• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Ikan Brek Berdasarkan Aspek Ekobiologi Di Kawasan Hulu Sungai Serayu Jawa Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengelolaan Ikan Brek Berdasarkan Aspek Ekobiologi Di Kawasan Hulu Sungai Serayu Jawa Tengah"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

PENGELOLAAN IKAN BREK (

Barbonymus balleroides

Val. 1842)

BERDASARKAN ASPEK EKOBIOLOGI DI KAWASAN HULU

SUNGAI SERAYU JAWA TENGAH

HARYONO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul Pengelolaan Ikan Brek (Barbonymus balleroides Val. 1842) Berdasarkan Aspek Ekobiologi di Kawasan Hulu Sungai Serayu Jawa Tengah adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2015

(4)

RINGKASAN

HARYONO. Pengelolaan Ikan Brek (Barbonymus balleroides Val. 1842) Berdasarkan Aspek Ekobiologi di Kawasan Hulu Sungai Serayu Jawa Tengah. Dibimbing oleh M. F. RAHARDJO, RIDWAN AFFANDI, dan MULYADI.

Ikan brek (Barbonymus balleroides) merupakan ikan konsumsi asli Sungai Serayu yang habitatnya terfragmentasi oleh Waduk Mrica sejak tahun 1988. Tu-juan penelitian mengkaji aspek biologi ikan brek dan keterkaitan dengan ling-kungannya.

Lokasi penelitian dibagi menjadi tiga zona berdasarkan keberadaan waduk, yaitu zona bawah (St.1-St.2), zona tengah atau kawasan waduk (St.3-St.4), dan zona atas (St.5-St.6). Penelitian dilakukan selama satu tahun mulai bulan Juni 2012 sampai Mei 2013. Pengambilan sampel ikan dan data lapangan dilakukan setiap bulan. Alat tangkap yang digunakan terutama jaring insang dan jala, serta dilengkapi pengejut elektrik. Sampel ikan yang diperoleh diawetkan dalam larutan formalin 4-10%, lalu diamati di laboratorium. Analisis dilakukan terhadap karak-teristik habitat, karakkarak-teristik spesies, pola pertumbuhan, dan aspek reproduksi.

Selama penelitian tertangkap ikan brek sebanyak 2.466 ekor yang terdiri atas 1.073 jantan dan 1.393 betina. Keberadaan Waduk Mrica telah membentuk dua kelompok berdasarkan karakteristik ekologi dan spesiesnya, yaitu kelompok pertama di bawah waduk (St.1 dan St.2) dan kelompok kedua di atas waduk (St.3 sampai St.6). Berdasarkan karakterisasi spesies secara morfologis (meristik dan morfometrik) diperoleh kepastian bahwa ikan brek di Sungai Serayu bukanlah Puntius orphoides tetapi Barbonymus balleroides dan terpisah secara sempurna dari kerabatnya. Populasi ikan brek di Sungai Serayu memiliki pola pertumbuhan allometrik positif kecuali pada ikan jantan di zona tengah dan atas dengan pola pertumbuhan isometrik. Nilai faktor kondisi meningkat seiring dengan meningkatnya kematangan gonad. Ikan brek jantan dan betina dapat dibedakan secara morfologis melalui ciri kelamin sekunder. Nisbah kelamin jantan terhadap betina tidak seimbang.

Ukuran ikan kali pertama matang gonad bervariasi antarzona dan jenis kela-min dengan kisaran 150 mm sampai 202 mm. Indeks kematangan gonad (IKG) betina lebih besar daripada jantan. IKG betina paling tinggi pada bulan Agustus dan September. IKG meningkat seiring dengan meningkatnya kematangan gonad. Ikan brek jantan dan betina yang matang gonad (TKG IV) dapat ditemukan ham-pir setiap bulan. Betina matang gonad paling banyak ditemukan pada bulan Agus-tus dan September.

(5)

Diameter telur ikan brek matang gonad antara 0,10-1,48 mm dengan satu puncak. Tipe pemijahan ikan brek adalah serempak. Berdasarkan lokasinya, jumlah ikan brek betina lebih banyak memijah di zona atas (40,76%) dan yang paling rendah di zona tengah (23,57%), namun periode pemijahan lebih lama di zona bawah (9 bulan = 75%) dan paling rendah di zona tengah (6 bulan = 50%).

Ikan brek di Sungai Serayu mengalami tekanan dengan beragam jenis ancaman. Strategi pengelolan ikan brek meliputi pembatasan ukuran ikan yang boleh ditangkap yaitu minimal panjang totalnya 202 mm, dengan tinggi kepala 54 mm atau 2 inci. Perlu dilakukan perlindungan total terhadap ikan yang sedang beruaya untuk memijah, larangan penangkapan ikan menggunakan alat tangkap yang merusak, pembatasan lokasi penambangan pasir dan batu, serta pengawasan terhadap limbah pabrik. Diperlukan pelibatan masyarakat secara aktif. Pada tahap lebih lanjut perlu ditempuh melalui domestikasi dengan didasari hasil penelitian di atas.

(6)

SUMMARY

HARYONO. Management of barb fish (Barbonymus balleroides Val. 1842) based on ecobiology aspect in upper part of Serayu River Central Java. Supervised by M. F. RAHARDJO, RIDWAN AFFANDI and MULYADI.

Barb fish (Barbonymus balleroides) is native species in Serayu River which habitat was fragmented by Mrica Reservoir since 1988. The aims of the study to assess the biology aspects of barb fish and its relation with their environ-mental factors.

The study site was divided into three zones based on the reservoir position, namely downstream (St.1-St.2), middle or reservoir areas (St.3-St.4), and up-stream (St.5-St.6). The study was conducted for one year between June 2012 and May 2013. The sampling of fish and acquiring field data were conducted monthly. The sampling gears are mainly gillnet and castnet, as well as electroshocker. The fish samples were preserved in 4-10% formaldehyde. The analysis consist of habitat characteristics, species characteristics, growth types, and reproduction aspects.

During the study, it was collected 2,466 barb fish consist of 1,073 males and 1,393 females. According to habitat characteristics the barb is divide into two goups: the lower reservoir (St.1 and St.2) inhabitant and the upper reservoir (St.3 to St.6) inhabitant with Waduk Mrica as the stoppage. Based on species charac-teristic such as meristic and morphometric that the barb of Serayu River is not Puntius orphoides but Barbonymus balleroides and completely separated from its congeners. The growth type barb fish in this study is positively allometric with an exception on the male in middle and upper zones of being isometric. Condition factor and gonado-somatic index (GSI) increasingly parallel with gonad maturity. The male and female of barb fish can be distinguished morphologically by their secondary sexual characters. The sex ratio of male to female is not well-balanced. The size at first maturity varied among zone and sex with range 150 mm to 202 mm. The gonado-somatic index of female is larger than of male with the highest GSI of female founded in August and September, the GSI increase in accordance with gonad maturity.

The male and female mature (stage IV) were found almost monthly, but mature female mostly found in August and September. The spawning trend of the barb occur in dry season with its peak in August and September. The fecundity range is between 2,760 eggs to 50,085 eggs with the average 17,347 eggs. Based on the same habitat zone and total length, the highest fecundity level is reach by the fishes in lower zone that 20,218 eggs, followed by that of the upper zone with 16,724 eggs, and the fishes in middle zone with 11,885 eggs. The correlation between fecundity and total length is shown by the equation of F=0.0364L2.4388 (r=0.5989) whereas fecundity with body weight is by F = 4443.6+123.92W (r=0.6290).

(7)

middle zone (23.57%), but the longest spawning period is in lower zone (9 months = 75%) and the lowest in the middle zone ( 6 months = 50%).

The barb fish in Serayu River has pressure by various threats. Currently, the management strategy applied is to size limitation of fish caught that is mini-mum 202 mm of total length and 54 mm of head depth. It is required protection spawning migrate fish, prohibitation of destructive fishing gears, and limitation on sand and rock mining, also monitoring of factory waste. It is needed to public improvement in the fish protection. More over, an action of domestication of the fish is required, based on the research‟s result.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Perairan

PENGELOLAAN IKAN BREK (

Barbonymus balleroides

Val. 1842)

BERDASARKAN ASPEK EKOBIOLOGI DI KAWASAN HULU

SUNGAI SERAYU JAWA TENGAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(10)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: 1. Prof. Dr. Drs. Krismono, MS.

(Profesor Riset pada Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan-Kementerian Kelautan dan Perikanan Jatiluhur)

2. Dr. Agus Nuryanto, S.Si. M.Si.

(Pembantu Dekan III pada Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto)

Penguji Luar Komisi pada Sidang Promosi Terbuka: 1. Prof. Dr. Drs. Krismono, MS.

(Profesor Riset pada Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan-Kementerian Kelautan dan Perikanan Jatiluhur)

2. Dr. Agus Nuryanto, S.Si. M.Si.

(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadlirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dengan judul Pengelolaan Ikan Brek (Barbonymus balleroides Val. 1842) Berdasarkan Aspek Ekobiologi di Kawasan Hulu Sungai Serayu Jawa Tengah. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2012 hingga Mei 2013.

Penulis menyadari bahwa proses penulisan disertasi ini tidak akan berjalan dengan baik tanpa bantuan dari banyak pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. M.F. Rahardjo, DEA selaku ketua komisi pembimbing; Bapak Prof. Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA dan Bapak Prof. Dr. Mulyadi, M.Sc. selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada para penguji di luar Komisi Pembimbing: Bapak Prof. Dr. Drs. Krismono, MS. dan Bapak Dr. Agus Nuryanto, S.Si., M.Si., Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Perairan IPB, yang berkenan menyumbangkan buah pikiran untuk memperkaya tulisan ini.

Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada Kementerian Riset dan Teknologi yang telah memberikan beasiswa melalui Program Karyasiswa Tahun 2010, Kepala Pusat Penelitian Biologi-LIPI dan Kepala Bidang Zoologi yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi; serta pejabat struktural, staf pengajar dan tenaga administrasi di lingkungan Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memfasilitasi penulis selama menempuh studi.

Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada ayah, ibu, istri tercinta Sri Wulan, dan anak-anakku tersayang Hasriati Anggayuh Utami dan Yoga Dwi Julistiono, serta seluruh keluarga atas segala dukungan, doa, dan kasih sayangnya. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada Tim Serayu yaitu Norce Mote M.Si, Bahiyah M.Si, Rumondang M.Si, Rudi Hermawan, Sudir, Ade, Sudin, dan Yadi. Kepada teman-teman seperjuangan yaitu Ibu Meria, Pak Indra, Pak Lukman, Pak Asbar, Pak Tedjo, dan Pak Alfred atas kebersamaan dan kerjasama-nya. Terima kasih pula kepada Teknisi Laboratorium Biologi Makro; Peneliti dan Teknisi pada Laboratorium Ikan dan Laboratorium Reproduksi Bidang Zoologi-LIPI, serta kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah memberikan bantuan selama penelitian dan proses studi ini.

Penulis berharap semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.

Bogor, Juli 2015

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPIRAN xv

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah dan Kerangka Pemikiran 2

Tujuan dan Manfaat Penelitian 2

Kebaruan Penelitian 2

2 KARAKTERISTIK HABITAT DAN KOMUNITAS IKAN DI SUNGAI

SERAYU 4

Pendahuluan 4

Bahan dan Metode 5

Hasil 8

Pembahasan 11

Simpulan 13

3 KARAKTERISTIK SPESIES IKAN BREK (Barbonymus balleroides Val.

1842) 14

Pendahuluan 14

Bahan dan Metode 15

Hasil 17

Pembahasan 20

Simpulan 21

4 POLA PERTUMBUHAN IKAN BREK (Barbonymus balleroides Val.1842) 22

Pendahuluan 22

Bahan dan Metode 22

Hasil 23

Pembahasan 26

Simpulan 27

5 ASPEK BIOLOGI REPRODUKSI IKAN BREK (Barbonymus balleroides

Val. 1842) 28

Pendahuluan 28

Bahan dan Metode 28

Hasil 31

Pembahasan 40

Simpulan 45

6 PEMBAHASAN UMUM 46

(14)

DAFTAR PUSTAKA 52

LAMPIRAN 59

RIWAYAT HIDUP 62

DAFTAR TABEL

1 Posisi stasiun penelitian ikan brek di Sungai Serayu Banjarnegara 5 2 Parameter fisik dan kimiawi perairan pada masing-masing stasiun

penelitian 8

3 Hasil analisis PCA antara parameter lingkungan dengan stasiun

penelitian 9

4 Komunitas ikan di kawasan hulu Sungai Serayu 11 5 Karakter morfometrik yang diamati pada ikan brek dan kerabatnya 15 6 Karakter meristik dan morfologi ikan brek Sungai Serayu 17 7 Hasil pengukuran karakter morfometrik ikan brek dan kerabatnya

sete-lah dibakukan terhadap panjang baku (mm) 18

8 Pola pengelompokan ikan brek dan kerabatnya 19 9 Jumlah rigi pada bagian belakang duri sirip punggung ikan brek 20 10 Sebaran jumlah ikan brek yang tertangkap di Sungai Serayu

berdasar-kan zona dan jenis kelamin pada setiap bulan 24 11 Hubungan panjang bobot ikan brek dan pola pertumbuhan ikan brek

antarzona 24

12 Panjang asimtotik dan koefisien pertumbuhan (K) ikan brek di Serayu 25 13 Faktor kondisiikan brek berdasarkan sex dan bulan di Sungai Serayu 26 14 Kriteria tingkat kematangan gonad ikan brek (Barbonymus balleroides) 29 15 Karakter dimorfisme seksual ikan brek Sungai Serayu 32 16 Indeks kematangan gonad ikan brek selama penelitian 34 17 Ukuran ikan kali pertama matang gonad antarzona 35 18 Kandungan kimiawi telur ikan brek matang gonad 39 19 Kandungan kimiawi daging ikan brek matang gonad 39

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran penelitian 3

2 Peta lokasi penelitian ikan brek di Sungai Serayu 7 3 Hasil analisis PCA parameter lingkungan di enam stasiun 9 4 Pengelompokan stasiun pengamatan berdasarkan parameter lingkungan 10 5 Intensitas curah hujan di lokasi penelitian (Sumber: Indonesia Power,

Unit Pembangkit Listrik Mrica) 10

(15)

8 Perbedaan morfologis antara B. balleroides (kiri) dan P. orphoides

(kanan) 17

9 Bagian struktur sisik ikan brek dan kerabatnya 18

10 Pola pengelompokan ikan brek dan kerabatnya 19

11 Rigi pada bagian belakang duri terakhir sirip dorsal ikan brek 19

12 Struktur ukuran ikan brek di Sungai Serayu 23

13 Hubungan panjang bobot ikan brek jantan dan betina 24

14 Kurva pertumbuhan ikan brek (B. balleroides) 25

15 Persentase jumlah ikan brek TKG IV pada tiap bulan 31 16 Perbedaan ikan brek jantan dan betina secara morfologis 32 17 Persentase ikan brek yang tertangkap berdasarkan TKG 33 18 Persentase tingkat kematangan gonad ikan brek berdasarkan zona 33 19 Persentase ikan brek betina matang gonad selama penelitian 34 20 Hubungan antara TKG dan IKG rata-rata ikan brek 35 21 Persentase jumlah ikan betina berdasarkan tingkat kematangan gonad 35 22 Fekunditas rata-rata ikan brek berdasarkan zona 36 23 Fekunditas rata-rata ikan brek berdasarkan zona dan musim 36 24 Hubungan antara fekunditas dengan panjang (kiri) dan dengan bobot

(kanan) 37

25 Sebaran diameter telur ikan brek pada TKG IV di ketiga zona 37 26 Histologi gonad ikan brek betina matang gonad (n: nukleus, ca: cotical

alveoli, yg: yolk granulla) 38

27 Sperma ikan brek (B. balleroides) Sungai Serayu 38 28 Panjang rata-rata ekor sperma ikan brek antarzona 38 29 Diameter rata-rata sperma ikan brek antarzona 39 30 Strategi pengelolaan ikan brek di Sungai Serayu 50

DAFTAR LAMPIRAN

(16)
(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Serayu termasuk sungai besar yang memiliki panjang 153 km (Mawardi 2010). Sungai tersebut terfragmentasi oleh Bendungan Panglima Besar Jenderal Soedirman yang lebih dikenal dengan nama Waduk Mrica. Menurut Yap (1999) dan Lucas et al. (2001), keberadaan waduk menyebabkan perubahan proses hidro-logi yaitu sungai meluas dan arus melambat yang berdampak pada biota akuatik diantaranya komunitas ikan. Menurut Widiyati & Prihadi (2007), keberadaan wa-duk berdampak negatif terhadap keanekaragaman ikan.

Bukti terjadinya penurunan jumlah jenis ikan telah dilaporkan di Waduk Ra-jjaprabha (Chookajorn et al. 1999), Waduk Ubolratana di Thailand (Pholprasith & Srimongkonthaworn 1999), dan Waduk Jatiluhur (Kartamihardja 2008). Menurut Craig (2011), dari 66 kasus tentang keberadaan waduk di dunia, 73% diantaranya berdampak negatif terhadap keanekaragaman jenis ikan, dan hanya 27% yang ber-dampak positif. Selain itu, keberadaan waduk diduga menyebabkan terbentuknya subpopulasi dari jenis ikan tertentu yang jika terpisah dalam jangka waktu lama akan mempunyai karakteristik yang berbeda secara morfologis, genetik, dan bio-logi reproduksinya (Esguicero & Arcifa 2010).

Informasi tentang komunitas ikan di Sungai Serayu masih terbatas dan par-sial. Hadisusanto et al. (2000) melaporkan bahwa spesies ikan pada sebagian hulu Sungai Serayu di Wonosobo sebanyak 15 spesies; Wahyuningsih et al. (2011) di lokasi yang sama mencatat 13 spesies. Ikan brek merupakan salah satu spesies asli Sungai Serayu yang perlu dikonservasi karena memiliki nilai ekonomis penting.

Ikan brek merupakan anggota famili Cyprinidae yang banyak dimanfaat-kan sebagai idimanfaat-kan konsumsi. Menurut Yulfiperius (2006), meskipun status idimanfaat-kan ini belum termasuk langka namun perlu dilindungi karena di beberapa tempat popula-sinya sudah menurun. Sejauh ini, upaya konservasi sudah banyak dimulai tetapi belum berhasil.

Ikan brek mempunyai sebaran yang luas di Jawa dan mempunyai beberapa nama lokal. Di wilayah Jawa Barat, jenis ikan ini lebih dikenal dengan nama lala-wak yang dapat ditemukan di Sungai Cimanuk Kabupaten Sumedang (Luvi 2000, Rahardjo & Sjafei 2004). Di Jawa Tengah dikenal pula dengan nama tawes merah yang diantaranya terdapat di Waduk Gadjah Mungkur (Utomo et al. 2008).

(18)

2

Untuk merumuskan strategi pengelolaan sumber daya ikan brek di habitat alaminya dengan tepat diperlukan data dasar diantaranya mengenai aspek biologi dan ekologinya. Dengan demikian ikan brek dapat dimanfaatkan secara berke-lanjutan.

Perumusan Masalah dan Kerangka Pemikiran

Ikan brek merupakan sumber daya perikanan yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sumber protein hewani. Populasi ikan ini di Sungai Sera-yu cenderung mengalami penurunan. Faktor penyebabnya dapat berupa kegiatan eksploitasi yang terus meningkat, penggunaan alat tangkap yang merusak, pence-maran, dan fragmentasi habitat. Faktor lingkungan tesebut berpengaruh terhadap aspek biologi ikan brek. Degradasi habitat dan kondisi lingkungan yang terjadi pada perairan menjadi faktor seleksi dan berpengaruh terhadap perubahan karakter spesies, pola pertumbuhan dan reproduksi, serta kebiasaan makanan. Laju penang-kapan yang tinggi dan penggunaan alat tangkap yang merusak menyebabkan pe-nurunan populasi sehingga rentan terhadap kepunahan.

Kelestarian ikan brek di Serayu perlu dipertahankan agar dapat dimanfaat-kan secara berkelanjutan dengan menerapdimanfaat-kan strategi pengelolaan yang tepat dan didukung data dasar yang memadai. Kebijakan pengelolaan tersebut dapat ditem-puh melalui beberapa alternatif dengan kerangka pemikiran penelitian yang disaji-kan pada Gambar 1.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah: a) mengkaji aspek biologi ikan brek di habitat alaminya kawasan hulu Sungai Serayu dan keterkaitan dengan lingkungannya (ekologi); dan b) merumuskan konsep/strategi pengelolaan ikan brek. Manfaat pe-nelitian ini adalah memberikan alternatif pengelolaan berbasis ekobiologi agar sumber daya ikan brek dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.

Kebaruan Penelitian

(19)

3

(20)

4

2

KARAKTERISTIK HABITAT DAN KOMUNITAS IKAN DI

SUNGAI SERAYU

Pendahuluan

Sungai merupakan perairan terbuka dengan empat dimensi, yaitu longi-tudinal, lateral, vertikal, dan temporal (Huer & Lamberti 2007). Sebelumnya Van-note et al. (1980) menyatakan bahwa sungai berukuran besar merupakan unit ke-satuan habitat baik secara longitudinal (hulu-hilir) maupun lateral (sungai utama dan anak sungai). Hal ini menyangkut faktor fisik, kimiawi, dan biologis termasuk komunitas ikan yang ada di dalamnya.

Serayu termasuk sungai besar yang bagian hulunya terletak di kawasan Pe-gunungan Dieng Wonosobo yang mengalir melewati Kabupaten Banjarnegara, Purbalingga, dan Banyumas, serta bermuara di Teluk Penyu Cilacap. Sungai ini terfragmentasi oleh bendungan (waduk), yaitu Bendungan Panglima Besar Jende-ral Soedirman yang lebih dikenal dengan nama Waduk Mrica. Menurut Soewarno (1990), waduk ini dengan luasan 8,85 km2 mulai beroperasi sejak tahun 1988 yang menampung aliran air dari Sungai Serayu, Merawu, dan Lumajang.

Keberadaan waduk berdampak permanen terhadap keragaman biota su-ngai, dan memutus jalur ruaya ikan (Helfman 2007, Craig 2011). Sebelumnya, Lorencio (1992) menyatakan bahwa keberadaan bendungan menyebabkan tingkat trofik tidak bervariasi sehingga dapat mengubah struktur anatomi ikan agar dapat memanfaatkan sumber daya yang baru. Oleh karena itu Linlokken (1993), menya-rankan ketika membangun waduk harus terpelihara proses migrasi ikan dan diku-rangi atau dihindari pemisahan populasi. Migrasi ikan merupakan respon terhadap kepadatan populasi, ketersediaan makanan yang cukup pada tempat pemijahan dan tempat asuhan. Ponton & Copp (1997) melaporkan bahwa keberadaan ben-dungan mengarahkan secara biologi bagi ikan yang toleran menjadi dominan sedangkan yang sensitif akan menghilang. Hal ini sejalan dengan Craig (2011), bahwa komunitas ikan di waduk biasanya merupakan turunan dari ikan sungai, se-dangkan yang di danau adalah jenis asli. Pada saat waduk terbentuk, ikan sungai yang tidak mampu beradaptasi akan mati atau keluar dari areal tersebut. Sebelum-nya Pess et al. (2008) menyebutkan bahwa waduk menahan sedimen, aliran nu-trien dan energi, kualitas air, memengaruhi morfologi sungai di bagian hilir, mengganggu fungsi ekologi, serta memutus migrasi ikan ke arah hulu.

Dampak waduk terhadap penurunan jumlah jenis ikan telah terjadi di Wa-duk Rajjaprabha yang dilaporkan oleh Chookajorn et al. (1999), sebelum waduk dibangun tahun 1986 tercatat 108 jenis dan setelahnya menjadi 96 jenis. Pholpra-sith & Srimongkonthaworn (1999) juga melaporkan terjadinya penurunan jumlah jenis ikan di Waduk Ubolratana Thailand yang beroperasi sejak tahun 1965, sebe-lumnya tercatat 76 jenis dan menjadi 50 jenis pada tahun 1984-1993. Kartamihar-dja (2008) melaporkan bahwa dalam jangka waktu 40 tahun (1968-2007) setelah Waduk Djuanda digenangi terjadi penurunan jumlah jenis ikan dari 31 jenis men-jadi 18 jenis.

(21)

5 itu telah dilakukan penelitian dengan tujuan untuk menganalisis karakteristik habitat ikan brek di kawasan hulu Sungai Serayu yang terfragmentasi waduk. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk menghimpun informasi mengenai komu-nitas ikan yang ada di dalamnya.

Bahan dan Metode

Lokasi penelitian dan pengamatan karakteristik habitat

Lokasi penelitian di Sungai Serayu wilayah Kabupaten Banjarnegara, Pro-vinsi Jawa Tengah yang merupakan habitat potensial bagi ikan brek. Lokasi pene-litian dikelompokan ke dalam tiga zona berdasarkan posisi waduk. Masing-masing zona terdiri atas dua stasiun (St). Pengelompokan lokasi penelitian yaitu zona bawah (St.1 dan St.2), zona tengah (St.3 dan St.4), dan zona atas (St.5 dan St.6) (Tabel 1 dan Gambar 2). Kondisi masing-masing stasiun dapat dilihat pada Lampiran 1.

Tabel 1. Posisi stasiun penelitian ikan brek di Sungai Serayu Banjarnegara Stasiun Zona Koordinat Altitude

(m) Posisi St.1 Bawah S: 07o 26.349‟

E: 109o 31.911‟

127 Stasiun paling hilir yang terletak antara wilayah Kecamatan Mandiraja dan Purwonegoro.

St.2 Bawah S: 07o 24.031‟ E: 109o 35.850‟

146 Stasiun yang terletak tepat di bawah Waduk Mrica, yaitu di Desa Tapen, Kecamatan Wanadadi

St.3 Tengah S: 07o 23.522‟ E: 109o 36.963‟

226 Badan air yang termasuk dalam kawasan Waduk Mrica bagian bawah yang terletak di wilayah Kecamatan Bawang

St.4 Tengah S: 07o 23.216‟ E: 109o 44.685‟

246 Badan air yang termasuk dalam kawasan Waduk Mrica bagian atas yang terletak di wilayah Kecamatan Wanadadi

St.5 Atas S: 07o 23.242‟ E: 109o 41.618‟

259 Stasiun yang terletak di atas Waduk Mrica yaitu sekitar Kota

Banjarnegara

St.6 Atas S: 07o 23.845‟ E: 109o 44.680;

362 Stasiun paling hulu yang terletak di wilayah Kecamatan Sigaluh

(22)

6

Pengukuran setiap parameter lingkungan dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:

a) Pengukuran suhu menggunakan termometer air raksa yang dilakukan pada kedalaman air kurang dari satu meter.

b) Kedalaman air diukur menggunakan tongkat berskala dan meteran pada ba-gian yang dangkal dan baba-gian perairan yang paling dalam di setiap stasiun. c) Pengukuran kecepatan arus menggunakan material terapung yang

dihanyut-kan dan diukur pada jarak dua meter, lalu dicatat waktunya menggunadihanyut-kan stopwatch.

d) Pengamatan terhadap substrat dasar perairan dilakukan secara visual dengan mengelompokkan apakah berupa batu, kerikil, pasir, lumpur atau campuran. e) Pengukuran pH air menggunakan pH meter dan kertas pH universal.

f) Kandungan oksigen terlarut diukur pada bagian dekat permukaan air meng-gunakan DO meter sampai angka pada monitor menunjukkan angka yang stabil.

Sampel air yang diambil di setiap stasiun dan setiap bulan dianalisis di labo-ratorium menggunakan metode spektrofotografi untuk kekeruhan, alkalinitas, nitrat dan amoniak. Konduktivitas diukur menggunakan pengukur kualitas air merk Horiba. Dicatat pula mengenai kondisi lingkungan di sekitar perairan (permukiman, persawahan, atau perkebunan), dan cuaca pada saat penga-matan.

Pengambilan sampel ikan

Pengambilan sampel ikan dilakukan di enam stasiun yang telah ditentukan dan dicatat posisi koordinatnya. Sampel diambil pada tiap bulan selama satu ta-hun, mulai bulan Juni 2012 sampai Mei 2013. Alat tangkap yang digunakan bera-gam jenisnya agar diperoleh sampel ikan yang representatif meliputi jala beru-kuran panjang 3 m masing-masing dengan mata jaring (1” dan 2”), jaring insang dengan tiga mata jaring (¾”, 1½ “ dan 2”) masing-masing berukuran panjang 20 m dan tinggi 4 m. Selain itu, pada tempat-tempat tertentu digunakan pula pengejut elektrik dengan sumber daya accu 12 volt dan kuat arus 10 amper. Penggunaan alat tangkap disesuaikan dengan kondisi perairannya (Lampiran 2). Pelaksanaan sampling dilakukan secara bergantian antarstasiun.

Sampel ikan yang tertangkap di setiap stasiun dikelompokkan berdasarkan ukuran tubuhnya untuk memudahkan proses pengawetan dan analisis di laborato-rium. Spesimen ikan segera dimasukkan ke dalam kantung plastik dan diawetkan dengan larutan formalin konsentrasi 4-10%. Setiap kantung plastik diberi label yang berisi keterangan mengenai nomor stasiun dan tanggal koleksi.

Preparat histologi gonad diambil dari ikan sampel jantan dan betina de-ngan berbagai ukuran. Sampel dibedah dan dikeluarkan gonadnya secara hati-hati. Setelah itu, gonad disimpan dalam botol sampel yang berisi larutan BNF (buffer neutral formalin) 10%. Sampel gonad yang sudah diawetkan segera dibawa ke la-boratorium untuk diamati dan dianalisis lebih lanjut.

(23)
(24)

8

Hasil

Karakteristik habitat

Kisaran suhu perairan selama penelitian antara 23-31oC, kekeruhan 0-393 NTU, konduktivitas 253-715 µS cm-1, kecepatan arus 26-100 cm dt-1, kandungan oksigen terlarut 4,1-8,4 mg L-1, dan pH 7,0-9,0. Hasil pengamatan kondisi ling-kungan perairan di setiap zona disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Parameter fisik dan kimiawi perairan pada masing-masing stasiun penelitian

Parameter

Satuan

Zona Bawah Zona Tengah Zona Atas St. I St.II St. III St. IV St. V St. VI

343-558 253-555 381-632 381-592 363-552 327-715

Kecepatan arus cm dt-1 26-71 31-83 31-56 36-67 33-77 56-100

Dasar perairan berbatu berbatu berbatu berbatu berbatu berbatu

Tipe substrat kerikil,

(25)

9

Gambar 3. Hasil analisis PCA parameter lingkungan di enam stasiun Tabel 3. Hasil analisis PCA antara parameter lingkungan dengan stasiun

penelitian

Parameter PC1 PC2 PC3 PC4 PC5

Suhu air 0,0127 0,0237 -0,0960 -0,1743 -0,0393 Konduktivitas -0,5863 0,7600 0,2538 -0,0373 0,0206 Kecepatan arus 0,0014 0,0288 0,0498 0,8143 -0,4783 Kekeruhan 0,8065 0,5244 -0,0205 -0,0205 0,0214 pH -0,0043 -0,0048 -0,0012 0,0092 -0,0373 Oksigen terlarut 0,0055 -0,0420 0,0529 -0,4197 -0,1873 NO2 -0,0482 0,0306 0,0007 0,0032 -0,0043

NH3 -0,0030 -0,0126 -0,0063 0,3579 0,8553

Alkalinitas -0,0750 -0,3631 0,9206 -0,0193 0,0264 Eigenvalue 756,47 131,35 10,74 0,17 0,03 % varians 84,17 14,62 1,20 0,02 0,01

Analisis pengelompokan stasiun pengambilan sampel ikan brek berda-sarkan parameter lingkungan diperoleh dua kelompok, yaitu kelompok pertama terdiri atas dua stasiun (St.1 dan St.2) dan kelompok kedua terdiri atas empat stasiun yaitu St.3, St.4, St.5, dan St.6 (Gambar 4).

(26)

10

Gambar 4. Pengelompokkan stasiun pengamatan berdasarkan parameter lingkungan

Kondisi curah hujan berdasarkan data yang diperoleh dari Otoritas Waduk Mrica di Banjarnegara, yaitu intensitas hujan mulai tinggi pada bulan Oktober 18,18 mm dan puncaknya pada bulan November 35,74 mm, serta terus menurun sampai bulan Maret 7,66 mm (Gambar 5). Hasil pencatatan cuaca, secara garis be-sar musim penghujan terjadi antara Oktober sampai Maret, sedangkan musim kemarau mulai April sampai September.

Gambar 5. Intensitas curah hujan di lokasi penelitian (Sumber: Indonesia Power, Unit Pembangkit Listrik Mrica)

Komunitas ikan

Komunitas ikan yang ditemukan sebanyak 22 jenis yang tergolong ke da-lam 13 famili. Cyprinidae merupakan famili yang paling dominan dengan delapan jenis, sedangkan famili lainnya antara 1-2 jenis (Tabel 4).

5,06

Jun Jul Agu Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei

(27)

11 Tabel 4. Komunitas ikan di kawasan hulu Sungai Serayu

No Nama Lokal Spesies Famili

Keterangan: BW (bawah waduk), KW (kawasan waduk), AW (atas waduk), + (ditemukan ), - (tidak ditemukan)

Pembahasan

Habitat ikan brek mempunyai karakteristik dengan dasar perairan berupa batuan, berarus kuat, substrat dasar perairan terutama kerikil dan pasir, serta kan-dungan oksigen terlarut relatif tinggi. Kondisi perairan seperti ini sangat ideal bagi ikan bersungut anggota Cyprinidae. Hal ini tampak dari struktur komunitas yang didominasi oleh ikan famili Cyprinidae yaitu sebanyak 8 jenis, dan salah satunya adalah ikan brek (Tabel 4).

(28)

foto-12

sintesis yang berdampak pada penurunan kandungan oksiegn terlarut. Tingginya partikel terlarut akan berdampak pada penurunan kinerja insang sehingga perna-fasan ikan terganggu. Sebaliknya tingkat konduktivitas dan alkalinitas yang lebih tinggi di bagian atas, menurut Benda et al. (2005) disebabkan oleh proses pelarutan batuan yang tinggi akibat kecepatan arus.

Ketiga zona terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok pertama di ba-wah waduk (zona baba-wah) dan kelompok kedua mencakup zona tengah dan zona atas (Gambar 4). Komunitas ikan pada zona kelompok pertama lebih beragam di-bandingkan dengan komunitas ikan yang mendiami zona kelompok kedua. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan waduk memengaruhi kondisi perairan sungai yang berdampak terhadap kehidupan ikan yang ada di dalamnya. Kecenderungan seperti ini terjadi pada kebanyakan sungai yang dibangun waduk, diantaranya wa-duk Tallowa di Australia dengan perbandingan 21 jenis ikan di zona bawah dan 16 jenis di zona atas (Gehrke et al. 2002), dan Waduk Santa Cecilia di Brasil yaitu 27 jenis di zona bawah dan 23 jenis di zona atas (Araujo et al. 2013). Lebih ren-dahnya komunitas ikan di kelompok kedua disebabkan pula oleh hilangnya jenis ikan peruaya, yaitu ikan pelus (Anguilla marmorata) yang hanya ditemukan di kelompok pertama. Selain itu, perbedaan komunitas ikan dapat disebabkan juga oleh perubahan kualitas air diantaranya temperatur (Mahon et al. 1979).

Struktur komunitas di zona tengah yang berupa waduk banyak dijumpai jenis ikan yang menyukai habitat menggenang. Menurut Gehrke et al. (2002), pa-da kawasan waduk komunitas ikan terdiri atas ikan pa-danau pa-dan ikan sungai yang menyukai habitat menggenang. Jenis ikan yang dimaksud adalah ikan julung (Dermogenys pusilla), kepala timah (Aplocheilus panchax), betutu (Oxyeleotris marmorata), sepat rawa (Trichopodus trichopterus), dan gabus (Channa striata). Sebaliknya, di zona ini tidak ditemukan ikan yang menyukai arus seperti kehkel (Glyptothorax major), dan uceng (Nemacheilus fasciatus). Struktur seperti ini me-nambah bukti bahwa keberadaan waduk sangat berpengaruh terhadap komunitas ikan.

Pengaruh keberadaan waduk terhadap ikan brek tampak dari hasil pene-litian Bahiyah et al. (2013), bahwa secara genetik ikan brek yang terdapat di zona bawah waduk membentuk kluster yang terpisah dari ikan brek yang terdapat di zona tengah dan zona atas. Pola pengelompokan tersebut mirip dengan hasil anali-sis kluster terhadap parameter lingkungan. Parameter utama yang membedakan antarzona berdasarkan hasil analisis PCA adalah kekeruhan, konduktivitas, dan al-kalinitas (Tabel 2). Hasil tersebut ada kemiripan dengan perairan waduk di Brasil dengan parameter yang berpengaruh adalah konduktivitas, kekeruhan, dan tem-peratur (Araujo et al. 2013).

(29)

13 ini terkait pula dengan jumlah dan ukuran badan air di Jawa yang lebih rendah dibandingkan Sumatera dan Kalimantan. Selain itu perlu dikaji secara mendalam mengenai sejarah geologinya.

Diantara ikan yang ditemukan terdapat empat spesies yang berstatus asing, yaitu Poecillia reticulata, Aplocheilus panchax, Cyprinus carpio, dan Oreochro-mis niloticus. Dua spesies yang pertama berasal dari Amerika Selatan yang terle-pas dari akuaria; Cyprinus carpio yang aslinya dari China dan O. niloticus dari Afrika (Kottelat et al. 1993) sengaja didatangkan untuk keperluan budidaya. Se-lain itu terdapat ikan asing yang dikhawatirkan dapat membahayakan kelestarian ikan asli Serayu, yaitu bawal air tawar (Collosoma macropomum). Pada penelitian ini, ikan bawal memang tidak tertangkap namun sebagian masyarakat di sekitar Serayu sudah membudidayakan dan diinformasikan sudah ada yang lepas ke pera-iran umum. Jenis ikan ini mempunyai daerah sebaran asli di perapera-iran wilayah Amerika Selatan. Dikategorikan berbahaya karena ikan ini berkerabat dekat dan satu famili dengan piranha yang telah dikenal sebagai ikan predator ganas, yaitu Serrasalmidae (Nelson 2006).

Berdasarkan potensinya, sebagian besar jenis yang ditemukan merupakan ikan konsumsi (54,55%), sebagai ikan hias dan berpotensi ganda masing-masing 22,73%. Diantara ikan konsumsi terdapat jenis ikan yang sudah umum dibudi-dayakan oleh masyarakat, yaitu melem (Osteochilus vittatus) dan tawes (Barbo-nymus gononotus). Ikan tawes dibedakan menjadi dua, yaitu tawes sungai dan tawes kontes/kumpai. Tawes kontes sirip-siripnya panjang mirip dengan mas kumpai sehingga sangat potensial sebagai ikan hias.

Salah satu ikan yang banyak dimanfaatkan sebagai sumber protein hewani oleh masyarakat di sekitar Serayu adalah brek. Jenis ikan ini merupakan anggota suku Cyprinidae dari kelompok ikan tawes (Weber & de Beaufort 1916; Roberts 1989; Kottelat et al. 1993). Jenis ikan ini termasuk kelompok ikan dengan harga sedang yang masih lebih rendah dibandingkan dengan ikan beong (Hemibagrus nemurus).

Jenis ikan yang mempunyai sebaran luas di lokasi penelitian sebanyak enam spesies (brek, tawes, melem, lunjar, ikan seribu, dan nila). Hal ini menun-jukkan bahwa keenam spesies tersebut mampu hidup dan beradaptasi dengan baik di ketiga zona. Sebaliknya, beberapa spesies lebih teradaptasi di perairan yang menggenang karena mempunyai kemampuan bertahan hidup pada kondisi yang minim oksigen sehingga hanya ditemukan di kawasan waduk. Spesies yang dimaksud adalah julung, kepala timah, sepat rawa, dan gabus (Tabel 4).

Simpulan

(30)

14

3

KARAKTERISTIK SPESIES IKAN BREK (

Barbonymus

balleroides

Val. 1842)

Pendahuluan

Ikan brek merupakan salah satu ikan konsumsi di Sungai Serayu dengan sebaran yang luas. Jenis ini merupakan ikan yang hidup di perairan umum dengan status belum termasuk langka namun di beberapa tempat populasinya sudah ber-kurang. Di wilayah Jawa Barat, jenis ikan ini lebih dikenal dengan nama lalawak yang dapat ditemukan di Sungai Cimanuk Kabupaten Sumedang (Luvi 2000; Rahardjo & Sjafei 2004). Di wilayah ini, masyarakat mengelompokkan ikan lala-wak menjadi dua berdasarkan bentuk dan ukuran tubuhnya, yaitu lalalala-wak jengkol dan lalawak biasa (Yulfiperius 2006). Di Jawa Tengah, ada pula yang menyebut-nya dengan nama ikan tawes merah (Utomo et al. 2008), sedangkan di Kaliman-tan dikenal dengan nama salap merah (Weber & de Beaufort 1916).

Untuk mengetahui kepastian suatu spesies ikan selain berdasarkan morfo-logi dan karakter meristik juga digunakan karakter morfometrik melalui analisis diskriminan (Haryono 2006). Menurut Defira (2004), berdasarkan nisbah 25 ka-rakter morfometrik ketiga jenis lalawak di Sumedang menunjukkan persamaan, begitu pula dari hasil analisis PCA juga tidak terjadi pengelompokan yang nyata.

Ikan brek sebelumnya termasuk ke dalam genus Puntius yang sangat kompleks dengan perbedaan karakter yang tinggi pada bentuk tubuh, pola warna, dan ukuran. Genus Puntius termasuk ke dalam suku Cyprinidae yang merupakan ikan air tawar dengan anggota yang besar di kawasan tropis Asia (Shantakumar & Vishvanath 2006). Di perairan Indonesia anggota Puntius mencapai 33 jenis (Haryono 2001). Kelompok ikan ini berperan penting sebagai sumber protein hewani (Smith 1945; Champasri et al. 2007).

Ikan brek berkerabat dekat dengan ikan tawes yang sudah umum dibudi-dayakan oleh masyarakat. Kottelat et al. (1993) mengelompokkan Puntius menja-di empat genera yang berbeda berdasarkan struktur sisik pada gurat sisi, yaitu Puntius, Poropuntius, Puntioplites, dan Barbodes. Genera Barbodes dicirikan oleh sisik linea lateralis yang strukturnya memiliki beberapa jari-jari sejajar atau melengkung ke ujung, dan sedikit atau tidak ada proyeksi jari-jari ke samping. Genera Barbodes telah direvisi menjadi Barbonymus (Kottelat 1999; Kottelat & Widjanarti 2005).

Pengelolaan sumber daya perikanan memerlukan informasi tentang kepas-tian nama spesies ikan yang akan dikelola. Mengingat ikan brek secara ilmiah merupakan pecahan dari genus Puntius yang kompleks maka status taksonominya perlu dikaji terlebih dahulu. Weber & de Beaufort (1916) menyebutkan bahwa berdasarkan nama lokalnya brek mempunyai nama ilmiah (Puntius orphoides). Tujuan penelitian ini melakukan kajian terhadap karakter morfologi yang mencakup meristik dan morfometrik ikan brek yang berasal dari Sungai Serayu.

(31)

15 Bahan dan Metode

Penelitian dilakukan di Sungai Serayu wilayah Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Lokasi penelitian, karakteristik habitat, dan teknik pengambilan sampel ikan brek secara rinci dijelaskan pada Bab 2. Di laboratorium sampel ikan tersebut dicuci dan direndam dalam air, lalu dipindahkan ke dalam larutan akohol 70%. Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap karakter morfologi yang meli-puti meristik, morfometrik, dan pola warna.

Karakteristik yang diamati meliputi struktur sisik, jumlah rigi pada bagian belakang duri terakhir sirip dorsal, jumlah jari-jari pada sirip dorsal, anal, ventral, dan sirip pektoral, jumlah sisik pada bagian tubuh tertentu yaitu sebelum sirip dor-sal (predordor-sal), gurat sisi, pada batang ekor, dan karakter morfologi lainnya (pola warna). Karakter morfometrik mencakup 24 karakter (Tabel 5 dan Gambar 6) yang diukur menggunakan kaliper digital dengan ketelitian 0,01 mm.

Tabel 5. Karakter morfometrik yang diamati pada ikan brek dan kerabatnya No. Kode Karakter Singkatan

1 N1 Panjang total PT/PB

2 N2 Panjang sebelum sirip dorsal PSSD/PB 3 N3 Panjang sebelum sirip anal PSSA/PB 4 N4 Panjang sebelum sirip ventral PSSV/PB

5 N5 Panjang kepala PK/PB

6 N6 Lebar badan LB/PB

7 N7 Tinggi badan pada awal sirip dorsal TBASD/PB 8 N8 Tinggi badan diatas anus TBAA/PB 9 N9 Tinggi batang ekor TBE/PB 10 N10 Panjang batang ekor BPE/PB 11 N11 Panjang dasar sirip dorsal PDSD/PB 12 N12 Panjang dasar sirip anal PDSA/PB 13 N13 Panjang dasar sirip ventral PDSV/PB 14 N14 Panjang sirip ventral PSV/PB 15 N15 Panjang sirip pektoral PSP/PB 16 N16 Panjang cagak atas PCA/PB 23 N23 Panjang sungut moncong PSM/PB 24 N24 Panjang sungut rahang atas PSRA/PB

(32)

16

Gambar 6. Karakter morfometrik ikan brek dan kerabatnya

Struktur sisik diamati dengan cara mengambil sebagian ikan sampel, lalu di-cabut sisik pada gurat sisi (linea lateralis) sebelah kanan yang bertepatan dengan awal sirip punggung. Pengamatan dilakukan di bawah mikroskup binokuler dan difoto menggunakan kamera digital. Bagian sisik yang diamati adalah bentuknya, struktur pada bagian depan (anterior), belakang (posterior), pusat sisik (fokus), jari-jari sisik, dan ruang antar jari-jari (lamella) (Gambar 7).

Gambar 7. Bagian struktur sisik ikan brek yang diamati

Pengamatan rigi pada duri sirip dorsal dilakukan dengan cara menghitung langsung pada duri tersebut yang dimulai dari pangkal sampai ujung duri. Untuk membantu ketelitian dalam menghitung dibantu dengan menggunakan kaca pembesar pada kepala (headloop).

Posterior

Anterior Fokus

(33)

17 Hasil

Hasil pengamatan pola warna ikan brek tidak terdapat karakter berupa bercak hitam pada pangkal ekor, bercak merah pada tutup insang, dan garis hitam pada tepi sirip ekor. Sebaliknya karakter tersebut dimiliki oleh Puntius orphoides (Gambar 8),

Gambar 8. Perbedaan morfologis antara B. balleroides (kiri) dan P. orphoides (kanan)

Hasil pengamatan karakter morfologi ikan brek secara meristik tertera pada Tabel 6. Ikan yang diamati berjumlah 224 ekor dengan kisaran panjang baku 91,18-173,62 mm.

Tabel 6. Karakter meristik dan morfologi ikan brek Sungai Serayu

Karakter B. balleroides Puntius orphoides

Weber & de Beaufort (1916)

Pengamatan Weber & de Beaufort (1916)

Sirip dorsal 4.8 4.8 4.8

Sirip anal 3.5 3.5 3.5

Sirip pektoral 1.14-16 1.14-16 1.14-16

Sirip ventral 2.8 1-2.8 1.8

Gurat sisi 31-34 27-32 28-31

Sisisk di depan sirip dorsal 11 sd. 13 10 sd. 13 10 sd .11

Batang ekor 16 16 16

Panjang tubuh maksimal 300 mm 309 mm 250 mm Bercak pada pangkal ekor Tidak ada Tidak ada Ada Garis pada tepi ekor Tidak ada Tidak ada Ada Bercak pada tutup insang Tidak ada Tidak ada Ada

Jumlah ikan brek yang diamati secara morfometrik sebanyak 57 ekor dengan panjang baku 92,73±16,84 mm (Tabel 7). Untuk pembanding digunakan ikan tawes (B. gonionotus) dengan panjang baku 95,26 mm, dan P. orphoides dengan panjang baku 72,76 mm.

(34)

18

Tabel 7. Hasil pengukuran karakter morfometrik ikan brek dan kerabatnya setelah dibakukan terhadap panjang baku (mm)

Karakter

B. balleroides P. orphoides B. gonionotus

n= 57 (PB: 92,73±16,84 mm) n= 11 (PB: 72,76±35,26 mm) n= 12 (PB: 95,26±22,19 mm) membulat dan struktur jari-jari pada bagian posterior melengkung. Bagian lamella yaitu ruang antara jari-jari anterior dan posterior cukup lebar, struktur pipa pada bagian fokus tidak sejelas kerabatnya, yaitu Barbonymus gonionotus dan Puntius orphoides (Gambar 9).

Barbonymus balleroides Barbonymus gonionotus Puntius orphoides

(35)

19 Berdasarkan hasil analisis diskriminan hanya sembilan karakter yang membedakan ikan brek dengan kedua kerabat dekatnya. Karakter yang dimaksud adalah panjang sungut moncong (PSM), panjang total (PT), tinggi badan pada awal sirip dorsal (TBSAD), panjang kepala (PK), tinggi batang ekor (TBE), panjang sebelum sirip dorsal (PSSD), lebar badan (LB), panjang moncong (PM), dan diameter mata (DM). Ketiga jenis tersebut terpisah secara sempurna, yaitu masing-masing mengelompok dengan persentase 100% (Tabel 8 dan Gambar 10). Tabel 8. Pola pengelompokan ikan brek dan kerabatnya

B. balleroides P. orphoides B. gonionotus Total Jumlah individu:

B. balleroides 57 0 0 57

P. orphoides 0 11 0 11

B. gonionotus 0 0 12 12

Persentase:

B. balleroides 100 0 0 100

P. orphoides 0 100 0 100

B. gonionotus 0 0 100 100

Gambar 10. Pola pengelompokan ikan brek dan kerabatnya

Jumlah rigi pada duri sirip dorsal ikan brek dari Sungai Serayu diperoleh 11 tingkatan dengan kisaran antara 14-24 buah. Jumlah rigi yang paling banyak ada-lah 21 buah yang terdapat pada 120 ekor, diikuti 20 buah pada 58 ekor, dan 22 buah pada 20 ekor (Gambar 11 dan Tabel 9). Terdapat beberapa jumlah rigi yang hanya ditemukan pada satu ekor ikan, yaitu dengan jumlah 14, 15, dan 18 buah.

(36)

20

Tabel 9. Jumlah rigi pada bagian belakang duri sirip punggung ikan brek

Nomor Jumlah Rigi Jumlah Ikan

Puntius merupakan genera yang kompleks dengan anggota berukuran tu-buh kecil sampai sedang. Mengingat jumlah anggotanya yang banyak dengan ka-rakter sangat bervariasi maka telah dilakukan revisi oleh Kottelat et al. (1993), ya-itu berdasarkan struktur sisik pada gurat sisi. Menurut Ganzon et al. (2012), sisik merupakan bagian tubuh yang penting untuk mempelajari morfologi ikan dian-taranya dalam identifikasi dan klasifikasi. Struktur sisik, salah satunya dapat membantu memperjelas mengenai jenis ikan (status taksonominya).

Sisik ikan brek dari Sungai Serayu memiliki bentuk membulat dengan struktur jari-jari pada bagian posterior tidak tampak jelas (Gambar 9). Menurut Ganzon et al. (2012), bentuk sisik ikan anggota Cyprinidae antara lain segi empat, segi lima, membulat, kubus, dan memanjang. Struktur sisik ikan brek dari Serayu cenderung mirip dengan anggota Barbodes yang telah direvisi namanya menjadi Barbonymus (Kottelat 1999; Kottelat & Widjanarti 2005), yaitu mempunyai pola sejajar atau melengkung ke ujung, sedikit atau tidak ada proyeksi jari-jari ke sam-ping. Karakter pendukungnya adalah keberadaan tonjolan yang sangat kecil atau memanjang dari tulang mata sampai ke moncong dan dari dahi ke antara mata. Berdasarkan struktur sisik tersebut maka ikan brek dari Serayu mempunyai kecenderungan termasuk ke dalam genera Barbonymus. Padahal jika mengacu kepada Weber & de Beaufort (1916) yang dimaksud dengan ikan brek adalah P. orphoides. Hal inilah yang menyebabkan perlu ditelusuri lebih jauh mengenai karakter morfologi ikan brek dari Serayu baik secara meristik maupun morfo-metrik. Pada Gambar 9 dapat dilihat bahwa struktur sisik ikan brek mempunyai kemiripan yang lebih dekat dengan ikan tawes (B. gonionotus) dibandingkan dengan P. orphoides yang strukturnya seperti jari-jari roda.

(37)

21 ini menunjukkan bahwa ikan brek dari Sungai Serayu Banjarnegara mempunyai kedekatan dengan B. balleroides dibandingkan dengan P. orphoides.

Kecenderungan ikan brek sungai Serayu lebih dekat ke jenis B. balleroides juga ditunjukkan oleh karakter jumlah sisik di depan sirip dorsal yaitu antara 10-13 buah dan kisaran menurut Weber & de Beaufort (1916) yaitu antara 11-10-13 bu-ah, sebaliknya untuk P. orphoides antara 10-11. Jumlah yang paling banyak di-jumpai adalah 12 sisik, oleh karena itu sudah di luar kisaran untuk P. orphoides.

Kepastian status spesies ikan brek di Sungai Serayu dapat dilihat dari hasil analisis diskriminan. Berdasarkan hasil analisis terhadap 24 karakter morfometrik diketahui hanya sembilan karakter yang dapat membedakan. Tiga karakter yang utama adalah panjang sungut moncong (PSM), panjang total (PT), dan tinggi ba-dan pada awal sirip punggung (TBSAD). Ikan brek dari Serayu memiliki sungut moncong yang lebih panjang (0,073 mm % PB) dibandingkan P. orphoides (0,058 mm % PB) dan B. gonionotus (0,052 mm % PB) (Tabel 7). Pada Gambar 10 dapat dilihat bahwa antara B. balleroides dan P. orphoides tidak ada satu ekorpun yang saling berkaitan. Hal ini menunjukkan bahwa kedua jenis tersebut merupakan spe-sies yang berbeda, terlebih lagi bila dibandingkan dengan B. gonionotus.

Simpulan

(38)

22

4

POLA PERTUMBUHAN IKAN BREK (

Barbonymus

balleroides

Val. 1842)

Pendahuluan

Ikan brek mempunyai sebaran yang luas, di Indonesia meliputi Jawa dan Kalimantan. Jenis ikan ini dapat dijumpai di perairan waduk maupun sungai (Mohsin & Ambak 1983). Penelitian mengenai ikan brek telah dilakukan di be-berapa lokasi misalnya di Sungai Cimanuk, Waduk Lahor, Waduk Jatiluhur, dan Waduk Gadjah Mungkur. Namun di Serayu, sampai saat ini ikan brek belum ba-nyak diteliti terlebih mengenai pola pertumbuhan. Padahal dengan kondisi ling-kungan yang berbeda dapat terjadi pola pertumbuhan yang bervariasi.

Dalam rangka pelestarian dan pengelolaan memerlukan informasi biologi dasar dari spesies dan habitatnya. Mengingat brek merupakan ikan ekonomis pen-ting dan informasi mengenai aspek biologi pada habitat yang terfragmentasi masih minim maka telah dilakukan penelitian. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji pola pertumbuhan dan faktor kondisi di perairan Sungai Serayu kawasan hulu.

Bahan dan Metode

Penelitian dilakukan pada kawasan hulu Sungai Serayu di wilayah Kabu-paten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi penelitian, karakteristik habi-tat, dan teknik pengambilan sampel ikan brek secara rinci dapat dilihat pada Bab 2.

Panjang total (TL) setiap individu diukur menggunakan kaliper digital de-ngan ketelitian 0,01 mm, sedangkan bobot tubuh ditimbang menggunakan tim-bangan digital dengan ketelitian 0,0001 g. Semua spesimen dibedah pada bagian perut dan diamati gonad untuk menentukan jenis kelaminnya dengan mengacu ke-pada Effendie (1979). Sebaran frekuensi panjang dianalisis berdasarkan kedua jenis kelamin menggunakan bantuan program Excel. Begitu pula untuk sebaran normal dibuat berdasarkan data frekuensi panjang dari setiap sampel menurut jenis kelaminnya juga menggunakan komputer analisis (Microsoft Excel). Distri-busi normal setiap komponen diasumsikan mewakili setiap kelompok umur dalam populasi tersebut. Luaran dari analisis ini mencakup nilai rata-rata panjang total, simpangan baku, dan proporsi setiap kelompok umur yang dijelaskan dengan distribusi normal setiap komponen. Analisis data mencakup:

Hubungan antara panjang bobot yang dinyatakan dengan rumus

W = aL

b

(39)

23 Faktor kondisi (K) dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Kn adalah faktor kondisi, W adalah bobot tubuh (g), L adalah panjang total

(mm), a dan b adalah konstanta.

Hasil

Jumlah ikan brek yang tertangkap selama penelitian sebanyak 2.466 ekor yang terdiri atas 1.073 jantan (43,51%) dan 1.393 betina (56,49%). Ukuran ikan yang ditemukan bervariasi, yaitu jantan dengan kisaran panjang total 58-236 mm dan bobot tubuh 2-172 g, sedangkan betina dengan panjang antara 63-309 mm dan bobot tubuh 3-350 g. Ikan brek yang paling banyak tertangkap, pada jantan dengan kisaran 100-120 mm dan betina 79-99 mm (Gambar 12).

Gambar 12. Struktur ukuran ikan brek di Sungai Serayu

Berdasarkan bulan pengamatan, ikan brek yang tertangkap paling banyak pada bulan Februari 2013 (302 ekor) dengan kisaran jumlah ikan setiap stasiun pada jantan 44-64 ekor dan betina 48-52 ekor, sebaliknya yang paling sedikit pada bulan Agustus 2012 (144 ekor) dengan kisaran jumlah jantan 6-11 ekor dan betina 39-43 ekor. Kisaran jumlah ikan yang tertangkap selama penelitian adalah jantan 6-64 ekor dan betina 17-53 ekor. Baik jantan maupun betina paling banyak di zona atas masing-masing 393 jantan dan 474 betina (Tabel 10).

(40)

24

Tabel 10. Sebaran jumlah ikan brek yang tertangkap di Sungai Serayu berdasar-kan zona dan jenis kelamin pada setiap bulan

Bulan Bawah Tengah Atas Total

Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina

Juni 15 31 34 32 28 51 191

Hubungan panjang bobot dihitung berdasarkan 2.466 ekor ikan brek yang terdiri atas 1.073 jantan dan 1.393 betina. Hasil analisis ditemukan persamaan regresi W= 7.10-7 L3.084 (r2= 0,97) untuk seluruh spesimen, W = 8.10-7 L3.061 (r2= 0,96) untuk jantan, dan W= 7.10-7L3.089 (r2= 0,98) untuk betina (Gambar 13). Pola pertumbuhan ikan brek jantan dan betina antarzona disajikan pada Tabel 11.

Gambar 13.Hubungan panjang bobot ikan brek jantan dan betina Tabel 11. Hubungan panjang bobot dan pola pertumbuhan ikan brek antarzona

(41)

25

Hasil analisis menggunakan FISAT II diperoleh ukuran maksimum atau panjang asimtotik (L∞) ikan brek di Serayu yang berbeda antarzona maupun antara jantan dan betina terkecuali pada zona tengah. Kisaran panjang asimtotik ikan brek di Serayu antara 232,05-321,30 mm. Nilai koefisien pertumbuhan (K) juga bervariasi baik antarzona maupun antar jenis kelamin dengan kisaran 0,46-1,70 (Tabel 12). Kurva pertumbuhan ikan brek secara keseluruhan disajikan pada Gambar 14.

Tabel 12. Panjang asimtotik dan koefisien pertumbuhan (K) ikan brek di Serayu

Zona Jenis Kelamin L∞ (mm) K t0

Gambar 14. Kurva pertumbuhan ikan brek (B. balleroides)

(42)

26

Tabel 13.Faktor kondisiikan brek berdasarkan sex dan bulan di Sungai Serayu

Bulan Bawah Tengah Atas

Pada penelitian ini, diperoleh nilai koefisien determinasi (r2) untuk persa-maan regresi hubungan panjang bobot (HPB) dari seluruh spesimen yang diteliti sebesar 0,96 untuk jantan dan betina 0,98. Untuk ketiga zona baik jantan maupun betina juga mempunyai HPB yang tinggi (r2>0,90). Hal ini menunjukkan terdapat hubungan yang erat antara panjang dan bobot ikan brek di Serayu. Pertambahan bobot pada ikan brek di perairan ini lebih cepat dibandingkan pertambahan pan-jang yang sejalan dengan pendapat Weatherly (1972), bahwa umumnya perubahan bobot pada ikan lebih besar daripada perubahan panjangnya. HPB pada ikan dipe-ngaruhi oleh sejumlah faktor antara lain habitat, makanan, fase pertumbuhan, mu-sim, derajat kepenuhan isi lambung, jenis kelamin, kematangan gonad, dan kon-disi umum ikannya. Faktor-faktor tersebut digambarkan dengan besaran nilai b (Sarkar et al. 2013). Besaran nilai b pada penelitian ini antara 2,997 and 3,167 (Tabel 11). Nilai b pada ikan bervariasi sesuai dengan spesies, jenis kelamin, umur, musim, dan makanan. Selain itu juga dipengaruhi oleh perubahan bentuk ikan, kondisi fisiologi, dan perbedaan jumlah ketersediaan makanan, tahapan kehidupan atau pertumbuhan yang kesemuanya dapat memengaruhi nilai b (Le Cren 1951).

(43)

27 mencapai panjang maksimal (L∞) 312,9 mm. Hal ini sesuai dengan kondisi di lapangan, yaitu ikan brek yang tertangkap paling besar 309 mm. Ikan brek akan mengalami perlambatan pertumbuhan pada umur 4,3 tahun dan mencapai panjang asimtotik pada umur 8,6 tahun. Berdasarkan zona terdapat kecenderungan ukuran panjang maksimal (gabungan= jantan + betina) makin besar ke arah hilir. Kecenderungan ini dapat disebabkan pada zona bawah kondisi sungai dan ketersediaan makanan lebih mendukung dibandingkan kedua zona lainnya. Dengan demikian pertumbuhan ikan brek akan lebih cepat dibandingkan zona lainnya.

Berdasarkan hasil pengamatan, faktor kondisi pada setiap bulan di seluruh zona tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi perairan di ketiga zona tidak berbeda jauh sehingga ikan brek dapat ber-adaptasi dengan baik.

Secara umum nilai faktor kondisi meningkat mulai Juni sampai Desember yang diduga dipengaruhi oleh perkembangan gonad. Hasil pengamatan terhadap indeks kematangan gonad dan jumlah ikan yang matang gonad pada periode tersebut juga tinggi dengan puncaknya antara Agustus sampai September. Menurut Anene (2005), faktor kondisi sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan baik biotik maupun abiotik dan dapat digunakan sebagai indeks untuk mengetahui status ekosistem perairan dimana ikan hidup. Kondisi perairan Sungai Serayu, secara fisik dan kimiawi tidak terdapat perbedaan yang mencolok (Tabel 2), dan masih cukup baik untuk mendukung pertumbuhan ikan brek.

Simpulan

(44)

28

5

ASPEK BIOLOGI REPRODUKSI IKAN BREK (

Barbonymus

balleroides

Val. 1842)

Pendahuluan

Ikan brek merupakan jenis asli Sungai Serayu yang menyukai habitat bera-rus dengan dasar perairan berupa batuan. Jenis ikan tersebut potensial untuk di-kembangkan menjadi ikan budi daya. Namun informasi mengenai biologi repro-duksi ikan brek masih terbatas terutama di Sungai Serayu kawasan hulu yang ha-bitatnya terfragmentasi oleh Waduk Panglima Besar Jenderal Soedirman atau Waduk Mrica sejak tahun 1988.

Keberadaan waduk di perairan sungai secara permanen memotong jalur ruaya ikan yang pada akhirnya dapat menurunkan keragaman jenis ikan (Helfman 2007; Kartamihardja 2008), dan dapat mereduksi struktur anatomi ikan (Lorencio 1992). Ruaya merupakan bagian dari siklus hidup ikan sebagai bentuk adaptasi dan strategi untuk meningkatkan kelangsungan hidup, tumbuh, dan reproduksi. Kotusz et al. (2006) menegaskan bahwa ruaya merupakan proses penting yang berkaitan dengan interaksi biologi dan fungsinya pada ekosistem perairan.

Keberadaan Waduk Mrica diduga juga berpengaruh terhadap populasi ikan brek yang mempunyai kebiasaan beruaya ke arah hulu ketika akan memijah. Ba-hiyah et al. (2013) melaporkan bahwa dari pengamatan terhadap populasi ikan brek diketahui bahwa fragmentasi sungai akibat keberadaan waduk berdampak terhadap variasi genetik yang mengarah pada pembentukan subpopulasi. Selan-jutnya Mote et al. (2014) berdasarkan hasil penelitian satu musim menyebutkan bahwa terdapat indikasi keberadaan waduk berpengaruh terhadap proses repro-duksi ikan brek. Berdasarkan permasalahan di atas maka telah dilakukan peneli-tian mengenai aspek biologi reproduksi ikan brek dengan periode yang lebih leng-kap dalam satu tahun. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji dimorfisme seksual, ukuran kali pertama ikan matang gonad, musim pemijahan, potensi reproduksi, dan tipe pemijahannya di Sungai Serayu kawasan hulu. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar pengelolaan sumber daya ikan brek agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.

Bahan dan Metode

Penelitian dilakukan di kawasan hulu Sungai Serayu wilayah Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Lokasi dan teknik pengambilan sampel ikan secara rinci dapat dilihat pada Bab 2. Pengamatan terhadap panjang total setiap individu diukur menggunakan kaliper digital dengan ketelitian 0,01 mm, sedangkan bobot tubuh ditimbang menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,0001 g.

(45)

29 Tabel 14. Kriteria tingkat kematangan gonad ikan brek (Barbonymus balleroides)

TKG Betina Jantan

I Ovarium seperti benang, panjang sampai ke ujung depan rongga perut, jernih, permukaan licin.

Testis seperti benang, lebih pendek, ukurannya tidak sampai ujung depan rongga perut,dan jernih.

II Ukuran ovarium sampai ujung depan rongga perut, mengisi kurang dari sepersepuluh rongga perut, bewarna putih jernih dan terdapat butiran oosit yang kecil.

Ukuran tidak sampai ujung depan rongga perut, testis lebih besar, warna putih seperti susu, bentuk lebih jelas daripada tingkat I .

III Ukuran ovarium sampai bagian ujung depan rongga perut. Ovarium mengisi hampir setengah rongga perut, telur-telur mulai terlihat dengan jelas, ovari bewarna kekuning-kuningan.

Ukuran testis tidak sampai ujung depan rongga perut, mengisi hampir setengah rongga perut, dan bewarna putih susu.

IV Ukuran ovarium sampai bagian ujung depan rongga perut. Mengisi sebagian besar rongga perut, warna menjadi lebih kuning dan lebih gelap. Telur-telur terlihat jelas, terpisah satu sama lain.

Ukuran testis tidak sampai ujung depan rongga perut, testis makin besar, berwarna putih susu dan mengisi sebagian besar rongga perut.

V Ukuran gonad sampai bagian ujung depan rongga perut, terdapa sisa telur bewarna kuning kehijauan di seluruh ovarium. Ovarium mengempis di bagian posterior karena telah dikeluarkan saat pemijahan.

Ukuran testis tidak sampai ujung depan rongga perut, testis mengempis pada bagian ujung posterior.

Ukuran ikan kali pertama matang gonad dianalisis berdasarkan panjang total dengan pendekatan histogram dan metode Spearman-Karber pada Udupa (1986). Ukuran tersebut selanjutnya dibuat persamaan regresi terhadap tinggi badan. Gonad setiap individu diangkat dan ditimbang menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,0001 g. Analisis aspek reproduksi meliputi:

a) Nisbah kelamin

Nisbah kelamin dihitung berdasarkan rumus menurut Effendie (1979), yaitu:

(46)

30

Keterangan:

X2 : Nilai khi kuadrat

Oi : Frekuensi observasi yaitu jumlah ikan jantan atau betina hasil pengamatan

Ei : Frekuensi harapan yaitu jumlah ikan jantan atau betina secara teoritis (1 : 1)

b) Ukuran kali pertama matang gonad

Analisis terhadap ukuran ikan kali pertama matang gonad berdasar-kan ukuran panjang total mengacu kepada Udupa (1986) dengan rumus se-bagai berikut:

(

Keterangan:

m : Logaritma panjang ikan pada kematangan gonad pertama Xk : Logaritma nilai tengah pada saat ikan matang gonad 100%

pi : ri/ni

ri : Jumlah ikan matang gonad pada kelas ke-i ni : Jumlah ikan total

x : Rata-rata hasil pengurangan log nilai tengah

c) Indeks kematangan gonad (IKG)

Indeks kematangan gonad dihitung dengan rumus:

Keterangan:

IKG : Indeks kematangan gonad

Wg : Bobot gonad ikan (gram)

Wt : Bobot tubuh ikan (gram)

d) Hubungan fekunditas dengan panjang total dan bobot ikan

- Hubungan antara fekunditas dengan panjang ikan dianalisis meng-gunakan rumus sebagai berikut:

- Hubungan antara fekunditas dengan bobot tubuh dianalisis menggu-nakan rumus sebagai berikut:

F = a + bW

Keterangan: F : Fekunditas

(47)

31 Telur ikan matang gonad (TKG IV) diukur diameternya dengan cara mengambil sampel telur dari ovarium bagian anterior, tengah, dan posterior yang secara keseluruhan berjumlah 100 butir lalu dimasukkan ke dalam cawan petri dan diamati secara bertahap di bawah mikroskup stereo yang dilengkapi dengan mikrometer okuler. Hasil pengukuran lalu dibuat histogram distribusi diameter telur.

Hasil

Nisbah kelamin

Hasil analisis nisbah kelamin ikan brek yang matang gonad (TKG IV) mengalami perubahan pada setiap bulannya. Pada bulan Juni sampai Desember persentase jumlah betina yang matang gonad mengalami peningkatan dibanding-kan yang jantan. Sementara pada bulan Januari baik jantan maupun betina matang gonad tidak ditemukan, sedangkan pada Februari hanya jantan yang matang gonad (Gambar 15).

Gambar 15. Persentase jumlah ikan brek TKG IV pada tiap bulan

Dimorfisme seksual

Untuk membedakan antara ikan brek jantan dan betina dari karakter mor-fologi telah dilakukan pengamatan. Bentuk tubuh jantan lebih ramping diban-dingkan betinanya, bentuk kepala pada jantan lebih meruncing, profil antara ke-pala dan bagian punggung pada betina terdapat lekukan sedangkan pada jantan lurus, jari-jari pertama sirip dada pada jantan lebih kasar dibandingkan betinanya, warna sirip pada ikan jantan lebih cerah dibandingkan betina. Pada jantan terdapat buncak pemijahan berupa butiran putih yang kasar pada bagian pipinya, sedangkan betinanya halus (Tabel 15). Perbedaan morfologi antara ikan brek jantan dan betina disajikan pada Gambar 16.

0

Jun Jul Agust Sept Okt Nov Des Feb Mar April Mei

(48)

32

Tabel 15. Karakter dimorfisme seksual ikan brek Sungai Serayu

Karakter Jantan Betina

Bentuk tubuh Tubuh pipih memanjang dan lebih ramping dibandingkan betina

Tubuh pipih memanjang dan membulat

Bentuk kepala Meruncing Membulat Profil punggung Tidak terdapat lekukan antara

kepala dan punggung

Cenderung melekuk antara kepala dan punggung

Buncak pada pipi Ada. Tampak jelas, mulai dari pipi, dekat bibir dan kepala bagian atas

Tidak ada. Pipi dan kepala bagian atas halus

Sirip perut Bentuk lebih kokoh. Umumnya mempunyai warna oranye yang lebih menyala dibandingkan betina dan tidak terputus

Bentuk sirip tidak kokoh. Warna oranye pudar dan terputus

Sirip dada Jari-jari pertama (duri) kasar Jari-jari pertama (duri) halus tanpa

Bentuk saluran genital Pada ikan yang matang gonad bentuk saluran genital meruncing, warna putih

Pada ikan yang matang gonad bentuk saluran genital membulat, warna kemerahan

Gambar 16. Perbedaan ikan brek jantan dan betina secara morfologis

(49)

33 Tingkat kematangan gonad (TKG)

Persentase ikan brek berdasarkan tingkat kematangan gonad, yaitu paling banyak tertangkap pada TKG I sebesar 28,43%, diikuti TKG II sebesar 27,98%, dan paling sedikit TKG III sebesar 13,79% (Gambar 17).

Gambar 17. Persentase ikan brek yang tertangkap berdasarkan TKG

Tingkat kematangan gonad berdasarkan zona, yaitu jantan paling tinggi TKG I di zona bawah sebesar 36,50% dan terendah pada TKG V di zona atas sebesar 14,25%. Untuk betina paling tinggi pada TKG II di zona tengah dan terendah juga di zona tengah pada TKG III sebesar 7,30% (Gambar 18).

Gambar 18. Persentase tingkat kematangan gonad ikan brek berdasarkan zona Ikan brek matang gonad (TKG IV) baik jantan maupun betina hampir dite-mukan pada setiap bulan. Jumlah betina matang gonad dari ketiga zona paling tinggi pada bulan Agustus dan September yang jauh lebih besar dibandingkan dengan bulan lainnya (Gambar 19). Hasil analisis berdasarkan jumlah betina

28,43 27,98

13,79 14,36

15,45

0 5 10 15 20 25 30

I II III IV V

F

re

k

u

en

si

(%

)

(50)

34

matang gonad yaitu paling tinggi di zona atas sebesar 40,76%, namun periode terjadinya pemijahan yang paling lama adalah di zona bawah yang mencapai 75%. Persentase periode pemijahan tersebut dihitung berdasarkan jumlah bulan keterdapatan ikan siap mijah dalam satu tahun.

Gambar 19. Persentase ikan brek betina matang gonad selama penelitian

Indeks kematangan gonad (IKG)

IKG bervariasi baik pada ikan jantan maupun betina dengan kisaran masing-masing 0,74-3,88 dan 0,58-4,94 (Tabel 16). IKG betina paling tinggi pada bulan Agustus dan September.

Tabel 16. Indeks kematangan gonad ikan brek selama penelitian

Bulan Jantan Betina

IKG rata-rata secara keseluruhan untuk jantan lebih kecil dibandingkan be-tinanya masing-masing 1,76 dan 2,59. Nilai indeks kematangan gonad mengalami kenaikan sejalan dengan perkembangan gonadnya (Gambar 20).

0

Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr May

Gambar

Tabel 5. Karakter morfometrik yang diamati pada ikan brek dan kerabatnya
Gambar 7. Bagian struktur sisik ikan brek yang diamati
Tabel 6. Karakter meristik dan morfologi ikan brek Sungai Serayu
Gambar 9. Bagian struktur sisik ikan brek dan kerabatnya
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan bulan pengamatan nilai IKG tertinggi ikan jantan ditemukan pada bulan Maret, sedangkan ikan betina ditemukan pada bulan Oktober, berdasarkan fakta ini

Hasil tangkapan menunjukkan bahwa di sungai-sungai yang bermuara ke Teluk Palabuhanratu terdapat dua jenis ikan sidat, yaitu Anguilla bicolor bicolor dan Anguilla marmorata

Berdasarkan struktur populasi biota ikan pada stasiun Sungai Gendol bawah, proporsi ikan karnivora yang berasal dari lele dan gabus sebe- sar <1,5%, sedangkan pada

Pelanggaran kegiatan penangkapan ikan di area suaka perikanan mulai tahun 2012 sangat dirasakan oleh masyarakat setempat.Setelah terjadi pelanggaran penangkapan ikan maka produksi

Karakter meristik yang diamati meliputi struktur sisik, jumlah rigi pada bagian belakang duri terakhir sirip dorsal, jumlah jari - jari pada sirip punggung (dorsal),

Ikan dan udang yang ditemukan di sungai Ciporeang lebih bervariasi jenisnya dibandingkan sungai Cipangisikan, hal ini disebabkan keadaan muara sungai Ciporeang yang

Sungai sangat berperan penting sebagai sumber air, habitat organisme dan pemenuhan kehidupan sehari-hari, juga dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya perikanan, maka perairan

Tingkat kelimpahan jenis ikan di Sungai Gajahwong dari hulu stasiun I-V (Sardonoharjo - Caturtunggal) sampai tengah stasiun VI (Baciro) tertinggi pada spesies