• Tidak ada hasil yang ditemukan

Balas Budi

Dalam dokumen CERITA DARI SUMATRA SELATAN (Halaman 39-66)

Waktu terus berputar dan tidak pernah berhenti seiring dengan perjalanan kehidupan yang ada di muka bumi ini yang juga tiada pernah berhenti walau untuk sedetik saja. Demikian juga dengan perkembangan suasana, situasi, dan kondisi, tentulah mengalami suatu perubahan. Hal ini juga terjadi di sektor keamanan kampung tersebut.

Setelah beberapa tahun waktu berlalu, situasi keamanan dan ketenteraman warga desa yang dahulu pernah disinggahi oleh sang Puyang Puru Parang mulai terusik dan mengalami gangguan. Desa mereka kedatangan kelompok maling, perampok, dan begal yang dahulu ketika mendengar nama desa itu saja sudah menjadi sangat takut dan sedikit pun tidak berani menginjakkan kaki di desa itu. Akan tetapi, kini mereka sudah mulai berani memasuki desa tersebut karena mereka sudah memiliki kesaktian sehingga mereka berani bertindak kasar dan kejam. Di antara mereka ada yang mencuri dengan sembunyi-sembunyi, ada juga di antara mereka yang tidak segan-segan menjarah dan merampok serta membegal secara terang-terangan.

Para perampok dan begal ternyata tidak segan-segan melukai anggota masyarakat yang mencoba menghalangi atau melawan mereka. Para perampok senang sekali mengganggu, bahkan menyakiti gadis-gadis desa. Gadis-gadis-gadis yang menjadi korban adalah yang orang tuanya tidak mau menyerahkan upeti kepada mereka.

Ulah para pencuri, begal, dan gerombolan perampok itu sangat meresahkan warga. Kekacauan telah terjadi di mana-mana. Masyarakat tidak lagi berani keluar malam. Kepala desa tidak lagi bisa berbuat banyak atau memiliki kekuasaan dan kekuatan untuk melawan mereka semenjak anak yang paling besarnya tewas ketika melawan para perampok itu.

Di saat melihat keadaan desa yang mulai tidak tenteram dan menjurus pada keadaan darurat keamanan, sang kepala desa teringat sesuatu. Dulu ia pernah diberi pesan oleh sang Puru Parang agar tidak panik dan bingung. Puru Parang berpesan agar dirinya berdoa dengan khusuk dan memohon pertolongan Allah Swt.. Setelah itu ia diperintahkan memanggil nama Muncit sebanyak tiga kali. Insyaallah dengan cara itu masalah akan teratasi. Kepala desa pun menuruti

31

pesan Puru parang. Ia kemudian berdoa dengan khusuk memohon pertolongan kepada Allah Swt. agar masalahnya bisa teratasi. Setelah selesai berdoa memohon pertolongan kepada Allah Swt., sang kepala desa tak lupa pula memanggil nama Muncit sebanyak tiga kali, sesuai dengan pesan sang Puru Parang

“Muncit … Muncit … Muncit …,” panggil kepala desa dengan suara yang keras dan terdengar sangat nyaring.

Tidak berapa lama setelah kepala desa memanggil nama Muncit sebanyak tiga kali, tiba-tiba suasana jadi bergemuruh seperti layaknya sebuah kereta raja lewat.

Cahaya sangat terang menyilaukan mata dan kemudian muncullah asap putih tebal yang lama-kelamaan menipis. Samar-samar berdiri tegak di hadapan sang kepala desa seekor harimau putih bersih mengilap, besar, sebesar sapi dewasa. Sambil menundukkan kepala sebagai tanda hormat, sang harimau bernama Muncit itu mendekati kepala desa.

“Ada apa gerangan Tuanku memanggil hamba? Apa yang bisa hamba bantu, Tuanku yang budiman?” tanya si harimau putih.

Kepala desa itu menatap harimau putih itu, lalu menceritakan keadaan desa yang ia pimpin sedang mengalami gangguan.

“Begini, wahai Saudaraku. Desa yang aku pimpin ini saat ini sedang dilanda keresahan dan kekacauan akibat gerombolan maling, perampok, dan begal. Mereka ada yang mencuri dengan sembunyi-sembunyi, ada yang tidak segan-segan menjarah dan merampok serta membegal dengan terang-terangan. Para perampok dan begal tidak segan-segan melukai masyarakat yang mencoba menghalangi atau melawan mereka. Bila mereka dalam posisi terdesak, mereka tega

33

menghilangkan nyawa korbannya. Sementara tidak sedikit gadis-gadis desa harus kehilangan mahkotanya,” cerita kepala desa pada si Muncit.

Mendengar cerita dan penjelasan kepala desa itu, si Muncit pun paham dan cepat tanggap. Demi menenteramkan hati kepala desa yang sedang sedih dan resah itu, Muncit pun berkata kepada kepala desa, “Tidak usah resah, sedih, dan khawatir seperti itu, wahai Tuanku yang budiman!”

Saudaraku, besok pagi silakan engkau pergi ke ujung desa sebelah timur. Lihatlah keadaan di kampung sana! Engkau pasti akan terkejut melihat yang terjadi karena di sana engkau akan temukan perampok yang kejam itu sudah meninggal semua. Tidak ada satu pun perampok yang tersisa. Hanya saja, Tuanku, pesan hamba kepada Tuanku, tolong kebumikan mayat para perampok itu layaknya Tuanku mengebumikan orang lain yang sudah meninggal dunia. Jangan sia-siakan jasad mereka meskipun mereka sudah bertindak sangat kejam kepada rakyat Tuanku. Ingat, itu pesanku kepadamu!”

“Baiklah, Muncit. Pesanmu ini akan aku laksanakan bersama warga,” kata kepala desa.

Setelah pembicaraan selesai, tiba-tiba si Muncit lenyap dari pandangan sang kepala desa. Suasana kembali sepi mencekam.

Dalam hati sang penguasa desa itu hanya bisa berkata, “Apa yang akan terjadi malam ini? Ini sungguh malam yang sangat mengerikan bagiku, seperti malam mau kiamat saja.”

Keesokan harinya kepala desa beserta seluruh anggota masyarakat pergi ke ujung kampung di sebelah timur untuk melihat kehebohan yang terjadi di sana. Warga menemukan mayat para perampok di ujung desa sebelah timur.

Sang kepala desa ingat pesan si Muncit dan kini ia kagum akan kebenaran cerita si Muncit. Dalam hati kepala desa berkata, “Ternyata benar yang sudah diceritakan si Muncit kepadaku. Seluruh perampok dan maling yang pernah menjarah harta benda warga masyarakat desaku sekarang sudah terbujur kaku.”

Kemudian kepala desa merasa sangat bersyukur kepada Allah Swt. karena lewat si Muncit musibah yang melanda desanya dapat berakhir. Kepala desa lalu menyuruh seluruh masyarakat desa menepati janjinya kepada si Muncit untuk mengebumikan seluruh jenazah perampok dan maling secara wajar.

35

“Bapak-Bapak seluruh warga desa, ayo kita kuburkan mayat-mayat perampok ini secara wajar,” kata kepala desa.

“Baiklah, Tuanku yang budiman,” jawab warga kompak.

Tidak mau berlama-lama, warga desa segera menguburkan satu per satu mayat para perampok itu secara wajar. Mereka bekerja secara bergotong royong dan saling bahu-membahu. Akhirnya, seluruh mayat telah selesai dimakamkan.

Peristiwa itu menjadi buah bibir orang-orang desa. Mereka tidak tahu kejadian sebenarnya yang menimpa para perampok yang meresahkan seluruh warga itu.

Satu tahun lamanya waktu berlalu. Akan tetapi, masyarakat belum bisa melupakan peristiwa kekacauan yang diakibatkan oleh ulah para perampok dan maling di desa itu.

Kini desa itu dihebohkan dengan adanya bercak-bercak merah, yang ternyata bercak-bercak-bercak-bercak darah, persis di depan pintu rumah warga masyarakat. Kepala desa, sang penguasa desa itu, kembali teringat akan pesan sang Puru Parang bahwa akan ada tanda-tanda

persis seperti yang sekarang ada di desa tersebut. Tanda bercak-bercak darah berarti akan datangnya musibah, yaitu penyakit yang sangat mematikan yang akan menimpa desanya.

Satu minggu setelah tanda bercak-bercak darah itu muncul, kekhawatiran kepala desa itu benar-benar terjadi. Desanya diserang wabah penyakit yang misterius dan sangat mematikan. Bahkan, kepala desa itu pun ikut terserang wabah penyakit itu. Semua tabib dan dukun yang minggu lalu dikerahkan untuk mengusir tanda-tanda merah itu kembali dipanggil untuk mengusir dan menyembuhkan penyakit.

“Wahai, para tabib dan para dukun yang saya cintai, hari ini saya kembali memanggilmu untuk membantu menyembuhkan warga dan diriku dari serangan wabah penyakit ini,” kata kepala desa.

“Baik, Tuanku yang budiman. Kami akan membantu warga dan Tuanku agar bisa sembuh dari penyakit yang sedang diderita. Kami akan berbuat semampu kami, Tuanku,” kata tabib dan dukun itu.

Para tabib, dukun, dan ustaz bahu-membahu membantu kepala desa dalam mengatasi masalah desa itu. Mereka mengerahkan segala kesaktian dan

37

kemampuan yang mereka miliki. Siang dan malam mereka bekerja dengan sekuat tenaga, baik melalui obat-obatan, amalan-amalan, maupun mantra saktinya. Akan tetapi, para dukun, ustaz, dan tabib itu tidak mampu mengatasi masalah yang sedang melanda desa itu. Mereka pun melaporkan hasil kerja mereka kepada kepala desa.

“Ampun, Tuanku yang budiman. Hamba meminta maaf kepada Tuanku. Hamba, semua dukun dan tabib, sudah bekerja keras untuk mengusir penyakit dan menyembuhkan warga. Akan tetapi, kami semua tidak sanggup mengatasinya,” kata tabib desa.

“Oh begitu. Ya, sudah, tidak apa-apa, wahai para tabib dan dukun. Terima kasih atas bantuan kalian. Meskipun kalian belum berhasil, saya tetap berterima kasih atas jerih payah kalian,” kata kepala desa.

Para tabib dan dukun itu pun pergi dari rumah kepala desa dengan perasaan bersalah. Mereka merasa gagal menolong warga dan merasa tidak berguna. Sepeninggal para dukun dan tabib itu, tiba-tiba kepala desa kembali ingat akan pesan sang Puyang Puru Parang. Bila ada kesulitan atau musibah, disarankan agar memanjatkan

nama Allah Swt. dan setelah itu memanggil si Muncit sebanyak tiga kali. Tanpa membuang-buang waktu, segera saja kepala desa itu kembali memanggil si Muncit.

“Muncit … Muncit … Muncit …,” panggil kepala desa dengan suara yang keras dan nyaring.

Tidak berapa lama setelah kepala desa memanggil nama Muncit sebanyak tiga kali, tiba-tiba suasana jadi bergemuruh seperti layaknya sebuah kereta raja lewat. Cahaya sangat terang menyilaukan mata dan kemudian muncullah asap putih tebal yang lama-kelamaan menipis. Samar-samar berdiri tegak di hadapan sang kepala desa seekor harimau putih bersih mengilap, besar, sebesar sapi dewasa. Sambil menundukkan kepala sebagai tanda hormat, sang harimau bernama Muncit itu mendekati kepala desa.

“Ada apa gerangan Tuanku memanggil hamba? Apa yang bisa hamba bantu, Tuanku yang budiman?” tanya si harimau putih.

Kepala desa itu menatap harimau putih yang tingginya sebesar sapi itu dan bercerita tentang kesengsaraan warga desanya akibat wabah penyakit yang sangat mematikan.

39

“Aku ini mau minta petunjuk kepadamu, wahai Muncit, karena saya tidak bisa mengatasi permasalahan ini sendirian. Wahai, Saudaraku Muncit, bagaimana cara mengobati warga desa dari wabah penyakit yang sangat mematikan ini? Saya tidak tahu cara mengobati diriku sendiri dan warga desaku. Dukun dan tabib sudah berusaha, tetapi tidak ada yang berhasil,” kata kepala desa kepada si Muncit.

“Tuanku yang budiman, silakan Tuanku datang ke desa seberang. Di sana Tuanku akan menemukan tabib yang insyaallah akan dapat menyembuhkan wabah penyakit ini,” kata Muncit kepada kepala desa.

“Saudaraku Muncit, dengan keadaanku sakit seperti ini, aku tidak akan sanggup untuk sampai ke desa seberang. Bagaimana menurutmu, Muncit?” tanya kepala desa kepada Muncit.

“Tuanku yang mulia, Tuanku tidak perlu datang langsung ke desa itu. Tuanku yang mulia tinggal memerintahkan anak Tuanku yang paling bungsu. Anak itu memiliki kemuliaan dan kesabaran yang tinggi. Dengan modal itu, insyaallah ia akan berhasil sampai ke tempat tabib seberang,” saran Muncit kepada kepala desa.

Setelah mendapat petunjuk dari Muncit, sedikit legalah perasaan kepala desa itu untuk menentukan langkah berikutnya.

Keesokan harinya, pesan petunjuk dari Muncit pun dilaksanakan kepala desa. Kepala desa memanggil anak bungsu mereka. Kepala desa menerangkan maksud pemanggilan anak bungsunya. Anak Bungsu kepala desa mendengarkan dengan saksama penjelasan Ayahandanya. Setelah lama dan panjang lebar menjelaskan maksud dan tujuannya memanggil anaknya, kepala desa pun bertanya kepada anaknya.

“Apakah Ananda sudah paham, dan siap melaksanakan tugas ini?”

“Saya paham Ayahanda. Demi bakti Ananda kepada Ayahanda dan warga desa, apapun yang akan Ayahanda minta, Ananda akan siap laksanakan,” kata ananda kepala desa.

“Terima kasih, Ananda. Percayalah ini tugas mulia menolong Ayahanda dan warga desa. Percayalah pada keagungan Allah Swt., bahwa semua ini sudah atas kehendak-Nya. Jadi, laksanakan tugas ini dengan niat yang tulus dan ikhlas semoga segalanya menjadi lancar dan berpahala di hadapan Allah Swt.. Jika Ananda

41

mengalami kesulitan yang luar biasa dan Ananda sudah tidak sanggup lagi untuk keluar dari kesulitan itu, jangan lupa mintalah pertolongan kepada Allah Swt. supaya dimudahkan dalam segala urusan. Kemudian, jangan lupa ikhtiar dengan memanggill nama si Muncit sebanyak tiga kali. Insyaallah pertolongan dari Allah akan datang kepadamu, Ananda,” kata kepala desa kepada si Bungsu.

“Kalau Ananda sudah memanggilnya, apa yang akan terjadi Ayahanda?” tanya si Bungsu kepada ayahandanya.

“Nanti Ananda akan tahu sendiri. Ingat, apa pun yang akan engkau temui setelah menyebut nama itu, engkau jangan takut karena melalui dialah Allah Swt. menolongmu untuk keluar dari kesulitan yang sedang engkau hadapi,” kata ayahanda kepada anaknya.

“Baiklah, Ayahanda. Besok pagi-pagi sekali Ananda akan berangkat. Ananda mohon doa restu Ayahanda. Semoga bisa lancar dalam menjalankan tugas yang Ayahanda berikan kepadaku,” kata si Bungsu.

Di dalam kamar, si Bungsu tidak bisa tidur. Ia membayangkan hal yang akan menimpa dirinya. Tugas ini ia lakukan karena rasa sayang dan bakti kepada

orang tua dan masyarakat desa. Ia membulatkan tekad untuk menghadapi semua risiko yang akan dihadapinya dalam perjalanannya nanti.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali si Bungsu, anak kepala desa, berangkat menuju desa seberang tanpa ditemani oleh siapa pun. Bukit ia lalui, sungai ia seberangi, dan hutan demi hutan ia lalui. Perjalanan ini sebenarnya sangat berat untuk anak seumuran si Bungsu. Akan tetapi, karena rasa cinta dan sayangnya kepada ayahandanya dan juga rasa baktinya kepada masyarakat, pekerjaan yang berat ini tidak ia rasakan. Semua kesulitan berhasil ia lalui dan hadapi.

Hingga pada suatu hari, sampailah ia di hutan yang sangat lebat. Karena begitu lebatnya daun-daun dari pepohonan raksasa, sedikit sekali sinar matahari yang berhasil menembus hutan itu.

Dengan rasa ragu-ragu dan takut yang luar biasa, si Bungsu mulai memasuki hutan itu. Di tengah hutan ia mulai tersesat. Ia sudah tidak tahu jalan yang harus ia lalui untuk menuju dan sampai di desa seberang. Sudah hampir satu minggu ia berputar-putar di tempat itu. Bekal sudah mulai menipis, tenaga sudah mulai kritis dan hampir habis. Keputusasaan sudah mulai menggelayuti

43

perasaannya. Ketakutan mulai membayangi dirinya. Dalam keadaan yang tidak berdaya itu, si Bungsu teringat pesan ayahandanya. Awalnya Bungsu sedikit ragu, akan tetapi keraguan ia hilangkan dari pikirannya. Bungsu pun mulai berdoa dengan khusuk memohon pertolongan kepada Allah Swt. agar dirinya bisa keluar dari masalah yang sedang ia hadapi. Selesai berdoa, bungsu berikhtiar dengan memanggil nama si Muncit sesuai pesan ayahnya.

“Muncit … Muncit … Muncit,” panggil si Bungsu dengan rasa was-was dan hati berdebar-debar menunggu yang akan terjadi di hadapannya nanti. Setelah beberapa saat lamanya menunggu, tidak terjadi apa-apa.

“Mengapa tidak terjadi apa-apa? Mengapa yang diceritakan ayahanda tidak terjadi atau karena aku kurang yakin? Demi ayahanda dan demi masyarakat desa, aku harus mencobanya lagi,” kata anak kepala desa.

Dengan penuh keyakinan dan diiringi doa kepada Allah Swt., si Bungsu anak kepala desa itu kembali memanggil si Muncit sebanyak tiga kali untuk yang kedua kalinya.

“Muncit … Muncit … Muncit.”

Tidak berapa lama, tiba-tiba suasana sekitar jadi terang-benderang. Angin berhembus sangat kencang. Kemudian, muncul asap putih tebal yang lama-kelamaan menipis. Samar-samar berdiri tegak di hadapan si Bungsu seekor harimau putih bersih mengilat sebesar sapi dewasa.

Si bungsu sangat ketakutan. Tiba-tiba, ia ingat pesan ayahandanya sehingga rasa takut itu lama-kelamaan sirna.

“Ada apa kiranya Tuanku memanggil hamba. Apa yang bisa hamba bantu, Tuanku yang budiman?”

“Be … be … begini, wahai Harimau! Aku tersesat dan tidak tahu arah yang harus dituju untuk bisa sampai di desa seberang guna menjemput tabib yang konon, kata ayahandaku, bisa menyembuhkan wabah penyakit yang sedang menyerang desaku. Sudah satu minggu aku tersesat di hutan ini, sedangkan ayah dan saudara-saudaraku sangat berharap aku dapat membawa tabib itu ke desaku. Bisakah engkau menunjukkan kepadaku jalan ke desa seberang agar aku bisa meminta tolong kepada tabib tersebut?”

45

“Baiklah, Tuanku, Anak Muda yang budiman. Hamba akan menolong Tuanku yang budiman menyelesaikan tugas yang mulia ini.”

“Lalu, bagaimana caranya?” tanya si Bungsu.

“Tuanku cukup mengikuti ranting-ranting yang hamba patahkan untuk petunjuk. Insyaallah, Tuanku yang budiman akan sampai ke tujuan,” kata si Muncit.

“Terima kasih, Muncit!”

Dengan tidak membuang waktu si Bungsu menuruti petunjuk si Muncit tadi. Anak kepala desa itu berjalan mengikuti tanda ranting yang telah dipatahkan oleh Muncit.

Dengan perasaan capai dan lelah, sampai juga anak kepala desa itu di desa seberang, tempat tabib yang disebutkan ayahandanya. Si Bungsu mencari tabib itu dan bertemulah ia dengan tabib yang dimaksud. Anak kepala desa itu mengutarakan tujuan kedatangannya kepada sang tabib.

“Maaf sebelumnya, Tuan Tabib. Kedatangan saya ke tempat Tabib mengganggu dan merepotkan Tuan Tabib. Saya datang ke mari karena diperintahkan oleh ayahanda saya. Ada hal yang sangat penting dan sangat mendesak yang perlu Tuan Tabib ketahui,” kata si Bungsu.

“Maaf sebelumnya, Anak Muda yang budiman. Anak ini siapa, dari mana asalnya, dan ada kepentingan apa kiranya sehingga bersusah payah menemui saya?” tanya tabib sakti itu.

“Oh, ya, Ki Tabib. Saya minta maaf karena sejak tadi belum memperkenalkan diri. Saya ini adalah si Bungsu, anak kepala desa seberang desa ini. Adapun maksud kedatangan saya ke sini, ke kediaman Tuan Tabib, adalah atas perintah ayahanda saya. Beliau memerintahkan saya untuk meminta tolong kepada Tuan Tabib agar Tuan sudi datang ke desa kami untuk mengobati ayahanda, saudara-saudara saya, dan masyarakat desa saya. Itulah maksud kedatangan saya, Tuan,” cerita si Bungsu kepada tabib sakti itu.

“Oh, begitu. Berarti di desa Anak Muda saat ini masyarakatnya sedang dilanda musibah? Kalau begitu saya tidak boleh terlalu lama di sini. Kita harus segera ke desamu, Anak Muda. Mereka semua harus segera ditolong. Kalau begitu, mari, Anak Muda, kita jangan berlama-lama. Bila terlambat sedikit saja bisa berbahaya,” kata tabib.

47

Setelah mendengarkan penjelasan si Bungsu, tabib itu sangat terenyuh hatinya dan terharu dengan keberanian si Bungsu. Dengan tidak membuang waktu terlalu lama, tabib sakti itu dan si Bungsu berangkat ke tempat ayahanda si Bungsu.

Dalam perjalanan pulang kembali ke desa, si Bungsu merasakan bahwa perjalanannya sangat berbeda dengan ketika dirinya datang ke desa tabib sakti itu. Saat dirinya datang ke desa tabib sakti itu, ia merasakan tempatnya begitu jauh dan sulit dijangkau. Jalan berliku-liku melalui hutan yang sangat lebat mengakibatkan dirinya tersesat dan memakan waktu yang lama. Akan tetapi, saat pulang keadaannya sangat berbeda. Jarak terasa begitu pendek dan waktu tempuh sangat cepat dan mereka tidak tersesat. Si Bungsu pun berpikir dan berkata dalam hati.

“Apakah karena kebodohanku atau karena kesaktian tabib ini sehingga perjalanan pulang ke desa lebih cepat? Ah, terserah sajalah. Yang penting, kewajiban untuk menemui tabib ini sudah aku jalankan.”

Setelah perjalanan yang tidak begitu lama, kedua orang itu, Tabib sakti dan si Bungsu, sampailah di desa yang warganya sedang dilanda musibah. Kepala desa menyambut kedatangan mereka dengan senang.

“Assalamualaikum …,” kata tabib memberi salam kepada kepala desa.

“Wa alaikum salam …,” balas kepala desa itu kepada tabib sakti. Kepala desa mempersilakan tabib sakti itu masuk dan mempersilakannya duduk.

Tidak lama menunggu, kepala desa itu pun menceritakan ihwal dirinya menyuruh si Bungsu, anaknya, untuk menemui tabib sakti itu. Tabib itu pun mendengarkan dengan saksama.

“Tuan Tabib, maksud saya menyuruh anak saya yang bungsu untuk menemui Tuan Tabib adalah untuk meminta tolong kepada Tuan Tabib. Sudilah kiranya Tuan menolong saya, saudara-saudara saya, dan seluruh warga agar selamat dari wabah penyakit yang sedang melanda desa kami,” kepala desa menjelaskan kepada tabib.

“Iya, Tuanku. Saya sudah mendengar cerita itu dari si Bungsu, anak Tuanku,” kata tabib sakti itu.

49

“Kalau begitu, mari segera kita laksanakan pengobatannya, Tuan Tabib!” kata kepala desa.

“Iya, Tuanku,” kata tabib itu.

Tabib sakti segera mempersiapkan segala keperluan

Dalam dokumen CERITA DARI SUMATRA SELATAN (Halaman 39-66)

Dokumen terkait