami diberi obat perangsang.” (hlm. 16)

“Astaghfirullaal azhiim. Ya Tuhan, dosa apa yang telah aku perbuat sehingga harus menerima aib seperti ini?”

“Kau benar-benar telah membenamkan muka Ayah ke dalam lumpur. Apa kata orang nanti? Apa kata orang nanti? Haji Abdullah, tokoh terpandang, dan pengurus masjid, anak gadisnya hamil di luar nikah. Padahal selama ini, dalam setiap pengajian masyarakat, aku selalu menekankan kepada setiap orang tua agar menjaga anak gadisnya dengan baik-baik. Tapi kini malah aku sendiri yang kecolongan.”

”Ya Allah, ampunilah aku! Ampunilah kelalaianku!” suara Haji Abdullah bergetar keras. (hlm. 17)

Nilai moral yang dapat disampaikan oleh penulis skripsi terhadap

Cerpen ”Kemboja Terkulai di Pangkuan” karya Irwan Kelana adalah mencegah agar

pembaca khususnya para anak didik tidak meniru setiap kejadian yang terdapat di

dalam cerita. Setiap kejadian yang terdapat di dalam cerita disampaikan oleh

pengarang agar setiap pembaca khususnya peserta anak didik dapat mengambil

makna di balik cerita tersebut.

Nilai agama sangat terlihat dalam cerpen ini. Haji Abdullah merupakan

orang terpandang dan pengurus masjid. Haji Abdullah sangat taat beragama, ia tidak

pernah melanggar hukum agama. Setiap kejadian di dalam cerita ini selalu

menggunakan nilai-nilai agama. Misalnya, pada saat mendengarkan musibah atau

bencana orang selalu mengucapkan kata Astaghfirullaal azhiim. Hal ini tampak

”Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’ uun. Apa kata ayahmu?” (hlm. 16)

”Astagfirullaal azhiim. Ya Tuhan, dosa apa yang telah aku perbuat sehingga harus menerima aib seperti ini?”

”Ya Allah, ampunilah aku! Ampunilah kelalaianku!” suara Haji Abdullah bergetar keras. (hlm. 17)

”...Tapi, lebih baik malu di dunia di hadapan manusia., daripada malu di akhirat di hadapan Tuhan Yang Mahakekal. Aku berdoa kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Pengampun, semoga Dia berkenan menerima tobatmu dan menempatkanmu di surga-Nya yang Mulia.” (hlm. 24-25)

Nilai sosial ditunjukkan dengan beberapa pendapat dari tokoh

masyarakat maupun orang awam yang mengkritik sikap keras Haji Abdullah. Hal ini

tampak dalam contoh kutipan berikut.

”Orang tua yang tidak sayang sama anak,” kata seorang ibu. ”Mestinya dia tidak sekeras itu. Apalagi Ifah adalah anak perempuan tertua dan satu-satunya,” kata yang lain. ”Orang tua yang tega sekali sama anaknya sendiri,” kata seorang anggota legislatif yang baru saja menikahkan anaknya yang hamil di luar nikah. ”Sungguh keterlaluan. Dia lebih suka menanggung malu dirinya maupun keluarganya daripada menikahkan anak gadisnya yang sudah terlanjur hamil.”tegas seorang pegawai kecamatan. ”Haji Abdullah terlalu keras dalam menjalankan agama. Padahal sebagian ulama sepakat bahwa pernikahan wanita yang hamil itu sah, asalkan dengan lelaki yang menghamilinya,” tutur seorang guru mengaji. ”Apa sih yang dicari oleh Haji Abdullah? Sok pahlawan! Biar dibilang orang yang mengerti agama, tapi dia mengorbankan anak perempuannya,” ujar seorang wanita tokoh gender. ”Kasihan Ifah. Semua orang jadi tahu dia hamil di luar nikah,” kata seorang ibu. ”Bagaimana nasib anak yang akan dilahirkannya? Tanpa bapak. Alangkah malang nasibnya. Sungguh kejam kakeknya,” kata seorang tokoh masyarakat. (hlm. 20-21)

Amanat dalam cerpen tersebut memiliki tiga nilai, yaitu nilai moral,

nilai agama, dan nilai sosial. Setiap nilai memiliki amanat tersendiri berdasarkan

Amanat yang dapat disampaikan oleh pembaca secara keseluruhan

adalah penegakan hukum agama yang ditentang oleh masyarakat. Masyarakat lebih

baik melanggar hukum agama daripada harus menanggung malu di dunia.

Dokumen terkait