• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.3. Bahasa Verbal dan Nonverbal

Pada dasarnya komunikasi adalah pertukaran pesan (baik secara verbal maupun nonverbal) dari komunikator ke komunikan yang dilakukan melalui suatu media tertentu, yang pada akhirnya menimbulkan umpan balik kepada komunikatornya. Ketika pesan ini disampaikan dari satu orang ke orang lain, akan terjadi proses penciptaan makna yang disebut juga dengan persepsi. Proses penciptaan makna atau persepsi ini tidak lepas dari bagaimana cara seseorang menangkap dan menafsirkan pesan yang diterimanya, sedangkan penyampaian pesan ini sendiri tidak semata-mata dilakukan hanya menggunakan bahasa verbal saja tetapi juga menggunakan bahasa nonverbal. Berikut adalah beberapa hal yang menyangkut komunikasi verbal dan nonverbal untuk memperjelas proses persepsi yang terjadi ketika seseorang menangkap suatu pesan dari orang lain :

1. Pengertian Pesan Verbal Dan Nonverbal

Mulyana dalam bukunya Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar (2001:237-239), simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Hampir semua rangsangan wicara yang di sadari termasuk kedalam kategori pesan verbal yang disengaja, yaitu usaha-usaha yang dilakukan secara sadar untuk berhubungan dengan orang lain secara lisan. Bahasa dapat juga dianggap sebagai suatu sistem kode verbal. Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami suatu komunitas.

Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan, dan maksud seseorang. Bahasa verbal menggunakan kata-kata yang mempresentasikan berbagai aspek realitas individual.

Bila kita menyertakan budaya sebagai variabel dalam proses abstrak itu, problemnya menjadi semakin rumit. Ketika seseorang berkomunikasi dengan seseorang dari budayanya sendiri, proses abstraksi untuk mempresentasikan pengalaman akan jauh lebih mudah, karena dalam suatu budaya orang-orang berbagai sejumlah pengalaman serupa. Namun bila komunikasi melibatkan orang-orang berbeda budaya, banyak pengalaman berbeda, dan konsekuensinya, proses

abstraksi juga menyulitkan. Berikut ini fungsi bahasa menurut para pakar, yaitu :

1. Menurut Larry L. baker dalam Mulyana (2001:243), bahasa memiliki tiga fungsi:

a. Penamaan (naming atau labeling), interaksi, dan transisi informasi. Penamaan atau penjulukan merujuk pada usaha mengidentifikasi objek, tindakan, atau orang dengan menyebut namanya sehingga dapat dirujuk dalam komunikasi.

b. Fungsi interaksi menekankan berbagai gagasan dan emosi, yang dapat mengundang simpati dan pengertian atau kemarahan dan kebingungan.

c. Bahasa sebagai fungsi informasi. Seseorang menerima informasi setiap hari, sejak bangun tidur hingga tidur kembali, dari orang lain baik secara langsung atau tidak (melalui media massa misalnya). Fungsi bahasa inilah yang disebut sebagai fungsi transmisi. Keistimewaan bahasa sebagai sarana transmisi informasi yang lintas waktu, dengan menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan, memungkinkan kesinambungan budaya dan tradisi kita. Tanpa bahasa seseorang tidak mungkin menghadirkan semua objek dan tempat untuk dirujuk dalam komunikasi.

2. Book dalam Mulyana (2001:243), mengemukakan bahwa agar komunikasi berhasil, setidaknya bahasa harus memenuhi tiga fungsi, yaitu :

a. Untuk mengenal dunia disekitar. Fungsi pertama bahasa ini jelas tidak terelakkan. Melalui bahasa nada dapat mempelajari apa saja yang menarik minat, mulai sejarah suatu bangsa yang hidup pada masa lalu yang tidak pernah ditemui.

b. Untuk berhubungan dengan orang lain. Fungsi kedua dari bahasa, yakni sebagai sarana untuk berhubungan dengan orang lain, sebenarnya banyak berkaitan dengan fungsi-fungsi komunikasi.

c. Untuk menciptakan koherensi dalam kehidupan. Fungsi ketiga dari bahasa, yakni memungkinkan seseorang untuk hidup lebih teratur, saling memahami mengenai diri masing-masing, kepercayaa-kepercayaan, dan tujuan-tujuan. Seseorang tidak mungkin menjelaskan semua itu dengan menyusun kata-kata secara acak, melainkan berdasarkan aturan-aturan tertentu yang telah di sepakati bersama. Akan tetapi, sebenarnya tidak selamanya dapat memenuhi ketiga fungsi bahasa tersebut, oleh karena meskipun bahasa merupakan sarana komunikasi dengan manusia lain, sarana

ini secara inheren mengandung kendala, karena sifatnya yang cair dan keterbatasannya.

Seseorang mempersepsi orang lain tidak hanya lewat bahasa verbalnya: bagaimana bahasanya (halus, kasar, intelektual, maupun berbahasa asing, dan sebagainya), namun juga melalui perilaku verbalnya. Seseorang dapat mengetahui suasana emosional seseorang, apakah ia sedang bahagia, bingung, atau sedih. Kesan awal pada seseorang sering didasarkan perilaku nonverbalnya, yang mendorong untuk mengenalnya lebih jauh. Secara sederhana, pesan nonverbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata. Pesan-pesan nonverbal sangat berpengaruh dalam komunikasi.

Sementara kebanyakan perilaku verbal biasanya bersifat eksplisit dan diproses secara kognitif, perilaku nonverbal bersifat spontan, ambigu, sering berlangsung cepat, dan diluar kesadaran atau kendali. Karena itulah Edward T. Hall menamai bahasa nonverbal ini sebagai “bahasa diam” (silent language) dan “dimensi tersembunyi” (hidden dimension) suatu budaya. Dalam suatu budaya boleh jadi terdapat variasi bahasa nonverbal, misalnya bahasa tubuh, bergantung pada jenis kelamin, agama, usia, pekerjaan, kelas sosial, tingkat ekonomi, lokasi geografis, dan sebagainya (Mulyana, 2001:308-310).

2. Macam-macam Perilaku Nonverbal

Perilaku nonverbal dapat dibagi secara garis besar ke dalam beberapa kategori yang berkaitan erat dengan konteks antarbudaya yang dikemukakan oleh Samovar (1991)

1. Penampilan (objectives)

Untuk memutuskan apakah akan memulai pembicaraan dengan orang lain, tidak jarang seseorang dipengaruhi oleh penampilan. Kadang-kadang kesimpulan tentang kecerdasan, status sosial, pekerjaan seseorang ditarik dari bagaimana ia menampilkan dirinya, misalnya: cara berpakaian. Pada dasarnya kontak pertama antara seseorang dengan orang lain adalah “mata ke tubuh”. Maksudnya bahwa seseorang akan melihat kearah bagian tubuh lawan bicaranya terlebih dahulu sebelum melakukan kontak mata. Hal ini berarti bahwa orang pasti melihat penampilan orang lain melalui cara berpakaiannya untuk memberikan penilaian tertentu. (Wainwright, 2006:183).

2. Gerakan badaniah (kinesics)

Dalam beberapa tahun terakhir, buku-buku dan artikel mengenai bahasa badan (body language) telah memusatkan perhatian

pada cara-cara manusia menggunakan gerak isyarat badan sebagai suatu bentuk komunikasi. Studi sistematik yang berupaya untuk memformulasikan dan mengkordifikasikan perilaku badaniah ini disebut kinesics. Studi kinesics mempelajari bagaimana isyarat-isyarat nonverbal ini, baik yang sengaja maupun tidak, dapat mempengaruhi komunikasi. Berikut ini uraian mengenai macam-macam bahasa nonverbal yang tergolong dalam kinesics :

a. Postur atau sikap badan

Gerak gerik dan sikap tubuh memiliki kaitan yang erat dan tidak dapat dipisahkan. Sikap tubuh juga bisa menjadi petunjuk mengenai kepribadian seseorang dan juga mengenai karakternya. Perubahan sikap tubuh juga merupakan bagian yang penting dari proses perubahan sikap dan meningkatkan kemampuan untuk membangun hubungan yang positif dan komunikatif dengan orang lain. Kondisi pikiran seseorang juga dapat diketahui dari sikap tubuhnya, apakah mereka berbesar hati atau depresi, percaya diri atau pemalu, dominan atau petuh, dan sebagainya. Sikap tubuh juga merefleksikan citra diri seseorang dan memiliki peran penting dalam penampilan diri. (Wainwright, 2006:112,115).

b. Gerak-gerik (gesture) atau gerakan tubuh yang meliputi juga gerakan tangan dan lengan, gerakan kaki, isyarat-isyarat badan.

Gerak gerik memungkinkan tingkat pengekspresian dan kehalusan cara yang tidak mungkin dilakukan dengan aspek komunikasi nonverbal lainnya. Gerak gerik mengemukakan sebagian besar yang seseorang pikirkan.

Menurut Gerard Nierenberg dan Henry Calero dalam Wainwright (2006:83,104), gerak gerik memiliki fungsi antara lain : mengekspresikan keterbukaan, sikap bertahan, kesiapan, menenteramkan hati, penerimaan, pengharapan, frustasi, keyakinan diri, kegelisahan, hubungan dan kecurigaan, menciptakan komunikasi yang hangat serta keramahtamahan.

c. Gerakan kepala

Gerakan kepala adalah penting tidak hanya ketika sedang berbicara, tetapi juga ketika kita sedang mendengarkan. Jika gerakan-gerakan ini digunakan secara tepat, maka akan membantu kita berkomunikasi dengan lebih mudah, namun jika gerakan-gerakan ini tidak tepat penggunaannya maka dapat dengan cepat merusak hubungan dengan orang lain.

d. Ekspresi muka atau wajah

Ekspresi wajah digunakan sebagai sarana untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik terhadap sesuatu yang sedang dikomunikasikan orang lain. Pengekspresian wajah adalah hal penting kedua setelah mata dalam hubungannya dengan penggunaan bahasa tubuh. Kita memperoleh banyak informasi tentang kondisi emosional orang lain melalui ekspresi-ekspresi wajah mereka. Sikap-sikap seseorang dapat terbaca jelas melalui ekspresi-ekspresi wajahnya, apakah menunjukkan rasa senang, tertarik, bosan, takut atau marah.

e. Kontak mata dan tatapan

Beberapa penulis tentang komunikasi nonverbal memperkirakan sejumlah kemungkinan mengenai mengapa manusia selalu membutuhkan kontak mata, antara lain: kontak mata terjadi karena dorongan yang kuat untuk memandang orang lain, kontak pertama seseorang dengan orang lain adalah melalui kontak mata, merupakan sesuatu yang biasanya terjadi berdasarkan dorongan instingtif dan berhubungan dengan pola-pola dasar kehidupan. Peneliti lain mengatakan bahwa signifikasi kontak mata dipelajari seseorang dalam pertumbuhannya bersama dengan orang

dewasa maupun orang-orang lain yang memperhatikannya. Dari proses belajar itu seseorang mengerti bahwa kontak mata dan model-model tatapan tertentu memiliki arti yang berbeda-beda (Wainwright, 2006:13-14).

3. Persepsi Inderawi (sensorics)

a. Rabaan atau sentuhan

Kebudayaan mengajarkan pada anggota-anggotanya sejak kecil tentang siapa yang dapat kita raba, bilamana dan dimana kita bisa raba atau sentuh. Dalam banyak hal juga, kebudayaan mengajrkan kita bagaimana nafsirkan tindakan perabaan atau sentuhan. Dalam hal berjabatan tangan juga ada variasi kebudayaannya. Setiap kebudayaan juga memberikan batasan pada bagian-bagian mana dari badan yang dapat disentuh, dan mana yang dapat diraba. Misalnya, di Indonesia umumnya, kepala dianggap badan yang terhormat, karenanya tidak sopan untuk disentuh atau disenggol oleh orang lain apalagi oleh orang yang belum dikenal.

b. Penciuman

Indera penciuman dapat berfungsi sebagai saluran untuk membangkitkan makna.

4. Penggunaan ruang dan jarak (proxemics)

Cara kita menggunakan ruang jarak sering kali menyatakan kepada orang lain sesuatu mengenai diri kita secara pribadi maupun kebudayaan. Aturan-aturan dan prosedur-prosedur yang menentukan ruang dan jarak dipelajari sebagai bagian dari masing-masing kebudayaan. Contoh pengunaan ruang jarak di kantor-kantor. Orang Indonesia belajar untuk membuat batas tembok dengan orang lain, yaitu dengan cara bicara dalam nada rendah atau diam.

5. Penggunaan waktu (chronemics)

Kebiasaan-kebiasaan bisa berbeda pada macam-macam kebudayaan dalam hal:

a. Persiapan berkomunikasi

b. Saat dimulainya komunikasi

c. Saat proses komunikasi berlangsung

d. Saat mengakhiri

6. Paralanguage

Paralanguage termasuk dalam unsur-unsur linguistic, yaitu bagaimana atau cara sesuatu pesan diungkapkan dan bukan isi pesan

itu sendiri. Paralanguage memberikan informasi mengenai informasi, atau apa yang disebut metakomunikasi. Hal-hal yang termasuk dalam klasifikasi paralanguage antara lain: aksen, volume suara atau tekanan suara, nada suara ditujukan pada tinggi rendah suara, intonasi suara, kecepatan bicara, penggunaan waktu berhenti dalam bicara yang disebut juga jeda bicara. Lamanya waktu jeda bicara dan berhenti memiliki nilai komunikasi, jika diasosiasikan dengan berbagai macam kesalahan berbicara, keragu-raguan sejenak mengindikasikan bahwa pembicara sedang gugup atau sedang berbohong, berhenti dalam waktu lama menunjukkan bahwa pembicara telah selesai bicara atau kehabisan bahan pembicaraan. Dalam pembicaraan hal ini jiga dapat diartikan bahwa pembicara mengalami kebuntuan dan tidak menginginkan segera ada respons dari lawan bicaranya. (Wainwright, 2006:212).

Dokumen terkait