• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seperti diuraikan pada 4.11 bahwa bahasa Alor menurut SIL disamakan dengan Baranusa. Berdasarkan hasil pengumpulan data secara kuantitatif bahasa Alor dan Baranusa merupakan dua bahasa yang berbeda.

Pada lokasi-lokasi pengambilan data para informan tidak menyebutkan bahasa Alor, mereka menyebut ada dua yakni bahasa Munaseli atau bahasa Helangndohi. Mereka menamai sesuai dengan daerah masing-masing. Akan tetapi, yang paling dikenal adalah bahasa Munaseli. Berdasarkan hal tersebut dalam penelitian ini digunakan istilah bahasa Munaseli, sedangkan bahasa Alor dituturkan oleh masyarakat yang disekitar kepala burung Pulau Alor. Akan tetapi pendapat masyarakat tersebut harus dibuktikan secara kelinguistikan agar jelas apakah bahasa yang sama atau beda bahasa antara isolek Alor dan Munaseli tersebut. Oleh karena itu dalam disertasi menggunakan istilah bahasa Alor/Munaseli/Helangndohi.

Bahasa Alor/Munaseli/Helangndohi dituturkan di Desa Wailawar, Pandai, Bama, Munaseli Kecamatan Pantar. Jumlah penutur bahasa ini 3.190 orang (Alor dalam Angka, 2010)

Bahasa Alor/Munaseli/Helangndohi memiliki fungsi sosial, yaitu digunakan sebagai bahasa komunikasi antarwarga masyarakatnya, antara lain sebagai pengantar dalam keluarga, bahasa pergaulan sehari-hari, dan transaksi kegiatan jual beli, baik di pasar maupun di luar pasar. Bahasa Munaseli digunakan pula sebagai bahasa dalam menyampaikan khotbah, doa, atau pidato dalam

kegiatan gereja dan mesjid serta sebagai bahasa pengantar tradisi lisan yang diwariskan pendahulu-pendahulu mereka.

Bahasa ini belum memiliki sistem bahasa tulis. Sampai saat ini belum ditemukan dokumen tertulis, seperti yang berkaitan dengan cerita rakyat atau dokumen tertulis lainnya. Cerita yang ada hanya dalam bentuk cerita lisan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bahasa Munaseli masih merupakan bahasa lisan. Selain itu, belum ditemukan dokumen atau hasil-hasil penelitian yang menelaah dan mengkaji bahasa Munaseli. Selain kedua fungsi di atas, bahasa Munaseli juga digunakan pada saat melangsungkan ibadat di gereja, kegiatan aparatur pemerintah yang berkaitan dengan penyuluhan keluarga berencana, penyuluhan pertanian, penyuluhan kesehatan, kegiatan pendidikan (terutama di sekolah-sekolah dasar). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penelitian yang menyinggung soal perbandingan bahasa Munaseli dengan bahasa-bahasa lainnya di Pantar secara keseluruhan guna memperoleh gambaran tentang status kebahasaan, khususnya soal kekerabatan bahasa-bahasa di Pantar sama sekali belum pernah dilakukan.

Sebagai mana yang telah dikemukakan pada bab I bahwa keempat belas bahasa yang dijelaskan pada uraian di atas, ditemukan tiga buah bahasa yang berkerabat erat yaitu bahasa Modebur, bahasa Kaera, dan bahasa Teiwa sehingga yang memenuhi kriteria untuk direkonstruksi hanyalah ketiga bahasa tersebut. Adapaun kriteria penentuan bahasa-bahasa sekerabat akan diuraikan pada bab V. Ketiga bahasa tersebut terdapat di Pulau Pantar dan dikategorikan sebagai bahasa kelompok Austronesia. Di Pulau Pantar, selain ditemukan bahasa

non-Austronesia juga ditemukan bahasa kelompok austronesia yaitu bahasa Baranusa dan bahasa Alor/Munaseli/Helangndohi. Selanjutnya, bahasa-bahasa di Pulau Pantar juga terjadi kontak bahasa dengan bahasa yang terdapat di Pulau Lembata yaitu bahasa Kedang dan bahasa Lamaholot termasuk pula kontak dengan bahasa Indonesia. Sebagai bukti bahwa terjadi kontak bahasa adalah ditemukannya bahasa Lamaholot, bahasa Kedang dan bahasa Indonesia di dalam bahasa Modebur dan Kaera seperti di antaranya sebagai berikut.

/geweta/ „menyalakan (sinar)

/gewela/ „memandikan‟ /ade/ „memasang api‟ /ake/ „jangan‟. /bagai/ ‘buaya‟ /batar/ „jagung‟ /ako/ „jangan‟ /yira/„air kenciŋ‟ /bafal/„kapak‟ /isim/ „lima‟ /panakit/ „lumpuh‟ /oras/ „musim‟ /piti/ „peti‟ /oe/ ‘ya‟ /tutuk/ „berkata‟ /petuŋ/ ‘bambu‟ /krajang/ „kerja‟ /grejaweng/ „miggu‟ /bung/ „bunga‟

Dalam masyarakat yang terbuka, artinya yang para anggotanya dapat menerima kedatangan anggota dari masyarakat lain, baik dari satu atau lebih dari satu masyarakat, akan terjadilah apa yang disebut dengan kontak bahasa. Bahasa dari masyarakat yang menerima kedatangan akan saling mempengaruhi dengan bahasa masyarakat yang datang (Chaer, 2003:65)

Adanya kontak bahasa di Pulau Pantar dengan bahasa-bahasa di Flores Timur terutama bahasa Kedang dan bahasa Lamaholot disebabkab letak kedua bahasa tersebut berdekatan dengan Pulau Pantar. Para penutur bahasa yang ada di Pulau Pantar sering bepergian ke Flores Timur. Salah satu tujuan mereka ke Flores Timur adalah menjual hasil bumi yang berasal dari Pulau Pantar. Kadang-kadang masyarakat yang berasal dari Pulau Pantar ini tinggal beberapa hari di Flores Timur. Oleh karena masyarakat Pulau Pantar sering ke Flores Timur maka patut diduga mereka juga sering mendengar ujaran-ujaran yang di dalam bahasa di Pulau Pantar belum dikenal. Setelah itu, mereka menggunakan ujaran-ujaran tersebut ke dalam bahasa mereka.

Adanya kontak bahasa di Pulau Pantar terutama bahasa yang menjadi sasaran penelitian dengan bahasa Indonesia dapat diuraikan bahwa penggunaan bahasa Indonesia berkembang menjadi bahasa pergaulan di antara mereka. Frekuensi dan durasi pemakaian bahasa Indonesia dalam masyarakat Pantar tergolong tinggi. Hal itu disebabkan oleh perbedaan antara bahasa daerah dan dialek serta subdialek setiap kelompok masyarakat yang ada di wilayah itu. Fungsi bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu dan penghubung antarsuku bangsa yang berbeda latar belakang budaya dan bahasa daerah sangat jelas dalam

masyarakat ini. Bila bahasa-bahasa daerah tersebut bersaing secara ketat dan persaingan itu berlangsung terus-menerus, tentu perlu juga diwaspadai nasib bahasa-bahasa daerah yang ada di sana. Sebagai prediksi awal, perkembangan beberapa bahasa daerah yang hidup sekarang lambat laun dapat menjadi tidak seimbang, dalam arti bahwa bahasa-bahasa daerah tersebut akan menjadi semakin kecil jumlah penuturnya. Bahkan, dapat terjadi beberapa bahasa daerah akan mengalami kepunahan.

Hal itu dimungkinkan karena di samping adanya kenyataan begitu kuatnya penyebaran bahasa Indonesia saat ini, juga bukti menunjukkan bahwa kontak bahasa pasti terjadi antara bahasa-bahasa non-Austronesia dengan bahasa Austronesia terutama bahasa Indonesia.

Dengan demikian, uraian di atas dapat menjelaskan penyebab mengenai ditemukannya sejumlah kemiripan kata antara bahasa-bahasa non-Austronesia terutama bahasa-bahasa yang menjadi sasaran penelitian dengan bahasa-bahasa Austronesia yaitu bahasa Lamaholot, Kedang, dan bahasa Indoenesia.

Dokumen terkait