• Tidak ada hasil yang ditemukan

D. Pelaksanaan Penelitian

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. Bakteri agensia hayati Pseudomonad fluoresen

Isolasi Pseudomonad fluoresen isolat Pf-122 dan Pseudomonad fluoresen isolat

Pf-142 diperoleh dari isolat dari koleksi Dr. Ir. Yenny Wuryandari, MP. Bakteri

pada media King’B pada cawan petri. Ciri-ciri bakteri Pseudomonad fluoresen

adalah: Koloni berbentuk bulat, bertepi rata dan berpendar hijau kekuningan. Hasil ini

sesuai dengan pendapat peneliti sebelumnya (Stolp &Godkari, 1981) bahwa

Pseudomonad fluoresen menghasilkan pigmen fluoresen yang berwarna kuning hijau

terlarut dalam air dan dapat berdifusi. Koloni Pseudomonad fluoresen isolat Pf-122

dan Pseudomonad fluoresen isolat Pf-142 adalah seperti Gambar 7.

Gambar 7. Bakteri Pseudomonad fluoresen Berpendar Hijau Kekuningan.

Dari hasil uji diantaranya: uji Gram dengan KOH 3%, Katalase dengan H2O2

5%, dan Kovac’s oksidase, hasil yang diperoleh bakteri bahwa sifat Pseudomonad

fluoresen adalah: Gram negatif, Katalase positif, dan Oksidase positif.

a. Uji Gram Pada Bakteri Pseudomonad fluoresen

Hasil uji Gram dengan menggunakan KOH 3 % menunjukkan bahwa bakteri

Pseudomonad fluoresen bersifat Gram negatif, hai ini dibuktikan dengan adanya ternyata

suspensi Pseudomonad fluoresen menjadi berlendir dan membentuk benang saat

diangkat dengan jarum inokulum. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Wuryandari

& Arwiyanto (1999) yaitu bakteri Pseudomonad fluoresen adalah bersifat oksidase

Gambar 8. Bakteri Pseudomonad fluoresen berlendir Pada Hasil Uji Gram

Menurut peneliti Buck, John D. (1982) bakteri R. solanacearum bisa berlendir

pada uji Gram dikarenakan gram (+) memiliki dinding sel yang tebal dan lemak yang

tipis sedangkan gram (-) berlemak tebal dan berdinding sel tipis yang berada di ruang

periplasma. KOH akan menyerang lemak (bilayer lipid) ini dan membuat sel gram (-)

pecah. Pecahnya sel melepaskan materi genetik (DNA) yang merupakan substansi

melimpah di dalam sel bakteri. Molekul DNA sangat panjang bersifat sticky strings

(menyerupai lendir, getah atau dapat berarti lengket) yang memberikan hasil seperti

lendir saat diangkat dengan jarum inokulum.

b. Uji Katalase Pada Bakteri Pseudomonad fluoresen

Pada uji Katalase dengan meneteskan H2O2 5 % pada gelas objek ternyata

muncul gelembung-gelembung kecil, hal ini membuktikan bahwa bakteri

Pseudomonad fluoresen ini bersifat katalase positif. Pengujian ini sesuai dengan

pendapat peneliti sebelumnya oleh Wuryandari & Arwiyanto (1999) yang

menyatakan bahwa bakteri Pseudomonad fluoresen adalah bersifat katalase positif.

Gambar 10. Gelembung-Gelembung Kecil Hasil Uji Katalase Pada Bakteri R. solanacearum

Menurut Austin B. (1988) berpendapat bahwa terjadinya

gelembung-gelembung kecil karena adanya pemecahan H2O2 (hidrogen peroksida) oleh enzim

katalase yang dihasilkan oleh bakteri itu sendiri. Komponen H2O2 ini merupakan

salah satu hasil respirasi aerobik bakteri.

c. Uji Oksidase Pada Bakteri Pseudomonad fluoresen

Pada uji Oksidase, ternyata warna yang telah digoreskan tadi berubah warna

menjadi biru marun (kehitaman), maka kemungkinan sifat dari bakteri ini adalah

bersifat oksidase positif. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Wuryandari &

Arwiyanto (1999) yaitu bakteri Pseudomonad fluoresen adalah bersifat Oksidase

positif seperti terlihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Warna keunguan Pada Hasil Uji Kovac’s Oksidase Pada Bakteri Pseudomonad fluoresen

Menurut Buck, John D. (1982) enzim oksidase memegang peranan penting

dalam transport elektron selama respirasi aerobik. Enzim oksidase dihasilkan oleh

bakteri aerob, fakultatif anaerob, dan mikroaerofilik. Mikroorganisme ini

menggunakan oksigen, sebagai akseptor elektron terakhir selama penguraian

karbohidrat untuk menghasilkan energi. Kemampuan bakteri memproduksi sitokrom

oksidase dapat diketahui dari reaksi yang ditimbulkan setelah pemberian reagen

oksidase pada koloni bakteri. Reagen yang digunakan adalah

tetramethyl-D-phenylenediamine dihydrocloride. Reagen akan mendonorkan elektron terhadap enzim ini sehingga akan teroksidasi membentuk senyawa yang berwarna biru

kehitaman. Positif tertunda (warna biru muncul antara 10-60 detik setelah ditetesi)

menandakan bahwa bakteri uji memiliki sedikit enzim. Tidak adanya perubahan

warna mengindikasikan bahwa uji yang dilakukan negatif. Jika warna berubah

menjadi biru marun maka hasil uji positif, sedangkan bila tidak terjadi perubahan

maka hasil uji negatif. Hasil uji positif tertunda jika warna biru muncul antara 10-60

detik setelah ditetesi.

4. Uji Antagonis Pseudomonad fluoresen Terhadap Pertumbuhan Bakteri R.

solanacearum

Dari hasil uji antagonis Pseudomonad fluoresen isolat Pf-122 terhadap

pertumbuhan R. solanacearum diperoleh hasil adanya zona penghambatan berupa

Gambar 11. Zona Hambatan Pf-122 Terhadap Pertumbuhan R. solanacearum

Adanya zona berbentuk lingkaran di sekitar titik Pf-122 yang berwarna bening

membuktikan bahwa Pseudomonad fluoresen isolat Pf-122 dapat menghambat

pertumbuhan bakteri R. solanacearum. Disekitar inokulum Pseudomonad fluoresen

isolat Pf-122 bakteri R. solanacearum tidak dapat tumbuh atau terhambat

pertumbuhanya kemungkinan dikarenakan Pseudomonad fluoresen isolat Pf-122

mengeluarkan senyawa antibiotik di area sekitarnya sehingga pertumbuhan bakteri R.

solanacearum terhambat. Menurut peneliti sebelumnya Arwiyanto (1997) bahwa proses antibiosis atau proses penghambatan Pseudomonad fluoresen terhadap R.

solanacearum karena senyawa penghambat.

Hasil pada pengamatan zona hambat uji antagonis Pseudomonad fluoresen

Gambar 12. Zona Hambatan Pseudomonad fluoresen Isolat Pf-142 Terhadap Pertumbuhan Bakteri R. solanacearum

Besar zona hambat Pseudomonad fluoresen isolat Pf-142 terhadap pertumbuhan

bakteri R. solanacearum mungkin sedikit berbeda terhadap uji isolat Pf-122.

Disamping zona yang terbentuk lebih kecil, warna transparan yang terbentuk dari zona

penghambatan terlihat lebih terang dan jelas serta luas zona yang terbentuk lebih kecil

dibandingkan dengan Pseudomonad fluoresen isolat Pf-122. Hal ini mungkin

disebabkan sifat penghambatan yang dilakukan Pf-142 berbeda dengan Pf-122,

kemungkinan makin besar zona hambatan yang dibentuk, makin tinggi pula

kemampuan Pseudomonad fluoresen dalam mengendalikan pertumbuhan bakteri R.

solanacearum.

Hasil pengamatan terhadap besar zona hambat bakteri Pseudomonad fluoresen

Tabel 1. Hasil Pengamatan Zona Hambatan Pseudomonad fluoresen Isolat Pf-122 dan Pseudomonad fluoresen Isolat Pf-142 Terhadap Pertumbuhan Bakteri R. solanacearum Pf-122 Pf-142 Ulangan Ulangan I II III I II III Diamater zona (mm) 20 21 20 16 17 17 Rata-rata 20 17

Dari Tabel 1. Terlihat bahwa Pf-122 adalah sebesar 20 mm, sedangkan

besarnya zona hambat oleh Pf-142 adalah sebesar 17 mm. Sesuai ketentuan

pengukuran kekuatan antibiotik menurut metode Davis Stout (1978 dalam Rachdiati,

2000) apabila daerah hambatan 10 mm – 20 mm adalah tergolong kuat, sedangkan

hambatan 20 mm atau lebih adalah tergolong sangat kuat. Jadi kekuatan antibiotik

Pf-122 adalah tergolong sangat kuat, sedangkan zona hambat oleh Pf-142 adalah

tergolong kuat.

5. Uji Mekanisme Penghambatan Pseudomonad fluoresen Isolat Pf-122 dan Pseudomonad fluoresen Isolat Pf-142 Terhadap R. solanacearum.

Hasil uji mekanisme penghambatan menunjukkan bahwa masih ada

pertumbuhan bakteri R. solanacearum pada media YPGA dari uji penghambatan oleh

Pseudomonad fluoresen isolat Pf-122, sedangkan pada uji mekanisme Pseudomonad

fluoresen isolat Pf-142 tidak ada pertumbuhan R. solanacearum sama sekali. Hasil

Tabel 2. Hasil Pengamatan Pertumbuhan Jumlah Koloni Pada Uji Mekanisme Pseudomonad fluoresen Isolat 122 dan Pseudomonad fluoresen Isolat Pf-142 Terhadap Pertumbuhan R. solanacearum

Pf-122 Pf-142

Ulangan Ulangan

Hari ke- I II III I II III

1 - - - - - - 2 - - - - - - 3 - - - - - - 4 - - 1 - - - 5 1 - 1 - - - 6 1 1 2 - - - 7 2 1 2 - - - 8 2 2 2 - - - 9 2 2 2 - - - 10 2 2 3 - - - Rata-rata 2 -

Mekanisme Bakteriostatik Bakterisida

Hasil uji mekanisme penghambatan Pseudomonad fluoresen isolat Pf-122

terhadap pertumbuhan R. solanacearum adalah bersifat bakteriostatik atau bersifat

menghambat karena masih ada pertumbuhan inokulum bakteri R. solanacearum

(Tabel 2), hal itu terlihat setelah bakteri digoreskan pada media YPGA pada cawan

petri setelah 10 hari ternyata masih terdapat pertumbuhan R. solanacearum. Dari

hasil uji mekanisme penghambatan Pseudomonad fluoresen isolat Pf-122 terhadap

(a) (b)

Gambar 13. Koloni R. solanacearum(a) Perbesaran Koloni R. solanacearum(b)

Pada uji mekanisme penghambatan Pseudomonad fluoresen isolat Pf-142

terhadap pertumbuhan R. solanacearum adalah bersifat bakterisida atau bersifat

membunuh, karena setelah diamati selama 10 hari tidak ada pertumbuhan inokulum

bakteri R. solanacearum sama sekali (Tabel 2) pada media YPGA di cawan petri. Hal

ini kemungkinan antibiotik yang dikeluarkan Pseudomonad fluoresen isolat Pf-142

adalah sangat kuat sehingga bakteri R. solanacearum tidak dapat tumbuh lagi atau

mati. Hal ini sesuai dengan pendapat peneliti sebelumnya oleh Wuryandari dkk

(2007), hal tersebut terlihat dengan melakukan streak kembali di media YPGA pada

cawan petri setelah menunggu 1-10 hari ternyata tidak ada pertumbuahan R.

solanacearum seperti trelihat pada Gambar 14.

Gambar 14. Tidak Adanya Pertumbuhan bakteri R. solanacearum Pada Uji Mekanisme Penghambatan Pseudomonad fluoresen isolat Pf-142 Terhadap Pertumbuhan R. Solanacearum

Sifat penghambatan Pseudomonad fluoresen isolat Pf-122 terhadap R.

solanacearum adalah bersifat bakteriostatik, yang dimungkinkan dalam menghambat pertumbuhan bakteri R. solanacearum tidak dapat membunuh, tetapi hanya

menghambat pertumbuhan R. solanacearum saja dalam kurun waktu tertentu,

sehingga hasilnya kurang maksimal. Sedangkan sifat penghambatan Pseudomonad

fluoresen isolat Pf-142 terhadap R. solanacearum adalah bersifat bakterisida, yang

mungkin dalam mempengaruhi pertumbuhan bakteri R. solanacearum adalah bersifat

membunuh, sehingga pertumbuhan bakteri R. solanacearum tidak muncul lagi.

Menurut Wuryandari dkk (2007) berpendapat bahwa Isolat Pseudomonad

fluoresen yang mempunyai kemampuan menghambat dengan mekanisme penghambatan

bakterisida kemungkinan akan lebih berpotensi sebagai agensia hayati dari pada yang

bersifat yang bersifat bakteriostatik.

6. Bakteri Agensia Hayati Actinomycetes

Isolat Actinomycetes diperoleh dari koleksi peneliti sebelumnya oleh Ir.

Trimujoko MP. Isolat Actinomycetes diremajakan kembali pada media PDA.

Diinkubasikan pada suhu ruang selama satu minggu, atau selama pertumbuhan koloni

memenuhi cawan petri. Gambar koloni Actinomycetes yang didapatkan seperti

Gambar 15. Koloni Bakteri Actinomycetes Wajak

Gambar 16. Koloni Bakteri Actinomycetes Pare 8

7. Uji antagonisme Actinomycetes Wajak (W) dan Actinomycetes Pare 8 (P) Terhadap R. solanacearum.

Pengujian antagonis Actinomycetes tidak terdapat adanya zona penghambatan

atau R. solanacearum tumbuh menyeluruh di sekitar antibiotika, sehingga dapat

disimpulkan antibiotika Actinomycetes tidak dapat menghambat pertumbuhan

bakteri R. solanacearum secara in vitro. Hasil pengujian seperti terlihat pada Gambar

Gambar 17. R. solanacearum Tumbuh Merata di Sekitar Antibiotik Actinomycetes Wajak

Gambar 18. R. solanacearum Tumbuh Merata di Sekitar Antibiotik Actinomycetes Pare 8

Uji antagonisme Actinomycetes terhadap R. solanacearum tidak

menghasilkan zona hambatan sama sekali. Hal ini dimungkinkan sifat dan senyawa

antibiotika yang dikeluarkan dari agensia hayati antara Pseudomonad fluoresen

dengan agensia hayati Actinomycetes adalah berbeda, dari hasil penelitian

sebelumnya (Stolp & Godkari, 1991).

Menurut pendapat Baker dan Cook ( 1974) Pseudomonad fluoresen dapat

menghasilkan senyawa diantaranya : HCN, monoacetyl phloroglucinol, siderofor,

puoluserin, asam salisilat yang dapat menghambat pertumbuhan R. solanacearum,

sedangkan Actinomycetes tidak dapat menghasilkan senyawa-senyawa tersebut tetapi

jamur. Sehingga dari kemungkinan-kemungkinan ini agensia hayati Actinomycetes

tidak dapat mengendalikan pertumbuhan R. solanacearum.

8. Uji Kompatibilitas Antara Pseudomonad fluoresen Dengan Actinomycetes

Dari hasil uji kompatibilitas antara agensia hayati Pseudomonad fluoresen

terhadap pertumbuhan Actinomycetes dan sebaliknya terlihat seperti pada Gambar

19. dan Gambar 20.

a. b.

Gambar 19. (a) Bakteri Pseudomonad fluoresen

(b) Actinomycetes Tumbuh Merata di Sekitar Pseudomonad fluoresen

Antibiotika Pseudomonad fluoresen yang dititikkan dengan jarak proporsional

tidak menghambat pertumbuhan agensia hayati Actinomycetes yang tumbuh di

sekitar Antibiotika Pseudomonad fluoresen dengan merata.

a. b.

Gambar 20. (a) Bakteri Actinomycetes

Tidak adanya zona disekitar antibiotika Actinomycetes membuktikan bahwa

antara Actinomycetes dan Pseudomonad fluoresen, tidak saling menghambat atau

dengan kata lain kompatibel. Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena senyawa

antibiotik yang dikeluarkan baik Pseudomonad fluoresen ataupun Actinomycetes

saling tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan keduanya, sehingga Pseudomonad

fluoresen maupun Actinomycetes bisa hidup saling berdampingan atau tidak saling

menghambat.

9. Uji Pengaruh Kombinasi Antara Pseudomonad fluoresen dan Actinomycetes yang Kompatibel Terhadap Pertumbuhan Bakteri R.

solanacearum.

Dari hasil pengujian yang dilakukan dengan mengkombinasikan antara

agensia hayati Pseudomonad fluoresen dan Actinomycetes terhadap pertumbuhan

bakteri R. solanacearum tidak terdapat zona atau area hambatan di sekitar inokulum

campuran suspensi. Adapun hasil pengujian terlihat pada Gambar 21.

Gambar 21. Bakteri R. solanacearum Tumbuh Merata di Sekitar Antibiotik Kombinasi Antara Pseudomonad fluoresen dan Actinomycetes

Dari uji pengaruh kombinasi antara Pseudomonad fluoresen dan

kemungkinan dipengaruhi dari jenis media dasarnya yaitu Yeast Peptone Glukose

Agar (YPGA) yang digunakan, ternyata setelah diuji dengan media dasar lain

diantaranya: media King’B dan media Potato Dextrose Agar (PDA) hasilnya masih

tetap sama tidak terdapat zona, sehingga perlakuan jenis media dasar pada pengujian

ini tidak berpengaruh terhadap terbentuknya zona hambatan.

Dalam uji ini kemungkinan Pseudomonad fluoresen tidak dapat

mengekspresikan senyawa antibiotika penghambat untuk mengendalikan bakteri R.

solanacearum, kemungkinan karena adanya senyawa antibiotika yang dikeluarkan oleh Actinomycetes sehingga antibiotika yang dimiliki Pseudomonad fluoresen

terhambat oleh antibiotika yang dikeluarkan oleh Actinomycetes. Menurut pendapat

penelitian sebelumnya oleh Arwiyanto dkk (2007) dalam penelitianya yang berjudul

“Phenotypic Charactheristics of Fluorescent Pseudomonss, Biological Control

Agent of Lincat Disease of Temanggung Tobacco” telah dijelaskan Pseudomonad

fluoresen merupakan kelompok bakteri yang mampu menghasilkan berbagai senyawa

penghambat pada medium buatan di laboratorium. Dijelaskan juga bahwa

Pseudomonad fluoresen isolat Temanggung juga mampu menghasilkan senyawa

penghambat yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri saprofit lainnya.

Kemampuan masing-masing isolat berbeda-beda, isolat pf22 hanya menghambat

petumbuhan satu isolat dari genus lain yang diuji yaitu Stre67 sedangkan isolat pf23

mampu menghambat semua bakteri lain. Isolat Bacillus (Ba) dan Streptomyces (Stre),

merupakan bakteri antagonis terhadap patogen penyakit lincat tembakau selain

untuk mendapatkan kombinasi antar isolat yang tidak saling menghambat satu dengan

V. KESIMPUAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Agensia hayati Actinomycetes tidak dapat mengendalikan pertumbuhan

bakteri R. solanacearum secara in vitro.

2. Kombinasi antara agensia hayati Pseudomonad fluoresen dengan

Actinomycetes tidak dapat meningkatkan kemampuan Pseudomonad

fluoresen dalam mengendalikan pertumbuhan bakteri R. solanacearum.

B. Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut kemampuan antibiotik

Pseudomonad fluoresen dalam mengendalikan penyakit layu R. solanacearum

DAFTAR PUSTAKA

Abe, 1979. Plant Pathologi. MC. Graw Hil, Book Comp, Ltd. New York, hal 717. 

Alexander, M. 1977. Introduction to Soil Microbiology, Second Edition, John Willy and Sons, New York.

Anonim, 1995. Pengendalian Penyakit R. Solanaceae, Part 3.

Anonim, 2001. Total Unmanufactured Tobacco Planeted Area For Selected Countries. United State Department Of Agriculture.

Arwiyanto T., 1997. Seleksi Pseudomonas fluoresen Secara Langsung di Lapangan untuk Pengendalian Penyakit Lincat pada Tembakau, Jurnal Hama Penyakit Tumbuhan Tropika (in press).

Arwiyanto T., Yms Maryudani, Azizah N., 2007. Phenotypic charactheristics of fluorescent pseudomonss, biological control agent of lincat disease of temanggung tobacco. Biodiversitas.Volume 8, Halaman: 147-151

Atie Srie Duriet, 1993. Pengendalian Hayati Virus yang Menyerang Sayuran. dalam Kongres Nasional dan Seminar Ilmiah Fitopatologi IndonesiaYogyakarta, 6-8 September 1993, hal 76.

Austin B. (1988). Marine Micro-biology. Cambridge University Press. Cambridge, England. 222p.

Baker dan Cook, 1974. Biological Control of Plant Pathogens, dalam USU digital library, hal. 23-38.

Brock & Madigan, 1988. Peranan Psedoumonad Fluoresence (Pseuodomonad fluoresens) Dalam Pengendalian Biologi, hal. 2.

Buck, John D. 1982. Non Staining KOH Method for Determination of Gram Reaction Of Marine Bacteria. Applied and Environtmental Microbiology. Vol 44. No 4, p.992-993.

Chrisnawati, T. Arwiyanto, dan Nasrun. 2006. Pengendalian Hayati Penyakit Layu Bakteri Nilam Menggunakan Kombinasi Bakteri Pseudomonad fluoresen dan Bacillus spp, Laporan Penelitian Hibah Bersaing Tahap Pertama Dikti (Tidak Publikasi).

Chrisnawati, 2009. Pengendalian penyakit layu bakteri nilam menggunakan bacillus spp dan pseudomonad fluoresen, hal. 116 - 123.

Cook & Baker, 1991. The Nature and Practice Of Biological Control Of Plant Pathogen. APS Press, St. Paul Minnesota, 539 p.

Cook R.J dan K. F. Baker dalam buku The Nature and Practice of Biological Control of Plant Pathogens, hal. 60

Goto, M., 1992. Fundamental of Bacterial Plant Pathology, Academic Press, Tokyo, 324 p.

Guetsky, R., D. Shitienberg, Y. Elad, E. Fischer, and A. Dinoor. 2002. Improving biological control by combining biocontrol agents each with several mechanisms of disease suppression, Phytopathology. 92 : 979-985.

Habazar dan Rivai, 2000. Mekanisme Kerusakan Ekstraseluler Polisakarida Sebagai Penyebab Layu Bakteri, Hal. 30-31.

Hasanuddin, 2003. Penyakit-penyakit tanaman Holtikultura di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 850 Hal.

Hayward, 1983.Plant Pathogenic Ralstonia Species. Nanamanickam. P. 573-643.

Hebbar, 1992. Induced Resistance and Phytoalexin Accumulation by Biological Control of Fusarium Wilt of Carnation by Pseudomonas sp. Strain WCS 41r. Phytopathol. 81:728-734.

Howell & Stipanovic 1979. Desease, Pest and Weeds in Tropical Crops. New York. 666 p.

Hutagalung, 1984. CompendiumOf Tomatto Desease. APS Press. 100h.

Jetiyanon dan Kloepper, 2002. Mycotoxins Reported From Fusarium. dalam Boer et al., 2003

Jiang dan Xu, 1985. Botany For Degree Students Part II. Ram Nagar. Page 450-453.

Machmud, 1998. Bacterial Wilt in Indonesia, Persley, p. 30-34. Bacterial With Disease in Asia and The South Pasific, Philipines, p. 282.

Madigan, M.T., J.M. Martinko, and J. Parker.1997. Biology of Microorganisms. Prentice Hall International, Inc.

Mujoko, 2005. Pemanfaatan Atinomycetes antagaonis sebagai pengendali hayati fusarium oxysporum f.sp. lycopersici pada tanaman tomat, Hal 15-40. Nonomura dan Ohara, 1971. Current Concept of Active Defense in Plants. Rev.

Phitopathol. 36: 59-90.

Plantus, 2008. Tanaman Jenis Solanaceae dalam Anekaplantasia, Cybermediaclips.

Rao, 1976. Biological Control of Damping off Diseases with Seed Treatments. p. 145-155

Reinjes et al, 1999. Ralstonia solanacearum Growing, Part 2.

Robert, M.A. 2002. Actinomycetes Biocontrol Questions and Answer, On line Micro2.

Rukmana, R. 1997. Penyakit Tanman dan Teknik Pengendalian, Kanisius, Yogyakarta, 96 hal.

Sastrosupadi, 1995. Rumus Rancangan Acak Lengkap, Home Page.

Semangun H, 1995. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan, Gajah Mada Universitas Press, Yogyakarta, Hal 37.

Stanier, 1965. Laporan Sarjana Hasanuddin dalam USU digital library, 2003.

Stolp, H. and D. Gadkari. 1983. Nonpathogenic Members of the Genus Pseudomonas. In: M.P. Starr, H.G. Troper, A. Ballows, and H.G. Schiegel. (eds.). The Prokaryotes A Handbook on Habitat, Isolation and Identification of Bacteria. Springer-Verlag. New York.

Suparyono, 1995. Upaya Pengendalian Penyakit Tanaman Tembakau. Ekspose Hasil Penelitian PTPN X

Suryadi, 1996. Dua sistem yang berbeda dalam mengelompokan P. solanacearum, Hal 16.

Teng, 1990. Water on Particle Surface. in Greenland, p. 405 - 408.

Upadhyay, R.S. & B. Rai. 1987. Studies on antagonism between Fusarium udum Aspiras, R.B. p. 89-92.

Weller, D.M. 1988. Biological control of soil-borne pathogens in the Rhizosphere with bacteria. Annu. Rev. Phitopathology.26:379-407.

Wuryandari, Y., A. Purnawati, T. Arwiyanto, B. Hadisutrisno, 2005. Perlakuan Benih Tomat Secara Biologi dengan Pseudomonad fluoresen untuk Pengendalian Penyakit Layu Bakteri, Laporan Hibah Pekerti.

Wuryandari Y, A. Purnawati, T. Arwiyanto, B. Hadisutrisno, 2007. Kemampuan Antagonis Beberapa Isolat Pseudomonad fluoresen Terhadap Bakteri R. solanacearum Penyebab Penyakit Layu pada Tomat, Seminar Nasional Pengendalian Hayati. Fak. Pertanian Universitas Jember.

Wuryandari, Y., dan T. Arwiyanto, 1999. Karakter Ralstonia solanacearum dari Beberapa Inang Solanaceae di Yogyakarta. Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta. Hal 387-393

Wydra dan Rudolph, 1993. Peran Ekstraseluler Polisakarida Dalam Patogenis, Hal 11.

   

Dokumen terkait