• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1) Bank Umum Syariah

memperhitungkan bunga tapi berdasarkan prinsip jual beli dan bagi hasil.(Martono, 2010:94)

a. Kelembagaan Bank Syariah

Bank syariah dapat berbentuk Bank Umum Syariah (BUS) maupun Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Menurut Undang-Undang No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah Indonesia, dijelaskan bahwa bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah. (Salman, 2014:4)

1) Bank Umum Syariah

Bank Umum Syariah (BUS) adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. BUS merupakan badan usaha yang setara dengan bank umum konvensional dengan bentuk hukum perseroan terbatas, perusahaan daerah, atau koperasi. Seperti halnya bank umum konvensional, BUS dapat berusaha sebagai bank devisa atau bank non devisa. (Rivai, Veithzal, & Idroes, 2007:753) 2) Unit Usaha Syariah

Unit Usaha Syariah (UUS) merupakan unit kerja dari kantor pusat bank umum konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, atau unit kerja di kantor

15 cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu dan/atau unit syariah. (Salman, 2014:70)

b. Fungsi dan Peran Bank Syariah

Fungsi dan peran bank syariah yang diantaranya tercantum dalam pembukaan standar akuntansi yang dikeluarkan oleh AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution), sebagai berikut:

1) Manajer investasi, bank syariah dapat mengelola investasi dana nasabah.

2) Investor, bank syariah dapat menginvestasikan dana yang dimilikinya maupun dana nasabah yang dipercayakan kepadanya. 3) Penyedia jasa keuangan dan lalu lintas pembayaran, bank syariah dapat melakukan kegiatan-kegiatan jasa-jasa layanan perbankan sebagaimana lazimnya.

4) Pelaksanaan kegiatan sosial, sebagai ciri yang melekat pada entitas keuangan syariah, bank Islam juga memiliki kewajiban untuk mengeluarkan dan mengelola (menghimpun, mengadministrasikan, mendistribusikan) zakat serta dana-dana sosial lainnya. (Sudarsono, 2008:43)

16 c. Tujuan Bank Syariah

Bank syariah mempunyai beberapa tujuan diantaranya sebagai berikut:

1) Mengarahkan kegiatan ekonomi umat untuk ber-muamalat secara Islam, khususnya muamalat yang berhubungan dengan perbankan, agar terhindar dari praktek-praktek riba atau jenis-jenis usaha/perdagangan lain yang mengandung unsur gharar (tipuan), dimana jenis-jenis usaha tersebut selain dilarang dalam Islam, juga telah menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan ekonomi rakyat.

2) Untuk menciptakan suatu keadilan di bidang ekonomi dengan jalan merakatan pendapatan melalui kegiatan investasi, agar tidak terjadi kesenjangan yang amat besar antara pemilik modal dengan pihak yang membutuhkan dana.

3) Untuk meningkatkan kualitas hidup umat dengan jalan membuka peluang berusaha yang lebih besar terutama kelompok miskin, yang diarahkan kepada kegiatan usaha yang produktif, menuju terciptanya kemandirian usaha.

4) Untuk menanggulangi masalah kemiskinan, yang pada umumnya merupakan program utama dari negara-negara yang sedang berkembang. Upaya bank syariah di dalam mengentaskan kemiskinan ini berupa pembinaan nasabah yang lebih menonjol sifat kebersamaan dari siklus usaha yang lengkap seperti program

17 pembianaan pengusaha produsen, pembinaan pedagang perantara, program pembinaan konsumen, program pengembangan modal kerja dan program pengembangan usaha bersama.

5) Untuk menjaga stabilitas ekonomi dan moneter. Dengan aktivitas bank syariah akan mampu menghindari pemanasan ekonomi diakibatkan adanya inflasi, menghindari persaingan yang tidak sehat antara lembaga keuangan.

6) Untuk menyelamatkan ketergantungan ummat Islam terhadap bank non-syariah.(Sudarsono, 2008:44)

d. Produk dan Jasa Perbankan Syariah

Karim (2007:112) Pada dasarnya, produk yang ditawarkan oleh perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian besar, yaitu: 1) Produk Penyaluran Dana (financing)

Dalam menyalurkan dananya kepada nasabah, secara garis besar produk-produk pembiayaan syariah terbagi ke dalam empat kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya, yaitu:

1. Pembiayaan dengan prinsip jual-beli 2. Pembiayaan dengan prinsip sewa 3. Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil 4. Pembiayaan dengan pelengkap akad

18 Pembiayaan dengan prinsip jual-beli ditujukan untuk memiliki barang, sedangkan yang menggunakan prinsip sewa ditujukan untuk mendapatkan jasa. Prinsip bagi hasil digunakan untuk usaha kerja sama yang ditujukan guna mendapatkan barang dan jasa sekaligus.Untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan, biasanya diperlukan juga akad pelengkap. Akad pelengkap ini tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, tapi ditujukan untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan.

2) Produk Penghimpunan Dana (funding)

Penghimpunan dana di Bank Syariah dapat berbentuk giro, tabungan dan deposito. Prinsip operasional syariah yang diterapkan dalam penghimpunan dana masyarakah adalah prinsip

wadi’ah dan mudharabah. Dalam pelaksanaan penghimpunan

dana, biasanya diperlukan juga akad pelengkap untuk mempermudah pelaksanaan penghimpunan dana.

3) Produk Jasa (service)

Selain menjalankan fungsinya sebagai intermediaries (penghubung) antara pihak yang membutuhkan dana (deficit unit) dengan pihak yang kelebihan dana (surplus unit), bank syariah dapat pula melakukan berbagai pelayanan jasa perbankan kepada nasabah dengan mendapat imbalan berupa sewa atau keuntungan.

19 2. Pembiayaan Murabahah

Sri Wahyuni dan Wasilah (2012:168) Pertukaran atau jual beli adalah salah satu cara yang biasa digunakan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang sangat banyak dan beragam seperti pangan, papan, sandang, pendidikan dan lain sebagainya. Jual beli terjadi karena manusia tidak akan mampu memenuhi semua kebutuhanya sendiri. Murabahah adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penual dan pembeli. Pembayaran atas akad jual beli dapat dilakukan secara tunai

(bai’ naqdam) atau tangguh (Bai’ Mu’ajjal/bai’ Bi’tsaman Ajil).

Secara singkat, murabahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Akad ini merupakan salah satu bentuk natural certainty contracts, karena dalam murabahah ditentukan berapa required rate of profit-nya (keuntungan yang ingin diperoleh). Karena dalam definisnya disebut adanya “keuntungan yang disepakati”, karakteristik murabahah adalah si penjual harus memberi tahu pembeli tentang harga pembelian barang dan menyatakan jumlah keuntungan yang ditambahkan pada biaya tersebut. (Karim, 2007:113)

20 Gambar 2.1 Proses Pembiayaan Murabahah

Sumber: Rivai, Veithzal, & Idroes, 2007:779

a. Landasan Syariah 1) Al Qur’an:

Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Q.S: Al Baqarah: 275)

2) Al Hadits:

Dari Suhaib Ar Rumi r.a., bahwa Rasulullah SAW bersabda,

“Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkatan: jual-beli

secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (H.R. Ibnu Majah)

21 b. Rukun Murabahah

Berikut merupakan rukun murabahah: 1) Penjual (Ba’i)

2) Pembeli (Musytari) 3) Barang/Objek (Mabi’) 4) Harga (Tsaman)

5) Ijab Qabul (Shigat).(Zulkifli, 2007:40) c. Syarat bai’ al-Murabahah

Adapun syarat-syarat dari bai’ al-Murabahah yaitu: 1) Penjual memberitahu biaya modal kepada nasabah.

2) Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan. 3) Kontrak harus bebas dari riba.

4) Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian.

5) Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian.

Secara prinsip jika syarat dalam (1), (4), atau (5) tidak dipenuhi, maka pembeli memiliki pilihan:

a. Melanjutkan pembelian seperti apa adanya.

b. Kembali kepada penjual dan menyatakan ketidaksetujuan atas barang yang dijual.

22 d. Murabahah dalam Perbankan Syariah

Menurut Antonio (2001:106) sesuai dengan sifat bisnis (tijarah), transaksi ba’i al-murabahah memiliki beberapa manfaat dan juga resiko yang harus diantisipasi. Ba’i al-murabahah memberikan banyak manfaat kepada bank syariah, salah satunya adalah adanya keuntungan yang muncul dari selisih harga beli dari penjual dengan harga jual kepada nasabah. Selain itu, sistem ba’i al -murabahah juga sangat sederhana. Hal tersebut memudahkan penanganan administrasinya di bank syariah. Selain manfaat ba’i al-murabahah juga memiliki resiko yang harus diantisipasi diantaranya sebagai berikut:

1) Kelalaian atau default, nasabah sengaja tidak membayar kewajiban (angsuran).

2) Fluktuasi harga komparatif, resiko ini terjadi apabila harga suatu barang di pasar naik setelah bank membelikannya untuk nasabah. Bank tidak bisa mengubah harga jual beli tersebut.

3) Penolakan nasabah, bisa karena rusak dalam perjalanan sehingga nasabah tidak menerimanya. Karena itu, sebaiknya dilindungi dengan asuransi. Kemungkinan lain yang bisa saja terjadi karena nasabah merasa spesifikasi barang tersebut berbeda dengan yang dipesan. Jika bank sudah menandatangani kontrak pembelian dengan penjualnnya (supplier), barang tersebut akan menjadi milik bank.

23 4) Dijual; karena ba’i al-murabahah bersifat jual-beli dengan hutang, maka ketika kontrak ditandatangani barang itu sudah menjadi milik nasabah. Nasabah bebas melakukan apapun terhadap aset miliknya tersebut, termasuk menjualnya. Jika terjadi demikian, resiko untuk default akan besar.

Dokumen terkait