SKRIPSI
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Jawa Timur
Disusun Oleh: Deviant Puspita Wardhani
0643010145
YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
Disusun Oleh : Deviant Puspita Wardhani
0643010145
Telah Disetujui Untuk Mengikuti Ujian Skripsi
Mengetahui,
Dosen Pembimbing
Dra. Sumardjijati, M.Si
NIP. 030.223.610
Menyetujui,
Dekan
Dra. Ec. Hj. Suparwati, M.Si
Laporan Proposal Skripsi dengan judul Pola Komunikasi Remaja Masjid Dengan Preman (Studi Kualitatif Mengenai Pola Komunikasi Remaja Masjid Dengan Preman di Daerah Kandangan Surabaya) sebagai persyaratan untuk memenuhi evaluasi keberhasilan studi akhir, sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Tujuan daripada pembuatan Laporan Proposal Skripsi ini adalah
untuk menambah wawasan kreatifitas dan ilmu pengetahuan mahasiswa.
Terselenggaranya Laporan Proposal Skripsi ini juga berkat bantuan dan
dukungan baik bersifat material maupun spiritual dari berbagai pihak.
Tak lupa penulis mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian
Laporan Proposal Skripsi ini, antara lain :
1. Ibu Dra. Ec. Hj. Suparwati, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik.
2. Bapak Juwito, Ssos, M.Si selaku Ketua Jurusan Ilmu
Komunikasi.
Proposal Skripsi ini.
4. Seluruh Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, UPN ”Veteran” Jatim.
5. Bapak dan Ibu Dosen Penguji, terima kasih atas saran dan kritik
yang diberikan kepada penulis.
6. Bapak dan Mama tercinta, yang tak henti-hentinya selalu berdoa
demi keberhasilanku dan selalu memberikan kasih sayang yang
tak terbatas dan tak bisa dibayar dengan apapun.
7. Kakakku, Juliant yang memberikan dukungan dan inspirasi
tersendiri untukku.
8. Teddy, Pika, Ica, Momo, Aida, Ry Poernomo, dan seluruh
teman-teman seperjuangan dan seangkatan penulis (IKOM ’06)
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas
dukungannya selama ini. Semoga sukses.
9. Rudi Prasetyo, yang selalu memberikan semangat kepada
penulis untuk segera menyelesaikan laporan proposal skripsi ini
ini. Terima kasih buat semua waktu dan perhatiannya untukku.
iii
harapkan dari Ibu Dosen Pembimbing serta dari Bapak atau Ibu Dosen
Penguji maupun dari rekan-rekan sekalian demi perbaikan dan
kesempurnaan laporan ini.
Akhirnya penulis berharap mudah-mudahan Laporan Proposal
Skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Surabaya, 06 Mei 2010
DAFTAR ISI ... iv
ABSTRAKSI ... ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 7
1.3. Tujuan Penelitian ... 7
1.4. Manfaat Penelitian ... 8
1.4.1. Manfaat Teoritis ... 8
1.4.2. Manfaat Praktis ... 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 9
2.1. Landasan Teori ... 9
2.1.1. Komunikasi Interpersonal ... 9
2.1.2. Efektivitas Komunikasi Interpersonal ... 16
2.1.3. Bahasa Verbal dan Nonverbal ... 17
2.2. Komunikasi Antarbudaya ... 28
2.3. Pola Komunikasi ... 33
2.4. Teori Pertukaran Sosial ... 36
2.5. Remaja Masjid ... 37
BAB III METODE PENELITIAN ... 44
3.1. Definisi Operasional Konsep ………... 44
3.2. Subyek dan Informan Penelitian ... 49
3.3. Unit Analisis Penelitian ... 51
3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 52
3.5. Teknik Analisis Data ... 53
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 55
4.1. Gambaran Umum Objek Penelitian dan Penyajian Data ... 55
4.1.1. Gambaran Umum Objek Penelitian ... 55
4.1.2. Penyajian Data ... 58
4.1.3. Identitas Responden ... 59
4.2. Analisis Data ... 61
4.2.1. Pola Komunikasi Remaja Masjid dengan Preman di Daerah Kandangan Surabaya ... 61
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 107
5.1. Kesimpulan ... 107
5.2. Saran ... 108
DAFTAR PUSTAKA... 109
Gambar 1. Model Komunikasi Interpersonal Secara Umum ……….. 11
Gambar 2. Masjid Hidayatullah di Daerah Kandangan Surabaya……….. 111
Gambar 3. Remaja masjid laki-laki Masjid Hidayatullah ………... 111
Gambar 4. Peneliti bersama informan remaja masjid ……….. 112
Gambar 5. Remaja masjid Hidayatullah seusai kegiatan keagamaan ……… 112
Gambar 6. Gambar preman yang sedang berada di masjid Hidayatullah ………. 113
viii
Lampiran 1. Interview Guide (remaja masjid) ... 114
Komunikasi Remaja Masjid Dengan Preman di daerah Kandangan Surabaya).
Komunikasi adalah menciptakan atau membuat segala kebimbangan menjadi lebih pasti. Sebuah pengertian bersama diantara individu-individu sebagai anggota kelompok sosial akan mudah menghasilkan tidak hanya unit-unit sosial, tetapi juga unit-unit-unit-unit kultural atau kebudayaan dalam masyarakat. Komunikasi dan kebudayaan tidak sekedar dua kata, tetapi dua konsep yang tidak dapat dipisahkan. Komunikasi antarbudaya terjadi karena adanya pebedaan persepsi dan kebiasaan antara komunikator dengan komunikan. Adanya perbedaan budaya, mampu menimbulkan konflik antara komunikator dengan komunikan karena makna (meaning) yang diperoleh mengalamai ketidakpastian. Namun, ketidakpastian tersebut bisa dikurangi apabila komunikator dengan komunikan mampu melakukan proses komunikasi yang efektif.
Dalam penelitian ini menggunakan teori pertukaran sosial dimana hubungan interpersonal sebagai suatu transaksi dagang. Orang berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya. Terdapat empat pola komunikasi yang menjadi konsep dasar penelitian ini, yakni pola keseimbangan, pola keseimbangan terbalik, pola pemisah tidak seimbang, dan pola monopoli.
Penelitian ini menggunakan teknik indepth interview dan observasi partisipan. Analisis yang digunakan adalah kualitatif dalam bentuk uraian atau penjelasan deskriptif. Yang menjadi bagian dari penelitian ini adalah remaja masjid dan preman di daerah Kandangan Surabaya.
Dari hasil interview, diketahui bahwa pola komunikasi yang digunakan antara remaja masjid dengan preman adalah pola komunikasi keseimbangan dimana komunikasi diantara mereka adalah terbuka, jujur, dan bebas. Tidak ada yang menjadi pemerintah ataupun pengikut. Kedudukan keduanya adalah sama.
1.1. Latar Belakang Masalah
Manusia hidup dalam sebuah komunitas yang mempunyai
kebijakan tentang sesuatu yang mereka miliki bersama, dan komunikasi
merupakan satu-satunya jalan untuk membentuk kebersamaan itu.
Komunikasi, seperti kata Robert E Park (1996) adalah menciptakan atau
membuat segala kebimbangan menjadi lebih pasti. Sebuah pengertian
bersama diantara individu-individu sebagai anggota kelompok sosial
akan mudah menghasilkan tidak hanya unit sosial, tetapi juga
unit-unit kultural atau kebudayaan dalam masyarakat.
Komunikasi dan kebudayaan tidak sekedar dua kata, tetapi dua
konsep yang tidak dapat dipisahkan. Budaya itu sendiri adalah sesuatu
cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh suatu kelompok
orang dari generasi ke generasi. Komunikasi antarbudaya merupakan
komunikasi lintas budaya, atau dengan kata lain komunikasi
antarpribadi yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang berbeda latar
belakang budaya, baik perbedaan dalam ras, etnik, kebiasaan, maupun
perbedaan sosial dan ekonomi.(Liliweri, 2002:9).
1
Kebudayaan adalah komunikasi, dan komunikasi adalah kebudayaan. (Edward T. Hall, 1996).
Komunikasi antarbudaya adalah setiap proses pembagian
informasi, gagasan, atau perasaan diantara mereka yang berbeda latar
belakang budayanya. Proses pembagian informasi itu dilakukan secara
lisan dan tertulis, juga melalui bahasa tubuh, gaya atau tampilan pribadi,
atupun bantuan hal lain di sekitarnya yang memperjelas pesan.
Komunikasi antarbudaya terjadi karena adanya pebedaan
persepsi dan kebiasaan antara komunikator dengan komunikan. Menurut
Devito dalam buku Mulyana (2001:168), persepsi adalah proses dengan
mana kita menjadi sadar akan banyaknya stimulus yang mempengaruhi
indera kita. Komunikasi, apapun bentuk dan konteksnya, selalu
menampilkan perbedaan iklim antara komunikator dengan komunikan.
Karena ada perbedaan iklim budaya tersebut, maka pada umumnya
komunikasi yang terjadi selalu difokuskan pada pesan-pesan yang
menghubungkan individu atau kelompok dari dua situasi budaya yang
berbeda. Dalam perbedaan itu umumnya mengimplikasikan bahwa
hambatan komunikasi antarbudaya sering tampil dalam bentuk
perbedaan persepsi terhadap norma-norma budaya, pola-pola berpikir,
antarbudaya, maka semakin besar kehilangan peluang untuk
merumuskan suatu tingkat kepastian sebuah komunikasi yang efektif.
Adanya perbedaan budaya, mampu menimbulkan konflik
antara komunikator dengan komunikan karena makna (meaning) yang
diperoleh mengalamai ketidakpastian. Gudykunst dan Kim dalam
Liliweri (2002:19) menunjukkan bahwa orang-orang yang tidak saling
kenal selalu berusaha untuk mengurangi tingkat ketidakpastian melalui
peramalan yang tepat atas relasi antarpribadi.
Ketidakpastian tersebut bisa dikurangi apabila komunikator
dengan komunikan mampu melakukan proses komunikasi yang efektif.
Komunikasi yang efektif atau tidaknya suatu proses pertukaran antara
masing-masing individu tersebut tidak hanya dipengaruhi faktor-faktor
internal, tetapi juga faktor eksternal. Contohnya adalah hubungan
komunikasi antara remaja masjid dengan preman. Remaja masjid dengan
preman memiliki sebuah latar belakang kebiasaan yang berbeda. Remaja
masjid adalah seorang remaja yang beraktifitas dimasjid, baik untuk
kepentingan dakwah dimasjid ataupun di kehidupan masyarakat.
Sedangkan preman adalah seseorang yang berpenampilan sembarangan,
Berkaitan dengan remaja masjid, remaja masjid sebagai wadah
aktivitas kerja sama remaja muslim, maka biasanya remaja masjid
beranggotakan dua orang atau lebih remaja yang berusia sekitar 15-25
tahun. Remaja masjid merupakan ujung tombak dari sebuah organisasi
masjid.. Sudah menjadi tanda umum bahwa remaja masjid adalah
seorang remaja yang memiliki sifat lebih agamis dibanding dengan
remaja lainnya. Kebiasaan atau rutinitas yang dilakukan remaja masjid
juga lebih berbeda dibanding dengan remaja lain seperti misalnya
mengaji secara rutin, serta memberikan dakwah Islami kepada
masyarakat umum. Remaja masjid dijadikan panutan oleh orangtua yang
lain, khusunya orangtua yang memiliki anak dengan usia remaja untuk
menjadikan anaknya sebagai figur yang taat pada agama serta taat pada
orangtua. Remaja masjid mampu memberikan sentuhan yang berbeda
sesuai dengan karakteristiknya yang tengah dalam proses pencarian jati
diri, cenderung labil dan memiliki semangat yang meluap serta selalu
ingin menonjolkan dirinya. (sumber diambil dan diakses pada 11
Februari dari : www.pusparugm.org/articels.asp?id=10814&no=2).
Berbeda dengan remaja masjid, preman saat ini juga dapat
ditemui dengan mudah. Preman banyak terdapat dalam ruang-ruang
publik kehidupan masyarakat, serta tidak menutup kemungkinan bahwa
preman semakin meningkat bukan hanya dari aspek kuantitasnya,
melainkan juga dari aktivitas yang mereka lakukan. Hampir di setiap
persimpangan jalan, pasar, stasiun, terminal, serta di kampung dijumpai
banyak preman. Sudah menjadi brand atau tanda umum bahwa seorang
preman selalu berbuat onar. Tidak hanya mabuk-mabukan serta berkata
kasar dan kotor, tetapi juga merampas uang ataupun barang milik orang
lain.
Uraian tersebut diatas merupakan sebuah kontradiksi, dimana
remaja masjid dengan preman pada umumnya memang berawal dan
memiliki latar belakang budaya yang berbeda, yakni perbedaan
kebiasaan. Begitu pula dengan yang terjadi di daerah Kandangan
Surabaya.
Dalam sebuah aktifitas tertentu, para preman di daerah tersebut
bersinggungan dengan masyarakat di sekitarnya, tidak menutup
kemungkinan pula dengan remaja masjid, salah satunya adalah dengan
remaja masjid Hidayatullah. Menurut H. Arif Supadi Utomo, selaku
takmir masjid Hidayatullah, masjid itu sendiri mempunyai 30 anggota
remaja masjid terdiri dari 21 remaja laki-laki dan 9 remaja perempuan
yang masih aktif dalam melaksanakan kegiatan keagamaan di masjid
berpartisipasi dalam kegiatan yang dilakukan oleh remaja masjid
Hidayatullah tersebut. Misalnya dengan melibatkan sebagian preman
kampung dalam kegiatan keagamaan yang diadakan oleh remaja masjid,
antara lain saat adanya pentas musik Islami, preman kampung dilibatkan
sebagai panitia penyelenggara ataupun sebagai penjaga parkir.
Dilibatkannya preman dalam kegiatan keagamaan tersebut menimbulkan
ganjaran atau keuntungan pada masing-masing pihak. Ganjaran yang
diperoleh oleh remaja masjid adalah rasa aman karena preman dilibatkan
dalam sektor keamanan, sedangkan ganjaran yang diperoleh oleh
preman adalah materi yang diterima dari hasil menjaga parkir. Tetapi,
tidak menutup kemungkinan bahwa remaja masjid dengan preman di
daerah Kandangan tersebut pernah terlibat dalam sebuah konflik dan
kesalah pahaman. Salah satunya adalah saat diadakannya bazar pada
sekitar 4(empat) tahun yang lalu, preman mengambil lahan parkir masjid
Hidayatullah menjadi area parkir preman untuk memperoleh keuntungan
sendiri tanpa mempedulikan remaja masjid. Dari situ konflik dan
kesalah pahaman diantara mereka muncul.
Namun, melalui komunikasi yang efektif dan komunikasi yang
terjalin baik diantara keduanya, apa yang diinginkan preman maupun
remaja masjid saling dilaksanakan dan terpenuhi. Selain itu, dengan
permasalahan antara kedua belah pihak. Tanpa pola komunikasi yang
baik dan tepat dalam hubungan antara remaja masjid dengan preman,
maka berbagai hal serta konflik mengenai perbedaan pemahaman,
makna (meaning) serta kebiasaan yang tidak diinginkan semakin susah
untuk dikurangi.
Untuk mengurangi ketidakpastian serta konflik diantara remaja
masjid dengan preman kampung, maka komunikasi antara keduanya
harus dilakukan setiap hari. Pola komuniksi yang terbentuk apakah
produktif ataupun tidak tergantung dari masing-masing individu yang
berinteraksi tersebut.
Penelitian ini mencoba untuk mengetahui bagaimana pola
komunikasi yang dilakukan oleh preman kampung dengan remaja
masjid sehingga kebutuhan kedua belah pihak dapat terwujud dengan
baik.
Berdasarkan uraian diatas, penulis ingin mencari jawaban atas
seluruh pola komunikasi yang digunakan oleh para remaja masjid
dengan preman kampung, khususnya di daerah Kandangan Surabaya.
Karena remaja masjid adalah figur seorang remaja yang cenderung
dengan sikap dan sifat yang cenderung keras dan sering melakukan
tindak kejahatan.
1.2. Perumusan Masalah
Beradasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, maka
dapat dirumuskan sebagai berikut : Bagaimanakah pola komunikasi
remaja masjid dengan preman kampung di Kandangan Surabaya?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola komunikasi
antara remaja masjid dengan preman kampung di daerah Kandangan
Surabaya.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritis
Bagi ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan mampu
memberikan kontribusi berkaitan dengan pola komunikasi dalam
1.4.2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini dapat memberi masukan kepada remaja
masjid ataupun masyarakat tentang cara berkomunikasi dengan
para preman melalui pendekatan-pendekatan pola komunikasi
2.1.1. Komunikasi Interpersonal
Menurut Devito (2007:5), definisi komunikasi interpersonal
atau komunikasi antarpribadi adalah proses pengiriman dan penerimaan
pesan-pesan antara dua orang, atau diantara sekelompok kecil
orang-orang dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika.
Pentingnya situasi komunikasi interpersonal ialah karena
prosesnya memungkinkan berlangsung secara dialogis. Dialog adalah
bentuk komunikasi antar pribadi yang menunjukkan terjadinya interaksi.
Mereka yang terlibat dalam komunikasi bentuk ini berfungsi ganda,
masing-masing menjadi pembicara dan pendengar secara bergantian.
Dalam proses komunikasi dialogis. Nampak adanya upaya dari para
pelaku komunikasi untuk terjadinya pergantian bersama (mutual
understanding) dan empati. Disitu terjadi rasa saling menghormati
bukan disebabkan status sosial melainkan didasarkan pada anggapan
bahwa masing-masing adalah manusia yang wajib, berhak, pantas, dan
wajar dihargai dan dihormati sebagai manusia. Dibanding dengan bentuk
komunikasi lainnya komunikasi antarpribadi dinilai paling ampuh dalam
kegiatan mengubah sikap, kepercayaan opini dan perilaku komunikan.
Hal ini dikarenakan komunikasi berlangsung tatap muka, oleh karena
dengan komunikasi itu terjadilah kontak pribadi (personal contact) yaitu
pribadi anda menyentuh pribadi komunikan.
Ketika menyampaikan pesan, umpan balik berlangsung
seketika (immediate feedback) mengetahui pada saat itu tanggapan
komunikan terhadap pesan yang dilontarkan, pada ekspresi wajah,
postur atau sikap badan, kontak mata dan tatapan serta gaya bicara.
Apabila umpan balik positif, artinya tanggapan itu menyenangkan, kita
akan mempertahankan gaya komunikasi, sebaliknya jika tanggapan
komunikasi negatif, maka harus mengubah gaya komunikasi sampai
komunikasi berhasil.
Dalam komunikasi antarpribadi arus komunikasi yang terjadi
adalah sirkuler atau berputar, artinya setiap individu mempunyai
kesempatan yang sama untuk menjadi komunikator dan komunikan
dalam proses komunikasi. Untuk dapat mengetahui
komponen-komponen yang terlibat dalam komunikasi antarpribadi, efek dan umpan
balik dapat terjadi seketika. Dapat dijelaskan dalam gambar sebagai
Bidang Pengalaman Pengiriman (Encoding) Penerimaan (Decoding) EFEK Saluran Pesan-Pesan Gangguan Umpan Balik Bidang Pengalaman Pengiriman (Encoding) Penerimaan (Decoding) EFEK
Gambar 1. Model Komunikasi Interpersonal Secara Umum
Dalam gambar diatas dapat dijelaskan bahwa
komponen-komponen komunikasi antarpribadi adalah sebagai berikut : (Devito,
2007:10)
1. Pengirim-penerima
Komunikasi antarpribadi, paling tidak melibatkan dua orang,
setiap orang terlibat dalam komunikasi antarpribadi memfokuskan dan
mengirim pesan dan juga sekaligus menerima dan memahami pesan.
Encoding adalah tindakan menghasilkan pesan, artinya
pesan-pesan yang akan disampaikan dikode atau diformulasikan terlebih
dahulu dengan menggunakan kata-kata, simbol dan sebagainya.
Sebaliknya, tindakan untuk menginterpretasikan dan memahami
pesan-pesan yang diterima, disebut sebagai decoding. Dalam komunikasi
antarpribadi, karena pengirim juga bertindak sekaligus sebagai
penerima. Maka fungsi encoding-decoding dilakukan oleh setiap orang
yang terlibat dalam komunikasi antarpribadi.
Contoh : penggunaan bahasa daerah.
3. Pesan-Pesan
Dalam komunikasi antarpribadi, pesan-pesan ini bisa berbentuk
verbal (seperti kata-kata) atau nonverbal (gerak tubuh, simbol, ekspresi
wajah, tatapan mata seseorang, gaya bicara), atau gabungan antara
bentuk verbal dan nonverbal.
Contoh : materi pelajaran.
4. Saluran
Saluran ini berfungsi sebagai media dimana dapat
menghubungkan antara pengirim dan penerima pesan atau informasi.
maupun kelompok lebih persuasif dengan saluran media massa. Hal ini
disebabkan karena pertama, penyampaian pesan melalui saluran
komunikasi personal dapat dilakukan secara langsung kepada khalayak
yang dituju, bersifat pribadi dan manusiawi. Kedua, penyampaian
melalui komunikasi personal dapat dilakukan secara rinci dan lebih
fleksibel dengan kondisi nyata khalayak. Ketiga, keterlibatan khalayak
dalam komunikasi cukup tinggi. Keempat, pihak komunikator atau
sumber dapat langsung mengetahui rekasi, umpan balik dan tanggapan
dari pihak khalayak atas isi pesan yang disampaikannya. Kelima, pihak
komunikator atau sumber dapat dengan segera memberikan penjelasan
apabila terdapat kesalahpahaman atau kesalahan persepsi dari pihak
khalayak atas pesab yang disampaikannya.
Contoh : dalam komunikasi antarpribadi kita berbicara dan
mendengarkan (saluran tentang indera pendengar melalui suara). Isyarat
visual atau sesuatu yang tampak (seperti gerak tubuh, ekspresi wajah,
dan lain sebagainya).
5. Gangguan atau Noise
Seringkali pesan-pesan yang dikirim dengan pesan yang
diterima. Hal ini dapat terjadi karena gangguan saat berlangsungnya
a. Gangguan Fisik
Gangguan ini biasanya berasal dari luar dan mengganggu
transmisi fisik pesan, seperti : kegaduhan, interupsi, jarak, dan
sebagainya.
b. Gangguan Psikologis
Gangguan ini timbul karena adanay perbedaan gagasan dan
penilaian subyektif diantara orang-orang yang terlibat dalam
komunikasi, seperti : emosi, perbedaan, nilai-nilai, sikap, dan
sebagainya.
c. Gangguan Simatik
Gangguan ini terjadi karena kata-kata atau simbol yang
digunakan dalam komunikasi, sering kali memiliki arti ganda, sehingga
menyebabkan penerima gagal dalam menangkap dari maksud-maksud
pesan yang disampaikan. Contoh : perbedaan bahasa yang digunakan
dalam berkomunikasi.
6. Umpan Balik
Umpan balik memainkan peranan yang sangat penting dalam
proses komunikasi antarpribadi, karena pengirim dan penerima secara
baik secara verbal maupun nonverbal. Umpan balik bersifat positif
apabila dirasa saling menguntungkan. Bersifat netral apabila tidak
menimbulkan efek, dan bersifat negatif apabila merugikan.
7. Konteks
Komunikasi selalu terjadi dalam sebuah konteks yang
mempengaruhi isi dan bentuk dari isi pesan yang disampaikan. Ada dua
dimensi konteks dalam komunikasi antarpribadi, yaitu :
a. Dimensi Fisik,mencakup tempat dimana komunikasi berlangsung,
misalnya komunikasi antar guru dan murid di dalam kelas, kelas
disini berperan sebagai dimensi fisik.
b. Dimensi Sosial Psikologi, mencakup hubungan yang memperhatikan
masalah status, peranan yang dimainkan, norma-norma kelompok
masyarakat, keakraban, formalitas dan sebagainya.
8. Bidang Pengalaman (Field of Experience)
Bidang pengalaman merupakan factor yang paling penting
dalam komunikasi antarpribadi. Komunikasi akan terjadi apabila para
pelaku yang terlibat dalam komunikasi mempunyai bidang pengalaman
yang sama.
Dibanding dengan bentuk komunikasi lainnya, komunikasi
antarpribadi dinilai paling ampuh untuk mengubah sikap, perilaku,
kepercayaan dan opini komunikan. Hal ini disebabkan komunikasi
dilakukan secara tatap muka.
2.1.2. Efektivitas Komunikasi Interpersonal
Menurut Joseph A. Devito dalam buku The Interpersonal
Communication Book yang dikutip oleh Soemiati (Soemiati,
1993:50-51)
1. Keterbukaan, yaitu adanya kemauan untuk membuka diri, menyatakan
tentang keadaan dirinya sendiri yang tadinya tetap disembunyikan
yang berhubungan dengan komunikasi pada saat itu serta keterbukaan
dalam memberikan tanggapan secara spontan dan tanpa dalih
terhadap komnuikasi dan umpan balik orang lain.
2. Empati, sebagai sutu perasaan individu yang merasa sama seperti
yang dirasakan orang lain (menempatkan diri pada posisi orang lain).
3. Dukungan, suatu dukungan situasi terhadap kritik maupun caci maki.
4. Rasa positif, dimana komunikasi akan positif bila dirasakan situasi
5. Kesamaan, kesamaan dalam bidang pengalaman, seperti sikap,
perilaku, nilai dan sebagainya serta kesamaan dalam hal mengirim
dan menerima pesan.
2.1.3. Bahasa Verbal dan Nonverbal
Pada dasarnya komunikasi adalah pertukaran pesan (baik
secara verbal maupun nonverbal) dari komunikator ke komunikan yang
dilakukan melalui suatu media tertentu, yang pada akhirnya
menimbulkan umpan balik kepada komunikatornya. Ketika pesan ini
disampaikan dari satu orang ke orang lain, akan terjadi proses
penciptaan makna yang disebut juga dengan persepsi. Proses penciptaan
makna atau persepsi ini tidak lepas dari bagaimana cara seseorang
menangkap dan menafsirkan pesan yang diterimanya, sedangkan
penyampaian pesan ini sendiri tidak semata-mata dilakukan hanya
menggunakan bahasa verbal saja tetapi juga menggunakan bahasa
nonverbal. Berikut adalah beberapa hal yang menyangkut komunikasi
verbal dan nonverbal untuk memperjelas proses persepsi yang terjadi
1. Pengertian Pesan Verbal Dan Nonverbal
Mulyana dalam bukunya Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar
(2001:237-239), simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol
yang menggunakan satu kata atau lebih. Hampir semua rangsangan
wicara yang di sadari termasuk kedalam kategori pesan verbal yang
disengaja, yaitu usaha-usaha yang dilakukan secara sadar untuk
berhubungan dengan orang lain secara lisan. Bahasa dapat juga dianggap
sebagai suatu sistem kode verbal. Bahasa dapat didefinisikan sebagai
seperangkat simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan
simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami suatu komunitas.
Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran,
perasaan, dan maksud seseorang. Bahasa verbal menggunakan kata-kata
yang mempresentasikan berbagai aspek realitas individual.
Bila kita menyertakan budaya sebagai variabel dalam proses
abstrak itu, problemnya menjadi semakin rumit. Ketika seseorang
berkomunikasi dengan seseorang dari budayanya sendiri, proses
abstraksi untuk mempresentasikan pengalaman akan jauh lebih mudah,
karena dalam suatu budaya orang-orang berbagai sejumlah pengalaman
serupa. Namun bila komunikasi melibatkan orang-orang berbeda
abstraksi juga menyulitkan. Berikut ini fungsi bahasa menurut para
pakar, yaitu :
1. Menurut Larry L. baker dalam Mulyana (2001:243), bahasa memiliki
tiga fungsi:
a. Penamaan (naming atau labeling), interaksi, dan transisi informasi.
Penamaan atau penjulukan merujuk pada usaha mengidentifikasi
objek, tindakan, atau orang dengan menyebut namanya sehingga
dapat dirujuk dalam komunikasi.
b. Fungsi interaksi menekankan berbagai gagasan dan emosi, yang
dapat mengundang simpati dan pengertian atau kemarahan dan
kebingungan.
c. Bahasa sebagai fungsi informasi. Seseorang menerima informasi
setiap hari, sejak bangun tidur hingga tidur kembali, dari orang lain
baik secara langsung atau tidak (melalui media massa misalnya).
Fungsi bahasa inilah yang disebut sebagai fungsi transmisi.
Keistimewaan bahasa sebagai sarana transmisi informasi yang
lintas waktu, dengan menghubungkan masa lalu, masa kini, dan
masa depan, memungkinkan kesinambungan budaya dan tradisi
kita. Tanpa bahasa seseorang tidak mungkin menghadirkan semua
2. Book dalam Mulyana (2001:243), mengemukakan bahwa agar
komunikasi berhasil, setidaknya bahasa harus memenuhi tiga fungsi,
yaitu :
a. Untuk mengenal dunia disekitar. Fungsi pertama bahasa ini jelas
tidak terelakkan. Melalui bahasa nada dapat mempelajari apa saja
yang menarik minat, mulai sejarah suatu bangsa yang hidup pada
masa lalu yang tidak pernah ditemui.
b. Untuk berhubungan dengan orang lain. Fungsi kedua dari bahasa,
yakni sebagai sarana untuk berhubungan dengan orang lain,
sebenarnya banyak berkaitan dengan fungsi-fungsi komunikasi.
c. Untuk menciptakan koherensi dalam kehidupan. Fungsi ketiga dari
bahasa, yakni memungkinkan seseorang untuk hidup lebih teratur,
saling memahami mengenai diri masing-masing,
kepercayaa-kepercayaan, dan tujuan-tujuan. Seseorang tidak mungkin
menjelaskan semua itu dengan menyusun kata-kata secara acak,
melainkan berdasarkan aturan-aturan tertentu yang telah di
sepakati bersama. Akan tetapi, sebenarnya tidak selamanya dapat
memenuhi ketiga fungsi bahasa tersebut, oleh karena meskipun
ini secara inheren mengandung kendala, karena sifatnya yang cair
dan keterbatasannya.
Seseorang mempersepsi orang lain tidak hanya lewat bahasa
verbalnya: bagaimana bahasanya (halus, kasar, intelektual, maupun
berbahasa asing, dan sebagainya), namun juga melalui perilaku
verbalnya. Seseorang dapat mengetahui suasana emosional seseorang,
apakah ia sedang bahagia, bingung, atau sedih. Kesan awal pada
seseorang sering didasarkan perilaku nonverbalnya, yang mendorong
untuk mengenalnya lebih jauh. Secara sederhana, pesan nonverbal
adalah semua isyarat yang bukan kata-kata. Pesan-pesan nonverbal
sangat berpengaruh dalam komunikasi.
Sementara kebanyakan perilaku verbal biasanya bersifat
eksplisit dan diproses secara kognitif, perilaku nonverbal bersifat
spontan, ambigu, sering berlangsung cepat, dan diluar kesadaran atau
kendali. Karena itulah Edward T. Hall menamai bahasa nonverbal ini
sebagai “bahasa diam” (silent language) dan “dimensi tersembunyi”
(hidden dimension) suatu budaya. Dalam suatu budaya boleh jadi
terdapat variasi bahasa nonverbal, misalnya bahasa tubuh, bergantung
pada jenis kelamin, agama, usia, pekerjaan, kelas sosial, tingkat
2. Macam-macam Perilaku Nonverbal
Perilaku nonverbal dapat dibagi secara garis besar ke dalam
beberapa kategori yang berkaitan erat dengan konteks antarbudaya yang
dikemukakan oleh Samovar (1991)
1. Penampilan (objectives)
Untuk memutuskan apakah akan memulai pembicaraan dengan
orang lain, tidak jarang seseorang dipengaruhi oleh penampilan.
Kadang-kadang kesimpulan tentang kecerdasan, status sosial,
pekerjaan seseorang ditarik dari bagaimana ia menampilkan dirinya,
misalnya: cara berpakaian. Pada dasarnya kontak pertama antara
seseorang dengan orang lain adalah “mata ke tubuh”. Maksudnya
bahwa seseorang akan melihat kearah bagian tubuh lawan bicaranya
terlebih dahulu sebelum melakukan kontak mata. Hal ini berarti
bahwa orang pasti melihat penampilan orang lain melalui cara
berpakaiannya untuk memberikan penilaian tertentu. (Wainwright,
2006:183).
2. Gerakan badaniah (kinesics)
Dalam beberapa tahun terakhir, buku-buku dan artikel
pada cara-cara manusia menggunakan gerak isyarat badan sebagai
suatu bentuk komunikasi. Studi sistematik yang berupaya untuk
memformulasikan dan mengkordifikasikan perilaku badaniah ini
disebut kinesics. Studi kinesics mempelajari bagaimana
isyarat-isyarat nonverbal ini, baik yang sengaja maupun tidak, dapat
mempengaruhi komunikasi. Berikut ini uraian mengenai
macam-macam bahasa nonverbal yang tergolong dalam kinesics :
a. Postur atau sikap badan
Gerak gerik dan sikap tubuh memiliki kaitan yang erat dan
tidak dapat dipisahkan. Sikap tubuh juga bisa menjadi petunjuk
mengenai kepribadian seseorang dan juga mengenai karakternya.
Perubahan sikap tubuh juga merupakan bagian yang penting dari
proses perubahan sikap dan meningkatkan kemampuan untuk
membangun hubungan yang positif dan komunikatif dengan orang
lain. Kondisi pikiran seseorang juga dapat diketahui dari sikap
tubuhnya, apakah mereka berbesar hati atau depresi, percaya diri
atau pemalu, dominan atau petuh, dan sebagainya. Sikap tubuh
juga merefleksikan citra diri seseorang dan memiliki peran penting
b. Gerak-gerik (gesture) atau gerakan tubuh yang meliputi juga
gerakan tangan dan lengan, gerakan kaki, isyarat-isyarat badan.
Gerak gerik memungkinkan tingkat pengekspresian dan
kehalusan cara yang tidak mungkin dilakukan dengan aspek
komunikasi nonverbal lainnya. Gerak gerik mengemukakan
sebagian besar yang seseorang pikirkan.
Menurut Gerard Nierenberg dan Henry Calero dalam
Wainwright (2006:83,104), gerak gerik memiliki fungsi antara lain
: mengekspresikan keterbukaan, sikap bertahan, kesiapan,
menenteramkan hati, penerimaan, pengharapan, frustasi, keyakinan
diri, kegelisahan, hubungan dan kecurigaan, menciptakan
komunikasi yang hangat serta keramahtamahan.
c. Gerakan kepala
Gerakan kepala adalah penting tidak hanya ketika sedang
berbicara, tetapi juga ketika kita sedang mendengarkan. Jika
gerakan-gerakan ini digunakan secara tepat, maka akan membantu
kita berkomunikasi dengan lebih mudah, namun jika
gerakan-gerakan ini tidak tepat penggunaannya maka dapat dengan cepat
d. Ekspresi muka atau wajah
Ekspresi wajah digunakan sebagai sarana untuk mendapatkan
pemahaman yang lebih baik terhadap sesuatu yang sedang
dikomunikasikan orang lain. Pengekspresian wajah adalah hal
penting kedua setelah mata dalam hubungannya dengan
penggunaan bahasa tubuh. Kita memperoleh banyak informasi
tentang kondisi emosional orang lain melalui ekspresi-ekspresi
wajah mereka. Sikap-sikap seseorang dapat terbaca jelas melalui
ekspresi-ekspresi wajahnya, apakah menunjukkan rasa senang,
tertarik, bosan, takut atau marah.
e. Kontak mata dan tatapan
Beberapa penulis tentang komunikasi nonverbal
memperkirakan sejumlah kemungkinan mengenai mengapa
manusia selalu membutuhkan kontak mata, antara lain: kontak
mata terjadi karena dorongan yang kuat untuk memandang orang
lain, kontak pertama seseorang dengan orang lain adalah melalui
kontak mata, merupakan sesuatu yang biasanya terjadi berdasarkan
dorongan instingtif dan berhubungan dengan pola-pola dasar
kehidupan. Peneliti lain mengatakan bahwa signifikasi kontak mata
dewasa maupun orang-orang lain yang memperhatikannya. Dari
proses belajar itu seseorang mengerti bahwa kontak mata dan
model-model tatapan tertentu memiliki arti yang berbeda-beda
(Wainwright, 2006:13-14).
3. Persepsi Inderawi (sensorics)
a. Rabaan atau sentuhan
Kebudayaan mengajarkan pada anggota-anggotanya sejak kecil
tentang siapa yang dapat kita raba, bilamana dan dimana kita bisa
raba atau sentuh. Dalam banyak hal juga, kebudayaan mengajrkan
kita bagaimana nafsirkan tindakan perabaan atau sentuhan. Dalam hal
berjabatan tangan juga ada variasi kebudayaannya. Setiap kebudayaan
juga memberikan batasan pada bagian-bagian mana dari badan yang
dapat disentuh, dan mana yang dapat diraba. Misalnya, di Indonesia
umumnya, kepala dianggap badan yang terhormat, karenanya tidak
sopan untuk disentuh atau disenggol oleh orang lain apalagi oleh
orang yang belum dikenal.
b. Penciuman
Indera penciuman dapat berfungsi sebagai saluran untuk
4. Penggunaan ruang dan jarak (proxemics)
Cara kita menggunakan ruang jarak sering kali menyatakan
kepada orang lain sesuatu mengenai diri kita secara pribadi maupun
kebudayaan. Aturan-aturan dan prosedur-prosedur yang menentukan
ruang dan jarak dipelajari sebagai bagian dari masing-masing
kebudayaan. Contoh pengunaan ruang jarak di kantor-kantor. Orang
Indonesia belajar untuk membuat batas tembok dengan orang lain,
yaitu dengan cara bicara dalam nada rendah atau diam.
5. Penggunaan waktu (chronemics)
Kebiasaan-kebiasaan bisa berbeda pada macam-macam
kebudayaan dalam hal:
a. Persiapan berkomunikasi
b. Saat dimulainya komunikasi
c. Saat proses komunikasi berlangsung
d. Saat mengakhiri
6. Paralanguage
Paralanguage termasuk dalam unsur-unsur linguistic, yaitu
itu sendiri. Paralanguage memberikan informasi mengenai informasi,
atau apa yang disebut metakomunikasi. Hal-hal yang termasuk dalam
klasifikasi paralanguage antara lain: aksen, volume suara atau tekanan
suara, nada suara ditujukan pada tinggi rendah suara, intonasi suara,
kecepatan bicara, penggunaan waktu berhenti dalam bicara yang
disebut juga jeda bicara. Lamanya waktu jeda bicara dan berhenti
memiliki nilai komunikasi, jika diasosiasikan dengan berbagai macam
kesalahan berbicara, keragu-raguan sejenak mengindikasikan bahwa
pembicara sedang gugup atau sedang berbohong, berhenti dalam
waktu lama menunjukkan bahwa pembicara telah selesai bicara atau
kehabisan bahan pembicaraan. Dalam pembicaraan hal ini jiga dapat
diartikan bahwa pembicara mengalami kebuntuan dan tidak
menginginkan segera ada respons dari lawan bicaranya. (Wainwright,
2006:212).
2.2. Komunikasi Antarbudaya
Komunikasi dan kebudayaan tidak sekedar dua kata, tetapi dua
konsep yang tidak dapat dipisahkan. Budaya itu sendiri adalah sesuatu
cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh suatu kelompok
komunikasi lintas budaya, atau dengan kata lain komunikasi
antarpribadi yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang berbeda latar
belakang budaya, baik perbedaan dalam ras, etnik, kebiasaan, maupun
perbedaan sosial dan ekonomi.(Liliweri, 2002:9).
Komunikasi tidak bisa dipandang sekedar sebagai sebuah
kegiatan yang menghubungkan manusia dalam keadaan pasif, tetapi
komunikasi harus dipandang sebagai proses yang menghubungkan
manusia melalui sekumpulan tindakan yang terus menerus diperbaharui.
Jadi komunikasi itu selalu terjadi antara sekurang-kurangnya dua orang
peserta komunikasi atau mungkin lebih banyak dari itu (kelompok,
organisasi, publik, dan massa) yang melibatkan pertukaran tanda-tanda
melalui suara, kata-kata, atau suara dan kata-kata.
Komunikasi antarbudaya yang interaktif adalah komunikasi
yang dilakukan oleh komunikator dengan komunikan dalam dua arah
atau timbal balik (two way communication) namun masih berada pada
tahap rendah. Apabila ada proses pertukaran pesan itu memasuki tahap
tinggi, misalnya saling mengerti, memahami perasaan dan tindakan
bersama maka komunikasi tersebut telah memasuki tahap transaksional.
Baik komunikasi interaktif maupun transaksional mengalami
proses yang bersifat dinamis, karena proses tersebut berlangsung dalam
konteks sosial yang hidup, berkembang dan bahkan berubah-ubah
berdasarkan waktu, situasi dan kondisi tertentu. Karena proses
komunikasi yang dilakukan merupakan dinamisator atau penghidup bagi
proses komunikasi tersebut.
Komunikator dalam komunikasi antarbudaya adalah pihak
yang memprakarsai komunikasi, artinya ia mengawali pengiriman pesan
tertentu kepada pihak lain yang disebut komunikan. Dalam komunikasi
antarbudaya, seorang komunikator berasal dari latar belakang
kebudayaan tertentu.
Menurut Gudykunst dan Kim dalam buku Liliweri (2002:25),
mengatakan secara makro perbedaan karakteristik antarbudaya itu
ditentukan oleh faktor nilai dan norma hingga ke arah mikro yang
mudah dilihat dalam wujud kepercayaan, minat dan kebiasaan. Selain itu
faktor-faktor yang berkaitan dengan kemampuan berbahasa sebagai
pendukung komunikasi misalnya kemampuan berbicara dan menulis
secara baik dan benar (memilih kata, membuat kalimat), kemampuan
Berdasarkan pendapat ini, maka komunikasi antarpribadi dua
orang yang berbeda gender, status dan kelas sosial serta berbeda
kebiasaan, dapat digolongkan sebagai komunikasi antarbudaya.
Adapun konteks komunikasi antarbudaya ada dua, yakni : (1)
komunikasi antarpribadi; (2) komunikasi kelompok.
1. Komunikasi Antarpribadi
Komunikasi antarbudaya juga ada dalam konteks komunikasi
antarpribadi. Komunikasi antarbudaya melibatkan paling sedikit dua
atau tiga orang yang berbeda kebudayaan, lalu jarak fisik diantara
mereka sangat dekat satu sama lain. Sementara itu, dalam komunikasi
bertatap muka atau bermedia, umpan baliknya berlangsung cepat,
adaptasi pesan bersifat khusus, dan tujan komunikasi bersifat tidak
terstruktur. Dalam kenyataanya komunikasi antarbudaya yang
dilakukan oleh dua atau tiga orang yang berbeda budaya itu
dipengaruhi oleh faktor-faktor personal maupun kelompok budaya.
Faktor-faktor personal yang mempengaruhi komunikasi antarpribadi
antara lain, faktor kognitif seperti konsep diri, persepsi, sikap,
orientasi diri (self orientation), dan harga diri (self esteem).
Komunikasi kelompok merupakan komunikasi diantara sejumlah
orang (4-20 orang untuk kelompok kecil dan 20-50 oarng untuk
kelompok besar). Dalam kenyataan, komunikasi kelompok terjadi
pula proses interaksi antarbudaya dari para anggota kelompok yang
berbeda latar belakang kebudayaan. Termasuk dalam konteks
pengertian komunikasi kelompok adalah operasi komunikasi
antarbudaya dikalangan in group maupun antara anggota sebuah in
group dengan out group atau bahkan antara berbagai kelompok.
Karena itu, maka salah satu kunci untuk menentukan komunikasi
antarbudaya yang efektif adalah pengakuan terhadap faktor-faktor
pembeda yang mempengaruhi sebuah konteks komunikasi sebagaimana
diuraikan tersebut, misalnya peserta komunikasi, apakah itu etnis, ras,
kelompok kategori yang memiliki kebudayaan tersendiri.
Perbedaan-perbedaan itu meliputi nilai, norma, kepercayaan, bahasa, sikap,
persepsi, dan kebiasaan yang semua itu menentukan pola-pola
komunikasi antarbudaya maupun lintas budaya. Selain itu, Komunikasi
antarbudaya mampu menimbulkan prasangka bagi komunikator dengan
komunikan. Istilah prasangka (prejudice) berasal dari kata lain
praejudicium, yang berarti suatu preseden atau suatu penelitian
berdasarkan keputusan terdahulu. Menurut Purwasiti dalam Komunikasi
negatif dengan adanya pemisahan yang tegas antara perasaan kelompok
(in group) maupun adanya perasaan-perasaan dari kelompok lain (out
group).
2.3. Pola Komunikasi
Secara etimologis atau menurut asal katanya, istilah
komunikasi berasal dari bahasa latin, yaitu communication, yang akar
katanya adalah communis, tetapi bukan partai dalam kegiatan politik.
Arti communis disini adalah sama, dalam arti kata sama makna, yaitu
sama makna mengenai suatu hal.
Pengiriman pesan dari encoder ke decoder yang kemudian
direspon oleh decoder dan diteruskan kembali pada encoder (umpan
balik) menimbulkan interaksi. Proses pengiriman pesan itulah yang
membentuk suatu pola komunikasi. Pola komunikasi adalah sebuah
proses. Proses komunikasi itu sendiri adalah setiap langkah mulai dari
saat menciptakan informasi sampai dipahaminya informasi oleh
komunikan dan berlangsung secara kontinu (Suprapto, 2006:5).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pola diartikan sebagai
penciptaan arti terhadap gagasan atau ide yang disampaikan. Menurut
Djamarah (2004:1), pola komunikasi diartikan sebagai bentuk atau pola
hubungan antara dua orang atau lebih dalam proses pengiriman dan
penerimaan pesan dengan cara yang tepat, sehingga pesan yang
dimaksud dapat dipahami.
Dari pengertian diatas maka suatu pola komunikasi adalah
bentuk atau pola hubungan antara dua orang atau lebih dalam proses
pengiriman pesan dan penerimaan pesan yang mengaitkan dua
komponen, yaitu gambaran atau rencana yang meliputi langkah-langkah
pada suatu aktivitas dengan komponen-komponen yang merupakan
bagian penting atas terjadinya hubungan komunikasi antar manusia atau
kelompok dan organisasi.
Menurut Joseph A. Devito (2007:277-278), terdapat empat
pola komunikasi :
1. Pola Keseimbangan
Pola keseimbangan ini lebih terlihat pada teori daripada prakteknya,
tetapi ini merupakan awal yang bagus untuk melihat komunikasi pada
hubungan yang penting. Pada pola komunikasi keseimbangan ini
masing-masing individu membagi sama dalam berkomunikasi.
Tidak ada pemimpin maupun pengikut, melainkan kedudukannya
sama.
2. Pola Keseimbangan Terbalik
Dalam pola keseimbangan terbalik, masing-masing mempunyai
orientasi diatas daerah atau wewenang yang berbeda masing-masing.
3. Pola Pemisah Tidak Seimbang
Dalam hubungan terpisah yang tak seimbang, satu orang
mendominasi. Maka dari itu, satu orang ini secara teratur
mengendalikan hubungan dan hampir tidak pernah meminta pendapat
antara kedua belah pihak. Sedangkan anggota yang dikendalikan
membiarkannya untuk memenangkan argumentasi ataupun membuat
keputusan.
4. Pola Monopoli
Dalam pola monopoli ini, kedua belah pihak sama-sama dirinya
sebagai penguasa. Keduanya lebih suka memberi nasihat daripada
2.4. Teori Pertukaran Sosial
Model ini memandang hubungan interpersonal sebagai suatu
transaksi dagang. Orang berhubungan dengan orang lain karena
mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya. (Rakhmat,
2003:122).
Thibault dan Kelley, dua orang pemuka utama dari model ini
menyimpulkan bahwa asumsi yang mendasari individu secara suka rela
memasuki dan tinggal dalam hubungan sosial hanya selama hubungan
tersebut cukup memuaskan ditinjau dari segi ganjaran dan biaya.
“Ganjaran, biaya, laba, dan tingkat perbandingan” merupakan empat
konsep pokok dalam teori ini.
1. Ganjaran ialah setiap akibat yang dinilai positif yang diperoleh
seseorang dalam suatu hubungan.
2. Biaya adalah akibat yang dinilai negatif yang terjadi dalam sutu
hubungan. Biaya dapat berupa waktu, biaya, dan konflik.
3. Hasil atau laba adalah ganjaran dikurangi biaya. Bila seorang
individu merasa dalam suatu hubungan interpersonal, bahwa ia
tidak memperoleh laba sama sekali, maka ia akan mencari
4. Tingkat perbandingan adalah menunjukkan ukuran baku (standar)
yang dipakai sebagai criteria dalam menilai hubungan individu pada
waktu sekarang. Tingkat perbandingan ini dapat berupa pengalaman
individu pada masa lalu atau alternatif lain yang terbuka baginya.
(Rakhmat, 2003:122).
2.5. Remaja Masjid
Remaja masjid sebagai wadah aktivitas kerja sama remaja
muslim, maka biasanya remaja masjid beranggotakan dua orang atau
lebih remaja yang berusia sekitar 15-25 tahun. Usia di bawah 15 tahun
adalah usia yang masih terlalu muda, sehingga tingkat pemikiran mereka
masih belum berkembang dengan baik. Sedangkan untuk usia di atas 25
tahun sudah kurang layak untuk disebut sebagai remaja.
Tingkat usia anggota remaja masjid perlu dipertimbangkan
dengan baik, karena berkaitan dengan pembinaan mereka. Anggota yang
memiliki tingkat usia, pemikiran dan latar belakang yang relatif
homogen akan lebih mudah dibina bila dibandingkan dengan yang
heterogen. Disamping itu, dengan usia yang sebaya, mereka akan lebih
telah direncanakan sehingga akan meningkatkan efektifitas dan efisiensi
dalam mencapai tujuan.
Remaja masjid merupakan ujung tombak dari sebuah
organisasi masjid. Disadari atau tidak, pengurus masjid membutuhkan
peran remaja masjid dalam setiap langkah dan gerak aktifitasnya. Sudah
menjadi tanda umum bahwa remaja masjid adalah seorang remaja yang
memiliki sifat lebih agamis dibanding dengan remaja lainnya. Kebiasaan
atau rutinitas yang dilakukan remaja masjid juga lebih berbeda
dibanding dengan remaja lain seperti misalnya mengaji secara rutin,
serta memberikan dakwah Islami kepada masyarakat umum. Remaja
masjid dijadikan panutan oleh orangtua yang lain, khusunya orangtua
yang memiliki anak dengan usia remaja untuk menjadikan anaknya
sebagai figur yang taat pada agama serta taat pada orangtua. Remaja
masjid mampu memberikan sentuhan yang berbeda sesuai dengan
karakteristiknya yang tengah dalam proses pencarian jati diri, cenderung
labil dan memiliki semangat yang meluap serta selalu ingin menonjolkan
dirinya. (sumber diambil dan diakses pada 11 Februari 2010 dari :
2.6. Preman
Secara etimologis, kata preman berasal dari free man yang
berarti orang bebas, orang yang merdeka atau tidak terikat oleh aturan.
Namun, arti kata preman saat ini bergeser menjadi sebuah makna yang
negatif.
Preman dapat dikategorikan menjadi tiga; (1) preman kelas
bawah; (2) preman kelas menengah; (3) preman kelas atas
1. Preman kelas bawah
Preman kelas bawah adalah preman yang beroperasi dalam
lingkungan masyarakat umum dengan modus pencopetan, pemalakan,
mabuk-mabukan, perampasan.
2. Preman kelas menengah
Preman kelas menengah adalah preman yang bekerja dengan upah
atau imbalan dari atasannya, seperti misalnya preman pengawal
pribadi.
Preman kelas atas adalah seseorang yang memiliki kekuasaan atau
jabatan. Seperti misalnya pejabat yang melakukan pungutan liar
terhadap pemenang proyek pemerintah.
Premanisme dengan level atau kelas bawah, dapat ditemui
dengan mudah. Preman banyak terdapat dalam ruang-ruang publik
kehidupan masyarakat, serta tidak menutup kemungkinan bahwa setiap
manusia dijadikan target kejahatan bagi para preman. Jumlah preman
semakin meningkat bukan hanya dari aspek kuantitasnya, melainkan
juga dari aktivitas yang mereka lakukan. Hampir di setiap persimpangan
jalan, pasar, stasiun, terminal, serta di kampung dijumpai banyak
preman. Sudah menjadi brand atau tanda umum bahwa seorang preman
selalu berbuat onar. Tidak hanya mabuk-mabukan serta berkata kasar
dan kotor, tetapi juga merampas uang ataupun barang milik orang lain.
(sumber diambil dan diakses pada 09 Februari 2010 dari :
www.indomedia.com/intisari/2010/Jan/warna_premanisme.htm).
2.7. Hubungan Remaja Masjid dengan Preman
Dalam kehidupan sehari-hari manusia senantiasa hidup dalam
satu lingkungan, baik lingkungan fisik, psikis ataupun spiritual. Di
dengan lingkungan pada umumnya, sama halnya dengan preman usia
remaja dengan remaja pada umumnya, tak terkecuali remaja masjid.
Pada dasarnya remaja masjid dengan preman berusia remaja mempunyai
latar belakang kebiasaan dan budaya yang berbeda sehingga tidak
dipungkiri mampu menimbulkan konflik antara keduanya.
Dalam lingkungan sosial, hubungan antara remaja masjid
dengan preman dipengaruhi oleh sikap, norma, perilaku, pola, dan
pranata masyarakatnya. Keberadaan preman kerap menimbulkan
kejahatan terhadap masyarakat. Kebiasaan preman yang suka
mabuk-mabukan dan melakukan tindak kekerasan mampu membuat warga
resah. Untuk warga yang berusia remaja, rentan mudah dipengaruhi para
preman untuk mnegikuti jejak mereka. Namun, apabila remaja tersebut
mempunyai pola komunikasi yang baik dengan keluarga, maka remaja
itu secara sadar tidak akan mengikuti jejak para preman sekitar.
Oleh karena itu, masyarakat harus melakukan komunikasi
dengan lebih efektif kepada para preman dengan usia remaja, tak
terkecuali remaja pada umunya, dan remaja masjid, agar para preman
mengetahui dan sadar bahwa apa yang mereka lakukan selama ini adalah
sendiri. Dalam hal ini dibutuhkan pengertian dan pemahaman diantara
keduanya.
2.8. Kerangka Berpikir
Komunikasi antarbudaya merupakan komunikasi lintas budaya,
atau dengan kata lain komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh dua
orang atau lebih yang berbeda latar belakang budaya, baik perbedaan
dalam ras, etnik, kebiasaan, maupun perbedaan sosial dan ekonomi.
Komunikasi antarbudaya terjadi karena adanya pebedaan persepsi dan
kebiasaan antara komunikator dengan komunikan. Karena ada
perbedaan iklim budaya tersebut, maka pada umumnya komunikasi yang
terjadi selalu difokuskan pada pesan-pesan yang menghubungkan
individu atau kelompok dari dua situasi budaya yang berbeda.
Adanya perbedaan budaya, mampu menimbulkan konflik
antara komunikator dengan komunikan karena makna (meaning) yang
diperoleh mengalamai ketidakpastian. Namun, ketidakpastian tersebut
bisa dikurangi apabila komunikator dengan komunikan mampu
melakukan proses komunikasi yang efektif. Komunikasi yang efektif
atau tidaknya suatu proses pertukaran antara masing-masing individu
eksternal. Contohnya adalah hubungan komunikasi antara remaja masjid
dengan preman. Remaja masjid dengan preman memiliki sebuah latar
belakang yang berbeda. Remaja masjid adalah seorang remaja yang
beraktifitas dimasjid, baik untuk kepentingan dakwah dimasjid ataupun
di kehidupan masyarakat. Sedangkan preman adalah seseorang yang
berpenampilan sembarangan, pemabuk, selalu berkata kotor dan kasar.
Untuk mengurangi ketidakpastian serta konflik diantara remaja
masjid dengan preman kampung, maka komunikasi antara keduanya
harus dilakukan setiap hari. Pola komuniksi yang terbentuk apakah
produktif ataupun tidak tergantung dari masing-masing individu yang
berinteraksi tersebut.
Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui bagaimana pola
komunikasi yang dilakukan oleh preman kampung dengan remaja
masjid sehingga kebutuhan kedua belah pihak dapat terwujud dengan
baik. Dimana pola komunikasi ini dipengaruhi oleh perbedaan latar
Pada penelitian ini penulis tidak membicarakan hubungan
antara variabel sehingga tidak ada pengukuran variabel bebas dan
variabel terikat. Penelitian ini difokuskan pada pola komunikasi antara
remaja masjid dengan preman di Surabaya, sehingga tipe penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah tipe penelitian deskriptif dan
menggunakan analisis kualitatif.
Tipe penelitian deskriptif bertujuan membuat gambaran atau
deskripsi secara sistematis, faktual dan akurat tentang fakta-fakta dan
sifat-sifat populasi atau objek tertentu. Priset sudah mempunyai konsep
(biasanya satu konsep) dan kerangka konseptual. Melalui kerangka
konseptual (landasan teori), priset melakukan operasionalisasi konsep
yang akan menghasilkan variabel beserta indikatornya. Priset ini untuk
menggambarkan realitas yang sedang terjadi tanpa menjelaskan
hubungan antar variabel (Rachmat, 2006:69).
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kualitatif adalah suatu pendekatan yang tidak menggunakan
statistik atau angka-angka tertentu. Hasil dari penelitian kualitatif ini
tidak dapat digeneralisasikan (membuat kesimpulan yang berlaku
umum) atau bersifat universal, jadi hanya dapat berlaku pada situasi dan
keadaan yang sesuai dan keadaan dimana penelitian yang serupa
diadakan (Kountur, 2003:29).
Menurut Rachmat dalam bukunya riset komunikasi (2006:59),
secara umum riset menggunakan metodologi kualitatif mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut :
1. Intensif, partisipasi priset dalam waktu lama pada setting lapangan,
priset adalah instrument pokok riset.
2. Perekaman yang sangat hati-hati terhadap apa yang terjadi dengan
catatan-catatan dilapangan dan tipe-tipe dari bukti-bukti
dokumenter.
3. Analisis data lapangan.
4. Melaporkan hasil, termasuk deskriptif detail, quotes
(kutipan-kutipan) dan komentar.
5. Tidak ada realitas yang tunggal, setiap peneliti mengkritisi realitas
sebagai bagian penelitiannya. Realitas dipandang sebagai dinamis
6. Subjektif dan berada hanya dalam referensi peneliti. Priset sebagai
sarana penggalian interpretasi data.
7. Realitas adalah holistik dan tidak dapat dipilah-pilah.
8. Priset memproduksi penjelasan unik tentang situasi yang terjadi dan
individu-individunya.
9. Lebih pada kedalaman (depth) daripada keluasan (breadth).
10. Prosedur riset : empiris-rasional dan tidak berstruktur.
11. Hubungan antara teori, konsep dan data-data memunculkan atau
membentuk teori baru.
Pendekatan kualitatif dipilih dengan pertimbangan lebih mudah
apabila berhadapan dengan kenyataan ganda, menyajikan secara
langsung hakekat hubungan antara peneliti dengan informan, lebih peka
dan dapat lebih menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh
bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi. Metode kualitatif
yang digunakan adalah pendekatan fenomonologis, artinya peristiwa dan
kaitan-kaitannya orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu dengan
menekankan pada aspek subyektif dari perilaku orang, dan pendekatan
interaksi simbolik yang berasumsi bahwa pengalaman manusia ditengahi
dorongan dari dalam, sifat-sifat pribadi, motivasi yang tidak disadari,
kebetulan, status sosial ekonomi, kewajiban peranan, resep budaya,
mekanisme pengawasan masyarakat atau lingkungan fisik lainnya.
Untuk meneliti pola komunikasi dan perubahan gejala sosial
yang ada, peneliti menggunakan pendekatan fenomonologis, dimana
berusaha “mengungkap” proses interpretasi dan melihat segala aspek
“subjek” dari perilaku manusia dengan cara masuk kedunia konseptual
orang-orang yang diteliti sehingga dapat dimengerti apa dan bagaimana
suatu pengertian dikembangkan pada peristiwa dalam kehidupan
sehari-harinya. Pendekatan ini bukan berarti bahwa peneliti mengetahui arti
sesuatu bagi orang-orang yang diteliti. (Moleong, 2002:4-13).
Pada penelitian ini, peneliti akan berperan sebagai partisipan
dalam dunia sosial. Kedudukan peneliti sebagai instrumen penelitian
harus mencakup segi responsive, dapat menyesuaikn diri, menekankan
keutuhan, mendasarkan diri atas pengetahuan, memproses data
secepatnya dan memanfaatkan kesempatan untuk mengklarifikasikan
dan mengikhtisarkan serta memanfaatkan kesempatan mencari respon
yang tidak lazim. (Moleong, 2002:121).
Yang dimaksud pola komunikasi dalam penelitian ini adalah
remaja masjid dengan preman dalam lingkungan masyarakat. Dalam
usaha untuk memudahkan proses komunikasi yang dimaksud dalam
penelitian, maka diperlukan adanya konsep-konsep yang berfungsi
sebagai gambaran awal, antara lain :
1. Pola Keseimbangan
Pada pola komunikasi keseimbangan ini masing-masing individu
membagi sama dalam berkomunikasi. Komunikasi yang terjalin
sangat terbuka, jujur, langsung dan bebas. Tidak ada pemimpin
maupun pengikut, melainkan kedudukannya sama.
2. Pola Keseimbangan Terbalik
Dalam pola keseimbangan terbalik, masing-masing mempunyai
orientasi diatas daerah atau wewenang yang berbeda masing-masing.
3. Pola Pemisah Tidak Seimbang
Dalam hubungan terpisah yang tak seimbang, satu orang
mendominasi. Maka dari itu, satu orang ini secara teratur
mengendalikan hubungan dan hampir tidak pernah meminta pendapat
antara kedua belah pihak. Sedangkan anggota yang dikendalikan
membiarkannya untuk memenangkan argumentasi ataupun membuat
4. Pola Monopoli
Dalam pola monopoli ini, kedua belah pihak sama-sama dirinya
sebagai penguasa. Keduanya lebih suka memberi nasihat daripada
berkomunikasi untuk saling bertukar pendapat.
3.2. Subyek dan Informan Penelitian
1. Subyek Penelitian
Subyek penelitian ini adalah informan yang merupakan
preman kampung dengan kategori usia remaja, yakni usia 15-25
tahun. Karena pada usia tersebut merupakan proses pencarian jati
diri, cenderung labil dan memiliki semangat yang meluap serta
selalu ingin menonjolkan dirinya. Selain itu, pada usia tersebut
adalah periode remaja yang dipandang sebagai mass “storm and
stress”. Frustasi dan penderitaan, konflik dan penyesuaian, mimpi
dan melamun, cinta dan perasaan tersisihkan dari kehidupan sosial
budaya orang dewasa. (Yusuf, 2001:184).
Informan lain yang juga akan menjadi subyek dalam
penelitian ini adalah remaja masjid, yang melakukan komunikasi
narasi-narasi kualitatif dalam wawancara mendalam (indepth
interview).
2. Informan Penelitian
Informan penelitian ini tidak ditentukan jumlahnya, Hal ini
disebabkan karena dalam penelitian kualitatif tidak mempersoalkan
berapa besar jumlah informan, melainkan yang terpenting adalah
seberapa jauh penjelasan informan yang diperoleh dalam
menjawab permasalahan. (Sumady Suryabrata, 1998:60).
Namun demikian peneliti berusaha akan mencari sebanyak
mungkin informasi yang berkaitan dengan tujuan penelitian dari
beberapa sumber. Peneliti akan mencari variasi informasi
sebanyak-banyaknya dari sumber informasi dengan menggunakan
teknik sampling wawancara mendalam (indepth interview), yaitu
orang-orang yang dianggap mengetahui, memahami permasalahan
yang terjadi sesuai dengan substansi penelitian sehingga dapat
menghasilkan kata-kata dan tindakan, memungkinkan narasumber
untuk mendefinisikan dirinya sendiri dan lingkungannya dengan
istilah-istilah mereka sendiri.
Berikut ini merupakan syarat untuk menjadi seorang
serta preman yang melakukan tindakan kekerasan dikampung
dengan kategori usia remaja, yakni usia 15-25 tahun. Selain itu,
yang menjadi seorang informan dalam penelitian ini adalah remaja
masjid serta preman yang merupakan penduduk asli dan telah
menetap sekian tahun di daerah Kandangan Surabaya.
3.3. Unit Analisis Penelitian
Dalam penelitian ini menekankan pada pola komunikasi antara
remaja masjid dengan preman yang dilatar belakangi oleh perbedaan
kebiasaan dan budaya. Preman yang dimaksudkan dalam penelitian ini
adalah preman yang sering melakukan tindakan kekerasan dikampung.
Namun, dalam penelitian ini, lebih menekankan pada preman yang
masih berusia remaja. Dan juga tentang faktor yang mempengaruhi pola
komunikasinya. Hal ini dapat diamati dari proses komunikasi dalam
kehidupan sehari-hari para remaja masjid yang berkaitan langsung
dengan preman. Dan menghasilkan narasi-narasi kualitatif dalam
3.4. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara Mendalam (indepth interview)
Pengumpulan data dengan melakukan tanya jawab dengan
informan dan bertatap muka antara penanya dan penjawab, dengan
menggunakan alat yang dinamakan dengan interview guide (panduan
wawancara). Wawancara mendalam dimaksudkan untuk memburu
makna yang tersembunyi dibalik “tabel hidup” kenyataan yang
tertangkap dan diobservasi sehingga sesuatu fenomena sosial menjadi
bisa dipahami. Dengan wawancara mendalam, bisa digali apa yang
tersembunyi di sanubari, apakah menyangkut masa lampau, masa kini,
maupun masa depan.
Berikut yang akan disajikan teknis wawancara yang akan
dilakukan peneliti :
1. Peneliti menyiapkan daftar pertanyaan (interview guide).
2. Peneliti akan melakukan wawancara kepada informan.
3. Waktu dan tempat wawancara akan ditentukan setelah ada
kesepakatan peneliti dengan informan.
5. Wawancara akan dilakukan secara tatap muka atau langsung dengan
informan.
6. Wawancara dilakukan hanya melibatkan satu pewawancara dan satu
informan, informan yang lain akan diwawancara pada waktu dan
tempat yang lain.
7. Dimungkinkan jika tempat wawancara pada seorang informan juga
sama dengan wawancara terhadap seorang informan yang lain,
namun dipastikan tidak dalam waktu yang sama.
8. Pendokumentasian data akan dilakukan dengan menggunakan tape
recorder, buku catatan, dan bolpoin.
Selain itu juga menggunakan literatur yaitu teknik
pengumpulan data dengan mencari data pendukung dengan mengolah
buku-buku dan sumber bacaan lain yang berkaitan dengan masalah
penelitian.
3.5. Teknik Analisis Data
Setelah seluruh data diperoleh dengan cara teknik indepth
interview dan observasi, peneliti akan menganalisis data tersebut dengan
masjid dengan preman kampung di daerah Kandangan Surabaya dalam
bentuk uraian atau penjelasan deskriptif, sehingga analisis ini tidak
mencari atau menjelaskan hubungan, serta tidak membuat hipotesis atau
membuat prediksi.
55
4.1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian
1. Remaja Masjid
Remaja masjid sebagai wadah aktivitas kerja sama remaja
muslim, maka biasanya remaja masjid beranggotakan dua orang
atau lebih remaja yang berusia sekitar 15-25 tahun. Usia di bawah
15 tahun adalah usia yang masih terlalu muda, sehingga tingkat
pemikiran mereka masih belum berkembang dengan baik.
Sedangkan untuk usia di atas 25 tahun sudah kurang layak untuk
disebut sebagai remaja.
Tingkat usia anggota remaja masjid perlu dipertimbangkan
dengan baik, karena berkaitan dengan pembinaan mereka. Anggota
yang memiliki tingkat usia, pemikiran dan latar belakang yang
relatif homogen akan lebih mudah dibina bila dibandingkan
dengan yang heterogen. Disamping itu, dengan usia yang sebaya,
mereka akan lebih mudah untuk bekerjasama dalam melaksanakan
program-program yang telah direncanakan sehingga akan
Remaja masjid merupakan ujung tombak dari sebuah
organisasi masjid. Disadari atau tidak, pengurus masjid
membutuhkan peran remaja masjid dalam setiap langkah dan gerak
aktifitasnya. Sudah menjadi tanda umum bahwa remaja masjid
adalah seorang remaja yang memiliki sifat lebih agamis dibanding
dengan remaja lainnya. Kebiasaan atau rutinitas yang dilakukan
remaja masjid juga lebih berbeda dibanding dengan remaja lain
seperti misalnya mengaji secara rutin, serta memberikan dakwah
Islami kepada masyarakat umum. Remaja masjid dijadikan
panutan oleh orangtua yang lain, khusunya orangtua yang memiliki
anak dengan usia remaja untuk menjadikan anaknya sebagai figur
yang taat pada agama serta taat pada orangtua. Remaja masjid
mampu memberikan sentuhan yang berbeda sesuai dengan
karakteristiknya yang tengah dalam proses pencarian jati diri,
cenderung labil dan memiliki semangat yang meluap serta selalu
ingin menonjolkan dirinya. (sumber diambil dan diakses pada
tanggal 11 Februari 2010 dari :
www.pusparugm.org/articels.asp?id=10814&no=2).
Secara etimologis, kata preman berasal dari free man yang
berarti orang bebas, orang yang merdeka atau tidak terikat oleh
aturan. Namun, arti kata preman saat ini bergeser menjadi sebuah
makna yang negatif.
Preman dapat dikategorikan menjadi tiga; (1) preman kelas
bawah; (2) preman kelas menengah; (3) preman kelas atas
1. Preman kelas bawah
Preman kelas bawah adalah preman yang beroperasi dalam
lingkungan masyarakat umum dengan modus pencopetan,
pemalakan, mabuk-mabukan, perampasan.
2. Preman kelas menengah
Preman kelas menengah adalah preman yang bekerja dengan
upah atau imbalan dari atasannya, seperti misalnya preman
pengawal pribadi.
3. Preman kelas atas
Preman kelas atas adalah seseorang yang memiliki
kekuasaan atau jabatan. Seperti misalnya pejabat yang melakukan
Premanisme dengan level atau kelas bawah, dapat ditemui
dengan mudah. Preman banyak terdapat dalam ruang-ruang publik
kehi