• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV GAMBARAN UMUM BEBERAPA BAHASA DI PULAU ALOR. diuraikan berdasarkan jenis dan jumlahnya serta karakteristik bahasanya.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV GAMBARAN UMUM BEBERAPA BAHASA DI PULAU ALOR. diuraikan berdasarkan jenis dan jumlahnya serta karakteristik bahasanya."

Copied!
198
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

GAMBARAN UMUM BEBERAPA BAHASA DI PULAU ALOR

4.1. Pengantar

Gambaran umum tentang beberapa bahasa yang terdapat di Kabupaten Alor diuraikan berdasarkan jenis dan jumlahnya serta karakteristik bahasanya. Sejumlah ahli menemukan jenis dan jumlah bahasa di Pulau Alor berbeda-beda. Penulis menguraikan jenis dan jumlah yang ditemukan oleh Retika (2012). Gambaran umum mengenai jenis dan jumlah bahasa di Pulau Alor dapat dipaparkan sebagai berikut. Retika (2012) menulis tentang “Sejarah dan Budaya Kepulauan Alor” memaparkan beberapa bahasa daerah yang terdapat di Pulau Alor. Pada pembahasan awal diuraikan tentang “Mengenal Lebih Dekat Kepulauan Alor” . Uraian berikutnya dibahas pula tentang “Kalabahi Ibukota Alor”; “Bahasa Daerah Alor”; “Pemerintahan Kerajaan-Kerajaan Di Kepulauan Alor”; “Sejarah Ringkas Terbentuknya Kabupaten Alor; serta “Mas Kawin (Belis) Moko”. Berikut ini dipaparkan gambaran umum tentang keberadaan bahasa daerah yang terdapat di Kabupaten Alor (Retika, 2012:1-13).

Kepulauan Alor merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Timur (Sunda Kecil), yang letaknya terbujur dari timur ke barat pada posisi : 8ͦ 13 50 LS, 125 7 55 BT. Batas-batas wilayahnya adalah sebelah timur: wilayah kepulauan Maluku Tenggara Barat; sebelah barat: Selat Lomlen, Kabupaten Lembata; sebelah utara laut Flores; dan sebelah selatan Selat Ombay dan Timor Leste. Kepulauan Alor

(2)

merupakan daerah kepulauan yang terdiri atas lima belas pulau, yakni 9 buiah pulau berpenghuni serta 6 buah pulau tidak berpenghuni. Pulau yang berpenghuni adalah Alor, Pantar, Pura,Tereweng, Ternate, Kepa, Buaya, Kangge, dan Kura. Pulau yang tidak berpenghuni adalah Sika, Kapas, Batang, Lapang, Rusa, dan pulau Kambing. Menurut Peta Kuno yang disesuaikan dengan isi buku berjudul Negarakartagama oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365 ditulis bahwa Pulau Alor disebut dengan nama MALUA, sedangkan pulau Pantar disebut dengan nama GALIYAO. Penyebutan nama tersebut tidak popular lagi semenjak tahun 1650.

Masyarakat di Kepulauan Alor dan pendatang berkonsentrasi ke wilayah LEFOKISU, yang sekarang dinamakan ALOR KECIL. Letaknya sangat strategis sebagai pintu masuk dengan teluk yang indah sehingga cocok untuk pelabuhan. Keadaan yang mendukung, pendatang selalu berbaur dengan masyarakat Lefokisu yang sudah berjalan berabad-abad lamanya. Kehadiran pendatang secara kekeluargaan memunculkan pantun yang dilantunkan dengan judul Kota Benteng Sina, artinya: Kota Berbentuk Benteng Cina serta Leworo Piring Sina, artinya: Kota berbentuk piring Cina. Masyarakat Lefokisu juga bersosialisasai dalam memanfaatkan tanah untuk dijadikan rumah tinggal yang diberi nama Uma Sina artinya: rumah orang Cina serta Uma Makasar artinya: rumah orang Makasar. Beberapa marga yang terdapat pada masyarakat Lefokisu menandakan adanya asimilasi masyarakat, seperti: Eng Goe, Dance, dan Gonggo yang menandakan marga Tionghoa serta Lamadaung, Daeng Mamala, dan Baso yang menandakan marga Makasar (Sulawesi) dan marga lainnya.

(3)

Keanekaragaman etnis di kepulauan Alor turut mempengaruhi keanekaragaman bahasa daerah. Bahasa daerah di Kabupaten Alor memiliki keunikan tersendiri apabila diamati dari segi keberadaan rumpun bahasanya. Masyarakat pengguna bahasa daerah berdasarkan tempat tinggalnya, meskipun mempunyai jarak tempat tinggal cukup dekat antara salah satu suku dengan suku lainnya walaupun hanya dibatasi sebuah sungai, ternyata terdapat perbedaan bahasa atau terdapat perbedaan dialek. Keanekaragaman bahasa daerah berpengaruh pada kehidupan masyarakat serta dampaknya pun dikategorikan dengan dua sisi yakni sisi positif dan sisi negatif. Sisi positif yakni sesuai dengan program pemerintah yaitu Pemberantasan Buta Huruf, maka Kabupaten Alor telah mendapat peringkat cukup baik pada keberhasilannya sehingga memperoleh Penghargaan/Sertifikat pertanda bebas dari buta huruf. Faktor penentu keberhasilan ini adalah keanekaragaman bahasa daerah, walaupun masyarakat menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar antarsuku yang berbeda. Selanjutnya, sisi negatif yang ada dapat dikatakan bahwa masyarakat Alor merasakan kurang rasa persaudaraannya walaupun berada pada satu kabupaten. Secara kesukuan masih terdapat kesulitan untuk berkomunikasi meskipun bahasanya memiliki kekerabatan.

Realita perwujudan kebersamaan bagi masyarakat di Kepulauan Alor dapat dibuktikan dari adanya tarian Lego-Lego dan juga semboyan (motto) seperti cuplikan dalam bahasa daerah berikut.

(4)

1) Taramiti Tominuku (bahasa daerah Abui), artinya: berpegangan tangan untuk bersatu.

2) Mulenoa Tenang Eli (bahasa daerah Pura), artinya: merangkul untuk membangun.

3) Dike Date Bote Lefonarang (bahasa daerah Alor), artinya: baik buruk angkat nama kampong.

4) Yemai Tadi Nokidi (bahasa daerah Kolana), artinya: mari kita bersatu. 5) Mapi Tomnu (bahasa daerah Kabola), artinya: mari bersatu hati.

4.2. Jenis dan Jumlahnya.

Penelitian Woisika (1975) mengungkapkan bahwa ada 17 bahasa daerah terdapat di Pulau Alor. Berdasarkan pendataan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Alor ditemukan 18 bahasa daerah. Penutur bahasa daerah di Pulau Alor berasal dari suku pendatang dan menetap selama berabad-abad. Penuturnya telah terasimilasi dari segi sosial, budaya, agama, dan genetika (perkawinan campur).

Faktor penentu yang mempersulit untuk menemukan pemakai bahasa daerah di Pulau Alor adalah penyebaran penduduk, seiring dengan percepatan pembangunan di bidang transportasi. Di samping itu, perkawinan campur antaretnis juga mempersulit menentukan daerah pemakai bahasa tersebut.

Penelitian Stonis (2008:8-9) mengungkapkan bahwa suku-suku yang ada di Kabupaten Alor berjumlah sembilan belas suku yakni suku Abui, Blagar, Deing, Kabola, Klong, Hamap, Kmang, Kramang, Kui, Lamma, Maneta, Mauta, Seboda,

(5)

Wersin, Kula, Reta, Nedebang, Sawila, dan Tereweng. Di samping suku-suku tersebut, di Kabupaten Alor tercatat tujuh belas bahasa ibu (bahasa daerah lokal) yang digunakan sebagai alat komunikasi antarsuku selain menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa daerah tersebut, adalah bahasa Alor, bahasa Abui, bahasa Blagar, bahasa Hamap, bahasa Kabola, bahasa Kafoa, bahasa Kemang, bahasa Klong, bahasa Kui, bahasa Kula, bahasa Lamma, bahasa Nedebang, bahasa Reta, bahasa Sawila, bahasa Tereweng, bahasa Tewa, dan bahasa Wersing.

Retika (2012: 8-9) memaparkan nama-nama delapan belas suku/etnis dan daerah-daerah pemakai bahasa di Kabupaten Alor sebagai berikut.

1) Bahasa daerah Alores/ Alurung terdapat: di wilayah pesisir, kepala burung, Alurung Pulau Ternate, Pulau Buaya, daerah Munaseli, Helandohi, Bana, Wailawar, Baranusa, dan Kayang.

2) Bahasa daerah Kabola/Adang: sebagian besar terdapat di wilayah Kepala Adang Burung (ABAL).

3) Bahasa daerah Abui/A‟fui: terdapat di Mataru, Wakapsir, Pintu Mas, Morba, Orgen, Kafelulang, Morman, Lakatuil, Kamaifui, Pailelang, Welai, dan Lembur.

4) Bahasa daerah Hamap: terdapat di sekitar Moru sampai daerah Wolwal. 5) Bahasa daerah Klon: terdapat di daerah Probur, Manatang, Halmerman,

Margeta, Tribur, Orgen, Moru, dan Bukit Mas (Pantar).

6) Bahasa daerah Kui: terdapat di daerah Wakapsir (Lerabain), Tribur, Moru, dan Pailelang.

(6)

7) Bahasa daerah Kafoa: terdapar di daerah Probur utara dan Orgen.

8) Bahasa daerah Panea: terdapat di daerah Halmi, Mahi, dan Tanjung Gereja. 9) Bahasa daerah Kamang: terdapat di wilayah Alor Timut Laut, kecuali

Adagae, Taramana (daerah Kelaisi) dan Lembur Timur.

10) Bahasa daerah Kailesa: terdapat di daerah Kiraman, Kuneman, Silaipui, Sida, Bui, Air Mancur, Taramana, Kenaringbala, Pido, Lipang, Kelaisi, Belemana, Langkuru, dan Langkuru Utara.

11) Bahasa daerah Wersin/Wersina/Kula: terdapat di daerah Taramana, Kenaringbala, Adagae Kolana Utara, Maritaing, dan Purnama.

12) Bahasa daerah Tanglapui/Sawila: terdapat di daerah Tanglapui, Padang Panjang, Maukuru, Mausamang, Kolana, Maritaing, Elok, Purnama, dan Belemana.

13) Bahasa daerah Blagar/Pura: terdapat di daerah Batu, Ombay, Merdeka, Mawar, Nule, Toang, Pulau Treweng, dan Pulau Pura kecuali Daerah Retta. 14) Bahasa daerah Retta: terdapat di daerah Retta (di Pulau Pura bagian selatan). 15) Bahasa daerah Taiwa: terdapat di daerah Kaleb, Bungabali, Kaera, Lekom,

dan sebagian daerah Kabir, Batu, dan Nule.

16) Bahasa daerah Nedebang/Bintang/Kalamu: terdapat di daearah Nedebang (Bandar) dan sekitar daerah Kabir.

17) Bahasa daerah Deing/Diang: terdapat di Muriabang dan sebagian daerah Tamakh.

(7)

18) Bahasa daerah Lamma: terdapat di daerah Kalondana, Tude, Mauta, dan sebagian daerah Kayang dan Baraler.

4.3. Karakteristik Kebahasaan

Bahasa daerah yang terdapat di Kabupaten Alor, diklasifikasikan berdasarkan daerah penyebaran dan luas daerah pemakainya. Klasifikasi bahasa-bahasa tersebut adalah sebagai berikut.

1) Terbesar, adalah: bahasa Abui, bahasa Kabola/ Adang, bahasa Alores/ Alurung, bahasa Tanglapui/ Sawila, bahasa Blagar/ Pura, bahasa Klon, dan bahasa Kailesa.

2) Menengah, adalah: bahasa Kui, bahasa Kamang, bahasa Wersin/ Wersina, bahasa Taiwa, bahasa Lamma, bahasa Diang/ Deing, bahasa Hamap, dan bahasa Kafoa.

3) Terkecil, adalah: bahasa Panea, bahasa Retta, dan bahasa Nedebang/ Bitang/ Kalamu.

Karakteristik bahasa-bahasa tersebut dapat dipaparkan seperti di bawah ini. 1) Bahasa Alores/ Alurung.

Bahasa Alores/Alurung merupakan salah satu bahasa daerah di Kabupaten Alor. Penelitian Laino (2013:93) menyebut bahasa Alores ini bahasa Munaseli atau bahasa Helangdohi. Bahasa daerah Alores/ Alurung terdapat di wilayah pesisir, kepala burung, Alurung Pulau Ternate, Pulau Buaya, daerah Munaseli, Helandohi, Bana, Wailawar, Baranusa, dan Kayang (Retika, 2012:8). Bahasa daerah ini digunakan

(8)

sebagai bahasa pendamping untuk menganalisis secara kuantitatif terhadap kekerabatan bahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Klon.

Bahasa Alores/ Alurung digunakan sebagai alat komunikasi bagi masyarakat setempat. Di samping sebagai bahasa pengantar lingkungan keluarga, juga digunakan sebagai bahasa pergaulan sehari-hari untuk beraktifitas seperti di pasar maupun di tempat-tempat umum lainnya. Kegiatan keagamaan yang dilakukan di masjid dan gereja menggunakan bahasa Alores, sehingga dapat dipahami dengan jelas oleh masyarakat setempat. Penelitian terdahulu mengatakan bahwa bahasa Alores/Alurung termasuk kelompok bahasa Austronesia di samping bahasa Baranusa (La Ino, 2012:95).

Bahasa Alores/ Adang tidak memiliki sistem bahasa dan tata tulis. Dokumen yang menyangkut cerita rakyat belum ditemukan. Cerita yang ada hanya dalam bentuk lisan. Dengan demikian, dokumen atau hasil penelitian yang menyangkut kajian bahasa Alores/ Adang belum ditemukan.

2) Bahasa Kabola/Adang

Bahasa Kabola juga disebut bahasa Adang (Retika, 2012:8). Bahasa daerah Kabola/Adang sebagian besar terdapat di wilayah Kepala Adang Burung (ABAL). Bahasa ini merupakan bahasa yang diteliti, memiliki kemiripan dengan bahasa Klon dan bahasa Hamap. Secara kuantitatif dan teknik leksikostatistik ditemukan persentase bahasa Kabola dan bahasa Hamap mancapai 53 %, bahasa Hamap dan bahasa Klon adalah 46 %, sedangkan bahasa Kabola dan bahasa Klon memiliki persentase sebesar 36 %. Hasil persentase tersebut memiliki arti adanya kekerabatan

(9)

bahasa antara bahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Klon, yang merupakan penelitian pada disertasi ini.

Peneliti terdahulu menyebut bahasa ini sebagai bahasa Kedang (La Ino, 2013:92). Sebagai bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, bahasa Kabola memiliki fungsi dan kedudukan bagi warga masyarakat. Bahasa Kabola digunakan pada kegiatan sehari-hari seperti di pasar dan tempat umum lainnya. Penggunaan bahasa Kabola di pasar tradisional sekitar 80 %, sedangkan di pasar umum hanya digunakan sekitar 20 %. Pada kegiatan keagamaan juga digunakan baik di masjid maupun di gereja sehingga dipelihara dan dilestarikan oleh masyarakat pendukungnya. Masyarakat setempat menganggap, bahwa bahasa Kabola merupakan bahasa yang paling santun, seperti kata hemap berati „ke sana‟ serta hepop berarti „ke sini‟. Pada bahasa Hamap he pomi berarti „ke sana‟ serta moung hewi berarti „ke sini‟.

Beberapa contoh kosakata berikut menggambarkan bahwa bahasa Kabola memiliki kesamaan dan kemiripan dengan bahasa Hamap dan bahasa Klon yang menjadi penelitian pada disertasi ini.

Bahasa Kabola Bahasa Hamap Bahasa Klon Glos /naba/ /nab/ /nabe/ ‟apa‟

/hiu/ /hif/ /hi/ ’ayam‟ /tara/ /taru/ /ta/ „berbaring‟ /ib/ /i’biŋ/ /ib/ ‘bintang‟

/toromi/ /tu’mi/ /taromi/ ‟di mana‟ /mihi/ /mih/ /mih/ ’duduk‟

/ut/ /u’t/ /ut/ ’empat’ /bo’oi/ /ba’oir/ /bo’gor/ ’kuning‟ /koin/ /oin/ /pkoin/ „kutu‟

(10)

/bataŋ/ /batiŋ/ /bah/ ‟jarum‟ /lete/’ /let/ /let/ ’jauh‟ /denwe/ /denfe/ /dendi/ ‟kapan‟ /ka’ai/ /kaiŋ/ /kekein/ ’kecil‟ /ta’atu/ /ta’at/ /takat/ ‟kering‟ /bo’oi/ /ba’oir/ /bo’gor/ ’kuning‟ /buluŋ/ /buraŋ/ /bultaŋ/ ’langit‟

3) Bahasa Abui/Afui.

Bahasa daerah Abui/A‟fui terdapat di Mataru, Wakapsir, Pintu Mas, Morba, Orgen, Kafelulang, Morman, Lakatuil, Kamaifui, Pailelang, Welai, dan Lembur (Retika, 2012:8). Bahasa daerah ini digunakan sebagai bahasa pendamping pada analisis secara kuantitatif terhadap kekerabatan bahasa Kabola, bahasa hamap, dan bahasa Klon di Kabupaten Alor.

Bahasa Abui/ A,fui berfungsi sebagai alat komunikasi bagi masyarakat setempat. Di samping sebagai bahasa pengantar lingkungan keluarga, juga digunakan sebagai bahasa pergaulan sehari-hari untuk beraktifitas seperti di pasar dan tempat-tempat umum lainnya. Kegiatan keagamaan yang dilakukan di masjid maupun gereja menggunakan bahasa Abui/A,fui, sehingga dapat dipahami dengan jelas oleh masyarakat setempat. Bahasa daerah ini tidak memiliki sistem bahasa dan tata tulis. Dokumen yang menyangkut cerita rakyat belum ditemukan. Cerita yang ada hanya dalam bentuk lisan.

4) Bahasa Hamap.

Bahasa daerah Hamap terdapat di sekitar Moru sampai daerah Wolwal Retika, 2012: 8). Bahasa daerah ini merupakan bahasa yang diteliti, memiliki kemiripan dengan bahasa Kabola dan bahasa Klon. Penggunaan bahasa Kabola di pasar

(11)

tradisional sekitar 80 %, sedangkan di pasar umum hanya digunakan sekitar 20 %. Pada kegiatan keagamaan juga digunakan baik di masjid dan di gereja sehingga dipelihara dan dilestarikan oleh masyarakat pendukungnya.

Secara kuantitatif dan teknik leksikostatistik, bahasa persentase bahasa Hamap dan bahasa Kabola mancapai 53 %, sedangkan persentase bahasa Hamap dan bahasa Klon adalah 46 %. Bahasa Kabola dan bahasa Klon memiliki persentase sebesar 36 %. Persentase tersebut memiliki arti adanya kekerabatan bahasa antara bahasa Kabola, bahasa Klon, dan bahasa Hamap, yang merupakan penelitian pada disertasi ini.

Beberapa contoh kosakata berikut menggambarkan bahwa bahasa Hamap memiliki kesamaan dan kemiripan dengan bahasa Klon dan bahasa Kabola yang menjadi penelitian pada disertasi ini.

Bahasa Hamap Bahasa Kabola Bahasa Klon Glos

/o’puin/ /kokopuin/ /go’puin/ ’memegang‟ /tar’ra/ /taraai/ /mi’igin/ ‟memilih‟ /ta’u/ /ta’au/ /ta’ka/ ’mencuri‟ /masaŋ/ /masaŋ/ /mah/ ‟menembak‟ /eh/ /kehe/ /geh/ ‟menggigit‟ /pet/ /poco/ /pat/ ‟mengikat‟ /duit/ /dumu/ /dup/ ‟mengisap‟ /te/ /te’e/ /tek/ ’menikam‟ /a/ /puwu/ /pu/ ‟meniup arot/ /haroto/ /ha’rot/ ‟menjahit‟ /na/ /na/ /na/ ‟minum‟ /tat/ /tatu/ /gat/ ’mulut‟ /pa’ha/ /hang/ /hau/ ‟mengunyah‟ /tu/ /tuwu/ /ke’ber/ ‟menggaruk‟ /iri/ /kin/ /i’kin/ ’nyamuk‟ /to’aŋ/ /to’ong/ /u’ru/ ‟pendek‟ /bune/ /buni/ /tut/ ‟panas‟

(12)

/nu/ /nu/ /nuk/ ‟satu‟ /ner/ /naring/ /nan/ ‟saya‟ /name/orang‟ /nimi/ /ininok/ ‟orang‟ /kapuh/ /kupuhu/ /tu’puih/ ‟sempit‟

5) Bahasa Klon

Menurut penelitian terdahulu, bahasa Klon ini disebut bahasa Klong . Jumlah penduduk penutur bahasa Klong adalah 649 orang (Alor Dalam Angka, 2010). Bahasa daerah Klon terdapat di daerah Probur, Manatang, Halmerman, Margeta, Tribur, Orgen, Moru, dan Bukit Mas (Pantar).

Bahasa Klon belum memiliki sistem tata tulis karena sampai saat ini belum ditemukan dokumen tertulis seperti cerita rakyat atau dokumen lainnya. Bahasa Klon merupakan bahasa yang menjadi objek penelitian disertasi yang dibandingkan tingkat kekerabatannya dengan Kabola dan bahasa Hamap.

Bahasa Klon memiliki fungsi dan kedudukan cukup penting pada kegiatan sosial dan budaya bagi masyarakat setempat. Kegiatan sosial masyarakat menggunakan bahasa Klon untuk berkomunikasi, seperti kegiatan jual beli di pasar maupun kegiatan di lingkungan keluarga. Kegiatan yang menyangkut budaya seperti adat isti- adat perkawinan, kematian, kelahiran dan lain-lain menggunakan bahasa Klon sebagai bahasa pengantar. Masyarakat juga menggunakan bahasa Klon pada saat melakukan ibadah di gereja dan kegiatan pemerintahan seperti kegiatan ceramah dan penyuluhan di desa setempat.

Bahasa Klon merupakan bahasa yang diteliti, memiliki kemiripan dengan bahasa Kabola dan bahasa Hamap. Secara kuantitatif dan teknik leksikostatistik bahasa Klon

(13)

dan bahasa Kabola memiliki persentase sebesar 36 %, sedangkan persentase bahasa Klon dan bahasa Hamap adalah 46 %. Persentase bahasa Hamap dan bahasa Kabola mancapai 53 %. Hasil persentase tersebut memiliki arti adanya kekerabatan bahasa antara bahasa Klon, bahasa Kabola, dan bahasa Hamap, yang merupakan penelitian pada disertasi ini.

Beberapa contoh kosakata berikut menggambarkan bahwa bahasa Klon memiliki kesamaan dan kemiripan dengan bahasa Kabola dan bahasa Hamap yang menjadi penelitian pada disertasi ini.

Bahasa Klon Bahasa Kabola Bahasa Hamap Glos

/i’al/ /barapi/ /barpi/ ‟semua‟ /a’be/ /ana/ /a’no/ ’siapa‟ /tuu/ /tun/ /tuu/ ’tahun‟ /ge’taŋ/ /kataŋ/ /tataŋ/ ’tangan‟ /a’dang/ /do/ /do/ „telur‟ /lir/ /lili/ /lil/ ’terbang‟ /ta/ /tara/ /tar/ ’tidur‟ /te’tek/ /te’ei/ /tadung/ ‟tipis‟ /tum/ /kumu/ /ume/ ’tumpul‟ /mon/ /mon/ /mon/ ‟ular‟

6) Bahasa Kui

Bahasa Kui terdapat di daerah Wakapsir (Lerabain), Tribur, Moru, dan Pailelang (Retika, 2012:8). Bahasa Kui memiliki fungsi dan kedudukan cukup penting pada kegiatan sosial dan budaya bagi masyarakat setempat. Kegiatan sosial masyarakat menggunakan bahasa Kui untuk berkomunikasi, seperti kegiatan jual beli di pasar dan kegiatan di lingkungan keluarga. Kegiatan yang menyangkut budaya seperti adat isti adat perkawinan, kematian, kelahiran dan lain-lain menggunakan bahasa Kui

(14)

sebagai bahasa pengantar. Masyarakat juga menggunakan bahasa Kui pada saat melakukan ibadah di gereja dan kegiatan pemerintahan seperti kegiatan ceramah dan penyuluhan di desa setempat.

Bahasa Kui belum memiliki sistem bahasa tulis dan tata tulis, karena sampai saat ini belum ditemukan dokumen tertulis seperti cerita rakyat atau dokumen lainnya. Bahasa Kui digunakan sebagai bahasa pendamping untuk menganalisis secara kuantitatif kekerabatan bahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Kalon di Kabupaten Alor.

7) Bahasa Kafoa

Bahasa Kafoa terdapat di daerah Probur Utara dan Orgen (Retika, 2012:8). Bahasa daerah Kafoa ini digunakan sebagai bahasa pendamping untuk menganalisis secara kuantitatif kekerabatan bahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Kalon pada disertasi ini.

Sebagai fungsi sosial dan budaya bahasa Kafoa juga digunakan pada kegiatan adat-istiadat dan kegiatan ritual. Kegiatan upacara perkawinan, kelahiran, kematian, membangun dan menarik batu kuburan dan lain-lainnya digunakan bahasa Kafoa. Kegiatan di bidang pemerintahan seperti pidato, dan kotbah di gereja digunakan bahasa Kafoa. Bentuk kegiatan yang menyangkut pemerintahan seperti ceramah dan penyuluhan di desa digunakan bahasa Kafoa sebagai bahasa pengantar.

8) Bahasa Panea

Bahasa Panea terdapat di daerah Halmi, Mahi, dan Tanjung Gereja (Retika, 2012:8). Bahasa daerah Panea pada analisis disertasi ini digunakan sebagai bahasa

(15)

pendamping untuk menganalisis secara kuantitatif kekerabatan bahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Klon.

Seperti bahasa daerah lainnya di Pulau Alor, bahasa Panea memiliki fungsi sosial dan fungsi budaya dalam kehidupan berbahasa. Bahasa Panea digunakan sebagai alat komunikasi antarwarga masyarakat. Fungsi sosial dimaksud bahwa bahasa Panea digunakan sebagai alat komunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa Panea juga digunakan sebagai bahasa pergaulan, bahasa pengantar dalam keluarga, serta bahasa pengantar dalam kegiatan jual beli di pasar.

9) Bahasa Kamang

Bahasa Kamang terdapat di wilayah Alor Timut Laut, kecuali Adagae, Taramana (daerah Kelaisi) dan Lembur Timur (Retika, 2012:8). Bahasa Kamang belum memiliki sistem bahasa tulis dan tata tulis karena sampai saat ini belum ditemukan dokumen tertulis seperti cerita rakyat atau dokumen lainnya. Bahasa Kamang digunakan sebagai bahasa pendamping untuk menganalisis secara kuantitatif kekerabatan bahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Kalon di Kabupaten Alor. Bahasa Kamang memiliki fungsi dan kedudukan cukup penting pada kegiatan sosial dan budaya bagi masyarakat setempat. Kegiatan sosial masyarakat menggunakan bahasa Kamang untuk berkomunikasi, seperti kegiatan jual beli di pasar dan kegiatan di lingkungan keluarga. Kegiatan yang menyangkut budaya seperti adat isti adat perkawinan, kematian, kelahiran dan lain-lain menggunakan bahasa Kamang sebagai bahasa pengantar. Masyarakat juga menggunakan bahasa

(16)

Kamang pada saat melakukan ibadat di gereja dan kegiatan pemerintahan seperti kegiatan ceramah dan penyuluhan di desa setempat.

10) Bahasa Kailesa

Bahasa Kailesa terdapat di daerah Kiraman, Kuneman, Silaipui, Sida, Bui, Air Mancur, Taramana, Kenaringbala, Pido, Lipang, Kelaisi, Belemana, Langkuru, dan Langkuru Utara (Retika, 2012:9). Bahasa Kailesa digunakan pada kegiatan ibadat seperti di gereja dan di masjid. Kegiatan pemerintahan yang dilakukan oleh masyarakat juga menggunakan bahasa Kailesa sebagai bahasa pengantar seperti kegiatan penyuhan pertanian dan penyuluhan kesehatan.

Bahasa Kailesa belum memiliki sistem bahasa tulis dan tata tulis, karena sampai saat ini belum ditemukan dokumen tertulis seperti cerita rakyat atau dokumen lainnya. Bahasa Kailesa merupakan bahasa pendamping pada penelitian disertasi untuk menganalisis secara kuantitatif tingkat kekerabatan bahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Klon di Kabupaten Alor.

11) Bahasa Wersin/Wersina/Kula

Bahasa Wersin terdapat di daerah Taramana, Kenaringbala, Adagae Kolana Utara, Maritaing, dan Purnama (Retika, 2012:9). Bahasa Wersin/Wersina/Kula digunakan sebagai bahasa pendamping untuk menganalisis secara kuantitatif kekerabatan bahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Klon di Kabupaten Alor. Seperti bahasa daerah lainnya di Kabupaten Alor, bahasa Wersin/Wersina/Kula memiliki fungsi sosial dan fungsi budaya dalam kehidupan berbahasa. Bahasa ini digunakan sebagai alat komunikasi antarwarga masyarakat. Fungsi sosial dimaksud

(17)

bahwa bahasa Wersin digunakan sebagai alat komunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa Wersin juga digunakan sebagai bahasa pergaulan, bahasa pengantar dalam keluarga, serta bahasa pengantar dalam kegiatan jual beli di pasar.

Fungsi budaya dimaksud bahwa bahasa Wersin digunakan pada kegiatan-kegiatan budaya. Aktivitas budaya masyarakat menggunakan bahasa Wersin dalam berkomunikasi terutama yang berhubungan dengan adat istiadat seperti: upacara perkawinan, membangun rumah, upacara kelahiran, upacara kematian, upacara ritual dal lain-lain.

12) Bahasa Tanglapui/Sawila

Bahasa Tanglapui terdapat di daerah Tanglapui, Padang Panjang, Maukuru, Mausamang, Kolana, Maritaing, Elok, Purnama, dan Belemana (Retika, 2012:9). Bahasa daerah ini digunakan sebagai bahasa pendamping terhadap analisis kuantitatif kekerabatan bahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Klon di Kabupaten Alor. Bahasa Tanglapui/ Sawila belum memiliki sistem bahasa tulis dan tata tulis, karena sampai saat ini belum ditemukan dokumen tertulis seperti cerita rakyat atau dokumen lainnya.

Seperti pada bahasa daearah lainnya di Kabupaten Alor, bahasa Tanglapui/ Sawila digunakan sebagai alat komunikasi bagi masyarakat setempat. Di samping sebagai bahasa pengantar di lingkungan keluarga, juga digunakan sebagai bahasa pergaulan sehari-hari untuk beraktifitas seperti di pasar dan di tempat-tempat umum lainnya. Kegiatan keagamaan yang dilakukan di mesjid dan gereja menggunakan

(18)

bahasa Tanglapui/ Sawila, sehingga dapat dipahami dengan jelas oleh masyarakat setempat.

13) Bahasa Blagar/Pura

Bahasa daerah Blagar/Pura terdapat di daerah Batu, Ombay, Merdeka, Mawar, Nule, Toang, Pulau Treweng, dan Pulau Pura kecuali Daerah Retta (Retika, 2012:9). Jumlah penutur bahasa Blagar pada Kecamatan Pantar adalah 4.383 orang, sedangkan jumlah masyarakat penutur bahasa Blagar di Kecamatan Pantar Barat adalah 389 orang. Dengan demikian, jumlah penutur bahasa Blagar secara keseluruhan adalah 4.772 orang (Alor dalam Angka, 2010).

Bahasa Blagar/Pura digunakan sebagai alat komunikasi bagi masyarakat setempat. Di samping sebagai bahasa pengantar di lingkungan keluarga, juga digunakan sebagai bahasa pergaulan sehari-hari untuk beraktifitas seperti di pasar dan di tempat-tempat umum lainnya. Kegiatan keagamaan yang dilakukan di masjid dan gereja menggunakan bahasa Blagar/Pura, sehingga dapat dipahami dengan jelas oleh masyarakat setempat.

Seperti bahasa daerah lainnya di Pulau Alor, bahasa Blagar memiliki fungsi sosial dan fungsi budaya dalam kehidupan berbahasa. Bahasa Blagar digunakan alt komunikasi antarwarga masyarakat. Fungsi sosial dimaksud bahwa bahasa Blagar digunakan sebagai alat komunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa Blagar juga digunakan sebagai bahasa pergaulan, bahasa pengantar dalam keluarga, serta bahasa pengantar dalam kegiatan jual beli di pasar.

(19)

Fungsi budaya dimaksud bahwa bahasa Blagar digunakan pada kegiatan-kegiatan budaya. Aktivitas budaya masyarakat menggunakan bahasa Blagar dalam berkomunikasi terutama yang berhubungan dengan adat istiadat seperti: upacara perkawinan, membangun rumah, upacara kelahiran, upacara kematian, upacara ritual dal lain-lain.

Bahasa Blagar juga digunakan pada kegiatan ibadat seperti di gereja dan di masjid. Kegiatan pemerintahan yang dilakukan oleh masyarakat juga menggunakan bahasa Blagar sebagai bahasa pengantar seperti kegiatan penyuhan pertanian dan penyuluhan kesehatan. Pada analisis disertasi ini, bahasa Blagar digunakan sebagai bahasa pendamping terhadap kajian secara kuantitatif pada tingkat kekerabatan bahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahsa Klon di Kabupaten Alor.

14) Bahasa Retta.

Bahasa daerah Retta terdapat di daerah Retta (di Pulau Pura bagian selatan). Jumlah penuturnya dalah 3.644 orang (Alor dalam Angka). Penelitian Retika (2012:9) menyebutkan bahasa Retta terdapat di daerah Retta, pulau Pura bagian selatan. Bahasa daerah ini digunakan sebagai bahasa pendamping terhadap analisis secara kuantitatif tingkat kekerabatan bahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Klon di Kabupaten Alor.

Bahasa Retta belum memiliki sistem bahasa tulis dan tata tulis. Dokumen yang berbentuk tulisan belum ditemukan terutama yang menyangkut cerita rakyat atau dokumen tertulis lainnya. Bahasa Retta masih merupakan bahasa lisan, yang digunakan oleh warga masyarakat setempat. Penelitian tentang bahasa Retta sudah

(20)

pernah dilakukan oleh La Ino (2004) dalam bentuk tesis, yang membandingkan dengan bahasa Pura dan bahasa Blagar.

Seperti halnya dengan bahasa daerah lain, bahwa bahasa Retta memiliki fungsi sosial dan budaya di Kabupaten Alor. Sebagai fungsi sosial bahwa bahasa Retta digunakan sebagai alat komunikasi antarwarga masyarakat. Bahasa Retta digunakan pada pergaulan sehari-hari di masyarakat, bahasa pengantar dalam keluarga, dan pada kegiatan sosial lainnya sepergti kegiatan jual-beli di pasar.

Sebagai fungsi budaya, bahasa Retta digunakan pada kegiatan yang berhubungan dengan adat-istiadat dan bersifat ritual seperti: upacara perkawinan, kelahiran, kematian, membangun rumah, membuat dan menarik batu kubur dan lain-lain. Kegiatan dalam bidang pemerintahan juga menggunakan bahasa Retta sebagai alat komunikasi. Bahasa Retta digunakan pada kegiatan ibadat, ceramah, dan penyuluhan kepada warga masyarakat.

15) Bahasa Taiwa

Bahasa Taiwa disebut juga bahasa Teiwa, dan pada beberapa suku disebut juga bahasa Sar karena dituturkan oleh masyarakat yang bermukim di Desa Kaleb, Boweli, Nule, Lekom, dan Lalafang di Kecamatan Pantar Timur dan Desa Kabir serta Desa Madar di Kecamatan Pantar. Menurut penelitian Retika (2012:9) bahasa daerah Taiwa terdapat di daerah Kaleb, Bungabali, Kaera, Lekom, dan sebagian daerah Kabir, Batu, dan Nule.

Bahasa Taiwa digunakan pada kegiatan yang berhubungan dengan adat-istiadat dan bersifat ritual seperti: upacara perkawinan, kelahiran, kematian, membangun

(21)

rumah, membuat dan menarik batu kubur dan lain-lain. Bahasa Taiwa juga digunakan pada kegiatan ibadah, ceramah, dan penyuluhan kepada warga masyarakat.

Penutur bahasa Taiwa berjumlah 6.136 orang (Alor dalam Angka, 2010). La Ino (2013) mengungkapkan bahwa penelitian awal bahasa Taiwa dilakukan dari Desa Lekom. Pleh karena kendala teknis, maka penelitian dilakukan ke Desa Nule. Desa Nule terletak di pinggir pantai yang berbatasan langsung dengan Desa Lekom. Bahasa Indonesia digunakan sebagai alat komunikasi antarsuku. Warga masyarakat menganut agama Kristen Protestan berjumlah 542 orang. Warga masyarakat yang beragama Islam berjumlah 456 orang.

Bahasa Tiwa belum memiliki sistem bahasa dan tata tulis. Hal ini terbukti belum ditemukan adanya dokumen tertulis berbentuk cerita rakyat dan dokumen lainnya. Cerita rakyat ditemukan dalam bentuk lisan saja. Penelitian La Ino (2013) menemukan bahwa penutur bahasa Taiwa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan komunikatif. Tokoh budaya dan adat menggunakan bahasa Indonesia dengan lancar. Penelitian La Ino (2013) mendeskripsikan secara sinkronis dan diakronis tentang bahasa Taiwa yang di Pulau Pantar.

Pada kajian disertasi ini, bahasa Taiwa digunakan sebagai bahasa pendamping terhadap tingkat kekerabatan bahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Klon secara kuantitatif dengan teknik leksikostatistik.

16) Bahasa Nedebang/Bitang/Kalamu

Bahasa daerah Nedebang/Bintang/Kalamu terdapat di daearah Nedebang (Bandar) dan sekitar daerah Kabir. Jumlah penuturnya adalah 526 orang (Alor dalam

(22)

Angka, 2010). Penelitian Retika (2012:9) menyebutkan bahasa daerah Nedebang/ Bintang/ Kalamu terdapat di daerah Nedebang (Bandar) dan sekitar daerah Kabir. Bahasa Nedebang belum memiliki sistem tata tulis. Hal ini terbukti karena tidak ditemukan dokumen tertulis terutama dalam bentuk cefrita rakyat dan dokumen lainnya. Bahasa Nedebang ini dapat dikatakan sebagai bahasa dalam bentuk lisan. Seperti halnya kedudukan bahasa daerah lainnya, bahwa bahasa Nedebang memiliki fungsi kedudukan pada kegiatan sosial maupun budaya. Sebagai fungsi sosial bahasa Nedebang digunakan sebagai alat komunikasi pada kehidupan sehari-hari. Kegiatan lain sepertti; bahasa pengantar di lingkungan keluarga, bahasa pengantar antarwarga dan bahasa pengantar kegiatan jual beli di pasar.

Sebagai fungsi budaya bahasa Nedebang juga digunakan pada kegiatan adat-istiadat dan kegiatan ritual. Kegiatan upacara perkawinan, kelahiran, kematian, membangun dan menarik batu kuburan dan lain-lainnya digunakan bahasa Nedebang. Kegiatan di bidang pemerintahan seperti pidato, dan kotbah di gereja digunakan bahasa Nedebang. Bentuk kegiatan yang menyangkut pemerintahan seperti ceramah dan penyuluhan di desa digunakan bahasa Nedebang sebagai bahasa pengantar. Bahasa Nedebang digunakan sebagai bahasa pendamping terhadap analisis secara kuantitatif pada tingkat kekerabatan bahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Klon di Kabupaten Alor.

17) Bahasa Deing/Diang

Bahasa Deing/Diang terdapat di Muriabang dan sebagian daerah Tamakh Menurut penelitian Retika (2012:9) bahasa Deing juga disebut sebagai bahasa

(23)

Diang, tetapi menurut penelitian terdahulu bahasa Deing juga disebut bahasa

Muriabang atau bahasa Biangwala. Bahasa ini ditutur kan di Desa Muriabang, desa Bagang, Desa Tamak, Kecamatan Pantar Tengah.

Jumlah penuturnya adalah 2.904 orang (Alor dalam Angka, 2010). Bahasa daerah ini digunakan sebagai bahasa pendamping terhadap analisis secara kuantitatif pada tingkat kekerabatan bahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Klon di Kabupaten Alor.

Bahasa Deing juga tidak memiliki sistem tata tulis, karena belum ditemukan adanya dokumen dalam bentuk tertulis seperti cerita rakyat bentuk lainnya. Bahasa Deing hanya ditemukan dalam bentuk bahasa lisan saja.

Seperti bahasa daerah lainnya, bahwa bahasa Deing memiliki fungsi dan kedudukan bagi masyarakat penuturnya. Sebagai fungsi sosial, bahasa Deing digunakan sebagai alat komunikasi antar warga. Di samping itu, bahasa Deing juga digunakan sebagai bahasa pergaulan pada kehidupan sehari-hari terutama bahasa antar keluarga. Dalam kegiatan sosial seperti jual beli di pasar juga menggunakan bahasa Deing sebagai alat komunikasi. Sebagai fungsi budaya bahasa Deing digunakan sebagai bahasa pengantar pada kegiatan adat-istiadat terutama yang bersifat ritual seperti upacara perkawinan, kematian, kelahiran, membangun rumah, membuat, dan menarik batu kubur dan lain-lain.

Kegiatan ibadah seperti kegiatan di gereja menggunakan bahasa Deing sebagai bahasa pengantar. Demikian pula pada saat kegiatan aparatur pemerintahan seperti

(24)

penyuluhan dalam bentuk lainnya menggunakan bahasa Deing sebagai bahasa pengantar.

18) Bahasa Lamma

Bahasa daerah Lamma terdapat di daerah Kalondana, Tude, Mauta, dan sebagian daerah Kayang dan Baraler (Retika, 2012:9). Bahasa daerah ini digunakan sebagai bahasa pendamping terhadap kajian secara kuantitatif pada kekerabatan bahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Klon di Kabupaten Alor.

Menurut penelitian terdahulu bahasa Lamma disebut juga bahasa Mauta. Berdasarkan perhitungan leksikostatistik antara isolek Mauta dan Lamma merupakan dialek. Hal ini dapat dibuktikan bahwa kognat antara Mauta dan Lamma adalah 86 %, maka bahasa Lamma juga dikatakan bahasa Mauta. Bahasa Lamma juga disebut sebagai bahasa Tude atau bahasa Tube, berdasarkan nama kampung yang menggunakan bahasa tersebut. Bahasa Lamma memiliki 5.962 orang di Kecamatan Pantar Tengah, 2.491 orang di Kecamatan Pantar Barat Laut, dan 2.711 orang di Kecamatan Pantar Tengah. Dengan demikian penutur bahasa Lamma berjumlah 11.164 orang (Alor dalam Anga, 2010).

Seperti bahasa daerah lainnya di Kabupaten Alor, bahasa Lamma memiliki fungsi sosial dan budaya. Sebagai fungsi sosial bahwa bahasa Lamma digunakan alat komunikasi antarwarga masyarakat, terutama bahasa pengantar dalam keluarga, bahasa pergaulan sehari-hari serta kegiatan sosial jual beli di pasar. Sebagai fungsi budaya bahasa Lamma juga digunakan untuk berkomunikasi pada kegiatan keagamaan seperti bahasa pengantar untuk kegiatan kotbah, pidato di gereja dan di

(25)

masjid. Kegiatan yang bersifat ritual juga menggunakan bahasa Lamma dalam berkomunikasi, seperti: pesta perkawinan, pembangunan rumah adat, penarikan batu kubur, pemakaman mayat, pembunuhan maupun peperangan dan sebagainya. Ungkapan-ungkapan dalam bahasa Lamma juga ditemukan terutama yang diperuntukkan kepada para leluhur untuk memperoleh restu dari para leluhurnya.

(26)

BAB V

FONEM-FONEM BAHASA KABOLA, BAHASA HAMAP, DAN BAHASA KLON DI PULAU ALOR

Bunyi-bunyi bahasa terjadi melalui suatu energi, menyebabkan adanya udara yang dihembuskan dari paru-paru. Bunyi bahasa terjadi apabila udara yang dihembuskan mendapat hambatan sebagian kecil atau sepenuhnya di berbagai tempat dengan berbagai cara. Udara mengalir dari paru-paru dalam keadaan terbuka. Jika udara tidak mengalami hambatan pada saat bernafas maka tidak terjadi bunyi bahasa (Pike, 1968:3).

Inventarisasi bunyi yang terdapat pada bahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Klon meliputi bunyi vokoid dan bunyi kontoid. Pembuktian alofon dengan distribusi komplementer dilakukan untuk mengetahui bunyi-bunyi tersebut merupakan segmen (fonem) yang sama. Selanjutnya dilakukan identifikasi fonem, meliputi identifikasi fonem vokal dan fonem konsonan.

Pembuktian fonem dilakukan sebagai langkah lanjut dengan menganalisis pasangan minimal dan pasangan mirip pada ketiga bahasa tersebut, baik fonem vokal maupun fonem konsonannya. Pasangan minimal dimaksudkan apabila bunyi yang berbeda hanya satu bunyi. Pasangan mirip memperbolehkan berbeda bunyi dua atau lebih dan bunyi-bunyi tersebut dapat diidentifikasi berada di lingkungan bunyi itu terjadi (Pike, 1968:199). Gambaran tentang fonem-fonem bahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Klon, terlebih dahulu dikaji bunyi-bunyi dan fonem-fonem yang

(27)

ada, kemudian dipaparkan pula pola persukuan (pola suku kata) dan pola kanonik (pola wajib) yang terdapat pada ketiga bahasa tersebut.

Berikut disajikan bunyi-bunyi, fonem-fonem, serta pola persukuan dan pola kanonik yang terdapat pada bahasa Kabola, bahasa Hamap, serta bahasa Klon.

5.1 Bahasa Kabola

Bahasa Kabola merupakan bahasa yang diteliti. Bahasa ini memiliki bunyi-bunyi, fonem-fonem, serta pola persukuan dan pola kanonik sebagai berikut.

5.1.1 Iventarisasi Bunyi Bahasa Kabola

Iventarisasi bunyi terhadap bahasa Kabola bermaksud untuk mengetahui bunyi-bunyi yang terdapat pada bahasa tersebut, baik bunyi-bunyi vokoid maupun bunyi-bunyi kontoid. Bunyi vokoid adalah bunyi yang pada waktu pembentukannya sedikit atau hampir tidak mendapat hambatan udara dalam rongga mulut, hanya terjadi penyempitan pada pita suara. Bunyi-bunyi tersebut dapat digolongkan menjadi tiga bagian yakni: (1) menurut posisi lidah membentuk ruang resonansi (resonance

chamber) menghasilkan vokal depan (front vowels), vokal tengah (central vowels),

dan vokal belakang (back vowels); (2) menurut posisi tinggi rendahnya lidah menghasilkan vokal tinggi/atas (high vowels), vokal sedang/madya (mid vowels), dan vokal rendah (low vowels); dan (3) menurut peranan bibir, menghasilkan vokal bundar (rounded vowels) dan vokal tak bundar (unrounded vowels) (Pike, 1978:6; Ladefoged, 1993:13; Verhaar, 1984:20). Pada lingkungan bunyi tertentu terdapat

(28)

alofon, yang merupakan variasi wujud fonem nonfungsional, tidak membedakan makna (Daniel, 1940:19; Jendra, 1980:12).

Mengidentifikasi bunyi menjadi fonem dapat dibuktikan dengan tiga prosedur, yakni: 1) distribusi komplementer (DK), 2) pasangan minimal (KLS), 3) pasangan mirip (KLM). Identifikasi bunyi dibuktikan dengan distribusi komplementer untuk mengidentifikasi segmen yang sama (fonem sama dan berbeda dalam alofon) Identifikasi bunyi dengan pasangan minimal dan pasangan mirip digunakan untuk menentukan status bahwa status bunyi-bunyi yang dikontraskan merupakan segmen yang berbeda (fonem berbeda).

Bunyi-bunyi pada bahasa Kabola dapat dipaparkan pada uraian berikut. 1) Vokoid

Bunyi-bunyi vokal (vokoid) bahasa Kabola dapat disajikan pada data berikut. [a] [aer] „berhenti‟

[baloIl] „bungkus‟ [na] „minum‟ [Ʌ] [mɅŋ] „tajam‟ [i] [ipIŋ] „berminyak‟ [hiu ai] „anak ayam‟ [omi aloma] „ayak‟ [I] [afaIl man] „meniup‟ [sataIn] „bercerai‟ [ipIŋ] „berminyak‟

[u] [upIŋ] „bidan‟ [mui] „dapur‟ [nu] „satu‟ [U] [tabUn] „bentak‟

(29)

[bUŋ] „bunga‟ [ukUŋ] „cermin‟ [e] [ebEŋ] „diam‟ [nenɅŋ] „penanaman‟ [hile] „berhati-hati‟ [E] [sEŋ bɅŋ] „atap dari seng‟ [pEh pei] „busur‟

[o] [omi alomi] „ayah tiri‟ [moi] „cawat‟ [uununo] „cukup‟ [O] [wolOŋ] „menggali‟

Di bawah ini disajikan sejumlah data dengan distribusi komplementer untuk mengidentifikasi segmen yang sama (fonem sama).

a) [a] [aer] „berhenti‟ [baloIl] „bungkus‟ [na]„minum‟ [Ʌ] [mɅŋ] „tajam‟

b) [i] [ipIŋ]„berminyak‟ [hiu ai]„anak ayam [omi aloma]„ayak‟

[I] [afaIl man]„meniup‟ [sataIn]„bercerai‟ [ipIŋ]„berminyak‟ c) [u] [upIŋ]„bidan‟ [mui]„dapur‟ [nu] „satu‟ [U] [tabUn]„bentak‟ [bUŋ] „bunga‟ [ukUŋ]„cermin‟ d) [e] [ebEŋ]„diam‟ [nenɅŋ] „penanaman‟ [hile]„berhati-hati‟

(30)

[pEh pei]„busur‟

e) [o] [omialomi]„ayah tiri‟ [moi]„cawat‟ [uununo]„cukup‟

[O] [wolOŋ] „menggali‟

Bunyi-bunyi vokal [a], [i], [u], [e], dan [o] terdapat pada suku yang terbuka. Bunyi-bunyi [Ʌ], [I], [U], [O], dan [E] terdapat pada suku yang tertutup. Data a) di atas menunjukkan bunyi [a] terdapat pada suku terbuka seperti [aer] „berhenti‟, dan bunyi [Ʌ] pada suku tertutup seperti [mɅŋ] „tajam‟. Data b) menunjukkan bunyi [i] terdapat pada suku terbuka seperti [ipIŋ]„berminyak‟, dan bunyi [I] pada suku tertutup seperti [afaIl man]„meniup‟. Data c) menunjukkan bunyi [u] terdapat pada suku terbuka seperti [upIŋ]„bidan‟, dan bunyi [U] terdapat pada suku tertutup seperti [tabUn]„bentak‟. Data d) menunjukkan bunyi [e] terdapat pada suku terbuka seperti [ebEŋ]„diam‟, dan bunyi [E] pada suku tertutup seperti [sEŋ bɅŋ]„atap dari seng‟. Data e) menunjukkan bunyi [o] terdapat pada suku terbuka seperti [omialomi]„ayah tiri‟, dan bunyi [O] pada suku tertutup seperti [wolOŋ] „menggali‟.

Bunyi [a], [Ʌ], [i], [I], [u], [U], [e], [E], [o], dan [O] pada data di atas menunjukkan adanya bunyi-bunyi vokal yang terdapat pada bahasa Kabola. Bunyi-bunyi vokal pada bahasa Kabola dapat ditampilkan pada bagan vokoid sebagai berikut.

(31)

Bagan 5.1 Bagan Vokoid Bahasa Kabola

Posisi Lidah Depan Tengah Belakang

Tinggi tegang [i] [u]

kendur [I] [U]

Sedang tegang [e] [o]

kendur [E] [O]

Rendah tegang [a]

kendur [Ʌ]

Bagan vokoid bahasa Kabola di atas menunjukkan bahwa menurut posisi lidah, bunyi [i] merupakan bunyi vokal depan (front vowels), menurut posisi tinggi rendahnya lidah merupakan bunyi vokal tinggi/atas (high vowels), serta menurut peranan bibir termasuk bunyi vokal tak bundar (unrounded vowels). Selanjutnya menurut posisi lidah, bunyi [u] merupakan bunyi vokal belakang (back vowels), menurut posisi tinggi rendahnya lidah merupakan bunyi vokal tinggi/atas (high

vowels), serta menurut peranan bibir termasuk bunyi vokal bundar (rounded vowels).

Demikian pula menurut posisi lidah, bunyi [e] merupakan bunyi vokal depan (front

vowels), menurut posisi tinggi rendahnya lidah merupakan bunyi vokal

tengah/sedang (central vowels), serta menurut peranan bibir termasuk bunyi vokal tak bundar (unrounded vowels). Bunyi [o], menurut posisi lidah, merupakan bunyi vokal belakang (back vowels), menurut posisi tinggi rendahnya lidah merupakan bunyi vokal tengah/sedang (central vowels), serta menurut peranan bibir termasuk bunyi vokal bundar (rounded vowels). Bunyi [a], menurut posisi lidah, merupakan bunyi vokal tengah (central vowels), menurut posisi tinggi rendahnya lidah merupakan

(32)

tak bundar (unrounded vowels) (Pike, 1978:6).

Bunyi vokal [i] termasuk bunyi vokal tinggi, depan, dan tak bundar, karena pada waktu pengucapan bunyi vokal tersebut, lidah dinaikkan ke atas di bagian depan mulut didekatkan pada langit-langit keras dan bibir bersikap pipih atau tak bundar. Bunyi vokal [u] termasuk bunyi vokal tinggi, belakang, dan bundar, karena pada waktu pengucapan bunyi vokal tersebut lidah dinaikkan ke atas bagian belakang mulut, dekat langit-langit lunak atau velum serta bibir bersikap bundar. Bunyi vokal [a] tergolong rendah dan tak bundar karena pada waktu pengucapan bunyi vokal tersebut posisi lidah relatif datar atau rendah di bagian belakang mulut, tanpa pembundaran bibir. Dengan demikian, bunyi vokal [i] dan [u] sebagai vokal tinggi bertolak belakang dengan bunyi vokal [a] sebagai vokal rendah. Bunyi vokal [i] dan [u] bertolak belakang dalam titinada. Posisi depan lidah dan sikap pipih bibir untuk bunyi vokal [i] menghasilkan rongga kecil di antara lidah dan bibir, tanpa penyempitan pada bibir. Bunyi vokal [u] posisi bibir bundar dan lidah ke belakang, ada celah yang menyempit pada bibir dan rongga yang besar di antara bibir dan lidah. Hasilnya bunyi vokal yang bertitinada rendah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bunyi vokal [i] memiliki titinada tertinggi, bunyi vokal [u] terendah, dan bunyi vokal [a] berada di antara keduanya. Selanjutnya bunyi vokal [e] dan [o] ketinggiannya berada di tengah-tengah, di antara bunyi vokal tinggi dan rendah, tetapi bertolak belakang satu sama lain. Bunyi vokal [e] tergolong bunyi vokal

(33)

sedang, belakang, dan bundar (Schane, 1992:10; Ladefoged, 2001:115; Pike, 1978:5). 2) Kontoid

Bunyi kontoid adalah bunyi yang pada waktu pembentukannya udara keluar dari paru-paru sebagian besar atau sepenuhnya mengalami hambatan. Berdasarkan pembentukannya ada empat dasar yakni: (1) berdasarkan artikulator dan titik artikulasi; (2) berdasarkan bergetar tidaknya selaput suara; (3) berdasarkan jenis rintangan; dan berdasarkan jalannya udara (Pike, 1978:24).

Bunyi-bunyi konsonan (kontoid) bahasa Kabola dapat disajikan pada data berikut.

[b] [bOl] „tempat sirih‟ [kobo] „istri‟

[bOb] „ombak‟ [] [Eŋ mari] „air mayat‟

[aio] „anak perempuan‟

[niEŋ] „alis‟

[p] [pOt] „cerewet‟ [apate] „rasa‟ [balEp] „senapan‟ [v] [veIŋ] „kiri‟

[f] [fE mui] „matahari terbenam‟

[pUtfai] „burung puyuh‟ [m] [mɅŋ] „tajam‟

[IlmɅŋ] „mencuci pakaian‟

[noɁhɅm] „damai‟ [t] [tOlsei] „air susu‟

(34)

[d] [dɅŋ] „membakar‟ [adaIl] „ajak‟ [mUd] „dapur‟

[] [meiai] „belum masak‟ [tE] „geraham‟

[n] [nɅrkio] „paha‟ [anɅr] „parut‟

[sataIn] „bercerai‟ [s] [sataon] „berdamai‟ [fElsEi] „air kencing‟ [noɁsɅh] „lauk pauk‟ [l] [lɅhtɅl] „allah‟

[noilai] „belum matang‟ [ul] „bulan‟

[r] [rodIŋ] „kelenjar susu‟ [hiri] „daging‟ [aEr] „berhenti‟ [R] [aliRIŋ] ‟akar‟ [kaiRIŋ] ‟jahat‟ [k] [kanɅr] „memar‟ [akOl] „kentut‟ [salɅk] „gelang‟ [g] [gade] „menggadaikan‟ [magoni] „barangkali‟ [mUg] „mangkok‟ [] [anɅr] „parut‟ [aOl] „keladi‟ [dE] „bale-bale‟ [j] [ji] „air‟

(35)

[mu  [c] [carOk] „takut‟ [h] [homi] „angin‟ [toho] „berdiri‟ [alfOh] „menguap‟ [w] [wolOŋ] „menggali‟ [y] [yEnda] „denda‟ [tɅryɅh] „janggut‟

[ŋ] [ŋalimUŋ] „belimbing buluh‟ [nIŋbEŋ] „alis‟

[malimUŋ] „belimbing‟ [Ɂ] [laɁana] „hitam‟

Bunyi-bunyi konsonan [p], [b], [], [v], [f], [m], [t], [d], [], [n], [s], [l], [r], [R], [k], [g], [], [j], [[c], [h], [w], [y], [ŋ], dan [Ɂ] pada data di atas menunjukkan adanya bunyi-bunyi konsonan yang terdapat pada bahasa Kabola. Bunyi-bunyi konsonan [p], [b], [], [m], [t], [d], []], [n], [s], [l], [r], [k], [g], [], [h], [w], [ŋ] berdistribusi lengkap, baik pada posisi awal, tengah, maupun akhir kata. Selanjutnya, bunyi konsonan [f] berdistribusi pada posisi awal dan tengah kata, konsonan [j], [c], dan v] berdistribusi pada posisi awal kata, bunyi [serta bunyi konsonan [Ɂ] berdistribusi pada posisi tengah kata.

(36)

Artikulator dan Daerah Artikulasinya Sis tem bunyi Bila-bial Labio-dental Apiko-dental Apiko-alveolar

Palatal Dorso-velar Laringal Glotal

b tb b tb b tb b tb b tb b tb b tb b tb Plosives [b] [p] [d] [t] [g] [k] [Ɂ] Implosi ves [] [] [] Fricativ es [v] [f] [s] [h] [ Africati ves [j] [c] Trills [r] [R] Laterals [l] Nasals [m] [n] [ŋ] Semi vowels [w] [y] 5.1.2 Pembuktian Fonem

Pembuktian fonem dilakukan untuk membuktikan fonem-fonem yang terdapat pada bahasa Kabola. Fonem-fonem bahasa tersebut dibuktikan dengan menganalisis pasangan minimal dan pasangan mirip pada bahasa Kabola, baik fonem vokal maupun fonem konsonannya. Pembuktian fonem vokal dan fonem konsonan pada bahasa Kabola dapat disajikan pada uraian berikut.

1) Pembuktian Fonem Vokal

Pasangan minimal dan pasangan mirip fonem vokal pada bahasa Kabola dapat disajikan pada data berikut.

(1) Pasangan minimal

/o/--/e/ [homi] „datang dari‟ [hemi] „dari‟

(37)

/e/--/a/ [harEn] „batu guntur‟ [haran] „batu asah‟ /e/--/i/ [pahene] „buah pelir‟ [pahine] „bisul‟ /a/--/o/ [sataIn] „bercerai‟ [satoIn] „berdamai‟ /a/--/u/ [na] ‟minum‟ [nu] ‟satu‟ (2) Pasangan mirip

/o/--/e/ [aio] „anak perempuan‟

[aie] „anak pungut‟

/u/--/e/ [fElmui] „matahari terbenam‟ [fEdmei] „matang‟

/e/--/a/ [hiuel] „induk ayam‟ [hiuat ] „anak ayam‟ /e/--/i/ [aliaŋ lahEl] „akar samping‟ [aliaŋ tahIl] „akar gantung‟ /a/--/o/ [anafe] „banjir‟

[anole] „bantal‟

/a/--/u/ [laɁana] „hitam‟ [taɁanu] „hitung‟

Berdasarkan data di atas pasangan-pasangan vokoid tersebut merupakan fonem yang berbeda, karena berada pada kontras lingkungan sama (pasangan minimal) dan kontras lingkungan mirip (pasangan mirip). Dengan demikian, vokoid [a, i, u, e, dan o] terbukti sebagai fonem.

(38)

Bagan 5.3 Bagan Fonem Vokal Bahasa Kabola

Posisi Lidah Depan Tengah Belakang

Tinggi /i/ /u/

Sedang /e/ /o/

Rendah /a/

2) Pembuktian Fonem Konsonan

Pasangan minimal dan pasangan mirip fonem konsonan pada bahasa Kabola dapat disajikan pada data berikut.

(1) Pasangan minimal

/b/--/p/ [bOl] „tempat sirih‟ [pOt] „cerewet‟ /m/--/n/ [mɑɁra] „pantai‟ [nɑɁra] „pamit‟ /m/--/ŋ/ [malimUŋ] „belimbing‟ [ŋalimUŋ] „belimbng buluh‟ /l/--/t/ [ul] ‟bulan‟ [ut] ‟empat‟ /f/--/l/ [afOl] ‟menggendong‟ [alOl] ‟mengetahui‟ //--/k/ [aOl] „keladi‟ [akOl] „kentut‟ /b/--/m/ [bini] ‟memukul‟ [mini] ‟mati‟ /b/--/n/ [Ob] „ombak‟ [nOb] „nangka‟

(39)

/d/--/t/ [ɑŋ] ‟membakar‟ [tɑŋ] ‟laut‟ /n/--/r/ [hanɑŋ] ‟menganyam‟ [harɑŋ] ‟mengasah‟ /p/--/h/ [piri] ‟buah‟ [hiri] ‟daging‟ /p/--/t/ [puwu] „meniup‟ [tuwu] „menggaruk‟ (2) Pasangan mirip /b/--// [O   ŋO „nangka‟ /b/--/p/ [kobo] „itu‟ [opo] „istri‟ /d/--/ E  (jamak)

El] „dada „ ( tunggal) /g/--/ [ugUl] „cedok‟

[aUr] „cincin‟

/m/--/n/ [meidai] „belum masak‟ [noilai] „belum matang‟ /m/--/ŋ/ [wewelEm] „hijau‟

[kelelEŋ] „laba-laba‟ /l/--/t/ [aliaŋ lahEl] „akar samping‟ [aliaŋ tahIl] „akar gantung‟ /f/--/l/ [anafe] „banjir‟ [anole] „bantal‟

/v/--/f/ [savɅd] „alat babat rumput‟ [fabɅt] „ampas kelapa‟

(40)

[carɅk] „yang mana‟

Pasangan-pasangan kontoid pada data di atas berada pada kontras lingkungan sama (pasangan minimal) dan kontras lingkungan mirip (pasangan mirip). Dengan demikian pasangan-pasangan kontoid tersebut merupakan fonem yang berbeda sehingga ditulis /p, b, d, t, g, f, k, Ɂ, v, f, s, h, j,c, r, l, m, n, ŋ, w, dan y/. Bagan 5.4 Bagan Fonem Konsonan Bahasa Kabola

Artikulator dan Daerah Artikulasinya Sistem

bunyi Bila-bial Labio-dental Apiko-dental alveolar Apiko- Palatal Dorso-velar Laringal Glotal

b tb b tb b tb b tb b tb b tb b tb b tb Plosives /b/ /p/ /d/ /t/ /g/ /k/ /Ɂ/ Implosives    Fricatives /v/ /f/ /s/ /h/ Africatives /j/ /c/ Trills /r/ Laterals /l/ Nasals /m/ /n/ /ŋ/ Semi vowels /w/ /y/

5.1.3 Pola Persukuan dan Pola Kanonik Bahasa Kabola 5.1.3.1 Pola Persukuan bahasa Kabola

Pola Persukuan bahasa Kabola dapat dipaparkan sebagai berikut. 1) Pola V /o.ha/ „batas‟ /da.i/ „belum‟ 2) Pola KV /ji/ „air‟ /pa.lel/‟bengkok‟ 3) Pola VK /it/ „berak‟ /ap/ „benang‟

(41)

/hil/ „berbuah‟ 5) Pola KKV

/kre.yeŋ/‟bekerja‟ /gri.yaŋ/‟kebun‟

5.1.3.2 Pola Kanonik bahasa Kabola

Pola kanonik bahasa Kabola dapat dipaparkan sebagai berikut. 1.Kata bersuku satu (monosilabik)

Pola KV /ji/‟air‟ /do/‟ini‟ Pola VK /ib/‟bintang‟ /ul/‟bulan‟ Pola KVK /lab/‟awan‟ /mol/‟abu‟

2.Kata bersuku dua (bisilabik) Pola KV.KV /ho.mi/‟angin‟ /na.ba/‟apa‟ Pola KV.VK /ho.am/‟begini‟ /bu.aŋ/‟berjongkok‟ Pola V.KV /u.wa/‟atap‟ /a.ra/‟ada‟ Pola KV.KVK /mi.niŋ/‟bapak‟ /mo.tiŋ/‟berkata‟ Pola KVK.KVK /bul.taŋ/‟langit‟ /lah.tal/’allah‟ Pola KKV.KVK /kre.yeŋ/’bekerja’ /gri.yaŋ/‟tanam‟

3.Kata bersuku tiga (trisilabik) Pola V.KV.KVK

(42)

/ke.be.li/‟bahu‟ /ha.ba.ra/‟baru‟ Pola KV.KV.KVK /du.ku.luŋ/‟mereka‟ Pola KV.V.KVK /ka.i.riŋ/‟jahat‟ /ti.a.haŋ/‟atap kayu‟ Pola KV.VK. KV /du.im.mi/‟di dalam‟ /na.ol.bo/‟besi‟ Pola V.KV.KVK /e.le.peŋ/‟mendengar‟ /i.ta.tab/‟dekat‟ Pola KVK.KV.KV /kom.ka.ha/‟hati‟ /dil.ku.wu/‟malam‟ Pola KV.V.KV /la.a.na/‟hitam‟ /ta.a.na/‟hitung‟

4.Kata bersuku empat (kuadrasilabik) Pola KV.KVK.V.KV

/bi.raŋ.a.ru/‟sehat‟ Pola KV.KVK.KV.KV /pa.raŋ.pu.yu/‟meludah‟

Bahasa Kabola memiliki empat pola kanonik yakni kosa kata/morfem dasar bersuku satu, kosa kata/morfem dasar bersuku dua, kosa kata/morfem dasar bersuku tiga, dan kosa kata/morfem dasar bersuku empat. Keempat pola tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

1) Kata bersuku satu memiliki pola: (1) KV, (2) VK, dan (3) KVK. Pada pola bersuku satu ini tidak ditemukan adanya deret vokal, deret konsonan, maupun gugus konsonan.

(43)

KV.KVK, (5) KVK.KVK, dan (6) KKV.KVK. Pada pola bersuku dua ini tidak ditemukan adanya deret vokal maupun deret konsonan, hanya ditemukan adanya gugus konsonan /kr/ dan /gy/ pada pola KKV.

3) Kata bersuku tiga memiliki pola: (1) V.KV.KVK, (2) KV. KV. KV, (3) KV.KV.KVK, (4) KV.V.KVK, (5) KV.VK. KV, (6) V.KV.KVK, (7) KVK.KV.KV, dan (8) KV V KV. Pada pola bersuku tiga ini tidak ditemukan adanya deret vokal, deret konsonan, maupun gugus konsonan.

4) Kata bersuku empat memiliki pola: (1) KV.KVK.V.KV dan (2) KV.KVK.KV.KV. Pola bersuku empat pada bahasa Kabola ini tidak ditemukan adanya deret vokal, deret konsonan, maupun gugus konsonan. Pola suku empat ini tidak banyak ditemukan. Suku kata /bi.raŋ/ dengan pola KV.KVK terdiri atas dua suku kata. Pada pola KV.KVK ditemukan morfem dasar /mi.niŋ/‟bapak‟ dan suku kata /a.ru/ terdiri atas dua suku kata dengan pola V.KV serta pada pola yang sama ditemukan morfem dasar /u.wa/‟atap‟. Demikian pula suku kata /pa.raŋ/ terdiri atas dua suku kata dengan pola KV.KVK. Pada pola yang sama ditemukan morfem dasar /mo.tiŋ/’berkata‟, suku kata /pu.yu/ terdiri atas dua suku kata dengan pola KV.KV tetapi pada pola yang sama ditemukan morfem dasar /na.ba/‟apa‟. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa data tersebut merupakan pola kata bersuku empat.

Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa bahasa Kabola memiliki pola kanonik bersuku satu, bersuku dua, bersuku tiga, dan bersuku empat. Pola bersuku satu, pola bersuku tiga, dan pola bersuku empat tidak ditemukan adanya deret vokal,

(44)

gugus konsonan /kr/, yakni bunyi hambat (plosives) diikuti oleh bunyi getar (trills) dan gugus konsonan /gr/, yakni bunyi hambat (plosives) diikuti pula oleh bunyi getar (trills) serta tidak ditemukan adanya deret vokal maupun deret konsonan.

5.2 Bahasa Hamap

Bahasa Hamap merupakan bahasa yang diteliti. Bahasa ini memiliki bunyi-bunyi serta fonem-fonem, baik fonem vokal dan fonem konsonan yang dipaparkan pada uraian selanjutnya.

5.2.1 Inventarisasi Bunyi Bahasa Hamap

Inventarisasi bunyi terhadap bahasa Hamap bermaksud untuk mengetahui bunyi-bunyi yang terdapat pada bahasa tersebut. Bunyi-bunyi pada bahasa Hamap dapat dipaparkan pada uraian berikut.

1) Vokoid

Bunyi-bunyi vokal (vokoid) bahasa Hamap dapat disajikan pada data berikut. [a] [ada] „adat‟

[hoan] „begini‟ [ara] „ada‟ [Ʌ] [kɅnte] „gagap‟ [fabɅt] „ampas‟ [e] [eih] „kura-kura

[sei] „susu‟ [bale] „arang‟ [E] [mahEk] „campak‟ [sosEr] „ayakan‟

(45)

[fifIt] „darah merah‟ [api] „cubit‟

[I] [foIl saripa] „saling berjumpa‟ [ul mIn] „gerhana bulan‟ [u] [utUl] „tutup‟

[buraŋ] „guruh‟ [maru] „abu dapur‟ [U] [salilUŋ] „bersila‟ [dUl] lagu‟ [e] [edai] „hampir‟ [sanete tEl] „daun jendela‟ [kɑnte] „gagap‟ [E] [mahEk] „campak‟ [tasEh] „giat‟ [o] [ob ara] „berbini‟ [hoIn] „begitu‟ [aor alo] „dua kali‟ [O] [mOp] „doa‟ [kOd] „kebaya‟

Di bawah ini disajikan sejumlah data bahasa Hamap dengan distribusi komplementer, untuk mengidentifikasi segmen yang sama (fonem sama).

a) [a] [ada]„adat‟ [agama]„agama‟ [ara] „ada‟ [Ʌ] [kɅnte]„gagap‟ [fabɅt] „ampas‟ b) [i] [ifihIŋ]„lima‟ [fifIt]„darah merah‟ [api] „cubit‟ [I] [foIl saripa] „saling berjumpa‟

c) [u] [utUl]„tutup‟ [dUl]„lagu‟

(46)

d) [e] [emarIŋ]‟menyampaikan‟ [sei] „susu‟

[afoe]‟hamil‟ [E] [mahEk]„campak‟

[sosEr]„ayakan‟

e) [o] [ob ara]„berbini‟ [hoIn]„begitu‟ [aor alo]„dua kali‟

[O] [mOp]„doa‟ [kOd]„kebaya‟

bunyi: [a], [i], [u], [e], dan [o] terdapat pada suku yang terbuka. Bunyi-bunyi [Ʌ], [I], [U], [O], dan [E] terdapat pada suku yang tertutup. Data a) di atas menunjukkan bunyi [a] terdapat pada suku terbuka seperti ada]„adat‟, dan bunyi [Ʌ] pada suku tertutup seperti [kɅnte]„gagap‟. Data b) menunjukkan bunyi [i] terdapat pada suku terbuka seperti [ifihIŋ]„lima‟, dan bunyi [I] pada suku tertutup seperti [foIl

saripa] „saling berjumpa‟. Data c) menunjukkan bunyi [u] terdapat pada suku terbuka

seperti [utUl]„tutup‟, dan bunyi [U] terdapat pada suku tertutup seperti [salilUŋ]„bersila‟ . Data d) menunjukkan bunyi [e] terdapat pada suku terbuka seperti [emarIŋ]‟menyampaikan‟,dan bunyi [E] pada suku tertutup seperti [mahEk]„campak‟. Data e) menunjukkan bunyi [o] terdapat pada suku terbuka seperti [ob ara]„berbini‟, dan bunyi [O] pada suku tertutup seperti [mOp]„doa‟.

Dengan demikian dapat dikatakan, bunyi [I] merupakan alofon dari bunyi [i]; bunyi [U] merupakan alofon dari bunyi [u]; bunyi [E] merupakan alofon dari bunyi

(47)

dari bunyi [a].

Bunyi-bunyi vokal pada bahasa Hamap dapat ditampilkan pada bagan vokoid sebagai berikut.

Bagan 5.5 Bagan Vokoid Bahasa Hamap

Posisi Lidah Depan Tengah Belakang

Tinggi tegang [i] [u]

kendur [I] [U]

Sedang tegang [e] [o]

kendur [E] [O]

Rendah tegang [a]

kendur [Ʌ]

Bagan vokoid bahasa Hamap di atas menunjukkan bahwa menurut posisi lidah, bunyi [i] merupakan bunyi vokal depan (front vowels), menurut posisi tinggi rendahnya lidah merupakan bunyi vokal tinggi/atas (high vowels), serta menurut peranan bibir termasuk bunyi vokal tak bundar (unrounded vowels). Selanjutnya menurut posisi lidah, bunyi [u] merupakan bunyi vokal belakang (back vowels), menurut posisi tinggi rendahnya lidah merupakan bunyi vokal tinggi/atas (high

vowels), serta menurut peranan bibir termasuk bunyi vokal bundar (rounded vowels).

Demikian pula menurut posisi lidah, bunyi [e] merupakan bunyi vokal depan (front

vowels), menurut posisi tinggi rendahnya lidah merupakan bunyi vokal

tengah/sedang (central vowels), serta menurut peranan bibir termasuk bunyi vokal tak bundar (unrounded vowels). Bunyi [o], menurut posisi lidah, merupakan bunyi vokal belakang (back vowels), menurut posisi tinggi rendahnya lidah merupakan bunyi

(48)

vokal tengah/sedang (central vowels), serta menurut peranan bibir termasuk bunyi vokal bundar (rounded vowels). Bunyi [a], menurut posisi lidah, merupakan bunyi vokal tengah (central vowels), menurut posisi tinggi rendahnya lidah merupakan bunyi vokal rendah (low vowels), serta menurut peranan bibir termasuk bunyi vokal tak bundar (unrounded vowels).

2) Kontoid

Bunyi-bunyi konsonan pada bahasa Hamap dapat disajikan pada data berikut. [b] [boi] „cela‟

[tabUr] „gila‟

[ai ob] „anak perempuan‟ [] [u] „kentut‟

[kaai] „burung gagak‟

[arate e] „dinding‟

[p] [paIl] „berteka-teki‟ [tepɑŋ pa] „jari kaki‟ [mOp] „doa‟

[f] [foIl saripa] „saling gerjumpa‟ [lafinIŋ] „tinggi‟

[moif] „tunggu‟ [m] [moi] „cawat‟ [name ahaIl] „tukang sihir‟ [sana hɑm] „bersama-sama‟ [t] [tale mi] „dari atas‟ [kɅnte] „gagap‟ [lɅt] „buka mulut‟ [d] [dIl] „ladang‟ [teuada] „tumit‟ [balOmEd] „banting‟

Referensi

Dokumen terkait