• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran barang bukti di dalam pengadilan akan sangat membantu hakim dalam memutuskan perkara, terutama untuk menambah keyakinan hakim dalam menentukan kesalahan terdakwa. Seperti yang telah diuraikan diatas bahwa pembuktian merupakan suatu aspek yang sangat penting didalam sebuah kasus. Suatu perkara pidana yang ada barang buktinya, biasanya akan dapat mempercepat proses penyelesaian perkaranya daripada perkara lain yang tidak mempunyai barang buktinya. Demi kepentingan pembuktian tersebut maka kehadiran benda- benda yang tersangkut dalam suatu tindak pidana, sangat diperlukan.

Barang bukti adalah hasil serangkaian tindakan penyidik dalam penyitaan, dan atau penggeledahan dan atau pemeriksaan surat untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.60 Pengertian lain dari barang bukti atau corpus delicti adalah barang mengenai hal delik dilakukan (objek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan yaitu alat yang dipakai untuk melakukan delik, termasuk juga barang bukti adalah hasil dari suatu delik, barang yang memiliki hubungan langsung dengan tindak pidana.61

60

Hari Sasangka dan Lily Rosita, op.cit , hal 99

61

Andi Hamzah, kamus hukum, (Jakarta:Gahlian,1986) hal 100

Dalam ha ini barang bukti dan alat bukti mempunyai hubungan erat dan merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat di pisahkan. Dalam persidangan setelah semua alat bukti di periksa, selanjutnya dilanjutkan dengan pemeriksaan

barang bukti. Selain itu juga akan sangat berperan dalam memberikan keyakinan pada hakim dalam memutus suatu perkara.

Barang bukti dalam proses pembuktian dapat diperoleh ditentukan dengan cara-cara yang ditentukan dalam KUHAP yaitu:62

a. Penggeledahan (diatur dalam pasal 32 sampai 37 KUHAP dan pasal 125 sampai pasal 127 KUHAP)

b. Penyitaan (diatur dalam pasal 38 samapi 46 KUHAP dan pasal 128 sampai pasal 130 KUHAP)

c. Pemeriksaan surat (diatur dalam pasal 47-49 KUHAP dan pasal 131 KUHAP)

1. Termasuk pengertian penggeledahan adalah penggeledahan rumah, badan dan penggeledahan pakaian (pasal 32)

2. Penggeledahan badan di dalamnya termasuk pula pemeriksaan rongga badan (penjelasan pasal 37)

3. Termasuk pengertian pemeriksaan surat adalah penyitaan surat, pemeriksaan buku atau kitab, daftar dan sebagainya (pasal 131) Kalau dilihat dari ketentuan yang diatur dalam pasal 181 KUHAP tentang pemeriksaan barang bukti, seakan-akan hanya bersifat formil saja. Padahal secara material barang bukti seringkali sangat berguna bagi hakim untuk menyandarkan keyakinannya. Meskipun telah ada alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang serta telah melibihi batas minimum pembuktian, tetapi hakim tidak harus yakin bahwa terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana yang telah

62

didakwakan. Singkatanya hakim tidak bisa dipaksa yakin berdasarkan alat bukti yang ada, meskipun alat bukti yang ada sudah memenuhi syarat pembuktian.

B.Perluasan Pembuktian Pada Tindak Pidana Khusus

Berdasarkan KUHAP, maka yang dinilai sebagai alat bukti dan yang dibenarkan mempunyai kekuatan pembuktian hanya terbatas kepada alat bukti sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 184 Ayat (1) KUHAP. Dengan kata lain, sifat dari alat bukti menurut KUHAP adalah “limitative” atau terbatas pada yang ditentukan saja. Di luar alat bukti yang telah ditentukan tersebut, tidak dibenarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Akan tetapi, KUHAP bukanlah satu-satunya peraturan perundang-undangan pidana formil yang mengatur mengenai pembuktian. Hukum pembuktian yang bersifat khusus , dasarnya bukan semata-mata kepada ketentuan hukum acara pidana sebagaimana pasal 183 KUHAP. Tegasnya, ketentuan hukum pembuktian yang bersifat khusus terdapat dalam UU tindak pidana khusus diluar tindak pidana umum sebagaimana diatur dalam pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(KUHP)63. Didalam UU tindak pidana khusus tersebut diatur mengenai ketentuan hukum pidana formal dan hukum pidana materil secara sekaligus.64

63

Ketentuan pasal 103 KUHP berbunyi, “ketentuan-ketentuan yang tersebut di dalam delapan bab pertama dari buku ini, juga berlaku terhadap perbuatan-perbuatan yang menurut lain-lain peraturan perundang-undangan diancam dengan hukuman, kecuali jika ditentukan lain oleh undang-undang, oleh peraturan umum dari pemerintah atau oleh suatu ordonansi.”

64

Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung : Alumni, 2007) hal: 91

Beberapa undang-undang pidana yang mempunyai aspek formil juga mengatur mengenai alat bukti tersendiri yang diantaranya terdapat pengaturan alat bukti elektronik.

Berikut ini, beberapa contoh undang-undang pidana formil di luar KUHAP yang mengatur mengenai alat bukti antara lain:

1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Dalam ketentuan pasal 26A undang-undang ini, alat bukti petunjuk diperluas, jangkauan pembuktian tidak hanya digali dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa sebagaimana ketentuan pasal 188 ayat (2) KUHAP melainkan dapat digali dari alat bukti lain yang berupa:

a. Informasi yang diucapkan, diterima, dikirim atau disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu; dan

b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat,dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda,

angka, atau perforasi yang memiliki makna.

2) Undang-Undang nomor 11 Tahun 2011 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Dalam ketentuan pasal 76 dan pasal 77 undang-undang tersebut yang berbunyi:

Pasal 76:

(1) Infromasi elektronik, dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya dalam kegiatan transfer dana merupakan alat bukti hukum yang sah;

(2) Informasi elektronik, dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku.

Pasal 77:

Tanda tangan elektronik dalam kegiatan transfer dana memiliki kekuatan hukum yang sah

3) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, perihal pembuktian diatur secara khusus. Kekhususan perihal pembuktian sebagaimana disebutkan dalam bagian kedua tentang pembuktian pasal 96 menyebutkan “alat bukti yang sah dalam tuntutan tindak pidana lingkungan hidup terdiri atas:

a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat;

d. Petunjuk;

e. Keterangan terdakwa; dan/atau

f.Alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Pada penjelasan Pasal 96 huruf f (merupakan penjelasan otentik Undang-undang), disebutkan bahwa yang dimaksud dengan alat bukti lain, meliputi, informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara

elektronik, magnetik, optik, dan/atau yang serupa dengan itu; dan/atau alat bukti data, rekaman, atau informasi yang dapat dibaca, dilihat, dan didengar yang dapat dikeluarkan dengan dan/atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, tidak terbatas pada tulisan, suara atau gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, simbol, atau perporasi yang memiliki makna atau yang dapat dipahami atau dibaca.

Pada ketiga contoh undang-undang diatas yang mengatur adanya perluasan sistem pembuktian mengatur tentang bukti elektronik. Dalam praktek penerapan bukti elektronik, hasil cetak dari dokumen atau informasi tidak langsung dapat diterima sebagai alat bukti yang beridiri sendiri. Menurut Ridwan, suatu bukti elektronik dapat memiliki kekuatan hukum apabila informasinya dapat dijamin keutuhannya, dapat dipertanggungjawabkan, dapat diakses dan dapat ditampilkan sehingga menerangkan suatu keadaan. Orang atau pihak-pihak yang mengajukan bukti elektronik di persidangan harus dapat menunjukan bahwa informasi yang dimilikinya berasal dari sistem elektronik yang dapat dipercaya yang pembuatannya dilakukan oleh penyelenggara sertifikat elektronik dan sistem elektronik.65

Bukti elektronik baru dapat dinyatakan sah apabila menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia. Suatu bukti elektronik dapat memiliki kekuatan hukum apabila informasinya dapat dijamin

65

keutuhannya, dapat dipertanggungjawabkan, dapat di akses, dan dapat ditampilkan, sehingga menerangkan suatu keadaan.

Berkaitan dengan hal tersebut, ahvi syahrin menyatakan suatu alat bukti yang dipergunakan di pengadilan perlu memenuhi beberapa syarat, diantaranya:66

a. Diperkenankan oleh undang-undang untuk dipakai sebagai alat bukti. b. Reability, yaitu alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya. c. Necessity, yaitu alat bukti yang diajukan memang diperlukan untuk

membuktikan suatu fakta

d. Relevance, yaitu alat bukti yang diajukan mempunyai relevansi dengan fakta yang akan dibuktikan.

C. Pengaturan Beban Pembuktian di Indonesia

Dikaji dari perspektif ilmu pengetahuan hukum pidana dikenal ada 3 (tiga) teori tentang beban pembuktian. Secara universal ketiga teori tentang beban pembuktian tersebut hakikatnya terdapat di Negara Indonesia, yaitu:

a. Beban Pembuktian Pada Penuntut Umum

Didalam hukum acara pidana, tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (pasal 66 KUHAP). Namun kewajiban pembuktian

66

Alvi Syahrin, ketentuan pidana dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Pelindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup, (Jakarta: Sofmedia, 2011) hal 13-14

tersebut dibebankan kepada penuntut umum karena sistem hukum Indonesia menganut asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) dan asa tidak mempersalahkan diri sendiri (non self incrimination). Konsekuensi logis teori beban pembuktian ini, bahwa penuntut umum harus mempersiapkan alat-alat bukti dan barang bukti secara akurat, sebab jika tidak demikian akan susah meyakinkan hakim tentang kesalah terdakwa.67

b. Beban Pembuktian Pada Terdakwa

Beban pembuktian seperti ini dapat dikategorikan beban pembuktian “biasa” atau “konvensional”. Pada sistem beban pembuktian biasa berlaku cara menggunakan alat-alat bukti yang mengacu pada syarat minimal pembuktian pada pasal 183 KUHAP. Pada dasarnya alat bukti yang boleh dipergunakan dalam sistem pembebanan pembuktian biasa adalah sebagaimana tercantum dalam pasal 184 KUHAP.

Dalam konteks ini, terdakwa berperan aktif menyatakan bahwa dirinya bukan sebagai pelaku tindak pidana. Oleh karena itu, terdakwalah di depan sidang pengadilan akan menyiapkan segala beban pembuktian dan bila sudah tidak dapat membuktikan, terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana. Pada asasnya teori beban pembuktian jenis ini dinamakan “pembalikan beban pembuktian” (“omkering van het bewijslast atau shifting of burden of proof/onus of proof).dikaji dari perspektif teoritis dan praktik teori beban pembuktian ini dapat di klasifikasikan lagi menjadi pembalikan beban pembuktian yang bersifat murni maupun bersifat terbatas (limited burden of proof). Pada hakikatnya

67

pembaikan beban pembuktian tersebut merupakan suatu penyimpangan hukum pembuktian dan juga merupakan suatu tindakan luar biasa terhadap tindak pidana korupsi.68

Secara kronologis, asas pembalikan beban pembuktian bermula dari sistem pembuktian yang dikenal pada Negara-negara yang menganut rumpun

Anglo-saxon atau Negara-negara penganut “case law” terbatas pada “certain cases” atau

kasus-kasus tertentu khususnya terhadap tindak pidana gratifikasi atau pemberian yang berkorelasi dengan suap.

Pada hakikatnya, asas pembalikan beban pembuktian dalam sistem hukum pidana Indonesia dikenal dalam Tindak Pidana korupsi (UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001), Tindak Pidana Pencucian Uang (UU No 15 Tahun 2002 jo UU No. 25 Tahun 2003), perlindungan konsumen (UU No. 8 Tahun 1999) dan kegiatan transfer dana (UU No. 3 Tahun 2011).

69

“Asas pembalikan beban pembuktian merupakan suatu sistem pembuktian yang berada diluar kelaziman teoritis pembuktian dalam hukum acara pidana universal. Dalam hukum pidana formal, baik sistem Kontinental maupun Anglo-Saxon, mengenal pembuktian dengan tetap membebankan kewajibannya pada jaksa penuntut umum. Hanya saja, dalam “certain cases” diperkenankan penerapan dengan mekanisme yang diferensial, yaitu sistem pembalikan beban pembuktian atau dikenal sebagai “reversal of burden proof” (omkering van bewjislast). Itupun tidak dilakukan secara

overall , tetapi memiliki batas-batas yang seminimal mungkin tidak melakukan suatu destruksi terhadap perlindungan dan penghargaan hak asasi manusia, khususnya hak tersangka/terdakwa.”

Indriyanto seno adji terhadap dimensi ini lebih detail menyatakan

pendapatnya, bahwa: 70 68 Ibid, hal 102-103 69Ibid, hal 104 70

Indriyanto Seno, Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian, (Jakarta: penerbit kantor pengacara dan konsultasi hukum “prof Oemar Seno Adji, S.H. & rekan, 2001) hal 132-133

Dengan dianutnya pembalikan beban pembuktian secara murni menyebabkan beralihnya asas praduga tak bersalah menjadi asas praduga bersalah. Konsekuensi logis dimensi demikian, praduga bersala realitif cendrung dianggap sebagai pengingkaran asas yang bersifat universal khususnya terhadap asas praduga tidak bersalah. Pada asasnya, praduga tak bersalah merupakan asas fundamental dalam Negara hukum. Konsekuensinya, setiap orang yang didakwakan melakukan tindak pidana mendapatkan hak untuk tidak dianggap bersalah hingga terbukti kesalahannya dengan tetap berlandaskan kepada beban pembuktian pada penuntut umum, norma pembuktian yang cukup dan metode pembuktian yang cukup dan metode pembuktian harus mengikuti cara-cara yang adil.

Selain itu apabila dikaji lebih detail, teori pembalikan beban pembuktian akan bersinggungan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) khususnya implementasi terhadap ketentuan hukum acara pidana. Pada ketentuan hukum acara pidana sebagaimana ketentuan pasal 66 KUHAP, pasal-pasal 66 ayat 1,2 dan pasal 67 ayat 1 huruf I statuta Roma Mhakamah Pidana Internasional, pasal 11 ayat 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia(HAM), pasal 40 ayat 2b butir I Konvensi tentang hak-hak anak, prinsip 36 ayat 1 kumpulan prinsip-prinsip untuk perlindungan semua orang dalam bentuk penahanan apapun atau pemenjaraan, resolusi majelis umum PBB 43/1739 Desember 1988, terdakwa tidak dibebani kewajiban pembukitan.71

71

Maka dalam melakukan penindakan terhadap pelaku tindak pidana korupsi haruslah dicarikan justifikasi yuridis terhadap teori yang dapat mempermudah pembuktian dengan tetap berpegang teguh kepada asas-asas universal baik dalam ketentuan hukum acara pidana maupun hukum pidana materiil serta instrument internasional. Tegasnya, disatu sisi untuk membuktikan kesalahan pelaku tindak pidana korupsi tetap berpegang pada ketentuan teori hukum pembuktian yang mengedepankan asas pembuktian negative sedangkan disisi lainnya untuk mengembalikan asset (asset recovery) hasil dari tindak pidana korupsi serta membuktikan terhadap harta kepemilikan kekayaan pelaku, tetap dipergunakan teori pembalikan beban pembuktian karena teori pembuktian yang demikian relative tetap menjunjung tinggi ketentuan hukum acara pidana, hukum pidana materil dan instrumen internasional72

Atas dasar parameter sebagaimana disebut diatas guna mengantisipasi akses negative teori pembalikan beban pembuktian, pembuktian terhadap pelaku tindak pidana korupsi dipergunakan teori pembalikan beban pembuktian keseimbangan kemungkinan yang mengedepankan keseimbangan secara proposional antara perlindungan kemerdekaan individu disatu sisi, dan perampasan hak individu yang bersangkutan atas harta kekayaan milik pelaku yang diduga kuat berasal dari korupsi disisi lainnya. Konklusinya, teori pembalikan beban pembuktian keseimbangan kemungkinan menempatkan pelaku tindak pidana korupsi terhadap perbuatan atau kesalahan orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi tidak boleh dipergunakan asas pembalikan

72Ibid, hal 109

beban pembuktian melainkan tetap berdasarkan asas negative karena perlindungan terhadap hak individu ditempatkan paling tinggi terhadap perampasan kemerdekaan seseorang.73

c. Beban Pembuktian Berimbang

Konkretisasi asas ini baik penuntut umum maupun terdakwa dan/atau penasihat hukumnya saling membuktikan di depan persidangan. Lazimnya penuntut umum akan membuktikan kesalahan terdakwa sedangkan sebaliknya terdakwa beserta penasihat hukum akan membuktikan sebaliknya bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan. Dalam kepustakaan ilmu hukum asas beban pembuktian ini dinamakan juga asas pembalikan beban pembuktian “berimbang”.

Apabila ketiga polarisasi teori beban pembuktian tersebut dikaji dari tolak ukur penuntut umum dan terdakwa, sebenarnya teori beban pembuktian dapat dibagi menjadi 2 (dua) kategori, yaitu :

Pertama, sistem beban pembuktian biasa atau konvensional, penuntut umum membuktikan kesalahan terdakwa dengan mempersiapkan alat-alat bukti sebagaimana ditentukan undang-undang. Kemudian terdakwa dapat menyangkal alat-alat bukti dan beban pembuktian dari penuntut umum sesuai dengan pasal 66 KUHAP.

Kedua, teori pembalikan beban pembuktian yang dalam aspek ini dapat dibagi menjadi teori pembalikan beban pembuktian yang bersifat “absolut” atau “murni” bahwa terdakwa dan/atau penasihat hukumnya membuktikan

73Ibid, hal 111

ketidakbersalahan terdakwa. Kemudian teori pembalikan beban pembuktian yang bersifat “terbatas dan berimbang” dalam artian terdakwa dan penutut umum saling membuktikan kesalahan atau ketidakbersalahan dari terdakwa. 74

74Ibid, hal 104

Dokumen terkait