• Tidak ada hasil yang ditemukan

UJI KOMPATIBILITAS DAN KEMAMPUAN DUA AGENSIA HAYATI PSEUDOMONAD FLOURESEN DAN ACTINOMYCETES DALAM MENGHAMBAT PERTUMBUHAN RALSTONIA SOLANACEARUM SECARA IN VITRO.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "UJI KOMPATIBILITAS DAN KEMAMPUAN DUA AGENSIA HAYATI PSEUDOMONAD FLOURESEN DAN ACTINOMYCETES DALAM MENGHAMBAT PERTUMBUHAN RALSTONIA SOLANACEARUM SECARA IN VITRO."

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

SECARA IN VITRO

SKRIPSI

Oleh :

SUPRIYONO NPM : 0625010039

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

JAWA TIMUR

(2)

DAFTAR ISI

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penyakit Layu Bakteri Pada Tanaman Solanaceae ……….……… 4

1. Arti penting penyakit layu bakteri ………. 4

2. Gejala penyakit layu bakteri ………..… 4

3. Penyebab layu bakteri ……….... 6

4. Pengendalian penyakit layu bakteri ………... 8

a. Pengendalian Hayati ……….. 9

b. Pengendalian dengan menggunakan Pseuodomonad fluoresen ……… 10

c. Pengendalian dengan menggunakan Actinomycetes ……….…… 11

d. Pengendalian hayati dengan mengkombinasikan dua agensia hayati ………... 13

B. Hipotesis ………. 14

III. BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian ………...…... 16

(3)

B. Bahan dan Alat ……….…... 15

C. Metode Penelitian ………... 15

D. Pelaksanaan Penelitian ……….. ... 16

1. Isolasi bakteri R. solanaceae ………..…..………... 17

2. Uji antagonisme Pseudomonad flouresen terhadap R. solanaceae secara in vitro ... 17

3. Uji antagonisme Actinomycetes terhadap R. solanaceae secara in vitro ... 18

4. Mekanisme Penghambatan Actinomycetes ………....……. 18

5. Kompatibilitas antara pseudomonad fluoresen dan Actinomycetes ... 19

6. Uji Pengaruh Kombinasi Antara Pseudomonad fluoresen dan Actinomycetes yang kompatibel terhadap pertumbuhan R. Solanaceae ... 20

7. Analisis Data ……….……... 20

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Gejala Penyakit Layu R. solanacearum Pada Tanaman Tomat di Lapang ………..…….. 22

2. Hasil isolasi bakteri R. solanaceae ……….. 24

a. Uji Gram Pada Bakteri R. solanacearum ……… 24

b. Uji Katalase Pada Bakteri R. solanacearum ………... 25

c. Uji Oksidase Pada Bakteri R. solanacearum ………... 26

3. Bakteri agensia hayati Pseudomonad fluoresen ………... 27

a. Uji Gram Pada Bakteri Pseudomonad fluoresen …………... 28

b. Uji Katalase Pada Bakteri Pseudomonad fluoresen …..…..…… 29

c. Uji Oksidase Pada Bakteri Pseudomonad fluoresen …….…... 30

(4)

v

4. Uji antagonis Pseudomonad fluoresen terhadap pertumbuhan

bakteri R. solanacearum ………..………... 31

5. Uji mekanisme penghambatan Pseudomonad fluoresen isolat Pf-122 dan Pseudomonad fluoresen isolat Pf-142 terhadap

R. solanacearum secara in vitro ……….. 34

a. Uji mekanisme penghambatan Pseudomonad fluoresen

isolat Pf-122 terhadap R. solanacearum ... 34

b. Uji mekanisme penghambatan Pseudomonad fluoresen

isolat Pf-142 terhadap R. solanacearum ……… 34

6. Bakteri agensia hayati Actinomycetes ………... 37

7. Uji antagonisme Actinomycetes Wajak dan Actinomycetes

Pare 8 terhadap R. solanacearum ...……….. 38

8. Uji kompatibilitas antara Pseudomonad fluoresen dengan

Actinomycetes ... 40

9. Uji pengaruh kombinasi antara Pseudomonad fluoresen dan Actinomycetes yang kompatibel terhadap pertumbuhan

R. solanacearum ... 41

V. KESIMPUAN DAN SARAN

A. Kesimpulan... 44

B. Saran ... 44

(5)

hidayahNya yang telah dilimpahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi,

dengan judul “Uji Kompatibilitas Dan Kemampuan Dua Agensia Hayati

Pseudomonad flouresen dan Actinomycetes Dalam Menghambat Pertumbuhan

Ralstonia solanacearum Secara In vitro” Penyusunan Skripsi ini merupakan salah

satu syarat dalam memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana

Pertanian Program Studi Agroteknologi di Fakultas Pertanian UPN “Veteran” Jawa

Timur.

Dengan disertai harapan semoga laporan dalam penyusunan Skripsi ini dapat

diterima, maka dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih sebesar

besarnya kepada :

1. Ibu Dr. Ir. Yenny Wuryandari, MP, selaku dosen pembimbing utama.

2. Bapak Ir. Tri Mujoko, MP, selaku dosen pembimbing pendamping.

3. Kedua orang tua, saudara, Sena, teman dan segenap pihak yang telah membantu

terselesainya Skripsi ini.

4. Bapak Ir. Mulyadi, MS, selaku Ketua Prorgam Studi Ilmu Agrotekonologi

5. Bapak Dr. Ir. Ramdan Hidayat MS, selaku Dekan Fakultas Pertanian UPN

“Veteran” Jawa Timur Surabaya.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Skripsi ini masih jauh dari

sempurna, untuk itu penulis mengharapkan adanya kritik dan saran dari semua pihak

(6)

ii

Surabaya, Desember 2010

(7)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanaman dari famili Solanaceae merupakan tumbuhan yang memiliki nilai

ekonomi tinggi bagi manusia. Beberapa anggotanya seperti: tomat, cabai, serta

kentang memiliki nilai dagang yang tinggi dan menjadi bagian utama bahan

pangan manusia di berbagai belahan dunia. Jenis-jenisnya dimanfaatkan pula

sebagai tumbuhan model bagi penelitian serta tumbuhan industri.

Dalam budidaya tanaman Solanaceae sering dijumpai hambatan baik itu

dalam segi budidaya maupun dari segi pengendalian dari serangan hama dan

penyakit. Salah satunya yaitu penyakit layu bakteri yang merupakan penyakit

yang disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum (R. solanacearum) yang

sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman famili

Solanaceae sehingga sangat merugikan dalam hasil panen (Rao, 1976; Rukmana,

1997).

Selama ini pencegahan yang dilakukan selalu menuju ke pemberantasan

dengan pupuk dan bahan kimia yang sangat berdampak negatif dan berbahaya

pada lingkungan yang mana makin lama akan menjadikan lingkungan semakin

rusak. Maka dari itu dibutuhkan pencegahan secara hayati yang tidak

membahayakan bagi kehidupan manusia serta ramah lingkungan sehingga

lingkungan akan tetap lestari baik dimasa sekarang ataupun untuk masa yang akan

datang (Baker dan Cook, 1974). Penggunaan pestisida yang kurang bijaksana

seringkali menimbulkan masalah kesehatan, pencemaran lingkungan dan

(8)

pengendalian yang lebih ramah lingkungan semakin lebih besar untuk

menurunkan penggunaan pestisida sintetis (Suparyono, 1995; Reinjes et al, 1999).

Salah satu pencegahan penyakit layu bakteri yang disebabkan bakteri R.

solanacearum dengan cara biologi adalah dengan peran serta agensia hayati yang

menggunakan Pseudomonad fluoresen yang telah diteliti sebagai agen

pengendalian hayati penyakit tumbuhan khusunya jenis tanaman Solanaceae

(Hebbar et al. 1992; Weller 1983).

Dari 10 isolat Pseudomonad yang diuji daya hambatnya terhadap

perkembangan penyakit layu R. solanacearum di rumah kaca, menunjukkan hasil

yang bervariatif. Salah satunya adalah isolat Pseudomonad fluoresen isolat

Pf-122 yang mampu menghambat perkembangan penyakit layu bakteri yang

disebabkan oleh bakteri R. solanacearum yaitu dengan indeks penyakitnya hanya

49,9%, sehingga Pseudomonad fluoresen dapat menekan pertumbuhan R.

solanacearum sampai 51,1% (Wuryandari et al., 2005).

Untuk itu Agensia Hayati Pseuodomonad fluoresen perlu diadakan

penelitian atau percobaan lebih lanjut untuk menambah tingkat kemampuan

antibiotik terhadap penyakit layu bakteri pada tanaman jenis Solanaceae dengan

salah satu alternatifnya yaitu dengan mengkombinasikan agensi hayati yang lain.

Dari penelitian sebelumnya (Mujoko, 2005) menjelaskan bahwa salah satu isolat

Actinomycetes dapat menekan pertumbuhan Fusarium sampai dengan 100 %.

Agensia hayati Actinomycetes Adalah sebagai salah satu Agrobacterium yang

berperan dalam pengendalian hayati pada tanaman jenis Solanaceae (pada

tanaman lombok) untuk pengendalian penyakit layu Fusarium (Hasanuddin,

(9)

fluoresen yang dapat menekan pertumbuhan layu bakteri yang disebabkan oleh R.

solanacearum 60 % (Wuryandari, 2005) dengan Actinomycetes yang dapat

menekan pertumbuhan penyakit layu Fusarium sampai 60% pada tanaman tomat

(Mujoko, 2005) akan meningkatkan kemampuanya dalam menekan pertumbuhan

R. solanacearum secara in vitro.

B. Maksud dan Tujuan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan jawaban apakah agensia

hayati Psedoumonad fluoresen yang dikombinasikan dengan agensia hayati

Actinomycetes dapat ditingkatkan kemampuan agensia hayati Psedoumonad

fluoresen dalam menekan pertumbuhan R. solanacearum secara in vitro.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat dirumuskan permasalahan yang terjadi

yaitu :

1. Apakah agensia hayati Actinomycetes dapat menekan pertumbuhan penyakit R.

solanacearum secara in vitro.

2. Apakah kemampuan antagonistik agensia hayati Pseuodomonad fluoresen

dalam menekan pertumbuhan penyakit R. solanacearum bisa ditingkatkan

(10)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyakit Layu Bakteri Pada Tanaman Solanaceae 1. Arti Penting Penyakit Layu Bakteri

Penyakit pada tanaman Solanaceae sangat beragam. Dari beberapa

penyakit tersebut diantaranya adalah penyakit layu bakteri, penyakit tersebut

hingga saat ini, masih merupakan faktor pembatas produksi tanaman jenis

Solanaceae. Penyakit tersebut disebabkan oleh R. solanacearum yang bisa

menyerang pada lebih 200 jenis tanaman inang. Keragaman patogen yang

demikian luas menyebabkan penyakit layu bakteri sulit ditangani. Penyakit

tersebut mampu menyerang tanaman dengan intensitas hingga 35 % (Anonim,

2001).

Penyakit layu bakteri sulit ditangani karena pengelompokan patogen yang

rumit. Dengan sebaran inang yang luas maka penanganan penyakit yang menimpa

suatu tanaman belum tentu cocok diterapkan untuk tanaman lainnya. Selama ini

para peneliti menggunakan dua sistem berbeda dalam mengelompokan P.

solanacearum yakni sistem ras dan biovar (Suryadi, 1996).

2. Gejala Penyakit Layu Bakteri

Gejala awal adalah tanaman mulai layu. Kemudian menjalar ke daun

bagian bawah. Gejala lebih lanjut : seluruh tanaman layu, daum menguning

sampai coklat kehitam-hitaman, dan akhirnya tanaman mati. Serangan pada umbi

menimbulkan gejala dari luar tampak bercak-bercak kehitam-hitaman, terdapat

lelehan putih keruh (massa bakteri) yang keluar dari mata tunas atau ujung stolon.

(11)

bagian bawah menguning merupakan ciri khas gejala penyakit layu bakteri.

Meskipun tak sebanyak penyakit akibat jamur, namun secara umum penyakit

bakteri lebih sukar dikendalikan (Rukmana, 1997).

Berdasarkan inangnya ada lima kelompok R. solanacearum. Meskipun

inangnya sama sangat mungkin isolat patogennya berbeda. Sebagai contoh isolat

R. solanacearum asal jahe dan kacang tanah tidak patogenik terhadap kecipir atau

sebaliknya. Deteksi dan identifikasi patogen sangat diperlukan untuk mencegah

kerusakan tanaman akibat penyakit tersebut. Mengetahui sifat dan karakteristik

masing-masing isolat patogen akan mempermudah pengendalian penyakit layu

bakteri (Mahmud,1998).

Menurut Yadi (1996), ada beberapa cara untuk mendeteksi penyakit layu

bakteri. Belakangan ini dikenal dua teknik identifikasi baru berdasarkan reaksi

fisiologi atau biokimia yang dirakit menjadi sistem bactid dan biolog. Sistem

bactid digunakan untuk memudahkan mengeliminasi pencemar saprofit atau

mikroorganisme nonsasaran lainnya. Sedangkan sistem biolog mengelompokkan

berdasarkan taksa dan kemudian menelaah sifat dan karakteristik setiap taksa.

Cara lain yang juga banyak dikembangkan adalah dengan pengelompokan

berdasarkan karakteristik protein dan asam lemak yang dikandung masing-masing

isolat patogen.

Bakteri ini mempunyai banyak ras dan dapat diisolasi dengan baik pada

medium yang mengandung 2, 3, 5- trifenil-tetra sodium klorida (Medium TTK).

Infeksi terutama melalui luka pada bagian tanaman. Bakteri terangkut dalam

pembuluh kayu dan pada batang yang lunak, masuk dalam ruang antar sel dalam

(12)

yang relatif tinggi mendukung perkembangan penyakit. Di dataran rendah

penyakit timbul lebih berat karena suhu udara relatif tinggi. Bakteri berkembang

baik di tanah alkalis yang suhunya agak tinggi di saat banyak hujan. Intensitas

penyakit sangat dipengaruhi oleh tanaman terinfeksi pada musim sebelumnya.

Penyakit ini banyak dijumpai di Jawa, Sumatera dan Sulawesi khususnya di

Sulawesi Utara (Semangun, 1995).

Beberapa mekanisme kerusakan Ekstraseluler Polisakarida sebagai

penyebab layu antara lain: penyebaran patogen dalam xylem, pembentukan

senyawa ekstraseluler polisakarida hanya pada isolat yang virulen dan pemberian

dengan senyawa metabolit dari patogen pada tanaman. Aspek-aspek penyebab

layu adalah : pengaliran terbatas dan transportasi air ke daun menjadi terhambat,

viskositas cairan dalam jaringan pembuluh meningkat, terjadi penyumbatan

terhadap transport air, bagian yang paling kritis adalah tangkai dan tulang daun,

terjadinya kerusakan pada membran luar dan membran dalam dalam sel dan

keluarnya elektrolit dari dalam sel (Habazar dan Rivai, 2000).

3. Penyebab Penyakit Layu Bakteri

Klasifikasi bakteri R. solanacearum penyakit layu pada tanaman

Solanaceae menurut E.F. Smith dalam Buchman dan Gibbions (1974), Yabuuch,

et.al (1995) adalah :

Kingdom : Prokariotik

Divisio : Gracilicutes

Kelas : Schizomycetes

Ordo : Eubacteriales

(13)

Genus : Ralstonia

Spesies : Ralstonia solanacearum

R. solanacearum adalah bakteri aerobik, berbentuk batang, berukuran (0,5

– 1,0 x 1,5 – 2,5) µm, gram negatif, bergerak dengan satu flagel yang terletak

diujung sel. Umumnya isolat yang virulen memiliki flagella sedangkan isolat non

virulen flagelnya panjang (Goto, 1992). Bakteri ini diketahui mempunyai banyak

ras yang berbeda virulensinya. Ras 1 menyerang terung-terungan dan tanaman

lain, seperti tomat, tembakau, dan kacang tanah. Ras 2 menyerang pisang dan

Heliconia. Ras 3 khususnya menyerang tanaman kentang (Semangun, 1996).

Bakteri ini mampu menghidrolisa gelatin dan twin 80, mampu mereduksi nitrat,

dapat menghasilkan asam sukrosa, arginin, dehidrolase negatif, jumlah guanin,

dan sitosin dalam DNA 66-69%. Mengandung poly B-hidroksibutirat. Beberapa

strain dapat menghasilkan gas dan nitrat (Hayward, 1983).

Bakteri mempunyai generasi waktu yang sangat pendek pada keadaan

optimal < 20 menit. Selama pertumbuhan, bakteri dalam media cair akan

membentuk suspensi yang keruh sedangkan pada media padat akan membentuk

koloni yang bervariasi bergantung pada jenisnya (Habazar dan Rivai, 2000).

Strain virulen dengan koloni berlendir atau fluidal yang kemudian berubah

menjadi tidak virulen dengan koloni yang berbintik kecil-kecil, perbedaan bentuk

koloni dengan derajat virulensinya dihubungkan dengan produksi cairan yang

mengandung polisakarida. Pembentukan pigmen seringkali dihasilkan dalam

media yang mengandung tirosin (Hutagalung, 1984).

Virulensi merupakan kapasitas relatif patogen untuk merusak tanaman

(14)

menetukan kecepatan pertumbuhan dan penyebarannya pada inang dan

meningkatkan kerusakan pada jaringan tanaman. Faktor virulensi yang

disekresikan dapat berupa toksin termasuk Ekstraseluler Polisakarida, enzim, dan

hormon tumbuh yang menginduksi seperti jenis gejala seperti menguning, busuk

lunak, hiperplasia, nekrosis dan layu (Habazar dan Rivai, 2000).

Pada bakteri R. solanacearum, ekstraseluler Polisakarida sangat berperan

dalam patogenis, utamanya dalam menghambat translokasi unsur hara dan air,

juga menjadi pelindung bakteri dari keadaan yang ekstrim, dapat menetralisir

senyawa-senyawa yang dikeluarkan oleh tanaman (Wydra dan Rudolph, 1993).

4. Pengendalian Penyakit Layu Bakteri

Cara efektif untuk mengendalikan penyakit-penyakit bakteri yaitu dengan

penggunaan kultivar yang resisten atau toleran terhadap penyakit tersebut,

sertifikasi benih dan rotasi tanaman. Kultivar baru yang memiliki resistensi tinggi

terhadap serangan penyakit bisa diperoleh melalui persilangan konvesional dan

teknik rekayasa genetika. Tetapi kekuranganya teknik persilangan konvensional

terbentur pada masalah gen resisten. Umumnya pemuliaan mengambil gen-gen

resisten dari tanaman lain (Plantus, 2008).

a. Pengendalian Hayati

Pengendalian hayati adalah pengendalian dengan memanfaatkan musuh

alami untuk mengendalikan OPT termasuk memanipulasi inang, lingkungan atau

musuh alami itu sendiri. Pengendalian hayati memiliki arti khusus , karena pada

(15)

membahayakan kesehatan manusia maupun lingkungan dan tidak memerlukan

input luar. Pengendalian ini secara terpadu diharapkan dapat menciptakan kondisi

yang tidak mendukung bagi kehidupan organisme penyebab penyakit atau

mengganggu siklus hidupnya (Baker dan Cook, 1974; Reintjes et al. 1999).

Salah satu komponen utama dalam pengendalian terpadu penyakit adalah

dengan agensia hayati yang mana tidak berbahaya bagi manusia dan ramah

lingkungan. Teng (1990). Pemakaian agensia hayati atau organisme hidup untuk

memberantas organisme lain (Rao, 1994). Pengendalian Hayati adalah kegiatan

untuk menurunkan kepadatan pathogen atau parasit dalam kondisi aktif atau

kondisi dorman atau istirahat (Cook dan Baker, 1991).

Agensia pengendalian hayati penyakit tanaman adalah mikroorganisme

yang hidup dan diperoleh dari alam yang dapat berupa jamur, bakteri dan virus

yang dapat digunakan untuk menekan, menghambat dan memusnakan OPT

(Upadhyay, 1987).

Kelebihan pengendalian secara hayati adalah sebagai berikut: Ramah

lingkungan dan tidak membahayakan bagi manusia baik di masa sekarang ataupun

di masa yang akan datang, pengendalian akan mengenai sasaran dengan tepat

tanpa membahayakan bagi mikroorganisme lain, lebih menyuburkan tanah dan

memperbaiki struktur tanah, dapat memperbanyak dan menjaga kehidupan

mikroorganisme dalam tanah yang bermanfaat bagi tanaman, menjamin dan

menjaga lahan pertanian dimasa yang akan datang (Upadhyay dan Ray, 2987).

Selanjutnya Howell dan Stipanovic (1979) mengatakan bahwa perlakuan

bakteri Pseudomonad fluoresen pada tanah yang terkontaminasi R. solanacearum

(16)

persen, sedangkan perlakuan antibiotik pyrrolnitrin menambah ketahanan 13-70

persen. Ini berarti bakteri Pseudomonad fluoresen berpotensi sebagai agen

pengendalian hayati penyakit tumbuhan. Tetapi tidak semua Pseudomonad

fluoresen yang diisolasi dari risosfer tanaman bersifat antagonistik terhadap R.

solanacearum (Arwiyanto, 1997).

b. Pengendalian Dengan Menggunakan Agensia Hayati Pseuodomonad fluoresen

Penyakit layu bakteri pada tomat yang disebabkan oleh R. solanacearum

dikendalikan secara hayati dengan organisme rizosfer yaitu Pseuodomonad

fluoresen. Berdasarkan hasil penelitian Wuryandari (2006) menjelaskan dari 10

isolat Pseudomonad flouresen yang diuji daya hambatnya terhadap perkembangan

penyaki layu R. solanacearum di rumah kaca, menunjukkan hasil yang bervariatif.

Salah satunya adalah isolat Pseudomonad fluoresen strain Pf -122 yang mampu

menghambat perkembangan penyakit layu yang disebabkan oleh bakteri R.

solanacearum yaitu sampai hari ke-30 indeks penyakitnya hanya 49,9 %. Isolat

Pf-122 menunjukkan kemampuan yang paling tinggi dalam menekan

perkembangan penyakit layu R. solanacearum terbukti dengan rendahnya laju

infeksi atau rendahnya kecepatan perkembangan penyakit layu bakteri. Isolat yang

kedua adalah Isolat Pf-142 yang dapat menekan mengendalikan pertumbuhan R.

solanacearum secara bakteriosida. Isolat Pseudomonad fluoresen yang di gunakan

mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dalam menekan perkembangan

penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh R. solanacearum Adanya perbedaan

kemampuan isolat-isolat Pseudomonad fluoresen dalam menghambat

perkembangan penyakit layu mungkin disebabkan karena pseudomonad fluoresen

(17)

itu juga memiliki kemampuan kompetisi nutrisi dengan R. solanacearum dan

mokroorganisme lain dalam tanah lebih baik.

c. Pengendalian Dengan Menggunakan Actinomycetes

Actinomycetes merupakan mikroorganisme tanah yang umum dijumpai

pada berbagai jenis tanah. Populasinya berada pada urutan kedua setelah bakteri,

bahkan kadangkadang hampir sama (Alexander, 1977; Elbeon, 2000).

Actinomycetes hidup sebagai safrofit dan aktif mendekomposisi bahan organik,

sehingga dapat meningkatkan kesuburan tanah (Nonomura dan Ohara, 1969a,b).

Actinomycetes merupakan salah satu mikroorganisme yang mampu mendegradasi

selulosa disamping bakteri, kapang, dan khamir (Abe et al, 1979; Nakase et al,

1994; Xu et al, 1996).

Actinomycetes adalah merupakan organisme gram positif yang merupakan

peralihan antara jamur dan bakteri. Jenis Actinomycetes tergantung pada tipe

tanah (Davies dan Williams, 1970), karakteristrik fisik, kadar bahan organik, dan

pH lingkungan (Xu et al., 1996). Jumlah Actinomycetes meningkat dengan

adanya bahan organik yang mengalami dekomposisi (Nonomura dan Ohara,

1971). Pada umumnya Actinomycetes tidak toleran terhadap asam dan jumlahnya

menurun pada keadaan lingkungan dengan pH di bawah 5,0 (Jiang dan Xu, 1985;

Jiang et al., 1988).

Tanah yang tergenang air tidak cocok untuk pertumbuhan Actinomycetes,

sedangkan tanah gurun yang kering atau setengah kering dapat mempertahankan

populasi dalam jumlah cukup besar, karena adanya spora (Nonomura dan Ohara,

1971a,b,c,d; Alexander, 1961). Temperatur yang cocok untuk pertumbuhan

(18)

dapat tumbuh dalam jumlah cukup besar, khususnya genus Thermoactinomyces

dan Streptomyces (Rao, 1994).

Selama ini actinomycetes telah banyak diteliti dan dimanfaatkan orang

dibidang kesehatan karena kemampuanya dalam menghasilkan antibiotik. Maka

actinomycetes dapat digunakan untuk agensia hayati atau antagonis terhadap

patogen tanaman. Namun demikian di bidang pertanian terutama di Indonesia

penelitian dan pemanfaatan actinomycetes sebagai agen hayati jarang dilakukan,

berbeda dengan bakteri, jamur dan virus yang telah dilakukan banyak orang. Di

luar negeri, pemanfaatan Actinomycetes sebagai agen hayati telah cukup

berkembang, bahkan ada yang mempormulasikan dan dikemas sebagai biokontrol

yang dipasarkan. (Baker dan Cook, 1974).

Mujoko (2005), menjelaskan bahwa isolat Actinomycetes yang didapatkan

dilapang sebanyak 22 isolat actinomycetes yaitu 6 isolat Wajak, 6 isolat Pare 3, 6

isolat Pare 8, dan 4 isolat Pare 5. Dari 22 isolat yang diteliti ternyata isolat dari

Pare 8 dan Wajak sangat efektif dalam menekan pertumbuhan Fusarium sampai

100% dan menghasilkan berat buah terbesar. Penurunan populasi Fusarium

diduga karena adanya antibiotik yang dikeluarkan oleh isolat actinomycetes yang

merusak atau menghambat pertumbuhan Fusarium.

Mekanisme antagonisme yang dilakukan actinomycetes meliputi: a).

antibiosis yaitu dengan mengeluarkan berbagai macam antibiotik. b). Kompetisi,

terutama terhadap penggunaan sumber karbon. c). Parasitisme yaitu mampu

mengeluarkan enzim chitinase untuk merusak dinding sel jamur (Robert, 2002).

(19)

Pemanfaatan kombinasi antagonis dalam pengendalian penyakit tanaman

merupakan langkah perbaikan pendekatan pengendalian hayati. Kombinasi

antagonis ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan antagonis tingkat

perlindungan yang lebih tinggi, karena dapat mengurangi variabilitas antagonis

(Guetsky et al., 2001) dan mempunyai kemampuan penekanan patogen secara

mekanisme terpadu dari setiap antagonis (Jetiyanon dan Kloepper, 2002 dalam

Boer et al., 2003).

Serta dengan adanya penelitian yang terdahulu, seperti hasil pengujian

pengendalian penyakit layu bakteri nilam di lapang menunjukkan bahwa

kombinasi strain Bacillus spp. Bc 26 dan Pseudomonad fluoresen 101 mempunyai

kemampuan antagonistik tertinggi dalam mengendalikan penyakit layu bakteri

nilam dengan penekanan perkembangan penyakit, yaitu dari intensitas penyakit

63,90% menjadi 8,57%. (Chrisnawati, 2009).

Hasil pengujian Bacillus spp. dan Pseudomonad fluoresen secara in vitro

pada medium PDA dapat menekan pertumbuhan R. solanacearum (Chrisnawati et

al., 2006). Dan juga Pseudomonad fluoresen dapat mengendalikan penyakit layu

R. solanacearum pada tanaman radish melalui induksi ketahanan sistemik dengan

menghasilkan asam salisilat pada kondisi Fe rendah (Press et al., 2001).

Pseudomonas fluorescens dan Bacillus pumilis dapat mengendalikan Botrytis

cinerea pada stroberi yang menghasilkan senyawa volatile dengan pengaruh

fungistatik (Guetsky et al., 2002).

Hasil penelitian dari penggabungan dua mikroba dalam media Potatoes

(20)

sp. Dapat hidup berdampingan, dengan kecepatan pertumbuhan secara visual

Trichorderma sp. tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan Pseudomonas putida.

B. Hipotesis

1. Agensi hayati Actinomycetes dapat menghambat pertumbuhan bakteri R.

solanacearum secara in vitro.

2. Dengan kombinasi antara agensia hayati Pseudomonad fluoresen isolat

Pf-122 dan 142 dengan Actinomycetes akan dapat meningkatkan kemampuan

dalam menghambat pertumbuhan bakteri R. solanacearum secara in vitro.

III. BAHAN DAN METODE

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Hama dan Penyakit Tumbuhan

program studi Agroteknologi Fakultas Pertanian UPN “Veteran” Jawa Timur.

Yang dilaksanakan pada bulan Juni sampai Nopember 2010.

B. Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah agensia hayati

(21)

Yenny Wuryandari, MP, 2006) dan Agensi hayati Actinomycetes (isolat koleksi

Ir. Tri Mujoko, MP), Pathogen R. solanacearum yang telah di isolasikan dari

tanaman Solanaceae, alat tulis, cawan petri, tabung reaksi, pinset, jarum ose steril,

alat dan ruang steril, lemari es, bunsen, laminar air flow.

C. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan percobaan faktorial yang disusun dalam

Rancangan Acak Lengkap ( RAL ) yang terdiri dari 2 faktor, di ulang 3 kali.

Faktor I: Bakteri Pseuodomonas fluoresen , terdiri dari 2 isolat yaitu:

P1 : Pseuodomonas fluoresen isolat Pf-122

P2 : Pseuodomonas fluoresen isolat Pf-142

Faktor II: Bakteri Actinomycetes, terdiri dari 2 isolat yaitu:

A1 : Actinomycetes isolat Wajak

A4 : Actinomycetes isolat Pare 8

Terdapat 4 perlakuan kombinasi dan diulang sebanyak 3 kali sehingga

diperoleh 12 unit percobaan. Masing-masing unit percobaan terdiri atas 2 isolat

Pseudomonad fluoresen dan 2 isolat Actinomycetes, sehingga dalam penelitian ini

melibatkan 12 isolat Pseuodomonad fluoresen dan 12 isolat Actinomycetes. Jadi

kombinasi agensia hayati Pseuodomonad fluoresen dan Actinomycetes adalah

sebagai berikut:

Tabel 1. Kombinasi 2 isolat Pseuodomonad fluoresen dan 2 jenis Actinomycetes

Faktor A1 A2

P1 P1A1 P1A2

(22)

P1A1 = Kombinasi Pseudomonad fluoresen isolat Pf-122 dan Actinomycetes isolat wajak

P1A2 = Kombinasi Pseudomonad fluoresen isolat Pf-122 dan Actinomycetes isolat Pare 8

P2A1 = Kombinasi Pseudomonad fluoresen isolat Pf-142 dan Actinomycetes isolat wajak

P2A2 = Kombinasi Pseudomonad fluoresen isolat Pf-142 dan Actinomycetes isolat Pare 8

Luas zona hambatan diukur dengan menggunakan penggaris dengan cara :

Zona Hambatan : Dv + Dh 2 Keterangan:

Dv: Diameter Vertikal (terpanjang) Dh: Diameter Horizontal (terpendek)

D. Pelaksanaan Penelitian

Dalam penelitian ini dilakukan beberapa tahap yaitu :

1. Isolasi Bakteri R. solanacearum

Pengamatan gejala penyakit layu bakteri pada tanaman tomat dilakukan di

desa lamong kecamatan Pare Kabupaten Kediri. Pada lahan tomat yang berumur ±

2 bulan menunjukkan adanya gejala layu. Sedangakan warna daun dan batangnya

tetap berwarna hijau. Apabila pada akar atau batang tanaman tomat tersebut

dipotong dan kita menunggu beberapa saat, kemudian keluar massa bakteri

berwarna putih susu, maka bisa diperkirakan tanaman tersebut sudah terserang

penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh bakteri R. solanacearum.

Tanaman tomat dengan gejala di atas selanjutnya didisolasi yang

dilakukan di Laboratorium Hama dan Penyakit Tumbuhan program studi

(23)

2. Uji Antagonis Pseudomonad flouresen Terhadap R. solanacearum Secara

In vitro.

Isolat Pseudomonad flouresen ditumbuhkan dengan cara dititik pada

permukaan media King’s B dalam cawan petri dengan jarak proporsional. Setelah

masa inkubasi selama 24 jam pada suhu 30°C cawan petri dibalik dan pada

tutupnya dituangi dengan 1 ml kloroform. Dua jam kemudian cawan petri dibalik

kembali pada posisi semula. Pada permukaan medium tersebut dituangkan

suspensi R. solanacearum yang dicampurkan dalam 4 ml 0,6 % agar air yang

mencair pada suhu 45°C dan diratakan. Biakan diinkubasikan selama 24 jam pada

suhu 30°C kemudian zona hambatan yang terbentuk diukur. Strain-strain yang

konsisten menghambat pertumbuhan R. solanacearum secara in vitro kemudian

disimpan.

3. Uji Antagonisme Actinomycetes Terhadap R. solanacearum Secara

In vitro.

Platting media PDA pada cawan petri. Setelah itu inokulasi kertas yang

sudah direndam suspensi Actinomycetes. Diinkubasikan selama 3 hari,

selanjutnya pada permukaan medium tersebut dituangkan suspensi R.

solanacearum yang dicampurkan dalam 4 ml 0,6 % agar air yang mencair pada

suhu 45°C dan diratakan. Biakan diinkubasikan selama 48 jam pada suhu 30°C

kemudian zona hambatan yang terbentuk diukur. Strain-strain yang konsisten

menghambat pertumbuhan R. solanacearum secara in vitro kemudian disimpan.

4. Mekanisme Penghambatan Actinomycetes.

Pemberian Actinomycetes yang mempunyai sifat antagonis, mampu

(24)

dilaboratorium, Actinomycetes dapat menyebabkan terjadinya hambatan

pertumbuhan jamur Fusarium melalui mekanisme antibiotis dan kompetisi.

Mujoko (2005). Dalam menentukan sifat penghambatan adalah sebagai berikut :

mengambil media pada zona penghambatan seluas ± 0,25 cm, selanjutnya

memasukkan dalam air steril pada tabung reaksi (10 ml), Menghancurkan media

tersebut sehingga larutan menjadi homogen. Mengambil dengan jarum ose steril

pada suspensi larutan tersebut dan menyeterilkan ke media YPGA pada cawan

petri. Menunggu ± 1 - 10 hari untuk melihat pertumbuhan R. solanacearum.

Apabila R. solanacearum tumbuh pada media tersebut, maka sifat penghambatan

Actinomycetes bersifat menghambat atau bakteriostatik. Apabila R. solanacearum

tersebut tidak tumbuh pada media tersebut, maka sifat penghambatan

Actinomycetes bersifat membunuh atau bakterisida.

5. Kompatibilitas Antara Pseudomonad fluoresen Dengan Actinomycetes

Pengujian ini untuk mendapatkan isolat Actinomycetes yang menghasilkan

antibiotika yang menghambat R. solanacearum yang kompatibel dengan

Pseudomonad fluoresen. Diharapkan akan diperoleh isolat Actinomycetes yang

tidak menghambat pertumbuhan Pseudomonad fluoresen dan tidak dihambat

pertumbuhannya oleh Pseudomonad fluoresen isolat. Pada tahap pertama

pengujian dilakukan pengaruh Actinomycetes terhadap pseudomonad fluoresen.

Medium King’s B dituang ke cawan petri setelah dingin 0,2 ml suspensi bakteri Pf

dituangkan pada medium 0,6 % agar air yang mencair kemudian dituangkan ke

cawan petri tersebut di atas. Selanjutnya antibiotika Actinomycetes berupa bulatan

kertas yang telah direndam dalam suspensi Actinomycetes, diambil dan diletakkan

(25)

kemudian zona hambatan yang terbentuk diukur. Pada tahap kedua, langkah di

atas dibalik. Isolat pseudomonad fluoresen ditumbuhkan dengan cara dititik pada

permukaan media King’s B dalam cawan petri dengan jarak proporsional. Setelah

masa inkubasi selama 48 jam pada suhu 300 C cawan petri dibalik dan pada

tutupnya dituangi dengan 1 ml kloroform. Dua jam kemudian cawan petri dibalik

kembali pada posisi semula. Pada permukaan medium tersebut dituangkan

suspensi Actinomycetes ( 0,2 ml suspensi air steril dalam 4 ml 0,6% agar air pada

suhu 450 C). Biakan diinkubasikan selama 24 jam pada suhu 300 C kemudian zona

hambatan yang terbentuk diukur. Isolat Actinomycetes yang kompatibel dengan

pseudomonad fluoresen dicatat dan disimpan.

6. Uji Pengaruh Kombinasi Antara Pseudomonad fluoresen dan Actinomycetes yang Kompatibel Terhadap Pertumbuhan R.

solanacearum

Medium YPGA dituang ke cawan petri setelah dingin 0,2 ml suspensi

bakteri R. solanacearum dituangkan ke cawan petri. Selanjutnya campuran

suspensi Actinomycetes dan Pseudomonad fluoresen yang kompatibel yaitu

berupa bulatan kertas yang telah direndam suspensi kedua bakteri tersebut ditaruh

diatas permukaan R. solanacearum dalam cawan petri yang diletakkan di tengah

medium. Biakan diinkubasikan selama 24 jam pada suhu 300 C kemudian zona

hambatan yang terbentuk diukur. Strain yang mampu menghambat diuji sebanyak

dua kali lagi dengan medium dan metode yang sama. Strain-strain yang konsisten

menghambat pertumbuhan R. solanacearum secara in vitro kemudian disimpan.

7. Analisa Data

Data hasil percobaan dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam

(26)

Pengaruh kombinasi diuji dengan uji F. Perlakuan dinyatakan berbeda nyata

apabila F hitung lebih besar dari pada F tabel zona atau wilayah penghambatan

(panjang diameter). Apabila Semakin panjang diameter yang dibentuk, maka

terbukti bahwa Pseudomonad fluoresen dan Actinomycetes kemampuanya

semakin tinggi dalam menghambat pertumbuhan R. solanacearum. Apabila

semakin kecil, pendek ataupun bahkan tidak adanya diameter pada zona yang

dibentuk oleh Actinomyctes dan Pseudomonad fluoresen maka tingkat

antibiotiknya dalam menghambat pertumbuhan R. solanacearum semakin rendah.

Kekuatan antibiotik dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme

lain berbeda-beda. Ketentuan pengukuran kekuatan antibiotik menurut metode

Davis Stout (1978 dalam Rachdiati, 2000), ialah sebagai berikut:

1. Daerah hambatan 20 mm atau lebih : sangat kuat

2. Daerah hambatan 10 mm – 20 mm : kuat

3. Daerah hambatan 5 mm – 10 mm : sedang

(27)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Gejala Penyakit Layu R. solanacearum Pada Tanaman Tomat di Lapang

Gejala penyakit layu pada tanaman tomat di lapang, tampak atau terlihat daun

muda pada pucuk dan daun tua menjadi layu, serta bagian bawah menguning tetapi

daun bagian atas dan batangnya tetap berwarna hijau. Pengamatan gejala layu ini

sesuai dengan hasil penelitian Rukmana (1997) yang menyatakan bahwa adanya daun

muda pada pucuk dan daun tua tanaman akan menjadi layu, daun bagian bawah

menguning merupakan ciri khas gejala penyakit layu bakteri. Gejala penyakit layu R.

solanacearum pada tanaman tomat terlihat seperti pada Gambar 1.

Gambar 1. Daun Layu agak Menguning Pada Tanaman Tomat Gejala Penyakit Layu Bakteri R. solanacearum.

Pengamatan pada gejala bagian dalam dilakukan pemotongan tanaman tomat

membujur pada bagian akar atau batang bagian bawah setelah ditunggu ±5 menit

keluar massa bakteri berwarna putih susu kotor. Perlakuan ini sesuai dengan pendapat

(28)

atau akar tanaman tomat dipotong dan ditekan akan keluar massa bakteri berwarna

putih kotor.

Apabila dilihat dari morfologi akar tanaman tomat yang sudah terserang

penyakit layu R. solanacearum sangat berbeda dengan akar tanaman yang sehat,

seperti terlihat pada Gambar 2.

(a) (b)

Gambar 2. Akar Tanaman Tomat yang Terserang Bakteri R. solanacearum Warnanya Kehitam-hitaman (a) dan Tidak Terserang Layu Baktaeri R. solanacearum Warnanya Putih Bersih (tanaman sehat) (b)

Batang dan akar tanaman tomat yang terserang penyakit layu R. solanacearum

kelihatan berwarna coklat kehitaman-hitaman, permukaan kulitnya basah, pada

permukaan kulit yang parah keluar massa bakteri serta permukaan kulit pada akarnya

sebagian mengelupas.

Apabila dilihat dari morfologi pada batang tanaman tomat yang sehat akan

tetap terlihat hijau, tidak lembab, serta pada akar warnanya putih dan kelihatan segar,

serta setelah dilakukan pemotongan membujur pada tanaman tomat yang sehat pada

bagian akar atau batang dan menunggu ±5 menit tidak keluar massa bakteri berwarna

(29)

2. Hasil Isolasi Bakteri R. solanacearum

Hasil isolasi bakteri dari akar dan batang tanaman tomat yang menunjukkan

gejala layu R. solanacearum pada media YPGA dalam cawan petri yang

ditumbuhkan selama 48 jam terlihat seperti pada Gambar 3.

Gambar 3. Koloni Bakteri R. solanacearum di Media YPGA Pada Cawan Petri

Pada gambar diatas (Gambar 3) terlihat bahwa R. solanacearum mempuyai

ciri sebagai berikut: koloni R. solanacearum berwarna putih susu kotor, koloni

berbentuk fluidal dan tidak beraturan, apabila dihadapkan lampu tidak tembus

cahaya, kenampakan koloni selalu kelihatan basah, dan berlendir. Ciri-ciri tersebut

sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wuryandari & Arwiyanto (1999) yang

menyatakan bahwa bakteri R. solanacearum memiliki ciri berwarna putih, fluidal

dan berbentuk tidak teratur bila ditumbuhkan pada media YPGA.

a. Uji Gram Pada Bakteri R. solanacearum

Uji Gram dengan KOH 3 % pada gelas objek ternyata membentuk benang

(berlendir), hal ini membuktikan bahwa bakteri R. solanacearum bersifat Gram

(30)

yaitu bakteri R. solanacearum adalah bersifat Gram negatif seperti terlihat pada

Gambar 4.

Gambar 4. Bakteri R. solanacearum berlendir pada Hasil Uji Gram

Menurut peneliti Buck, John D. (1982) bakteri R. solanacearum bisa berlendir

pada uji Gram dikarenakan gram (+) memiliki dinding sel yang tebal dan lemak yang

tipis sedangkan gram (-) berlemak tebal dan berdinding sel tipis yang berada di ruang

periplasma. KOH akan masuk ke dalam lemak (bilayer lipid) ini dan membuat sel

gram (-) pecah. Pecahnya sel melepaskan materi genetik (DNA) yang merupakan

substansi melimpah di dalam sel bakteri. Molekul DNA sangat panjang bersifat

menyerupai lendir, getah atau dapat berarti lengket yang memberikan hasil seperti

lendir saat diangkat dengan jarum inokulum.

b. Uji Katalase Pada Bakteri R. solanacearum

Pada uji katalase dengan H2O2 5 %, ternyata terdapat gelembung-gelembung

kecil setelah menunggu ±60 detik, hal ini membuktikan bahwa bakteri R.

solanacearum ini bersifat katalase positif. Pengujian di atas sesuai dengan pendapat

(31)

bakteri R. solanacearum adalah bersifat katalase positif. Hasil pengujian seperti

terlihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Gelembung-Gelembung Kecil Hasil Uji Katalase Pada Bakteri R. solanacearum

Menurut Austin B. (1988) berpendapat bahwa terjadinya

gelembung-gelembung kecil karena adanya pemecahan H2O2 (hidrogen peroksida) oleh enzim

katalase yang dihasilkan oleh bakteri itu sendiri. Komponen H2O2 ini merupakan

salah satu hasil respirasi aerobik bakteri.

c. Uji Oksidase Pada Bakteri R. solanacearum

Pada uji Oksidase pada permukaan kertas Kovac’s, setelah menunggu 10-60

detik ternyata warna yang telah digoreskan berubah warna menjadi biru keunguan,

maka sifat dari bakteri ini adalah bersifat oksidase positif. Hal ini sesuai dengan hasil

penelitian Wuryandari & Arwiyanto (1999) yaitu bakteri R. solanacearum adalah

(32)

Gambar 6. Warna Keunguan pada Hasil Uji Kovac’s Oksidase Pada Bakteri R.solanacearum.

Enzim oksidase dihasilkan oleh bakteri aerob, fakultatif anaerob, dan

mikroaerofilik. Mikroorganisme ini menggunakan oksigen, sebagai akseptor elektron

terakhir selama penguraian karbohidrat untuk menghasilkan energi. Kemampuan

bakteri memproduksi sitokrom oksidase dapat diketahui dari reaksi yang ditimbulkan

setelah pemberian reagen oksidase pada koloni bakteri. Reagen yang digunakan

adalah tetramethyl-D-phenylenediamine dihydrocloride. Reagen akan mendonorkan

elektron terhadap enzim ini sehingga akan teroksidasi membentuk senyawa yang

berwarna biru kehitaman. Positif tertunda (warna biru muncul antara 10-60 detik

setelah ditetesi) menandakan bahwa bakteri uji memiliki sedikit enzim. Tidak adanya

perubahan warna mengindikasikan bahwa uji yang dilakukan negatif. Jika warna

berubah menjadi biru keunguan maka hasil uji positif, sedangkan bila tidak terjadi

perubahan maka hasil uji negatif (Buck, John D. 1982).

3. Bakteri Agensia Hayati Pseudomonad fluoresen

Isolasi Pseudomonad fluoresen isolat Pf-122 dan Pseudomonad fluoresen isolat

Pf-142 diperoleh dari isolat dari koleksi Dr. Ir. Yenny Wuryandari, MP. Bakteri

(33)

pada media King’B pada cawan petri. Ciri-ciri bakteri Pseudomonad fluoresen

adalah: Koloni berbentuk bulat, bertepi rata dan berpendar hijau kekuningan. Hasil ini

sesuai dengan pendapat peneliti sebelumnya (Stolp &Godkari, 1981) bahwa

Pseudomonad fluoresen menghasilkan pigmen fluoresen yang berwarna kuning hijau

terlarut dalam air dan dapat berdifusi. Koloni Pseudomonad fluoresen isolat Pf-122

dan Pseudomonad fluoresen isolat Pf-142 adalah seperti Gambar 7.

Gambar 7. Bakteri Pseudomonad fluoresen Berpendar Hijau Kekuningan.

Dari hasil uji diantaranya: uji Gram dengan KOH 3%, Katalase dengan H2O2

5%, dan Kovac’s oksidase, hasil yang diperoleh bakteri bahwa sifat Pseudomonad

fluoresen adalah: Gram negatif, Katalase positif, dan Oksidase positif.

a. Uji Gram Pada Bakteri Pseudomonad fluoresen

Hasil uji Gram dengan menggunakan KOH 3 % menunjukkan bahwa bakteri

Pseudomonad fluoresen bersifat Gram negatif, hai ini dibuktikan dengan adanya ternyata

suspensi Pseudomonad fluoresen menjadi berlendir dan membentuk benang saat

diangkat dengan jarum inokulum. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Wuryandari

& Arwiyanto (1999) yaitu bakteri Pseudomonad fluoresen adalah bersifat oksidase

(34)

Gambar 8. Bakteri Pseudomonad fluoresen berlendir Pada Hasil Uji Gram

Menurut peneliti Buck, John D. (1982) bakteri R. solanacearum bisa berlendir

pada uji Gram dikarenakan gram (+) memiliki dinding sel yang tebal dan lemak yang

tipis sedangkan gram (-) berlemak tebal dan berdinding sel tipis yang berada di ruang

periplasma. KOH akan menyerang lemak (bilayer lipid) ini dan membuat sel gram (-)

pecah. Pecahnya sel melepaskan materi genetik (DNA) yang merupakan substansi

melimpah di dalam sel bakteri. Molekul DNA sangat panjang bersifat sticky strings

(menyerupai lendir, getah atau dapat berarti lengket) yang memberikan hasil seperti

lendir saat diangkat dengan jarum inokulum.

b. Uji Katalase Pada Bakteri Pseudomonad fluoresen

Pada uji Katalase dengan meneteskan H2O2 5 % pada gelas objek ternyata

muncul gelembung-gelembung kecil, hal ini membuktikan bahwa bakteri

Pseudomonad fluoresen ini bersifat katalase positif. Pengujian ini sesuai dengan

pendapat peneliti sebelumnya oleh Wuryandari & Arwiyanto (1999) yang

menyatakan bahwa bakteri Pseudomonad fluoresen adalah bersifat katalase positif.

(35)

Gambar 10. Gelembung-Gelembung Kecil Hasil Uji Katalase Pada Bakteri R. solanacearum

Menurut Austin B. (1988) berpendapat bahwa terjadinya

gelembung-gelembung kecil karena adanya pemecahan H2O2 (hidrogen peroksida) oleh enzim

katalase yang dihasilkan oleh bakteri itu sendiri. Komponen H2O2 ini merupakan

salah satu hasil respirasi aerobik bakteri.

c. Uji Oksidase Pada Bakteri Pseudomonad fluoresen

Pada uji Oksidase, ternyata warna yang telah digoreskan tadi berubah warna

menjadi biru marun (kehitaman), maka kemungkinan sifat dari bakteri ini adalah

bersifat oksidase positif. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Wuryandari &

Arwiyanto (1999) yaitu bakteri Pseudomonad fluoresen adalah bersifat Oksidase

positif seperti terlihat pada Gambar 9.

(36)

Menurut Buck, John D. (1982) enzim oksidase memegang peranan penting

dalam transport elektron selama respirasi aerobik. Enzim oksidase dihasilkan oleh

bakteri aerob, fakultatif anaerob, dan mikroaerofilik. Mikroorganisme ini

menggunakan oksigen, sebagai akseptor elektron terakhir selama penguraian

karbohidrat untuk menghasilkan energi. Kemampuan bakteri memproduksi sitokrom

oksidase dapat diketahui dari reaksi yang ditimbulkan setelah pemberian reagen

oksidase pada koloni bakteri. Reagen yang digunakan adalah

tetramethyl-D-phenylenediamine dihydrocloride. Reagen akan mendonorkan elektron terhadap

enzim ini sehingga akan teroksidasi membentuk senyawa yang berwarna biru

kehitaman. Positif tertunda (warna biru muncul antara 10-60 detik setelah ditetesi)

menandakan bahwa bakteri uji memiliki sedikit enzim. Tidak adanya perubahan

warna mengindikasikan bahwa uji yang dilakukan negatif. Jika warna berubah

menjadi biru marun maka hasil uji positif, sedangkan bila tidak terjadi perubahan

maka hasil uji negatif. Hasil uji positif tertunda jika warna biru muncul antara 10-60

detik setelah ditetesi.

4. Uji Antagonis Pseudomonad fluoresen Terhadap Pertumbuhan Bakteri R.

solanacearum

Dari hasil uji antagonis Pseudomonad fluoresen isolat Pf-122 terhadap

pertumbuhan R. solanacearum diperoleh hasil adanya zona penghambatan berupa

(37)

Gambar 11. Zona Hambatan Pf-122 Terhadap Pertumbuhan R. solanacearum

Adanya zona berbentuk lingkaran di sekitar titik Pf-122 yang berwarna bening

membuktikan bahwa Pseudomonad fluoresen isolat Pf-122 dapat menghambat

pertumbuhan bakteri R. solanacearum. Disekitar inokulum Pseudomonad fluoresen

isolat Pf-122 bakteri R. solanacearum tidak dapat tumbuh atau terhambat

pertumbuhanya kemungkinan dikarenakan Pseudomonad fluoresen isolat Pf-122

mengeluarkan senyawa antibiotik di area sekitarnya sehingga pertumbuhan bakteri R.

solanacearum terhambat. Menurut peneliti sebelumnya Arwiyanto (1997) bahwa

proses antibiosis atau proses penghambatan Pseudomonad fluoresen terhadap R.

solanacearum karena senyawa penghambat.

Hasil pada pengamatan zona hambat uji antagonis Pseudomonad fluoresen

(38)

Gambar 12. Zona Hambatan Pseudomonad fluoresen Isolat Pf-142 Terhadap Pertumbuhan Bakteri R. solanacearum

Besar zona hambat Pseudomonad fluoresen isolat Pf-142 terhadap pertumbuhan

bakteri R. solanacearum mungkin sedikit berbeda terhadap uji isolat Pf-122.

Disamping zona yang terbentuk lebih kecil, warna transparan yang terbentuk dari zona

penghambatan terlihat lebih terang dan jelas serta luas zona yang terbentuk lebih kecil

dibandingkan dengan Pseudomonad fluoresen isolat Pf-122. Hal ini mungkin

disebabkan sifat penghambatan yang dilakukan Pf-142 berbeda dengan Pf-122,

kemungkinan makin besar zona hambatan yang dibentuk, makin tinggi pula

kemampuan Pseudomonad fluoresen dalam mengendalikan pertumbuhan bakteri R.

solanacearum.

Hasil pengamatan terhadap besar zona hambat bakteri Pseudomonad fluoresen

(39)

Tabel 1. Hasil Pengamatan Zona Hambatan Pseudomonad fluoresen Isolat Pf-122 dan Pseudomonad fluoresen Isolat Pf-142 Terhadap Pertumbuhan Bakteri R. solanacearum

Pf-122 Pf-142

Ulangan Ulangan

I II III I II III

Diamater

zona (mm) 20 21 20 16 17 17

Rata-rata 20 17

Dari Tabel 1. Terlihat bahwa Pf-122 adalah sebesar 20 mm, sedangkan

besarnya zona hambat oleh Pf-142 adalah sebesar 17 mm. Sesuai ketentuan

pengukuran kekuatan antibiotik menurut metode Davis Stout (1978 dalam Rachdiati,

2000) apabila daerah hambatan 10 mm – 20 mm adalah tergolong kuat, sedangkan

hambatan 20 mm atau lebih adalah tergolong sangat kuat. Jadi kekuatan antibiotik

Pf-122 adalah tergolong sangat kuat, sedangkan zona hambat oleh Pf-142 adalah

tergolong kuat.

5. Uji Mekanisme Penghambatan Pseudomonad fluoresen Isolat Pf-122 dan Pseudomonad fluoresen Isolat Pf-142 Terhadap R. solanacearum.

Hasil uji mekanisme penghambatan menunjukkan bahwa masih ada

pertumbuhan bakteri R. solanacearum pada media YPGA dari uji penghambatan oleh

Pseudomonad fluoresen isolat Pf-122, sedangkan pada uji mekanisme Pseudomonad

fluoresen isolat Pf-142 tidak ada pertumbuhan R. solanacearum sama sekali. Hasil

(40)

Tabel 2. Hasil Pengamatan Pertumbuhan Jumlah Koloni Pada Uji Mekanisme Pseudomonad fluoresen Isolat 122 dan Pseudomonad fluoresen Isolat Pf-142 Terhadap Pertumbuhan R. solanacearum

Pf-122 Pf-142

Mekanisme Bakteriostatik Bakterisida

Hasil uji mekanisme penghambatan Pseudomonad fluoresen isolat Pf-122

terhadap pertumbuhan R. solanacearum adalah bersifat bakteriostatik atau bersifat

menghambat karena masih ada pertumbuhan inokulum bakteri R. solanacearum

(Tabel 2), hal itu terlihat setelah bakteri digoreskan pada media YPGA pada cawan

petri setelah 10 hari ternyata masih terdapat pertumbuhan R. solanacearum. Dari

hasil uji mekanisme penghambatan Pseudomonad fluoresen isolat Pf-122 terhadap

(41)

(a) (b)

Gambar 13. Koloni R. solanacearum(a) Perbesaran Koloni R. solanacearum(b)

Pada uji mekanisme penghambatan Pseudomonad fluoresen isolat Pf-142

terhadap pertumbuhan R. solanacearum adalah bersifat bakterisida atau bersifat

membunuh, karena setelah diamati selama 10 hari tidak ada pertumbuhan inokulum

bakteri R. solanacearum sama sekali (Tabel 2) pada media YPGA di cawan petri. Hal

ini kemungkinan antibiotik yang dikeluarkan Pseudomonad fluoresen isolat Pf-142

adalah sangat kuat sehingga bakteri R. solanacearum tidak dapat tumbuh lagi atau

mati. Hal ini sesuai dengan pendapat peneliti sebelumnya oleh Wuryandari dkk

(2007), hal tersebut terlihat dengan melakukan streak kembali di media YPGA pada

cawan petri setelah menunggu 1-10 hari ternyata tidak ada pertumbuahan R.

solanacearum seperti trelihat pada Gambar 14.

(42)

Sifat penghambatan Pseudomonad fluoresen isolat Pf-122 terhadap R.

solanacearum adalah bersifat bakteriostatik, yang dimungkinkan dalam menghambat

pertumbuhan bakteri R. solanacearum tidak dapat membunuh, tetapi hanya

menghambat pertumbuhan R. solanacearum saja dalam kurun waktu tertentu,

sehingga hasilnya kurang maksimal. Sedangkan sifat penghambatan Pseudomonad

fluoresen isolat Pf-142 terhadap R. solanacearum adalah bersifat bakterisida, yang

mungkin dalam mempengaruhi pertumbuhan bakteri R. solanacearum adalah bersifat

membunuh, sehingga pertumbuhan bakteri R. solanacearum tidak muncul lagi.

Menurut Wuryandari dkk (2007) berpendapat bahwa Isolat Pseudomonad

fluoresen yang mempunyai kemampuan menghambat dengan mekanisme penghambatan

bakterisida kemungkinan akan lebih berpotensi sebagai agensia hayati dari pada yang

bersifat yang bersifat bakteriostatik.

6. Bakteri Agensia Hayati Actinomycetes

Isolat Actinomycetes diperoleh dari koleksi peneliti sebelumnya oleh Ir.

Trimujoko MP. Isolat Actinomycetes diremajakan kembali pada media PDA.

Diinkubasikan pada suhu ruang selama satu minggu, atau selama pertumbuhan koloni

memenuhi cawan petri. Gambar koloni Actinomycetes yang didapatkan seperti

(43)

Gambar 15. Koloni Bakteri Actinomycetes Wajak

Gambar 16. Koloni Bakteri Actinomycetes Pare 8

7. Uji antagonisme Actinomycetes Wajak (W) dan Actinomycetes Pare 8 (P) Terhadap R. solanacearum.

Pengujian antagonis Actinomycetes tidak terdapat adanya zona penghambatan

atau R. solanacearum tumbuh menyeluruh di sekitar antibiotika, sehingga dapat

disimpulkan antibiotika Actinomycetes tidak dapat menghambat pertumbuhan

bakteri R. solanacearum secara in vitro. Hasil pengujian seperti terlihat pada Gambar

(44)

Gambar 17. R. solanacearum Tumbuh Merata di Sekitar Antibiotik Actinomycetes Wajak

Gambar 18. R. solanacearum Tumbuh Merata di Sekitar Antibiotik Actinomycetes Pare 8

Uji antagonisme Actinomycetes terhadap R. solanacearum tidak

menghasilkan zona hambatan sama sekali. Hal ini dimungkinkan sifat dan senyawa

antibiotika yang dikeluarkan dari agensia hayati antara Pseudomonad fluoresen

dengan agensia hayati Actinomycetes adalah berbeda, dari hasil penelitian

sebelumnya (Stolp & Godkari, 1991).

Menurut pendapat Baker dan Cook ( 1974) Pseudomonad fluoresen dapat

menghasilkan senyawa diantaranya : HCN, monoacetyl phloroglucinol, siderofor,

puoluserin, asam salisilat yang dapat menghambat pertumbuhan R. solanacearum,

sedangkan Actinomycetes tidak dapat menghasilkan senyawa-senyawa tersebut tetapi

(45)

jamur. Sehingga dari kemungkinan-kemungkinan ini agensia hayati Actinomycetes

tidak dapat mengendalikan pertumbuhan R. solanacearum.

8. Uji Kompatibilitas Antara Pseudomonad fluoresen Dengan Actinomycetes

Dari hasil uji kompatibilitas antara agensia hayati Pseudomonad fluoresen

terhadap pertumbuhan Actinomycetes dan sebaliknya terlihat seperti pada Gambar

19. dan Gambar 20.

a. b.

Gambar 19. (a) Bakteri Pseudomonad fluoresen

(b) Actinomycetes Tumbuh Merata di Sekitar Pseudomonad fluoresen

Antibiotika Pseudomonad fluoresen yang dititikkan dengan jarak proporsional

tidak menghambat pertumbuhan agensia hayati Actinomycetes yang tumbuh di

sekitar Antibiotika Pseudomonad fluoresen dengan merata.

a. b.

Gambar 20. (a) Bakteri Actinomycetes

(46)

Tidak adanya zona disekitar antibiotika Actinomycetes membuktikan bahwa

antara Actinomycetes dan Pseudomonad fluoresen, tidak saling menghambat atau

dengan kata lain kompatibel. Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena senyawa

antibiotik yang dikeluarkan baik Pseudomonad fluoresen ataupun Actinomycetes

saling tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan keduanya, sehingga Pseudomonad

fluoresen maupun Actinomycetes bisa hidup saling berdampingan atau tidak saling

menghambat.

9. Uji Pengaruh Kombinasi Antara Pseudomonad fluoresen dan Actinomycetes yang Kompatibel Terhadap Pertumbuhan Bakteri R.

solanacearum.

Dari hasil pengujian yang dilakukan dengan mengkombinasikan antara

agensia hayati Pseudomonad fluoresen dan Actinomycetes terhadap pertumbuhan

bakteri R. solanacearum tidak terdapat zona atau area hambatan di sekitar inokulum

campuran suspensi. Adapun hasil pengujian terlihat pada Gambar 21.

Gambar 21. Bakteri R. solanacearum Tumbuh Merata di Sekitar Antibiotik Kombinasi Antara Pseudomonad fluoresen dan Actinomycetes

Dari uji pengaruh kombinasi antara Pseudomonad fluoresen dan

(47)

kemungkinan dipengaruhi dari jenis media dasarnya yaitu Yeast Peptone Glukose

Agar (YPGA) yang digunakan, ternyata setelah diuji dengan media dasar lain

diantaranya: media King’B dan media Potato Dextrose Agar (PDA) hasilnya masih

tetap sama tidak terdapat zona, sehingga perlakuan jenis media dasar pada pengujian

ini tidak berpengaruh terhadap terbentuknya zona hambatan.

Dalam uji ini kemungkinan Pseudomonad fluoresen tidak dapat

mengekspresikan senyawa antibiotika penghambat untuk mengendalikan bakteri R.

solanacearum, kemungkinan karena adanya senyawa antibiotika yang dikeluarkan

oleh Actinomycetes sehingga antibiotika yang dimiliki Pseudomonad fluoresen

terhambat oleh antibiotika yang dikeluarkan oleh Actinomycetes. Menurut pendapat

penelitian sebelumnya oleh Arwiyanto dkk (2007) dalam penelitianya yang berjudul

“Phenotypic Charactheristics of Fluorescent Pseudomonss, Biological Control

Agent of Lincat Disease of Temanggung Tobacco” telah dijelaskan Pseudomonad

fluoresen merupakan kelompok bakteri yang mampu menghasilkan berbagai senyawa

penghambat pada medium buatan di laboratorium. Dijelaskan juga bahwa

Pseudomonad fluoresen isolat Temanggung juga mampu menghasilkan senyawa

penghambat yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri saprofit lainnya.

Kemampuan masing-masing isolat berbeda-beda, isolat pf22 hanya menghambat

petumbuhan satu isolat dari genus lain yang diuji yaitu Stre67 sedangkan isolat pf23

mampu menghambat semua bakteri lain. Isolat Bacillus (Ba) dan Streptomyces (Stre),

merupakan bakteri antagonis terhadap patogen penyakit lincat tembakau selain

(48)

untuk mendapatkan kombinasi antar isolat yang tidak saling menghambat satu dengan

(49)

V. KESIMPUAN DAN SARAN

A.

Kesimpulan

1. Agensia hayati Actinomycetes tidak dapat mengendalikan pertumbuhan

bakteri R. solanacearum secara in vitro.

2. Kombinasi antara agensia hayati Pseudomonad fluoresen dengan

Actinomycetes tidak dapat meningkatkan kemampuan Pseudomonad

fluoresen dalam mengendalikan pertumbuhan bakteri R. solanacearum.

B.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut kemampuan antibiotik

Pseudomonad fluoresen dalam mengendalikan penyakit layu R. solanacearum

(50)

DAFTAR PUSTAKA

Abe, 1979. Plant Pathologi. MC. Graw Hil, Book Comp, Ltd. New York, hal 717. 

Alexander, M. 1977. Introduction to Soil Microbiology, Second Edition, John Willy and Sons, New York.

Anonim, 1995. Pengendalian Penyakit R. Solanaceae, Part 3.

Anonim, 2001. Total Unmanufactured Tobacco Planeted Area For Selected Countries. United State Department Of Agriculture.

Arwiyanto T., 1997. Seleksi Pseudomonas fluoresen Secara Langsung di Lapangan untuk Pengendalian Penyakit Lincat pada Tembakau, Jurnal Hama Penyakit Tumbuhan Tropika (in press).

Arwiyanto T., Yms Maryudani, Azizah N., 2007. Phenotypic charactheristics of fluorescent pseudomonss, biological control agent of lincat disease of temanggung tobacco. Biodiversitas.Volume 8, Halaman: 147-151

Atie Srie Duriet, 1993. Pengendalian Hayati Virus yang Menyerang Sayuran. dalam Kongres Nasional dan Seminar Ilmiah Fitopatologi IndonesiaYogyakarta, 6-8 September 1993, hal 76.

Austin B. (1988). Marine Micro-biology. Cambridge University Press. Cambridge, England. 222p.

Baker dan Cook, 1974. Biological Control of Plant Pathogens, dalam USU digital library, hal. 23-38.

Brock & Madigan, 1988. Peranan Psedoumonad Fluoresence (Pseuodomonad fluoresens) Dalam Pengendalian Biologi, hal. 2.

Buck, John D. 1982. Non Staining KOH Method for Determination of Gram Reaction Of Marine Bacteria. Applied and Environtmental Microbiology. Vol 44. No 4, p.992-993.

(51)

Chrisnawati, 2009. Pengendalian penyakit layu bakteri nilam menggunakan bacillus spp dan pseudomonad fluoresen, hal. 116 - 123.

Cook & Baker, 1991. The Nature and Practice Of Biological Control Of Plant Pathogen. APS Press, St. Paul Minnesota, 539 p.

Cook R.J dan K. F. Baker dalam buku The Nature and Practice of Biological Control of Plant Pathogens, hal. 60

Goto, M., 1992. Fundamental of Bacterial Plant Pathology, Academic Press, Tokyo, 324 p.

Guetsky, R., D. Shitienberg, Y. Elad, E. Fischer, and A. Dinoor. 2002. Improving biological control by combining biocontrol agents each with several mechanisms of disease suppression, Phytopathology. 92 : 979-985.

Habazar dan Rivai, 2000. Mekanisme Kerusakan Ekstraseluler Polisakarida Sebagai Penyebab Layu Bakteri, Hal. 30-31.

Hasanuddin, 2003. Penyakit-penyakit tanaman Holtikultura di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 850 Hal.

Hayward, 1983.Plant Pathogenic Ralstonia Species. Nanamanickam. P. 573-643.

Hebbar, 1992. Induced Resistance and Phytoalexin Accumulation by Biological Control of Fusarium Wilt of Carnation by Pseudomonas sp. Strain WCS 41r. Phytopathol. 81:728-734.

Howell & Stipanovic 1979. Desease, Pest and Weeds in Tropical Crops. New York. 666 p.

Hutagalung, 1984. CompendiumOf Tomatto Desease. APS Press. 100h.

Jetiyanon dan Kloepper, 2002. Mycotoxins Reported From Fusarium. dalam Boer et al., 2003

Jiang dan Xu, 1985. Botany For Degree Students Part II. Ram Nagar. Page 450-453.

Machmud, 1998. Bacterial Wilt in Indonesia, Persley, p. 30-34. Bacterial With Disease in Asia and The South Pasific, Philipines, p. 282.

(52)

Mujoko, 2005. Pemanfaatan Atinomycetes antagaonis sebagai pengendali hayati fusarium oxysporum f.sp. lycopersici pada tanaman tomat, Hal 15-40.

Nonomura dan Ohara, 1971. Current Concept of Active Defense in Plants. Rev. Phitopathol. 36: 59-90.

Plantus, 2008. Tanaman Jenis Solanaceae dalam Anekaplantasia, Cybermediaclips.

Rao, 1976. Biological Control of Damping off Diseases with Seed Treatments. p. 145-155

Reinjes et al, 1999. Ralstonia solanacearum Growing, Part 2.

Robert, M.A. 2002. Actinomycetes Biocontrol Questions and Answer, On line Micro2.

Rukmana, R. 1997. Penyakit Tanman dan Teknik Pengendalian, Kanisius, Yogyakarta, 96 hal.

Sastrosupadi, 1995. Rumus Rancangan Acak Lengkap, Home Page.

Semangun H, 1995. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan, Gajah Mada Universitas Press, Yogyakarta, Hal 37.

Stanier, 1965. Laporan Sarjana Hasanuddin dalam USU digital library, 2003.

Stolp, H. and D. Gadkari. 1983. Nonpathogenic Members of the Genus Pseudomonas. In: M.P. Starr, H.G. Troper, A. Ballows, and H.G. Schiegel. (eds.). The Prokaryotes A Handbook on Habitat, Isolation and Identification of Bacteria. Springer-Verlag. New York.

Suparyono, 1995. Upaya Pengendalian Penyakit Tanaman Tembakau. Ekspose Hasil Penelitian PTPN X

Suryadi, 1996. Dua sistem yang berbeda dalam mengelompokan P. solanacearum, Hal 16.

Teng, 1990. Water on Particle Surface. in Greenland, p. 405 - 408.

Upadhyay, R.S. & B. Rai. 1987. Studies on antagonism between Fusarium udum Aspiras, R.B. p. 89-92.

(53)

Wuryandari, Y., A. Purnawati, T. Arwiyanto, B. Hadisutrisno, 2005. Perlakuan Benih Tomat Secara Biologi dengan Pseudomonad fluoresen untuk Pengendalian Penyakit Layu Bakteri, Laporan Hibah Pekerti.

Wuryandari Y, A. Purnawati, T. Arwiyanto, B. Hadisutrisno, 2007. Kemampuan Antagonis Beberapa Isolat Pseudomonad fluoresen Terhadap Bakteri R. solanacearum Penyebab Penyakit Layu pada Tomat, Seminar Nasional Pengendalian Hayati. Fak. Pertanian Universitas Jember.

Wuryandari, Y., dan T. Arwiyanto, 1999. Karakter Ralstonia solanacearum dari Beberapa Inang Solanaceae di Yogyakarta. Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta. Hal 387-393

Wydra dan Rudolph, 1993. Peran Ekstraseluler Polisakarida Dalam Patogenis, Hal 11.

 

Gambar

Tabel 1.  Kombinasi 2 isolat Pseuodomonad fluoresen dan 2 jenis Actinomycetes
Gambar 1. Daun Layu agak Menguning Pada Tanaman Tomat Gejala Penyakit Layu Bakteri R. solanacearum
Gambar  2. Akar Tanaman Tomat yang Terserang Bakteri R. solanacearum Warnanya Kehitam-hitaman (a) dan Tidak Terserang Layu Baktaeri R
Gambar 3. Koloni Bakteri R. solanacearum di Media YPGA Pada Cawan Petri
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menongkah Lumrah seperti kebanyakan karya Azmah Nordin sebelumnya, masih akur dengan rumus “wanita yang ditampilkan, wanita yang dimenangkan.” Maka kali ini Menongkah Lumrah

Akibatnya yang dapat menghentikan arus penambahan tenaga penjqaf adalah para anggota baru yang masuk terlambat, yang haqya bisa gigit jari karena tklak ada yang rnau

Perhitungan harga batako per biji dan per m 2 luas dinding batako sekam padi (batako non komposit) adalah dengan mengalikan volume batako sekam sebesar 0,008 m 3 dengan harga

Fabrication &amp; erection area cement mill feed bin and clinker transport to storage. Fabrication &amp; erection area

karyawan lebih semangat dalam bekerja, sehingga menghasilkan kinerja yang optimal. 4) Komunikasi dan penyaluran informasi yang kurang efektif. Komunikasi sangat

Selain menjadi simbol keindahan, senihias turut berfungsi dalam mengetahui corak sejarah penghasilan manuskrip (Perpustakaan Negara 2002:252) Kepercayaan ini mungkin dapat

‫بمجرد النطق فحسب و لكن أن يفعل شيئا على أساس ذلك النطق‪ ,‬و هذا هو النقاش‬ ‫فى مجال الدراسة البرجماتية‪.‬‬ ‫البرجماتية هي دراسة المعنى و

Bambang Manu Setyoko kasi organisasi, tata laksana dan hukum di Dinas Koperasi Dan UKM Kota Malang Pelaksanaan penilaian dalam tahap status badan usaha aktif