• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

F. Bahasa Hukum Indonesia

Menurut Hadikusuma (2013: 8), bahasa adalah kata-kata yang digunakan sebagai alat bagi manusia untuk menyatakan atau melukiskan sesuatu kehendak, perasaan, pikiran, pengalaman, terutama dalam hubungannya dengan manusia lain. Jika manusia menyatakan kata-kata dengan ucapan, kita sebut bahasa lisan. Jika kata-kata itu dilukiskan dalam bentuk tulisan kita

sebut bahasa tulisan. Jika kata-kata itu berbentuk lukisan, gambar atau tanda, maka kita sebut bahasa perlambang atau bahasa pertanda.

Menurut Hadikusuma (2013: 2), bahasa hukum Indonesia adalah bahasa Indonesia dalam bidang hukum yang berfungsi mempunyai karakteristik tersendiri. Oleh karena itu, bahasa hukum Indonesia seharusnya memenuhi syarat dan kaidah bahasa Indonesia. Adanya bahasa hukum bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dan mempertahankan kepentingan umum serta kepentingan pribadi dalam masyarakat (Hadikusuma, 2013: 3).

Bahasa hukum Indonesia masih bergaya orde lama karena bahasa hukum dipengaruhi oleh istilah-istilah terjemahan dari bahasa hukum Belanda. Masuknya pengaruh bahasa Belanda terlihat pada bahasa hukum Indonesia. Hal ini terjadi karena sebelum kemerdekaan, bahasa hukum yang digunakan adalah bahasa hukum Belanda atau terjemahan dari hukum yang dibuat dalam bahasa Belanda. Misalnya, terdapat istilah hukum Belanda yang disebut

“strafbaarfeit”, ada yang menerjemahkan peristiwa pidana, ada yang

menerjemahkan perbuatan pidana dan ada pula yang menerjemahkan tindak

pidana, sedangkan maksud yang sebenarnya adalah peristiwa yang dapat

dihukum. Kemudian ada istilah yang telah mendarah daging di kalangan hukum ialah “barangsiapa” merupakan terjemahan dari bahasa hukum Belanda “Hij die”. Istilah “Hij die” bukan berarti “barang kepunyaan

siapa”, tetapi artinya “dia yang berbuat atau dia yang melakukan” atau

Menurut Anton M. Moeliono (dalam Hadikusuma, 2013: 8), ciri-ciri ragam bahasa perundang-undangan adalah sebagai berikut:

1. Lugas dan eksak karena menghindari kesamaran dan ketaksaan; 2. Objektif dan menekan prasangka pribadi;

3. Memberikan definisi yang cermat tentang nama, sifat, kategori yang diselidikinya untuk menghindari kesimpangsiuran;

4. Tidak beremosi dan menjauhkan taksiran yang bersensasi;

5. Cenderung membakukan makna dan kata-katanya, ungkapannya dan gaya paparannya berdasarkan konvensi;

6. Tidak dogmatis atau fanatik;

7. Bercorak hemat, hanya kata yang diperlukan dalam penggunaannya; 8. Bentuk, makna, dan fungsinya lebih mantap dan stabil.

Praktisi hukum Todung Mulya Lubis mengatakan bahwa kesulitan untuk mengerti bahasa hukum adalah karena bahasa hukum itu bersifat eksoteris. Eksoteris maksudnya adalah hanya dapat dimengerti oleh mereka yang membuatnya saja.

Berikut ini akan dipaparkan kalimat dan paragraf dalam bahasa hukum Indonesia.

1. Kalimat dalam Bahasa Hukum Indonesia

Menurut Matanggui (2013: 105-106), bahasa hukum tidak mempunyai kaidah khusus mengenai berapa seharusnya jumlah maksimum kata dalam sebuah kalimat. Jika ditetapkan jumlahnya justru menyulitkan pengguna

bahasa, termasuk perumus perundang-undangan. Sedangkan menurut Hadikusuma (2013: 5), bahasa hukum mempunyai sifat-sifat khusus yang tidak mudah dipahami oleh masyarakat. Kekhususan tersebut menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang umum dalam bahasa Indonesia. Misalnya, seperti yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto (dalam Hadikusuma, 2013, 5),

apabila ada kalimat yang berbunyi “Badu memukul Tatang”, maka menurut ketentuan ilmu bahasa, “Badu” adalah subjek, “memukul” adalah predikat, dan “Tatang” adalah objek dari kalimat tersebut. Sedangkan dalam ilmu hukum,

“Tatang” tidak mungkin menjadi objek, tetapi ia adalah subjek (hukum). “Tatang” merupakan subjek (hukum) karena ia adalah manusia. Di dalam ilmu

hukum hanyalah benda yang akan menjadi objek hukum.

Harkrisnowo (2011: 17) mengatakan bahwa karakteristik kalimat dalam bahasa hukum Indonesia adalah penggunaan kalimat yang terlalu panjang dengan anak kalimat dan sukar dimengerti sehingga tidak mencerminkan bahasa yang bersifat keilmuan. Kalimat bahasa hukum Indonesia menempatkan kedudukannya dalam dunia tersendiri, seakan terlepas dari dunia bahasa Indonesia pada umumnya.

Sebuah peraturan perundang-undangan terdiri dari beberapa pasal dan ayat. Pada penelitian ini, ayat termasuk dalam kalimat karena pada awal penulisan diawali dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Berikut contoh dari sebuah ayat,

dan Menengah selanjutnya disebut Standar Proses merupakan kriteria mengenai pelaksanaan pembelajaran pada satuan pendidikan dasar dan menengah untuk mencapai kompetensi lulusan.

(Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan Ayat 1)

2. Paragraf dalam Bahasa Hukum Indonesia

Pengertian pasal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat (2008) adalah bagian dari bab dalam undang-undang. Sebuah pasal terdiri dari beberapa ayat yang mempunyai kesatuan makna dalam keseluruhan Peraturan perundang-undangan. Jadi, pasal dalam penelitian ini termasuk dalam paragraf. Berikut contoh dari sebuah pasal.

Pasal 1

(1) Kerangka dasar kurikulum Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah merupakan landasan filosofis, sosiologis, psikopedagogis, dan yuridis yang berfungsi sebagai acuan pengembangan struktur kurikulum pada tingkat nasional dan pengembangan muatan lokal pada tingkat daerah serta pedoman pengembangan kurikulum pada Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah.

(2) Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah merupakan pengorganisasian kompetensi inti, matapelajaran, beban belajar, dan kompetensi dasar pada setiap Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah.

(3) Kerangka dasar dan struktur kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari peraturan menteri ini.

(Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 69 Tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan Ayat 1)

Pada pasal yang telah disajikan di atas, dapat dilihat bahwa satu pasal terdiri dari beberapa ayat yang bertugas menjelaskan pasal (1). Pasal (1) di atas membicarakan tentang definisi Kerangka dasar kurikulum Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah. Kalimat topik pada paragraf di atas adalah (1)

Kerangka dasar kurikulum Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah merupakan landasan filosofis, sosiologis, psikopedagogis, dan yuridis yang berfungsi sebagai acuan pengembangan struktur kurikulum pada tingkat nasional dan pengembangan muatan lokal pada tingkat daerah serta pedoman pengembangan kurikulum pada Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah dan (2) Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah merupakan pengorganisasian kompetensi inti, matapelajaran, beban belajar, dan kompetensi dasar pada setiap Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah.

Kalimat pengembang pada paragraf di atas adalah (3) Kerangka dasar dan

struktur kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari peraturan menteri ini. Setelah memaparkan contoh tersebut, dapat

disimpulkan bahwa pada penelitian ini pasal termasuk paragraf.

Heri Sabto Widodo selaku Ketua Ikatan Notaris Indonesia Kabupaten Bantul mengatakan bahwa peraturan menteri cenderung menggunakan pola pengembangan paragraf definisi dan pemerincian. Tujuan penggunaan pola pengembangan paragraf definisi adalah untuk mengumumkan dan mengartikan sesuatu yang ingin ditulis oleh pembuat hukum dalam membuat peraturan

menteri. Sedangkan tujuan penggunaan pola pengembangan paragraf pemerincian adalah untuk memperinci item-item hukum dengan jelas sehingga masyarakat yang membacanya dapat memahaminya dengan baik dan masyarakat tidak mempunyai perbedaan persepsi. Beliau juga mengatakan tidak ada waktu khusus dalam menuliskan sebuah peraturan menteri dengan pola pengembangan paragraf definisi dan pemerincian. Jika peraturan menteri membutuhkan sebuah definisi, maka pembuat hukum akan memberikan definisi-definisi tentang item-item hukum yang akan ditulis. Tetapi, jika peraturan menteri tidak membutuhkan sebuah definisi maka pembuat hukum hanya menggunakan pola pengembangan paragraf pemerincian (dalam lampiran Transkrip dan Coding Hasil Wawancara dengan Praktisi Hukum, PH13).

Dokumen terkait