• Tidak ada hasil yang ditemukan

Puyang Puru Parang Mengembara

Dalam dokumen CERITA DARI SUMATRA SELATAN (Halaman 25-39)

Perasaan bosan dan monoton dirasakan dalam kehidupan sehari-hari, perlu keberanian dan kemauan untuk keluar dan cari pengalaman baru. Puyang Ri Bujang mengalami rasa itu. Perasaan itu diutarakan Puru Parang kepada orang tuanya dan juga kepada saudara-saudaranya.

“Ayahanda, apakah Ayahanda pernah merasakan bosan?” kata Ri Bujang dalam suatu kesempatan ketika dirinya sedang duduk-duduk bersama ayahandanya dan keenam saudaranya.

“Apa maksud pertanyaanmu, Anakku yang bungsu? Ayah kadang-kadang juga merasakan hal itu, Anakku, tetapi mengapa hal itu kautanyakan kepada Ayah secara tiba-tiba, ada apa?” tanya ayah Ri Bujang.

“Ayah, Ananda ingin sekali mencari pengalaman ke dunia luar. Apakah Ayahanda mengizinkan?” tanya Ri Bujang.

“Kalau memang itu kehendakmu yang tidak bisa ditahan, Ayah mengizinkan Ananda pergi merantau.”

Mendengar permintaannya diizinkan oleh ayahnya, hati Ri Bujang sangat senang dan berkali-kali mengucapkan terima kasih.

Pada suatu ketika, pada hari yang direncanakan, sang Puyang Puru Parang pun turun gunung untuk merantau. Akan tetapi, sebelum pergi merantau, terlebih dahulu sang Puru Parang bersujud kepada kedua orang tuanya seraya memohon doa restu agar selama merantau ia mendapatkan kemudahan.

“Ayahanda, Bungsu pamit mengembara dahulu. Mohon doa restunya,” kata Puru Parang.

“Ayahanda selalu memberi restu, Anakku. Hati-hati di jalan,” kata ayah Puru Parang.

Setelah mendapat restu dari ayahandanya, Puyang Puru Parang pun berpamitan dengan ayahandanya dan pergi dengan perasaan gembira serta langkah yang semakin mantap.

Dalam pengembaraan, dia melewati hutan yang lebat dan menyeramkan, pegunungan dan bukit yang tinggi, lembah yang curam, hingga sungai yang dalam dan deras arusnya. Semua keadaan alam tersebut dilaluinya dengan perasaan gembira karena keinginannya mengenal dunia luar terpenuhi. Rasa takut yang biasanya dirasakan oleh orang yang belum biasa pergi mengembara tidaklah tampak pada raut wajahnya.

17

“Alangkah senangnya hatiku bisa pergi mengembara ke mana aku suka. Aku merasakan entengnya langkah kakiku ini,” Puyang Puru Parang berkata sendiri dalam hati.

Perjalanan yang telah ditempuh Puyang Puru Parang sebenarnya sudah sangat jauh, tetapi Puyang Puru Parang tidak merasakannya atau tidak menganggapnya sebagai beban. Saat ini perasaan yang ada dalam diri Puru Parang adalah gembira.

Hari telah berganti hari. Tanpa terasa sudah seminggu perjalanan yang ia tempuh, tetapi belum satu desa pun ia temukan.

Setelah sekian lama Puru Parang berada di hutan, sang Puru Parang tumbuh menjadi seorang yang cerdas, mandiri, dan dewasa. Memang sejak kecil ia sudah terbiasa berteman dengan binatang dan penghuni hutan sehingga berkelana dalam hutan sudah menjadi hal yang biasa baginya. Ia tidak merasa takut.

Hingga pada suatu hari, Puyang Puru Parang sampai di suatu desa yang kelihatannya sudah maju. Dengan penuh kekaguman dan rasa penasaran, Puru Parang mengamati keadaan sekelilingnya dengan saksama.

Melihat keadaan desa tersebut sedemikan maju, sang Puyang Puru Parang sangat senang. Puru Parang berkata dalam hati, “Kalau desa ini sedemikian majunya, tertib, makmur, aman dan nyaman, kepala dusunnya pasti orang yang adil dan amanah.”

Agar pengembaraannya tidak diketahui banyak orang, diputuskanlah oleh Puyang Puru Parang untuk melakukan penyamaran. Dia menyamar menjadi seorang yang sangat miskin dan sedang dalam kelaparan.

Sang Puyang Puru Parang berpakaian compang-camping dan berdandan sangat kotor sehingga menimbulkan kesan sangat menjijikkan. Ditambah lagi, badannya penuh dengan penyakit panu, kadas, kudis, dan kurap.

19

Di sebuah tempat, tidak jauh dari desa, tampak sebuah rumah yang bagus dan asri dengan halaman yang tertata dengan baik. Suasana sekeliling rumah itu sangat sejuk, nyaman, dan bersih.

Puru Parang memperhatikan dengan saksama orang yang ada di depan rumah. Setiap orang yang lewat di depannya terlihat selalu memberi sapaan dengan rasa penuh hormat kepada orang itu. Puru Parang bertanya dalam hati, “Siapakah gerangan orang itu?” Lama dia memperhatikan penghuni rumah itu. Akhirnya penghuni rumah pun masuk.

Sang Puyang Puru Parang melangkah menghampiri rumah orang yang ramah itu dan mengetuk pintu rumahnya. Penghuni rumah keluar membukakan pintu rumah.

Betapa terkejutnya penghuni rumah melihat orang yang datang dan mengetuk pintu rumahnya. Dengan saksama penghuni rumah itu memperhatikan keadaan tamunya. Dalam hatinya ia bergumam, “Alangkah kotor dan kumalnya badan orang ini, penuh luka penyakit kadas, kudis, dan panu sehingga ia sangat bau. Alangkah menyedihkan keadaan orang ini!”

Lama tertegun melihat keadaan Puyang Puru Parang, penghuni rumah itu akhirnya dengan tenang dan sabar mempersilakan sang Puyang Puru Parang untuk masuk ke dalam rumah.

“Silakan masuk, Ki Sanak!” kata penghuni rumah. “Iya, Tuanku,” kata Puru Parang.

Kemudian, seperti tanpa rasa canggung dan tanpa ada rasa curiga, sang pemilik rumah mempersilakan Puyang Puru Parang untuk mandi dahulu agar badannya yang kotor menjadi bersih. Penghuni rumah dengan cepat mengambilkan peralatan mandi seperti handuk, sabun, dan pakaian, lalu memberikannya kepada tamunya tersebut.

Puyang Puru Parang masih dalam posisi terkagum-kagum mendapat sambutan dan pelayanan yang baik dari pemilik rumah. Dengan perasaan ragu dan malu-malu Puru Parang pun menerima semua pemberian pemilik rumah.

Selama di kamar mandi, Puru Parang memperhatikan sekelilingnya. Ia bergumam dalam hati, “Si pemilik rumah ini sepertinya orang yang pembersih. Lihat saja lantai, dinding, dan bak mandinya. Semuanya dalam keadaan

21

bersih. Peralatan mandi ini juga masih baru. Baju yang diberikan kepadaku juga masih baru. Sebenarnya dia siapa, ya?” Puru Parang masih bergumam sendiri.

Semuanya tidak berlangsung lama. Mandi sudah dan berpakaian juga sudah. Kemudian, Puru Parang pun bergegas menuju ke ruang tamu untuk menemui pemilik rumah. Akan tetapi, betapa terkejutnya sang Puyang Puru Parang ketika ia hendak menuju ruang tamu. Ia melihat pemilik rumah sudah menunggunya di meja makan untuk makan bersama.

Pemilik rumah sepertinya biasa saja sikap dan tingkahnya, seakan ia tanpa canggung dan tidak merasa jijik. Dengan tenangnya ia menerima kehadiran Puru Parang yang dalam keadaan berpenyakitan tersebut. Pemilik rumah mempersilakan sang Puyang Puru Parang untuk duduk dan makan.

Sang Puyang Puru Parang membuka piring di atas meja makan dengan tenang dan sopan. Diambilnya nasi dengan hati-hati. Kemudian, nasi dan lauk-pauk sudah di piringnya. Sambil menikmati makanan yang dihidangkan, sang Puyang Puru Parang dalam hatinya masih bertanya-tanya. Sebenarnya siapakah orang

23

yang telah menyambutnya dengan sangat baik dan sopan ini? Setelah selesai makan, pemilik rumah pun bertanya kepada sang Puyang Puru Parang.

“Oh ya, wahai Saudaraku. Siapakah gerangan engkau sebenarnya dan hendak bermaksud apa datang ke rumahku? Lalu, apa yang menimpamu sehingga dirimu seperti ini? Mengapa keadaanmu bisa seperti ini, Saudaraku?” tanya penghuni rumah kepada Puyang Puru Parang.

Mendengar pertanyaan seperti itu, sang Puyang Puru Parang pun terdiam dan berpikir sejenak. Tidak lama kemudian sang Puyang Puru Parang menceritakan dirinya kepada pemilik rumah.

“Wahai, Tuanku yang agung. Hamba ini adalah seorang pengembara dari daerah yang sangat jauh dari sini. Hamba berjalan ke sana ke mari tanpa tujuan. Hamba kehabisan uang dan bekal. Oleh karena itu, hamba menjadi seorang pengemis dan sekarang hamba sedang diserang penyakit yang bisa Tuanku lihat. Maksud kedatangan hamba kemari adalah untuk meminta sedikit uang atau bekal dan nasi untuk sekadar mengganjal perut yang sudah lama tidak terisi apa-apa, kecuali air sungai. Hamba sangat membutuhkan uang

untuk mengatasi kesulitan. Hamba tidak memiliki uang guna mengobati penyakit hamba ini,” jawab sang Puru Parang dengan nada pelan dan wajah memelas.

“Oh, begitu. Wahai, Saudaraku, malang nian nasibmu! Perkenalkan, orang menyebut saya Kepala Dusun,” kata pemilik rumah memperkenalkan diri kepada Puru Parang.

“Iya, Pak. Jadi, Bapak ini kepala desa, ya? Begitulah, Pak. Tujuan saya mengembara adalah mencari orang yang bisa mengobati penyakit kulit saya ini,” cerita Puru Parang.

Mendengar cerita sang Puru Parang yang begitu menyedihkan, hati pemilik rumah tersentuh dan merasakan kesusahan yang sedang menimpa tamunya itu. Pemilik rumah yang tidak lain adalah kepala desa itu lalu pergi ke kamar menemui istrinya dan menyuruh istrinya ke belakang untuk menyiapkan sesuatu. Puru Parang memperhatikan segala tingkah laku kepala desa dan istrinya dari ruang tamu. Setelah semuanya selesai, si pemilik rumah kembali menemui si Puyang Puru Parang.

“Ini ada nasi dan lauk sebagai bekal kamu di perjalanan nanti, ya, dan ini ada sedikit uang untuk berobat.”

25

Mendengar pemilik rumah berkata dengan sangat sopan dan melihat ketulusannya dalam memberi nasi, lauk, dan uang, hati sang Puyang Puru Parang sangat terharu. Ia berkata dalam hati, “Alangkah baiknya hati dan perasaan orang ini, pantas saja desa ini maju dan makmur.”

Untuk mengobati rasa penasaran dan untuk meyakinkan hatinya akan status si pemilik rumah, sang Puru Parang memberanikan diri untuk bertanya kepada pemilik rumah itu untuk ke sekian kalinya.

Diamnya Puru Parang ternyata diperhatikan oleh kepala desa itu. Lalu, kepala desa itu malah balik bertanya kepada Puru Parang.

“Ada apa, wahai Puru Parang, Saudaraku, hingga dirimu terdiam saja dari tadi?” tanya kepala desa.

“Sebelumnya saya minta maaf atas kelancangan saya ini. Begini, Pak. Saya mau bertanya tentang sesuatu kepada Bapak. Apakah Bapak berkenan?” Puru Parang sepertinya ragu untuk mengajukan pertanyaan.

“Ada apa, wahai Saudaraku? Apa yang hendak kamu tanyakan kepadaku?”

“Sebenarnya Tuanku ini siapa dan mengapa orang-orang di sekitar tempat tinggal Tuanku begitu hormat kepada Tuanku?”

“Oh, itu. Begini, wahai Saudaraku. Tadi ’kan saya sudah memperkenalkan diri, barangkali lupa ya? Memang orang-orang di sekitar tempat tinggalku ini hormat kepadaku karena aku di sini orang yang dituakan. Jadi, aku dijadikan kepala desa. Jadi begitu, Saudaraku.”

Puyang Puru Parang menjadi plong hatinya setelah mendengarkan penjelasan dari orang yang telah melayaninya dengan baik ini dan sekarang lebih plong lagi hatinya setelah mengetahui identitas orang tersebut. Puyang Puru Parang pun berkata dalam hatinya, “Jadi, orang yang selama ini bersamaku ini adalah seorang kepala desa. Pantas saja desa yang ia pimpin maju dan makmur karena ia seorang pemimpin yang adil dan bijaksana.”

Sebelum Puyang Puru Parang pergi meninggalkan rumah sang penguasa atau kepala desa, ia berpesan kepada kepala desa itu sebagai bentuk balas budi atas segala kebaikannya selama ini.

“Wahai Tuanku kepala desa, untuk membalas segala kemuliaan hati Tuanku, hamba akan memberikan sesuatu untuk Tuanku sebagai rasa terima kasih hamba. Jika kelak di kemudian hari Tuanku, anak cucu Tuanku, dan rakyat desa ini mengalami kesusahan atau ditimpa

27

musibah maka tuanku tidak usah bingung. Tuanku cukup berdoa dan meminta pertolongan kepada Allah Swt. dengan khusuk. Akan tetapi, setelah itu Tuanku jangan lupa panggil nama Si Muncit sebanyak tiga kali. Insyaallah pertolongan Allah akan datang melalui seekor harimau putih yang akan menyelesaikan masalah Tuanku. Itu pesan yang pertama, Tuanku. Selanjutnya, jika kelak desa ini kembali ditimpa musibah dengan adanya bercak-bercak merah seperti darah berwarna merah, Tuanku dan seluruh warga desa ini agar mempersiapkan diri untuk menghadapi musibah tersebut.”

“Oh, jadi begitu hadiahnya, wahai Saudaraku,” kata kepala desa.

Kemudian, pemilik rumah mengantarkan sang Puru Parang sampai di halaman rumahnya. Kepala desa merenung setelah mendengarkan pesan si Puyang Puru Parang dengan baik dan serius. Sampai-sampai setelah sang Puyang Puru Parang pergi, kepala desa itu masih termenung. Sadar-sadar hari sudah malam, keadaan sudah sepi, dan Puyang Puru Parang sudah tidak ada lagi di hadapannya. Sang kepala desa hanya bisa bersyukur dalam hati karena ia telah diberi kesempatan untuk beribadah dengan berbuat baik dan menolong sesama.

29

Dalam dokumen CERITA DARI SUMATRA SELATAN (Halaman 25-39)

Dokumen terkait