• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendahuluan

Ikan brek merupakan salah satu ikan konsumsi di Sungai Serayu dengan sebaran yang luas. Jenis ini merupakan ikan yang hidup di perairan umum dengan status belum termasuk langka namun di beberapa tempat populasinya sudah ber-kurang. Di wilayah Jawa Barat, jenis ikan ini lebih dikenal dengan nama lalawak yang dapat ditemukan di Sungai Cimanuk Kabupaten Sumedang (Luvi 2000; Rahardjo & Sjafei 2004). Di wilayah ini, masyarakat mengelompokkan ikan lala-wak menjadi dua berdasarkan bentuk dan ukuran tubuhnya, yaitu lalalala-wak jengkol dan lalawak biasa (Yulfiperius 2006). Di Jawa Tengah, ada pula yang menyebut-nya dengan nama ikan tawes merah (Utomo et al. 2008), sedangkan di Kaliman-tan dikenal dengan nama salap merah (Weber & de Beaufort 1916).

Untuk mengetahui kepastian suatu spesies ikan selain berdasarkan morfo-logi dan karakter meristik juga digunakan karakter morfometrik melalui analisis diskriminan (Haryono 2006). Menurut Defira (2004), berdasarkan nisbah 25 ka-rakter morfometrik ketiga jenis lalawak di Sumedang menunjukkan persamaan, begitu pula dari hasil analisis PCA juga tidak terjadi pengelompokan yang nyata.

Ikan brek sebelumnya termasuk ke dalam genus Puntius yang sangat kompleks dengan perbedaan karakter yang tinggi pada bentuk tubuh, pola warna, dan ukuran. Genus Puntius termasuk ke dalam suku Cyprinidae yang merupakan ikan air tawar dengan anggota yang besar di kawasan tropis Asia (Shantakumar & Vishvanath 2006). Di perairan Indonesia anggota Puntius mencapai 33 jenis (Haryono 2001). Kelompok ikan ini berperan penting sebagai sumber protein hewani (Smith 1945; Champasri et al. 2007).

Ikan brek berkerabat dekat dengan ikan tawes yang sudah umum dibudi-dayakan oleh masyarakat. Kottelat et al. (1993) mengelompokkan Puntius menja-di empat genera yang berbeda berdasarkan struktur sisik pada gurat sisi, yaitu Puntius, Poropuntius, Puntioplites, dan Barbodes. Genera Barbodes dicirikan oleh sisik linea lateralis yang strukturnya memiliki beberapa jari-jari sejajar atau melengkung ke ujung, dan sedikit atau tidak ada proyeksi jari-jari ke samping. Genera Barbodes telah direvisi menjadi Barbonymus (Kottelat 1999; Kottelat & Widjanarti 2005).

Pengelolaan sumber daya perikanan memerlukan informasi tentang kepas-tian nama spesies ikan yang akan dikelola. Mengingat ikan brek secara ilmiah merupakan pecahan dari genus Puntius yang kompleks maka status taksonominya perlu dikaji terlebih dahulu. Weber & de Beaufort (1916) menyebutkan bahwa berdasarkan nama lokalnya brek mempunyai nama ilmiah (Puntius orphoides). Tujuan penelitian ini melakukan kajian terhadap karakter morfologi yang mencakup meristik dan morfometrik ikan brek yang berasal dari Sungai Serayu.

15 Bahan dan Metode

Penelitian dilakukan di Sungai Serayu wilayah Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Lokasi penelitian, karakteristik habitat, dan teknik pengambilan sampel ikan brek secara rinci dijelaskan pada Bab 2. Di laboratorium sampel ikan tersebut dicuci dan direndam dalam air, lalu dipindahkan ke dalam larutan akohol 70%. Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap karakter morfologi yang meli-puti meristik, morfometrik, dan pola warna.

Karakteristik yang diamati meliputi struktur sisik, jumlah rigi pada bagian belakang duri terakhir sirip dorsal, jumlah jari-jari pada sirip dorsal, anal, ventral, dan sirip pektoral, jumlah sisik pada bagian tubuh tertentu yaitu sebelum sirip dor-sal (predordor-sal), gurat sisi, pada batang ekor, dan karakter morfologi lainnya (pola warna). Karakter morfometrik mencakup 24 karakter (Tabel 5 dan Gambar 6) yang diukur menggunakan kaliper digital dengan ketelitian 0,01 mm.

Tabel 5. Karakter morfometrik yang diamati pada ikan brek dan kerabatnya No. Kode Karakter Singkatan

1 N1 Panjang total PT/PB

2 N2 Panjang sebelum sirip dorsal PSSD/PB 3 N3 Panjang sebelum sirip anal PSSA/PB 4 N4 Panjang sebelum sirip ventral PSSV/PB

5 N5 Panjang kepala PK/PB

6 N6 Lebar badan LB/PB

7 N7 Tinggi badan pada awal sirip dorsal TBASD/PB 8 N8 Tinggi badan diatas anus TBAA/PB 9 N9 Tinggi batang ekor TBE/PB 10 N10 Panjang batang ekor BPE/PB 11 N11 Panjang dasar sirip dorsal PDSD/PB 12 N12 Panjang dasar sirip anal PDSA/PB 13 N13 Panjang dasar sirip ventral PDSV/PB 14 N14 Panjang sirip ventral PSV/PB 15 N15 Panjang sirip pektoral PSP/PB 16 N16 Panjang cagak atas PCA/PB 17 N17 Panjang cagak bawah PCB/PB 18 N18 Tinggi kepala TK/PB

19 N19 Lebar kepala LK/PB

20 N20 Panjang moncong PM/PB 21 N21 Diameter mata DM/PB 22 N22 Jarak antar mata LAM/PB 23 N23 Panjang sungut moncong PSM/PB 24 N24 Panjang sungut rahang atas PSRA/PB

Hasil pengukuran tersebut dibakukan terhadap panjang baku sebelum dila-kukan analisis. Untuk mendapatkan data pembanding, pengukuran diladila-kukan pula terhadap kerabat dekat ikan brek, yaitu Puntius orphoides dan Barbonymus gonio-notus. Spesimen kedua jenis ikan tersebut merupakan koleksi ilmiah Museum Zoologi Bogor (MZB 5053, MZB 10012, MZB 10050, dan MZB 10053). Analisis data morfometrik dilakukan menggunakan bantuan perangkat lunak program SPSS (Statistical Program for Social Science).

16

Gambar 6. Karakter morfometrik ikan brek dan kerabatnya

Struktur sisik diamati dengan cara mengambil sebagian ikan sampel, lalu di-cabut sisik pada gurat sisi (linea lateralis) sebelah kanan yang bertepatan dengan awal sirip punggung. Pengamatan dilakukan di bawah mikroskup binokuler dan difoto menggunakan kamera digital. Bagian sisik yang diamati adalah bentuknya, struktur pada bagian depan (anterior), belakang (posterior), pusat sisik (fokus), jari-jari sisik, dan ruang antar jari-jari (lamella) (Gambar 7).

Gambar 7. Bagian struktur sisik ikan brek yang diamati

Pengamatan rigi pada duri sirip dorsal dilakukan dengan cara menghitung langsung pada duri tersebut yang dimulai dari pangkal sampai ujung duri. Untuk membantu ketelitian dalam menghitung dibantu dengan menggunakan kaca pembesar pada kepala (headloop).

Posterior

Anterior Fokus

17 Hasil

Hasil pengamatan pola warna ikan brek tidak terdapat karakter berupa bercak hitam pada pangkal ekor, bercak merah pada tutup insang, dan garis hitam pada tepi sirip ekor. Sebaliknya karakter tersebut dimiliki oleh Puntius orphoides (Gambar 8),

Gambar 8. Perbedaan morfologis antara B. balleroides (kiri) dan P. orphoides (kanan)

Hasil pengamatan karakter morfologi ikan brek secara meristik tertera pada Tabel 6. Ikan yang diamati berjumlah 224 ekor dengan kisaran panjang baku 91,18-173,62 mm.

Tabel 6. Karakter meristik dan morfologi ikan brek Sungai Serayu

Karakter B. balleroides Puntius orphoides

Weber & de Beaufort (1916)

Pengamatan Weber & de Beaufort (1916) Sirip dorsal 4.8 4.8 4.8 Sirip anal 3.5 3.5 3.5 Sirip pektoral 1.14-16 1.14-16 1.14-16 Sirip ventral 2.8 1-2.8 1.8 Gurat sisi 31-34 27-32 28-31

Sisisk di depan sirip dorsal 11 sd. 13 10 sd. 13 10 sd .11

Batang ekor 16 16 16

Panjang tubuh maksimal 300 mm 309 mm 250 mm Bercak pada pangkal ekor Tidak ada Tidak ada Ada Garis pada tepi ekor Tidak ada Tidak ada Ada Bercak pada tutup insang Tidak ada Tidak ada Ada

Jumlah ikan brek yang diamati secara morfometrik sebanyak 57 ekor dengan panjang baku 92,73±16,84 mm (Tabel 7). Untuk pembanding digunakan ikan tawes (B. gonionotus) dengan panjang baku 95,26 mm, dan P. orphoides dengan panjang baku 72,76 mm.

18

Tabel 7. Hasil pengukuran karakter morfometrik ikan brek dan kerabatnya setelah dibakukan terhadap panjang baku (mm)

Karakter

B. balleroides P. orphoides B. gonionotus

n= 57 (PB: 92,73±16,84 mm) n= 11 (PB: 72,76±35,26 mm) n= 12 (PB: 95,26±22,19 mm)

Rata-rata Min Max

Simp. baku

Rata-rata Min Max Simp.

baku

Rata-rata Min Max Simp. baku PT 1,307 0,031 1,503 0,325 0,859 0,031 1,503 0,689 0,781 0,031 1,503 0,617 PSSD 0,519 0,017 0,645 0,129 0,356 0,017 0,645 0,280 0,326 0,017 0,645 0,260 PSSA 0,685 0,018 0,785 0,169 0,453 0,018 0,785 0,361 0,409 0,018 0,785 0,322 PSSV 0,478 0,015 0,585 0,120 0,320 0,015 0,585 0,257 0,297 0,015 0,585 0,236 PK 0,258 0,014 0,323 0,064 0,172 0,014 0,323 0,136 0,163 0,014 0,323 0,129 LB 0,152 0,017 0,229 0,041 0,117 0,017 0,229 0,091 0,112 0,017 0,229 0,087 TBSAD 0,365 0,015 0,474 0,092 0,259 0,015 0,474 0,206 0,237 0,015 0,474 0,189 TBAA 0,258 0,012 0,339 0,066 0,183 0,012 0,339 0,145 0,169 0,012 0,339 0,134 TBE 0,131 0,007 0,164 0,032 0,091 0,007 0,164 0,071 0,084 0,007 0,164 0,065 PBE 0,163 0,010 0,237 0,043 0,109 0,010 0,237 0,088 0,112 0,010 0,237 0,092 PDSD 0,180 0,016 0,238 0,049 0,120 0,016 0,238 0,091 0,119 0,016 0,238 0,092 PDSA 0,123 0,011 0,168 0,032 0,087 0,011 0,168 0,067 0,083 0,011 0,168 0,065 PSV 0,212 0,014 0,256 0,052 0,141 0,014 0,256 0,109 0,132 0,014 0,256 0,101 PSP 0,227 0,014 0,275 0,057 0,148 0,014 0,275 0,114 0,140 0,014 0,275 0,109 PCA 0,354 0,026 0,482 0,099 0,246 0,026 0,482 0,191 0,238 0,026 0,482 0,187 PCB 0,354 0,026 0,464 0,101 0,244 0,026 0,464 0,187 0,233 0,026 0,464 0,180 TK 0,210 0,010 0,259 0,052 0,142 0,010 0,259 0,111 0,132 0,010 0,259 0,104 LK 0,150 0,010 0,194 0,038 0,106 0,010 0,194 0,082 0,098 0,010 0,194 0,076 PM 0,074 0,006 0,103 0,019 0,051 0,006 0,103 0,040 0,050 0,006 0,103 0,040 DM 0,076 0,010 0,106 0,021 0,054 0,010 0,106 0,041 0,053 0,010 0,106 0,040 JAM 0,099 0,006 0,135 0,026 0,072 0,006 0,135 0,055 0,067 0,006 0,135 0,053 PSM 0,073 0,013 0,120 0,036 0,052 0,013 0,120 0,041 0,058 0,013 0,120 0,043 PSRA 0,089 0,015 0,154 0,037 0,063 0,015 0,154 0,051 0,072 0,015 0,154 0,056 PRA 0,072 0,007 0,114 0,019 0,052 0,007 0,114 0,042 0,053 0,007 0,114 0,043

Sisik ikan brek dari Sungai Serayu mempunyai bentuk yang cenderung membulat dan struktur jari-jari pada bagian posterior melengkung. Bagian lamella yaitu ruang antara jari-jari anterior dan posterior cukup lebar, struktur pipa pada bagian fokus tidak sejelas kerabatnya, yaitu Barbonymus gonionotus dan Puntius orphoides (Gambar 9).

Barbonymus balleroides Barbonymus gonionotus Puntius orphoides

19 Berdasarkan hasil analisis diskriminan hanya sembilan karakter yang membedakan ikan brek dengan kedua kerabat dekatnya. Karakter yang dimaksud adalah panjang sungut moncong (PSM), panjang total (PT), tinggi badan pada awal sirip dorsal (TBSAD), panjang kepala (PK), tinggi batang ekor (TBE), panjang sebelum sirip dorsal (PSSD), lebar badan (LB), panjang moncong (PM), dan diameter mata (DM). Ketiga jenis tersebut terpisah secara sempurna, yaitu masing-masing mengelompok dengan persentase 100% (Tabel 8 dan Gambar 10). Tabel 8. Pola pengelompokan ikan brek dan kerabatnya

B. balleroides P. orphoides B. gonionotus Total Jumlah individu: B. balleroides 57 0 0 57 P. orphoides 0 11 0 11 B. gonionotus 0 0 12 12 Persentase: B. balleroides 100 0 0 100 P. orphoides 0 100 0 100 B. gonionotus 0 0 100 100

Gambar 10. Pola pengelompokan ikan brek dan kerabatnya

Jumlah rigi pada duri sirip dorsal ikan brek dari Sungai Serayu diperoleh 11 tingkatan dengan kisaran antara 14-24 buah. Jumlah rigi yang paling banyak ada-lah 21 buah yang terdapat pada 120 ekor, diikuti 20 buah pada 58 ekor, dan 22 buah pada 20 ekor (Gambar 11 dan Tabel 9). Terdapat beberapa jumlah rigi yang hanya ditemukan pada satu ekor ikan, yaitu dengan jumlah 14, 15, dan 18 buah.

20

Tabel 9. Jumlah rigi pada bagian belakang duri sirip punggung ikan brek

Nomor Jumlah Rigi Jumlah Ikan

1 14 1 2 15 1 3 16 2 4 17 3 5 18 1 6 19 8 7 20 58 8 21 120 9 22 20 10 23 6 11 24 4 Pembahasan

Puntius merupakan genera yang kompleks dengan anggota berukuran tu-buh kecil sampai sedang. Mengingat jumlah anggotanya yang banyak dengan ka-rakter sangat bervariasi maka telah dilakukan revisi oleh Kottelat et al. (1993), ya-itu berdasarkan struktur sisik pada gurat sisi. Menurut Ganzon et al. (2012), sisik merupakan bagian tubuh yang penting untuk mempelajari morfologi ikan dian-taranya dalam identifikasi dan klasifikasi. Struktur sisik, salah satunya dapat membantu memperjelas mengenai jenis ikan (status taksonominya).

Sisik ikan brek dari Sungai Serayu memiliki bentuk membulat dengan struktur jari-jari pada bagian posterior tidak tampak jelas (Gambar 9). Menurut Ganzon et al. (2012), bentuk sisik ikan anggota Cyprinidae antara lain segi empat, segi lima, membulat, kubus, dan memanjang. Struktur sisik ikan brek dari Serayu cenderung mirip dengan anggota Barbodes yang telah direvisi namanya menjadi Barbonymus (Kottelat 1999; Kottelat & Widjanarti 2005), yaitu mempunyai pola sejajar atau melengkung ke ujung, sedikit atau tidak ada proyeksi jari-jari ke sam-ping. Karakter pendukungnya adalah keberadaan tonjolan yang sangat kecil atau memanjang dari tulang mata sampai ke moncong dan dari dahi ke antara mata. Berdasarkan struktur sisik tersebut maka ikan brek dari Serayu mempunyai kecenderungan termasuk ke dalam genera Barbonymus. Padahal jika mengacu kepada Weber & de Beaufort (1916) yang dimaksud dengan ikan brek adalah P. orphoides. Hal inilah yang menyebabkan perlu ditelusuri lebih jauh mengenai karakter morfologi ikan brek dari Serayu baik secara meristik maupun morfo-metrik. Pada Gambar 9 dapat dilihat bahwa struktur sisik ikan brek mempunyai kemiripan yang lebih dekat dengan ikan tawes (B. gonionotus) dibandingkan dengan P. orphoides yang strukturnya seperti jari-jari roda.

Selain dari struktur sisik, jumlah rigi-rigi pada bagian belakang duri ter-akhir sirip dorsal ikan brek juga lebih dekat ke jenis B. balleroides, yaitu mempu-nyai kisaran sekitar 20 buah. Sebaliknya untuk P. oprhoides rigi-rigi tersebut jum-lahnya sekitar 30 buah (Weber & de Beaufort 1916). Jumlah rigi yang paling ba-nyak dijumpai adalah pada level 21 buah yaitu sebaba-nyak 120 ekor, diikuti 20 buah pada 58 ekor, dan 22 buah pada 20 ekor. Dengan demikian kisaran jumlah rigi du-ri sidu-rip dorsal yang paling banyak adalah antara 20-22 buah. Hasil penghitungan

21 ini menunjukkan bahwa ikan brek dari Sungai Serayu Banjarnegara mempunyai kedekatan dengan B. balleroides dibandingkan dengan P. orphoides.

Kecenderungan ikan brek sungai Serayu lebih dekat ke jenis B. balleroides juga ditunjukkan oleh karakter jumlah sisik di depan sirip dorsal yaitu antara 10-13 buah dan kisaran menurut Weber & de Beaufort (1916) yaitu antara 11-10-13 bu-ah, sebaliknya untuk P. orphoides antara 10-11. Jumlah yang paling banyak di-jumpai adalah 12 sisik, oleh karena itu sudah di luar kisaran untuk P. orphoides.

Kepastian status spesies ikan brek di Sungai Serayu dapat dilihat dari hasil analisis diskriminan. Berdasarkan hasil analisis terhadap 24 karakter morfometrik diketahui hanya sembilan karakter yang dapat membedakan. Tiga karakter yang utama adalah panjang sungut moncong (PSM), panjang total (PT), dan tinggi ba-dan pada awal sirip punggung (TBSAD). Ikan brek dari Serayu memiliki sungut moncong yang lebih panjang (0,073 mm % PB) dibandingkan P. orphoides (0,058 mm % PB) dan B. gonionotus (0,052 mm % PB) (Tabel 7). Pada Gambar 10 dapat dilihat bahwa antara B. balleroides dan P. orphoides tidak ada satu ekorpun yang saling berkaitan. Hal ini menunjukkan bahwa kedua jenis tersebut merupakan spe-sies yang berbeda, terlebih lagi bila dibandingkan dengan B. gonionotus.

Simpulan

Berdasarkan karakter morfologis (meristik dan morfometrik) ikan brek yang terdapat di Sungai Serayu adalah Barbonymus balleroides. Jenis ini terpisah secara sempurna dengan dua kerabatnya, yaitu Puntius orphoides dan Barbo-nymus gonionotus.

22

4 POLA PERTUMBUHAN IKAN BREK (Barbonymus

balleroides Val. 1842)

Pendahuluan

Ikan brek mempunyai sebaran yang luas, di Indonesia meliputi Jawa dan Kalimantan. Jenis ikan ini dapat dijumpai di perairan waduk maupun sungai (Mohsin & Ambak 1983). Penelitian mengenai ikan brek telah dilakukan di be-berapa lokasi misalnya di Sungai Cimanuk, Waduk Lahor, Waduk Jatiluhur, dan Waduk Gadjah Mungkur. Namun di Serayu, sampai saat ini ikan brek belum ba-nyak diteliti terlebih mengenai pola pertumbuhan. Padahal dengan kondisi ling-kungan yang berbeda dapat terjadi pola pertumbuhan yang bervariasi.

Dalam rangka pelestarian dan pengelolaan memerlukan informasi biologi dasar dari spesies dan habitatnya. Mengingat brek merupakan ikan ekonomis pen-ting dan informasi mengenai aspek biologi pada habitat yang terfragmentasi masih minim maka telah dilakukan penelitian. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji pola pertumbuhan dan faktor kondisi di perairan Sungai Serayu kawasan hulu.

Bahan dan Metode

Penelitian dilakukan pada kawasan hulu Sungai Serayu di wilayah Kabu-paten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi penelitian, karakteristik habi-tat, dan teknik pengambilan sampel ikan brek secara rinci dapat dilihat pada Bab 2.

Panjang total (TL) setiap individu diukur menggunakan kaliper digital de-ngan ketelitian 0,01 mm, sedangkan bobot tubuh ditimbang menggunakan tim-bangan digital dengan ketelitian 0,0001 g. Semua spesimen dibedah pada bagian perut dan diamati gonad untuk menentukan jenis kelaminnya dengan mengacu ke-pada Effendie (1979). Sebaran frekuensi panjang dianalisis berdasarkan kedua jenis kelamin menggunakan bantuan program Excel. Begitu pula untuk sebaran normal dibuat berdasarkan data frekuensi panjang dari setiap sampel menurut jenis kelaminnya juga menggunakan komputer analisis (Microsoft Excel). Distri-busi normal setiap komponen diasumsikan mewakili setiap kelompok umur dalam populasi tersebut. Luaran dari analisis ini mencakup nilai rata-rata panjang total, simpangan baku, dan proporsi setiap kelompok umur yang dijelaskan dengan distribusi normal setiap komponen. Analisis data mencakup:

Hubungan antara panjang bobot yang dinyatakan dengan rumus

W = aL

b

W adalah bobot (g), L adalah panjang total (mm), a adalah intercept garis regresi, dan b adalah slope regresi. Ikan dikatakan mempunyai pertumbuhan iso-metrik ketika pertambahan panjang sejalan dengan pertambahan bobot. Koefisien untuk pertumbuhan isometrik adalah tiga, sedangkan nilai yang lebih besar atau lebih kecil dari „3‟ mengindikasikan pertumbuhan allometrik (Effendie 1979). Analisis pertumbuhan dilakukan menggunakan model yang terdapat pada program FISAT II.

23 Faktor kondisi (K) dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Kn adalah faktor kondisi, W adalah bobot tubuh (g), L adalah panjang total (mm), a dan b adalah konstanta.

Hasil

Jumlah ikan brek yang tertangkap selama penelitian sebanyak 2.466 ekor yang terdiri atas 1.073 jantan (43,51%) dan 1.393 betina (56,49%). Ukuran ikan yang ditemukan bervariasi, yaitu jantan dengan kisaran panjang total 58-236 mm dan bobot tubuh 2-172 g, sedangkan betina dengan panjang antara 63-309 mm dan bobot tubuh 3-350 g. Ikan brek yang paling banyak tertangkap, pada jantan dengan kisaran 100-120 mm dan betina 79-99 mm (Gambar 12).

Gambar 12. Struktur ukuran ikan brek di Sungai Serayu

Berdasarkan bulan pengamatan, ikan brek yang tertangkap paling banyak pada bulan Februari 2013 (302 ekor) dengan kisaran jumlah ikan setiap stasiun pada jantan 44-64 ekor dan betina 48-52 ekor, sebaliknya yang paling sedikit pada bulan Agustus 2012 (144 ekor) dengan kisaran jumlah jantan 6-11 ekor dan betina 39-43 ekor. Kisaran jumlah ikan yang tertangkap selama penelitian adalah jantan 6-64 ekor dan betina 17-53 ekor. Baik jantan maupun betina paling banyak di zona atas masing-masing 393 jantan dan 474 betina (Tabel 10).

0 50 100 150 200 250 300 350 F r e k u e n si (e k o r )

Selang Kelas Panjang (mm)

24

Tabel 10. Sebaran jumlah ikan brek yang tertangkap di Sungai Serayu berdasar-kan zona dan jenis kelamin pada setiap bulan

Bulan Bawah Tengah Atas Total

Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina

Juni 15 31 34 32 28 51 191 Juli 17 43 17 48 25 29 179 Agustus 6 43 7 38 11 39 144 September 15 37 20 40 24 42 178 Oktober 17 39 21 33 33 47 190 November 35 36 30 42 25 36 204 Desember 32 26 21 46 63 53 241 Januari 30 32 31 36 29 35 193 Februari 64 52 45 48 44 49 302 Maret 34 70 49 17 39 19 228 April 37 35 25 51 37 51 236 Mei 35 23 43 21 35 23 180 Total 337 467 343 452 393 474 2466

Hubungan panjang bobot dihitung berdasarkan 2.466 ekor ikan brek yang terdiri atas 1.073 jantan dan 1.393 betina. Hasil analisis ditemukan persamaan regresi W= 7.10-7 L3.084 (r2= 0,97) untuk seluruh spesimen, W = 8.10-7 L3.061 (r2= 0,96) untuk jantan, dan W= 7.10-7L3.089 (r2= 0,98) untuk betina (Gambar 13). Pola pertumbuhan ikan brek jantan dan betina antarzona disajikan pada Tabel 11.

Gambar 13.Hubungan panjang bobot ikan brek jantan dan betina Tabel 11. Hubungan panjang bobot dan pola pertumbuhan ikan brek antarzona

Zona N Nilai b R2 r Pola

pertumbuhan Bawah Jantan 337 3,167 0,968 0,984 Allometrik(+)

Betina 467 3,129 0,965 0,982 Allometrik(+) Tengah Jantan 343 2,997 0,954 0,977 Isometrik

Betina 452 3,059 0,977 0,989 Allometrik(+) Atas Jantan 393 3,027 0,961 0,980 Isometrik

Betina 474 3,092 0,979 0,989 Allometrik(+) Betina W = 7,10-7L3,092 r = 0,98 n=1393 0 50 100 150 200 250 300 350 400 0 100 200 300 400 B o b o t T u b u h ( g ) Panjang Total (mm) Jantan W = 8,10-7L3,061 r = 0,96 n= 1073 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 0 50 100 150 200 250 B o b o t T u b u h ( g ) Panjang Total (mm)

25 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 0,2 2,2 4,2 6,2 8,2 10,2 12,2 14,2 16,2 18,2 20,2 22,2 24,2 P an jan g ( m m ) Umur (Tahun) K = 0,650 L∞ = 312,9 mm t0 = -0,1283

Hasil analisis menggunakan FISAT II diperoleh ukuran maksimum atau panjang asimtotik (L∞) ikan brek di Serayu yang berbeda antarzona maupun antara jantan dan betina terkecuali pada zona tengah. Kisaran panjang asimtotik ikan brek di Serayu antara 232,05-321,30 mm. Nilai koefisien pertumbuhan (K) juga bervariasi baik antarzona maupun antar jenis kelamin dengan kisaran 0,46-1,70 (Tabel 12). Kurva pertumbuhan ikan brek secara keseluruhan disajikan pada Gambar 14.

Tabel 12. Panjang asimtotik dan koefisien pertumbuhan (K) ikan brek di Serayu

Zona Jenis Kelamin L∞ (mm) K t0

Atas Jantan 240,45 0,46 -0,1975 Betina 232,05 0,54 -0,1689 Gabungan 249,90 0,82 -0,1073 Tengah Jantan 234,15 0,68 -0,1326 Betina 234,15 1,50 -0,0583 Gabungan 253,05 1,70 -0,0501 Bawah Jantan 240,45 0,82 -0,1084 Betina 303,45 0,68 -0,1235 Gabungan 321,30 0,66 -0,1254

Gambar 14. Kurva pertumbuhan ikan brek (B. balleroides)

Rata-rata faktor kondisi (K) ikan brek di Sungai Serayu yaitu di zona ba-wah berkisar antara 0,92-1,14, zona tengah 0,98-1,21 dan zona atas 0,90-1,19; selanjutnya jika dibandingkan berdasarkan sex dan bulan, yaitu jantan paling tinggi pada bulan Maret di zona tengah sebesar 1,21 (n= 49) dan terendah di zona atas sebesar 0,89 (n= 29). Untuk betina, paling tinggi juga pada bulan Maret di zona atas sebesar 1,1895 (n= 19) dan terendah pada bulan April di zona bawah sebesar 0,95 (n= 35). Faktor kondisi berdasarkan sex dan bulan disajikan secara rinci pada Tabel 13.

26

Tabel 13.Faktor kondisiikan brek berdasarkan sex dan bulan di Sungai Serayu

Bulan Bawah Tengah Atas

n Jantan n Betina n Jantan n Betina n Jantan n Betina Juni 15 0,9703 31 1,0697 34 0,9986 32 0,9777 28 1,0110 51 1,0300 Juli 17 0,9318 43 1,0173 17 0,9214 48 0,9915 25 0,9998 29 0,9397 Agustus 6 0,9692 43 1,0273 7 1,0032 38 1,0675 11 0,9134 39 0,9986 September 15 1,0206 37 1,0485 20 1,0280 40 1,0852 24 1,1227 42 1,0245 Oktober 17 1,0361 39 1,0402 21 1,1338 33 1,0569 33 1,0788 47 1,0638 November 35 1,0358 36 1,0995 30 1,0119 42 0,9882 25 1,0270 36 1,0075 Desember 32 1,0343 26 1,0482 21 1,0205 46 1,0291 63 1,0485 53 1,0436 Januari 30 0,9239 32 0,9517 31 0,9778 36 1,0086 29 0,8952 35 0,9967 Februari 64 0,9808 52 0,9721 45 0,9886 48 1,0331 44 0,9467 49 0,9415 Maret 34 1,1697 70 1,0225 49 1,2105 17 1,1559 39 1,1070 19 1,1895 April 37 0,9853 35 0,9478 25 1,0054 51 1,0278 37 1,0237 51 1,0230 Mei 35 0,9957 23 1,1394 43 1,0350 21 1,0693 35 1,0067 23 1,0553 Total 337 467 343 452 393 474 Pembahasan

Pada penelitian ini, diperoleh nilai koefisien determinasi (r2) untuk persa-maan regresi hubungan panjang bobot (HPB) dari seluruh spesimen yang diteliti sebesar 0,96 untuk jantan dan betina 0,98. Untuk ketiga zona baik jantan maupun betina juga mempunyai HPB yang tinggi (r2>0,90). Hal ini menunjukkan terdapat hubungan yang erat antara panjang dan bobot ikan brek di Serayu. Pertambahan bobot pada ikan brek di perairan ini lebih cepat dibandingkan pertambahan pan-jang yang sejalan dengan pendapat Weatherly (1972), bahwa umumnya perubahan bobot pada ikan lebih besar daripada perubahan panjangnya. HPB pada ikan dipe-ngaruhi oleh sejumlah faktor antara lain habitat, makanan, fase pertumbuhan, mu-sim, derajat kepenuhan isi lambung, jenis kelamin, kematangan gonad, dan kon-disi umum ikannya. Faktor-faktor tersebut digambarkan dengan besaran nilai b (Sarkar et al. 2013). Besaran nilai b pada penelitian ini antara 2,997 and 3,167 (Tabel 11). Nilai b pada ikan bervariasi sesuai dengan spesies, jenis kelamin, umur, musim, dan makanan. Selain itu juga dipengaruhi oleh perubahan bentuk ikan, kondisi fisiologi, dan perbedaan jumlah ketersediaan makanan, tahapan kehidupan atau pertumbuhan yang kesemuanya dapat memengaruhi nilai b (Le Cren 1951).

Beberapa penulis melaporkan bahwa pola pertumbuhan ikan brek yang berasal dari berbagai perairan di Jawa mencakup isometrik maupun allometrik. Lumbanbatu (1979) melaporkan dari Waduk Lahor di Jawa Timur baik jantan maupun betina adalah allometrik negatif; Sutardja (1980) melaporkan dari Waduk Jatiluhur di Jawa Barat adalah isometrik; di Sungai Cimanuk jantan allometrik negatif dan betina isometrik (Luvi 2000). Hal ini tampak bahwa pola pertumbuhan ikan tergantung pada lokasi dan jenis kelamin. Selain itu, Anene (2005) menya-takan bahwa faktor lingkungan menjadi hal penting untuk dipertimbangkan terkait dengan perbedaan ruang dan waktu terhadap pertumbuhan ikan. Faktor lingkung-an ylingkung-ang dimaksud lingkung-antara lain kekeruhlingkung-an, alkalinitas, dlingkung-an konduktivitas. Sellingkung-an- Selan-jutnya berdasarkan hasil analisis menggunakan model von Bertalanfy, yaitu untuk ikan brek secara keseluruhan tanpa membedakan zona dan jenis kelamin dapat

27 mencapai panjang maksimal (L∞) 312,9 mm. Hal ini sesuai dengan kondisi di lapangan, yaitu ikan brek yang tertangkap paling besar 309 mm. Ikan brek akan mengalami perlambatan pertumbuhan pada umur 4,3 tahun dan mencapai panjang asimtotik pada umur 8,6 tahun. Berdasarkan zona terdapat kecenderungan ukuran panjang maksimal (gabungan= jantan + betina) makin besar ke arah hilir. Kecenderungan ini dapat disebabkan pada zona bawah kondisi sungai dan ketersediaan makanan lebih mendukung dibandingkan kedua zona lainnya. Dengan demikian pertumbuhan ikan brek akan lebih cepat dibandingkan zona lainnya.

Berdasarkan hasil pengamatan, faktor kondisi pada setiap bulan di seluruh zona tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi perairan di ketiga zona tidak berbeda jauh sehingga ikan brek dapat ber-adaptasi dengan baik.

Secara umum nilai faktor kondisi meningkat mulai Juni sampai Desember yang diduga dipengaruhi oleh perkembangan gonad. Hasil pengamatan terhadap indeks kematangan gonad dan jumlah ikan yang matang gonad pada periode tersebut juga tinggi dengan puncaknya antara Agustus sampai September. Menurut Anene (2005), faktor kondisi sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan baik biotik maupun abiotik dan dapat digunakan sebagai indeks untuk mengetahui

Dokumen terkait