• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLA KOMUNIKASI REMAJA MASJID DENGAN PREMAN (Studi Kualitatif Mengenai Pola Komunikasi Remaja Masjid Dengan Preman di daerah Kandangan Surabaya).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "POLA KOMUNIKASI REMAJA MASJID DENGAN PREMAN (Studi Kualitatif Mengenai Pola Komunikasi Remaja Masjid Dengan Preman di daerah Kandangan Surabaya)."

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”

Jawa Timur

Disusun Oleh: Deviant Puspita Wardhani

0643010145

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

(2)

Disusun Oleh : Deviant Puspita Wardhani

0643010145

Telah Disetujui Untuk Mengikuti Ujian Skripsi

Mengetahui,

Dosen Pembimbing

Dra. Sumardjijati, M.Si

NIP. 030.223.610

Menyetujui,

Dekan

Dra. Ec. Hj. Suparwati, M.Si

(3)

Laporan Proposal Skripsi dengan judul Pola Komunikasi Remaja Masjid Dengan Preman (Studi Kualitatif Mengenai Pola Komunikasi Remaja Masjid Dengan Preman di Daerah Kandangan Surabaya) sebagai persyaratan untuk memenuhi evaluasi keberhasilan studi akhir, sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

Tujuan daripada pembuatan Laporan Proposal Skripsi ini adalah

untuk menambah wawasan kreatifitas dan ilmu pengetahuan mahasiswa.

Terselenggaranya Laporan Proposal Skripsi ini juga berkat bantuan dan

dukungan baik bersifat material maupun spiritual dari berbagai pihak.

Tak lupa penulis mengucapkan terimakasih yang

sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian

Laporan Proposal Skripsi ini, antara lain :

1. Ibu Dra. Ec. Hj. Suparwati, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik.

2. Bapak Juwito, Ssos, M.Si selaku Ketua Jurusan Ilmu

Komunikasi.

(4)

Proposal Skripsi ini.

4. Seluruh Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik, UPN ”Veteran” Jatim.

5. Bapak dan Ibu Dosen Penguji, terima kasih atas saran dan kritik

yang diberikan kepada penulis.

6. Bapak dan Mama tercinta, yang tak henti-hentinya selalu berdoa

demi keberhasilanku dan selalu memberikan kasih sayang yang

tak terbatas dan tak bisa dibayar dengan apapun.

7. Kakakku, Juliant yang memberikan dukungan dan inspirasi

tersendiri untukku.

8. Teddy, Pika, Ica, Momo, Aida, Ry Poernomo, dan seluruh

teman-teman seperjuangan dan seangkatan penulis (IKOM ’06)

yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas

dukungannya selama ini. Semoga sukses.

9. Rudi Prasetyo, yang selalu memberikan semangat kepada

penulis untuk segera menyelesaikan laporan proposal skripsi ini

ini. Terima kasih buat semua waktu dan perhatiannya untukku.

(5)

iii

harapkan dari Ibu Dosen Pembimbing serta dari Bapak atau Ibu Dosen

Penguji maupun dari rekan-rekan sekalian demi perbaikan dan

kesempurnaan laporan ini.

Akhirnya penulis berharap mudah-mudahan Laporan Proposal

Skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Surabaya, 06 Mei 2010

(6)

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAKSI ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

1.4.1. Manfaat Teoritis ... 8

1.4.2. Manfaat Praktis ... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 9

2.1. Landasan Teori ... 9

2.1.1. Komunikasi Interpersonal ... 9

2.1.2. Efektivitas Komunikasi Interpersonal ... 16

2.1.3. Bahasa Verbal dan Nonverbal ... 17

2.2. Komunikasi Antarbudaya ... 28

2.3. Pola Komunikasi ... 33

2.4. Teori Pertukaran Sosial ... 36

2.5. Remaja Masjid ... 37

(7)

BAB III METODE PENELITIAN ... 44

3.1. Definisi Operasional Konsep ………... 44

3.2. Subyek dan Informan Penelitian ... 49

3.3. Unit Analisis Penelitian ... 51

3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 52

3.5. Teknik Analisis Data ... 53

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 55

4.1. Gambaran Umum Objek Penelitian dan Penyajian Data ... 55

4.1.1. Gambaran Umum Objek Penelitian ... 55

4.1.2. Penyajian Data ... 58

4.1.3. Identitas Responden ... 59

4.2. Analisis Data ... 61

4.2.1. Pola Komunikasi Remaja Masjid dengan Preman di Daerah Kandangan Surabaya ... 61

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 107

5.1. Kesimpulan ... 107

5.2. Saran ... 108

DAFTAR PUSTAKA... 109

(8)
(9)

Gambar 1. Model Komunikasi Interpersonal Secara Umum ……….. 11

Gambar 2. Masjid Hidayatullah di Daerah Kandangan Surabaya……….. 111

Gambar 3. Remaja masjid laki-laki Masjid Hidayatullah ………... 111

Gambar 4. Peneliti bersama informan remaja masjid ……….. 112

Gambar 5. Remaja masjid Hidayatullah seusai kegiatan keagamaan ……… 112

Gambar 6. Gambar preman yang sedang berada di masjid Hidayatullah ………. 113

(10)

viii

Lampiran 1. Interview Guide (remaja masjid) ... 114

(11)

Komunikasi Remaja Masjid Dengan Preman di daerah Kandangan Surabaya).

Komunikasi adalah menciptakan atau membuat segala kebimbangan menjadi lebih pasti. Sebuah pengertian bersama diantara individu-individu sebagai anggota kelompok sosial akan mudah menghasilkan tidak hanya unit-unit sosial, tetapi juga unit-unit-unit-unit kultural atau kebudayaan dalam masyarakat. Komunikasi dan kebudayaan tidak sekedar dua kata, tetapi dua konsep yang tidak dapat dipisahkan. Komunikasi antarbudaya terjadi karena adanya pebedaan persepsi dan kebiasaan antara komunikator dengan komunikan. Adanya perbedaan budaya, mampu menimbulkan konflik antara komunikator dengan komunikan karena makna (meaning) yang diperoleh mengalamai ketidakpastian. Namun, ketidakpastian tersebut bisa dikurangi apabila komunikator dengan komunikan mampu melakukan proses komunikasi yang efektif.

Dalam penelitian ini menggunakan teori pertukaran sosial dimana hubungan interpersonal sebagai suatu transaksi dagang. Orang berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya. Terdapat empat pola komunikasi yang menjadi konsep dasar penelitian ini, yakni pola keseimbangan, pola keseimbangan terbalik, pola pemisah tidak seimbang, dan pola monopoli.

Penelitian ini menggunakan teknik indepth interview dan observasi partisipan. Analisis yang digunakan adalah kualitatif dalam bentuk uraian atau penjelasan deskriptif. Yang menjadi bagian dari penelitian ini adalah remaja masjid dan preman di daerah Kandangan Surabaya.

Dari hasil interview, diketahui bahwa pola komunikasi yang digunakan antara remaja masjid dengan preman adalah pola komunikasi keseimbangan dimana komunikasi diantara mereka adalah terbuka, jujur, dan bebas. Tidak ada yang menjadi pemerintah ataupun pengikut. Kedudukan keduanya adalah sama.

(12)

1.1. Latar Belakang Masalah

Manusia hidup dalam sebuah komunitas yang mempunyai

kebijakan tentang sesuatu yang mereka miliki bersama, dan komunikasi

merupakan satu-satunya jalan untuk membentuk kebersamaan itu.

Komunikasi, seperti kata Robert E Park (1996) adalah menciptakan atau

membuat segala kebimbangan menjadi lebih pasti. Sebuah pengertian

bersama diantara individu-individu sebagai anggota kelompok sosial

akan mudah menghasilkan tidak hanya unit sosial, tetapi juga

unit-unit kultural atau kebudayaan dalam masyarakat.

Komunikasi dan kebudayaan tidak sekedar dua kata, tetapi dua

konsep yang tidak dapat dipisahkan. Budaya itu sendiri adalah sesuatu

cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh suatu kelompok

orang dari generasi ke generasi. Komunikasi antarbudaya merupakan

komunikasi lintas budaya, atau dengan kata lain komunikasi

antarpribadi yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang berbeda latar

belakang budaya, baik perbedaan dalam ras, etnik, kebiasaan, maupun

perbedaan sosial dan ekonomi.(Liliweri, 2002:9).

(13)

Kebudayaan adalah komunikasi, dan komunikasi adalah kebudayaan. (Edward T. Hall, 1996).

Komunikasi antarbudaya adalah setiap proses pembagian

informasi, gagasan, atau perasaan diantara mereka yang berbeda latar

belakang budayanya. Proses pembagian informasi itu dilakukan secara

lisan dan tertulis, juga melalui bahasa tubuh, gaya atau tampilan pribadi,

atupun bantuan hal lain di sekitarnya yang memperjelas pesan.

Komunikasi antarbudaya terjadi karena adanya pebedaan

persepsi dan kebiasaan antara komunikator dengan komunikan. Menurut

Devito dalam buku Mulyana (2001:168), persepsi adalah proses dengan

mana kita menjadi sadar akan banyaknya stimulus yang mempengaruhi

indera kita. Komunikasi, apapun bentuk dan konteksnya, selalu

menampilkan perbedaan iklim antara komunikator dengan komunikan.

Karena ada perbedaan iklim budaya tersebut, maka pada umumnya

komunikasi yang terjadi selalu difokuskan pada pesan-pesan yang

menghubungkan individu atau kelompok dari dua situasi budaya yang

berbeda. Dalam perbedaan itu umumnya mengimplikasikan bahwa

hambatan komunikasi antarbudaya sering tampil dalam bentuk

perbedaan persepsi terhadap norma-norma budaya, pola-pola berpikir,

(14)

antarbudaya, maka semakin besar kehilangan peluang untuk

merumuskan suatu tingkat kepastian sebuah komunikasi yang efektif.

Adanya perbedaan budaya, mampu menimbulkan konflik

antara komunikator dengan komunikan karena makna (meaning) yang

diperoleh mengalamai ketidakpastian. Gudykunst dan Kim dalam

Liliweri (2002:19) menunjukkan bahwa orang-orang yang tidak saling

kenal selalu berusaha untuk mengurangi tingkat ketidakpastian melalui

peramalan yang tepat atas relasi antarpribadi.

Ketidakpastian tersebut bisa dikurangi apabila komunikator

dengan komunikan mampu melakukan proses komunikasi yang efektif.

Komunikasi yang efektif atau tidaknya suatu proses pertukaran antara

masing-masing individu tersebut tidak hanya dipengaruhi faktor-faktor

internal, tetapi juga faktor eksternal. Contohnya adalah hubungan

komunikasi antara remaja masjid dengan preman. Remaja masjid dengan

preman memiliki sebuah latar belakang kebiasaan yang berbeda. Remaja

masjid adalah seorang remaja yang beraktifitas dimasjid, baik untuk

kepentingan dakwah dimasjid ataupun di kehidupan masyarakat.

Sedangkan preman adalah seseorang yang berpenampilan sembarangan,

(15)

Berkaitan dengan remaja masjid, remaja masjid sebagai wadah

aktivitas kerja sama remaja muslim, maka biasanya remaja masjid

beranggotakan dua orang atau lebih remaja yang berusia sekitar 15-25

tahun. Remaja masjid merupakan ujung tombak dari sebuah organisasi

masjid.. Sudah menjadi tanda umum bahwa remaja masjid adalah

seorang remaja yang memiliki sifat lebih agamis dibanding dengan

remaja lainnya. Kebiasaan atau rutinitas yang dilakukan remaja masjid

juga lebih berbeda dibanding dengan remaja lain seperti misalnya

mengaji secara rutin, serta memberikan dakwah Islami kepada

masyarakat umum. Remaja masjid dijadikan panutan oleh orangtua yang

lain, khusunya orangtua yang memiliki anak dengan usia remaja untuk

menjadikan anaknya sebagai figur yang taat pada agama serta taat pada

orangtua. Remaja masjid mampu memberikan sentuhan yang berbeda

sesuai dengan karakteristiknya yang tengah dalam proses pencarian jati

diri, cenderung labil dan memiliki semangat yang meluap serta selalu

ingin menonjolkan dirinya. (sumber diambil dan diakses pada 11

Februari dari : www.pusparugm.org/articels.asp?id=10814&no=2).

Berbeda dengan remaja masjid, preman saat ini juga dapat

ditemui dengan mudah. Preman banyak terdapat dalam ruang-ruang

publik kehidupan masyarakat, serta tidak menutup kemungkinan bahwa

(16)

preman semakin meningkat bukan hanya dari aspek kuantitasnya,

melainkan juga dari aktivitas yang mereka lakukan. Hampir di setiap

persimpangan jalan, pasar, stasiun, terminal, serta di kampung dijumpai

banyak preman. Sudah menjadi brand atau tanda umum bahwa seorang

preman selalu berbuat onar. Tidak hanya mabuk-mabukan serta berkata

kasar dan kotor, tetapi juga merampas uang ataupun barang milik orang

lain.

Uraian tersebut diatas merupakan sebuah kontradiksi, dimana

remaja masjid dengan preman pada umumnya memang berawal dan

memiliki latar belakang budaya yang berbeda, yakni perbedaan

kebiasaan. Begitu pula dengan yang terjadi di daerah Kandangan

Surabaya.

Dalam sebuah aktifitas tertentu, para preman di daerah tersebut

bersinggungan dengan masyarakat di sekitarnya, tidak menutup

kemungkinan pula dengan remaja masjid, salah satunya adalah dengan

remaja masjid Hidayatullah. Menurut H. Arif Supadi Utomo, selaku

takmir masjid Hidayatullah, masjid itu sendiri mempunyai 30 anggota

remaja masjid terdiri dari 21 remaja laki-laki dan 9 remaja perempuan

yang masih aktif dalam melaksanakan kegiatan keagamaan di masjid

(17)

berpartisipasi dalam kegiatan yang dilakukan oleh remaja masjid

Hidayatullah tersebut. Misalnya dengan melibatkan sebagian preman

kampung dalam kegiatan keagamaan yang diadakan oleh remaja masjid,

antara lain saat adanya pentas musik Islami, preman kampung dilibatkan

sebagai panitia penyelenggara ataupun sebagai penjaga parkir.

Dilibatkannya preman dalam kegiatan keagamaan tersebut menimbulkan

ganjaran atau keuntungan pada masing-masing pihak. Ganjaran yang

diperoleh oleh remaja masjid adalah rasa aman karena preman dilibatkan

dalam sektor keamanan, sedangkan ganjaran yang diperoleh oleh

preman adalah materi yang diterima dari hasil menjaga parkir. Tetapi,

tidak menutup kemungkinan bahwa remaja masjid dengan preman di

daerah Kandangan tersebut pernah terlibat dalam sebuah konflik dan

kesalah pahaman. Salah satunya adalah saat diadakannya bazar pada

sekitar 4(empat) tahun yang lalu, preman mengambil lahan parkir masjid

Hidayatullah menjadi area parkir preman untuk memperoleh keuntungan

sendiri tanpa mempedulikan remaja masjid. Dari situ konflik dan

kesalah pahaman diantara mereka muncul.

Namun, melalui komunikasi yang efektif dan komunikasi yang

terjalin baik diantara keduanya, apa yang diinginkan preman maupun

remaja masjid saling dilaksanakan dan terpenuhi. Selain itu, dengan

(18)

permasalahan antara kedua belah pihak. Tanpa pola komunikasi yang

baik dan tepat dalam hubungan antara remaja masjid dengan preman,

maka berbagai hal serta konflik mengenai perbedaan pemahaman,

makna (meaning) serta kebiasaan yang tidak diinginkan semakin susah

untuk dikurangi.

Untuk mengurangi ketidakpastian serta konflik diantara remaja

masjid dengan preman kampung, maka komunikasi antara keduanya

harus dilakukan setiap hari. Pola komuniksi yang terbentuk apakah

produktif ataupun tidak tergantung dari masing-masing individu yang

berinteraksi tersebut.

Penelitian ini mencoba untuk mengetahui bagaimana pola

komunikasi yang dilakukan oleh preman kampung dengan remaja

masjid sehingga kebutuhan kedua belah pihak dapat terwujud dengan

baik.

Berdasarkan uraian diatas, penulis ingin mencari jawaban atas

seluruh pola komunikasi yang digunakan oleh para remaja masjid

dengan preman kampung, khususnya di daerah Kandangan Surabaya.

Karena remaja masjid adalah figur seorang remaja yang cenderung

(19)

dengan sikap dan sifat yang cenderung keras dan sering melakukan

tindak kejahatan.

1.2. Perumusan Masalah

Beradasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, maka

dapat dirumuskan sebagai berikut : Bagaimanakah pola komunikasi

remaja masjid dengan preman kampung di Kandangan Surabaya?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola komunikasi

antara remaja masjid dengan preman kampung di daerah Kandangan

Surabaya.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Teoritis

Bagi ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan mampu

memberikan kontribusi berkaitan dengan pola komunikasi dalam

(20)

1.4.2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini dapat memberi masukan kepada remaja

masjid ataupun masyarakat tentang cara berkomunikasi dengan

para preman melalui pendekatan-pendekatan pola komunikasi

(21)

2.1.1. Komunikasi Interpersonal

Menurut Devito (2007:5), definisi komunikasi interpersonal

atau komunikasi antarpribadi adalah proses pengiriman dan penerimaan

pesan-pesan antara dua orang, atau diantara sekelompok kecil

orang-orang dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika.

Pentingnya situasi komunikasi interpersonal ialah karena

prosesnya memungkinkan berlangsung secara dialogis. Dialog adalah

bentuk komunikasi antar pribadi yang menunjukkan terjadinya interaksi.

Mereka yang terlibat dalam komunikasi bentuk ini berfungsi ganda,

masing-masing menjadi pembicara dan pendengar secara bergantian.

Dalam proses komunikasi dialogis. Nampak adanya upaya dari para

pelaku komunikasi untuk terjadinya pergantian bersama (mutual

understanding) dan empati. Disitu terjadi rasa saling menghormati

bukan disebabkan status sosial melainkan didasarkan pada anggapan

bahwa masing-masing adalah manusia yang wajib, berhak, pantas, dan

wajar dihargai dan dihormati sebagai manusia. Dibanding dengan bentuk

komunikasi lainnya komunikasi antarpribadi dinilai paling ampuh dalam  

(22)

kegiatan mengubah sikap, kepercayaan opini dan perilaku komunikan.

Hal ini dikarenakan komunikasi berlangsung tatap muka, oleh karena

dengan komunikasi itu terjadilah kontak pribadi (personal contact) yaitu

pribadi anda menyentuh pribadi komunikan. 

Ketika menyampaikan pesan, umpan balik berlangsung

seketika (immediate feedback) mengetahui pada saat itu tanggapan

komunikan terhadap pesan yang dilontarkan, pada ekspresi wajah,

postur atau sikap badan, kontak mata dan tatapan serta gaya bicara.

Apabila umpan balik positif, artinya tanggapan itu menyenangkan, kita

akan mempertahankan gaya komunikasi, sebaliknya jika tanggapan

komunikasi negatif, maka harus mengubah gaya komunikasi sampai

komunikasi berhasil.

Dalam komunikasi antarpribadi arus komunikasi yang terjadi

adalah sirkuler atau berputar, artinya setiap individu mempunyai

kesempatan yang sama untuk menjadi komunikator dan komunikan

dalam proses komunikasi. Untuk dapat mengetahui

komponen-komponen yang terlibat dalam komunikasi antarpribadi, efek dan umpan

balik dapat terjadi seketika. Dapat dijelaskan dalam gambar sebagai

(23)

Bidang Pengalaman Pengiriman (Encoding) Penerimaan (Decoding) EFEK Saluran Pesan-Pesan Gangguan Umpan Balik Bidang Pengalaman Pengiriman (Encoding) Penerimaan (Decoding) EFEK

Gambar 1. Model Komunikasi Interpersonal Secara Umum

Dalam gambar diatas dapat dijelaskan bahwa

komponen-komponen komunikasi antarpribadi adalah sebagai berikut : (Devito,

2007:10)

1. Pengirim-penerima

Komunikasi antarpribadi, paling tidak melibatkan dua orang,

setiap orang terlibat dalam komunikasi antarpribadi memfokuskan dan

mengirim pesan dan juga sekaligus menerima dan memahami pesan.

(24)

Encoding adalah tindakan menghasilkan pesan, artinya

pesan-pesan yang akan disampaikan dikode atau diformulasikan terlebih

dahulu dengan menggunakan kata-kata, simbol dan sebagainya.

Sebaliknya, tindakan untuk menginterpretasikan dan memahami

pesan-pesan yang diterima, disebut sebagai decoding. Dalam komunikasi

antarpribadi, karena pengirim juga bertindak sekaligus sebagai

penerima. Maka fungsi encoding-decoding dilakukan oleh setiap orang

yang terlibat dalam komunikasi antarpribadi.

Contoh : penggunaan bahasa daerah.

3. Pesan-Pesan

Dalam komunikasi antarpribadi, pesan-pesan ini bisa berbentuk

verbal (seperti kata-kata) atau nonverbal (gerak tubuh, simbol, ekspresi

wajah, tatapan mata seseorang, gaya bicara), atau gabungan antara

bentuk verbal dan nonverbal.

Contoh : materi pelajaran.

4. Saluran

Saluran ini berfungsi sebagai media dimana dapat

menghubungkan antara pengirim dan penerima pesan atau informasi.

(25)

maupun kelompok lebih persuasif dengan saluran media massa. Hal ini

disebabkan karena pertama, penyampaian pesan melalui saluran

komunikasi personal dapat dilakukan secara langsung kepada khalayak

yang dituju, bersifat pribadi dan manusiawi. Kedua, penyampaian

melalui komunikasi personal dapat dilakukan secara rinci dan lebih

fleksibel dengan kondisi nyata khalayak. Ketiga, keterlibatan khalayak

dalam komunikasi cukup tinggi. Keempat, pihak komunikator atau

sumber dapat langsung mengetahui rekasi, umpan balik dan tanggapan

dari pihak khalayak atas isi pesan yang disampaikannya. Kelima, pihak

komunikator atau sumber dapat dengan segera memberikan penjelasan

apabila terdapat kesalahpahaman atau kesalahan persepsi dari pihak

khalayak atas pesab yang disampaikannya.

Contoh : dalam komunikasi antarpribadi kita berbicara dan

mendengarkan (saluran tentang indera pendengar melalui suara). Isyarat

visual atau sesuatu yang tampak (seperti gerak tubuh, ekspresi wajah,

dan lain sebagainya).

5. Gangguan atau Noise

Seringkali pesan-pesan yang dikirim dengan pesan yang

diterima. Hal ini dapat terjadi karena gangguan saat berlangsungnya

(26)

a. Gangguan Fisik

Gangguan ini biasanya berasal dari luar dan mengganggu

transmisi fisik pesan, seperti : kegaduhan, interupsi, jarak, dan

sebagainya.

b. Gangguan Psikologis

Gangguan ini timbul karena adanay perbedaan gagasan dan

penilaian subyektif diantara orang-orang yang terlibat dalam

komunikasi, seperti : emosi, perbedaan, nilai-nilai, sikap, dan

sebagainya.

c. Gangguan Simatik

Gangguan ini terjadi karena kata-kata atau simbol yang

digunakan dalam komunikasi, sering kali memiliki arti ganda, sehingga

menyebabkan penerima gagal dalam menangkap dari maksud-maksud

pesan yang disampaikan. Contoh : perbedaan bahasa yang digunakan

dalam berkomunikasi.

6. Umpan Balik

Umpan balik memainkan peranan yang sangat penting dalam

proses komunikasi antarpribadi, karena pengirim dan penerima secara

(27)

baik secara verbal maupun nonverbal. Umpan balik bersifat positif

apabila dirasa saling menguntungkan. Bersifat netral apabila tidak

menimbulkan efek, dan bersifat negatif apabila merugikan.

7. Konteks

Komunikasi selalu terjadi dalam sebuah konteks yang

mempengaruhi isi dan bentuk dari isi pesan yang disampaikan. Ada dua

dimensi konteks dalam komunikasi antarpribadi, yaitu :

a. Dimensi Fisik,mencakup tempat dimana komunikasi berlangsung,

misalnya komunikasi antar guru dan murid di dalam kelas, kelas

disini berperan sebagai dimensi fisik.

b. Dimensi Sosial Psikologi, mencakup hubungan yang memperhatikan

masalah status, peranan yang dimainkan, norma-norma kelompok

masyarakat, keakraban, formalitas dan sebagainya.

8. Bidang Pengalaman (Field of Experience)

Bidang pengalaman merupakan factor yang paling penting

dalam komunikasi antarpribadi. Komunikasi akan terjadi apabila para

pelaku yang terlibat dalam komunikasi mempunyai bidang pengalaman

yang sama.

(28)

Dibanding dengan bentuk komunikasi lainnya, komunikasi

antarpribadi dinilai paling ampuh untuk mengubah sikap, perilaku,

kepercayaan dan opini komunikan. Hal ini disebabkan komunikasi

dilakukan secara tatap muka.

2.1.2. Efektivitas Komunikasi Interpersonal

Menurut Joseph A. Devito dalam buku The Interpersonal

Communication Book yang dikutip oleh Soemiati (Soemiati,

1993:50-51)

1. Keterbukaan, yaitu adanya kemauan untuk membuka diri, menyatakan

tentang keadaan dirinya sendiri yang tadinya tetap disembunyikan

yang berhubungan dengan komunikasi pada saat itu serta keterbukaan

dalam memberikan tanggapan secara spontan dan tanpa dalih

terhadap komnuikasi dan umpan balik orang lain.

2. Empati, sebagai sutu perasaan individu yang merasa sama seperti

yang dirasakan orang lain (menempatkan diri pada posisi orang lain).

3. Dukungan, suatu dukungan situasi terhadap kritik maupun caci maki.

4. Rasa positif, dimana komunikasi akan positif bila dirasakan situasi

(29)

5. Kesamaan, kesamaan dalam bidang pengalaman, seperti sikap,

perilaku, nilai dan sebagainya serta kesamaan dalam hal mengirim

dan menerima pesan.

2.1.3. Bahasa Verbal dan Nonverbal

Pada dasarnya komunikasi adalah pertukaran pesan (baik

secara verbal maupun nonverbal) dari komunikator ke komunikan yang

dilakukan melalui suatu media tertentu, yang pada akhirnya

menimbulkan umpan balik kepada komunikatornya. Ketika pesan ini

disampaikan dari satu orang ke orang lain, akan terjadi proses

penciptaan makna yang disebut juga dengan persepsi. Proses penciptaan

makna atau persepsi ini tidak lepas dari bagaimana cara seseorang

menangkap dan menafsirkan pesan yang diterimanya, sedangkan

penyampaian pesan ini sendiri tidak semata-mata dilakukan hanya

menggunakan bahasa verbal saja tetapi juga menggunakan bahasa

nonverbal. Berikut adalah beberapa hal yang menyangkut komunikasi

verbal dan nonverbal untuk memperjelas proses persepsi yang terjadi

(30)

1. Pengertian Pesan Verbal Dan Nonverbal

Mulyana dalam bukunya Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar

(2001:237-239), simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol

yang menggunakan satu kata atau lebih. Hampir semua rangsangan

wicara yang di sadari termasuk kedalam kategori pesan verbal yang

disengaja, yaitu usaha-usaha yang dilakukan secara sadar untuk

berhubungan dengan orang lain secara lisan. Bahasa dapat juga dianggap

sebagai suatu sistem kode verbal. Bahasa dapat didefinisikan sebagai

seperangkat simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan

simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami suatu komunitas.

Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran,

perasaan, dan maksud seseorang. Bahasa verbal menggunakan kata-kata

yang mempresentasikan berbagai aspek realitas individual.

Bila kita menyertakan budaya sebagai variabel dalam proses

abstrak itu, problemnya menjadi semakin rumit. Ketika seseorang

berkomunikasi dengan seseorang dari budayanya sendiri, proses

abstraksi untuk mempresentasikan pengalaman akan jauh lebih mudah,

karena dalam suatu budaya orang-orang berbagai sejumlah pengalaman

serupa. Namun bila komunikasi melibatkan orang-orang berbeda

(31)

abstraksi juga menyulitkan. Berikut ini fungsi bahasa menurut para

pakar, yaitu :

1. Menurut Larry L. baker dalam Mulyana (2001:243), bahasa memiliki

tiga fungsi:

a. Penamaan (naming atau labeling), interaksi, dan transisi informasi.

Penamaan atau penjulukan merujuk pada usaha mengidentifikasi

objek, tindakan, atau orang dengan menyebut namanya sehingga

dapat dirujuk dalam komunikasi.

b. Fungsi interaksi menekankan berbagai gagasan dan emosi, yang

dapat mengundang simpati dan pengertian atau kemarahan dan

kebingungan.

c. Bahasa sebagai fungsi informasi. Seseorang menerima informasi

setiap hari, sejak bangun tidur hingga tidur kembali, dari orang lain

baik secara langsung atau tidak (melalui media massa misalnya).

Fungsi bahasa inilah yang disebut sebagai fungsi transmisi.

Keistimewaan bahasa sebagai sarana transmisi informasi yang

lintas waktu, dengan menghubungkan masa lalu, masa kini, dan

masa depan, memungkinkan kesinambungan budaya dan tradisi

kita. Tanpa bahasa seseorang tidak mungkin menghadirkan semua

(32)

2. Book dalam Mulyana (2001:243), mengemukakan bahwa agar

komunikasi berhasil, setidaknya bahasa harus memenuhi tiga fungsi,

yaitu :

a. Untuk mengenal dunia disekitar. Fungsi pertama bahasa ini jelas

tidak terelakkan. Melalui bahasa nada dapat mempelajari apa saja

yang menarik minat, mulai sejarah suatu bangsa yang hidup pada

masa lalu yang tidak pernah ditemui.

b. Untuk berhubungan dengan orang lain. Fungsi kedua dari bahasa,

yakni sebagai sarana untuk berhubungan dengan orang lain,

sebenarnya banyak berkaitan dengan fungsi-fungsi komunikasi.

c. Untuk menciptakan koherensi dalam kehidupan. Fungsi ketiga dari

bahasa, yakni memungkinkan seseorang untuk hidup lebih teratur,

saling memahami mengenai diri masing-masing,

kepercayaa-kepercayaan, dan tujuan-tujuan. Seseorang tidak mungkin

menjelaskan semua itu dengan menyusun kata-kata secara acak,

melainkan berdasarkan aturan-aturan tertentu yang telah di

sepakati bersama. Akan tetapi, sebenarnya tidak selamanya dapat

memenuhi ketiga fungsi bahasa tersebut, oleh karena meskipun

(33)

ini secara inheren mengandung kendala, karena sifatnya yang cair

dan keterbatasannya.

Seseorang mempersepsi orang lain tidak hanya lewat bahasa

verbalnya: bagaimana bahasanya (halus, kasar, intelektual, maupun

berbahasa asing, dan sebagainya), namun juga melalui perilaku

verbalnya. Seseorang dapat mengetahui suasana emosional seseorang,

apakah ia sedang bahagia, bingung, atau sedih. Kesan awal pada

seseorang sering didasarkan perilaku nonverbalnya, yang mendorong

untuk mengenalnya lebih jauh. Secara sederhana, pesan nonverbal

adalah semua isyarat yang bukan kata-kata. Pesan-pesan nonverbal

sangat berpengaruh dalam komunikasi.

Sementara kebanyakan perilaku verbal biasanya bersifat

eksplisit dan diproses secara kognitif, perilaku nonverbal bersifat

spontan, ambigu, sering berlangsung cepat, dan diluar kesadaran atau

kendali. Karena itulah Edward T. Hall menamai bahasa nonverbal ini

sebagai “bahasa diam” (silent language) dan “dimensi tersembunyi”

(hidden dimension) suatu budaya. Dalam suatu budaya boleh jadi

terdapat variasi bahasa nonverbal, misalnya bahasa tubuh, bergantung

pada jenis kelamin, agama, usia, pekerjaan, kelas sosial, tingkat

(34)

2. Macam-macam Perilaku Nonverbal

Perilaku nonverbal dapat dibagi secara garis besar ke dalam

beberapa kategori yang berkaitan erat dengan konteks antarbudaya yang

dikemukakan oleh Samovar (1991)

1. Penampilan (objectives)

Untuk memutuskan apakah akan memulai pembicaraan dengan

orang lain, tidak jarang seseorang dipengaruhi oleh penampilan.

Kadang-kadang kesimpulan tentang kecerdasan, status sosial,

pekerjaan seseorang ditarik dari bagaimana ia menampilkan dirinya,

misalnya: cara berpakaian. Pada dasarnya kontak pertama antara

seseorang dengan orang lain adalah “mata ke tubuh”. Maksudnya

bahwa seseorang akan melihat kearah bagian tubuh lawan bicaranya

terlebih dahulu sebelum melakukan kontak mata. Hal ini berarti

bahwa orang pasti melihat penampilan orang lain melalui cara

berpakaiannya untuk memberikan penilaian tertentu. (Wainwright,

2006:183).

2. Gerakan badaniah (kinesics)

Dalam beberapa tahun terakhir, buku-buku dan artikel

(35)

pada cara-cara manusia menggunakan gerak isyarat badan sebagai

suatu bentuk komunikasi. Studi sistematik yang berupaya untuk

memformulasikan dan mengkordifikasikan perilaku badaniah ini

disebut kinesics. Studi kinesics mempelajari bagaimana

isyarat-isyarat nonverbal ini, baik yang sengaja maupun tidak, dapat

mempengaruhi komunikasi. Berikut ini uraian mengenai

macam-macam bahasa nonverbal yang tergolong dalam kinesics :

a. Postur atau sikap badan

Gerak gerik dan sikap tubuh memiliki kaitan yang erat dan

tidak dapat dipisahkan. Sikap tubuh juga bisa menjadi petunjuk

mengenai kepribadian seseorang dan juga mengenai karakternya.

Perubahan sikap tubuh juga merupakan bagian yang penting dari

proses perubahan sikap dan meningkatkan kemampuan untuk

membangun hubungan yang positif dan komunikatif dengan orang

lain. Kondisi pikiran seseorang juga dapat diketahui dari sikap

tubuhnya, apakah mereka berbesar hati atau depresi, percaya diri

atau pemalu, dominan atau petuh, dan sebagainya. Sikap tubuh

juga merefleksikan citra diri seseorang dan memiliki peran penting

(36)

b. Gerak-gerik (gesture) atau gerakan tubuh yang meliputi juga

gerakan tangan dan lengan, gerakan kaki, isyarat-isyarat badan.

Gerak gerik memungkinkan tingkat pengekspresian dan

kehalusan cara yang tidak mungkin dilakukan dengan aspek

komunikasi nonverbal lainnya. Gerak gerik mengemukakan

sebagian besar yang seseorang pikirkan.

Menurut Gerard Nierenberg dan Henry Calero dalam

Wainwright (2006:83,104), gerak gerik memiliki fungsi antara lain

: mengekspresikan keterbukaan, sikap bertahan, kesiapan,

menenteramkan hati, penerimaan, pengharapan, frustasi, keyakinan

diri, kegelisahan, hubungan dan kecurigaan, menciptakan

komunikasi yang hangat serta keramahtamahan.

c. Gerakan kepala

Gerakan kepala adalah penting tidak hanya ketika sedang

berbicara, tetapi juga ketika kita sedang mendengarkan. Jika

gerakan-gerakan ini digunakan secara tepat, maka akan membantu

kita berkomunikasi dengan lebih mudah, namun jika

gerakan-gerakan ini tidak tepat penggunaannya maka dapat dengan cepat

(37)

d. Ekspresi muka atau wajah

Ekspresi wajah digunakan sebagai sarana untuk mendapatkan

pemahaman yang lebih baik terhadap sesuatu yang sedang

dikomunikasikan orang lain. Pengekspresian wajah adalah hal

penting kedua setelah mata dalam hubungannya dengan

penggunaan bahasa tubuh. Kita memperoleh banyak informasi

tentang kondisi emosional orang lain melalui ekspresi-ekspresi

wajah mereka. Sikap-sikap seseorang dapat terbaca jelas melalui

ekspresi-ekspresi wajahnya, apakah menunjukkan rasa senang,

tertarik, bosan, takut atau marah.

e. Kontak mata dan tatapan

Beberapa penulis tentang komunikasi nonverbal

memperkirakan sejumlah kemungkinan mengenai mengapa

manusia selalu membutuhkan kontak mata, antara lain: kontak

mata terjadi karena dorongan yang kuat untuk memandang orang

lain, kontak pertama seseorang dengan orang lain adalah melalui

kontak mata, merupakan sesuatu yang biasanya terjadi berdasarkan

dorongan instingtif dan berhubungan dengan pola-pola dasar

kehidupan. Peneliti lain mengatakan bahwa signifikasi kontak mata

(38)

dewasa maupun orang-orang lain yang memperhatikannya. Dari

proses belajar itu seseorang mengerti bahwa kontak mata dan

model-model tatapan tertentu memiliki arti yang berbeda-beda

(Wainwright, 2006:13-14).

3. Persepsi Inderawi (sensorics)

a. Rabaan atau sentuhan

Kebudayaan mengajarkan pada anggota-anggotanya sejak kecil

tentang siapa yang dapat kita raba, bilamana dan dimana kita bisa

raba atau sentuh. Dalam banyak hal juga, kebudayaan mengajrkan

kita bagaimana nafsirkan tindakan perabaan atau sentuhan. Dalam hal

berjabatan tangan juga ada variasi kebudayaannya. Setiap kebudayaan

juga memberikan batasan pada bagian-bagian mana dari badan yang

dapat disentuh, dan mana yang dapat diraba. Misalnya, di Indonesia

umumnya, kepala dianggap badan yang terhormat, karenanya tidak

sopan untuk disentuh atau disenggol oleh orang lain apalagi oleh

orang yang belum dikenal.

b. Penciuman

Indera penciuman dapat berfungsi sebagai saluran untuk

(39)

4. Penggunaan ruang dan jarak (proxemics)

Cara kita menggunakan ruang jarak sering kali menyatakan

kepada orang lain sesuatu mengenai diri kita secara pribadi maupun

kebudayaan. Aturan-aturan dan prosedur-prosedur yang menentukan

ruang dan jarak dipelajari sebagai bagian dari masing-masing

kebudayaan. Contoh pengunaan ruang jarak di kantor-kantor. Orang

Indonesia belajar untuk membuat batas tembok dengan orang lain,

yaitu dengan cara bicara dalam nada rendah atau diam.

5. Penggunaan waktu (chronemics)

Kebiasaan-kebiasaan bisa berbeda pada macam-macam

kebudayaan dalam hal:

a. Persiapan berkomunikasi

b. Saat dimulainya komunikasi

c. Saat proses komunikasi berlangsung

d. Saat mengakhiri

6. Paralanguage

Paralanguage termasuk dalam unsur-unsur linguistic, yaitu

(40)

itu sendiri. Paralanguage memberikan informasi mengenai informasi,

atau apa yang disebut metakomunikasi. Hal-hal yang termasuk dalam

klasifikasi paralanguage antara lain: aksen, volume suara atau tekanan

suara, nada suara ditujukan pada tinggi rendah suara, intonasi suara,

kecepatan bicara, penggunaan waktu berhenti dalam bicara yang

disebut juga jeda bicara. Lamanya waktu jeda bicara dan berhenti

memiliki nilai komunikasi, jika diasosiasikan dengan berbagai macam

kesalahan berbicara, keragu-raguan sejenak mengindikasikan bahwa

pembicara sedang gugup atau sedang berbohong, berhenti dalam

waktu lama menunjukkan bahwa pembicara telah selesai bicara atau

kehabisan bahan pembicaraan. Dalam pembicaraan hal ini jiga dapat

diartikan bahwa pembicara mengalami kebuntuan dan tidak

menginginkan segera ada respons dari lawan bicaranya. (Wainwright,

2006:212).

2.2. Komunikasi Antarbudaya

Komunikasi dan kebudayaan tidak sekedar dua kata, tetapi dua

konsep yang tidak dapat dipisahkan. Budaya itu sendiri adalah sesuatu

cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh suatu kelompok

(41)

komunikasi lintas budaya, atau dengan kata lain komunikasi

antarpribadi yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang berbeda latar

belakang budaya, baik perbedaan dalam ras, etnik, kebiasaan, maupun

perbedaan sosial dan ekonomi.(Liliweri, 2002:9).

Komunikasi tidak bisa dipandang sekedar sebagai sebuah

kegiatan yang menghubungkan manusia dalam keadaan pasif, tetapi

komunikasi harus dipandang sebagai proses yang menghubungkan

manusia melalui sekumpulan tindakan yang terus menerus diperbaharui.

Jadi komunikasi itu selalu terjadi antara sekurang-kurangnya dua orang

peserta komunikasi atau mungkin lebih banyak dari itu (kelompok,

organisasi, publik, dan massa) yang melibatkan pertukaran tanda-tanda

melalui suara, kata-kata, atau suara dan kata-kata.

Komunikasi antarbudaya yang interaktif adalah komunikasi

yang dilakukan oleh komunikator dengan komunikan dalam dua arah

atau timbal balik (two way communication) namun masih berada pada

tahap rendah. Apabila ada proses pertukaran pesan itu memasuki tahap

tinggi, misalnya saling mengerti, memahami perasaan dan tindakan

bersama maka komunikasi tersebut telah memasuki tahap transaksional.

(42)

Baik komunikasi interaktif maupun transaksional mengalami

proses yang bersifat dinamis, karena proses tersebut berlangsung dalam

konteks sosial yang hidup, berkembang dan bahkan berubah-ubah

berdasarkan waktu, situasi dan kondisi tertentu. Karena proses

komunikasi yang dilakukan merupakan dinamisator atau penghidup bagi

proses komunikasi tersebut.

Komunikator dalam komunikasi antarbudaya adalah pihak

yang memprakarsai komunikasi, artinya ia mengawali pengiriman pesan

tertentu kepada pihak lain yang disebut komunikan. Dalam komunikasi

antarbudaya, seorang komunikator berasal dari latar belakang

kebudayaan tertentu.

Menurut Gudykunst dan Kim dalam buku Liliweri (2002:25),

mengatakan secara makro perbedaan karakteristik antarbudaya itu

ditentukan oleh faktor nilai dan norma hingga ke arah mikro yang

mudah dilihat dalam wujud kepercayaan, minat dan kebiasaan. Selain itu

faktor-faktor yang berkaitan dengan kemampuan berbahasa sebagai

pendukung komunikasi misalnya kemampuan berbicara dan menulis

secara baik dan benar (memilih kata, membuat kalimat), kemampuan

(43)

Berdasarkan pendapat ini, maka komunikasi antarpribadi dua

orang yang berbeda gender, status dan kelas sosial serta berbeda

kebiasaan, dapat digolongkan sebagai komunikasi antarbudaya.

Adapun konteks komunikasi antarbudaya ada dua, yakni : (1)

komunikasi antarpribadi; (2) komunikasi kelompok.

1. Komunikasi Antarpribadi

Komunikasi antarbudaya juga ada dalam konteks komunikasi

antarpribadi. Komunikasi antarbudaya melibatkan paling sedikit dua

atau tiga orang yang berbeda kebudayaan, lalu jarak fisik diantara

mereka sangat dekat satu sama lain. Sementara itu, dalam komunikasi

bertatap muka atau bermedia, umpan baliknya berlangsung cepat,

adaptasi pesan bersifat khusus, dan tujan komunikasi bersifat tidak

terstruktur. Dalam kenyataanya komunikasi antarbudaya yang

dilakukan oleh dua atau tiga orang yang berbeda budaya itu

dipengaruhi oleh faktor-faktor personal maupun kelompok budaya.

Faktor-faktor personal yang mempengaruhi komunikasi antarpribadi

antara lain, faktor kognitif seperti konsep diri, persepsi, sikap,

orientasi diri (self orientation), dan harga diri (self esteem).

(44)

Komunikasi kelompok merupakan komunikasi diantara sejumlah

orang (4-20 orang untuk kelompok kecil dan 20-50 oarng untuk

kelompok besar). Dalam kenyataan, komunikasi kelompok terjadi

pula proses interaksi antarbudaya dari para anggota kelompok yang

berbeda latar belakang kebudayaan. Termasuk dalam konteks

pengertian komunikasi kelompok adalah operasi komunikasi

antarbudaya dikalangan in group maupun antara anggota sebuah in

group dengan out group atau bahkan antara berbagai kelompok.

Karena itu, maka salah satu kunci untuk menentukan komunikasi

antarbudaya yang efektif adalah pengakuan terhadap faktor-faktor

pembeda yang mempengaruhi sebuah konteks komunikasi sebagaimana

diuraikan tersebut, misalnya peserta komunikasi, apakah itu etnis, ras,

kelompok kategori yang memiliki kebudayaan tersendiri.

Perbedaan-perbedaan itu meliputi nilai, norma, kepercayaan, bahasa, sikap,

persepsi, dan kebiasaan yang semua itu menentukan pola-pola

komunikasi antarbudaya maupun lintas budaya. Selain itu, Komunikasi

antarbudaya mampu menimbulkan prasangka bagi komunikator dengan

komunikan. Istilah prasangka (prejudice) berasal dari kata lain

praejudicium, yang berarti suatu preseden atau suatu penelitian

berdasarkan keputusan terdahulu. Menurut Purwasiti dalam Komunikasi

(45)

negatif dengan adanya pemisahan yang tegas antara perasaan kelompok

(in group) maupun adanya perasaan-perasaan dari kelompok lain (out

group).

2.3. Pola Komunikasi

Secara etimologis atau menurut asal katanya, istilah

komunikasi berasal dari bahasa latin, yaitu communication, yang akar

katanya adalah communis, tetapi bukan partai dalam kegiatan politik.

Arti communis disini adalah sama, dalam arti kata sama makna, yaitu

sama makna mengenai suatu hal.

Pengiriman pesan dari encoder ke decoder yang kemudian

direspon oleh decoder dan diteruskan kembali pada encoder (umpan

balik) menimbulkan interaksi. Proses pengiriman pesan itulah yang

membentuk suatu pola komunikasi. Pola komunikasi adalah sebuah

proses. Proses komunikasi itu sendiri adalah setiap langkah mulai dari

saat menciptakan informasi sampai dipahaminya informasi oleh

komunikan dan berlangsung secara kontinu (Suprapto, 2006:5).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pola diartikan sebagai

(46)

penciptaan arti terhadap gagasan atau ide yang disampaikan. Menurut

Djamarah (2004:1), pola komunikasi diartikan sebagai bentuk atau pola

hubungan antara dua orang atau lebih dalam proses pengiriman dan

penerimaan pesan dengan cara yang tepat, sehingga pesan yang

dimaksud dapat dipahami.

Dari pengertian diatas maka suatu pola komunikasi adalah

bentuk atau pola hubungan antara dua orang atau lebih dalam proses

pengiriman pesan dan penerimaan pesan yang mengaitkan dua

komponen, yaitu gambaran atau rencana yang meliputi langkah-langkah

pada suatu aktivitas dengan komponen-komponen yang merupakan

bagian penting atas terjadinya hubungan komunikasi antar manusia atau

kelompok dan organisasi.

Menurut Joseph A. Devito (2007:277-278), terdapat empat

pola komunikasi :

1. Pola Keseimbangan

Pola keseimbangan ini lebih terlihat pada teori daripada prakteknya,

tetapi ini merupakan awal yang bagus untuk melihat komunikasi pada

hubungan yang penting. Pada pola komunikasi keseimbangan ini

masing-masing individu membagi sama dalam berkomunikasi.

(47)

Tidak ada pemimpin maupun pengikut, melainkan kedudukannya

sama.

2. Pola Keseimbangan Terbalik

Dalam pola keseimbangan terbalik, masing-masing mempunyai

orientasi diatas daerah atau wewenang yang berbeda masing-masing.

3. Pola Pemisah Tidak Seimbang

Dalam hubungan terpisah yang tak seimbang, satu orang

mendominasi. Maka dari itu, satu orang ini secara teratur

mengendalikan hubungan dan hampir tidak pernah meminta pendapat

antara kedua belah pihak. Sedangkan anggota yang dikendalikan

membiarkannya untuk memenangkan argumentasi ataupun membuat

keputusan.

4. Pola Monopoli

Dalam pola monopoli ini, kedua belah pihak sama-sama dirinya

sebagai penguasa. Keduanya lebih suka memberi nasihat daripada

(48)

2.4. Teori Pertukaran Sosial

Model ini memandang hubungan interpersonal sebagai suatu

transaksi dagang. Orang berhubungan dengan orang lain karena

mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya. (Rakhmat,

2003:122).

Thibault dan Kelley, dua orang pemuka utama dari model ini

menyimpulkan bahwa asumsi yang mendasari individu secara suka rela

memasuki dan tinggal dalam hubungan sosial hanya selama hubungan

tersebut cukup memuaskan ditinjau dari segi ganjaran dan biaya.

“Ganjaran, biaya, laba, dan tingkat perbandingan” merupakan empat

konsep pokok dalam teori ini.

1. Ganjaran ialah setiap akibat yang dinilai positif yang diperoleh

seseorang dalam suatu hubungan.

2. Biaya adalah akibat yang dinilai negatif yang terjadi dalam sutu

hubungan. Biaya dapat berupa waktu, biaya, dan konflik.

3. Hasil atau laba adalah ganjaran dikurangi biaya. Bila seorang

individu merasa dalam suatu hubungan interpersonal, bahwa ia

tidak memperoleh laba sama sekali, maka ia akan mencari

(49)

4. Tingkat perbandingan adalah menunjukkan ukuran baku (standar)

yang dipakai sebagai criteria dalam menilai hubungan individu pada

waktu sekarang. Tingkat perbandingan ini dapat berupa pengalaman

individu pada masa lalu atau alternatif lain yang terbuka baginya.

(Rakhmat, 2003:122).

2.5. Remaja Masjid

Remaja masjid sebagai wadah aktivitas kerja sama remaja

muslim, maka biasanya remaja masjid beranggotakan dua orang atau

lebih remaja yang berusia sekitar 15-25 tahun. Usia di bawah 15 tahun

adalah usia yang masih terlalu muda, sehingga tingkat pemikiran mereka

masih belum berkembang dengan baik. Sedangkan untuk usia di atas 25

tahun sudah kurang layak untuk disebut sebagai remaja.

Tingkat usia anggota remaja masjid perlu dipertimbangkan

dengan baik, karena berkaitan dengan pembinaan mereka. Anggota yang

memiliki tingkat usia, pemikiran dan latar belakang yang relatif

homogen akan lebih mudah dibina bila dibandingkan dengan yang

heterogen. Disamping itu, dengan usia yang sebaya, mereka akan lebih

(50)

telah direncanakan sehingga akan meningkatkan efektifitas dan efisiensi

dalam mencapai tujuan.

Remaja masjid merupakan ujung tombak dari sebuah

organisasi masjid. Disadari atau tidak, pengurus masjid membutuhkan

peran remaja masjid dalam setiap langkah dan gerak aktifitasnya. Sudah

menjadi tanda umum bahwa remaja masjid adalah seorang remaja yang

memiliki sifat lebih agamis dibanding dengan remaja lainnya. Kebiasaan

atau rutinitas yang dilakukan remaja masjid juga lebih berbeda

dibanding dengan remaja lain seperti misalnya mengaji secara rutin,

serta memberikan dakwah Islami kepada masyarakat umum. Remaja

masjid dijadikan panutan oleh orangtua yang lain, khusunya orangtua

yang memiliki anak dengan usia remaja untuk menjadikan anaknya

sebagai figur yang taat pada agama serta taat pada orangtua. Remaja

masjid mampu memberikan sentuhan yang berbeda sesuai dengan

karakteristiknya yang tengah dalam proses pencarian jati diri, cenderung

labil dan memiliki semangat yang meluap serta selalu ingin menonjolkan

dirinya. (sumber diambil dan diakses pada 11 Februari 2010 dari :

(51)

2.6. Preman

Secara etimologis, kata preman berasal dari free man yang

berarti orang bebas, orang yang merdeka atau tidak terikat oleh aturan.

Namun, arti kata preman saat ini bergeser menjadi sebuah makna yang

negatif.

Preman dapat dikategorikan menjadi tiga; (1) preman kelas

bawah; (2) preman kelas menengah; (3) preman kelas atas

1. Preman kelas bawah

Preman kelas bawah adalah preman yang beroperasi dalam

lingkungan masyarakat umum dengan modus pencopetan, pemalakan,

mabuk-mabukan, perampasan.

2. Preman kelas menengah

Preman kelas menengah adalah preman yang bekerja dengan upah

atau imbalan dari atasannya, seperti misalnya preman pengawal

pribadi.

(52)

Preman kelas atas adalah seseorang yang memiliki kekuasaan atau

jabatan. Seperti misalnya pejabat yang melakukan pungutan liar

terhadap pemenang proyek pemerintah.

Premanisme dengan level atau kelas bawah, dapat ditemui

dengan mudah. Preman banyak terdapat dalam ruang-ruang publik

kehidupan masyarakat, serta tidak menutup kemungkinan bahwa setiap

manusia dijadikan target kejahatan bagi para preman. Jumlah preman

semakin meningkat bukan hanya dari aspek kuantitasnya, melainkan

juga dari aktivitas yang mereka lakukan. Hampir di setiap persimpangan

jalan, pasar, stasiun, terminal, serta di kampung dijumpai banyak

preman. Sudah menjadi brand atau tanda umum bahwa seorang preman

selalu berbuat onar. Tidak hanya mabuk-mabukan serta berkata kasar

dan kotor, tetapi juga merampas uang ataupun barang milik orang lain.

(sumber diambil dan diakses pada 09 Februari 2010 dari :

www.indomedia.com/intisari/2010/Jan/warna_premanisme.htm).

2.7. Hubungan Remaja Masjid dengan Preman

Dalam kehidupan sehari-hari manusia senantiasa hidup dalam

satu lingkungan, baik lingkungan fisik, psikis ataupun spiritual. Di

(53)

dengan lingkungan pada umumnya, sama halnya dengan preman usia

remaja dengan remaja pada umumnya, tak terkecuali remaja masjid.

Pada dasarnya remaja masjid dengan preman berusia remaja mempunyai

latar belakang kebiasaan dan budaya yang berbeda sehingga tidak

dipungkiri mampu menimbulkan konflik antara keduanya.

Dalam lingkungan sosial, hubungan antara remaja masjid

dengan preman dipengaruhi oleh sikap, norma, perilaku, pola, dan

pranata masyarakatnya. Keberadaan preman kerap menimbulkan

kejahatan terhadap masyarakat. Kebiasaan preman yang suka

mabuk-mabukan dan melakukan tindak kekerasan mampu membuat warga

resah. Untuk warga yang berusia remaja, rentan mudah dipengaruhi para

preman untuk mnegikuti jejak mereka. Namun, apabila remaja tersebut

mempunyai pola komunikasi yang baik dengan keluarga, maka remaja

itu secara sadar tidak akan mengikuti jejak para preman sekitar.

Oleh karena itu, masyarakat harus melakukan komunikasi

dengan lebih efektif kepada para preman dengan usia remaja, tak

terkecuali remaja pada umunya, dan remaja masjid, agar para preman

mengetahui dan sadar bahwa apa yang mereka lakukan selama ini adalah

(54)

sendiri. Dalam hal ini dibutuhkan pengertian dan pemahaman diantara

keduanya.

2.8. Kerangka Berpikir

Komunikasi antarbudaya merupakan komunikasi lintas budaya,

atau dengan kata lain komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh dua

orang atau lebih yang berbeda latar belakang budaya, baik perbedaan

dalam ras, etnik, kebiasaan, maupun perbedaan sosial dan ekonomi.

Komunikasi antarbudaya terjadi karena adanya pebedaan persepsi dan

kebiasaan antara komunikator dengan komunikan. Karena ada

perbedaan iklim budaya tersebut, maka pada umumnya komunikasi yang

terjadi selalu difokuskan pada pesan-pesan yang menghubungkan

individu atau kelompok dari dua situasi budaya yang berbeda.

Adanya perbedaan budaya, mampu menimbulkan konflik

antara komunikator dengan komunikan karena makna (meaning) yang

diperoleh mengalamai ketidakpastian. Namun, ketidakpastian tersebut

bisa dikurangi apabila komunikator dengan komunikan mampu

melakukan proses komunikasi yang efektif. Komunikasi yang efektif

atau tidaknya suatu proses pertukaran antara masing-masing individu

(55)

eksternal. Contohnya adalah hubungan komunikasi antara remaja masjid

dengan preman. Remaja masjid dengan preman memiliki sebuah latar

belakang yang berbeda. Remaja masjid adalah seorang remaja yang

beraktifitas dimasjid, baik untuk kepentingan dakwah dimasjid ataupun

di kehidupan masyarakat. Sedangkan preman adalah seseorang yang

berpenampilan sembarangan, pemabuk, selalu berkata kotor dan kasar.

Untuk mengurangi ketidakpastian serta konflik diantara remaja

masjid dengan preman kampung, maka komunikasi antara keduanya

harus dilakukan setiap hari. Pola komuniksi yang terbentuk apakah

produktif ataupun tidak tergantung dari masing-masing individu yang

berinteraksi tersebut.

Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui bagaimana pola

komunikasi yang dilakukan oleh preman kampung dengan remaja

masjid sehingga kebutuhan kedua belah pihak dapat terwujud dengan

baik. Dimana pola komunikasi ini dipengaruhi oleh perbedaan latar

(56)

Pada penelitian ini penulis tidak membicarakan hubungan

antara variabel sehingga tidak ada pengukuran variabel bebas dan

variabel terikat. Penelitian ini difokuskan pada pola komunikasi antara

remaja masjid dengan preman di Surabaya, sehingga tipe penelitian yang

digunakan dalam penelitian ini adalah tipe penelitian deskriptif dan

menggunakan analisis kualitatif.

Tipe penelitian deskriptif bertujuan membuat gambaran atau

deskripsi secara sistematis, faktual dan akurat tentang fakta-fakta dan

sifat-sifat populasi atau objek tertentu. Priset sudah mempunyai konsep

(biasanya satu konsep) dan kerangka konseptual. Melalui kerangka

konseptual (landasan teori), priset melakukan operasionalisasi konsep

yang akan menghasilkan variabel beserta indikatornya. Priset ini untuk

menggambarkan realitas yang sedang terjadi tanpa menjelaskan

hubungan antar variabel (Rachmat, 2006:69).

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan kualitatif adalah suatu pendekatan yang tidak menggunakan 

(57)

statistik atau angka-angka tertentu. Hasil dari penelitian kualitatif ini

tidak dapat digeneralisasikan (membuat kesimpulan yang berlaku

umum) atau bersifat universal, jadi hanya dapat berlaku pada situasi dan

keadaan yang sesuai dan keadaan dimana penelitian yang serupa

diadakan (Kountur, 2003:29).

Menurut Rachmat dalam bukunya riset komunikasi (2006:59),

secara umum riset menggunakan metodologi kualitatif mempunyai

ciri-ciri sebagai berikut :

1. Intensif, partisipasi priset dalam waktu lama pada setting lapangan,

priset adalah instrument pokok riset.

2. Perekaman yang sangat hati-hati terhadap apa yang terjadi dengan

catatan-catatan dilapangan dan tipe-tipe dari bukti-bukti

dokumenter.

3. Analisis data lapangan.

4. Melaporkan hasil, termasuk deskriptif detail, quotes

(kutipan-kutipan) dan komentar.

5. Tidak ada realitas yang tunggal, setiap peneliti mengkritisi realitas

sebagai bagian penelitiannya. Realitas dipandang sebagai dinamis

(58)

6. Subjektif dan berada hanya dalam referensi peneliti. Priset sebagai

sarana penggalian interpretasi data.

7. Realitas adalah holistik dan tidak dapat dipilah-pilah.

8. Priset memproduksi penjelasan unik tentang situasi yang terjadi dan

individu-individunya.

9. Lebih pada kedalaman (depth) daripada keluasan (breadth).

10. Prosedur riset : empiris-rasional dan tidak berstruktur.

11. Hubungan antara teori, konsep dan data-data memunculkan atau

membentuk teori baru.

Pendekatan kualitatif dipilih dengan pertimbangan lebih mudah

apabila berhadapan dengan kenyataan ganda, menyajikan secara

langsung hakekat hubungan antara peneliti dengan informan, lebih peka

dan dapat lebih menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh

bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi. Metode kualitatif

yang digunakan adalah pendekatan fenomonologis, artinya peristiwa dan

kaitan-kaitannya orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu dengan

menekankan pada aspek subyektif dari perilaku orang, dan pendekatan

interaksi simbolik yang berasumsi bahwa pengalaman manusia ditengahi

(59)

dorongan dari dalam, sifat-sifat pribadi, motivasi yang tidak disadari,

kebetulan, status sosial ekonomi, kewajiban peranan, resep budaya,

mekanisme pengawasan masyarakat atau lingkungan fisik lainnya.

Untuk meneliti pola komunikasi dan perubahan gejala sosial

yang ada, peneliti menggunakan pendekatan fenomonologis, dimana

berusaha “mengungkap” proses interpretasi dan melihat segala aspek

“subjek” dari perilaku manusia dengan cara masuk kedunia konseptual

orang-orang yang diteliti sehingga dapat dimengerti apa dan bagaimana

suatu pengertian dikembangkan pada peristiwa dalam kehidupan

sehari-harinya. Pendekatan ini bukan berarti bahwa peneliti mengetahui arti

sesuatu bagi orang-orang yang diteliti. (Moleong, 2002:4-13).

Pada penelitian ini, peneliti akan berperan sebagai partisipan

dalam dunia sosial. Kedudukan peneliti sebagai instrumen penelitian

harus mencakup segi responsive, dapat menyesuaikn diri, menekankan

keutuhan, mendasarkan diri atas pengetahuan, memproses data

secepatnya dan memanfaatkan kesempatan untuk mengklarifikasikan

dan mengikhtisarkan serta memanfaatkan kesempatan mencari respon

yang tidak lazim. (Moleong, 2002:121).

Yang dimaksud pola komunikasi dalam penelitian ini adalah

(60)

remaja masjid dengan preman dalam lingkungan masyarakat. Dalam

usaha untuk memudahkan proses komunikasi yang dimaksud dalam

penelitian, maka diperlukan adanya konsep-konsep yang berfungsi

sebagai gambaran awal, antara lain :

1. Pola Keseimbangan

Pada pola komunikasi keseimbangan ini masing-masing individu

membagi sama dalam berkomunikasi. Komunikasi yang terjalin

sangat terbuka, jujur, langsung dan bebas. Tidak ada pemimpin

maupun pengikut, melainkan kedudukannya sama.

2. Pola Keseimbangan Terbalik

Dalam pola keseimbangan terbalik, masing-masing mempunyai

orientasi diatas daerah atau wewenang yang berbeda masing-masing.

3. Pola Pemisah Tidak Seimbang

Dalam hubungan terpisah yang tak seimbang, satu orang

mendominasi. Maka dari itu, satu orang ini secara teratur

mengendalikan hubungan dan hampir tidak pernah meminta pendapat

antara kedua belah pihak. Sedangkan anggota yang dikendalikan

membiarkannya untuk memenangkan argumentasi ataupun membuat

(61)

4. Pola Monopoli

Dalam pola monopoli ini, kedua belah pihak sama-sama dirinya

sebagai penguasa. Keduanya lebih suka memberi nasihat daripada

berkomunikasi untuk saling bertukar pendapat.

3.2. Subyek dan Informan Penelitian

1. Subyek Penelitian

Subyek penelitian ini adalah informan yang merupakan

preman kampung dengan kategori usia remaja, yakni usia 15-25

tahun. Karena pada usia tersebut merupakan proses pencarian jati

diri, cenderung labil dan memiliki semangat yang meluap serta

selalu ingin menonjolkan dirinya. Selain itu, pada usia tersebut

adalah periode remaja yang dipandang sebagai mass “storm and

stress”. Frustasi dan penderitaan, konflik dan penyesuaian, mimpi

dan melamun, cinta dan perasaan tersisihkan dari kehidupan sosial

budaya orang dewasa. (Yusuf, 2001:184).

Informan lain yang juga akan menjadi subyek dalam

penelitian ini adalah remaja masjid, yang melakukan komunikasi

(62)

narasi-narasi kualitatif dalam wawancara mendalam (indepth

interview).

2. Informan Penelitian

Informan penelitian ini tidak ditentukan jumlahnya, Hal ini

disebabkan karena dalam penelitian kualitatif tidak mempersoalkan

berapa besar jumlah informan, melainkan yang terpenting adalah

seberapa jauh penjelasan informan yang diperoleh dalam

menjawab permasalahan. (Sumady Suryabrata, 1998:60).

Namun demikian peneliti berusaha akan mencari sebanyak

mungkin informasi yang berkaitan dengan tujuan penelitian dari

beberapa sumber. Peneliti akan mencari variasi informasi

sebanyak-banyaknya dari sumber informasi dengan menggunakan

teknik sampling wawancara mendalam (indepth interview), yaitu

orang-orang yang dianggap mengetahui, memahami permasalahan

yang terjadi sesuai dengan substansi penelitian sehingga dapat

menghasilkan kata-kata dan tindakan, memungkinkan narasumber

untuk mendefinisikan dirinya sendiri dan lingkungannya dengan

istilah-istilah mereka sendiri.

Berikut ini merupakan syarat untuk menjadi seorang

(63)

serta preman yang melakukan tindakan kekerasan dikampung

dengan kategori usia remaja, yakni usia 15-25 tahun. Selain itu,

yang menjadi seorang informan dalam penelitian ini adalah remaja

masjid serta preman yang merupakan penduduk asli dan telah

menetap sekian tahun di daerah Kandangan Surabaya.

3.3. Unit Analisis Penelitian

Dalam penelitian ini menekankan pada pola komunikasi antara

remaja masjid dengan preman yang dilatar belakangi oleh perbedaan

kebiasaan dan budaya. Preman yang dimaksudkan dalam penelitian ini

adalah preman yang sering melakukan tindakan kekerasan dikampung.

Namun, dalam penelitian ini, lebih menekankan pada preman yang

masih berusia remaja. Dan juga tentang faktor yang mempengaruhi pola

komunikasinya. Hal ini dapat diamati dari proses komunikasi dalam

kehidupan sehari-hari para remaja masjid yang berkaitan langsung

dengan preman. Dan menghasilkan narasi-narasi kualitatif dalam

(64)

3.4. Teknik Pengumpulan Data

a. Wawancara Mendalam (indepth interview)

Pengumpulan data dengan melakukan tanya jawab dengan

informan dan bertatap muka antara penanya dan penjawab, dengan

menggunakan alat yang dinamakan dengan interview guide (panduan

wawancara). Wawancara mendalam dimaksudkan untuk memburu

makna yang tersembunyi dibalik “tabel hidup” kenyataan yang

tertangkap dan diobservasi sehingga sesuatu fenomena sosial menjadi

bisa dipahami. Dengan wawancara mendalam, bisa digali apa yang

tersembunyi di sanubari, apakah menyangkut masa lampau, masa kini,

maupun masa depan.

Berikut yang akan disajikan teknis wawancara yang akan

dilakukan peneliti :

1. Peneliti menyiapkan daftar pertanyaan (interview guide).

2. Peneliti akan melakukan wawancara kepada informan.

3. Waktu dan tempat wawancara akan ditentukan setelah ada

kesepakatan peneliti dengan informan.

(65)

5. Wawancara akan dilakukan secara tatap muka atau langsung dengan

informan.

6. Wawancara dilakukan hanya melibatkan satu pewawancara dan satu

informan, informan yang lain akan diwawancara pada waktu dan

tempat yang lain.

7. Dimungkinkan jika tempat wawancara pada seorang informan juga

sama dengan wawancara terhadap seorang informan yang lain,

namun dipastikan tidak dalam waktu yang sama.

8. Pendokumentasian data akan dilakukan dengan menggunakan tape

recorder, buku catatan, dan bolpoin.

Selain itu juga menggunakan literatur yaitu teknik

pengumpulan data dengan mencari data pendukung dengan mengolah

buku-buku dan sumber bacaan lain yang berkaitan dengan masalah

penelitian.

3.5. Teknik Analisis Data

Setelah seluruh data diperoleh dengan cara teknik indepth

interview dan observasi, peneliti akan menganalisis data tersebut dengan

(66)

masjid dengan preman kampung di daerah Kandangan Surabaya dalam

bentuk uraian atau penjelasan deskriptif, sehingga analisis ini tidak

mencari atau menjelaskan hubungan, serta tidak membuat hipotesis atau

membuat prediksi.

(67)

55     

4.1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

1. Remaja Masjid

Remaja masjid sebagai wadah aktivitas kerja sama remaja

muslim, maka biasanya remaja masjid beranggotakan dua orang

atau lebih remaja yang berusia sekitar 15-25 tahun. Usia di bawah

15 tahun adalah usia yang masih terlalu muda, sehingga tingkat

pemikiran mereka masih belum berkembang dengan baik.

Sedangkan untuk usia di atas 25 tahun sudah kurang layak untuk

disebut sebagai remaja.

Tingkat usia anggota remaja masjid perlu dipertimbangkan

dengan baik, karena berkaitan dengan pembinaan mereka. Anggota

yang memiliki tingkat usia, pemikiran dan latar belakang yang

relatif homogen akan lebih mudah dibina bila dibandingkan

dengan yang heterogen. Disamping itu, dengan usia yang sebaya,

mereka akan lebih mudah untuk bekerjasama dalam melaksanakan

program-program yang telah direncanakan sehingga akan

(68)

Remaja masjid merupakan ujung tombak dari sebuah

organisasi masjid. Disadari atau tidak, pengurus masjid

membutuhkan peran remaja masjid dalam setiap langkah dan gerak

aktifitasnya. Sudah menjadi tanda umum bahwa remaja masjid

adalah seorang remaja yang memiliki sifat lebih agamis dibanding

dengan remaja lainnya. Kebiasaan atau rutinitas yang dilakukan

remaja masjid juga lebih berbeda dibanding dengan remaja lain

seperti misalnya mengaji secara rutin, serta memberikan dakwah

Islami kepada masyarakat umum. Remaja masjid dijadikan

panutan oleh orangtua yang lain, khusunya orangtua yang memiliki

anak dengan usia remaja untuk menjadikan anaknya sebagai figur

yang taat pada agama serta taat pada orangtua. Remaja masjid

mampu memberikan sentuhan yang berbeda sesuai dengan

karakteristiknya yang tengah dalam proses pencarian jati diri,

cenderung labil dan memiliki semangat yang meluap serta selalu

ingin menonjolkan dirinya. (sumber diambil dan diakses pada

tanggal 11 Februari 2010 dari :

www.pusparugm.org/articels.asp?id=10814&no=2).

(69)

Secara etimologis, kata preman berasal dari free man yang

berarti orang bebas, orang yang merdeka atau tidak terikat oleh

aturan. Namun, arti kata preman saat ini bergeser menjadi sebuah

makna yang negatif.

Preman dapat dikategorikan menjadi tiga; (1) preman kelas

bawah; (2) preman kelas menengah; (3) preman kelas atas

1. Preman kelas bawah

Preman kelas bawah adalah preman yang beroperasi dalam

lingkungan masyarakat umum dengan modus pencopetan,

pemalakan, mabuk-mabukan, perampasan.

2. Preman kelas menengah

Preman kelas menengah adalah preman yang bekerja dengan

upah atau imbalan dari atasannya, seperti misalnya preman

pengawal pribadi.

3. Preman kelas atas

Preman kelas atas adalah seseorang yang memiliki

kekuasaan atau jabatan. Seperti misalnya pejabat yang melakukan

(70)

Premanisme dengan level atau kelas bawah, dapat ditemui

dengan mudah. Preman banyak terdapat dalam ruang-ruang publik

kehi

Gambar

Gambar 1. Model Komunikasi Interpersonal Secara Umum

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian, pola komunikasi disini dapat dipahami sebagai pola hubungan antara dua orang atau lebih dalam pengiriman dan penerimaan pesan dengan cara yang tepat sehingga

KOMUNITAS BROKEN HOME (Studi Deskriptif Kualitatif mengenai Pola Komunikasi Komunitas Broken Home Jogja), Skripsi, Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan

hubungan pola komunikasi orang tua- anak dengan perkembangan emosi remaja awal kelas 2 Tsanawiyah Madrasah Mu'allimaat Muhammadiyah Yogyakarta mempunyai pola komunikasi orang tua-

Berdasarkan hasil analisis data, didapatkan bahwa pola komunikasi yang terjadi pada terapis dengan anak autis ADHD adalah pola komunikasi yang berorientasi pada konsep

Dengan mengucap puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kekuatannya sehingga dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “POLA KOMUNIKASI

Dapat digunakan untuk menambah wacana komunikasi interpersonal atau komunikasi antar pribadi khususnya tentang pola komunikasi orang tua dengan siswa smp pengguna

KOMUNITAS BROKEN HOME (Studi Deskriptif Kualitatif mengenai Pola Komunikasi Komunitas Broken Home Jogja), Skripsi, Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan

Memberikan gambaran, pemikiran pada pihak Da’i area lokalisasi mengenai Pola Komunikasi yang baik sehingga dapat digunakan oleh pihak Dai sebagai bahan pertimbangan dalam