• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN BESERTA EKOLOGINYA. Tenggara. Pulau ini dibatasi oleh Laut Flores dan Laut Banda di sebelah utara,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN BESERTA EKOLOGINYA. Tenggara. Pulau ini dibatasi oleh Laut Flores dan Laut Banda di sebelah utara,"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

61 4.0 Pengantar

Pantar adalah sebuah pulau yang terletak di ujung timur Kepulauan Nusa Tenggara. Pulau ini dibatasi oleh Laut Flores dan Laut Banda di sebelah utara, Selat Pantar di timur, Selat Ombai di selatan, serta Selat Alor di barat. Luas wilayahnya 728 km² dan titik tertingginya 1.318 m (Puncak Topaki). Salah satu gunung api yang aktif, Gunung Sirung (862 m) terletak di bagian tenggara Pulau Pantar. Pulau Pantar merupakan salah satu dari dua pulau utama di Kabupaten Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia.

Penduduk di bagian pantai utamanya beragama Islam. Mereka terdiri atas berbagai suku bangsa, seperti suku bangsa Timor, Kisar, dan Flores. Penduduk aslinya menetap di pedalaman, umumnya beragama Kristen dan agama Alor asli. Secara administrasi Pulau Pantar dibagi menjadi lima kecamatan. Adapun uraian per kecamatan mengenai jumlah penduduk, luas wilayah, ibu kota batas-batas wilayah , serta kondisi dapat diuraikan berikut ini

Kecamatan Pantar dengan ibu kota Kabir. Kecamatan ini dibentuk berdasarkan Perda Nomor 15, Tahun 2005. Kecamatan ini mempunyai sebelas buah desa, yakni Baolang, Bandar, Madar, Bouweli, Munaseli, Helandohi, Bana, Pandai, Bukitmas, Wailawar, dan Kabir dengan luas wilayah 1.184 km2. Batas-batas wilayah administratif kecamatan ini adalah sebelah utara berBatas-batasan dengan Kecamatan Pantar Tengah dan Kecamatan Pantar Timur, sebelah selatan berbatasan dengan Laut Flores, sebelah barat dengan Laut Flores, dan sebelah

(2)

timur berbatasan dengan Selat Pantar. Jarak antara ibu kota kecamatan Kabir dan ibu kota kabupaten sejauh 46 km melalui laut. Jumlah penduduk kecamatan berdasarkan sensus tahun 2010 adalah 8.328 jiwa dengan kepadatan penduduk 75 km2. Kondisi pendidikan di kecamatan ini dapat dikatakan sudah agak maju. Hal ini didukung oleh sarana dan prasaranya seperti, mempunyai satu buah SMA negeri, dua buah SMP negeri empat buah SD negeri, sembilan buah SD swasta, dan satu buah TK swasta. Guru yang mengajar di Kecamatan Pantar adalah dua orang guru TK, 26 orang guru SD, 33 orang guru SMP, dan 19 orang guru SMA. Fasilitas kesehatan di Kecamatan Pantar adalah satu buah puskesmas, satu buah pembantu puskesmas, dan tiga buah pos kesehatan desa. Fasilitas tempat ibadah sebelas buah mesjid, tiga buah gereja Katolik, Sembilan buah gereja Protestan, sedangkan pura dan vihara tidak ditemukan. Hasil perkebunan dan pertanian yang dominan di kecamatn ini adalah kelapa, kemiri, pinang, dan pala. Hasil pertanian yang dimiliki adalah padi ladang, jagung, umbi-umbian, kacang-kacangan. Kecamatan ini belum memiliki fasilitas listrik secara keseluruahn, dalam hal ini PLN. Hanya Desa Kabir yang mempunyai PLN. Masyarakat kecamatan ini memanfaatkan generator yang dimiliki oleh swadaya masyarakat.

Kecamatan Pantar Barat dengan ibu kota Baranusa. Kecamatan ini dibentuk berdasarkan Perda Nomor 15, Tahun 2005. Kecamatan ini mempunyai tujuh buah desa, yakni Kalondama, Leer, Blang Merang, Baraler, Baranusa, Piringsina, Illu, dengan luas wilayah 66,92 km2. Batas-batas wilayah administratif kecamatan ini adalah sebelah utara berbatasan dengan Laut Flores, sebelah selatan berbatasan dengan Selat Ombai dan Kecamatan Pantar Tengah, sebelah barat

(3)

dengan Kecamatan Pantar Barat Laut dan sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Pantar Tengah. Jarak antara ibu kota kecamatan Baranusa dan ibu kota kabupaten sejauh 64 km melalui laut. Jumlah penduduk kecamatan berdasarkan sensus tahun 2010 adalah 6.335 jiwa dengan kepadatan penduduk 95 km2. Kondisi pendidikan di kecamatan ini dapat dikatakan sudah agak maju. Hal ini didukung oleh sarana dan prasaranya, seperti mempunyai satu buah SMA negeri, satu buah SMP negeri dan satu buah SMP swasta, lima buah SD negeri dan dua buah SD swasta, serta dua buah TK swasta. Guru yang mengajar di Kecamatan Pantar Barat 12 orang guru TK, 54 orang guru SD, 33 orang guru SMP, dan 35 orang guru SMA. Fasilitas kesehatan di kecamatan ini hanya mempunyai satu buah puskesmas. Fasilitas tempat ibadah sepuluh buah mesjid, delapan buah gereja, sedangkan pura dan vihara tidak ditemukan. Hasil perkebunan dan pertanian yang dominan di kecamatn ini adalah cendana, kelapa, kemiri, pinang, dan pala. Hasil pertanian yang dimiliki adalah padi lading, jagung, umbi-umbian, kacang-kacangan.,

Kecamatan ini belum memiliki fasilitas listrik secara keseluruahn, dalam hal ini PLN. Masyarakat kecamatan ini memanfaatkan generator yang dimiliki oleh swadaya masyarakat.

Kecamatan Pantar Timur beribu kota Bakalang. Kecamatan ini dibentuk berdasarkan Perda Nomor 15, Tahun 2005. Kecamatan ini mempunyai sebelas buah desa, yakni Tereweng, Lalafang, Nulu, Kaleb, Bunga Bali, Kaera, Lekom, Mawar, Ombai, Merdeka, dan Batu dengan luas wilayah 124,46 km2. Batas-batas wilayah administratif kecamatan ini adalah sebelah utara berbatasan dengan

(4)

Kecamatan Pantar, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Pantar Tengah, sebelah barat dengan Kecamatan Pantar, dan sebelah timur berbatasan dengan Selat Pantar. Jarak antara ibu kota kecamatan Bakalang dan ibu kota kabupaten sejauh 26 km melalui laut. Jumlah penduduk kecamatan berdasarkan sensus tahun 2010 adalah 10.502 jiwa dengan kepadatan penduduk 84 km2. Kondisi pendidikan di kecamatan ini dapat dikatakan sudah agak maju. Hal ini didukung oleh sarana dan prasaranya seperti, mempunyai satu buah SMA negeri, tiga buah SMP negeri, sebelas buah SD negeri, delapan buah SD swasta, dan satu buah TK swasta. Guru yang mengajar di Kecamatan Pantar Timur adalah 2 orang guru TK, 86 orang guru SD, 42 orang guru SMP, dan 108 orang guru SMA. Fasilitas kesehatan di Kecamatan Pantar Timur adalah dua buah puskesmas, empat buah pembantu puskesmas, dan lima buah pos kesehatan desa. Fasilitas tempat ibadah lima buah Mesjid, dua belas buah gereja, sedangkan pura dan vihara tidak ditemukan. Hasil perkebunan dan pertanian yang dominan di kecamatan ini adalah kelapa, kemiri, pinang, dan pala. Hasil pertanian yang dimiliki adalah padi lading, jagung, umbi-umbian, dan kacang-kacangan.

Kecamatan ini belum memiliki fasilitas listrik secara keseluruahn, dalam hal ini PLN. Hanya Desa Nule dan Desa Kaleb yang mempunyai PLN. Masyarakat kecamatan ini memanfaatkan generator yang dimiliki oleh swadaya masyarakat.

Kecamatan Pantar Tengah beribu kota Maliang. Kecamatan ini dibentuk berdasarkan Perda Nomor 15, Tahun 2005. Kecamatan ini mempunyai sepuluh buah desa, yakni Tube, Tude, Delaki, Mauta, Eka Jaya, Aramaba, Toang,

(5)

Tamakh, Muriabang, dan Bagang dengan luas wilayah 293,72 km2. Batas-batas wilayah administratif kecamatan ini adalah sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Pantar Barat dan Laut Flores, sebelah selatan berbatasan dengan Selat Ombay, sebelah barat dengan Selat Ombay, dan sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Pantar dan Pantar Timur. Jarak antara ibu kota kecamatan Maliang dan ibu kota kabupaten sejauh 64 km melalui laut dan 6 km melalui darat. Jumlah penduduk kecamatan berdasarkan sensus tahun 2010 adalah 9.255 jiwa dengan kepadatan penduduk 58 km2. Kondisi pendidikan di kecamatan ini dapat dikatakan sudah agak maju. Walaupun tidak mempunyai SMA akan tetapi kecamatan mempunyai empat buah SMP negeri, sepuluh buah SD negeri, enam buah SD swasta, dan empat buah TK swasta. Guru yang mengajar di kecamatan Pantar Tengah 10 orang guru TK, 59 orang guru SD, 27 orang guru SMA. Anak-anak tamatan SMP yang ingin melanjutkan sekolah dapat melanjutkan SMA ke ibu kota kabupaten, yakni di Kalabahi. Fasilitas kesehatan di Kecamatan Pantar adalah lima buah puskesmas pembantu dan satu buah pos kesehatan desa. Fasilitas tempat ibadah adalah dua buah mesjid, 29 gereja, sedangkan pura dan vihara tidak ditemukan. Hasil perkebunan dan pertanian yang dominan di kecamatan ini adalah kelapa, kemiri, pinang, dan pala. Hasil pertanian yang dimiliki adalah padi ladang, jagung, umbi-umbian, dan kacang-kacangan.

Kecamatan ini belum memiliki fasilitas listrik secara keseluruhan, dalam hal ini PLN. Masyarakat kecamatan ini memanfaatkan generator yang dimiliki oleh swadaya masyarakat.

(6)

Kecamatan Pantar Barat Laut beribu kota Marisa. Kecamatan ini dibentuk berdasarkan Perda Nomor, 15 Tahun 2005. Kecamatan ini mempunyai tujuh buah desa yakni, Marisa, Alumang, Kayang, Lamma, Beang Onong, Kalondama Barat, dan Kalondoma Tengah dengan luas wilayah 158,59 km2. Batas-batas wilayah administratif kecamatan ini adalah sebelah utara berbatasan dengan Laut Flores, sebelah selatan berbatasa dengan Selat Ombay, sebelah barat dengan Selat Pantar, dan sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Pantar Barat. Jarak antara ibu kota kecamatan Marisa dan ibu kota kabupaten sejauh 46 km melalui laut. Jumlah penduduk kecamatan berdasarkan sensus tahun 2010 adalah 8.328 jiwa dengan kepadatan penduduk 72 km2. Kondisi pendidikan di kecamatan ini dapat dikatakan sudah agak maju. Kecamatan ini belum memiliki SMA, tetapi hanya memiliki satu buah SMP negeri dan satu buah SMP swasta, empat buah SD negeri, tiga buah SD swasta, tidak ada TK di kecamatan ini. Guru yang mengajar di kecamatan ini adalah 31 orang guru SD dan 19 orang guru SMP. Fasilitas kesehatan di kecamatan Pantar Tengah adalah satu buah puskesmas, tiga buah pembantu puskesmas, dan dua buah pos kesehatan desa. Fasilitas tempat ibadah tiga buah mesjid, lima buah gereja, sedangkan pura dan vihara tidak ditemukan. Hasil perkebunan dan pertanian yang dominan di kecamatn ini adalah kelapa, kemiri, pinang, dan pala. Hasil pertanian yang dimiliki adalah padi ladang, jagung, umbi-umbian, dan kacang-kacangan, kecuali kacang tanah tidak ditemukan kecamatan ini.

(7)

Kecamatan ini belum memiliki fasilitas listrik secara keseluruahn, dalam hal ini PLN. Masyarakat kecamatan ini memanfaatkan generator yang dimiliki oleh swadaya masyarakat.

Penduduk kecamatan se-Pulau Pantar pada umumnya bermata pencaharian petani, peternak, dan nelayan. Hewan-hewan yang diternakkan, antara lain sapi, kuda, kambing, babi, dan ayam (Alor dalam Angka, 2010).

Menurut cerita yang beredar di masyarakat Pantar, pulau ini pada mulanya bernama Galiau. Berubahnya nama Galiau menjadi Pantar terjadi pada masa pemerintahan Belanda di bawah pimpinan Van Halen. Pada masa itu van Halen memerintahkan Raja Alor yang bernama Ahmad Bala Nampira agar memerintahkan seluruh pejabat agraria untuk mengukur tanah di wilayah kerajaan Alor. Setelah Raja Alor mendapatkan perintah dari van Halen, lalu Raja Alor memerintahkan semua kontrulir (pejabat agraria pada zaman Belanda) untuk semua wilayah dan pulau-pulau yang di wilayah kerajaan Alor. Bapak Malmase salah seorang kontrilir Belanda mendapat tugas untuk Pulau Galiau. Pada saat dilakukan pengukuran dari pulau Galiau dari timur ke barat. Setelah sampai di Galiau tengah tepatnya di Langarbeta di wilayah Desa Nule saat ini kontrulir ini bertemu dengan seorang ibu yang bernama Samtawa. Ibu ini berasal dari suku Modlul sementara menganyam tali bakul. Setelah bertemu dengan ibu ini, kontrulir menanyakan apa yang sedang dilakukan oleh ibu ini. Ibu Samtawa menjawab pantar. Pertanyaan tersebut diulang sebanyak tiga kali dan jawabanya sama. Setelah bertanya kontrolir ini membuka agendanya dan mencatat di dalam buku agendanya Pantar yang artinya dalam bahasa di sana berarti tali bakul.

(8)

Setelah pengukuran selesai maka kontrulir ini kembali ke ibu kota Kerajaan Alor, yaitu di Kalabahi. Hasil pengukuran kontrolir ini akan disidangkan bersama dengan seluruh petugas yang diperintahkan oleh Raja Alor. Pada saat sidang yang dipimpin oleh Raja Alor yang bernama Ahmad Bala Nampira semua petugas yang mengukur tanah melaporkan hasilnya. Petugas yang mengukur Pulau Galiau bernama Malmase sebelum melaporkan hasil pengukuranya membuka buku agenda untuk melihat catatan yang dicatat pada saat mengukur pulau tersebut. Malmase melihat catatan dalam buku agenda tertulis Pantar. Karena yang tertulis di dalam buku agenda pantar, saat ditanya oleh Raja Alor pulau apa yang diukur oleh Malmase, maka dijawab dengan pantar. Jadi, mulai saat itulah Pulau Galiau berubah menjadi Pulau Pantar jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia adalah tali bakul.

Pulau Pantar memiliki banyak bahasa daerah. Pada umumnya bahasa di Pulau Pantar tidak memiliki tingkatan-tingakatan seperti halnya bahasa Bali atau Jawa. Berdasarkan peneitian para ahli seperti yang telah disebutkan pada Bab I sebelumnya bahwa terjadi pertentangan tentang penyebutan bahasa. Pada bab I juga telah dikatakan bahwa bahasa Alor disebut bahasa Austronesia masih perlu dibuktikan lagi. Dengan kata lain bahwa apa benar bahasa Alor ada di Pulau Pantar atau bahasa Alor hanya di Pulau Alor, sedangkan bahasa kelompok Austonesia di Pulau Pantar mempunyai nama sendiri. Berdasarkan hal tersebut dan berangkat dari permasalahan untuk mendapatkan data yang valid dan akurat maka seluruh desa dan kelurahan se-Pulau Pantar harus dijangkau dalam penelitian ini.

(9)

Yang dijangkau dalam penelitian ini adalah jenis bahasa yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari. Setelah mengumpulkan data dari seluruh desa maka langkah selanjutnya adalah menghitung kognat bahasa dengan leksikostatistik dengan tujuan agar bisa ditentukan apakah beda bahasa atau dialek semua bahasa tersebut. Setelah melalui proses perhitungan maka ditemukanlah sepuluh buah bahasa dan dua buah dialek yang merupakan satu bahasa di Pulau Pantar, yaitu Modebur, Kaera, Teiwa, Alor, Baranusa, Klamu, Deing, Blagar, Klong, dan dialek Mauta serta dialek Lamma. Di samping kesepuluh bahasa tersebut ada empat bahasa sebagai pembanding yaitu Bahasa Lamaholot, Bahasa Kaedang, Bahasa Pura, dan Bahasa Retta yang diikutsertakan dalam penjelesan berikut ini. Berturut-turut keempat belas bahasa dan ekologinya dijelaskan secara sepintas.

4.1 Bahasa Modebur

Bahasa Modebur (Md) dituturkan oleh masyarakat yang bermukim di Desa Merdeka di Kecamatan Pantar Timur. Desa ini merupakan desa pemekaran dari Desa Batu. Desa merdeka terbentuk pada tahun 1987. Desa ini mempunyai luas wilayah 8,66 km2. Topografi desa ini terletak di puncak gunung. Alat transportasi dari ibu kota kabupaten di Kalabahi menggunakan perahu motor dengan jarak tempuh sembilan puluh menit. Setelah tiba di ibu kota Kecamatan Pantar Timur di Bakalang untuk mencapai desa ini ditempuh dengan berjalan kaki. Jalan menuju ke desa ini penuh dengan bebatuan dan melalui hutan belantara serta mendaki gunung yang tinggi. Jarak tempuh desa ini jika warganya, sekitar satu jam. Akan tetapi, bagi yang tidak biasa bisa, ditempuh lima sampai enam

(10)

jam. Air sangat susah di desa Merdeka sehingga masyarakat di sana mampu tidak mandi selama berhari-hari.

Desa Merdeka mempunyai empat dusun yaitu, Dusun Berimau, Dusun Bukalabang, Dusun Modebur, dan Dusun Wawang. Suku Bukalabang menggunakan bahasa Blagar, suku Wawang menggunakan bahasa Nedebang atau Klamu, sedangkan suku Modebur dan suku Berimau menggunakan bahasa Modebur dalam pergaulan sehari-harinya. Kata modebur terdiri atas dua kata yaitu

mod „jeruk‟ dan bur „enau‟. Sebelum dihuni tempat ini ditumbuhi oleh jeruk dan

enau. Penamaan modbur menjadi modebur sebenarnya hanya kesalahan penulisan pada saat memasukkan nama-nama suku di dalam buku inventarisasi nama-nama dusun seluruh Kabupaten Alor. Pada akhirnya saat ini penyebutan yang lebih populer adalah modebur. Desa Merdeka mempunyai tiga suku, yaitu suku Kakak,

Tengah, Adik. Pengambilan keputusan apa pun yang berhak memutuskan adalah

suku Kakak. Apa pun yang diputuskan oleh suku Kakak maka harus dijalankan. Akan tetapi, dalam pemerintahan suku apa pun yang memerintah maka aparatnya adalah semua suku sehingga jalannya pemerintahan berjalan dengan baik. Hal ini disebabkan oleh suku apa pun yang memerintah maka keputusannya harus diikuti. Penyelesaian perkara atau kasus di Desa Merdeka melalui sebuah dewan yang disebut dengan dewan adat. Dewan inilah yang berhak memutuskan sebuah perkara. Dewan adat dalam bahasa Modebur disebut dengan boma-boma agguna

nagang dan biasa juga disebut dengan nigadang gang gu bisa medik tutuk. Bahasa

yang digunakan dalam pertemuan dewan adat dan pemerintahan menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan oleh Desa Merdeka dihuni oleh beberapa

(11)

suku yang mempunyai bahasa yang berbeda. Dengan demikian, bahasa Modebur yang penuturnya berjumlah 341 orang semakin tersisih. Jadi, di Desa Merdeka bahasa Indonesia sangat dominan.

Jumlah penduduk Desa Merdeka adalah 1.244 orang (Alor dalam Angka, 2010:13). Akan tetapi, penutur bahasa Md hanya berjumlah 341 orang. Selebihnya adalah pengguna bahasa Blagar dan Nedebang. Secara keseluruhan penutur bahasa Md beragama Kristen. Penutur bahasa Md umumnya bermata pencaharian petani, pedagang, dan PNS. Masyarakat Desa Merdeka masih mempertahankan budaya dan tradisi mereka. Salah satu budaya yang masih hidup dan dilaksanakan adalah budaya makan baru. Budaya ini dilaksanakan setelah panen, seperti panen ubi kayu, ubi jalar, dan jagung. Budaya makan baru biasa juga disebut dengan

sokil. Sistem pertanian di Desa Merdeka dikenal dengan istilah ilkhata untuk

kemarau mulai Agustus sampai maret, med ming nor sera untuk musih hujan mulai April sampai September. Ping nadwa mod siap ping ilbara, pil ilkhede untuk persiapan panen.

Bahasa Md belum memiliki sistem bahasa tulis dan tata tulis. Sampai saat ini belum ditemukan dokumen tertulis seperti yang berkaitan dengan cerita rakyat atau dokumen tertulis lainnya. Cerita-cerita yang ada hanya dalam bentuk cerita lisan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bahasa Md masih merupakan bahasa lisan. Selain itu, bahasa Md belum ditemukan dokumen atau hasil-hasil penelitian yang menelaah atau mengkaji bahasa Md.

Seperti halnya bahasa lain bahasa Md juga memiliki fungsi sosial dan budaya bagi masyarakat penuturnya. Dalam fungsi sosial, bahasa Md digunakan

(12)

sebagai alat komunikasi antarwarga. Bahasa Md umumnya digunakan sebagai bahasa pergaulan sehari-hari dan bahasa pengantar dalam keluarga. Bahasa Md juga digunakan sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan jual beli di pasar-pasar (terutama dalam satu suku)..

Bahasa Md juga digunakan sebagai pengantar dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan adat istiadat, seperti dalam upacara adat perkawinan, kelahiran, kematian, membangun rumah, membuat dan menarik batu kubur, dan lain-lain. Bahasa Md digunakan juga pada saat masyarakat melaksanakan upacara ritual.

Selain kedua fungsi di atas bahasa Md juga digunakan pada saat ibadat di gereja, kegiatan aparatur pemerintah yang berkaitan dengan penyuluhan bagi suku Modebur. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sampai saat penelitian ini dilakukan belum ada peneliti yang secara khusus memuat atau menelaah bahasa Md, baik secara sinkronis berupa deskripsi fonologi, morfologi, dan sintaksis, maupun secara diakronis berupa deskripsi tentang kekerabatan bahasa Md dengan bahasa-bahasa lainnya yang hidup di Pulau Pantar.

4.2 Bahasa Kaera

Bahasa Kaera (Kr) dituturkan oleh masyarakat yang bermukim di tiga desa. Bahasa Kaera dituturkan di Kaera, Bungabali di kecamatan Pantar Timur dan Desa Baolang di Kecamatan Pantar. Pusat titik pengambilan data kuantitatif difokuskan pada ketiga desa tersebut. Desa Kaera mempunyai luas 18,95 km2 dengan jumlah penduduk 946 orang, Desa Bungabali mempunyai luas 9,42km2 dengan jumlah penduduk 820 orang, dan Desa Baolang mempunyai luas 9,36

(13)

km2 dengan jumlah penduduk 429 orang (Alor dalam Angka 2010:13). Berdasarkan data di atas dapat dikatakan bahwa jumlah penutur bahasa Kaera adalah 2.195 orang. Pusat titik pengambilan data kualitatif adalah di Desa Kaera. Topografi desa ini terletak di puncak gunung yang berbatasan langsung dengan Desa Merdeka. Alat transportasi dari ibu kota kabupaten di Kalabahi menggunakan perahu motor dengan jarak tempuh sembilan puluh menit. Setelah tiba di ibu kota Kecamatan Pantar Timur di Bakalang untuk mencapai desa ini ditempuh dengan berjalan kaki melewati Desa Merdeka. Jalan menuju ke desa ini penuh dengan bebatuan dan melalui hutan belantara serta mendaki gunung yang tinggi. Jarak tempuh desa ini jika warganya, sekitar dua jam. Akan tetapi, bagi yang tidak biasa bisa, ditempuh dengan enam sampai tujuh jam. Air sangat susah di desa Kaera sehingga masyarakat di sana mampu tidak mandi selama berhari-hari.

Pada umumnya penduduk Desa Kaera bermata pencaharian petani. Di samping itu, ada juga yang beternak, menyadap enau, dan memotong bambu. Penduduk Desa Kaera juga mengenal musim dalam bertani. Musim barat atau hujan disebut dengan keitang dan musim kemarau disebut ililo serta musin panen disebut mar ago.

Bahasa Kr ini pada zaman ketemekungan disebut bahasa Khaer, artinya keras. Penamaan seperti ini sebenarnya dikaitkan juga dengan orang-orang yang bermukim di Kaera berwatak keras. Menurut cerita dari para informan di lapangan bahwa sebenarnya bahasa Kaera lebih dikenal dengan bahasa Okh. Istilah Okh ini muncul pada saat masyarakat membangun perkampungan di Kaera. Tiba-tiba

(14)

masyarakat yang membangun perkampungan tersebut mendengar burung yang yang mengeluarkan suara yang sangat keras. Burung tersebut diberi nama burung

nabotur. Akhirnya pada saat itulah daerah yang dibangun diberi nama okh, artinya

burung. Akan tetapi, bukti-bukti tertulis tidak ditemukan sehingga sampai dengan saat ini perubahan nama dari Okh menjadi Kaera tidak dapat dijelaskan dengan pasti.

Suku Malabo yang berada di Padangsul merupakan asal bahasa Kr sehingga suku Malabo merupakan pemilik bahasa Kr. Penyebutan nama bahasa Kr bervariasi, yaitu di samping bahasa Kaera atau bahasa Okh juga ada istilah bahasa Malabo atau bahasa Dorit. Di daerah Bungabali ditemukan sebuah suku yang bernama suku Khaero yang bahasanya sama dengan bahasa Kr. Suku Khaero sebenarnya merupakan subsuku Dorit yang terpisah dari suku Malabo. Di samping subsuku Khaero juga ada subsuku Margang dan subsuku Mukhedoi.

Sistem pemerintahan pada masa lalu di desa ini berdasarkan suku. Suku yang memimpin harus berasal dari suku Klumangguakh bukan dari suku Malabo ataupun suku yang lainnya. Seorang pemimpin disebut Rai. Suku Klumangguakh mengenal stratatifikasi dalam masyarakatnya. Kasta yang tertinggi disebut Rai atau biasa juga raja, kapitan, tuakhi, miniru. Kasta miniru merupakan kasta yang paling rendah. Kasta ini merupakan suruhan raja. Pengastaan saat ini pada umumnya sudah tidak berlaku lagi. Pengastaan hanya bisa muncul pada saat tertentu, misalnya pada pelaksanaan acara adat.

Sebagai bahasa pengatar dalam kehidupan sehari-hari, bahasa Kr, seperti bahasa-bahasa lain yang terdapat di Pantar, tampaknya belum memiliki sistem tata

(15)

tulis. Demikian pula tidak ditemukan dokumen tertulis, seperti cerita rakyat atau dokumen tertulis lainnya. Cerita-cerita lainnya ditemukan dalam bentuk lisan saja. Pada umumnya penutur bahasa Kr dapat berbahasa Indonesia cukup komunikatif. Bahkan, tokoh-tokoh adat penutur bahasa Kr menguasai bahasa Indonesia dengan baik dan lancar.

Walaupun demikian, para pendeta agama Kristen sejak tahun 1980 telah berupaya untuk berkhotbah dan berdoa dalam melaksanakan peribadatan di gereja. Selain itu, para pendeta saat ini sedang berupaya untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Kaera. Akan tetapi, upaya ini baru dimulai tahun 2010 bertempat di Gereja Masehi Indonesia Timur (GMIT) Kupang. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa disampai saat penelitian ini dilakukan belum ada peneliti yang secara khusus memuat atau menelaah bahasa Kr, baik secara sinkronis berupa deskripsi fonologi, morfologi, dan sintaksis maupun secara diakronis berupa deskripsi tentang kekerabatan bahasa Kr dengan bahasa-bahasa lainnya yang hidup di Pulau Pantar.

4.3 Bahasa Teiwa

Bahasa Teiwa (Tw) (pada beberapa suku disebut dengan bahasa Sar) dituturkan oleh masyarakat yang bermukim di Desa Kaleb, Boweli, Nule, Lekom, dan Lalafang di Kecamatan Pantar Timur dan Desa Kabir dan Desa Madar di Kecamatan Pantar. Pusat titik pengambilan data kuantitatif difokuskan pada desa-desa tersebut. Desa-desa tersebut berjarak antara 20--40 km. Perjalanan dari desa yang satu ke desa yang lain ditempuh dengan berjalan kaki. Hal ini disebabkan oleh ketiadaan alat transportasi di wilayah tersebut. Kondisi jalan

(16)

sangat memprihatinkan. Desa Kaleb mempunyai luas 12,07 km2 dengan jumlah penduduk 1.592 orang, Desa Boweli mempunyai luas 16,02 km2 dengan jumlah penduduk 570 orang, Desa Nule mempunyai luas 22,03 km2 dengan jumlah penduduk 980 orang, Desa Lekom mempunyai luas 5,69 km2 dengan jumlah penduduk 556 orang, Desa Lalafang mempunyai luas 14,78 km2 dengan jumlah penduduk 481 orang, Desa Kabir mempunyai luas 18,41 km2 dengan jumlah penduduk 2.157 orang, Desa Madar mempunyai luas 3,57 km2 dengan jumlah penduduk 413 orang (Alor dalam Angka 2010:13). Berdasarkan data di atas dapat dikatakan bahwa jumlah penutur bahasa Tw adalah 6.136 orang. Pusat titik pengambilan data kualitatif awalnya di Desa Lekom. Akan tetapi, karena adanya kendala teknis maka pusat pengambilan dipindahkan ke Desa Nule. Jarak antara Desa Kaera dengan Desa Lekom 40 km. Topografi Desa Nule terletak di pinggir pantai yang berbatasan langsung dengan Desa Lekom. Alat transportasi dari ibu kota kabupaten di Kalabahi menggunakan perahu motor dengan jarak tempuh sembilan puluh menit.

Pada umumnya penduduk Desa Nule bermata pencaharian nelayan. Di samping itu, ada juga yang beternak, menyadap enau, dan memotong bambu. Penduduk Desa Nule juga mengenal musim dalam bertani. Musim barat atau hujan disebut dengan saribit dan musim kemarau disebut sarwur.

Sistem pemerintahan pada masa ketemukungan ada empat suku yang bergabung dalam satu temekung. Suku-suku tersebut adalah Sar, Tagai, Magayang, dan Kurtana. Suku Sar terbagi lima subsuku, yaitu Saraja, Sartawak, Sartakung, Sargau, dan Sarmeakh. Suku yang menjadi pemimpin dari keempat

(17)

suku ini adalah suku Sar yang bermarga Bang dan Bolang. Mereka ini tidak mau dipimpin oleh suku lain pada masa itu. Mereka yang harus pemimpin bagi suku-suku yang lain. Adat istiadat mengenai kawin mawin biasanya disebut dengan

belis. Belis itu berasal dari beberapa benda yaitu gong dan moko. Moko ada dua

macam, yaitu mokopung dan mokobaru. Mokopung merupakan belis asli perempuan. Berdasarkan keputusan dewan adat, belis perempuan harus tiga

mokopung. Tiga mokopung terdiri atas kepala, tengah, dan ekor. Kepala mokopung lima anak panah, ekor tiga anak panah, sedangkan tengah dua atau satu

anak panah. Belis yang lain disebut bapak tongkat yang terdiri atas mokobaru satu yang nilainya tidak sama dengan mokopung. Yang disebut mokobaru adalah suku-suku dari dari daerah lain, misalnya Makasar, Melayu, dan lain-lain. Mokobaru ini harus ditambah dengan satu kain cindai atau watola. Belis berikut adalah air susu

mama, yaitu satu gong besar dengan sarung tanah (tenun) satu lembar. Belis

berikut adalah bapak pohon dan mama pohon. Istilah pohon pelepas itu harus ada

mokobaru satu. Jika pohon pelepas tidak ada, maka menurut kepercayaan suku ini

anak perempuan yang menikah tidak akan mempunyai keturunan walaupun ada keturunanya, tetapi kesehatannya terganggu terus. Oleh karena itu saat memasuki forum adat belis pohon pelepas ini harus ada.

Orang tua laki-laki harus berusaha bagaimanapun caranya agar belis yang namanya pohon pelepas sebagai mokobaru harus ada. Kepercayaan mereka di samping tidak akan memiliki keturunan juga di kemudian hari tidak ada sakit, tidak ada rintangan, tidak terjadi apa pada keluarga yang bersangkutan. Mokobaru berupa pohon pelepas ini harus ada karena belis ini akan disembah oleh yang

(18)

punya hajatan. Untuk mendapatkan belis tersebut saat ini sangat susah. Jadi, bapak pohon atau pelepas pohon merupakan belis yang sangat utama bagi belis perempuan.

Bahasa suku selalu berbeda sehingga bahasa Indonesia jadi alat komunikasi. Agama di desa ini adalah agama Kristen Protestan berjumlah 542 orang dan agama Islam berjumlah 456 orang.

Sebagai bahasa pengantar dalam kehidupan sehari-hari, bahasa Tw, seperti bahasa-bahasa lain yang terdapat di Pantar, tampaknya belum memiliki sistem tata tulis. Demikian pula tidak ditemukan dokumen tertulis, seperti cerita rakyat atau dokumen tertulis lainnya. Cerita-cerita lainnya ditemukan dalam bentuk lisan saja. Pada umumnya penutur bahasa Tw dapat berbahasa Indonesia cukup komunikatif. Bahkan, tokoh-tokoh adat penutur Bahasa Tw menguasai bahasa Indonesia dengan baik dan lancar.

Walaupun demikian, para pendeta agama Kristen sejak tahun 1980 telah berupaya untuk berkhotbah dan berdoa dalam melaksanakan peribadatan di gereja. Selain itu, para pendeta saat ini sedang berupaya untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Tw. Akan tetapi upaya ini baru dimulai tahun 2010 bertempat di Gereja Masehi Indonesia Timur (GMIT) Kupang. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sampai saat penelitian ini dilakukan belum ada penelitian yang secara khusus memuat atau menelaah bahasa Tw baik secara sinkronis berupa deskripsi fonologi, morfologi, dan sintaksis, maupun secara diakronis berupa deskripsi tentang kekerabatan bahasa Tw dengan bahasa-bahasa lainnya yang hidup di Pulau Pantar.

(19)

4.4 Bahasa Blagar

Bahasa Blagar (Bl) dituturkan di Desa Batu, Ombai, Mawar, Tereweng Kec. Pantar Timur, Toang Kecamatan Pantar Tengah. Bahasa Blagar digunakan oleh masyarakat penutur yang hidup dan menyebar di Desa Batu, Ombai, Merdeka, Mawar, Tereweng Kecamatan Pantar dan Desa Toang Kecamatan Pantar Barat. Jumlah masyarakat penutur bahasa Bl pada Kecamatan Pantar 4.383 orang (Alor dalam Angka, 2010), sedangkan jumlah masyarakat penutur bahasa Bl di Kecamatan Pantar Barat 389 orang. Jadi, dapat dikatakan bahwa masyarakat penutur bahasa Bl secara keseluruhan berjumlah 4.772 orang.

Bahasa Bl memiliki dua fungsi yang sangat menonjol bagi penutur, yakni fungsi sosial dan fungsi budaya. Kedua fungsi ini sangat dominan dalam masyarakat penuturnya.

Dalam fungsi sosial, bahasa Bl digunakan sebagai alat komunikasi antarwarga dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan aktivitas sosial. Sebagai alat komunikasi antarwarga masyarakat, bahasa Bl digunakan sebagai bahasa pergaulan dalam kehidupan sehari-hari, bahasa pengantar dalam keluarga, dan bahasa pengantar dalam kegiatan jual beli di pasar, terutama di desa-desa.

Dalam fungsi budaya, bahasa Bl digunakan sebagai alat komunikasi antarwarga masyarakat dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan aktivitas budaya. Aktivitas budaya yang diwahanai oleh bahasa Bl di antaranya adalah aktivitas yang berhubungan dengan adat istiadat masyarakat, seperti dalam upacara perkawinan, membangun rumah, upacara kelahiran, kematian upacara syukuran, upacara ritual, dan lain-lain.

(20)

Bahasa Bl juga digunakan sebagai alat komunikasi dalam ibadat di gereja-gereja, ibadat di mesjid-mesjid, dalam kegiatan penyuluhan yang dilakukan oleh aparatur pemerintah, seperti kegiatan penyuluhan pertanian, penyuluhan kesehatan, dan lain-lain.

Dalam bidang kebahasaan banyak kemajuan yang telah dicapai oleh para penulis, terutama dalam mendeskripsikan bahasa Bl. Steinhauer (1991) menulis “Bahasa Blagar Selayang Pandang”, Wakidi (1989) menulis “Struktur Bahasa Blagar”. Steinhauer menitikberatkan tulisannya pada aspek fonologi, morfologi, sintaksis, dan budaya. Wakidi menulis pada aspek morfologi dan sintaksis. Aspek fonologi juga dibicarakan, tetapi hanya sebatas masalah penginventarisasian dan pengklasifikasian fonem. Peneliti lainnya, yaitu La Ino (2004) menulis tesis dengan judul “Pengelompokan Genetis Bahasa Blagar, Puta, dan Retta di Kabupaten Alor”. Dengan demikian, walaupun ada penelitian tentang historis komparatif bahasa Bl, penelitian tersebut terbatas pada membandingkan bahasa Bl dengan bahasa Pura dan Retta saja. Penelitian tersebut tidak menyinggung perbandingan bahasa Bl dengan bahasa-bahasa di Pulau Pantar. Oleh krena itu, penelitian yang menyinggung soal perbandingan bahasa Bl dengan bahasa-bahasa lainnya di Pantar secara keseluruhan guna memperoleh gambaran tentang status kebahasaan khususnya soal kekerabatan bahasa-bahasa di Pantar sama sekali belum pernah dilakukan.

(21)

4.5 Bahasa Pura

Bahasa Pura (Pr) digunakan oleh masyarakat penutur yang hidup dan menyebar di Desa Pura Barat, Pura Timur, Pura Utara, dan Kelurahan Pura kecamatan Pura. Jumlah masyarakat penutur bahasa Pr di Pura 3.243 orang (Alor dalam Angka, 2010).

Bahasa Pr belum memiliki sistem bahasa tulis dan tata tulis. Sampai saat ini belum ditemukan dokumen tertulis, seperti yang berkaitan dengan cerita rakyat atau dokumen tertulis lainnya. Cerita-cerita yang ada hanya dalam bentuk cerita lisan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bahasa Pura masih merupakan bahasa lisan. Satu-satunya penelitian tentang bahasa ini adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh La Ino (2004). Penelitian ini membandingkan bahasa Pr dengan bahasa Blagar dan bahasa Retta.

Seperti halnya bahasa Blagar bahasa Pr juga memiliki fungsi sosial dan budaya bagi masyarakat penuturnya. Dalam fungsi sosial, bahasa Pr digunakan sebagai alat komunikasi antarwarga. Bahasa Pr umumnya digunakan sebagai bahasa pergaulan sehari-hari dan bahasa pengantar dalam keluarga. Bahasa Pr juga digunakan sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan jual beli di pasar-pasar (terutama di desa-desa).

Bahasa Pr digunakan sebagai pengantar dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan adat istiadat, seperti dalam upacara adat perkawinan, kelahiran, kematian, membangun rumah, membuat dan menarik batu kubur, dan lain-lain. Bahasa Pr digunakan juga pada saat masyarakat melaksanakan upacara ritual.

(22)

Selain kedua fungsi di atas bahasa Pr juga digunakan pada saat ibadat di gereja, kegiatan aparatur pemerintah yang berkaitan dengan penyuluhan. Dengan demikian, dapat dikatakan walaupun ada penelitian tentang historis komparatif bahasa Bl penelitian tersebut terbatas pada membandingkan bahasa Pr dengan bahasa Blagar dan Retta saja. Penelitian tersebut tidak menyinggung perbandingan serta kekerabatan bahasa Pr yang berada di Pulau Pura dengan bahasa-bahasa di Pulau Pantar. Oleh karena itu, penelitian yang menyinggung soal perbandingan bahasa Pr dengan bahasa-bahasa lainnya di Pantar secara keseluruhan guna memperoleh gambaran tentang status kebahasaan, khususnya soal kekerabatan bahasa-bahasa di Pantar sama sekali belum pernah dilakukan.

4.6 Bahasa Retta

Bahasa Retta (Rt) digunakan oleh masyarakat penutur yang hidup dan menyebar di Desa Pura Selatan, Maru, Ternate Selatan, dan Ternate Kecamatan Alor Barat Laut. Jumlah masyarakat penutur Bahasa Rt di Kecamatan Pura adalah 3.644 orang (Alor dalam Angka, 2010).

Bahasa Retta belum memiliki sistem bahasa tulis dan tata tulis. Sampai saat ini belum ditemukan dokumen tertulis, seperti yang berkaitan dengan cerita rakyat atau dokumen tertulis lainnya. Cerita-cerita yang ada hanya dalam bentuk cerita lisan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bahasa Retta masih merupakan bahasa lisan. Selain itu dalam bahasa Rt belum ditemukan dokumen atau hasil-hasil penelitian yang menelaah atau mengkaji bahasa Retta.

(23)

Satu-satunya penelitian tentang bahasa ini adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh La Ino (2004). Penelitin ini membandingkan bahasa Pr dengan bahasa Blagar dan bahasa Retta.

Bahasa Retta, seperti halnya bahasa yang lain juga memiliki fungsi sosial dan budaya bagi masyarakat penuturnya. Dalam fungsi sosial, bahasa Rt digunakan sebagai alat komunikasi antarwarga. Bahasa Rt umumnya digunakan sebagai bahasa pergaulan sehari-hari dan bahasa pengantar dalam keluarga. Bahasa Rt juga digunakan sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan jual beli di pasar-pasar (terutama di desa-desa).

Bahasa Rt digunakan sebagai pengantar dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan adat istiadat, seperti dalam upacara adat perkawinan, kelahiran, kematian, membangun rumah, membuat dan menarik batu kubur, dan lain-lain. Bahasa Rt digunakan juga pada saat masyarakat melaksanakan upacara ritual.

Selain kedua fungsi di atas bahasa Rt juga digunakan pada saat ibadat di gereja, kegiatan aparatur pemerintah yang berkaitan dengan penyuluhan. Dengan demikian, dapat dikatakan walaupun ada penelitian tentang historis komparatif bahasa Rt penelitian tersebut terbatas pada membandingkan bahasa Bl dengan bahasa Pura dan Blagar saja. Penelitian tersebut tidak menyinggung perbandingan bahasa Rt dengan bahasa-bahasa di Pulau Pantar. Oleh krena itu, penelitian yang menyinggung soal perbandingan bahasa Rt dengan bahasa-bahasa lainnya di Pantar secara keseluruhan guna memperoleh gambaran tentang status kebahasaan

(24)

khususnya soal kekerabatan bahasa-bahasa di Pantar sama sekali belum pernah dilakukan.

4.7 Bahasa Klamu

Bahasa Klamu (Kl) sering juga disebut dengan bahasa Nedebang dituturkan di Bandar Kecamatan Pantar. Jumlah masyarakat penutur bahasa Klamu di Kecamatan Pantar adalah 526 orang (Alor dalam Angka, 2010).

Sebagai bahasa pengatar dalam kehidupan sehari-hari, bahasa Klamu, seperti bahasa-bahasa lain yang terdapat di Pantar, tampaknya belum memiliki sistem tata tulis. Demikian pula tidak ditemukan dokumen tertulis seperti cerita rakyat atau dokumen tertulis lainnya. Cerita-cerita lainnya ditemukan dalam bentuk lisan saja. Pada umumnya penutur bahasa Klamu dapat berbahasa Indonesia cukup komunikatif. Bahkan, tokoh-tokoh adat penutur bahasa Klamu menguasai bahasa Indonesia dengan baik dan lancar.

Walaupun demikian, para pendeta agama Kristen sejak tahun 1980 telah berupaya untuk berkhotbah dan berdoa dalam melaksanakan peribadatan di gereja. Selain itu, para pendeta saat ini sedang berupaya untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Klamu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sampai saat penelitian ini dilakukan belum ada penelitian yang secara khusus memuat atau menelaah bahasa Klamu baik secara sinkronis berupa deskripsi fonologi, morfologi, dan sintaksis, maupun secara diakronis berupa deskripsi tentang kekerabatan Bahasa Klamu dengan bahasa-bahasa lainnya yang hidup di Pulau Pantar.

(25)

4.8 Bahasa Mauta/Lamma

Berdasarkan perhitungan leksikostatistik antara isolek Mauta dan Lamma merupakan dialek.. Hal ini dapat dibuktikan bahwa kognat antara Mauta dan lamma adalah 86%. Jadi, dalam tulisan ini digunakan istilah Bahasa Mauta/Lamma. Bahasa ini dalam pemakaian sehari-hari biasa juga disebut bahasa Tude atau bahasa Tube. Pemakaian istilah Tude atau Tube hanya berdasarkan nama kampung. Orang-orang yang bermukim di Desa Tube menyebut bahasanya dengan Tube.

Isolek Mauta digunakan oleh masyarakat yang berada di Desa Tube, Tude, Ekajaya, Aramaba, Mauta, Delaki, Kecamatan Pantar tengah, sedangkan isolek Lamma digunakan oleh masyarakat di Desa Alumang, Lamma, Beangonong, Kalondoma Tengah, Kalondoma Barat Kecamatan Pantar Barat Laut, dan Desa Kalondoma, Desa Ler, Desa Baraler di Kecamatan Pantar Barat.

Jumlah masyarakat penutur bahasa ini 5.962 orang di Kecamatan Pantar Tengah, 2.491 di Kecamatan Pantar Barat Laut, 2.711 orang di Kecamatan. Pantar Tengah. Bedasarkan data di atas maka dapat diketahui bahwa jumlah penutur Isolek Mauta dan Lamma berjumlah 11.164 orang (Alor dalam Angka, 2010)

Bahasa Mauta/Lamma memiliki fungsi sosial, yaitu digunakan sebagai bahasa komunikasi antarwarga masyarakatnya. Fungsi sosial yang dimaksud, antara lain sebagai bahasa pengantar dalam keluarga, bahasa pergaulan sehari-hari, dan bahasa transaksi kegiatan jual beli baik di pasar maupun di luar pasar. Bahasa Mauta/Lamma digunakan pula sebagai bahasa dalam menyampaikan khotbah, pidato dalam kegiatan gereja dan di mesjid, serta pengantar tradisi lisan

(26)

yang diwariskan pendahulu-pendahulu mereka. Khusus tradisi lisan sering disampaikan saat dilangsungkan pertemuan tertentu yang nonritual, seperti dalam menjenguk kelahiran bayi, pesta perkawinan, pembangunan rumah adat, penarikan batu kubur, menengok orang yang telah meninggal, pemakaman mayat, pemindahkan orang tewas karena kecelakaan, pembunuhan, atau peperangan, penanaman dan panen, dan lain-lain. Selain itu, terdapat pula tradisi lisan berupa ungkapan-ungkapan yang diperuntukkan pada para leluhur terutama pada situasi tertentu yang mengharapkan restu para leluhurnya.

Dalam bidang kebahasaan banyak kemajuan yang telah dicapai oleh para penulis terutama dalam mendeskripsikan bahasa Mauta/Lamma. Nitbani (2001) menulis Struktur Bahasa Lamma, Holton menulis Kamus Pengantar Bahasa

Pantar Barat (Tubbe-Mauta-Lamma). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa

penelitian yang menyinggung soal perbandingan bahasa Mauta/Lamma dengan bahasa-bahasa lainnya di Pantar secara keseluruhan guna memperoleh gambaran tentang status kebahasaan, khususnya soal kekerabatan bahasa-bahasa di Pantar sama sekali belum pernah dilakukan.

4.9 Bahasa Klong

Bahasa ini dituturkan oleh masyarakat yang bermukim di Desa Bukit Mas Kecamatan Pantar. Jumlah penutur Bahasa Klong 649 orang (Alor dalam Angka, 2010).

Bahasa Klong belum memiliki sistem bahasa tulis dan tata tulis. Sampai saat ini belum ditemukan dokumen tertulis, seperti yang berkaitan dengan cerita rakyat atau dokumen tertulis lainnya. Cerita-cerita yang ada hanya dalam bentuk

(27)

cerita lisan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bahasa Klong masih merupakan bahasa lisan. Selain itu, belum ditemukan dokumen atau hasil-hasil penelitian yang menelaah atau mengkaji bahasa Klong.

Bahasa Klong, seperti halnya bahasa yang lain, juga memiliki fungsi sosial dan budaya bagi masyarakat penuturnya. Dalam fungsi sosial, bahasa Klong digunakan sebagai alat komunikasi antarwarga. Bahasa Klong umumnya digunakan sebagai bahasa pergaulan sehari-hari dan bahasa pengantar dalam keluarga. Bahasa Klong juga digunakan sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan jual beli di pasar-pasar (terutama di desa-desa).

Bahasa Klong digunakan sebagai pengantar dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan adat istiadat, seperti dalam upacara adat perkawinan, kelahiran, kematian, membangun rumah, membuat dan menarik batu kubur, dan lain-lain. Bahasa Klong digunakan juga pada saat masyarakat melaksanakan upacara ritual.

Selain kedua fungsi di atas bahasa Klong juga digunakan pada saat ibadat di gereja, kegiatan aparatur pemerintah yang berkaitan dengan penyuluhan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penelitian yang menyinggung soal perbandingan bahasa Klong dengan bahasa-bahasa lainnya di Pantar secara keseluruhan guna memperoleh gambaran tentang status kebahasaan, khususnya soal kekerabatan bahasa-bahasa di Pantar sama sekali belum pernah dilakukan.

(28)

4.10 Bahasa Deing

Bahasa Deing sering juga disebut bahasa Muriabang atau Biangwala. Bahasa ini dituturkan di Desa Muriabang, Desa Bagang, Desa Tamak, Kecamatan Pantar Tengah. Jumlah penutur bahasa Deing 2.904 orang (Alor dalam Angka, 2010).

Bahasa Deing belum memiliki sistem bahasa tulis dan tata tulis. Sampai saat ini belum ditemukan dokumen tertulis, seperti yang berkaitan dengan cerita rakyat atau dokumen tertulis lainnya. Cerita-cerita yang ada hanya dalam bentuk cerita lisan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bahasa Deing masih merupakan bahasa lisan. Selain itu, belum ditemukan dokumen atau hasil-hasil penelitian yang menelaah atau mengkaji bahasa Deing.

Bahasa Deing, seperti halnya bahasa lain, juga memiliki fungsi sosial dan budaya bagi masyarakat penuturnya. Dalam fungsi sosial, bahasa Deing digunakan sebagai alat komunikasi antarwarga. Bahasa Deing umumnya digunakan sebagai bahasa pergaulan sehari-hari dan bahasa pengantar dalam keluarga. Bahasa Deing juga digunakan sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan jual beli di pasar-pasar (terutama di desa-desa).

Bahasa Deing digunakan sebagai pengantar dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan adat istiadat, seperti dalam upacara adat perkawinan, kelahiran, kematian, membangun rumah, membuat dan menarik batu kubur, dan lain-lain. Bahasa Deing digunakan juga pada saat masyarakat melaksanakan upacara ritual.

(29)

Selain kedua fungsi di atas bahasa Deing juga digunakan pada saat ibadat di gereja, kegiatan aparatur pemerintah yang berkaitan dengan penyuluhan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penelitian yang menyinggung soal perbandingan bahasa Deing dengan bahasa-bahasa lainnya di Pantar secara keseluruhan guna memperoleh gambaran tentang status kebahasaan, khususnya soal kekerabatan bahasa-bahasa di Pantar sama sekali belum pernah dilakukan.

4.11 Bahasa Baranusa

Bahasa Baranusa berdasarkan pengelompokan para ahli, seperti para ahli yang tergabung dalam kelompok SIL tidak mencantumkan bahasa Baranusa sebagai bahasa tersendiri. Akan tetapi, mereka menamainya bahasa Alor. Berdasarkan data kuantitatif hasil penelitian ini dapat ditemukan bahwa antara isolek Baranusa dan isolek Alor merupakan beda bahasa. Adapun persentase kognat adalah 60%. Dengan persentase 60% maka dapat dikatakan bahwa Alor dan Baranusa merupakan dua bahasa yang berbeda.

Baranusa dituturkan di Desa Marisa dan Desa Kayang Kecamatan Pantar Barat Laut, Blang Merah, Baraler, Ilu, Pirinsina, Baranusa Kecamatan Pantar Barat. Jumlah penutur bahasa Baranusa adalah di Kecamatan Pantar Barat Laut 4.503 orang, sedangkan di Kecamatan Pantar Barat berjumlah 1.674 orang (Alor dalam angka 2010). Jadi, secara keseluruhan jumlah penutur bahasa Baranusa adalah 6.200 orang.

Bahasa Baranusa memiliki fungsi sosial, yaitu digunakan sebagai bahasa komunikasi antarwarga masyarakatnya, antara lain sebagai pengantar dalam keluarga. Bahasa pergaulan sehari-hari, dan transaksi kegiatan jual beli baik di

(30)

pasar maupun di luar pasar. Bahasa Baranusa digunakan pula sebagai bahasa dalam menyampaikan khotbah, doa, atau pidato dalam kegiatan gereja dan mesjid serta sebagai bahasa pengantar tradisi lisan yang diwariskan pendahulu-pendahulu mereka.

Bahasa ini belum memiliki sistem bahasa tulis. Sampai saat ini belum ditemukan dokumen tertulis seperti yang berkaitan dengan cerita rakyat atau dokumen tertulis lainnya. Cerita yang ada hanya dalam bentuk cerita lisan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bahasa Baranusa masih merupakan bahasa lisan. Selain itu, belum ditemukan dokumen atau hasil-hasil penelitian yang menelaah dan mengkaji bahasa Baranusa. Bahasa tersebut digunakan juga pada saat masyarakat melaksanakan upacara ritual. Selain kedua fungsi di atas, bahasa Baranusa juga digunakan pada saat melangsungkan ibadat di gereja, kegiatan aparatur pemerintah yang berkaitan dengan penyuluhan keluarga berencana, penyuluhan pertanian, penyuluhan kesehatan, kegiatan pendidikan (terutama di sekolah-sekolah dasar). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penelitian yang menyinggung soal perbandingan bahasa Baranusa dengan bahasa-bahasa lainnya di Pantar secara keseluruhan guna memperoleh gambaran tentang status kebahasaan, khususnya soal kekerabatan bahasa-bahasa di Pantar sama sekali belum pernah dilakukan.

4.12 Bahasa Lamaholot

Bahasa Lamaholot (Lh) digunakan oleh masyarakat yang berada Desa Horowura Kenotani Adonara Barat, Ile Padung, Painapang, Ratulodong, Sina Hadigala Kecamatan Tanjung Bunga, Pamakayo Kecamatan Solor Barat,

(31)

Watobuku, Wotokobu, Wulublolon Kecamatan Solor Timur Kabupaten Flores Timur. Sebaliknya, untuk Kebupaten Lembata terdiri atas Desa Pasir Putih Kecamatan Naga Wutur, Desa Amakakala, Desa Jontono Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata. Jumlah penutur bahasa ini diperkirakan 234.076 orang (NTT dalam Angka, 2010).

Bahasa Lh memiliki fungsi sosial, yaitu digunakan sebagai bahasa komunikasi antarwarga masyarakatnya, antara lain sebagai pengantar dalam keluarga, bahasa pergaulan sehari-hari, dan transaksi kegiatan jual beli, baik di pasar maupun di luar pasar. Bahasa Lh digunakan pula sebagai bahasa dalam menyampaikan khotbah, doa, atau pidato dalam kegiatan gereja dan sebagai bahasa pengantar tradisi lisan yang diwariskan pendahulu-pendahulu mereka.

Kajian terhadap bahasa Lamaholot secara umum pernah dilakukan oleh sejumlah peneliti, antara lain Fernandez meneliti “Pengelompokan Bahasa-Bahasa Flores” (1977), Sabon Ola meneliti “Struktur Semantis Verba dalam Bahasa Lamaholot” (2001), “Kesubjekan dalam Bahasa Lamaholot” (2002), “Ritual dalam Bahasa Lamaholot” (2006), Mandaru dkk. menulis “Fonologi, Morfologi, dan Sintaksis Bahasa Lamaholot” (1977) Japa menulis “Properti Argumen Inti Interpretasi Tipologis dan Struktur Kausatif Bahasa Lamaholot” (2000) dan Arka meneliti “Beberapa Aspek Intransitif Terpilah pada Bahasa-Bahasa Nusantara “ (2000). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penelitian yang menyinggung hubungan kekerabatan bahasa tersebut dengan bahasa-bahasa di Pantar belum pernah dilakukan oleh para ahli.

(32)

4.13 Bahasa Kedang

Bahasa Kedang (Kd) pada umumnya digunakan di Desa Leuwayang, Desa Tibai, Desa Walangsawa, Omesuri Kabupaten Lembata. Jumlah penutur bahasa ini 106.312 orang (NTT dalam Angka, 2000)

Bahasa Kd memiliki fungsi sosial, yaitu digunakan sebagai bahasa komunikasi antarwarga masyarakatnya, antara lain sebagai pengantar dalam keluarga, bahasa pergaulan sehari-hari, dan transaksi kegiatan jual beli, baik di pasar maupun di luar pasar. Bahasa Kd digunakan pula sebagai bahasa dalam menyampaikan khotbah, doa, atau pidato dalam kegiatan gereja dan sebagai bahasa pengantar tradisi lisan yang diwariskan pendahulu-pendahulu mereka.

Di bidang kebahasaan belum banyak kemajuan yang dicatat dalam pemerian bahasa. Salah satu yang ditemukan adalah penelitian yang dilakukan oleh Fernandez (1996). Penelitian beliau tentang “Relasi Kekerabatan Bahasa di Pulau Flores”. Selain itu, ada juga penelitian Fernandez (1982, 1983, 1986), yaitu sejumlah kosakata Kedang-Indonesia. Korner (1985) mendeskripsikan hasil penelitiannya mengenai bidang fonetik dan fonologi bahasa Kd. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penelitian yang menyinggung hubungan kekerabatan bahasa tersebut dengan bahasa-bahasa di Pantar belum pernah dilakukan oleh para ahli.

(33)

4.14 Bahasa Alor/Munaseli/Helangndohi

Seperti diuraikan pada 4.11 bahwa bahasa Alor menurut SIL disamakan dengan Baranusa. Berdasarkan hasil pengumpulan data secara kuantitatif bahasa Alor dan Baranusa merupakan dua bahasa yang berbeda.

Pada lokasi-lokasi pengambilan data para informan tidak menyebutkan bahasa Alor, mereka menyebut ada dua yakni bahasa Munaseli atau bahasa Helangndohi. Mereka menamai sesuai dengan daerah masing-masing. Akan tetapi, yang paling dikenal adalah bahasa Munaseli. Berdasarkan hal tersebut dalam penelitian ini digunakan istilah bahasa Munaseli, sedangkan bahasa Alor dituturkan oleh masyarakat yang disekitar kepala burung Pulau Alor. Akan tetapi pendapat masyarakat tersebut harus dibuktikan secara kelinguistikan agar jelas apakah bahasa yang sama atau beda bahasa antara isolek Alor dan Munaseli tersebut. Oleh karena itu dalam disertasi menggunakan istilah bahasa Alor/Munaseli/Helangndohi.

Bahasa Alor/Munaseli/Helangndohi dituturkan di Desa Wailawar, Pandai, Bama, Munaseli Kecamatan Pantar. Jumlah penutur bahasa ini 3.190 orang (Alor dalam Angka, 2010)

Bahasa Alor/Munaseli/Helangndohi memiliki fungsi sosial, yaitu digunakan sebagai bahasa komunikasi antarwarga masyarakatnya, antara lain sebagai pengantar dalam keluarga, bahasa pergaulan sehari-hari, dan transaksi kegiatan jual beli, baik di pasar maupun di luar pasar. Bahasa Munaseli digunakan pula sebagai bahasa dalam menyampaikan khotbah, doa, atau pidato dalam

(34)

kegiatan gereja dan mesjid serta sebagai bahasa pengantar tradisi lisan yang diwariskan pendahulu-pendahulu mereka.

Bahasa ini belum memiliki sistem bahasa tulis. Sampai saat ini belum ditemukan dokumen tertulis, seperti yang berkaitan dengan cerita rakyat atau dokumen tertulis lainnya. Cerita yang ada hanya dalam bentuk cerita lisan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bahasa Munaseli masih merupakan bahasa lisan. Selain itu, belum ditemukan dokumen atau hasil-hasil penelitian yang menelaah dan mengkaji bahasa Munaseli. Selain kedua fungsi di atas, bahasa Munaseli juga digunakan pada saat melangsungkan ibadat di gereja, kegiatan aparatur pemerintah yang berkaitan dengan penyuluhan keluarga berencana, penyuluhan pertanian, penyuluhan kesehatan, kegiatan pendidikan (terutama di sekolah-sekolah dasar). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penelitian yang menyinggung soal perbandingan bahasa Munaseli dengan bahasa-bahasa lainnya di Pantar secara keseluruhan guna memperoleh gambaran tentang status kebahasaan, khususnya soal kekerabatan bahasa-bahasa di Pantar sama sekali belum pernah dilakukan.

Sebagai mana yang telah dikemukakan pada bab I bahwa keempat belas bahasa yang dijelaskan pada uraian di atas, ditemukan tiga buah bahasa yang berkerabat erat yaitu bahasa Modebur, bahasa Kaera, dan bahasa Teiwa sehingga yang memenuhi kriteria untuk direkonstruksi hanyalah ketiga bahasa tersebut. Adapaun kriteria penentuan bahasa-bahasa sekerabat akan diuraikan pada bab V. Ketiga bahasa tersebut terdapat di Pulau Pantar dan dikategorikan sebagai bahasa kelompok Austronesia. Di Pulau Pantar, selain ditemukan bahasa

(35)

non-Austronesia juga ditemukan bahasa kelompok austronesia yaitu bahasa Baranusa dan bahasa Alor/Munaseli/Helangndohi. Selanjutnya, bahasa-bahasa di Pulau Pantar juga terjadi kontak bahasa dengan bahasa yang terdapat di Pulau Lembata yaitu bahasa Kedang dan bahasa Lamaholot termasuk pula kontak dengan bahasa Indonesia. Sebagai bukti bahwa terjadi kontak bahasa adalah ditemukannya bahasa Lamaholot, bahasa Kedang dan bahasa Indonesia di dalam bahasa Modebur dan Kaera seperti di antaranya sebagai berikut.

/geweta/ „menyalakan (sinar)

/gewela/ „memandikan‟ /ade/ „memasang api‟ /ake/ „jangan‟. /bagai/ ‘buaya‟ /batar/ „jagung‟ /ako/ „jangan‟ /yira/„air kenciŋ‟ /bafal/„kapak‟ /isim/ „lima‟ /panakit/ „lumpuh‟ /oras/ „musim‟ /piti/ „peti‟ /oe/ ‘ya‟ /tutuk/ „berkata‟ /petuŋ/ ‘bambu‟ /krajang/ „kerja‟ /grejaweng/ „miggu‟ /bung/ „bunga‟

(36)

Dalam masyarakat yang terbuka, artinya yang para anggotanya dapat menerima kedatangan anggota dari masyarakat lain, baik dari satu atau lebih dari satu masyarakat, akan terjadilah apa yang disebut dengan kontak bahasa. Bahasa dari masyarakat yang menerima kedatangan akan saling mempengaruhi dengan bahasa masyarakat yang datang (Chaer, 2003:65)

Adanya kontak bahasa di Pulau Pantar dengan bahasa-bahasa di Flores Timur terutama bahasa Kedang dan bahasa Lamaholot disebabkab letak kedua bahasa tersebut berdekatan dengan Pulau Pantar. Para penutur bahasa yang ada di Pulau Pantar sering bepergian ke Flores Timur. Salah satu tujuan mereka ke Flores Timur adalah menjual hasil bumi yang berasal dari Pulau Pantar. Kadang-kadang masyarakat yang berasal dari Pulau Pantar ini tinggal beberapa hari di Flores Timur. Oleh karena masyarakat Pulau Pantar sering ke Flores Timur maka patut diduga mereka juga sering mendengar ujaran-ujaran yang di dalam bahasa di Pulau Pantar belum dikenal. Setelah itu, mereka menggunakan ujaran-ujaran tersebut ke dalam bahasa mereka.

Adanya kontak bahasa di Pulau Pantar terutama bahasa yang menjadi sasaran penelitian dengan bahasa Indonesia dapat diuraikan bahwa penggunaan bahasa Indonesia berkembang menjadi bahasa pergaulan di antara mereka. Frekuensi dan durasi pemakaian bahasa Indonesia dalam masyarakat Pantar tergolong tinggi. Hal itu disebabkan oleh perbedaan antara bahasa daerah dan dialek serta subdialek setiap kelompok masyarakat yang ada di wilayah itu. Fungsi bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu dan penghubung antarsuku bangsa yang berbeda latar belakang budaya dan bahasa daerah sangat jelas dalam

(37)

masyarakat ini. Bila bahasa-bahasa daerah tersebut bersaing secara ketat dan persaingan itu berlangsung terus-menerus, tentu perlu juga diwaspadai nasib bahasa-bahasa daerah yang ada di sana. Sebagai prediksi awal, perkembangan beberapa bahasa daerah yang hidup sekarang lambat laun dapat menjadi tidak seimbang, dalam arti bahwa bahasa-bahasa daerah tersebut akan menjadi semakin kecil jumlah penuturnya. Bahkan, dapat terjadi beberapa bahasa daerah akan mengalami kepunahan.

Hal itu dimungkinkan karena di samping adanya kenyataan begitu kuatnya penyebaran bahasa Indonesia saat ini, juga bukti menunjukkan bahwa kontak bahasa pasti terjadi antara bahasa-bahasa non-Austronesia dengan bahasa Austronesia terutama bahasa Indonesia.

Dengan demikian, uraian di atas dapat menjelaskan penyebab mengenai ditemukannya sejumlah kemiripan kata antara bahasa-bahasa non-Austronesia terutama bahasa-bahasa yang menjadi sasaran penelitian dengan bahasa-bahasa Austronesia yaitu bahasa Lamaholot, Kedang, dan bahasa Indoenesia.

Referensi

Dokumen terkait